1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu unsur reformasi total adalah tuntutan pemberian otonomi luas kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan seperti ini adalah wajar, paling tidak untuk dua sebab yakni: 1) intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah, 2) tuntutan pemberian otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa depan. Di era seperti ini dimana globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin hilang kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah1 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah2 merupakan titik awal berjalannya otonomi daerah. Misi utama kedua undang-undang tersebut adalah desentralisasi fiskal, yang diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan di
1 2
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
2
seluruh daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang lebih rendah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa pengembangan otonomi pada daerah kabupaten dan kota diselenggarakan dengan memperhatikan prinsipprinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, pemanfaatan dan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Perkembangan administrasi negara dewasa ini baik di negara maju maupun di negara berkembang mengarah pada peningkatan efisiensi dan profesionalisme pelayanan publik. Semua yang bergerak dalam administrasi publik harus tertata secara rasional, efisien serta dinamis dalam melayani masyarakat. Apalagi di dalam era globalisasi sekarang ini harus dilihat dalam konteks
bagaimana
mengoptimalkan
fungsi-fungsi
pemerintahan
dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat karena kehadiran pemerintah merupakan keinginan masyarakat dan salah satu tugas umum pemerintah yang utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu,
3
pemerintah harus mempersiapkan konsep pelayanan yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan serta berusaha meminimalkan ketidakpuasan pelanggan dengan memberikan pelayanan yang prima, baik di pusat maupun di daerah. Salah satu upaya untuk meningkatkan penerimaan sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dilakukan antara lain dengan jalan meningkatkan penerimaan sektor pajak daerah dan retribusi daerah, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi pungutan. Hal ini diatur dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah3. Undang-undang ini menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijaksanaan dan arahan bagi daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus menetapkan peraturan untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 2 tentang Jenis Pajak Provinsi yaitu terdiri atas: a. b. c. d. e.
Pajak Kendaraan Bermotor; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; Pajak Air Permukaan; dan Pajak Rokok.4
Diantara sumber pendapatan asli daerah yang berasal dari sektor pajak daerah yang cukup penting dan potensial adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) karena banyak menunjang pembiayaan daerah.
3 4
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 2 tentang Jenis Pajak Provinsi
4
Pengelolaan pemungutan dan pengurusan Pajak Kendaraan Bermotor dilakukan pada satu kantor yang melibatkan beberapa unsur yang terkait didalam pengelolaannya. Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor yang dilaksanakan pada satu kantor ini dikenal dengan istilah SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap). Pedoman tata laksana SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) diatur dalam Intruksi Bersama (INBERS) Menteri Pertahanan dan Keamanan,
Menteri
Dalam
Negeri
dan
Menteri
Keuangan
Nomor
INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun 1999, Nomor 6/IMK.014/1999
tentang
pelaksanaan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) dalam penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor (STCK), Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB), Tanda Coba Kendaraan Bermotor (TCKB) dan pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) serta Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) tertuang dalam Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani oleh Kepala POLRI, Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah serta Direktur PT. Jasa Raharja (Persero). Isi keputusan tersebut antara lain: 1. Bahwa dalam rangka usaha peningkatan, pengamanan dan penertiban pelaksanaan pemungutan pajak-pajak daerah khususnya pemungutan PKB dan BBN-KB maka perlu lebih ditingkatkan kerjasama antara aparat Gubernur kepada daerah dan Aparat Komando daerah Kepolisian diseluruh Indonesia. 2. Bahwa makin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, maka peningkatan penerimaan disektor ini harus diimbangi dengan usahausaha efisiensi baik dalam sistem, administrasi dan kebijaksanaan pemungutan. 3. Bahwa pemungutan PKB dan BBN-KB serta Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) adalah sangat erat hubungannya dengan pengeluaran STNK, sehingga penelitian tentang
5
utang STNK setiap tahun akan berarti pula penelitian pelunasan Pajakpajak Kendaraan Bermotor dan pelunasan SWDKLLJ. 4. Bahwa dalam rangka peningkatan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada pemilik kendaraan bermotor, perlu diadakan penyederhanaan cara membayar pungutan-pungutannya yang kaitannya dengan kendaraan bermotor, maka untuk itu perlu adanya suatu tempat (loket) dimana pemilik kendaraan bermotor sekaligus dapat menyelesaikan pembayaran biaya administrasi kendaraan bermotor, pajak dan Sumbangan Wajib Dana kecelakaan lalu Lintas Jalan.5 Ketiga instansi pemerintah di atas masing-masing mendelegasikan kepada dinas-dinas dibawahnya untuk menangani tugas-tugas yang bersifat operasional di lapangan. Menteri Pertahanan dan Keamanan mendelegasikan kepada Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), Menteri Keuangan mendelegasikan kepada PT. Jasa Raharja (Persero) dan Menteri Dalam Negeri mendelegasikan kepada Dinas Pendapatan Provinsi yang masing-masing membuka cabang pada masing-masing Kabupaten dan Kota dengan tugas: 1. Dinas Pendapatan, bertugas untuk memungut Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). 2. Kepolisian, bertugas memberi pelayanan registrasi dan identifikasi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor (STCK), Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB), dan Tanda Coba Kendaraan Bermotor (TCKB). 3. PT. Jasa Raharja (Persero), bertugas memungut Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ).6 Pajak Kendaraan Bermotor yang dipungut sebagai sumber pendapatan daerah, kewenangannya berada ditangan Gubernur yang meliputi pendaftaran/ pendataan, penetapan, penyetoran, pembukuan dan pelaporan, keberatan dan
5
Inbers Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun 1999, Nomor 6/IMK.014/1999 tentang pelaksanaan SAMSAT 6 Inbers Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun 1999, Nomor 6/IMK.014/1999 tentang pelaksanaan SAMSAT
6
banding, penagihan, pembetulan, pembatalan, pengurangan, penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi dan pengambilan kelebihan pembayaran yang kesemuanya dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan Provinsi. Dalam upaya peningkatan pengamanan dan penertiban pelaksanaan pemungutan pajak-pajak daerah khususnya Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), perlu ditekankan kerjasama antara aparat Gubernur Kepala Daerah dengan aparat Komando Daerah Kepolisian Republik Indonesia. Perlunya kerjasama tersebut adalah karena pekerjaan yang dilakukan Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah melalui seksi PKB dan BBN-KB berkaitan dengan pekerjaan polisi. Hasil yang diperoleh dari pendapatan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) berada di bawah Koordinasi Dinas Pendapatan Daerah. Dinas Pendapatan Daerah dalam melaksanakan tugasnya serta untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, membentuk cabang-cabang yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Cabang-cabang pelaksana kebijakan dari Dinas Pendapatan Daerah dikenal dengan nama Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan (CPDP) Daerah. Di Daerah Provinsi Jawa Barat, Dinas Pendapatan Daerah Provinsi membentuk Cabang-cabang Pelayanan Dinas Pendapatan (CPDP) yang tersebar di 34 unit di seluruh Jawa Barat. Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 39 Tahun 2010 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Rincian Tugas Unit dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat.7
7
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 39 Tahun 2010 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Rincian Tugas Unit dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat
7
Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah memiliki tugas pokok melaksanakan pelayanan, pengembangan, pelatihan konservasi dan pelestarian dibidangnya sesuai dengan kebijaksanaan Gubernur. Khusus untuk daerah Kota dan Kabupaten Bandung terdapat lima Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah (CPDP) yaitu: CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung I Pajajaran, CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan, CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung III Soekarno-Hatta, CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kabupaten Bandung I Rancaekek, dan CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kabupaten Bandung II Soreang yang berada dibawah Dinas Pendapatan Daerah Provinsi tetapi berkoordinasi dengan instansi yang berkaitan dengan kelancaran pemasukan Pajak Kendaraan Bermotor. Dalam hal ini instansi yang dimaksud adalah Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan PT. Jasa Raharja (Persero). SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) dalam menjalankan tugasnya melibatkan tiga instansi yang berbeda yaitu Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat, Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan PT. Jasa Raharja (Persero), untuk itu maka diperlukanlah koordinasi untuk menertibkan jalannya kegiatan operasional di lapangan. Pelaksanaan koordinasi diantara Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero) bukan sekedar menyangkut persoalan mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk struktur-struktur administrasi yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yakni praktek pelaksanaan kekuasaan. Hal ini sama dengan pelaksanaan pengarahan yaitu membimbing, membina, mengarahkan dan menggerakkan orang-orang agar mau
8
bekerjasama untuk mencapai tujuan. Struktur organisasi yang kompleks terdiri dari tiga instansi yang berbeda, dimana tiap instansi membawa tugas pokok dan fungsi
masing-masing
yang
akan
menimbulkan
bertambahnya
masalah
komunikasi yang sukar untuk memperoleh koordinasi yang baik. Kesulitankesulitan dalam koordinasi itu akan timbul, baik yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal. Pelaksanaan koordinasi dan pengarahan merupakan integral yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dapat mempengaruhi efektivitas individu, efektivitas kelompok dan efektivitas organisasi. Integrasi kegiatan melalui koordinasi tentunya akan membantu mewujudkan tujuan tiap instansi. Untuk menunjang agar tujuan tersebut dapat tercapai, masing-masing instansi mempunyai wewenang dan tugas yang dapat dipertanggungjawabkan kepada atasannya masing-masing. Namun demikian, wewenang dan tanggungjawab tersebut perlu dikoordinasikan secara bersama-sama sepanjang terkait dengan pelaksanaan teknis SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap). Oleh karena itu SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) dalam melaksanakan kinerjanya dibina dan dibimbing secara terus menerus oleh Tim Pembina SAMSAT yang telah ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan8, SAMSAT mengadakan penyesuaian sehubungan dengan Pasal 70 ayat (2) yang menyatakan bahwa Surat Tanda
8
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
9
Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor berlaku selama 5 (lima) tahun, yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun. Pengesahan dilakukan oleh POLRI, apabila Wajib Pajak telah membayar PKB dan SWDKLLJ serta melaksanakan komputerisasi administrasi kendaraan bermotor pada setiap SAMSAT secara nasional. Pengaturan dan penataan yang dilaksanakan oleh SAMSAT bertujuan untuk: 1. Memberikan kemudahan kepada masyarakat pemilik kendaraan bermotor untuk memenuhi kewajiban membayar pajaknya, sehingga dapat memberikan pelayanan yang berkualitas serta sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dan pemerintah, khususnya dalam pengurusan STNK dimana prosedur pengurusan mudah serta cepat dan Wajib Pajak hanya datang ke satu tempat. 2. Meningkatkan daya guna pelaksanaan pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) karena pungutan PKB/ BBN-KB dan SWDKLLJ sangat erat kaitannya dengan pengeluaran STNK sehingga penelitian ulang setiap tahun akan berarti pula pelunasan PKB dan SWDKLLJ. 3. Pengawasan dan penertiban pelaksanaan pungutan PKB/ BBN-KB dan SWDKLLJ dengan penelitian ulang tiap tahun, maka dari segi penertiban terhadap
pemilik
kendaraan
bermotor
oleh
pihak
kepolisian
serta
terselenggaranya pengamanan terhadap pemilik dari tindakan melanggar hukum serta dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak.
10
Adapun tugas koordinator berdasarkan Intruksi Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun 1999, Nomor 6/IMK.014/1999 mengenai pelaksanaan SAMSAT dalam penerbitan STNK, STCK, TNKB, TCKB dan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), BBN-KB serta SWDKLLJ adalah: 1. Mengkoordinir kegiatan di luar teknis administrasi; 2. Melakukan pengaturan tata kerja dan tata ruang gedung Kantor Bersama SAMSAT.9 Dengan melaksanakan pelayanan tersebut diperlukanlah koordinasi oleh semua instansi yang terlibat agar dapat memperoleh suatu hasil yang efektif di dalam suatu pelayanan, baik POLRI bertugas memberi pelayanan registrasi dan identifikasi STNK, STCK, TNKB, TCKB, Dinas Pendapatan Daerah yang bertugas memungut PKB dan BBN-KB dan PT. Jasa Raharja (Persero) bertugas memungut Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tugas pokok Dinas Pendapatan Daerah Provinsi yakni bertanggungjawab dalam melaksanakan koordinasi antar instansi dalam proses pelayanan SAMSAT, maka
Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan berkoordinasi dengan instansi yang terkait agar diperoleh kerjasama yang sinergi dalam melayani wajib pajak pada SAMSAT. Adapun salah satu SAMSAT yang ada di kota Bandung yaitu SAMSAT Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II 9
Inbers Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun 1999, Nomor 6/IMK.014/1999 tentang pelaksanaan SAMSAT
11
Kawaluyaan melakukan koordinasi dengan instansi terkait yaitu POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero) provinsi Jawa Barat. Adapun komposisi wajib pajak yang melakukan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor, pembayaran PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ pada SAMSAT Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan dapat dilihat pada total penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) pada tabel dibawah ini: Tabel 1.1 Total Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor Pada SAMSAT CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan Terhitung dari Januari s/d Maret 2013 No
Bulan
SKPD Pajak Kendaraan Bermotor
1.
Januari
18,355
2.
Februari
16,245
3.
Maret
16,909
JUMLAH
51,509
Sumber: Bagian Bendahara Penerimaan CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa wajib pajak yang harus mendapatkan pelayanan
yang prima semakin banyak, hal ini menuntut para
penyedia pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) yaitu Dispenda, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero) untuk lebih meningkatkan koordinasi diantara mereka agar efektivitas pelayanan tercapai, sehingga wajib pajak merasa puas dengan pelayanan yang diberikan sebagai tanggungjawab pihak pemerintah dalam mewujudkan tujuannya.
