BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Tulisan ini mendiskripsikan tentang lembaga perlindungan anak yang
berada di kota Medan yakni Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) di Jalan Abdul Hakim No.5A Pasar 1 Setia Budi Medan, yang memberikan perlindungan pada anak korban kekerasan dalam rumah tangga. Peneliti juga memilih lokasi LSM PKPA karena merupakan salah satu lembaga perlindungan anak di kota Medan yang telah lama berdiri sejak tahun 1996 dan telah banyak menangani kasus anak dan perempuan dalam realita kehidupan, peneliti tergabung pada unit layanan PUSPA (Pusat Pengaduan Anak) PKPA yang salah satu implementasi kerjanya kepada isu kekerasan anak dalam rumah tangga. Alasan peneliti memilih judul ini karena peneliti tertarik untuk meneliti sebuah fenomena nyata kekerasan kepada anak yang tampak kecil tetapi meluas. Salah satu indikator sebuah negara dikatakan maju dan berkembang dilihat dari pembangunan yang telah dilakukan pada sebuah negara tersebut. Indonesia termasuk dalam dominasi negara berkembang hal ini karena pembangunan di Indonesia masih dalam tahap mencontoh negara maju. Pembangunan melanda hampir sebagian besar muka bumi ini dan menjadi ciri zaman modern, rupanya menampilkan kesenjangan ekonomi atau pendistribusian modal yang tidak adil. Dampak dari kesenjangan ekonomi ini membuat masyarakat secara tidak rata tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari akibat lapangan pekerjaan yang sempit. Seperti halnya pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin
Universitas Sumatera Utara
bertambah menyebabkan kasus kriminalitas selalu terjadi setiap harinya disebabkan oleh sempitnya lapangan pekerjaan, sehingga berdampak pada angka pengangguran yang semakin tinggi, angka kemiskinan yang semakin tinggi, dan rendahnya tingkat pendidikan karena tidak ada biaya untuk bersekolah. Akibat yang didapat dari pertambahan penduduk tersebut, orangtua maupun anak-anak terpaksa mengambil segala cara untuk menafkahi keluarga maupun diri sendiri. Keterpurukan dalam perekonomian keluarga, orang tua acap kali melampiaskan amarahnya terhadap anggota keluarga yakni anak. Anak dianggap sebagai pelampiasan yang tepat karena orangtua merasa anaklah yang menjadi beban hidup mereka dan anak belum mengerti mengenai persoalan peliknya kehidupan yang dihadapi orangtuanya, seperti kasus ibu dari keluarga miskin di Pulau Nias yang membantai lima anaknya dan tiga diantaranya tewas dan dua lagi kritis1, kasus kekerasan fisik pada anak yang terjadi pada keluarga miskin di Nias disebabkan karena kemiskinan. Biasanya keluarga yang hidup dalam kemiskinan memaksa anak untuk bekerja meringankan kebutuhan keluarga ataupun diri sianak. Pemaksaan anak untuk bekerja dibawah umur dianggap sebagai kekerasan terhadap anak dalam bentuk pengambilan hak anak. Semua ini membuat diri anak selain terancam dan ketakutan anak juga menjadi korban2 dari orangtua. Melihat fenomena adanya kekerasan dalam keluarga baik pada keluarga miskin dan keluarga menengah akibat pembangunan, khususnya yang diperuntukkan hanya dibidang ekonomi saja tanpa memikirkan pembangunan sosial budaya, menimbulkan kesenjangan dalam hal sosial budaya yang 1
Ahmad Sofian, Perlindungan Anak Di Indonesia (Dilema dan Solusinya)2012, PT.Sofmedia, Medan. Hal : 23 ditambah data dari Analisa 8 Januari 2010 “Korban Penganiayaan Ibu Kandung di Nias dibawa ke RS Elisabeth” 2 Korban yang dimaksud adalah orang yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan degradasi/penurunan moral pada bangsa ini. Di Indonesia perlu dikaji kembali dalam Undang-undang dasar pasal 33 ayat 3 “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”, hal ini tidak dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah untuk masyarakat. Banyak masyarakat tidak menerima hak mereka sebagai warga negara Indonesia karena pemerintah kurang peduli dengan jeritan masyarakat kecil. Dampak yang diterima dari adanya pembangunan yang menampilkan kesenjangan ekonomi dan ketidakpedulian pemerintah membuat masyarakat depresi karena tekanan ekonomi keluarga, mereka terus berjuang untuk sesuap nasi. Hal ini bukan saja terjadi pada orang dewasa, anak kecil juga kerap terlihat sebagai pekerja anak di jalan-jalan maupun dirumah-rumah sebagai pembantu rumah tangga. Hal ini dapat ditinjau kembali pada pasal 34 ayat 1 ”Bahwa fakir Miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Apakah pemerintah melakukan tugasnya dengan baik dengan mengurangi angka fakir miskin dan anak terlantar? Tingkat fakir miskin dan anak terlantar yang hidup di jalan-jalan di ibu kota saja belum mampu pemerintah atasi bagaimana dengan kota-kota di Indonesia lainnya? Hal ini yang selalu menjadi bahan perbincangan di lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat setiap harinya. Permasalahan dinamika pembangunan di Indonesia menjadikan masalah anak menjadi sorortan tajam dan rumit, anak sering dipandang sebagai manusia kecil yang belum memiliki hak. Anak hanya memiliki kewajiban untuk mengabdi pada orang dewasa atau orangtua. Sering kali dalam kehidupan sehari-hari pendapat anak diabaikan, anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan
Universitas Sumatera Utara
pendapatnya kepada mereka yang lebih tua, ini merupakan satu bentuk penyalahgunaan hak anak. Sejak lahir seorang anak sudah mempunyai hak asasi sebagai manusia yang dijabarkan dalam UUD 1945. Bentuk penyalahgunaan hak anak ini anak membuat anak merasakan segala sesuatu yang ia kerjakankan harus penuh kehati-hatian agar tidak membuat orang tua, orang dewasa, dan guru marah saat berada di sekolah. Anak tumbuh dan hidup dalam lingkungan keluarga sejak ia dilahirkan, dimana pengertian keluarga merupakan kelompok yang terdiri atas wanita, laki-laki dewasa, dan anak-anak yang belum berdiri diatas kaki sendiri3. Semestinya anak mendapatkan perlindungan dari orang tua bukan mendapatkan perlakuan yang melukai fisik, trauma, depresi akibat ketakutan, dan membuat anak bisa menjadi pemberontak. Kebutuhan manusia tidak hanya material saja yang tampak dari luar, manusia juga membutuhkan hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan kehidupan rohani yang berpengaruh pada kehidupannya. Anak merupakan manusia yang membutuhkan hangatnya kasih sayang dari orang tua maupun keluarganya, menginginkan pelukan hangat pada saat ia bersedih maupun bergembira dan menginginkan bermain bersama teman-teman tanpa beban untuk bekerja sewaktu kecil. Tetapi banyak anak yang tidak merasakan kebahagian seperti itu semasa kecilnya. Tanpa kita sadari, anak-anak yang hidup dalam situasi tertekan tidak punya gairah untuk beradaptasi dengan lingkungannya (bermain dengan teman sebaya). Mereka seperti dihantui ketakutan yang luar biasa di keluarga, sekolah, maupun lingkungan sekitar.
3
Wiliam A. Haviland, Antropologi Edisi Keempat Jild 2, 1993. Erlangga.Jakarta
Universitas Sumatera Utara
Mengambil satu contoh kasus kekerasan anak dalam rumah tangga di Medan Belawan, seorang ayah tega membanting anak tirinya hanya karena jengkel mendegar rengekan anaknya yang masih berusia lima tahun, Bayu. Akibat tindakan ayah tirinya, Bayu menderita patah tulang tangan kanan. Saat ini ayahnya telah menjadi tahanan di POLRES, Pelabuhan Belawan4. Selain patah tulang yang dialami Bayu, secara psikologis Bayu juga mengalami trauma akibat perlakuan kejam sang ayah yang akan membuat Bayu mengalami ketakutan pada orang dewasa dan teman bermainnya dan hal ini dapat menganggu mental dan kejiwaannya. Kekerasan terjadi tidak pernah memandang tempat, kekerasan anak dalam rumah tangga juga dirasakan oleh anak di perbatasan bagian timur Indonesia, Papua Nugini di Daerah miskin Dataran Tinggi Barat. Gadis remaja Papua Nugini ini nekad memenggal kepala ayahnya setelah dirinya diperkosa di rumah sementara si ibu pergi mengunjungi rumah famili. Saat kejadian itu mau dilakukan berulang lagi ketika si ibu tidak dirumah, si gadis langsung mengambil pisau hutan dan memenggal kepala ayahnya. Usai melakukan tindakan sadis itu, si gadis melaporkan tindakannya ke kepala adat. Pastor yang telah bekerja disana berjanji akan membela si gadis tersebut dengan alasan yang dilakukan gadis tersebut sekedar tuntuk melindungi dirinya5. Fenomena nyata sering terjadinya kekerasan biasanya terjadi pada keluarga miskin akibat faktor ekonomi pada sebuah keluarga. Anak yang hidup dalam keluarga menengah jarang merasakan kekerasan dibanding anak yang hidup dalam keluarga miskin atau ekonomi rendah, karena dari segi penghasilan mereka yang hidup dalam ekonomi menengah mampu memenuhi kebutuhan diri 4
19 Juni 2013 “ Ayah Banting Anak Hingga Patah Tulang” Pos Metro. 19 Juni 2013 “ Berulang kali diperkosa, gadis beli PNG nekad memenggal kepala ayahnya”. Harian Analisa.
