BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di
muka bumi.Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia.Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Secara kosmologis, tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat bekerja dan hidup , tempat dari mana mereka berasal dan akan kemana pula mereka pergi. Dalam hal ini tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, cultural politik dan ekologis. Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya mempunyai nilai ekonomis tinggi, tetapi juga nilai filosofis, politik, sosial, dan kultural.Tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak hentihentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit. Menyadari nilai dan arti penting tanah, para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam secara ringkas tetapi sangat filosofis substansial di dalam Konstitusi, Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, sebagai berikut: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” Agraria berasal dari bahasa Latin yang selalu disebut dengan Ager yang berarti tanah atau sebidang tanah atau bisa disebut juga Agrarius berarti perladangan,
Universitas Sumatera Utara
persawahan, pertanian.1 Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Agraria berarti urusan tanah pertanian atau perkebunan. Undang-undang No. Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI No. 2043, disahkan tanggal 24 September 1960, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan pengertian Agraria, hanya memberikan ruang lingkup agrarian sebagaimana yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal maupun penjelasannya. Ruang lingkup Agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.2 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 pada awalnya dimaksudkan sebagai undang-undang induk keagrariaan mencakup pembaruan relasi sosial di atas tanah. Dalam praktik pemerintahan Orde Baru, meletakkan UUPA No. 5 tahun 1960 hanya sebagai undang-undang yang bersifat teknis dan sektoral, sebagaimana hal nya dengan beberapa undang-undang yang telah diundangkan dan sangat memfasilitasi dan memberikan dukungan terhadap pertumbuhan modal bersifat kapitalistik yang
seharusnya tidak demikian (kontradiktif dengan
dilahirkannya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian disempurnakan menjadi UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal), sehingga UUPA yang bersemangat populistik tidak terealisasikan. Rezim orde baru yang lalu gagal mewujudkan keadilan agrariatermaksud gagal menjamin kepastian penguasaan tanah atau SDA lain bagi komunitas lokal yang telah memanfaatkan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya. Bahkan, sebaliknya praktek pembangunan semasa Orde Baru justru menyingkirkan akses rakyat terhadap tanah dan sumber daya alam lain yang telah lama dipunyainya.3 Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 pada permasalahan tanah menjadi semakin kompleks, terlihat kompleksitas masalah tanah terjadi sebagai 1
2
Prent K. Adisubrata J. Poerwadarminta WJS. Kamus Latin Indonesia. Yayasan Kanisius. Semarang. 1960
Affan Mukti. Pembahasan Undang‐Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. USU Press. Medan. 2010
3
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Insist Press, KPA & Pustaka Pelajar hal 89
Universitas Sumatera Utara
akibat meningkatnya kebutuhan
tanah
untuk keperluan berbagai kegiatan
pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang cepat dengan penyebaran yang tidak merata antar wilayah. Sisi lain kompleksitas ini karena muncul luas tanah relatif tidak bertambah. Konflik pertanahan banyak terjadi antara masyarakat dengan perusahaan diakibatkan karena tidak adanya penyeimbangan luas lahan dan pengusaan tanah yang berlebihan.4 Pola penguasaan tanah tidak dapat dilepaskan dari permasalahan petani di pedesaan dan masalah kemiskinan. Kekurangan tanah merupakan indikator utama kemiskinan di pedesaan. Salah satu reformasi paling penting yang diajukan oleh para ekonom adalah pembangunan untuk mengurangi kemiskinan rakyat di pedesaan di negara-negara yang sedang berkembang adalah Landreform Tanah dalam sistem sosial-ekonomi-politik-budaya apapun, dianggap sebagai faktor produksi utama. landreform berarti mengubah dan menyusun kembali tatanan dan prosedur-prosedur dalam usaha untuk membuat sistem penguasaan tanah itu konsisten dengan persyaratan-persyaratan secara keseluruhan dari pembangunan ekonomi. Masalah Pertanahan dapat menimbulkan konflik pertanahan yang