12
Berdasarkan observasi awal yang penulis lakukan pada SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) unit Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan (CPDP) Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan, diketahui bahwa efektivitas pelayanan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terlihat pada beberapa indikasi sebagai berikut: 1. Rasa empaty dalam pelayanan rendah, dibuktikan dengan adanya perlakuan yang tidak adil oleh petugas dalam memberikan pelayanan kepada wajib pajak. Contoh kasus yang terjadi dilapangan yaitu wajib pajak yang mempunyai hubungan saudara atau hubungan teman dengan petugas, pengurusan dalam pelayanannya sering kali didahulukan. 2. Kemudahan dan kesederhanaan persyaratan administrasi pengurusan STNK masih kurang dikarenakan wajib pajak harus menyiapkan beberapa persyaratan dalam pengurusan STNK. Contoh untuk proses mutasi, BBN-KB dan STNK ulang lima tahun kendaraan harus dilakukan cek fisik terlebih dahulu; memfotocopy beberapa berkas; dan untuk proses BBN-KB II pengambilan berkas untuk tahun 2008 ke bawah masih dilakukan di SAMSAT Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Bandung III Soekarno Hatta. Penulis beranggapan bahwa salah satu faktor tidak tercapainya efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan ini disebabkan karena lemahnya koordinasi fungsional antara instansi terkait sebagai pelaksana operasional.
13
Maka berdasarkan dari indikasi-indikasi permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut dengan menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Pengaruh Koordinasi Antar Instansi terhadap Efektivitas Pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.” 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis merumuskan identifikasi masalah dengan indikasi-indikasi masalah sebagai berikut: 1. Koordinator intern yaitu unsur kepolisian kurang memonitoring dan menertibkan seluruh pelaksanaan kegiatan lapangan yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran PKB/ BBN-KB, pembayaran SWDKLLJ sampai dengan penyerahan STNK kepada wajib pajak. 2. Tidak ada evaluasi kinerja antar instansi terhadap penanganan keluhan atau masalah wajib pajak yang berkaitan dengan pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, seperti kesalahan dalam pengetikan nomor dan alamat wajib pajak. Keluhan wajib pajak hanya ditangani oleh masing-masing instansi tanpa adanya koordinasi diantara mereka. Hal ini menyebabkan wajib pajak sulit untuk mengajukan pengaduan dan penanganan keluhan wajib pajak menjadi terhambat. Monitoring hanya dilakukan oleh masing-masing Kepala Seksi dari ketiga instansi tersebut yaitu Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan (CPDP) Daerah, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero).
14
3. Kurangnya informasi yang mengalir kepada koordinator mengenai kondisi yang sedang berlangsung dan kesulitan-kesulitan yang dialami dalam penyelesaian tugas masing-masing anggota sehingga masalah dan kesulitan tersebut tidak dapat dijadikan bahan pembahasan bersama dalam evaluasi kerja. 4. Tidak ada forum komunikasi bersama guna memecahkan masalah yang berkaitan dengan adanya pelayanan penyelesaian STNK. Kegiatan rapat koordinasi masih belum berjalan efektif karena belum terjadwalkan secara rutin mengenai rapat tersebut. Rapat hanya dilakukan pada keadaan yang memang perlu untuk dilakukan. Sehingga penyelesaian masalah-masalah mengenai pelayanan SAMSAT belum dapat terselesaikan. 1.3 Rumusan Masalah Bertitik tolak pada identifikasi masalah tersebut di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Seberapa besar pengaruh kesatuan tindakan terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. 2. Seberapa besar pengaruh komunikasi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
15
3. Seberapa besar pengaruh pembagian kerja terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. 4. Seberapa besar pengaruh disiplin terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. 5. Seberapa besar pengaruh kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja dan disiplin secara simultan terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. 1.4 Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti memiliki dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut. 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh koordinasi antar instansi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) yang ada pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
16
2. Tujuan Khusus Secara khusus, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar: a. Pengaruh kesatuan tindakan terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. b. Pengaruh komunikasi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. c. Pengaruh pembagian kerja terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. d. Pengaruh disiplin terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. e. Pengaruh kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja dan dispilin secara simultan terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
17
1.5 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini yang menjadi harapan penulis adalah: 1.5.1
Kegunaan Teoritis
1. Bagi Penulis a. Untuk menerapkan ilmu atau teori-teori serta memberikan pemikiran bagi penulis mengenai pengembangan ilmu Administrasi Negara. b. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang organisasi dan manajemen khususnya mengenai koordinasi antar instansi pemerintah. 2. Bagi Lembaga a. Penelitian ini dapat berguna sebagai pengembangan ilmu Administrasi Negara mengenai fungsi manajemen khususnya mengenai koordinasi dan efektivitas pelayanan. b. Sebagai bahan masukan untuk pertimbangan dan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi kalangan akademis. 3. Bagi Instansi a. Penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dan pemahaman tentang pentingnya koordinasi diantara instansi dalam mewujudkan efektivitas pelayanan yang baik. b. Dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu administrasi termasuk pemecahan masalah administrasi khususnya mengenai koordinasi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap).
18
1.5.2
Kegunaan Praktis
1. Bagi Penulis a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan, kependidikan khususnya dalam membuka pola pikir penulis yang lebih terarah. b. Memenuhi salah satu syarat untuk menempuh Ujian Sidang Munaqasah Strata Satu (S1) pada jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. 2. Bagi Lembaga a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi mereka (mahasiswa) lain
yang akan menindaklanjuti penelitian ini dengan
mengambil penelitian yang sama dan dengan informan penelitian yang lebih baik. b. Dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ilmu Administrasi Negara. 3. Bagi Instansi a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan yang konstruktif bagi instansi yang terkait dalam pelayanan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT). b. Memberikan masukan bagi instansi terkait untuk dijadikan sumbangan pemikiran khususnya bagi pelayanan SAMSAT pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
19
1.6 Kerangka Pemikiran Dalam suatu studi penelitian perlu adanya kejelasan titik tolak atau landasan berpikir untuk memecahkan dan membahas masalah. Untuk itu perlu disusun suatu kerangka teori sebagai pedoman yang menggambarkan darimana sudut masalah tersebut disorot. Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel atau pokok masalah yang ada dalam penelitian.10 Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilihnya. Suatu organisasi dibentuk karena adanya tujuan yang akan dicapai. Agar tujuan organisasi tersebut tercapai, diperlukan usaha-usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang melalui kerjasama. Kerjasama yang baik akan memungkinkan tercipta jika diantara komponen-komponen di dalam organisasi tersebut terjalin suatu koordinasi yang baik. Melalui koordinasi, keselarasan usaha dari bagianbagian tersebut kearah pencapaian tujuan bersama dapat dilakukan. Tanpa koordinasi, individu-individu dan unit-unit dalam organisasi akan kehilangan pegangan atas peranan mereka dalam organisasi. Mereka mulai mengejar kepentingan sendiri yang sering merugikan tercapainya tujuan organisasi secara keseluruhan.
10
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, hlm: 92
20
Adapun pengertian koordinasi menurut Harold Koontz, Cyril O’Donnell dan Heinz Weihrich yang dikutip oleh Moekijat dalam bukunya “Koordinasi: Suatu Tinjauan Teoritis”, mengemukakan bahwa koordinasi adalah pencapaian keselarasan dari usaha individu dan kelompok ke arah pencapaian maksud dan tujuan kelompok”.11 Handayaningrat dalam bukunya “Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen”, mendefinisikan koordinasi merupakan usaha yang mengarahkan dan menyatukan kegiatan-kegiatan dalam satuan kerja organisasi, sehingga organisasi bergerak sebagai satuan yang bulat guna melaksanakan seluruh tugas organisasi yang diperlukan untuk mencapai tujuannya”.12 Hal tersebut sejalan dengan pendapat Stoner dan Freeman yang mendefinisikan koordinasi sebagai berikut. Koordinasi adalah proses pemaduan sasaran dan kegiatan unit-unit kerja (bagian atau bidang-bidang fungsional) yang terpisah untuk dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif tanpa koordinasi para individu dan bagian-bagian akan kehilangan pemahaman akan peran mereka dalam organisasi dan tergoda untuk mengejar kepentingan khususnya kepentingan mereka sendiri, seringkali dengan mengorbankan tujuan organisasi yang lebih besar.13 Kemudian Handoko menyatakan pula mengenai pengertian koordinasi yang
berbeda.
Menurutnya
koordinasi
(coordination)
adalah
proses
pengintegrasian tujuan-tujuan dari kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang
11
Moekijat. 1994. Koordinasi: Suatu Tinjauan Teoritis. Bandung: Mandar Maju, hlm: 3 Soewarno Handayaningrat. 1994. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: CV Haji Masagung, hlm: 88 13 Stoner dan Freeman. 1994. Hlm: 501 12
21
terpisah (departemen/ bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.14 Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa koordinasi merupakan proses penyatupaduan atau penyelerasan kegiatan dari unitunit organisasi yang terpisah untuk mencapai tujuan organisasi. Sehingga segala usaha organisasi diarahkan kepada tujuan bersama yang telah ditetapkan dimana diharapkan tidak terdapat kekacauan, overlapping dan kekosongan pekerjaan baik orang maupun jabatan, seperti dikemukakan oleh Hasibuan berikut ini. Koordinasi dapat diartikan menggerakan segala usaha organisasi untuk melaksanakan usaha sebanyak mungkin atau koordinasi berarti usaha untuk mencegah terjadinya kekacauan, percekcokan, kekembaran atau kekosongan pekerjaan. Orang-orang dan pekerjaannya disalurkan dan diarahkan pada pencapaian tujuan tertentu.15 Koordinasi yang baik dapat diciptakan apabila faktor-faktor koordinasi dilaksanakan dengan baik, Hasibuan berpendapat pula bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi koordinasi adalah kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja dan disiplin.16 Berdasarkan uraian di atas, jelaslah apabila faktor-faktor
koordinasi
dilaksanakan dengan baik, maka koordinasi akan dapat berjalan dengan efektif dan selanjutnya diharapkan efektivitas pelayanan akan tercapai.
14
Y. Hani Handoko. 1995. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta: BPFE. hlm:195 Malayu S.P. Hasibuan. 2006. Manajemen: Dasar, Pegertian dan Masalah. Jakarta: Bumi Aksara. hlm:85 16 Malayu S.P. Hasibuan. 2006. Manajemen: Dasar, Pegertian dan Masalah. Jakarta: Bumi Aksara, hlm:88 15
22
Mengenai pengertian efektivitas, penulis memilih pendapat H. Emerson yang dikutip oleh Handayaningrat dalam bukunya Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen yaitu bahwa: Efektivitas ialah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran/ tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Jelaslah apabila sasaran atau tujuan yang telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya adalah sesuai. Jadi, kalau tujuan atau sasaran itu tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, pekerjaan tidak efektif.17 Menurut Stewart, konsep efektivitas pelayanan meliputi: Efektivitas pelayanan sangat ditentukan dari mampuntidaknya unsur aparatur negara mengakomodasi tuntutan kebutuhan masyarakat dengan menempatkan pelanggan di “kursi pengemudi” dan mendengar keluhan masyarakat lalu aparat mengakomodasikannya. Keinginan masyarakat akan pelayanan merupakan acuan bagi aparat dalam melakukan kajian akan konsep pelayanan yang cepat melalui pemberdayaan.18 Sedangkan Hutahuruk menyatakan efektivitas pelayanan: Efektivitas pelayanan adalah sejauh mana kebutuhan masyarakat dapat dilayani oleh aparat penyedia jasa pelayanan jalan, air minum dan sebagainya, apakah pelayanan sipil meliputi hak warga negara mendapatkan kelengkapan kewarganegaraan dimana warga negara memiliki kewajiban untuk memenuhinya. Efektifitas pelayanan kepada masyarakat juga menyangkut hak aktif maupun pasif, hak positif maupun negatif. Segala yang berkaitan dengan hak dan kewajiban terpenuhinya dan diterima sebagai kebutuhan masyarakat itulah yang disebut efektifitas pelayanan kepada masyarakat.19 Kesimpulan mengenai alat ukur efektivitas pelayanan diutarakan oleh Hutapea yang mengutip dari beberapa pendapat ahli, seperti Jablonski, 1991; Osborn dan Gabler, 1992; De Vrye, 1994; Fitzsimmon and Fitzsimmon, 1994; Stewart, 1994; Moenir, 1995; Balk, 1997; Gazspert, 1997; Tjiptono, 1997;
17
Soewarno Handayaningrat. 1994. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen.Jakarta: CV Masagung, hlm: 16 18 Stewart. 1994. hlm:13 19 Hutahuruk. 1998. hlm: 216
23
Lukman, 1999 dan Tjokroamidjojo, 2001 yang menyatakan enam dimensi yang dapat dijadikan alat ukur efektivitas pelayanan: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kejelasan dan kepastian Kemudahan dan kesederhanaan Ketepatan dan kecepatan Kearifan dan empati pelayanan Keterbukaan Kesadaran masyarakat sebagai warga negara.20
Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa efektivitas menekankan pada tercapainya tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dengan mempertahankan mekanisme dalam pencapaian tujuan atau sasaran sesuai dengan yang telah direncanakan sebelumnya dalam hal ini yaitu pencapaian pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) yang baik pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan (CPDP) Daerah Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. Penerapan koordinasi diperlukan untuk mencapai hubungan kerja yang terpadu dan terencana dengan dukungan aktif dari semua unsur organisasi dalam upaya pencapaian tujuan secara efektif, sejalan dengan pendapat dari Indrawati, yang mengemukakan bila suatu tujuan tertentu akan dicapai secara efektif oleh suatu usaha bersama, maka adalah logis setiap usaha harus digabungkan sedemikian rupa sehingga setiap waktu tadi akan memberikan hasil maksimal untuk mencapai tujuan tertentu.21
20 21
Hutapea. Pelayanan Prima. 2002 Indrawati. 1989. hlm: 51
24
Keterkaitan antara koordinasi dengan efektivitas dikemukakan oleh Terry yang dikutip oleh Hasibuan, koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron atau teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan”.22 Hubungan koordinasi dan efektivitas dikemukakan juga oleh Sugandha, agar di dalam suatu organisasi atau di dalam administrasi pemerintahan terdapat hasil kerja yang efektif, maka setiap kegiatan manusianya harus terkoordinasi.23 Bertitik tolak dari uraian di atas, maka penulis mengemukakan anggapan dasar sebagai berikut: 1. Koordinasi adalah suatu proses penyatupaduan segala kegiatan dan hubungan dari berbagai bagian atau unit kerja yang berbeda sebagai upaya menuju keselarasan dan kesatuan kerja dalam usaha pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditentukan bersama. 2. Efektivitas pelayanan merupakan sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan, berupa kejelasan dan kepastian, kesederhanaan dan keterbukaan baik prosedur, persyaratan, rincian biaya dan waktu penyelesaian, guna mempercepat proses penyelesaian pemberian pelayanan administrasi maupun penyelesaian permasalahan yang timbul dalam memberikan pelayanan. 3. Faktor-faktor koordinasi yang dilaksanakan dengan baik akan mewujudkan efektivitas pelayanan.