5
Universitas Sumatera Utara
si anak. Tetapi tidak menghilangkan kemungkinan bahwa kekerasan bisa terjadi pada keluarga menengah atas dengan berbagai faktor penyebab karena kekerasan pada anak terjadi pada semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu. Masalah sosial anak yang terjadi akibat adanya proses dan dinamika pembangunan tidak terjadi pada anak dalam keluarga saja, tetapi kekerasan juga dialami anak jalanan, anak jermal6, anak buruh, dan pekerja anak lainnya. Masalah sosial lainnya dalam laporan menurut UNICEF menyatakan bahwa Indonesia memiliki jumlah anak dengan keterlambatan pertumbuhan terbanyak kelima di dunia. Dari hasil laporan tersebut dapat disimpulkan sekitar 7,8 juta anak usia dibawah lima tahun di Indonesia terhambat pertumbuhannya7. Hal ini menunjukan standarisasi kesehatan di Indonesia untuk ibu dan anak kurang perhatian dari pemerintah. Tersorot dengan laporan anak dan ibu yang diperoleh UNICEF, kebijakan dan strategi UNICEF dalam hal perlindungan anak (E/IEC/1996/14 April 1996) yang telah disetujui oleh dewan eksekutif mengindentifikasikan enam kategori kondisi sulit yang dapat merugikan anak-anak sehingga mereka membutuhkan perlindungan khusus, keenam kategori tersebut adalah 1) kondisi merugikan pekerja anak; 2) perang dan segala bentuk kekerasan terhadap anak; 3) eksploitasi atau perlakuan secara seksual; 4) diksriminasi terhadap anak; 5) kehilangan keluarga atau pengasuh utama secara permanen atau temporer; 6) hukum yang kurang menguntungkan atau perlakuan salah dalam proses hukum dan
6
Jermal adalah Unit pembangunan tempat penangkapan ikan dibangun ditengah perairan lautan selat malaka yang berada pada kawasan sepanjang Panntai Timur Sumatera) 7 7,8 juta anak Indonesia kekurangan gizi kronik: http://life.viva.co.id/news/read/368844-7-8-jutaanak-indonesia-kekurangan-gizi-kronik (diakses tanggal 11 Febuari 2013)
Universitas Sumatera Utara
pengadilan8. Bentuk dari kekerasan pada
anak dalam kondisi sulit harus
mendapatkan perlindungan yang layak dari orangtua, masyarakat, dan pemerintah sesuai UUD 1945. Munculnya kesadaran untuk melindungi anak dari ancaman dan bahaya yang dapat terjadi kapan pun, sejumlah LSM di kota Medan membuat beberapa program perlindungan anak. Kesadaran untuk melindungi anak khusunya di Sumatera Utara berdasarkan pada catatan lembaga perlindungan anak yaitu PKPA pada tahun 1999 terdapat 239 kasus kekerasan terhadap anak, dengan rincian: kekerasan 95 kasus, pembunuhan 26 kasus, penyiksaan 19 kasus, pelecehan seksual 17 kasus, serta beberapa kasus penculikan dan perdangangan (trackfiking) anak untuk tujuan komersial seperti pelacuran. Tahun 2000, PKPA mencatat tidak kurang 203 kasus dan tahun 2001 sebanyak 242 kasus, dengan rincian: perkosaan 84 kasus, penculikan dan perdangangan untuk tujuan komersial 31 kasus, penganiayaan 30 kasus, pembunuhan 28 kasus, dan berbagai kasus kekerasan lainnya9. Catatan kekerasan pada anak di Sumatera Utara juga dimiliki oleh Yayasan Pusaka Indonesia salah satu lembaga perlindungan anak juga
yang
letaknya tidak jauh dari PKPA. Dalam laporannya mengenai kasus kekerasan terhadap anak tahun 2012 mencatat 143 kasus kekerasan pada Januari hingga Juni di Sumatera Utara yang didominasi tindak kekerasan fisik dan seksual yang berjumlah 97 kasus dan penganiayaan 24 kasus, sedangkan kasus lain sejenis
8
Irwanto, Muhammad Farid, dan Jeffry Anwar , Anak yang membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia:Analisis Situasi 1998. Jakarta. 9 Pendidikan Hak Anak (PHA), 2002. Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA).Medan.