susah untuk dipisahkan dari kehidupan masyarakat yang ditimbulkan dari adanya perselisihan. Perselisihan yang seringkali terjadi adalah terdapatnya perbedaan kepentingan yang saling berlawanan. Berbagai macam hal seperti perbedaan selera, perbedaan pendapat dapat mengakibatkan timbulnya konflik. Konflik dapat dilihat dalam dimensi suatu perspektif atau sudut pandang dimana konflik dianggap selalu ada dan mewarnai segenap aspek interaksi manusia dan struktur sosial.5Karena dalam kehidupan masyarakat khususnya di daerah pedesaan, tanah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting, karena tanah merupakan salah satu sumber hidup dan kehidupan mereka. di samping itu tanah-tanah adat sering dihubungkan dengan nilai kosmis-magis-
religius. 4
Teguh Kismantoroadji. Kelembagaan Agraria. http://teguhupnvyk.files.wordpress.com/2012/04/06 kuliah_06_konflik-agraria.pdf. diakses pada tanggal 14 Mei 2013 5 Adam Kuper & Jesica Kuper. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta. Rajawali Press. 2000. hlm 155
Universitas Sumatera Utara
Konflik pertanahan yang tejadi pada aras lokal bukanlah merupakan faktor yang terjadi secara terpisah dengan aktor kunci yang berdiri sendiri. Konflik pertanahan akan terjadi dimanapun di Indonesia, tatkala pihak-pihak yang memiliki kepentingan
kapital
mempertahankan
haknya
yang
paling
benar
dan
mengesampingkan aktor-aktor yang lain. Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu ada dimana-mana. Sengketa dan konflik pertanahan adalah bentuk permasalahan yang sifatnya kompleks dan multi dimensi. Oleh karena itu usaha pencegahan, penanganan dan penyelesaiannya harus memperhitungkan berbagai aspek baik hukum maupun non hukum. Karena itu, dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik, faktor pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan solusinya. Dengan usaha-usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan sengketa dan konflik pertanahan dapat ditekan semaksimal mungkin, sekaligus menciptakan suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan keadilan agraria yang mensejahterakan. Kasus pertanahan yang sering terjadi bila dilihat dari konflikkepentingan para pihak dalam sengketa pertanahan antara lain : 6
1. Rakyat berhadapan dengan birokrasi 2. Rakyat berhadapan dengan perusahaan negara 3. Rakyat berhadapan dengan perusahaan swasta 4. Konflik antara rakyat
6
Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta : Kompas,2005), hal 182
Universitas Sumatera Utara
Hampir di setiap daerah yang terdapat sengketa tanah, para pihak yangterkait dan berwenang menangani permasalahan tersebut menyelesaikandengan berbagai cara. Cara penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama ini adalah melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi). Dalam dimensi yuridis penguasaan tanah dan pemilikan tanah memerlukan perlindungan, implikasinya harus terdapat perlindungan hukumterhadap hak-hak keperdataan pemilikan tanah dan perlakuan yang adil terhadap kepemilikan tanah tersebut. Sengketa tanah yang berlarut-larut dantidak ada penyelesaian yang baik dapat menyebabkan pihak yang dirugikan melakukan gugatan ke pengadilan. Meskipun ada peluang lebar menggugat melalui pengadilan tetapi pihak awam cenderung menghindarinya, selain itu terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa pengajuan gugatan lewat pengadilan relatif mahal, memakan waktu yang cukup lama bahkan berbelit-belit. Oleh karena itu masyarakat berupaya menyelesaikan sengketanya dengan menempuh jalur non litigasi. Bagi negara Indonesia, sebagai negara yang agraris keberadaan tanah tidak
terlepas dari kegiatan manusia sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan kelanjutan kehidupannya. Oleh karena itu, tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah-kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah. Seperti Tanah adat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak adat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu, artinya suatu areal yang cukup luas yang dikuasai oleh sekelompok orang yang merupakan organisasi (persekutuan) maupun, hubungan darah (genealogis) maupun wilayah (teritorial) untuk kehidupan manusia sebagai individu maupun kelompok sampai kini belum dapat melepaskan diri dari tanah untuk berbagai keperluan, karena tanah merupakan tempat untuk mencari kebutuhan hidup manusia, seperti tempat berburu, memungut hasil hutan, areal pertanian, peternakan, tempat berdirinya persekutuan hukum adat mencari kehidupan warganya.