22
Malayu S.P. Hasibuan. 2011. Manajemen: Dasar, Pegertian dan Masalah. Jakarta: Bumi Aksara, hlm: 80 23 Dann Sugandha. 1988. Koordiansi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia, hlm: 41
25
Berdasarkan anggapan dasar di atas, maka penulis menuangkannya dalam model kerangka pemikiran sebagai berikut.
Intruksi Bersama Menhankam, Mendagri dan Menkeu Nomor INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun 1999, Nomor 6/IMK.014/1999 tentang pelaksanaan SAMSAT
Koordinasi antar Instansi: 1. Kesatuan tindakan (X1) 2. Komunikasi (X2) 3. Pembagian Kerja (X3) 4. Disiplin (X4) (Hasibuan: 2006:88)
Efektivitas Pelayanan: 1. Kejelasan dan Kepastian 2. Kemudahan dan Kesederhanaan 3. Ketepatan dan Kecepatan (Hutapea: 2002)
Gambar 1.1 Gambar Kerangka Pemikiran Selain menuangkan dalam bentuk kerangka pemikiran, penulis pun menuangkan dalam bentuk paradigma penelitian. KOORDINASI (Variabel X) Sub Variabel X:
EFEKTIVITAS PELAYANAN (Variabel Y) Sub Variabel Y:
Kesatuan tindakan (X1) Komunikasi (X2) Pembagian Kerja (X4)
1. Kejelasan dan Kepastian 2. Kemudahan dan Kesederhanaan 3. Ketepatan dan Kecepatan (Hutapea: 2002)
Disiplin (X4) (Hasibuan: 2006:88)
Gambar 1.2 Paradigma Penelitian
26
Keterangan: : adanya pegaruh antara koordinasi dengan efektivitas pelayanan. Berdasarkan pada gambar 1.1 di atas menunjukan bahwa terdapat hubungan antara koordinasi antar instansi dengan efektivitas pelayanan pada SAMSAT. 1.7 Hipotesis Menurut Sugiyono “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data”.24 Bertitik tolak dari kerangka pemikiran tersebut di atas, maka penulis merumuskan hipotesis umum sebagai berikut “Adanya pengaruh yang signifikan dari koordinasi antar instansi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan”. Selain merumuskan hipotesis secara umum, penulis juga merumuskannya dalam hipotesis statistik sebagai berikut. 1. H1
=
Terdapat pengaruh yang signifikan antara kesatuan tindakan terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi
Manunggal
Satu
Atap)
pada
Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
24
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta, hlm:70
27
2. H2
=
Terdapat pengaruh yang signifikan antara komunikasi terhadap
efektivitas
Administrasi
pelayanan
Manunggal
Satu
SAMSAT Atap)
pada
(Sistem Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. 3. H3
=
Terdapat pengaruh yang signifikan antara pembagian kerja terhadap
efektivitas
Administrasi
pelayanan
Manunggal
Satu
SAMSAT
(Sistem
Atap)
Cabang
pada
Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. 4. H4
=
Terdapat pengaruh yang signifikan antara disiplin terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT
(Sistem Administrasi
Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. 5. H5
=
Terdapat pengaruh yang signifikan antara kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja dan disiplin secara simultan terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi
Manunggal
Satu
Atap)
pada
Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Koordinasi 2.1.1 Pengertian Koordinasi Pengertian koordinasi berasal dari bahasa Inggris coordination yang berarti being co-ordinate, yaitu adanya koordinat yang bersamaan dari dua garis dalam bidang datar, yang dapat diartikan bahwa dua garis yang berpotongan pada koordinat tertentu. Di dalam administrasi, koordinasi bersangkutpaut dengan penyerasian serta penyatuan tindakan dari sekelompok. Koordinasi merupakan tindakan untuk mempersatukan suatu usaha agar mengarah pada sasaran yang sama dalam upaya mencapai tujuan secara efektif. Koordinasi tersebut pada hakikatnya merupakan perwujudan daripada kerjasama antar unit organisasi maupun antara satu organisasi lainnya dalam melaksanakan kegiatan. Sementara itu di pihak lain secara langsung atau tidak langsung. Moekijat mengemukakan bahwa “secara etimologis, koordinasi berasal dari Bahasa Latin yaitu cum dan ordinate. Cum mempunyai arti bersama-sama dan ordinate berarti menyusun dan menempatkan sesuatu menurut seharusnya.25 Sedangkan menurut Siagian yang dimaksud dengan koordinasi adalah “Suatu proses yang mengatur agar pembagian kerja dari berbagai orang atau kelompok dapat tersusun menjadi suatu kebulatan yang terintegrasi dengan cara yang seefisien mungkin”.26
25 26
Moekijat. 1994. Koordinasi (Suatu Tinjauan Teoritis). Bandung: Mandar Maju. Hlm: 2. Soendang P. Siagian. 1996. Filsafat Administrasi. Jakarta: CV Haji Masagung, hlm:110
29
Pengertian koordinasi yang lain menurut Handoko adalah “Proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien”.27 Berdasarkan definisi di atas koordinasi merupakan suatu kegiatan yang mengarah pada pengaturan tata kerja dari satu gabungan usaha bersama dalam mencapai tujuan seefisien mungkin, dengan tidak melepaskan suatu pembagian tugas yang tersusun sesuai dengan rencana maka tujuan bersama akan tercapai. Koordinasi merupakan suatu proses untuk mengembangkan dan memelihara hubungan yang baik diantara kegiatan-kegiatan non fisik. Koordinasi menjadi penting dalam organisasi-organisasi yang komplek karena di dalam organisasi tersebut terdapat banyak kegiatan-kegiatan yang dilakukan banyak orang yang berada dalam bagian yang berbeda. Koordinasi juga diperlukan untuk menyelaraskan kegiatan-kegiatan yang melibatkan lebih dari satu organisasi. Kebutuhan akan koordinasi timbul apabila suatu organisasi memerlukan suatu kesempurnaan dalam mencapai tujuan yang diinginkan dan apabila terdapat keadaan yang saling ketergantungan diantara kegiatan-kegiatan suatu organisasi, maka hasil yang efektif akan dapat tercapai manakala kegiatan-kegiatan tersebut terkoordinasi dengan baik diantara unit-unit atau bagian-bagian dalam organisasi. Begitupun bila melibatkan berbagai organisasi, koordinasi memainkan peranan yang penting dalam merumuskan pembagian tugas, wewenang dan tanggung
27
Y. Hani Handoko. 1995. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta: BPFE, hlm:195
30
jawab dalam setiap organisasi yang terkait, sekaligus melahirkan jaringan hubungan kerja yang diperlukan oleh masing-masing organisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat George R. Terry yang dikutip oleh Sutarto sebagai berikut: “Coordinating is orderly synchronization of efforts to provide the proper amount, timing, and directing of executing resulting in harmonious an unified action to stated objective. (Koordinasi adalah penyerempakkan kerja sebaikbaiknya untuk mengatur keseluruhan secara total dalam waktu yang telah ditentukan dengan bimbingan pelaksanaan yang terarah, sehingga terdapat tindakan yang serasi dan seragam untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan)”.28 Pengertian yang sama dikemukakan oleh Farland yang dikutip oleh Handayaningrat bahwa yang dimaksud dengan koordinasi adalah: “suatu proses dimana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur diantara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan didalam mencapai tujuan bersama.”29 Dengan demikian dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli di atas, memberikan gambaran bahwa suatu kegiatan manajemen dalam suatu organisasi dapat mengarah pada kesatuan gerak dalam mencapai tujuan, maka sangatlah penting menyelenggarakan fungsi koordinasi. Dengan koordinasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh unit-unit dalam sebuah organisasi akan berjalan dengan terpadu, sehingga dapat benar-benar mengarah pada pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, pelaksanaan koordinasi merupakan hal yang penting dalam organisasi, karena koordinasi diperlukan untuk menghindari terjadinya penyimpangan atas rencana yang telah ditetapkan. 28 29
Sutarto. 1993. hlm:144 Soewarno Handayaningrat. 1985. Pengatar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara, hlm:89
31
Adapun menurut Handayaningrat, ciri-ciri koordinasi adalah sebagai berikut: 1. Tanggung jawab koordinasi terletak pada pimpinan. Oleh karena itu koordinasi adalah menjadi wewenang dan tanggung jawab daripada pimpinan. Dikatakan bahwa pimpinan yang berhasil, karena ia telah melakukan koordinasi dengan baik. 2. Koordinasi adalah suatu usaha kerjasama. Hal ini disebabkan karena kerjasama merupakan syarat mutlak terselenggaranya koordinasi dengan sebaik-baiknya. 3. Koordinasi adalah proses yang terus menerus (continues process). Artinya suatu proses yang bersifat kesinambungan dalam rangka tercapainya tujuan organisasi. 4. Adanya pengaturan usaha kelompok secara teratur. Hal ini disebabkan karena koordinasi adalah konsep yang diterapkan di dalam kelompok, bukan terhadap usaha individu tetapi sejumlah individu yang bekerjasama di dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama. 5. Konsep kesatuan tindakan. Kesatuan tindakan adalah inti daripada koordinasi. Hal ini berarti bahwa pimpinan harus mengatur usahausaha/ tindakan-tindakan daripada setiap tindakan individu sehingga diperoleh adanya keserasian di dalam mencapai hasil bersama. 6. Tujuan koordinasi dalah tujuan bersama (common purpose). Kesatuan usaha/ tindakan meminta kesadaran/ pengertian kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan bersama sebagai kelompok dimana mereka bekerja.30 2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Koordinasi Hasibuan berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi koordinasi adalah sebagai berikut.31 1. Kesatuan Tindakan Pada hakikatnya koordinasi memerlukan kesadaran setiap anggota organisasi atau satuan-satuan untuk saling menyesuaikan diri atau tugasnya dengan anggota atau satuan organisasi lainnya agar anggota atau satuan organisasi tersebut tidak berjalan sendiri-sendiri. 30
Handayaningrat. 1991. Administrasi Pemerintah Dalam Pembangunan nasional. Jakarta: PT. Gunung Agung, hlm :42 31 Malayu S.P. Hasibuan. 2006. Manajemen: Dasar, Pegertian dan Masalah. Jakarta: Bumi Aksara, hlm:88
32
Oleh sebab itu, konsep kesatuan tindakan adalah inti dari pada koordinasi. Kesatuan dari pada usaha, berarti bahwa pemimpin harus mengatur sedemikian rupa usaha-usaha dari pada tiap kegiatan individu sehingga terdapat adanya keserasian di dalam mencapai hasil. Kesatuan tindakan ini adalah merupakan suatu kewajiban dari pimpinan untuk memperoleh suatu koordinasi yang baik dengan mengatur jadwal waktu dimaksudkan bahwa kesatuan usaha itu dapat berjalan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. 2. Komunikasi Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari koordinasi, karena komunikasi, sejumlah unit dalam organisasi akan dapat dikoordinasikan berdasarkan rentang dimana sebagian besar ditentukan oleh adanya komunikasi. Komunikasi merupakan salah satu dari sekian banyak kebutuhan manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Perkataan komunikasi berasal dari perkataan “communicare”, yaitu yang dalam bahasa Latin mempunyai arti berpartisipasi ataupun memberitahukan. Dalam organisasi, komunikasi sangat penting karena dengan komunikasi, partisipasi anggota akan semakin tinggi dan pimpinan memberitahukan tugas kepada bawahan harus dengan komunikasi. Dengan demikian, komunikasi merupakan hubungan antara komunikator dengan komunikan dimana keduanya mempunyai peranan dalam menciptakan komunikasi. Berdasarkan pengertian komunikasi sebagaimana disebut di atas terlihat bahwa komunikasi itu mengandung arti komunikasi yang bertujuan merubah
33
tingkah laku manusia. Karena sesuai dengan pengertian dari ilmu komunikasi, yaitu suatu upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas azas-azas, dan atas dasar azas-azas tersebut disampaikan informasi serta dibentuk pendapat dan sikap. Maka komunikasi tersebut merupakan suatu hal perubahan suatu sikap dan pendapat akibat informasi yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sehingga dari uraian tersebut terlihat fungsi komunikasi sebagai berikut: a. Mengumpulkan dan menyebarkan informasi mengenai kejadian dalam suatu lingkungan. b. Menginterpretasikan terhadap informasi mengenai lingkungan. c. Kegiatan mengkomunikasikan informasi, nilai dan norma sosial dari generasi yang satu ke generasi yang lain. Maka dari itu komunikasi itu merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk merubah sikap dan perilaku orang lain dengan melalui informasi atau pendapat atau pesan atau ide yang disampaikannya kepada orang tersebut. 3.