Universitas Sumatera Utara
pembunuhan dan penculikan masih kecil10. Hasil laporan tersebut menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi pada anak kian marak bertambah. Di Medan kasus kekerasan pada anak meningkat 55% dengan kasus yang sering ditangani oleh LSM maupun pihak yang berwajib adalah kasus penganiayaan dan pemerkosaan pada anak dengan usia korban yang masih13-18 tahun. Rentannya kekerasan seksual yang terjadi pada usia 13-18 tahun disebabkan pada usia tersebut seorang anak baru memasuki tahap menstruasi dan mimpi basah11. Pemerkosaan dan sodomi yang dilakukan oleh keluarga terdekat maupun tidak dikenal meninggalkan luka trauma dan ketakutan yang tidak dapat dilupakan anak, Berdasarkan catatan kekerasan pada anak yang ada di LSM, kepolisian, dan di kejaksaan, menyimpulkan kota Medan belum dapat dikatakan sebagai kota ramah anak, mengapa? Karena seiring jalannya hari seiring itulah kekerasan anak terjadi walaupun tidak sampai ke lembaga anak, kepolisian, dan pengadilan, tetapi setiap harinya ada luka baru yang dirasakan anak baik cacian, omelan, pukulan, dan cubitan. Didukung dengan data yang tercatat di kepolisian terdapat 50 kasus anak yang mengalami tindak kekerasan di Sumatera Utara, tepatnya di Kabupaten Deli Serdang 23 korban, Kabupaten Serdang Berdagai 15 korban12. Kota Medan menjadi salah satu kota tertinggi kasus TPPO (Trafficking Perdagangan Orang dengan Tujuan Prostitusi) dan ESA (Eksploitasi Seksual Anak) di Indonesia sebagai daerah transit, tujuan, dan rekruitmen. Pada kasus ini PKPA menerima laporan pada tahun 2012 terdapat 11 perempuan yang menjadi korban TPPO. 10
Upaya Perlindungan Anak, Surat Medan Orbit, Kamis, 13 September 2012 Menstruasi adalah salah satu proses alami seorang perempuan yaitu proses deskuamasi atau meluruhnya dinding rahim bagian dalam (endometrium) yang keluar melalui vagina (Prawirohardjo, 2007; Suwarni, 2009). http://arnesvhe.blogspot.com/2012/04/definisi-menstruasidan-gangguanya.html 12 Surat Kabar Analisa, 19 Juli 2012 11
Universitas Sumatera Utara
Wanita kerap kali menjadi sasaran TPPO dan ESA dimana 75% korban kekerasan merupakan anak perempuan dan 25% anak laki-laki. Untuk kasus KDRTA mendapat perhatian dari Badan Pengurus Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Ahmad Sofyan, “Bahwasanya tingkat kekerasan yang ada di Kota Medan sedikitnya dalam setahun ada 1000 tindak kekerasan yang dialami anak” (Analisa, 5 Oktober 2012). Kasus kekerasan seperti fenomena gunung es, secara kultural kasus ini sulit untuk dilihat dan dideteksi karena dianggap sebagai persoalan rumah tangga. Kasus kekerasan yang diibaratkan seperti fenomena gunung es ini menjelaskan bahwa fenomena kekerasan yang terjadi didalam masyarakat tampak kecil, namun dibawah permukaan air laut fenomena kekerasan begitu besar dan luas. Kasuskasus kekerasan anak yang terjadi didalam lapisan masyarakat disebabkan adanya dominasi patriarki, dimana posisi anak selalu menjadi inferior, anak tidak mempunyai hak untuk membantah orangtua, anak tidak punya hak untuk berpendapat, ini menempatkan posisi anak semakin tersudut di keluarga dan membuat hak-hak anak terabaikan.
Gambar 1: Fenomena Gunung Es
Universitas Sumatera Utara
Kedudukan seorang anak lebih diposisikan pada asuhan ibunya ketimbang ayahnya disebabkan daya kreativitas wanita secara alami dapat dipenuhi melalui proses melahirkan. Keterlibatan wanita dalam kegiatan produksi membatasi mereka pada fungsi-fungsi sosial yang juga lebih dekat kepada alam. Dalam artian merujuk pada pembatasan wanita dalam wilayah dosmetik13. Peran wanita yang dekat kepada alam ini yang membuat wanita dihubungkan kedalam konteks pengasuhan anak.
