BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Praktek kesewenang-wenangan dari para penguasa dan penyelenggara negara yang cenderung melanggar dan merugikan hak-hak warga negara akan senantiasa terjadi karena kekuasaan itu akan cenderung disalahgunakan oleh orang yang memegang kekuasaan itu sendiri. Sikap otoriter atau korupsi penguasa ini niscaya terjadi berdasar hukum besi politik yang didalilkan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan itu akan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut kecenderungan korupnya absolut pula (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely). 1 Pemikiran tentang negara hukum kemudian menjadi sebuah jawaban untuk dapat membatasi kekuasaan penguasa dan penyelenggara negara yang cenderung melahirkan kesewenang-wenangan tersebut. Konsep negara hukum kesehjateraan (welfare state) muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep negara hukum formal atau yang dikenal juga dengan negara penjaga malam nachtwachtersstaat. Ciri utama negara ini adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesehjateraan umum bagi warganya. Dengan kata lain, ajaran welfare state
merupakan bentuk konkret dari peralihan
staatsonthouding, yang mambatasi peran negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, menjadi staatsbemoeienis yang 1
Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, h.143.
1
2
menghendaki negara dan pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai langkah untuk mewujudkan kesehjateraan umum, disamping menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde).2 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Merujuk pada bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, menunjukan bahwa Negara Indonesia telah menyatakan dirinya sebagai sebuah negara hukum yang berarti bahwa setiap penyelenggaraan kehidupan bernegara harus berdasarkan atas hukum (everything must be done according to the law). Negara Indonesia tergolong sebagai negara hukum kesejahteraan sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dianutnya konsepsi negara hukum kesehjateraan (welfare state) menimbulkan konsekuensi bahwa suatu negara harus benar-benar memiliki perangkat administrasi negara yang handal dalam mengemban tugas pelayanan umum dalam rangka mewujudkan kesehjateraan umum sebagai pelaksanaan welfare state. Terlebih lagi untuk mewujudkan tujuan nasional Negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, diperlukan sarana-prasarana 2
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Edisi revisi, Rajawali Pers, Jakarta, h. 15.
3
pendukung, baik berupa sumber daya manusia maupun sarana yang berbentuk benda. Salah satu sarana-prasarana pendukung yang sangat penting dalam rangka pencapaian tujuan nasional tersebut adalah sistem administrasi negara yang baik. Hubunganya dengan sumber daya manusia, sistem administrasi pemerintahan terbagi menjadi dua yaitu pegawai negeri dan masyarakat yang merupakan dua organisasi aktivitas manusia yang mempunyai tujuan yang sama, namun di dalamnya terdapat perbedaan wewenang dalam pemerintahan. 3 Suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri adalah adanya dinamika kemasyarakatan yang terus berkembang serta semakin bertambah kompleksnya kebutuhan masyarakat sehingga menuntut terjadinya perkembangan dalam tindakan pemerintah dalam mewadahi kompleksitas kebutuhan masyarakat tersebut dan juga peningkatan kualitas pegawai negeri dalam menyelenggarakan fungsi pelayanan umum. Untuk menjawab tuntutan tersebut maka perlu dilakukan perubahanperubahan dalam aspek pemerintahan guna mengoptimalkan kinerja pemerintah di dalam masyarakat. Salah satu perkembangan atau perubahan mendasar, dilakukan melalui reformasi birokrasi dalam bidang tata kelola pemerintahan di Indonesia. Pembenahan dalam sistem administrasi negara merupakan salah satu hal terpenting yang perlu dilakukan dalam pencapaian tujuan negara. Salah satu unsur penyelenggaraan pemerintahan yang perlu untuk mendapatkan perhatian adalah penataan aparatur pemerintah yang meliputi penataan kelembagaan birokrasi
3
Sri Hartini, Hj. Setiajeng Kadarsih, dan Tedi Sudrajat, 2010, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 6.