Pembagian Kerja Secara teoritis tujuan dalam suatu organisasi adalah untuk mencapai tujuan bersama dimana individu tidak dapat mencapainya sendiri. Kelompok dua atau lebih orang yang bekerja bersama secara kooperatif dan dikoordinasikan dapat mencapai hasil lebih daripada dilakukan perseorangan. Dalam suatu organisasi, tiang dasarnya adalah prinsip pembagian kerja (Division of labor). Prinsip pembagian kerja ini adalah maksudnya jika suatu organisasi
34
diharapkan untuk dapat berhasil dengan baik dalam usaha mencapai tujuannya, maka hendaknya lakukan pembagian kerja. Dengan pembagian kerja ini diharapkan dapat berfungsi dalam usaha mewujudkan tujuan suatu organisasi. Pembagian kerja adalah perincian tugas dan pekerjaan agar setiap individu
dalam
organisasi
bertanggung
jawab
untuk
melaksanakan
sekumpulan kegiatan yang terbatas. Jadi pembagian kerja pekerjaan menyebabkan kenaikan efektivitas secara dramatis, karena tidak seorangpun secara fisik mampu melaksanakan keseluruhan aktifitas dalam tugas-tugas yang paling rumit dan tidak seorangpun juga memiliki semua keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai tugas. Oleh karena itu perlu diadakan pemilahan bagian-bagian tugas dan membagi baginya kepada sejumlah orang. Pembagian pekerjaan yang dispesialisasikan seperti itu memungkinkan orang mempelajari keterampilan dan menjadi ahli pada fungsi pekerjaan tertentu. 4. Disiplin Pada setiap organisasi yang kompleks, setiap bagian harus bekerja secara terkoordinasi, agar masing-masing dapat menghasilkan hasil yang diharapkan. Koordinasi adalah usaha penyesuaian bagian-bagian yang berbeda-beda agar kegiatan dari pada bagian-bagian itu selesai pada waktunya, sehingga masingmasing dapat memberikan sumbangan usahanya secara maksimal agar diperoleh hasil secara keseluruhan, untuk itu diperlukan disiplin. Disiplin kerja adalah “suatu alat yang digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk mengubah suatu
35
perilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan organisasi dan norma-norma sosial yang berlaku”. Jadi jelasnya bahwa disiplin menyangkut pada suatu sikap dan tingkah laku, apakah itu perorangan atau kelompok yang untuk tunduk dan patuh terhadap peraturan suatu organisasi. Dalam suatu organisasi penerapan peraturan kepada seseorang atau anggota organisasi dikelola oleh pimpinan. Pimpinan diharapkan mampu menerapkan konsep disiplin positif yakni penerapan peraturan melalui kesadaran bawahannya. Sebaliknya bila pimpinan tidak mampu menerapkan konsep disiplin positif pada dirinya sendiri tentu dia juga tidak mungkin mampu menerapkannya pada orang lain termasuk kepada bawahannya. Dengan demikian disiplin itu sangat penting artinya dalam proses pencapaian tujuan, ini merupakan suatu syarat yang sangat menentukan dalam pencapaian tujuan yang dimaksud. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi koordinasi adalah kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja dan disiplin yang jika dilakukan dengan baik maka tujuan koordinasi akan tercapai. 2.1.3 Teknik, Prinsip dan Unsur Koordinasi Untuk membantu pelaksanaan koordinasi agar terlaksana sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan guna mencapai kesatuan tindakan, maka diperlukan beberapa teknik untuk membantu pelaksanaan koordinasi.
36
Griffin, sebagaimana yang dikutip oleh Moekijat mengenai koordinasi sebagai berikut: “Prinsip-prinsip koordinasi adalah kebenaran-kebenaran yang pokok atau apa yang diyakini menjadi kebenaran-kebenaran dalam bidang koordinasi.”32 Selanjutnya Moekijat mengemukakan beberapa teknik yang perlu diterapkan dalam melaksanakan koordinasi, teknik tersebut antara lain: 1. Hierarki manajerial, dipergunakan untuk mencapai koordinasi, maka seorang manajer ditempatkan dan dibebani dengan bagian-bagian atau unit-unit yang saling bergantung. 2. Peraturan dan prosedur, kegiatan-kegiatan rutin koordinasi sering dapat ditangani melalui peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur standar. 3. Peranan penghubung, individu dalam suatu peranan penghubung mengkoordinasikan dua atau lebih unit yang saling bergantung dengan tindak sebagai suatu tempat umum hubungan. 4. Satuan tugas, dapat bertindak apabila kebutuhan akan koordinasi sangat penting. 5. Bagian integrasi, bagian integrasi hampir sama dengan satuan-satuan tetapi bagian-bagian integrasi sifatnya lebih tetap/ permanen.33 Prinsip koordinasi menurut Hicks dan Gullett yang dikutip oleh Moekijat yaitu “Menjelaskan bahwa hasil kerja organisasi yang efektif tercapai apabila semua orang dan sumber daya diselaraskan, diseimbangkan dan diberikan pengarahan.”34 Sedangkan menurut Pabudji yang dikutip pula oleh Moekijat menyebutkan empat prinsip utama koordinasi, sebagai berikut: 1. Koordinasi harus dimulai dari permulaan sekali; 2. Koordinasi adalah tahap continue; 3. Sepanjang kemungkinan koordinasi harus merupakan pertemuanpertemuan bersama; 32
Moekijat. 1994. Koordinasi: Suatu Tijauan Teoritis. Bandung: Mandar Maju, hlm: 36 Moekijat. 1994. Koordinasi: Suatu Tijauan Teoritis. Bandung: Mandar Maju, hlm: 42 34 Moekijat. 1994. Koordinasi: Suatu Tijauan Teoritis. Bandung: Mandar Maju, hlm: 37 33
37
4. Perbedaan-perbedaan dalam pandangan harus dikemukakan secara terbuka dan diselidiki dalam hubungan situasi seluruhnya.35 Dalam
administrasi
pemerintah,
koordinasi
dimaksudkan
untuk
menyelaraskan dan menyatukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Seperti pernyataan yang disampaikan oleh Dann Sugandha yang mengemukakan: “Pada dasarnya suatu organisasi merupakan suatu sistem yang bagianbagian adalah unit-unit yang ada dalam organisasi tersebut. Setiap unit tidak dapat melepaskan diri dari unit lainnya. Demikian halnya karena (1) Suatu unit tidak mungkin dapat berfungsi dengan baik tanpa dibantu oleh unit yang lain, (2) Tiap unit berkewajiban mendukung pelaksanaan unit lainnya bila seluruh organisasi ingin bergerak dengan lancer dan efektif melaksanakan tugasnya mencapai tujuan. Disinilah pentingnya penerapan prinsip-prinsip koordinasi tersebut.” 36 Berkaitan dengan prinsip-prinsip koordinasi, Sugandha menjelaskan bahwa: “Untuk menciptakan koordinasi yang baik dalam organisasi, maka diperlukan suatu landasan pelaksanaan koordinasi yaitu prinsip-prinsip fungsional dalam koordinasi. Prinsip-prinsip fungsionalisasi ini merupakan titik tolak pemikiran untuk dapat memahami atau membuka jalan dalam menciptakan suatu tata hubungan kerja atau kondisi yang dikehendaki dalam proses koordinasi sehingga masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan tersebut dapat tercapai.”37 Lebih lanjut menurut Sugandha untuk menciptakan koordinasi yang baik dalam organisasi, maka koordinasi yang dilakukan harus didasarkan pada prinsipprinsip koordinasi sebagai berikut: 1. Adanya kesepakatan dan kesatuan pengertian mengenai sasaran yang harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama.
35
Moekijat. 1994. Koordinasi: Suatu Tijauan Teoritis. Bandung: Mandar Maju, hlm: 38-39 Dann Sugandha. 1988. Koordinasi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia, hlm: 12 37 Dann Sugandha. 1988. Koordiansi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia, hlm: 47 36
38
2. Adanya kesepakatan mengenai kegiatan atau tindakan yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak, termasuk target dan jadwalnya. 3. Adanya ketaatan atau loyallitas dari setiap pihak terhadap bagian tugas masing-masing serta jadwal yang telah diterapkan. 4. Adanya saling tukar informasi dari semua pihak yang bekerjasama mengenai kegiatan dan hasilnya pada suatu saat tertentu, termasuk masalah-masalah yang dihadapi masing-masing. 5. Adanya koordinator yang dapat memimpin dan menggerakkan serta memonitor kerjasama tersebut, serta memimpin pemecahan masalah bersama. 6. Adanya informasi dari berbagai pihak yang mengalir kepada koordinator sehingga koordinator dapat memonitor seluruh pelaksanaan kerjasama dan mengerti masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh semua pihak. 7. Adanya saling menghormati terhadap wewenang fungsional masingmasing pihak sehingga tercipta semangat untuk saling membantu.38 Namun, agar tujuan organisasi dapat tercapai dan dapat berjalan dengan maksimal, maka unsur-unsur koordinasi pun haruslah terpenuhi semaksimal mungkin. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur koordinasi merupakan bagianbagian yang membentuk koordinasi. Jika salah satu tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan koordinasi tidak berjalan maksimal dan tujuan koordinasi tidak dapat tercapai. Sugandha pun menjelaskan mengenai unsur-unsur koordinasi sebagai berikut: 1. Unit-unit atau organisasi-organisasi adalah kelompok-kelompok kerja yang tentunya mempunyai fungsi yang berbeda. 2. Sumber-sumber atau potensi yang ada pada unit-unit organisasi atau pada organisasi-organisasi yaitu tenaga kerja, keterampilan dan pengetahuan 3. Gerak kegiatan yaitu segala daya upaya, segala tindakan yang dikerjakan oleh pejabat-pejabat maupun kelompok kerja dalam melakukan tugasnya. 4. Kesatupaduan yaitu terdapat pertautan atau hubungan diantara sesamanya sehingga mewujudkan suatu integrasi atau kesatuan yang kompak.