Segala kesalahan yang dilakukan anak, pihak ayah akan
menyalahkan pihak ibu yang salah mendidik anak. Adanya jenjang yang berbeda laki-laki dan wanita membuat wanita selalu berada dalam posisi bawah sampai pada zaman modern seperti ini. Seorang ibu akan selalu berusaha melindungi anaknya dari ancaman dan perlakuan kasar ayahnya tidak mengherankan bila korban KDRT juga dialami oleh seorang isteri yang berusaha melindungi anaknya. Karena perbuatan kasar dari sang ayah kepada anak membuat ayah kerap dijadikan objek yang sangat dibenci anak karena ketegasannya dalam mendidik. Anak akan selalu patuh terhadap perintah orang tuanya diselangi faktor ketakutan. Hal ini didukung karena tidak selamanya ibu berada dalam pembelaan untuk melindungi anak. Kekerasan yang dirasakan anak dalam rumah tangga baik kekerasan fisik, non fisik, ekonomi ,seksual, maupun struktural yang bisa kapan saja dirasakan oleh anak akan menyebabkan kekecewaan yang luar biasa terhadap orang tua maupun anggota keluarga lainnya bahkan trauma yang membekas pertama kali dirasakan anak dalam keluarga. Keluarga merupakan awal anak bersosialisasi dengan hal apapun sejak anak dilahirkan. Walaupun anak tidak merasakan 13
Henrietta L.Moore”Feminist dan Antropologi” 1998. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Universitas Sumatera Utara
kekerasan fisik semasa kecilnya dari orang tua maupun anggota keluarga tetapi saat anak menerima omelan ataupun cacian dari keluarga, ini merupakan bentuk kekerasan non fisik yang dialami sianak. Seperti misalnya saat anak dikatakan “tidak tahu diuntung, dasar anak haram, wanita murahan, pembawa aib”. Katakata kasar seperti ini hanya dapat diingat dan disimpan anak dalam hati tanpa dapat memberikan satu kata penolakkan karena mengingat posisinya hanyalah sebagai anak. Contoh lainnya yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, anak memecahkan piring lalu dengan cekatan si ibu mencubit dan menjewar telinga anak hingga membiru membuat anak menjerit kesakitan lalu disertai omelan dan tatapan mata yang tajam membuat anak menjadi takut dan menangis. Ini bentuk kekerasan fisik yang sering terjadi walaupun kasus tidak sampai ke lembaga anak. Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak atau sering disebut KDRTA harus mendapatkan perhatian yang serius dari orang tua, masyarakat, dan pemerintah. 1.2
Tinjauan Pustaka Anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun (0-18 tahun),
termasuk anak yang masih dalam kandungan yang harus dijaga, dirawat, dan dilindungi14. Anak mempunyai kerentanan hidup selama masa tumbuh kembang dan mesti dijadikan entry point dalam memposisikan anak sebagai bagian terpenting dalam kehidupan. Pemeritah, masyarakat dan keluarga adalah penyumbang terbesar bagi proses pertumbuhan dan perkembangan anak menuju masa depan15. Beragam kebijakkan dan program pembangunan terukur dalam
14
Definisi anak menurut informan Peneliti Ibu Emi di PKPA Muhtad, Madja El, HAM (Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ) hal.232, 2008, PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta. 15
Universitas Sumatera Utara
kerangka perlindungan anak yang harus menjadi agenda terdepan dalam memberikan kehidupan terbaik bagi anak. Pembangunan di Indonesia tidak terlepas dari perkotaan dan masalah sosial karena setiap perkembangan kota selalu diikuti oleh masyarakat sosial. Semakin maju suatu negara maka masalah sosial akan semakin kompleks. Masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat tersebut yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan yang dalam rumah tangga yang dilimpahkan kepada anak. Muhammad Joni dan Zulchaina (1999:2) mengatakan pembangunan ekonomi membuat masalah lain yang mengejutkan, diantaranya adalah pekerja anak, pekerja seks anak/trackfiking anak, dan kekerasan serta penyiksaan terhadap anak. Munculnya pekerja anak dalam berbagai sektor disebabkan sulitnya memenuhi kebutuhan anak dalam keluarga sehingga memaksa anak untuk terjun dalam sektor industri maupun prostitusi. Di berbagai belahan dunia terdapat undang-undang perlindungan anak seperti di Amerika serikat telah dibentuk pengadilan anak (Juvenile court) sejak tahun 1989 dan merupakan undang-undang peradilan anak yang pertama yang berarti bahwa penguasa pemerintah harus bertindak apabila anak-anak membutuhkan pertolongan, sedang anak yang melakukan kejahatan bukannya dipidana, melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan16, maksud diberi bantuan adalah anak diberikan kepada orang tua asuh baru atau dimasukkan kedalam penampungan anak dengan pengawasan dari pekerja sosial perlindungan anak. Selama anak dalam pengasuhan dan pengawasan orang tua asuh pemerintah akan memberikan pembiayaan setahun penuh kepada anak yang diberikan kepada 16
