BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tulisan ini membahas tentang implementasi kebijakan sertifikasi keamanan pangan pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan jasa boga (Catering). Hal ini dilatarbelakangi oleh argumentasi bahwa mayoritas produk olahan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah produk dari Industri Rumah Tangga (IRT) yang notabene-nya memiliki keterbatasan sumber daya untuk menjamin keamanan pangan hasil produksinya sebagaimana diatur dalam kebijakankebijakan yang dibuat oleh pemerintah tentang kemanan pangan agar hak-hak konsumen tetap terjamin seperti yang diatur dalam Pasal 4 Huruf (a) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa hak konsumen di antaranya adalah “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa”. Adapun, makna “Pangan” itu sendiri secara yuridis telah didefinisikan pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan: “Segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman”.
Sedangkan, maksud “Keamanan Pangan” sebagaiamana disebutkan pada pasal 1 ayat 5 dalam Undang-Undang Pangan tersebut: “kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan 1
membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi”.
Untuk menjamin keberadaan keamanan pangan yang sesuai dengan penjelasan di atas, khususnya pangan yang diproduksi oleh Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan jasa boga (Catering), maka pemerintah memiliki kebijakan yang bertujuan untuk menjamin keamanan pangan yang diproduksi oleh mereka melalui kebijakan sertifikasi keamanan pangan agar pangan yang diproduksi dapat memenuhi standar keamanan pangan. Produksi pangan tanpa memperhatikan aspek kemanan pangan akan menimbulkan resiko kesehatan bagi konsumen akibat adanya cemaran biologis, kimia atau benda lain. Sebagai contoh adalah kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) yang terjadi di Institut Pertanian Bogor pada bulan Desember tahun 2015. Dalam kasus tersebut terdapat 28 mahasiswa yang terserang virus Hepatitis A dalam waktu yang bersamaan akibat pangan (air minum) yang dikonsumsi terkena cemaran biologis (Susanto, 2015). Selain itu, pangan yang diolah dengan dicampuri bahan-bahan tambahan yang tidak sesuai peruntukannya juga tidak akan menghasilkan olahan pangan yang aman, seperti dicampuri methanil yellow (pewarna sistetis untuk tekstil) sebagaiamana puding yang dijual di suatu kantin Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jakarta (Romadoni, 2015). Menyikapi contoh masih adanya pangan yang tidak aman seperti yang disebutkan di atas, penelitian ini ditujukan untuk melakukan pengkajian lebih dalam tentang kebijakan sertifikasi keamanan pangan dari aspek implementasinya karena sudah perangkat terdapat kebijakan, namun hingga kini masih beredar 2
pangan yang tidak aman khususnya yang diproduksi oleh Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan jasa boga (Catering). Adapun instrumen-instrumen kebijakan yang berhubungan dengan sertifikasi keamanan pangan produk Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan jasa boga (Catering) yang berlaku di Indonesia saat ini, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (direvisi menjadi UndangUndang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan), Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PMK RI) Nomor 1096/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasa Boga, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT), dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT). Masih beredarnya pangan yang tidak aman merupakan suatu permasalahan publik sehingga perlu dibuat suatu kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Selain itu, keberadaan pangan yang aman tidak akan dapat diwujudkan apabila kebijakan yang dibuat tidak diimplementasikan karena secara teoritis kebijakan publik memiliki tiga tahapan, yaitu tahap formulasi, implementasi, dan evaluasi. Kebijakan publik itu sendiri menurut Thomas R. Dye (dalam Soenarko, 2000:41) adalah apa saja yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dilakukan atau 3