38
Dann Sugandha. 1988. Koordinasi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia, hlm: 47
39
5. Keserasian yaitu adanya urutan-urutan pekerjaan sesuatu yang tersusun secara logis atau dilakukan dalam waktu yang bersamaan akan tetapi tidak menimbulkan duplikasi (pengulangan) atau pertentangan. 6. Arah yang sama yaitu adanya tujuan dan sasaran yang sama diantara unit-unit atau organisasi-organisasi. 39 Keberhasilan seorang koordinator dalam melaksanakan koordinasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain oleh jenis permasalahan atau persoalan yang dihadapi serta cara yang digunakan dalam melaksanakan koordinasi itu sendiri. Sehubungan dengan hal itu, ada beberapa langkah untuk menciptakan koordinasi yang baik. Seperti yang dikemukakan oleh Manullang, yaitu: 1. Mengadakan pertemuan resmi antara unsur-unsur, unit-unit atau instansi-instansi yang akan dikoordinasikan 2. Mengangkat seseorang, suatu tim atau panitia koordinator yang khusus bertugas melakukan kegiatan-kegiatan koordinasi 3. Membuat pedoman yang diberikan kepada setiap unit untuk dijadikan pedoman atau acuan dalam melaksanakan tugas masing-masing 4. Mengadakan pertemuan-pertemuan informal antara pimpinan atau atasan dengan bawahannya dalam rangka memberikan bimbingan, konsultasi dan pengarahan, serta menyelesaikan masalah.40 2.1.4 Jenis-jenis Koordinasi Handayaningrat mengemukakan tentang pengertian koordinasi yakni “Usaha penyesuaian bagian-bagian yang berbeda-beda agar kegiatan dari bagianbagian itu selesai pada waktunya, sehingga masing-masing dapat memberikan sumbangan usahanya secara maksimal, agar diperoleh hasil secara keseluruhan.”41
39
Dann Sugandha. 1988. Koordinasi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia, hlm: 13-14 40 Manullang. 1991. Pokok-pokok Manajemen. Bandung: Mandar Maju, hlm: 78-79 41 Soewarno Handayaningrat. 1994. Pengatar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara, hlm:88
40
Selanjutnya Handayaningrat membedakan koordinasi menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut: 1. Koordinasi internal, yaitu koordinasi yang dilakukan oleh atasannya secara langsung. Dalam koordinasi ini Kepala/ Manajer wajib mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan anggotanya, apakah anggotanya telah melakukan tugas pekerjaannya sesuai dengan kebijaksanan atau tugas pokoknya. Untuk mengetahui kemampuan Kepala/ Manajer dalam mengkoordinasikan anggotanya, tergantung dari berapa jumlah anggota yang dapat dikoordinasikan secara efektif. Jika terdapat adanya rentang/ jenjang pengendalian (span of control) yang luas berarti jumlah anggotanya yang harus dikendalikan banyak. Sebaliknya jika terdapat adanya rentang atau jenjang pengendalian (span of control) yang sempit, maka jumlah anggota yang harus dikendalikan sedikit. 2. Koordinasi fungsional, yaitu koordinasi yang dilakukan secara horizontal. Hal ini disebabkan karena sebuah unit organisasi tidak mungkin dapat melakukan sendiri tanpa bantuan unit oganisasi lainnya. Dengan perkataan lain bahwa koordinasi fungsional wajib dilakukan karena unit-unit/ organisasi lainnya mempunyai hubungan secara fungsional dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Dalam koordinasi fungsional ini dapat pula dibedakan antara koordinasi fungsional yang bersifat internal dan eksternal. a) Koordinasi fungsional yang berifat internal, yaitu bahwa unit-unit dalam organisasi diperlukan koordinasi secara horizontal. Koordinasi fungsional ini diperlukan karena antara unit satu dengan unit lainnya mempunyai hubungan kerja secara fungsional. b) Koordinasi fungsional yang bersifat eksternal, yaitu koordinasi antara organisasi satu dengan organisasi lainnya. Hal ini bisa menyangkut satu atau beberapa organisasi. Koordinasi fungsional ini dilakukan karena sebuah organisasi tidak mungkin menyelenggarakan tugasnya tanpa bantuan dari organisasi lainnya.42 Jenis-jenis koordinasi juga dikemukakan oleh Ibnu Syamsi dalam bukunya yang berjudul “Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen”, sebagai berikut: 1. Koordinasi Vertikal, yaitu koordinasi yang dilakukan atasan kepada bawahannya. Dengan adanya koordinasi tersebut diharapkan kegiatankegiatan dalam unit kerja yang bersangkutan dapat tercapai dengan efisien. 42
Soewarno Handayaningrat. 1994. Pengatar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara, hlm:91
41
2. Koordinasi Horizontal, yaitu koordinasi yang dilakukan dalam unitunit yang sederajat antara instansi yang sederajat. 3. Koordinasi Diagonal, yaitu koordinasi yang dapat terjadi dalam organisasi yang pengelolaannya atau fungsinya secara sentralisasi.”43 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia juga membedakan tipe atau jenis koordinasi sebagai berikut: 1. Koordinasi Hirarkis (Vertikal), yaitu koordinasi harus dilakukan oleh seorang pejabat pimpinan dalam suatu instansi pemerintah terhadap pejabat (pegawai) atau instansi bawahannya. 2. Koordinasi Fungsional, yaitu koordinasi yang harus dilakukan oleh seorang pejabat atau suatu instansi terhadap pejabat atau instansi yang tugasnya sering berkaitan berdasarkan azas fungsionalnya. Koordinasi ini dapat dibedakan atas: a) Koordinasi Fungsional Horizontal, yaitu koordinasi yang dilakukan oleh seorang pejabat atau suatu instansi terhadap pejabat atau instansi lain yang setingkat, baik dalam satu instansi maupun dengan instansi lain. b) Koordinasi Fungsional Diagonal, yaitu koordinasi yang dilakukan oleh seorang pejabat atau suatu instansi terhadap pejabat atau instansi lain yang lebih rendah tingkatannya tetapi buan bawahannya. 3. Koordinasi Instansional, yaitu koordinasi yang dilakukan oleh beberapa instansi yang menangani satu urusan tertentu yang bersangkutan.44 2.1.5 Metode dan Teknik Koordinasi Menurut Handayaningrat, metode dan teknik yang dapat dipakai dalam melakukan koordinasi sebagi berikut: 1. Koordinasi melalui kewenangan yaitu penggunaan wewenang merupakan salah satu cara untuk menjamin terlaksananya koordinasi dengan baik. 2. Koordinasi melalui konsensus yaitu melalui tiga diantaranya konsensus melalui motivasi, artinya berupa kepentingan bersama nilainilai yang dimiliki bersama yang dapat dipergunakan dalam menjamin kelancaran koordinasi, konsensus melalui timbal balik artinya diusahakan adanya keseimbangan antara tuntutan organisasi atau tuntutan individual, baik yang bersifat material maupun yang bersifat 43 44
Ibnu Symasi. 1994. Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen. hlm: 115 Lembaga Administrasi Negara. 1990. Sistem Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: LAN RI, hlm: 436
42
non material dan konsensus melalui ide artinya bahwa setiap orang yang bekerja dalam organisasi berusaha mengidentifikasi dirinya dalam keseluruhan tujuan yang hendak dicapai. 3. Koordinasi melalui pedoman kerja yaitu setiap kebijakan yang digariskan pimpinan merupakan landasan atau petunjuk yang harus disusun atas dasar manual, agar terdapat adanya kesatuan gerak dan kesatuan tindak dalam rangka melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan. 4. Koordinasi melalui suatu forum, yaitu dengan menggunakan wadah tertentu sebagai cara mengadakan tukar informasi, mengadakan konsultasi, mengadakan kerjasama dalam memecahkan masalah dan pengambilan keputusan bersama dalam pelaksanaan tugas bersama. 5. Koordinasi melalui konferensi yaitu melalui rapat-rapat atau sidangsidang baik yang dilakukan pada tingkat pimpinan maupun pelaksana.45 Berdasarkan uraian metode diatas maka dapat disimpulkan bahwa koordinasi dapat dilakukan melalui metode dan teknik yang berbeda, tergantung dari organisasi mana yang melakukan koordinasi dan tujuan apa yang dicapai dari adanya koordinasi tersebut. 2.1.6 Mekanisme dan Proses Koordinasi Mekanisme dan proses koordinasi sangat perlu dilakukan dalam melaksanakan program-program dari suatu organisasi. Ditambah lagi dengan adanya organisasi yang di dalam pelaksanaan operasionalnya dilakukan lebih dari satu unit atau instansi. Oleh karena itu, mekanisme dan proses koordinasi perlu dilakukan demi tercapainya tujuan yang diinginkan. Seperti yang dikemukakan oleh Taliduhu Ndraha yang mengemukakan tentang mekanisme dan proses koordinasi sebagai berikut: 1. Instansi menginformasikan Koordinator. 45
bahan-bahan
koordinasi
kepada
Soewarno Handayaningrat. 2006. Pengatar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara, hlm: 67
43
2. Koordinasi dengan menggunakan sarana atau wadah tertentu. 3. Oleh instansi yang bersangkutan, hasil koordinasi dilaporkan kepada atasan masing-masing 4. Instansi yang bersangkutan menginformasikan hasil koordinasi itu kepada instansi lain untuk diketahui dan diinstruksikan kepada bawahannya.46 2.2 Efektivitas Pelayanan 2.2.1 Pengertian Efektivitas Kata efektivitas berarti telah tercapainya sasaran atau tujuan sesuai dengan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sesuai dengan pendapat Emerson yang dikutip oleh Handayaningrat bahwa “Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Jelasnya apabila sasaran atau tujuan telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya adalah efektif”.47 Pengertian lain mengenai efektivitas dikemukakan oleh Sondang P. Siagian yang menyatakan bahwa: “Efektif dapat diartikan pencapaian tujuan suatu usaha atau kegiatan berencana, dapat diselesaikan tepat waktu dengan target yang telah ditentukan. Sedangkan yang dimaksud dengan efektivitas mengandung pengertian suatu kegiatan yang dilaksanakan selalu dapat terselesaikan sesuai dengan target yang telah ditetapkan”.48 Berdasarkan uraian pendapat di atas dapat dikatakan bahwa efektivitas merupakan keadaan yang menunjukkan keberhasilan dari suatu kegiatan dalam mencapai sasaran atau tujuan yang telah disepakati bersama sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Efektivitas juga dapat diartikan sebagai
46
Taliduhu Ndraha. 2008, hlm: 66 Soewarno Handayaningrat. 2006. Pengatar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara, hlm: 16 48 Sondang P. Siagian. 1990. Filsafat Administrasi: Jakarta: CV Haji Masagung, hlm: 51 47
44
kemampuan berhasilnya suatu pekerjaan yang dilakukan pegawai sehingga dapat berguna dan bermanfaat sesuai dengan yang diharapkan. Selanjutnya
Siagian
dalam
bukunya
“Filsafat
Administrasi”
mengindikasikan efektivitas kerja berdasarkan beberapa indikator: 1) Ketapatan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan. 2) Adanya inisiatif dalam menyelesaikan pekerjaan. 3) Pelakanaan kerja sesuai dengan tugas pokok. 4) Bekerja dengan cermat untuk menekan tingkat kesalahan.49 Sedangkan pengukuran efektivitas menurut Dharma adalah 1) Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidak dengan waktu yang direncanakan. 2. Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). 3. Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai.50 Sedarmayanti
pun mengungkapkan dengan pengukuran yang sama
mengenai efektivitas sebagai berikut: 1. Tepat waktu, yaitu penyelesaian tugas yang ditetapkan sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga pekerjaan yang dilaksanakan dapat berhasil secara efektif. 2. Tetap kualitas, yaitu pekerjaan yang ditangani oleh pegawai sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh instansi, pekerjaan dilakukan dengan penuh ketelitian dan kesungguhan sehingga terbebas dari kesalahan dan hasil kerja dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat. 3. Tepat kuantitas, yaitu kemampuan pegawai untuk memenuhi target atau jumlah yang ditetapkan dan dapat menyelesaikan pekerjaan lebih banyak dengan tanggung jawab yang lebih besar.51
49
Sondang P. Siagian. 1990. Filsafat Administrasi: Jakarta: CV Haji Masagung, hlm: 151 Agus Dharma. 2001. Manajemen Prestasi Kerja. Jakarta: CV Rajawali, hlm: 154 51 Sedarmayanti. 2001. Sumber Daya Manusia dan Produktifitas Kerja Cetakan Kedua. Jakarta: CV Mandar Maju, hlm: 65 50
45
Sementara itu, efektivitas dilihat dari sudut pandang orang menurut Magdalena Jamin yang dikutip dari pendapat Steers, efektivitas adalah sebagai berikut: Efektivitas organisasi mencakup tiga sudut pandang antara lain optimasi tujuan yang akan dicapai, yaitu bila beberapa tujuan itu mendapat perhatian dari lokasi sumber daya dan dari yang lebih besar, berkaitan dengan interaksi antara organisasi dengan keadaan sekelilingnya dan pemahaman prospek perilaku yang lebih memusatkan perhatian pada pentingnya peranan perilaku manusia pada proses pencapaian tujuan organisasi dan dalam efektivitas suatu organisasi. Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan pengertian efektivitas yaitu keberhasilan suatu aktivitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan (sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya. 2.2.2 Pengertian Pelayanan Publik/ Umum Pelayanan publik (public service) oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping abdi negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara sejahtera (walfare state). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/ Daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
46
Penyelenggaraan pelayanan umum menurut Lembaga Administrasi Negara dapat dilakukan dengan berbagai macam pola antara lain : 1. Pola pelayanan fungsional, yaitu pola pelayanan umum yang diberikan oleh suatu instansi pemerintah sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya. 2. Pola pelayanan satu pintu, yaitu pola pelayanan umum yang diberikan secara tunggal oleh satu instansi pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenangan dari instansi pemerintah lainnya yang bersangkutan. 3. Pola pelayanan satu atap, yaitu pola pelayanan umum yang dilakukan secara terpadu pada suatu tempat/ tinggal oleh beberapa instansi pemerintah yang bersangkutan sesuai kewenangannya masing-masing. 4. Pola pelayanan secara terpusat, yaitu pola pelayanan umum yang dilakukan oleh satu instansi pemerintah yang bertindak selaku koordinator terhadap pelayanan instansi pemerintah lainnya yang terkait dengan bidang pelayanan umum yang bersangkutan.52 Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah) yang efektif dalam pencapaian tujuan dan sasaran. Untuk mencapai pelayanan publik yang profesional maka perlu memahami prinsipprinsip pelayanan publik yang baik yaitu, kesederhanaan, kejelasan, kepastian, waktu, akurasi serta kenyamanan. Prinsip pelayanan publik di atas harus disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dalam mewujudkan pelayanan publik yang prima sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pelayanan umum/ publik adalah pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan 52
Lembaga Administrasi Negara. 1990. Sistem Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: LAN RI, hlm: 437
47
perundang-undangan
yang
didalamnya
harus
terdapat
akuntabilitas
dan
responsibilitas serta mutu/ kualitas pelayanan. 2.2.3 Pengertian Efektivitas Pelayanan Mengingat kembali hakikat dari efektivitas itu sendiri bahwa suatu program/ kegiatan dikatakan efektif adalah jika kegiatan tersebut sasaran dan tujuannya tercapai. Maka dari itu efektifitas pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat dikatakan efektif jika pelayanan tersebut berhasil memuaskan dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Menurut Emerson yang dikutip oleh Soewarno menyatakan bahwa “Efektivitas pelayanan publik merupakan pengukuran dalam arti tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditemukan sebelumnya”.53 Sedangkan Siagian mendefinisikan efektivitas pelayanan adalah sebagai berikut: “Efektivitas pelayanan publik berarti penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditentukan, artinya pelaksanaan sesuatu tugas dinilai baik atau tidak sangat tergantung pada penyelesaian tugas tersebut dengan waktu yang telah ditetapkan”.54 Menurut Stewart konsep efektivitas pelayanan meliputi: “Efektivitas pelayanan sangat ditentukan dari mampu tidaknya unsur aparatur negara mengakomodasi tuntutan kebutuhan masyarakat dengan menempatkan pelanggan di “kursi pengemudi” dan mendengar keluhan masyarakat lalu aparat mengakomodasikannya. Keinginan masyarakat akan pelayanan merupakan acuan bagi aparat dalam melakukan kajian akan konsep pelayanan yang cepat melalui pemberdayaan”. (Stewart, 1994: 13).