Ibid
Universitas Sumatera Utara
orang tua asuh untuk pendidikan, membeli pakaian, dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Di Belanda juga sudah memiliki undang-undang perlindungan anak sejak tahun 1905 terlepas dari keprihatinan negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara mengenai bertambah banyaknya kriminalitas yang dilakukan oleh anak, hal yang dilakukan Belanda untuk mengurangi angka kriminalitas tersebut dengan mengikutsertakan pekerja sosial dan masyarakat yang juga bertanggung jawab dalam setiap perbuatan buruk anak. Juga terhadap penanganan perkara menyangkut anak yang diperlakukan sama dengan orang dewasa, maka di berbagai negara dilakukan usaha-usaha kearah perlindungan anak. Indonesia juga telah memiliki undang-undang perlindungan anak yang dibahas dalam UUD 1945 mengenai bentuk perlindungan anak pada pasal 28G, 28I, 29, dan 34. UU No.23 Tahun 1992 tentang perlindungan anak,
UU No.4 Tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak, UU No.2 Tahun 1988 tentang usaha kesejahteraan bagi anak yang mempunyai masalah, Konvensi Hak Anak melalui Keppres No.39 Tahun 1990, dan UU Pengahapusan KDRT UU.23 Tahun 2004. Indonesia juga memiliki pekerja sosial yang terutama mengarah kepada anak–anak jalanan. Pekerja sosial yang ada di Kota Medan memiliki nama Sakti Peksos dibawah naungan Dinas Kementrian sosial hanya saja pekerja sosial belum memiliki hak kerja secara penuh karena tidak adanya sertfikasi yang melibatkan mereka. Untuk menjadi pekerja sosial sendiri harus mempunyai latar pendidikan S1 Kesejateraan Sosial. Mengambil judul tentang sebuah lembaga yang melindungi anak yakni PKPA di Medan. Malinowski menyatakan bahwa sistem pengendalian sosial yang ada dalam masyarakat bernegara, karena hanya ada dalam suatu organisasi sosial
Universitas Sumatera Utara
seperti itulah mungkin ada alat-alat seperti polisi bersenjata, pengadilan, penjara, dan sebagainya yang semuanya merupakan sarana mutlak bagi keberlangsungan hidup hukum”17. Dalam artian menurut peneliti sebuah LSM berdiri didasarkan unsur atau fenomena nyata yang dilihat dari lapangan seperti PKPA ini berdiri karena kesadaran masyarakat untuk menjaga tatanan sosial di dalam masyarakat dimana semua didasarkan kepada hukum yang bersifat memaksa dan setiap LSM yang berbadan hukum berlatar dengan polisi, pengadilan, dan berakhir di penjara. Asumsinya hukum berfokus pada kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dari para warga masyaraka. Hukum digunakan dalam masyarakat terutama
dalam
sebuah
lembaga
perlindungan
anak
dengan
eksitensi
mengendalikan perilaku, sehingga kepentingan-kepentingan tidak bertubrukan, kalau kepentingan sudah bertubrukan maka hukum mulai bergerak untuk membereskan gangguan sosial yang ada didalam masyarakat. Hukum sendiri bukan semata hanya undang-undang saja tetapi hukum menyangkut nilai, norma, pranata, aturan yang berkaitan dengan agama, adat, kebiasaan-kebiasaan lain, dan kesepakatan yang telah diakui masyarakat18. 1.2.1
Definisi Kekerasan
Ada banyak definisi kekerasan atau abuse. Kekerasan adalah “Tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak”19. Secara teoritis kekerasan terhadap anak (child abuse) didefinisikan sebagai “peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tangungg jawab terhadap
17
Koetjaranigrat “Sejarah Teori Antropologi 1” UI Press Hal.167 http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=29&ved=0CHAQFjAIO BQ&url=http%3A%2F%2Fdigilib.unimed.ac.id%2Fpublic%2FUNIMED-Master-679015050019%2520Bab%2520II.pdf&ei=UQh5Up3kGceFrQefiYGoAw&usg=AFQjCNGBLmXed Y70Dj7-cVzSzmp1ywQUDw&sig2=mIDmsZ5LHx8M1GFKX5HIrQ&bvm=bv.55980276,d.bmk
18
19
Definisi Kekerasan: http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak (diakses : 3 November 2012)
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan anak yang mana semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan anak”20. Dalam undang-undang peghapusan kekerasan dalam rumah tangga dalam BAB I Pasal 1 mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut: “Setiap perbuatan terhadap seorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancama untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” Lalu secara Kamus Besar Bahasa Indonesia kekerasan adalah “Perihal (yang bersifat, berciri) keras: perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. (W.J.S. Poerwadarminta).