Universitas Sumatera Utara
Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Masyarakat juga bahwa telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih- lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah adalah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.7 Kekerasan konflik pertanahan adat yang terjadi bagi masyarakat Indonesia bukanlah sesuatu yang asing sebagai contoh peristiwa kekerasan antara warga dengan pihak perusahaan di Mesuji, Lampung, antara warga Kampung Sri Tanjung Mesuji dengan PT Barat Selatan Makmur Invesindo (BSMI), yang berdampak pengerusakan bangunan hingga memakan korban sejak 2010 dan yang terjadi di Bumi Flora, Aceh Timur pada Mei 2013. Salah satu konflik pertanahan adat juga terjadi antara masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan dengan PT Toba Pulp Lestari TBk (TPL), yang terjadi sejak Juni 2009 yang lalu, hingga kini belum menemukan jalan penyelesaian yang pasti.8 Konflik berawal saat terbitSK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992, tentang tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT. Inti Indorayon Utama Tbk, seluas 269.060 hektare di Wilayah Provinsi Sumatera Utara. PT. Indorayon Utama yang berubah nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) dari SK Kementrian Kehutanan No: Sk.351/Menhut-II/2004, wajib melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman industrinya selambatnya 36 bulan sejak keputusan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan RI, hingga pada saat ini pihak PT. TPL tidak
7 Ahmad Fauzie Ridwan. Hukum Tanah Adat – Multi disiplin Pembudayaan Pancasila. Dewa Ruci Press.Jakarta.1982 hal 26 8 http://www.ksppm.org/kronologis diakses 5 Juni 2013
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman industri tersebut di Kabupaten Humbang Hasundutan.9 Konflik kembali memanas yang ditandai dengan penangkapan 16 orang masyarakat adat oleh Polres Humbang Hasundutan. Tentu hal ini membuat masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta merasa terpukul atas bentuk pidana yang dikenakan oleh pihak kepolisian dan sikap represif yang dilakaukan polisi masyarkat bertahan di luar Polres Humbang Hasundutan untuk memaksa polisi membebaskan 16 orang yang ditangkap. Proses pembebasan masyarakat Desa PandumaanSipituhuta dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat. Sementara masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta hanya mempertahankan tanah adat/ulayat yang merupakan hutan kemenyan yang telah turun-temurun menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan masyarakat dalam penyelesaian sengketa yang telah ditempuh penyelesaian sengketa diluar pengadilan mengadukan atau menyampaikan persoalan ini di tingkat daerah maupun pusat. Pemerintah
Kabupaten
Humbang
Hasundutan
menampung
aspirasi
masyarakat dan meneruskan aspirasi tersebut ke Kementerian Kehutanan Republik Indonesia di Jakarta. Berulangkali Pemerintah Kabupaten melayangkan surat ke Kementerian Kehutanan RI di Jakarta agar PT. TPL menghentikan sementara kegiatannya di wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan sampai penetapan tapal batas antara konsesi lahan yang dimiliki PT. TPL. Dalam menentukan batas-batas kepemilikan diantara mereka maupun dengan masyarakat adat di luar desa Pandumaan-Sipituhuta dilakukan berdasarkan kebiasaan atau hukum adat. Tapal batas kepemilikan diantara mereka maupun dengan masyarakat adat di luar huta mereka, dilakukan berdasarkan kebiasaan atau hukum adat. Tidak seorang pun diantara mereka yang boleh menjual areal yang mereka miliki dan penyerahan lahan adat kepada pihak lain di luar komunitas dua desa ini. 9
http://www.humbanghasundutankab.go.id/news/general-default/08-03-2013/pemkab-humbahas-danmasyarakat-sama-sama-berjuang-dalam-penyelesaian diakses pada 12 Mei 2013
Universitas Sumatera Utara
Adapun yang akan mengalihkan kepemilikan, harus dialihkan kepada sesama komunitas dari dua desa tersebut. Demikian halnya dengan menentukan batas-batas areal dengan areal milik desa lainnya, mereka memiliki kebiasaan dan ketentuan yakni perbatasan Tombak Haminjon milik desa Pandumaan dan Sipituhuta ditentukan berdasarkan tumbuhnya jenis rotan. Lokasi areal hutan kemenyan milik masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta terletak di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasudutan Provinsi Sumatera Utara. Areal Hutan kemenyan diperkirakan seluas 4100 Ha dengan jumlah penduduk kira-kira 700 kepala keluarga.10 Hutan kemenyan atau disebut hamijon oleh masyarakat setempat, sudah dikelola masyarakat adat beratus-ratus tahun lamanya. Areal kemenyan itu sudah menjadi tulang punggung perekonomian sejak nenek moyang masyarakat Pandumaan Sipituhuta membuka hutan menjadi areal kemenyan. Kemenyan merupakan mata pencarian utama masyarakat desa Pandumaan-Sipituhuta dan hasil tanaman kemenyan inilah terkenal hingga keluar negeri, oleh karena itu kemenyan harus diselamatkan dari penebangan/ pembabatan oleh pihak PT. TPL. Hampir 65% masyarakat Humbang Hasundutan menggantungkan hidupnya dari hasil kemenyan. Jarak antara rumah warga dengan hutan kemenyan bisa mencapai 3 jam perjalanan naik sepeda motor. Masyarakat adat bisa mencapai waktu seminggu berada di tengah hutan untuk mencari getah kemenyan. Penghasilan mereka beragam, namun rata-rata penghasilan masyarakat adat dari hasil kemenyan dalam seminggu hanya sebesar Rp.350.000/kepala keluarga. Peneliti tertarik melakukan penelitian ini karena Konflik pertanahan merupakan salah satu masalah yang harus dijawab dan diselesaikan. Pihak yang terkait dalam kasus ini adalah perusahaan TPL dan masyarakat desa Pandumaan Sipituhuta. Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta menginginkan lahan adat yang telah dirampas oleh PT. TPL dapat dikembalikan kepada masyarakat dan pohon kemenyan di tanam kembali. PT. TPL dengan surat yang diperoleh ingin memperluas 10