53
Soewarno Handayaningrat. 2006. Pengatar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara, hlm: 16 54 Soendag P. Siagian. Filsafat Administrasi. Jakarta: CV Haji Masagung, hlm:151
48
Sedangkan Hutahuruk menyatakan efektifitas pelayanan: “Efektivitas pelayanan adalah sejauh mana kebutuhan masyarakat dapat dilayani oleh aparat penyedia jasa pelayanan jalan, air minum dan sebagainya, apakah pelayanan sipil meliputi hak warga negara mendapatkan kelengkapan kewarganegaraan dimana warga negara memiliki kewajiban untuk memenuhinya. Efektifitas pelayanan kepada masyarakat juga menyangkut hak aktif maupun pasif, hak positif maupun negatif. Segala yang berkaitan dengan hak dan kewajiban terpenuhinya dan diterima sebagai kebutuhan masyarakat itulah yang disebut efektifitas pelayanan kepada masyarakat”. (Hutahuruk,1998: 216) Dari beberapa pengertian tentang efektivitas pelayanan menurut beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan dikatakan efektif jika orang yang dilayani (dalam hal ini disebut publik) merasa semua kebutuhannya terpenuhi oleh penyedia layanan (dalam hal ini yaitu aparat negara). 2.3 Hubungan Koordinasi dengan Efektivitas Pelayanan Dalam segala kegiatan yang mengikutsertakan beberapa unit, pejabat dan orang ataupun beberapa instansi, koordinasi ini akan memegang peranan penting. Koordinasi akan sungguh diperlukan bilamana setiap instansi pemerintah ataupun swasta ingin mencapai produktifitas yang berhasilguna dan berdayaguna. Jadi, agar suatu organisasi berjalan efektif dan efisien maka semua unit dan fungsi dalam organisasi itu harus bersatu padu dalam setiap gerakanya. Dann Sugandha menyatakan bahwa: “Agar di dalam suatu organisasi atau di dalam administrasi pemerintahan terdapat hasil kerja yang efektif, maka setiap kegiatan manusianya harus terkoordinasi”.55
55
Dann Sugandha. 1988. Koordinasi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia, hlm: 41
49
Karena koordinasi dapat menyatupadukan setiap gerak dari seluruh potensi dan unit-unit organisasi yang berbeda fungsi tetapi mengarah pada sasaran yang sama guna memudahkan pencapaian tujuan secara efektif, maka dengan demikian koordinasi sangat berhubungan erat dan sangat berpengaruh positif dan siginikan dalam suatu instansi/ organisasi untuk mencapai efektivitas pelayanan yang diberikan oleh instansi/ organisasi tersebut. 2.4 Penelitian Terdahulu Melihat judul dari masalah penelitian yang akan diteliti, maka perlu melakukan perbandingan serta mengungkapkan fenomena yang sama dalam sudut pandang yang berbeda sehingga diharapkan dapat memperkaya pengetahuan. Adapun penelitian terdahulu, penulis menuangkannya dalam bentuk tabel sebagai berikut: Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No 1.
Tahun Penelitian 2012
Variabel
Alat Analisis
X = Koordinasi Antar Instansi Y = Efektivitas Penerbitan
Methode Successive Intervals (MSI) dan Analisis Koefisien Kolerasi
Metode Metode Eksplanasi, Pendekatan kuantitatif
Hasil Terdapat pengaruh yang kuat antara koordinasi antar instansi terhadap efektivitas penerbitan Surat Izin Pengambilan Air Bawah Tanah dengan nilai korelasi sebesar 0,638 atau 40,70 %
50
2.
2009
X = Koordinasi Antar Instansi Y = Efektivitas Penerbitan
Koefisien Korelasi Rank Sparman dan Koefisien Determinasi
Metode Eksplanasi
Terdapat pengaruh koordinasi antar instansi terhadap efektivitas penerbitan surat izin penyelanggaraan reklame dengan nilai determinasi sebesar 55,35%
3.
2010
X = Kordinasi Y = Efektivitas Pemungutan
Analisis Korelasi
Metode Eksplanasi
Terdapat pengaruh yang kuat antara koordinasi terhadap efektivitas pemungutan pajak reklame dengan hasil nilai r 0,70 dengan persentase sebesar 49%.
4.
2009
X=koordinasi Y= efektivitas penerbitan
Koefisien korelasi rank sparman dan koefisien determinasi
Metode eksplanasi
Terdapat pengaruh yang kuat antara koordinasi terhadap efektivitas penerbitan dengan hasil nilai r 0,788 dan nilai kd = 62,09
5.
2010
X= koordinasi Y= efektivitas penerbitan
Uji korelasi rank spearman dan koefisien detertminasi
Metode eksplanasi
Terdapat pengaruh yang sangat kuat antara koordinasi terhadap efektivitas penerbitan dengan nilai r 0,82 dengan persentase 67% .
51
6.
2010
X= koordinasi Y= efektivitas penerbitan
Korelasi sparman
rank
Metode eksplanasi
7.
2010
X= koordinasi Y= efektifivitas penerbitan
Korelasi sparman
rank
Metode eksplanasi
Terdapat pengaruh yang kuat antara koordinasi terhadap efektivitas penerbitan dengan nilai r 0,688dan nilai kd 4.62% Terdapat pengaruh yang kuat antara koordinasi terhadap efektivitas penerbitan dengan nilai r 0,682 dan nilai kd 58,78%
1. Penelitian yang dilakukan oleh Vinny Agustina, Unpad 2012 dengan judul skripsi Pengaruh Koordinasi antar instansi terhadap Efektivitas Penerbitan Surat Izin Pengambilan Air Bawah Tanah (SIPA) di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung. Terdapat kesamaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan penulis lakukan, yakni samasama memiliki dua variable yang akan diuji, yakni variable koordinasi dan variable efektivitas. Metode yang penelitian terdahulu lakukan adalah metode eksplanasi dengan menggunakan alat analisis korelasi. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan koordinasi memiliki pengaruh yang kuat terhadap efektivitas penerbitan surat Izin Pengambilan Air Bawah Tanah (SIPA) di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung. Hal ini terlihat dari hasil pengolahan data dengan nilai korelasi sebesar 0,638 atau 40,70 % berada pada kategori kuat.
52
2.
Taufik, Unpad 2009 dengan judul skripsi Pengaruh Koordinasi Terhadap Efektivitas Penerbitan Izin Penyeleggaraan Reklame dengan variabel X prinsip-prinsip koordinasi dari Sughanda dan variabel
Y efektivitas
penerbitan yaitu tercapainya tujuan dan waktu penyelesaian hasil kerja. Diperoleh hasil determinasi 55,35% dan kemudian dapat disimpulkan bahwa koordinasi
berpengaruh
kuat
terhadap
Efektivitas
Penerbitan
Izin
penyelenggaraan reklame. 3.
Efriani Widia Ningsih, unpad 2010, dengan judul skripsi Pengaruh Koordinasi antara Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKD) dengan Dinas Tata Kota Terhadap Efektivitas Pemungutan Pajak Reklame di Kota Cilegon dengan hasil nilai r 0,70 dengan persentase sebesar 49% yang membuktikan bahwa pengaruh koordinasi antara Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKD) dengan Dinas Tata Kota Terhadap Efektivitas Pemungutan Pajak Reklame di Kota Cilegon berada pada kategori kuat, sehingga hipotesis alternatif (Ha) diterima.
4.
Devina Amelinda, unpad 2009 dengan judul skripsi Pengaruh Koordinasi Antara Badan Penanaman Modal Dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BMPPT) Kota Bandung Dengan Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (DISTARCIP) Kota Bandung Terhadap Efektivitas Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Dari hasil pengolahan data ditarik kesimpulan bahwa koordinasi antara Badan Penanaman Modal Dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BMPPT) Kota Bandung Dengan Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (DISTARCIP)
53
Kota Bandung berpengaruh terhadap Efektivitas Penerbitan Izin IMB dengan nilai r 0,788 dan nilai kd = 62,09 berada dalam kategori kuat. 5. Rena Juwita, Unpad 2010 dengan judul skripsi Pengaruh Koordinasi Antara Dinas Pertamanan Dan Satuan Polisi Pamong Praja terhadap Efektivitas Penerbitan Reklame Isidental di Kota Bandung. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rank spearman dapat disimpulkan terdapat pengaruh sebesar 0,82 atau dapat dikatakan hubungan korelasi berada dalam kategori “sangat kuat” dengan persentase sebesar 67%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koordinasi sudah baik. 6. Reza Muttaqin, Unpad 2010 dengan judul skripsi Pengaruh Koordinasi Antara Badan Penanaman Modal Dan Perizinan (BPMP) Kabupaten Bandung Dengan Dinas Perumahan, Penataan Ruang Dan Kebersihan (Dispertasih) Kabupaten Bandung Terhadap Efektivitas Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Dari hasil analisis data diperoleh nilai r = 0,688 dan nilai kd 454,62 berada pada kategori kuat dan sangat berpengaruh. 7. Deriana, Unpad 2010 dengan judul Pengaruh Koordinasi Terhadap Efektivitas Penerbitan Surat Izin Mendirikan Bangunan Di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Cimahi. Dari hasil analisis menggunakan rank spearman dengan metode eksplanasi diperoleh hasil nilai r 0,682 dan nilai kd 58,78% berada pada kategori kuat dan berpengaruh.
54
Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang penulis lakukan adalah perbedaan dalam pengggunaan teori dan metode penelitian diantaranya: 1. Peneliti menggunakan teori koordinasi menurut Hasibuan yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi koordinasi diantaranya kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja dan disiplin. Sedangkan teori efektivitas pelayanan, penulis menggunakan teori menurut Hutapea yaitu alat ukur efektvitas pelayanan yang terdiri dari kejelasan dan kepastian, kemudahan dan kesederhanaan serta ketepatan dan kecepatan. 2. Alat analisis yang penulis gunakan adalah korelasi product moment dan koefisien determinasi terdpat kesamaan dengan salah satu penelitian sebelumnya di atas. 3. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode asosiatif yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui pengaruh dua variabel atau lebih, sedangkan pendekatannya menggunakan pendekatan kuantitatif, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan metode penelitian eksplanasi.
55
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Metode penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu.56 Metode yang digunakan peneliti adalah metode asosiatif, yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara variabel bebas dalam hal ini adalah variabel kesatuan tindakan (X1), komunikasi (X2), pembagian kerja (X3), disiplin (X4) dan variabel terikat dalam hal ini adalah efektivitas pelayanan SAMSAT (Y). Selain menggunakan
menggunakan
metode
penelitian
asosiatif,
peneliti
juga
pendekatan kuantitatif. Dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif maka data yang diperoleh dapat akurat sesuai dengan perhitungan statistik. Teori-teori, hipotesis dan pengumpulan data dapat diperoleh secara objektif. Berdasarkan beberapa uraian di atas
penulis mengambil kesimpulan,
terlihat bahwa metode asosiatif adalah metode yang digunakan untuk menguji hubungan sebab akibat antara dua variabel atau lebih yang muncul sebagai suatu permasalahan dalam hal ini adalah efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) yang diduga berpengaruh terhadap koordinasi antar intansi pada SAMSAT yang belum terlaksana sesuai dengan harapan.
56
Sugiyono. 2011. Metode Penelitan Administrasi. Bandung: Alfabeta, hlm: 11
56
3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diteliti. Arikunto menuturkan bahwa: “populasi adalah keseluruhan objek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi.”57 Populasi penelitian ini adalah seluruh pegawai atau petugas dari ketiga instansi pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) yang dijadikan sebagai objek penelitian yakni Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero) dengan keseluruhan jumlah pegawai sebanyak 43 Orang. Adapun rincian pegawai dari ketiga instansi tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Klasifikasi Jumlah Pegawai Pelayanan SAMSAT pada CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan Berdasarkan Instansi/ Jabatan No. Instansi/ Jabatan CPDP Daerah Prov Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan 1. Kepala Cabang 2. Kepala Bagian Tata Usaha 3. Kepala Seksi Penerimaan dan Penetapan 4. Kepala Seksi Pendataan dan Penagihan 5. Pelaksana Jumlah
6. 7.
57
Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) Kepala Seksi STNK Pelaksana Jumlah
Jumlah 1 1 1 1 20 24
1 15 16
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pedekatan Praktek: Jakarta: Rineka Cipta, hlm: 130
57
PT. Jasa Raharja (Persero) 8. 9.
Kepala Bidang Pelaksana Jumlah
1 2 3
TOTAL 43 Sumber : Bagian Kepegawaian Kantor Bersama SAMSAT pada CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. 3.2.2 Sampel Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.58 Untuk dapat menentukan sampel yang digunakan dalam penelitian perlu adanya teknik sampling. Dikarenakan jumlah populasi di dalam penelitian ini bejumlah sedikit, maka di dalam melakukan pengumpulan data penulis menggunakan teknik pengambilan sampel jenuh, yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Istilah lain sampel jenuh adalah sensus, dimana anggota populasi dijadikan sampel. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai yang ada pada SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan yaitu sebanyak 43 orang. Kemudian setelah mendapatkan data-data dengan menggunakan angket, penulis memasukannya ke dalam rumus dengan menggunakan bantuan software SPSS (Statistical Program for Social Sciense) for Windows.
58
Sugiyono. 2011. Metode Penelitan Administrasi. Bandung: Alfabeta, hlm: 91
58
3.3 Jenis Data Untuk keperluan analisis data, maka peneliti memerlukan data pendukung yang berasal dari dalam dan luar instansi. Karena itu, peneliti menggunakan dua jenis sumber data yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan cara observasi non partisipan atau pengamatan langsung di lapangan dan hasil wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha dan Bendahara Penerimaan pada CPDP Daerah Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan, kepala bidang POLRI dan Jasa Raharja serta angket yang diperoleh dari responden ketiga instansi. Sementara sumber data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada dan merupakan data pendukung dari data primer. Data ini diperoleh melalui catatan yang dimiliki instansi berupa data pegawai, uraian tugas pokok dan fungsi pegawai, rekap absen, media internet, buku-buku perundangundangan yang ada pada SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. 3.4 Variable Penelitian Operasionalisasi variabel-variabel dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memudahkan atau mengarahkan dalam menyusun alat ukur data yang diperlukan berdasarkan kerangka konseptual penelitian yang telah dikemukakan batasan operasional dari masing-masing penelitian.