The Social Work Dictionary mendefinsikan kekerasan sebagai berikut: “ Im proper behavior intended to cause phsycal, psychological, or financial harm to an individual or grup” (“kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik , psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok”, Barker 1987:1) Dalam Encyclopedi Article From Encarta mengartikan Child Abuse sebagai : “ Intentional act that result in physical or emotional harm to children. The term child abuse covers a wide range of behavior, from actual phsyical assault by parents or other adult caretakers to neglect at a child’s basic need” (“kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional oleh orang tua atau pengasuh atau orang dewasa dengan mengabaikan kebutuhan dasar anak”) Definsi kekerasan diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan tindakan paksaan atau tindakan yang tidak menyenangkan hati korban yang dilakukan secara paksaan baik berupa tekanan fisik dan non fisik yang dapat menyebabkan korban cidera ataupun meninggal. Merujuk pada penjelasan kekerasan alasan mengapa sampai terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk kekerasan akan diuraikan terlebih dahulu bentuk-bentuk kekerasan. 20
Bagong Suyanto,dkk. Tindak kekerasan megintai anak,2000, Lutfansah Mediatama.Surabaya
Universitas Sumatera Utara
Bentuk-bentuk kekerasan anak secara umum dapat diklasifikasikan menjadi lima. Peneliti menyimpulkan bentuk-bentuk kekerasan dan faktor penyeban kekerasan ini dari hasil wawancara, observasi, dan bacaan yang terkait dengan masalah penelitian. 1. Kekerasan fisik merupakan tindakan orangtua atau orang dewasa yang menyebabkan anak terluka, sakit secara fisik dengan memukul, menendang,
mencambuk,
menjewer,
menelantarkan,
menghardik,
memaki, pencabulan, pemerkosaan, dan lain-lain. Hal ini terjadi umumnya karena anak dianggap tidak menurut dan nakal dan anak merupakan objek yang pantas untuk menerima. 2. Kekerasan non fisik merupakan tindakan melukai psikis, seperti tidak memeberi pujian ketika anak berprestasi , meledek, menghina jika tidak berhasil, menjauhkan diri dari pergaulan sesama, memberi target mulukmuluk seperti harus menjadi anak baik, rajin, manis, serta sejumlah statement tanpa mempertimbangkan bakat anak menyebabkan anak minder, tidak pede, dan merasa terkucil. Ini muncul karena orangtua kurang paham terhadap pendidikan yang baik bagi anak dan psikologi anak. 3. Kekerasan struktural merupakan kekerasan laten yang tidak terlihat secara kasat mata dan biasanya terungkap lewat kajian dan refleksi mendalam dari seseorang atau pihak yang terlibat langsung dalam proses-proses kultural yang dialaminya21.
21
Buletin Kalingga, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, 2004.Unicef
Universitas Sumatera Utara
4. Kekerasan seksual merupakan istilah yang merujuk pada perilaku seksual deviatif
22
atau hubungan seksual yang menyimpang merugikan pihak
korban dan merusak kedamaian ditengah masyarakat. 5. Kekerasan ekonomi merupakan bentuk kekerasan terhadap anak dengan cara menyuruh anak bekerja atau mengeksploitasi anak sebagai sasaran untuk mendapatkan uang menunjang kehidupan si anak maupun keluarga. Faktor penyebab kekerasan pada anak dapat terjadi, antara lain:. 1. Kekerasan timbul karena tekanan ekonomi/kemiskinan. Kemiskinan yang dihadapi sebuah keluarga seringkali membawa keluarga pada situasi kekecewaan yang akhirnya berujung pada kekerasan. Problematika finansial keluarga yang memperhatikan atau kondisi keterbatasan ekonomi dapat menciptakan berbagai macam masalah dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, pembelian pakaian, pembayaran sewa rumah yang hal ini dapat mempengaruhi jiwa dan tekanan seseorang. 2. Pandangan keluarga tentang anak. Orangtua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orangtua. Lalu pandangan orangtua terhadap anaknya cacat ataupun idiot acapkali karena kurang dapat mengendalikan kesabaran dalam menjaga dan mengasuh anak dan merasa terbebani atas kehadiran anak tersebut tidak jarang orangtua menjadi frustasi dan kecewa menjaga anak.