Ketua Dewan Daerah AMAN Tano Batak James Sinambela
Universitas Sumatera Utara
dan meningkatkan hasil produksi tanpa memperhatikan lahan adat masyarakat. Peneliti memfokuskan juga usaha untuk menangani konflik tanah adat yang dilakukan oleh masyarakat desa terhadap tapal batas lahan adat yang disengketakan. Berdasarkan kepada hal tersebut peneliti kemudian tertarik melakukan penelitian dengan judul “Konflik Agraria (Studi Kasus: Konflik Pertanahan Antara Toba Pulp Lestari dengan Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dalam Pembatasan Lahan Hutan Adat di Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan).” 1.2
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, adapun perumusan masalah dalam
penelitiaan ini, yaitu “Bagaimana Penyelesaiaan Tapal Batas Lahan Hutan Adat Di Desa Pandumaan Sipituhuta dengan PT. Toba Pulp Lestari ?” 1.3
PEMBATASAN MASALAH Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah
diatas, maka dalam penelitian ini yang menjadi perumusan masalah yaitu: 1. Apa Tindakan Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta terhadap usaha menyelesaikan permasalahan tapal batas hutan kemenyan ? 2. Apa Tindakan yang dilakukan PT. TPL terhadap usaha menyelesaikan permasalahan tapal batas hutan kemenyan 2009-2013?
1.4
TUJUAN PENELITIAN Adapun yang menjadi tujuan penulis di dalam penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan dan Menganalisis Cara Penyelesaian Masalah Tapal Batas Lahan Hutan Adat Desa Pandumaan Sipituhuta dengan PT. Toba Pulp Lestari.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk Mengetahui Tindakan Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT. Toba Pulp Lestari 3. Untuk Mengetahui Bentuk Penyelesaian Masalah Tapal Batas Lahan Hutan Adat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT. Toba Pulp Lestari.
1.5
SIGNIFIKASI PENELITIAN 1. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai karya ilmiah dalam upaya mengembangkan kompetensi penulis serta memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan program strata satu (S1) Departemen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 2. Secara teoritis dapat dijadikan sebagai bahan kajian akademis Ilmu Politik dan diharapkan dapat membantu memberikan informasi tentang konflik tanah yang ada di Sumatera Utara. 3. Hasil penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah khazanah, wawasan bagi penulis dan pembaca di Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
1.6
KERANGKA TEORI Untuk memberikan batasan-batasan yang lebih jelas dari masing-masing
konsep dan merumuskan hipotesis yang ilmiah yang dipilih dari teori-teori yang relevan agar tersusun secara sistematis. 1.6.1
Teori Kebijakan Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi,
yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru di kehidupan masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berperilaku. Kebijakan pada
Universitas Sumatera Utara
umumnya bersifat proaktif (problem solving) kebijakan lebih adaptif dan interpretatif.11Kebijakan juga diharapakan bersifat umumtetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik, kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada. Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara. Kebijkan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara12. Kebijakan dipandang sebagai hal yang mendasari suatu keputusan yang akan diambil oleh pembuat keputusan dari seseorang/kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatankesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu tujuan tertentu13. Kebijakan merupakan seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk mencapainya. Kebijaksanaan atau kebijakan (policy) dapat diartikan, baik secara teoritik maupun praktikal. Secara teoritikal kebijakan (policy) dapat diartikan secara luas (board) maupun secara sempit (narrow). Kebijakan (policy) secara praktikal erat kaitannya dengan hukum positif, yaitu teori hukum positif yang mempunyai objek berupa gejala-gejala dari hukum yang berlaku dalam masyarakat pada waktu tertentu, mengenai masalah tertentu, dan 11
Dun Willian. N. Analsis kebijakan. diterjemahkan Drs. Samodra Wibawa, dkk. Jakarta. 1999 hal 12
12 13
Edi Suharto,Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Bandung : Alfabeta, 2008, hlm 3 Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta : Media Pressindo, 2002, hlm 16
Universitas Sumatera Utara
dalam lingkungan masyarakat tertentu yang memberikan dasar pemikiran tentang jiwa dalam hukum tersebut. Dengan demikian, pemerintah mempunyai peran dalam hal pembinaan, pengaturan dan pengawasan dalam upaya pelayanan kesehatan khususnya di bidang perumahsakitan serta memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin pemerataan dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat. Kebijakan
publik
yang
identik
merupakan
kebijakan
pemerintah