tidak dilakukan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Riant Nugroho (dalam Yuwono, 2008:4) yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah sebagai tokoh sentral kebijakan publik. Tujuan kebijakan publik adalah untuk menyelesaikan permasalahan publik seperti masalah keamanan pangan. Sedangkan, agar kebijakan publik menjadi nyata, diperlukan adanya proses penting dalam kebijakan publik, yaitu proses implementasi kebijakan publik, yang menurut Wahab (2005:59) merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Bahkan Udoji (dalam Wahab, 2005:59) mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan menjadi sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip jika tidak diimplementasikan. Untuk itu, penelitian ini difokuskan pada proses implementasi kebijakan publik yaitu kebijakan tentang sertifikasi keamanan pangan. Dalam pelaksanaannya, penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Jepara. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara, Industri Kecil Menengah (IKM) yang beroperasi pada bidang makanan merupakan sektor unggulan penggerak perekonomian masyarakat karena merupakan nomor 2 terbanyak setelah Industri Kecil Menengah (IKM) di bidang Furniture kayu. Berdasar data tersebut juga,
4
diketahui bahwa IKM di sektor makanan menjadi urutan ke-2 dalam hal penyerapan tenaga kerja seperti yang tersaji pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Banyaknya Unit Usaha (unit) dan Tenaga Kerja (orang) Dirinci Menurut Jenis Industri Kecil Menengah (IKM) Tahun 2013 Jenis Industri Kecil Menengah (IKM) Unit Usaha Tenaga Kerja Furniture Kayu 5.312 70.412 Kerajinan Rotan 615 3.391 Tenun Ikat 517 7.918 Monel 582 1.220 Gerabah 57 221 Genteng 812 4.393 Rokok Kretek 13 389 Kerajinan Kayu 871 5.714 Makanan 2.405 11.362 Konveksi 1.587 8.976 Bordir 311 1.968 Mainan Anak 181 1.279 Sumber: BPS Jepara (2013) Dari 2.405 IKM yang bergerak di bidang makanan pada tahun 2013, tidak seluruhnya memiliki sertifikat atau dokumen dari BPOM maupun Dinas Kesehatan yang menyatakan bahwa produk yang dihasilkan sudah memenuhi unsur-unsur ketentuan pangan yang aman, karena hingga bulan desember 2015, hanya terdapat 398 Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) yang memiliki Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) dan 216 jasa boga (Catering) yang memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasa Boga (SLHS Jasa Boga), (DKK Jepara. 2015). Berdasar data di atas, diketahui bahwa IKM yang memproduksi pangan banyak yang tidak memiliki sertifikat penunjang atau penjamin kemanan pangan yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara sehingga keamanan pangan akan sulit terjamin.
5
Untuk menjamin keamanan pangan produk Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan jasa boga (Catering) yang ada di Kabupaten Jepara, kebijakan tentang sertifikasi keamanan pangan yang sudah ada tentu harus diimplementasikan. Implementor yang berkepentingan di antaranya adalah Pemerintah Kabupaten Jepara, dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara1, dan tentu juga para pelaku usaha Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan jasa boga (Catering)2. Meski instrumen kebijakan keamanan pangan sudah diterbitkan, masih terdapat pangan olahan tidak aman yang beredar luas, hal ini diungkapkan oleh staf Seksi Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara, yang menyatakan bahwa saat melakukan inspeksi kepada penjual Pangan dan Jajan Anak Sekolah (PJAS) di kantin sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP), diperoleh pangan yang mengandung Rodhamine B (Pewarna Tekstil), dan saat melakukan pembinaan di pasar, menjumpai ikan teri yang mengandung formalin (wawancara pada tanggal 12 desember 2015 di kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang fakta-fakta implementasi kebijakan sertifikasi keamanan pangan pada 1
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 20014 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, peran Bupati/Walikota, dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan Kabupaten yaitu melakukan pembinaan kepada pelaku Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat 4 yang menyatakan “Pembinaan terhadap produsen pangan siap saji dan Industri Rumah Tangga Pangan dilaksanakan oleh Bupati/Walikota”.
2
Pelaku Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) diwajibkan menjalankan standar yang diatur oleh BPOM, yaitu standar tentang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT) sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012, begitu pula bagi pelaku usaha jasa boga (Catering) wajib menjalankan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PMK RI) Nomor 1096/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasa Boga.