4
pemerintahan, sistem, dan penataan manajemen sumber daya pegawai (PNS).4 Berkaitan dengan penataan aparatur pemerintah tersebut, dewasa ini telah terjadi perubahan dalam tata kepemerintahan menuju tata kepemerintahan yang demokratis dan baik (democratic and good governance). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk dapat mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis tersebut. Lahirnya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU Kepegawaian) beserta seluruh peraturan pelaksanaanya dapat dikatakan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan pembenahan dalam tata kepemerintahan termasuk penataan manajemen kepegawaian yang seragam melalui penetapan norma, standar, dan prosedur yang jelas dalam pelaksanaan manajemen kepegawaian. Pasca reformasi upaya yang juga dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mendengungkan sebuah kebijakan reformasi birokrasi. Reformasi Birokrasi adalah langkah-langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdayaguna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Apa yang menjadi harapan kita dalam mewujudkan good governance (das sollen) dengan upaya yang sudah dilakukan pemerintah, pada tataran praktek (das sein) masih belum berjalan sesuai harapan. Masih banyak ditemukan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang menyimpang seperti misalnya praktek korupsi,
4
h. 1.
Miftah Thoha, 2010, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Cet.4, Kencana, Jakarta,
5
kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh para penyelenggara negara dan aparatur negara lainya, maraknya pungutan liar, praktek suap, penggelembungan anggaran belanja, dan sebagainya. Salah satu penyebab terjadinya permasalahan diatas yaitu kurangnya pemahaman dari aparatur pemerintahan terhadap konsep dari good governance itu sendiri, dalam artian bahwa penerapan konsep good governance itu sendiri tidak dibarengi dengan kapasitas dan kapabilitas dari aparatur pemerintahan. Hal ini tentunya akan kembali pada upaya kita untuk melakukan peningkatan kualitas dan kemampuan dari aparatur pemerintahan itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan reformasi birokrasi yang dikehendaki, perlu dilakukan upaya untuk menempatkan orang-orang atau aparatur yang tepat dalam mengisi jabatan dalam struktur pemerintahan tersebut (the right man on the right place). Untuk mencapai reformasi birokrasi yang tepat, maka diperlukan mekanisme pengisian jabatan-jabatan secara tepat pula. Jabatan sebagai sebuah organ yang menentukan dalam suatu pemerintahan pada dasarnya dibagi kedalam jabatan fungsional dan jabatan struktural. Baik jabatan fungsional maupun jabatan struktural sudah seharusnya diisi dengan cara-cara yang baik, jujur dan adil sehingga tidak melanggar hak asasi setiap orang untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam pemerintahan. Secara konstitusional hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan telah mendapat jaminan yang kuat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945.
6
Khusus mengenai pengisian jabatan struktural atau pengangkatan PNS dalam jabatan struktural, secara normatif telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2002 tentang Perubahan Pertama Peraturan Pemerintah No. 100 tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural (selanjutnya disebut PP No. 13 Tahun 2002). Namun peraturan ini tidak mengatur secara jelas mengenai mekanisme dan prosedur pengangkatan PNS dalam jabatan struktural melainkan hanya mengatur syarat dan pihak yang berwenang melakukan pengangkatan. Celah hukum inilah yang kemudian menimbulkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pengangkatan PNS dalam jabatan. Untuk mengatasi masalah dalam pengaturan pengangkatan PNS dalam jabatan struktural ini, pemerintah kemudian mengeluarkan Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB) No. 16 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong Secara Terbuka di Instansi Pemerintah
(selanjutnya disebut dengan S.E. KEMENPAN-RB No. 16
Tahun 2012). Dalam S.E. KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012 terdapat bagian kalimat yang menyebutkan “…., guna lebih menjamin para pejabat struktural memenuhi kompetensi jabatan yang diperlukan oleh jabatan tersebut, perlu diadakan promosi PNS atau pengisian lowongan jabatan berdasarkan sistem merit dan terbuka,
dengan
mempertimbangkan
kesinambungan
karier
PNS
yang
bersangkutan”. Poin penting yang patut dicermati dalam S.E. KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012 ini disamping memuat himbauan mengenai mekanisme pengangkatan PNS dalam jabatan struktural juga mengamanahkan bahwa pengangkatan PNS dalam
7
jabatan struktural dapat dilakukan secara terbuka dengan tetap memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam PP No. 13 Tahun 2002. Mekanisme dan prosedur pengangkatan PNS dalam jabatan struktural ini kemudian mulai diterapkan oleh beberapa daerah di Indonesia, salah satunya Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta pada saat dipimpin oleh Joko Widodo yang saat ini sedang menjabat Presiden Republik Indonesia. Penerapan mekanisme pengangkatan PNS dalam jabatan struktural secara terbuka yang dikenal luas dengan istilah “lelang jabatan“ oleh Joko Widodo ini kemudian menimbulkan reaksi yang beragam di tengah masyarakat. Ada yang mendukung kebijakan ini namun ada juga yang kontra terhadap penerapan sistem ini. Pengangkatan PNS dalam jabatan struktural secara terbuka atau “lelang jabatan” dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan dan kebijakan yang bersifat reformis dalam
memutus mata rantai nepotisme dalam bidang kepegawaian.