sesungguhnya saling terkait satu dengan yang lainnya. Bahkan pada bidang ini juga akan terlihat bahwa hubungan hukum dan kebijakan pemerintah tidak sekedar terdapatnya kedua hal itu dibicarakan dalam satu topik atau pembicaraan, keduannya dapat saling mengisi dan melengkapi namun lebih dari itu antara hukum dan kebijakan publik pada dasarnya saling tergantung satu sama lainnya, kedua terminologi diartikan sebagai hukum positif yang berlaku pada sebuah negara dan ketika penerapan hukum (rechtsoepassing) dihubungkan dengan implementasi kebijakan pemerintah maka keduanya pada dasarnya saling tergantung. Keterkaitan secara mendasar adalah nampak pada atau dalam kenyataan bahwa pada dasarnya penerapan hukum itu sangat memerlukan kebijakan publik untuk mengaktualisasikan hukum tersebut di masyarakat, sebab umumnya produk-produk hukum yang ada itu pada umumnya hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum dank arena cakupannya yang luas dan bersifat nasional maka tidak jarang produk-produk hukum atau undangundang yang ada itu tidak mampu meng-cover seluruh dinamika masyarakat yang amat beragam di daerah tertentu. Proses pembuatan kebijakan merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks dan tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun demikian, para administrator sebuah organisasi institusi atau lembaga dituntut memiliki tanggung jawab dan kemauan, serta kemampuan atau keahlian, sehingga dapat membuat kebijakan dengan resiko yang diharapkan (intended risks) maupun yang tidak diharapkan (unintended risks). Pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor.Hal penting yang turut diwaspadai dan selanjutnya dapat diantisipasi adalah dalam pembuatan kebijakan
Universitas Sumatera Utara
sering terjadi kesalahan umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan adalah: a) Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar tidak jarang pembuat kebijakan harus memenuhi tuntutan dari luar atau membuat kebijakan adanya tekanan-tekanan dari luar. b) Adanya pengaruh kebiasaan lama, Kebiasaan lama organisasi yang sebagaimana dikutip oleh Nigrodisebutkan dengan istilah sunk cost, seperti kebiasaan investasi modal yang hingga saat ini belum professional dan terkadang amat birokratik, cenderung akan diikuti kebiasaan itu oleh para administrator, meskipun keputusan/kebijakan yang berkaitan dengan hak tersebut dikritik, karena sebagai suatu yang salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama tersebut sering secara terusmenerus pantas untuk diikuti, terlebih kalau suatu kebijakan yang telah ada tersebut dipandang memuaskan. c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi berbagai keputusan/kebijakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan/kebijakan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Sifat pribadi merupakan faktor yang berperan besar dalam penentuan keputusan/kebijakan. d) Adanya pengaruh dari kelompok luar lingkungan sosial dari para pembuat keputusan/kebijakan juga berperan besar. e) Adanya pengaruh keadaan masa lalu. Maksud dari faktor ini adalah bahwa pengalaman latihan danpengalaman sejarah pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada kegiatan pembuatan kebijakan/keputusan. Misalnya, orang mengkhawatirkan pelimpahan wewenang yang dimilikinya kepada orang lain karena khawatir disalahgunakan. Beberapa tahapan atau proses dalam pembuatan sebuah kebijakan publik. Adapun urutannya adalah intelligence (mengumpulkan dan memproses berbagai pendapat dari proses pembuatan kebijakan), promotion (memilih beberapa pilihan yang ada), prescription (menentukan aksi), Invocation (persetujuan adanya sanksi-
Universitas Sumatera Utara
sanksi), application (diimplementasikan),termination (penghentian)dan appraisal (pe nilaian atau evaluasi). Pengumpulan data hingga penilaian kebijakan adalah sebuah proses pemahaman dari objek secara pasti untuk membuat aturan yang tidak mengurangi kebutuhan lokal. Implementasi kebijakan yangdapat berjalan dengan baik bila di dalam penyelenggaraan implementasi kebijakan publik itu dilandasi dasar-dasar hukum yang kuat dam kebutuhan untuk masyarakat dalam penerapannya.14
1.6.2
Teori Konflik Teori konflik sebenarnya suatu sikap kritis terhadap Marxisme yang
membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi dan tentang elit dominan, pengaturan kelas dan manajemen pekerja. Keadaan permasalahan masyarakat tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan yang melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association) dan mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan.15 Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan (authority), dimana beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lain. Dasar Teori Konflik adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta perumusan kembali teori Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada 14
Wibowo Edi. Hukum dan Kebijakan Publik, Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta.2004 hal 116 15
Bernard Raho. Teori Sosiologi Modern. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta.2007 hal 87
Universitas Sumatera Utara
sistem tersebut. Pendapat yang demikian mengalami perubahan karena pada abad ke20 telah terjadi pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana produksi. Kecuali itu, pada akhir abad ke-19 telah menunjukkan adanya suatu pertanda bahwa para pekerja tidak lagi sebagai kelompok yang dianggap sama dan bersifat tunggal karena pada masa itu telah lahir para pekerja dengan status yang jelas dan berbedabeda, dalam arti ada kelompok kerja tingkat atas dan ada pula kelompok kerja tingkat bawah. Hal yang demikian merupakan sesuatu yang berada di luar pemikiran Karl Marx. Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda.Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan. Teori
konflik
juga
mengatakan
bahwa
konflik
itu
perlu
supaya
terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, di dalamnya teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflikkonflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama.Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus. Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi dan power.