6
Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan jasa boga (Catering) di Kabupaten Jepara dalam penelitian yang berjudul “Implementasi Kebijakan Sertifikasi Keamanan Pangan pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan Jasa Boga (Catering), (Studi di Kabupaten Jepara)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah implementasi kebijakan sertifikasi keamanan pangan pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan jasa boga (Catering) di Kabupaten Jepara berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PMK RI) Nomor 1096/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasa Boga dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT) 2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan sertifikasi keamanan pangan pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan jasa boga (Catering) di Kabupaten Jepara. C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian adalah berusaha untuk menjawab perumusan masalah yang telah dikemukakan. Sesuai dengan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis implementasi kebijakan sertifikasi keamanan pangan pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) 7
dan jasa boga (Catering) di Kabupaten Jepara berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PMK RI) Nomor 1096/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasa Boga dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT) 2. Untuk
mendeskripsikan
dan
menganalisis
faktor
pendukung
dan
penghambat yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan sertifikasi keamanan pangan pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan jasa boga (Catering) di Kabupaten Jepara. D. Kontribusi Penelitian Adapun manfaat yang dapat diberikan maupun diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Akademis a. Memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai kebijakan sertifikasi keamanan pangan b. Sebagai bahan perbandingan dalam melakukan penelitian serupa, baik yang sudah dilakukan maupun yang akan dilakukan di masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan kajian bagi seluruh stakeholder yang terkait dengan implementasi kebijakan sertifikasi keamanan pangan. 8
E. Sistematika Penulisan Dalam tulisan ini, penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab, yaitu: BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini dijelaskan: 1) latar belakang permasalahan, yaitu tentang masih adanya produk pangan yang tidak aman disertai masih banyaknnya Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan jasa boga (Catering) yang tidak memiliki sertifikat penjamin keamanan pangan, 2) pokok permasalahan yang menjadi pertanyaan penelitian, yaitu mengenai
bagaimana
kebijakan
sertifikasi
keamanan
pangan
diimplementasikan dan faktor apa saja yang mendukung serta menghambat implementasinya, 3) tujuan dan manfaat penelitian yang ditinjau dari sudut pandang praktis maupun sudut pandang akademis, dan 4) sistematika penulisan laporan penelitian yang membahas mengenai bagaiamana susunan penulisan dalam penelitian ini. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang teori-teori yang menyajikan konsep-konsep dasar yang berkaitan dengan permasalahan pada penelitian sebagai landasan atau arahan yang digunakan dalam penelitian: 1) kebijakan publik, dengan menggunakan teori serta pendapat dari Bidyut Chakrabarty (2012), Solichin Abdul Wahab (2005) dan beberapa ilmuwan lainnya, 2) implementasi kebijakan publik, dengan mendasarkan pada teori dan pendapat AnnO’M Bowman (2005), Wayne Parson (2006), M Irfan Islami (2001), Leo Agustino (2006) dan juga teori yang dikemukakan 9
oleh para ilmuwan lainnya, dan 3) kebijakan sertifikasi keamanan pangan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PMK RI) Nomor 1096/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasa Boga dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT) BAB III METODE PENELITIAN Dalam bab ini dibahas mengenai metode penelitian yang meliputi metode penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik pengolahan (analisis) data, situs penelitian dan proses penelitian. BAB IV PEMBAHASAN Bab ini membahas mengenai; 1. Implementasi kebijakan sertifikasi keamanan pangan pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dan jasa boga (Catering) di Kabupaten Jepara dari sudut pandang pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan yang didalamnya dibahas tentang proses kegiatan sertifikasi keamanan pangan dengan melihat aspek penyuluhan, pemeriksaan, penerbitan sertifikat, dan monitoring dalam rangka mengimplementasikan kebijakan sertifikasi keamanan pangan, dan juga dari sudut pandang pelaku usaha IRTP serta jasa boga, yang didalamnya dibahas mengenai aspek-aspek pemenuhan standar sertifikasi keamanan pangan yang sudah diatur dalam kebijakan 10
sertifikasi keamanan pangan, baik yang bersifat administratif maupun teknis. 2. Faktor-faktor pendukung dan penghambat yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan sertifikasi keamanan pangan pada IRTP dan jasa boga di Kabupaten Jepara. Faktor-faktor yang dijadikan indikator pada pembahasan ini: a) faktor kebijakan, b) dinamika organisasi, c) sumber daya, dan d) partisipasi. Bab ini juga disertai dengan analisis yang mendalam berdasarkan teori-teori yang berkaitan, serta diperkuat dengan informasi yang didapat melalui wawancara dan observasi pada Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara, pelaku usaha IRTP dan jasa boga serta institusi lain yang terlibat. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan terhadap pembahasan permasalahan disertai rekomendasi-rekomendasi yang mungkin dijalankan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
11