Pengangkatan jabatan secara terbuka ini dinilai dapat lebih menjamin terwujudnya penempatan orang pada jabatan yang tepat sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki. Di sisi lain pengangkatan PNS dalam jabatan struktural secara terbuka ini juga dinilai akan menghasilkan sebuah kebijakan yang cacat hukum karena “lelang jabatan” dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat mengingat hanya didasarkan pada surat edaran yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
8
Dengan kata lain, hal ini berkaitan dengan keabsahan atau legitimasi pengaturan “lelang jabatan” ini. Masih hangatnya pro kontra mengenai pengangkatan PNS dalam jabatan struktural secara terbuka atau “lelang jabatan”, pada tahun 2014 pemerintah membentuk dan mengesahkan sebuah undang-undang baru di bidang kepegawaian yaitu Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(selanjutnya disebut UU ASN). Pengesahan terhadap UU ASN membawa perubahan yang cukup besar dalam hal pengaturan kepegawaian di Indonesia. UU Kepegawaian yang selama ini menjadi landasan hukum dan regulasi utama dalam hal kepegawaian dirasa telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan paradigma yang hendak dibangun dan diwujudkan dalam manajemen sumber daya aparatur sipil negara, sehingga perlu disusun undang-undang baru yang juga sesuai dengan tuntutan global. Pandangan baru dalam bidang kepegawaian muncul dalam substansi UU ASN ini. Beberapa pengertian baru juga muncul seperti Manajemen Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut Manajemen ASN) dan adanya penerapan Sistem Merit dalam kebijakan dan manajemen ASN. Terdapat dua poin penting dalam UU ASN yang erat kaitanya dengan reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis yaitu adanya penerapan Sistem Merit dalam kebijakan dan manajemen ASN dan dibentuknya sebuah Komisi Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut KASN) yang merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik.
9
Pasal 1 angka 5 UU ASN menyatakan bahwa “ Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN yang professional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Adapun yang dimaksud dengan Sistem Merit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 22 UU ASN yaitu kebijakan dan Manajemn ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Manajemen ASN yang di dalamnya meliputi juga aspek pengadaan, pangkat dan jabatan serta promosi sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU ASN harus berdasarkan Sistem Merit. Persoalan yang kemudian relevan untuk dibahas adalah memahami keterkaitan antara mekanisme pengangkatan PNS dalam jabatan struktural secara terbuka atau “lelang jabatan” dengan Manajemen ASN yang harus diselenggarakan berdasarkan Sistem Merit serta ruang lingkup dari kewenangan KASN dalam pelaksanaan “lelang jabatan”. Pembahasan mengenai sistem merit dalam kaitannya dengan promosi jabatan secara terbuka didalam UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN dan kewenangan dari KASN dalam hal ini
merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari agenda reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah tulisan yang berjudul “KEWENANGAN KOMISI APARATUR SIPIL NEGARA DALAM PROSES “LELANG JABATAN” TERKAIT
10
SISTEM MERIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA”. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaturan dari “lelang jabatan” serta kaitanya dengan sistem merit dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ? 2. Bagaimanakah ruang lingkup kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara dalam pelaksanaan “lelang jabatan” ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini perlu dibatasi untuk menghindari terjadinya penyimpangan dalam pembahasan penelitian serta pembahasannya lebih sistematis, metodelogis dan tidak terlalu luas sehingga nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang diinginkan. Adapun ruang lingkup masalah dalam penulisan ini yaitu : 1. Yang pertama akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan dari “lelang jabatan” serta kaitanya dengan sistem merit dalam UU ASN. 2. Yang kedua akan dibahas mengenai kewenangan dari KASN serta ruang lingkup kewenangan KASN dalam pelaksanaan “lelang jabatan. 1.4 Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