Universitas Sumatera Utara
Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas. Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai. Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan. Selanjutnya, kepentingan kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem sosial yang harus dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang sama, yang disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai. Teori Konflik yang dikemukakan juga membahas tentang intensitas bagi individu atau kelompok yang terlibat konflik. Dalam hal ini, intensitas diartikan sebagai suatu pengeluaran energi dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik. Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi intensitas konflik, yaitu (1) tingkat keserupaan konflik, dan (2) tingkat mobilitas. Selain itu juga membicarakan tentang kekerasan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Konsep tentang kekerasan, yaitu menunjuk pada alat yang digunakan
oleh
pihak-pihak
yang
saling
bertentangan
untuk
mengejar
kepentingannya. Tingkat kekerasan mempunyai berbagai macam perwujudan, dalam arti mulai dari cara-cara yang halus sampai pada bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat kejasmanian.16 Perlu diketahui salah satu faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi tingkat kekerasan dalam konflik kelas, yaitu tingkat yang menyatakan bahwa konflik itu secara tegas diterima dan diatur. Pada hakikatnya konflik tidak dapat dilenyapkan karena perbedaan di antara mereka merupakan sesuatu yang harus ada dalam struktur hubungan otoritas. Konflik yang ditutup-tutupi, cepat atau lambat pasti akan muncul, dan apabila upaya penutupan itu secara terus-menerus maka dapat menyebabkan ledakan konflik yang hebat. 16
Ralf Dahrendorf,.”The modern social conflict: an essay on the politics of liberty”. University of California Press, 1990. Hal 34
Universitas Sumatera Utara
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya.Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Di dunia internasional kita dapat melihat bagaimana, apakah dalam bentuk tindakan militer atau di meja perundingan mampu menetapkan batas-batas geografis nasional. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, oleh karena konflik kelompok-kelompok baru dapat lahir dan mengembangkan identitas strukturalnya dalam pengukuhan sebagai kelompok. Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut benarbenar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. 1.6.3
Teori Hukum Adat dan Prinsip-prinsip Hukum Adat
Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi dan dipihak lain tidak dikodifikasikan, artinya tidak tertulis dalam bentuk kitab undang-undang yang tertentu. Susunannya menghilangkan kesalahpahaman yang melihat hukum adat identik dengan hukum agama, membela hukum adat terhadap usaha pembentuk undang undang untuk mendesak atau menghilangkan
Universitas Sumatera Utara
hukum adat, dengan meyakinkan membentuk undang-undang itu bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup yang mempunyai suatu jiwa dan sistem sendiriyang membagi
wilayah
hukum adat Indonesia
dalam
19 lingkungan hukum adat
(adatrechts-krungen), sebagai berikut: 1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkil, Semeuleu) 2. Tanah Gayo, Alas dan Batak
Tanah Gayo (Gayo lueus)
Tanah Alas
Tanah Batak (Tapanuli)
Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
Nias (Nias Selatan)
3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci) 4. Mentawai (Orang Pagai) 5. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar) 6. Sumatera Selatan
Bengkulu (Renjang)
Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
Jambi (Orang Rimba, Batin, dan Penghulu)
Enggano
7. Bangka dan Belitung 8. Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim,
Universitas Sumatera Utara
Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan) 9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo) 10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai) 11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna) 12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Kao, Tobelo, Kep. Sula) 13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar) 14. Irian 15. Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima) 16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa) 17. Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura) 18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta) 19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)17