59
Mengacu pada uraian dari hipotesis pada bab sebelumnya, maka penulis membuat definsi konsep dari hipotesis sebelumnya sebagai berikut: 1. Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah koordinasi (X) antar instansi pada SAMSAT yang terdiri dari Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero) berupa usaha kerja sama yang didalamnya terdapat kesatuan tindakan (X1), komunikasi (X2), pembagian kerja (X3) dan disiplin (X4) dari seluruh potensi dan unit-unit atau oganisasi-organisasi yang berbeda fungsi secara benar-benar mengarah dalam pelayanan SAMSAT, sehingga dapat saling mengisi, saling membantu dan saling melengkapi dalam pencapaian tujuan. Untuk mengukur koordinasi CPDP Daerah dengan POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero). 2. Variabel terikat (devendent variable) dalam penelitian ini adalah efektivitas pelayanan SAMSAT
pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah
Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan yang telah dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan oleh CPDP Daerah, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero). Untuk mengukur efektivitas pelayanan SAMSAT dapat menggunakan alat ukur efektivitas pelayanan. Untuk memperjelas arah pembahasan, penulis menjabarkan variabelvariabel penelitian beserta dimensi-dimensinya kedalam rincian lebih lanjut sebagai operasionalisasi variabel pada halaman berikutnya.
60
Tabel 3.2 Operasionalisasi Variabel Variabel Variabel X
Dimensi 1. Kesatuan Tindakan
Variabel bebas: Koordinasi antar instansi pada pelayanan SAMSAT yaitu terdiri dari Dispenda, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero) Faktor-faktor Koordinasi (Hasibuan, 2006:88)
2. Komunikasi
3. Pembagian Kerja
Indikator Variabel
Skala
1. Pelaksana SAMSAT yaitu ketiga instansi mengetahui kewajiban masing-masing dalam memberikan pelayanan yang berfokus pada pencapaian tujuan bersama 2. Kesadaran masing-masing instansi dalam memahami pentingnya koordinasi dalam pelayanan SAMSAT. 3. Setiap instansi menyepakati kegiatan masing-masing yang harus dilakukan agar duplikasi pekerjaan tidak terjadi. 4. Kesadaran antar instansi dalam bertanggungjawab atas beban pekerjaan masing-masing 5. Mengumpulkan dan menyebarkan informasi kepada seluruh instansi terkait masalah pelayanan SAMSAT 6. Forum diskusi secara berkala untuk membahas kendala-kendala dalam pelaksanaan tugas 7. Pelaksanaan kerjasama antar anggota dalam hal tukar menukar informasi mengenai masalah-masalah yang di hadapi masingmasing 8. Kepala Bagian menjakankan komunikasi yang baik dengan bawahannya. 9. Mengetahui rincian tugas dan pekerjaan masingmasing 10. Kesesuaian jadwal dengan pekerjaan yang menjadi beban tugas nya 11. Penyelesaian tugas sesuai dengan pedoman yang jelas 12. Penyelesaian pekerjaan sesuai tupoksi agar tidak terjadi duplikasi
Interval
No. Pernyataan 1-4
Interval
5-8
Interval
9-12
61
4.
Variabel Y Alat Ukur Efektivitas Pelayanan (Hutapea:2002)
Disiplin
1. Kejelasan dan Kepastian
13. Kedisiplinan dalam penyelesaian pekerjaan yang berfokus pada pedoman yang telah ada. 14. Kejelasan mengenai pengaturan jadwal jam kerja 15. Pelaksanaan rapat koordinasi secara berkala 16. Pekerjaan dikerjakan sesuai tupoksi 17. Kejelasan Prosedur dan mekanisme pelayanan 18. Kepastian jumlah Pembayaran
Inteval
13-16
Interval
17-18
2. Kemudahan dan Kesederhana an
19. Pelayanan tidak menyulitkan wajib Pajak 20. Kesederhanaan prosedur pelayanan
Interval
19-20
3. Ketepatan dan Kecepatan
21. Ketepatan
Interval
21-22
dalam
memberikan pelayanan 22. Kecepatan
penyelesaian
pelayanan pada SAMSAT
Sumber: hasil penelitian 2013 3.5 Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yang relevan untuk menunjang dan memperkuat analisis penelitian adalah: 1. Penelitian lapangan (filed research) Penelitian yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan langsung ke objek yang diteliti dalam hal ini ketiga instansi pelayanan SAMSAT yang terdiri dari Dispenda, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero). Dengan melakukan penelitian langsung pada objek penelitan dapat berguna untuk mengetahui permasalahan sebenarnya yang terjadi di lapangan. Penulis memperoleh dan mengumpulkan data juga informan dengan cara Observasi
62
non partisipan, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan langsung objek penelitian yakni instansi pelayanan SAMSAT yang terdiri dari tiga instansi yaitu Cabang Dispenda, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero). Dalam observasi ini penulis mengumpulkan data yang berhubungan dengan objek yang diteliti dalam hal ini yaitu data primer. 2. Wawancara (interview) Wawancara (interview) adalah proses atau upaya yang dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan melalui tanya jawab langsung dengan pihak yang bersangkutan dan berkompeten, dalam hal ini Cabang Dispenda, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero) sebagai responden untuk memperoleh informasi yang berkaitan langsung dengan masalah yg diteliti. 3. Angket Angket adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengedarkan daftar pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada sejumlah subjek. Angket yaitu suatu penyelidikan mengenai suatu masalah yang umumnya banyak menyangkut kepentingan umum (orang banyak) dilakukan dengan cara mengedarkan suatu daftar pernyataan atau pertanyaan berupa formulirformulir yang diajukan secara tertulis kepada sejumlah subjek untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan tertulis seperlunya. Penulis dalam hal ini menggunakan angket sebagai instrument penelitian karena dapat menjangkau sampel yang luas dan tersebar. Seperti yang diketahui bahwa sampel penelitian ini adalah tiga instansi sebagai objek penelitian yg terlibat
63
dalam kegiatan koordinasi dalam pelayanan SAMSAT pada Cabang Pelayanan Dispenda Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan, maka untuk itu angket ini digunakan untuk pengambilan data tentang kesatuan tindakan (X1), komunikasi (X2), pembagian kerja (X3), dan disiplin (X4). Disamping itu dengan angket, responden bisa mengisinya sesuai dengan waktu luang yang dimiliki responden sendiri, sehingga tidak mengganggu pekerjaan pokok responden. 3.6 Teknik Pengolahan Data (Analisis Data) Analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul. Untuk keperluan pengolahan data, dalam penelitian ini mengacu pada hasil dari penyebaran angket kepada responden. Angket tersebut dibuat dalam bentuk pernyataan yang didasarkan kepada setiap indikator yang diuraikan dalam operasionalisasi variabel dengan lima pilihan jawaban yang memperlihatkan gradasi nilai dari sangat setuju sampai nilai sangat tidak setuju dan pengukurannya dilakukan dengan menggunakan skala Likert. Pengolahan data penelitian ini menggunakan skala Likert. Menurut Sugiyono mengemukakan bahwa: “Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam penelitian, fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut sebagai variable penelitian”.59
59
Sugiyono. 2011. Metode Penelitan Administrasi. Bandung: Alfabeta, hlm: 107
64
Skala likert yang digunakan masing-masing jawabannya mempunyai gradasi nilai tertentu yang digunakan untuk menganalisis data dari jawaban-jawaban yang diberikan oleh responden beserta nilai masing-masing jawaban sebagai berikut: Tebel 3.3 Pembobotan Jawaban Kuesioner Keterangan
Skor Pernyataan Positif
Sangat setuju
5
Setuju
4
Ragu-ragu
3
Tidak setuju
2
Sangat tidak setuju
1
Sumber: Sugiyono (2011:107)60 Pembobotan jawaban kuesioner tersebut untuk mengukur variabel, dimensi dan indikator, sehingga hasilnya akan dimasukan kedalaman kategori sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Panuji mengemukakan bahwa untuk menentukan katagori tersebut terlebih dahulu menentukan indeks minimum, nilai indeks maksimum, interval, dan jarak intervalnya. 1. 2. 3. 4.
60 61
Nilai indeks minimum adalah skor minimum dikali jumlah pertanyaan dikali jumlah responden. Nilai indeks maksimim adalah skor maksimum dikali jumlah pertanyaan dikali jumlah responden. Interval adalah indeks maksimum dengan nilai indeks minimum. Jarak Interval adalah interval dibagi jumlah jenjang yang diinginkan.61
Sugiyono. 2011. Metode Penelitan Administrasi. Bandung: Alfabeta, hlm: 107 Rendi Panuji. 2002. Komunikasi Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm: 45
65
Dengan demikian jawaban responden disusun dan disajikan sebagai berikut: 1. Nilai indeks minimum
= 1 x Jumlah pertanyaan
x Responden
2. Nilai indeks maksimum
= 5 x Jumlah pertanyaan
x Responden
3. Interval
= Nilai indeks maks
4. Jarak interval
=
_
Interval
Nilai indeks min =
Interval
Jumlah jenjang
5
Hasil ini secara kontinum dapat digambarkan sebagai berikut: Sangat Rendah
Sedang
Rendah
Sangat Tinggi
Tinggi
Gambar 3.1 Garis Kontinum Penjelasan dari jenjang kriteria dalam garis kontinum dapat dilihat pada uraian di bawah ini: a.
Kategori sangat tinggi artinya koordinasi antar instasi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT terlaksana dengan sangat baik.
b.
Kategori tinggi artinya koordinasi antar instasi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT terlaksana dengan baik.
c.
Kategori sedang artinya koordinasi antar instasi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT terlaksana dengan cukup baik.
d.
Kategori rendah artinya koordinasi antar instasi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT belum terlaksana dengan baik.
e.
Kategori sangat rendah artinya koordinasi antar instasi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT belum pernah terlaksana.
66
Analisis data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut: 3.6.1 SPSS (Statistical Package For Social Science) Untuk melakukan analisis ataupun pengolahan data agar menghasilkan data yang akurat, penulis menggunakan metode perhitungan program SPSS (Statistical Package For Social Science) versi 20.0. Program SPSS (Statistical Package for Social Sciences) digunakan dalam metode penelitian kuantitatif mulai dari penyusunan angket. Angket disusun untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan kajian serta informasi yang valid dan reliabel. Isi pertanyaan dalam angket berupa fakta, pendapat dan sikap, informasi atau persepsi diri. Angket dapat dinyatakan dalam wawancara tatap muka, diisi sendiri oleh kelompok, lewat telepon atau lewat pos. Setiap kuesioner yang selesai disusun dilengkapi dengan buku kode. Isinya ialah kode pertanyaan dan jawaban sesuai dengan kuesioner tersebut. Dalam SPSS baik kuesioner maupun kodenya dapat tersaji dalam satu file. Isi buku kode lazimnya berupa nomor pertanyaan, nomor variabel, nama variabel dan kode jawaban. Setelah seluruh data dimasukkan (dientri) ke dalam program SPSS, selanjutnya data dapat dianalisis dalam bentuk tabel, gambar, atau uji statistika langsung. Untuk disusun menjadi tabulasi silang lebih dari satu variabel, maka interval tiap kelompok harus sama besarnya. Disamping angka absolute, perlu dibuat pula presentasi tiap sel. Presentase selalu dihitung pada variabel pengaruh, atau nilai totalnya (100%) terletak pada varibel terpengaruh. Analisis dilakukan
67
dengan melihat aliran hubungan presentasi antara variabel pengaruh (independen) menuju variabel terpengaruh (dependen). 3.6.2 Pengujian Validitas Sugiyono menyatakan, bahwa hasil penelitian valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti.62 Teknik analisis yang digunakan adalah koefisien korelasi Product Moment Pearson, yaitu dengan rumus sebagai berikut: ∑ √[( ∑ Keterangan R X Y n∑X2
: : : : :
)
∑ ∑
(∑ ) ][( ∑
)
(∑ ) ]
koefisien korelasi pearson variabel koordinasi antar instansi variabel efektivitas pelayanan Jumlah variabel X
Selain menggunakan perhitungan manual, peneliti juga dibantu dengan menggunakan metode perhitungan program SPPSS versi 20.0 untuk menguji validitas. Metode pengujian validitas item ditunjukan dengan adanya korelasi atau dukungan terhadap item total (skor total). Untuk dilakukan uji signifikansi koefisien korelasi dengan kriteria menggunakan r kritis pada taraf signifikansi 0,05 (signifikansi 5% atau 0,05 adalah ukuran standar yang sering digunakan dalam penelitian).
62
Sugiyono. 2007 , Metode penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.hlm: 137
68
Adapun langkah-langkah dengan menggunakan program SPSS sebagai berikut: 1. Masuk program SPSS 2. Klik variable view pada SPSS data editor 3. Pada kolom Name ketik item 1 sampai item 16, kemudian terakhir ketikkan skortot (skor total didapat dari penjumlahan item 1 sampai item 16) 4. Pada kolom Decimals angka ganti menjadi 0 untuk seluruh item 5. Untuk kolom-kolom lainnya boleh dihiraukan (isian default) 6. Buka data view pada SPSS data editor 7. Ketikkan data sesuai dengan variabelnya, untuk skortot ketikkan total skornya. 8. Klik Analyze - Correlate – Bivariate 9. Klik semua variabel dan masukkan ke kotak variabel 10. Klik OK. Uji validitas ini dilakukan pada angket dengan kriteria pengujian validitas adalah harga dari thitung > ttabel pada taraf kepercayaan 95% (taraf signifikan 5%) dan dk = n – 2, maka item soal tersebut dinyatakan valid. Sedangkan apabila thitung < ttabel dengan taraf kepercayaan 95% (taraf signifikan 5%) maka item pertanyaan angket tersebut dinyatakan tidak valid. 3.6.3 Uji Reliabilitas Langkah selanjutnya untuk pengujian instrumen adalah uji reliabilitas. Uji reliabilitas dilakukan untuk menunjukkan kestabilan dan konsistensi alat ukur dalam mengukur konsep yang ingin diukur. SPSS memberikan fasilitas untuk mengukur reliabilitas dengan uji statistik Cronbach Alpha (α).