11
1.4.1 Tujuan Umum Tujuan umum penulisan ini adalah untuk memberikan kontribusi keilmuan secara ilmiah terkait pengembangan hukum administrasi negara dan juga terkait penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik dalam bidang kepegawaian termasuk didalamnya manajemen ASN. 1.4.2 Tujuan Khusus Terdapat beberapa tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan hukum ini, yakni : 1. Untuk mengetahui pengaturan dari “lelang jabatan” serta kaitanya dengan sistem merit dalam UU ASN. 2. Untuk mengetahui kewenangan dari KASN serta ruang lingkup kewenangan KASN dalam pelaksanaan “lelang jabatan”. 1.5 Manfaat Penulisan 1.5.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum di bidang hukum administrasi
negara,
khususnya
pemahaman
mengenai
tata
kelola
pemerintahan yang baik dalam bidang kepegawaian dalam hal ini manajemen ASN.
12
1.5.2 Manfaat Praktis Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi konkret kepada pihak-pihak terkait yang terlibat dalam bidang kepegawaian. Terutama dalam hal manajemen ASN yang berkaitan dengan pengangkatan maupun promosi jabatan secara terbuka atau “lelang jabatan” serta pengawasan terhadap manajemen ASN sehingga dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan demokratis. 1.6 Landasan Teoritis 1.6.1 Konsep Wewenang Pemerintahan Wewenang menurut S.F. Marbun mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.5 Wewenang (bevoegheid) merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi, karena pemerintah baru dapat melaksanakan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Wewenang
menjadi
dasar
bagi
pemerintah
untuk
melakukan
tindak
pemerintahan. Keabsahan tindakan pemerintah didasarkan pada wewenang yang
5.
Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, Edisi II, LaksBang, Yogyakarta, h. 57, dikutip dari S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, h. 154-155.
13
diatur dalam peraturan perundang-undangan atau wewenang yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan (legaliteit beginsel).6 Dalam berbagai kepustakaan terdapat pembagian mengenai sifat wewenang pemerintahan (bestuurbevoegheid), yakni : a. Wewenang pemerintahan bersifat terikat, berarti bahwa wewenang harus sesuai dengan peraturan dasarnya yang menentukan waktu dan dalam keadaan bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan, termasuk ketentuan isi dan keputusan yang harus diambil, dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar yang menentukan isi dari keputusan yang harus diambil secara terinci, maka wewenang wewenang pemerintahan semacam itu merupakan wewenang yang terikat; b. Wewenang pemerintahan yang bersifat fakultatif, berarti bahwa wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib atau tidak ada keharusan untuk menggunakan wewenang tersebut atau sedikit banyak masih ada pilihan lain walaupun pilihan tersebut hanya dapat dilakukan dalam hal-hal dan keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya; c. Wewenang pemerintahan yang bersifat bebas, berarti bahwa wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat tata usaha negara dapat menggunakan wewenangnya secara bebas untuk menentukan sendiri mengenai isi dari suatu keputusan yang akan dikeluarkannya karena peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada penerima wewenang tersebut atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. 7 Secara teoritik terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan (bestuurbevoegheid), yakni atribusi, delegasi dan mandat. Wewenang atribusi adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan. Wewenang ini dapat didelegasikan atau dimandatkan.8
6 7.
Ibid., h. 56. Ridwan H.R., op. cit, h. 107.