Pasal 5 Undang -Undang Pokok Agraria menyebutkan: Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan lainnya segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agraria. Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum adat merupakan sumber utama untuk meperoleh bahan-bahan yang berupa konsepsi, azas-azas dan 17
Soerjono Soekanto.Hukum Adat Indonesia..PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007. hal 19-20
Universitas Sumatera Utara
lembaga-lembaga hukum untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum tertulis yang menurut sistem hukum adat. Hukum tanah yang baru yang dibentuk dengan menggunakan bahan-bahan berupa norma-norma yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis, merupakan hukum tanah yang nasional positif yang tertulis. Fungsi hukum adat sebagai sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional inilah yang dimaksudkan konsideran UUPA, bahwa hukum nasional “berdasarkan atas hukum adat”.18 Maka tidak ada alasan untuk meragukan bahwa yang dimaksudkan UUPA dengan hukum adat itu adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsurunsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluragaan yang berazaskan keseimbangan serta diliputi suasana keagamaan. Dalam hubungannya tanah tertanam suatu kepercayaan bagi setiap kelompok. Suatu lingkungan tanah sebagai peninggalan atau pemberian dari sesuatu kekuatan yang gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan pada anggotanya dari kelompok masyarakat hukum adat. Hukum adat yang selama ini dikenal seperti yang dikemukakan oleh Hardjipto Notopuro yang menyebutkan hukum adat itu adalah hukum adat yang tidak selalu dipakai dalam pengertian yang sama.19 Hukum adat yang dianut di dalam ketentuan UUPA harus : a. Pro kepada kepentingan nasional, adanya prinsip nasionalitas artinya hukum adat itu harus dapat menyatakan dengan tegas bahwa hanya warga Negara Indonesia yang mempunyai hak sepenuhnya atas bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan dalam semua lembaga-lembaga hak-hak atas agraria tersebut setiap kali akan menonjol seperti siapa yang boleh mempunyai hak milik, hak guna bangunan, dan hak guna usaha. 18
Zaidar.Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia.pustaa Bangsa Press. Medan. 2010. hal 24
19
Hardjito Notopuro. Tentang Hukum Adat, Pengertian, dan Pembatasan dalam Hukum Nasional, Majalah Lembaga, Pembinaan, Hukum Nasional Nomor 4 Tahun 1969, Jakarta(dalam PDF)
Universitas Sumatera Utara
b. Pro kepada kepentingan Negara, dalam pengertian ke luar bahwa Negara tidak akan mengadakan suatu kompromi atau toleransi untuk meniadakan hak-hak bangsa Indonesia dan dalam kepentingan Negara lebih diutamakan dari kepentingan-kepentingan seorang dan harus lebih mengutamakan kepentingan Negara dari kepentingan pribadi. c. Pro kepada persatuan bangsa, ini member arti bahwa hukum adat harus menyatakan bahwa setiap warga Negara Indonesia dimanapun ia berada di wilayah Negara Republik Indonesia sama hak untuk mempunyai tanah atau hak agraria. d. Pro kepada sosialisme Indonesia, ini artinya bahwa pengertian ini sebagai sila-sila yang terkandung di dalam Pancasila (lihat TAP.MPR/XXXVIII/1968). e. Bahwa hak-hak adat itu harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan umum yang diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria maupun oleh peraturan-peraturan sejenisnya yang lebih tinggi, ini berarti bahwa Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan lainnya yang diterbitkan oleh pemerintah akan merupakan peraturan yang umum, sedangkan hak-hak adat itu akan tunduk pada perubahan atau penetapan dari hak-hak agraria yang akan dituangkan ke dalam UndangUndang atau Peraturan Pemerintah. f. Bahwa sebagai ciri khusus dari Undang-Undang Pokok Agraria lembaga hukum agama (Islam) sudah merupakan bagian dari hukum adat menurut versi UndangUndang Pokok Agraria artinya sudah diresifir dalam lembaga-lembaga hukum adat khususnya lembaga wakaf.20
20
Affan Mukti. Pembahasan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Medan. USU Press. 2010. Hal 38-39.