69
Suatu variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai α > 0,70. Apabila telah didapat nilai α maka dapat dibuat kesimpulan Jika α > 0,70, maka variabel tersebut reliabel dan Jika α < 0,70, maka variabel tersebut tidak reliable. Mudjarad Kuncoro menyatakan jika nilai koefisien reliabilitas lebih dari 0,7 maka dapat dijadikan sebagai alat penelitian, sebaliknya jika kurang dari 0,7 maka variabel atau alat ukur tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat ukur, karena tidak handal.63 Dalam penelitian ini untuk menghitung data digunakan program SPSS versi 20.0, yang langkah-langkahnya dapat diuraikan dibawah ini: 1. Klik Analyze - Scale - Reliability Analysis 2. Klik item yang tidak gugur dan masukkan ke kotak items. Jika item-item sudah berada dikotak items maka klik item yang gugur dan keluarkan dengan klik simbol arah 3. Klik Statistics, pada Descriptives for klik scale if item deleted 4. Klik Continue 5. Klik OK. 3.6.4 Uji Asumsi Klasik Persyaratan untuk bisa menggunakan persamaan regresi linier berganda adalah terpenuhinya asumsi klasik. Untuk mendapatkan nilai pemeriksa yang efisien dan tidak bias BLUE dari satu persamaan regresi berganda dengan metode kuadrat terkecil, maka perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui model regresi
63
Kuncoro Mudjarad. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Erlangga Hal: 266
70
yang dihasilkan memenuhi persyaratan asumsi klasik. Uji asumsi klasik sendiri meliputi Uji Normalitas, Uji Multikolinieritas dan Uji Heteroskedastisitas. 3.6.4.1 Uji Normalitas Uji normalitas adalah pengujian tentang kenormalan distribusi data. Penggunaan uji normalitas karena pada analisis statistik parametik, asumsi yang harus dimiliki oleh data adalah bahwa data tersebut harus terdistribusi secara normal. Maksud data terdistribusi secara normal adalah bahwa data akan mengikuti bentuk distribusi normal. Uji normalitas bisa dilakukan dengan “Normal P-P Plot”. 3.6.4.2 Uji Multikolinieritas Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independent). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independent. Jika variabel independent saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak ortogonal. Untuk mendeteksi adanya multikolinieritas, dapat dilihat dari Value Inflation Factor (VIF). Apabila nilai VIF > 10, terjadi multikolinieritas. Sebaliknya, jika VIF < 10, tidak terjadi multikolinieritas. 3.6.4.3 Uji Heteroskedastisitas Pengujian ini digunakan untuk melihat apakah variabel pengganggu mempunyai varian yang sama atau tidak. Heteroskedastisitas mempunyai suatu keadaan bahwa varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain berbeda. Salah satu metode yang digunakan untuk menguji ada tidaknya heteroskedastisitas akan mengakibatkan penaksiran koefisien-koefisien regresi
71
menjadi tidak efisien. Hasil penaksiran akan menjadi kurang dari semestinya. Heteroskedastisitas bertentangan dengan salah satu asumsi dasar regresi linier, yaitu bahwa variasi residual sama untuk semua pengamatan atau disebut homokedastisitas. Untuk mengetahui hasil dari uji normalitas, uji multikolinieritas dan uji heteroskedastisitas,
maka
digunakan
langkah-langkah
sebagai
berikut
menggunakan SPSS Versi 20.0: 1. Masuk program SPSS 2. Kemudian pada variabel view, pada name masukkan nama variabelnya pada name kolom 1 ketik Y, pada name kolom 2 ketik X1, pada name kolom 3 ketik X2, pada name kolom 4 ketik X3 dan pada name kolom 5 ketik X4, pada decimals ubah menjadi 0 dan pada label kolom 1 ketik Efektivitas Pelayanan, pada label kolom 2 ketik Kesatuan Tindakan, pada label kolom 3 ketik Komunikasi, pada label kolom 4 ketik Pembagian Kerja dan pada label kolom 5 ketik Disiplin. Sedangkan kolom-kolom lainnya bias dihiraukan. 3. Setelah semua sudah diisi dan datanya pastikan sudah benar (untuk kebenarannya klik lagi pada data view maka pada variabel akan berubah namanya sesuai dengan data kita) hati-hati jangan sampai terbalik memasukkan angka. 4. Klik analyze – regression – linier 5. Akan muncul jendela Linier Regression. Masukkan variabel sesuai dengan data, klik variabel efektivitas pelayanan dan masukkan ke kotak
72
dependent, kemudian klik variabel (kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja dan disiplin) kemudian masukkan ke kotak independent , klik tanda berbentuk seperti panah untuk memasukkannya ke dalam kolom data. 6. Kemudian klik pada statistics (masih dalam jendela Linier Regression) sehingga akan muncul jendela Linier Regression Statistics. Pada regression coefficient centang pada estimates covariance matrik, model fit, R squared change, collinearity diagnostics. Dan pada residuals klik Durbin-watson. Setelah semua dicentang klik continue. 7. Akan muncul lagi jendela Linier Regression yang awal. Klik pada plots sehingga muncul jendela regression plots. Masukkan *ZPRED pada Y dan *SRESID pada X. Caranya dengan mengklik *ZPRED atau *SRESID kemudian klik tanda yang mirip bentuk panah pada tempatnya masingmasing, kemudian pada standardized residual plots centang pada histogram dan normal probability plots, setelah selesai klik OK. 8. Kembali ke jendela Linier Regression klik OK untuk segera memproses data dan akan muncul jendela baru. Data yang tertera disitulah yang akan menjadi dasar analisis kita. 3.6.5 Analisis Regresi Linier Berganda Analisis regresi linier berganda adalah hubungan secara linear antara dua atau lebih variabel independen (X1, X2,….Xn) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah masing-masing variabel independen berhubungan
73
positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan. Data yang digunakan biasanya berskala interval atau rasio. Persamaan regresi linear berganda sebagai berikut: Y’ = a + b1X1+ b2X2+…..+ bnXn Keterangan: Y’ X1 dan X2 a b
= = = =
Variabel dependen (nilai yang diprediksikan) Variabel independen Konstanta (nilai Y’ apabila X1, X2…..Xn = 0) Koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan)
Langkah-langkah dengan menggunakan program SPSS versi 20.00 dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Klik variabel view pada SPSS data editor 2.
Pada kolom Name ketik Y, kolom Name pada baris kedua ketik X1, kemudian untuk baris kedua ketik X2, pada baris ketiga klik X3 dan pada baris keempat klik X4.
3. Pada kolom Label, untuk kolom pada baris pertama ketik efektivitas pelayanan, pada baris kedua ketik kesatuan tindakan, pada baris ketiga ketik komunikasi, pada baris keempat ketik pembagian kerja dan pada baris terakhir ketik disiplin. 4.
Untuk kolom-kolom lainnya boleh dihiraukan (isian default)
5. Buka data view pada SPSS data editor, maka didapat kolom variabel Y, X1, X2, X3 dan X4. 6. Ketikkan data sesuai dengan variabelnya 7. Klik Analyze - Regression – Linear
74
8.
Klik variabel efektivitas pelayanan (Y) dan masukkan ke kotak Dependent, kemudian klik variabel kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja dan disiplin (X) kemudian masukkan ke kotak Independent.
9.
Klik Statistics, klik Casewise diagnostics, klik All cases. Klik Continue
10. Klik OK. 3.6.6 Analisis Koefesien Determinasi Pengujian koefisien determinasi digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat pengaruh variabel X terhadap Variabel Y, atau untuk mengukur seberapa persen pengaruh koordinasi antar instasi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan, penulis menggunakan koefisien determinasi yaitu suatu alat ukur yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat hubungan antar variabel X dan Y dengan rumus64: KD = rxy2 x 100% Keterangan: KD
= koefisien determinasi
rxy2
= koefisien korelasi Product moment
64
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung: Alfabeta, hlm: 257
75
Nilai determinasi setelah diketahui, maka sebagai panduan dalam menganalisis seberapa besar pengaruh variabel X terhadap variabel Y, penulis mengunakan pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien determinasi, dikemukakan oleh Sugiyono adalah sebagai berikut: Tabel 3.4 Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Determinasi Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
Kurang dari 4%
Rendah sekali, lemah sekali
5% - 16%
Rendah tetapi pasti
17% - 49%
Cukup berarti
50% - 81%
Tinggi, kuat
Lebih dari 81%
Sangat tinggi, kuat sekali
(Sumber: Sugiyono, 2007: 257)65 Dalam penelitian ini, seluruh pengolahan data dan analisis dilakukan dengan menggunakan piranti lunak (software) SPSS (Statistical Product and Service Solutions) versi 20.0. 3.6.7 Uji Hipotesis (Verivikatif) Menurut Sugiyono, “hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian yang diajukan”.66 Dasar pengambilan keputusan berdasarkan angka signifikan menurut Tingkat signifikansi dapat ditentukan dengan melakukan pengujian terhadap dua pihak. Untuk menguji diterima atau ditolaknya hipotesis, maka dilakukan dengan cara pengujian dua pihak dengan tingkat signifikan = 5%.
65
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung: Alfabeta, hlm: 257 66 Sugiyono. Metode Penelitian Administrasi. 2011, hal: 326
76
Taraf signifikansi diperlukan untuk mentoleransi kesalahan yang dibuat karena pengambilan data untuk ilmu-ilmu sosial. Penetapan signifikansi 5% sesuai pendapat Arikunto, mengatakan sebagai berikut : “Apabila peneliti menolak hipotesis atas dasar taraf signifikansi 5% berarti sama dengan menolak hipotesis atas dasar taraf kepercayaan 95%, artinya apabila kesimpulan tersebut diterapkan pada populasi yang terdiri dari 100 orang, akan cocok 95 orang dan bagi 5 orang lainnya terjadi penyimpangan”.67 Pengujian dalam mencari siginifikansi maka penulis mengunakan uji t, dengan menggunakan rumus t-test sebagai berikut: r√n t= r
1 – r2
.68
Keterangan : t = hasil uji tingkat signifikansi r = koefisien korelasi n = jumlah data Membandingkan t hitung dengan t tabel, guna mencari harga (nilai) t dari tabel dengan dk = n – , taraf signifikansi 0,95 (
) artinya jika hipotesis
nol ditolak dengan taraf kepercayaan 95%, maka kemungkinan bahwa hasil dari penarikan kesimpulan mempunyai kebenaran 95% dan hal ini menunjukan adanya hubungan (korelasi) yang meyakinkan (signifikan) antara dua variabel tersebut.
67
Suharsimin Arikunto. 2002. Prosedur Peneli tian Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi V). Jakarta: Rineka Cipta, hlm: 69 68 Sudjana. 2004. Statistika. Bandung. Tarsito, hlm:259
77
Hasil perhitungan koefisien korelasi dapat diketahui tingkat signifikan atau tidak signifikan maka hasil perhitungan dari statistik uji t (t hitung) tersebut selanjutnya dibandingkan dengan t tabel. Tingkat signifikannya yaitu 5 % (α = 0,05). Untuk mengetahui ditolak atau tidaknya dinyatakan dengan kriteria sebagai berikut: 1. Jika nilai thitung > ttabel, maka H0 ada didaerah penolakan, berarti Ha diterima artinya antara variabel x dan variabel y ada hubungan yang signifikan. 2. Jika nilai thitung < ttabel, maka H0 ada didaerah peneriman, berarti Ha ditolak artinya antara variabel x dan variabel y tidak ada hubungan yang signifikan.69 Menggambarkan daerah penerimaan dan penolakan terhadap sebuah hipotesis dapat digambarkan dengan uji dua pihak daerah penerimaan dan penolakan hipotesis adalah seperti gambar pada halaman berikutnya. Daerah Penolakan
Daerah Penerimaan HaHHa
Daerah Penerimaan Ha
-t/F
t/F Gambar 3.2 Kurva Uji t Distribusi (Uji Dua Pihak)
69
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta, hlm:214-215
78
3.7
Jadwal Penelitian
3.7.1 Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian di Kantor Bersama SAMSAT Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. Jalan Kawaluyaan Raya Telp. 022-7320868, Telp./Fax. 022-7320869 Bandung 40286. Alasan peneliti melakukan penelitian di lokasi tersebut adalah: a. Lokasi tempat penelitian yang mudah dijangkau serta bisa lebih menghemat biaya dalam melakukan proses penelitian. b. Ketertarikan penulis dalam melakukan penelitian merupakan upaya untuk menggali potensi daerah sendiri. c. Adanya kecenderungan pada masalah-masalah yang harus dicari pemecahannya. d. Sebagai bentuk kontribusi dalam mengembangkan keilmuan yang penulis dapatkan sehingga bisa ikut serta dalam peran membangun daerah. e. Adanya kecenderungan dari data yang mendukung pada penelitian. 3.7.2 Waktu Penelitian dan Rancangan Jadwal Penelitian Waktu yang diperlukan penulis dalam penelitian ini adalah tujuh bulan yang dimulai pada bulan Februari sampai dengan bulan Agustus 2013. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel halaman berikutnya.
79
Tabel 3.5 Jadwal Rancangan Penelitian Tahapan Penelitian
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
3 1
2
Pengajuan Judul Pembuatan Proposal penelitian Bimbingan Proposal Penelitian Seminar Proposal Penelitian Pengumpulan dan Pengolahan Data Bimbingan Skripsi Penyelesaian Skripsi Sidang Skripsi
Sumber: Penelitian 2013
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
4
1
2
3
4
1
2
3
4