14
Wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh berdasarkan pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Wewenang delegasi merupakan pelimpahan dari wewenang atribusi yang diberikan oleh pemberi wewenang (delegans) kepada penerima wewenang (delegataris). Setelah terjadi pelimpahan maka tanggung jawab beralih kepada delegataris dan bersifat tidak dapat ditarik kembali oleh delegans. 9 Wewenang mandat adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara atasan dengan bawahanya. Setelah terjadi pelimpahan kepada penerima mandat (mandataris), tanggung jawab tetap ada pada pemberi mandat (mandans) dan sewaktu-waktu dapat ditarik dan digunakan kembali oleh mandans.10 1.6.2 Konsep Reformasi Birokrasi Riyadi menjelaskan bahwa birokrasi merupakan salah satu unsur administrasi negara yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan seperti regulasi, perijinan, pelayanan publik dan pengawasan terhadap pemanfaatan sumber daya yang ada. Peran, fungsi dan otoritas yang dimiliki inilah yang menjadikan birokrasi sebagai organisasi yang sangat strategis.11
Keberadaan birokrasi di Indonesia dapat
dikatakan memegang peranan yang penting termasuk dalam proses pembuatan kebijakan mulai dari perumusan, pelaksanaan, pengawasan serta dalam evaluasi 8.
Sadjijono, op. cit, h. 66. Sadjijono, loc.cit. 10. Sadjijono, loc.cit. 11 Bambang Tryono et.al., 2013, Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi, h.27, URL : http://www.bappenas.go.id/files/ekps/2013/4.Evaluasi%20Kebijakan%20Reformasi%20Birokrasi.pdf., diakses tanggal 15 Oktober 2015. 9.
15
terhadap kebijakan tersebut. Keberhasilan dari program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah sangat ditentukan oleh peranan birokrasi. Birokrasi secara leksikal berarti alat kelengkapan negara, terutama meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari. Secara umum, pembangunan
birokrasi
mencakup
berbagai
aktivitas
terencana
yang
berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsinya. 12 Secara terencana pembangunan Birokrasi pun dilakukan melalui sebuah proses multidimensi yang disebut Reformasi Birokrasi. Secara khusus Presiden telah menetapkan Perpres No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Upaya penataan pembangunan birokrasi yang komprehensif seperti inilah yang secara substansi oleh Sofian Effendi disebut juga sebagai reformasi birokrasi. 13 Konsep tentang reformasi birokrasi ini seringkali diperhadapkan vis-a-vis dengan konsep tentang reformasi administrasi. Namun, reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan bagian dari reformasi administrasi negara. Dalam pengertian yang luas, Wallis mengemukakan bahwa “Administrative reform means an induced, permanent improvement in administration”.14
12
Ibid., h.28. Ibid. 14 Ibid. 13
16
1.6.3 Konsep Aparatur Sipil Negara Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Sedangkan Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. 1.6.4 Konsep Sistem Merit Sistem ini berdasarkan atas jasa kecakapan seseorang pegawai dalam usaha mengangkat dan mendudukan pada jabatan tertentu. Sistem ini lebih bersifat objektif, karena dasar pertimbangan kecakapan yang dinilai secara objektif dari pegawai yang bersangkutan. Karena dasar pertimbangan seperti ini yang berlandaskan pada jasa kecakapan, maka acapkali sistem ini di Indonesia dinamakan sistem jasa. Penilaian objektif tersebut, pada umumnya ukuran yang dipergunakan ialah ijasah pendidikan.15 1.6.5 Konsep Komisi Aparatur Sipil Negara KASN merupakan sebuah lembaga baru yang dibentuk dalam rangka penetapan kebijakan Manajemen ASN. KASN adalah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. Pembentukan KASN ini untuk
15
h. 25.