Universitas Sumatera Utara
1.7
METODOLOGI PENELITIAN Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka
dasar teori diatas, penelitian ini memiliki tujuan untuk menulis secara sistematis dalam suatu kajian. Ditinjau dari epistomologi kegiatan penelitian ini meliputi metode penelitian, jenis penelitian, lokasi penelitian, data dan teknik pengumpulan data dan teknik analisis data. Kajian penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. 1.7.1
Metode Penelitian Metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode deskriptif analisis yang
bersifat penemuan fakta-fakta yang digunakan untuk memecahkan masalah, memahami dan data yang serta untuk mengantisipasi masalah yang ada. Peneliti memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena yang terjadi di lapangan. Penemuan yang berarti itu datanya benar-benar baru yang memang sebelumnya belum pernah diketahui, sedangkan pembuktian yang berarti itu datanya bisa digunakan untuk membuktikan keraguan terhadap pengetahuan atau informasi tertentu. Sementara untuk pengembangan yang berarti itu bisa memperluas dan memperdalam pengetahuan yang ada. Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan pengujian hipotesa seperti yang dilakukan pada
Universitas Sumatera Utara
penelitian
ekspalanatif
berarti
tidak
dimaksudkan
untuk
membangun
dan
21
mengembangkan perbendaharaan teori .
1.7.2
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif,
yaitu peneliti yang mengacu pada identifikasi sifat-sifat yang membedakan sekelompok manusia, benda atau peristiwa. Pada dasarnya deksriptif kualitatif melibatkan proses konseptualisasi dan menghasilkan pembentukkan skema-skema klasifikasi22. Dengan menggunakan keadaan/obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang ada dengan ciri-ciri pokok metode deskripstif sebagai berikut : 1. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual. 2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi yang rasional23.
1.7.3
Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini, lokasi yang menjadi sumber penelitian yaitu di Desa
Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara yang berjarak sekitar 284 km dari Medan.
1.7.4
Data dan Teknik Pengumpulan Data
a. Data primer adalah data yang diambil dari sumber data pertama. Data primer didapatkan dari observasi dan wawancara. Wawancara yang dilakukan kepada key informan yaitu:
21
Husaini Usman& Purnomo Setiady. Metodologi Penelitian Sosial. PT. BumiAksara. Jakarta.2009 hal 23 Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta. Prenada Media Group.2009 hal 15 23 Ibid. hal 36 22
Universitas Sumatera Utara
1. Unsur dari Pemerintah; Kepala Badan Pertanahan Nasional Humbang Hasundutan. 2. Unsur dari Perusahaan Toba Pulp Lestari; Pimpinan Toba Pulp Lestari. 3. Unsur dari Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat; Pimpinan KSPPM. 4. Unsur dari
Tokoh Adat
danKepala Desa
Pandumaan-Sipituhuta
Kabupaten Humbang Hasundutan- Sumatera Utara b. Data sekunder, dimana data yang dapat diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh melalui buku, makalah, laporan, jurnal dan lain-lain. Nantinya teori dan referensi dari sumber-sumber data sekunder tersebut dapat dijadikan panduan dalam melakukan penelitian ini.
1.7.5
Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan penulis adalah dengan teknik analisis
data
induktif
yang
dimulai
dengan
melakukan
observasi-observasi
untuk
24
menemukkan pola atau hubungan daripada judul penelitian. Artinya disini penulis terjun kelapangan untuk observasi dan memperkuatnya dengan melakukan wawancara maka penulis melakukan penyederhanaan dengan mengkombinasikan keduanyan menjadi alat analisis bagi penulis. 1.8
SISTEMATIKA PENULISAN Untuk lebih terarah dan mempermudah dalam membahas skripsi ini, maka
penyusunan akan mensistematiskan pembahasan sebagai berikut:
24
Bagong Suyanto,dkk. 2008. Metode Penelitian Sosial. Jakarta. Kencana. hal 86
Universitas Sumatera Utara
BABI
:
PENDAHULUAN Dalam bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penelitian.
BABII :
PROFIL
DESA
PANDUMAAN
SIPITUHUTA
DAN
PT.
TOBA PULP LESTARI Dalam bab ini akan menguraikan tentang sejarah, demografi, keadaan sosial, ekonomidan struktur masyarakat desa dari lokasi penelitian di DesaPandumaan-Sipitu
Huta
Kecamatan
Pollung,
Humbang
Hasundutan.Profil PT. Toba Pulp Lestarimeliputi sejarah, profil bisnis perusahaan, wilayah hutan guna usaha dan struktur organisasi PT. Toba Pulp Lestari.
BABIII :
ANALISIS DATAKONFLIK AGRARIA DI DESA PANDUMAAN-SIPITUHUTA Dalam bab ini nantinya akan berisikan tentang penyajian data dan juga fakta penyebab konflik agraria yang terjadi di desa PandumaanSipituhuta dan awal terjadinya konflik agraria, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan. Menganalisisnya dengan membahasproses penyelesaian
lahanhutandankronologis
upaya
untuk
tindakanmasayrakat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan.
BAB IV :
PENUTUP Bab ini merupakan bab akhir yang berisi adanya saran-saran yang peneliti peroleh setelah melakukan penelitian.
Universitas Sumatera Utara