Miftah Thoha, 1987, Administrasi Kepegawaian Daerah, Cet. 2, Ghalia Indonesia, Jakarta,
17
melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN, untuk menjamin penerapan sistem merit serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik, dan kode perilaku ASN. 1.6.6 Konsep Jabatan, Pengisian Jabatan, dan “Lelang Jabatan” Secara teoritis yang dimaksud dengan jabatan ialah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara (kepentingan umum). Tiap jabatan adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi, yang diberi nama negara.16 Lebih lanjut Utrecht menyatakan bahwa jabatan itu merupakan sebuah subjek hukum. Sebagai subjek hukum, yaitu badan hukum maka jabatan itu dapat menjamin kontinuitas dari hak dan kewajiban dalam artian jabatan itu bersifat tetap namun yang berganti adalah pejabat yang menduduki jabatan tersebut. Oleh karena jabatan itu merupakan pendukung hak dan kewajiban, yaitu suatu subjek hukum ( person) maka dengan sendirinya jabatan itu dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandelingen). Perbuatan itu dapat diatur oleh hukum publik maupun hukum privat.17 Seperti telah disebutkan di muka bahwa jabatan itu bersifat tetap dan yang berganti adalah pejabatnya. Dengan demikian jabatan itu perlu diisi dengan mekanisme pengisian jabatan yang sesuai. Prinsip penempatan menurut A.W. 16
E. Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, h. 200. 17 Ibid., h.201.
18
Widjaja adalah the right man on the right place (penempatan orang yang tepat pada tempat yang tepat). Untuk dapat melaksanakan prinsip ini dengan baik, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu : 1. Adanya analisis tugas jabatan (job analisys) yang baik, suatu analisis yang menggambarkan tentang ruang lingkup dan sifat-sifat tugas yang dilaksanakan sesuatu unit organisasi dan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh pejabat yang akan menduduki jabatan di dalam unit organisasi itu. 2. Adanya Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (kecakapan pegawai) dari masing-masing pegawai yang terpelihara dengan baik dan terus-menerus. Dengan adanya penilaian pekerjaan ini dapat diketahui tentang sifat, kecakapan, disiplin, prestasi kerja, dan lain-lain dari masing-masing pegawai.18 Terdapat cara-cara atau metode yang dapat digunakan dalam melakukan pengisian jabatan negara yaitu dengan pemilihan dan/atau pengangkatan pejabat negara secara perorangan maupun berkelompok yang bertugas baik di lembaga pemerintah maupun lembaga negara, baik di pusat maupun di daerah. Kemudian adapun “lelang jabatan” atau sering disebut dengan istilah job tender sebenarnya bukan hal baru dalam perspektif administrasi publik. Dalam konsep New Public Management (NPM), lelang jabatan sudah dikenalkan dan dipraktekkan di negara-negara Barat, dengan istilah yang berbeda-beda.
18
Sri Hartini, Hj. Setiajeng Kadarsih, dan Tedi Sudrajat, op.cit., h. 97.
19
Tujuannya adalah untuk memilih aparatur yang memiliki kapasitas, kompetensi dan integritas yang memadai untuk mengisi posisi/jabatan tertentu sehingga dapat menjalankan tugas yang lebih efektif dan efisien. Lelang jabatan merupakan salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena rekrutmen jabatan dilakukan secara transparan, menggunakan indikator tertentu dan dilakukan oleh pihak yang netral dan kompeten melakukan seleksi.19 1.6.7 Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik AAUPB dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan,tindakan penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenang-wenang.20 Menurut Philipus M Hadjon, AAUPB harus dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang tepat dari AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Dapat pula dikatakan, bahwa AAUPB adalah asas-asas hukum tidak tertulis, darimana
19
Mahmun Syarif Nasution, 2013, Lelang Jabatan Dalam Perspektif Kebijakan Publik, h. 2, URL : http://sumut.kemenag.go.id/file/file/TULISANPENGAJAR/vdyr1370450043.pdf, diakses tanggal 5 November 2015. 20 Ridwan H.R., op. cit, h. 234.
20
untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan.21 AAUPB merupakan sebuah konsep terbuka dalam bidang hukum administrasi sehingga jenis dan macam dari AAUPB yang berkembang dan diterapkan di masing-masing negara bisa saja berbeda. Adapun macam-macam AAUPB , khususnya yang dikemukakan oleh Koentjoro Purbopranoto dan SF. Marbun adalah sebagai berikut. 22 a. Asas kepastian hukum (principle of legal security) ; b. Asas keseimbangan (principle of proportionality) ; c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality) ; d. Asas bertindak cermat (principle of carefulness) ; e. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation) ; f. Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of nonmisuse of competence) ; g. Asas permainan yang layak ( principle of pair play) ; h. Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibition of arbitrariness) ; i. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation) ;
21 22
Ibid. h.237. Ibid. h. 244-245.
21
j. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the concequences of an annulled decision) ; k. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi (principle of protecting the personal may of life) ; l. Asas kebijaksanaan (sapientia) ; m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service). 1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem hukum mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).23 Perlunya penelitian normatif dilakukan dalam penulisan ini adalah beranjak dari dikeluarkanya S.E. KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong Secara Terbuka di Instansi Pemerintah
sehingga dijadikan pedoman oleh instansi pemerintah termasuk
instansi pemerintah di daerah dalam melakukan pengangkatan maupun promosi jabatan secara terbuka yang belakangan dikenal luas dengan istilah “lelang jabatan”. Menjadi relevan kemudian untuk dikaji secara normatif pengaturan
23.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34.
Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
22
“lelang jabatan” kaitanya dengan sistem merit berdasarkan UU ASN serta bagaimana kewenangan dari KASN dalam proses “lelang jabatan” ini. 1.7.2 Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, antara lain: 1. Pendekatan kasus (the case approach), 2. Pendekatan perundang-undangan (the statutory approach), 3. Pendekatan Fakta (the fact approach), 4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and conceptual approach), 5. Pendekatan Frasa (word and phrase approach), 6. Pendekatan Sejarah (historical approach), 7. Pendekatan Perbandingan (comparative approach). Penulisan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statutory approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach) dan pendekatan frasa (word and phrase approach), serta Pendekatan Sejarah (historical approach). Pendekatan perundang-undangan (the statutory approach) digunakan untuk menelaah aturan hukum terkait pengaturan dari “lelang jabatan” dan kewenangan daripada KASN. Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep yang terkandung dalam manajemen kepegawaian yang sekarang disebut dengan manajemn ASN termasuk penerapan sistem merit kedalam kebijakan dan manajemn ASN.
23
Sedangkan pendekatan frase (word and phrase approach) digunakan untuk menganalisis makna dari teks rumusan pasal-pasal dalam peraturan perundangundangan terkait, dan pendekatan Sejarah (historical approach) digunakan untuk menganilisis perubahan-perubahan yang ada dalam UU ASN dari UU Kepegawaian yang lama. 1.7.3 Sumber Bahan Hukum Bahan hukum merupakan sumber-sumber penelitian hukum normatif. Bahan hukum yang dipakai dalam penulisan ini yakni: 1) Sumber bahan hukum primer Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang bersifat mengikat.24 Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan ini adalah : -
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041). -
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
24.
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmmudji, 1988, Penulisan Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, h. 34
24
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890). -
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494).
-
Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601).
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor )
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4194 )
25
-
Peraturan
Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
Dan
Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka Di Lingkungan Instansi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 477) -
Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB) No. 16 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong Secara Terbuka di Instansi Pemerintah.
2) Sumber bahan hukum sekunder Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi buku-buku, literatur, makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.25 Selain itu, bahan hukum yang diperoleh melalui internet juga termasuk sebagai bahan hukum sekunder dengan mencantumkan alamat situsnya. 3) Sumber bahan hukum tersier Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
25
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta, h. 141.
26
seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum serta ensiklopedia hukum.26 1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik studi dokumen (study document). Penelusuran bahan hukum dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu melalui proses membaca, mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara sistematis sesuai dengan permasalahan penelitian. 1.7.5 Teknik Analisa Bahan Hukum Setelah bahan-bahan hukum terkumpul kemudian dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu: -
Teknik Deskripsi, berupa uraian terhadap suatu kondisi hukum maupun non-hukum.
-
Teknik Interpretasi, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain.
-
Teknik Evaluasi, berupa penilaian tepat tidak atau tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap
26.
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 119.
27
suatu pandangan, pernyataan rumusan norma baik yang terdapat dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. -
Teknik Argumentasi, berupa penilaian yang bersifat penalaran hukum.
-
Teknik Sistematisasi, berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.