22
Perilaku menyimpang
Universitas Sumatera Utara
3. Terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi maupun media-media lainnya yang tersebar dilingkungan masyarakat, 62% tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan prilaku kekerasan. 4. Orangtua yang pernah menjadi korban penganiayaan anak dan terpapar oleh kekerasan dalam rumah. Melampiaskan kembali kepada anak. 5. Anak banyak menuntut pada orangtua. Anak yang terlalu banyak permintaan pada orangtua dan tidak tahu perjuangan orangtua mencari uang seringkali menjadi korban amarah orangtua. 6. Gangguan mental pada orangtua. Sejumlah studi mengatakan bahwa gangguan
mental
pada
orangtua
dapat
menyebabkan
timbulnya
penganiayaan atau penelantara anak karena proses berfikir atau keputusankeputusan orangtua menjadi terganggu. Orangtua yang mengalami gangguang kejiwaan atau disebut psikotik memandang anaknya sebagai seorang anak yang jelek dan mencoba membuat dia menjadi gila. 7. Keharmonisan sebuah keluarga. Hubungan seorang ayah dan ibu yang kurang harmonis dimana setiap perjumpaan dan percakapan sehari-hari selalu berujung pada pertengkaran hingga pelampiasan berujung pada anak untuk melepaskan rasa jengkel dan marahnya terhadap isteri atau suami. 8. Perceraian. Perceraian dapat menimbulkan problematika rumah tangga anak akan kurang kasih sayang, pemberian nafkah anak menjadi sulit, akibat dari perceraian anak merasakan depresi karena perpisahan orangtuanya ditambah ayah menikah lagi. Perceraian juga berdampak buruk pada
penyesuaikan diri anak karena akan berpengruh pada
pembentukan kepribadian dan perilaku anak. Perceraian bagi anak adalah
Universitas Sumatera Utara
tanda kematian, keutuhan keluarganya rasanya separuh diri anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orangtua mereka bercerai dan mereka harus menerima kesediha dan perasaan kehilangan yang mendalam23. 9. Anak diluar nikah. Walaupun bukan kesalahan anak menanggung aib akibat perbuatan orangtua mereka, anak yang lahir diluar pernikahan harus menjadi korban amarah dan perlakuan buruk dari orangtua (diskriminatif/ terabaikan). Data kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan kasus yang dilaporkan PKPA dan monitoring 4 media Lokal JanuariMei 2002. Tabel 1 Kekerasan Anak pada Januari-Mei 2002 No.
Bentuk Kekerasan
Jumlah kasus Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
1.
Perkosaan
7
7
8
18
13
2.
Perdagangan anak untuk
-
2
-
15
1
dilacurkan 3.
Pencabulan
-
1
1
1
1
4.
Penganiyaan
3
11
4
4
5
5.
Pembunuhan
-
4
4
1
2
23
Imah Musbikin “Mengapa Anakku Malas Belajar ya..?” (Hal 218) 2009, Diva Press, Jogjakarta.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah
10
25
17
39
22
(Sumber Majalah PKPA 2002) Berdasarkan data tersebut diambil dari lokasi kejadian di Sumatera Utara, Medan mendapatkan posisi pertama terbanyak jumlah kasus yang terlaporkan. Kasus kekerasan tersebut bukan hanya dilakukan dalam rumah tangga, tetapi pelaku kekerasan terhadap anak juga dilakukan oleh masyarakat, sekolah, orang yang dikenal maupun orang yang tidak dikenal. Dari tabel kasus diatas kasus terbanyak merupakan kasus perdangangan anak. Seperti sebelumnya peneliti tuliskan bahwa Kota Medan merupakan salah satu kota tertinggi kasus TPPO di Indonesia. Tabel 2 Lokasi Kekerasan Terjadi No.
1.
Tempat Kejadian
Medan
Jumlah kasus Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
6
17
10
19
10
(Sumber Majalah PKPA 2002) Kasus yang terlaporkan di pihak kepolisian dan sampai ke pengadilan berbeda dengan banyaknya jumlah korban yang melapor ke PKPA. Hal ini disebabkan beberapa keluarga korban menyelesaikan perkara secara kekeluargaan atau disebut diversi restoratif justice dimana upaya yang dicapai untuk menyelesaikan perkara ini pelaku harus meminta maaf kepada korban dan keluarga korban dan si pelaku mengakui perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi si korban dan
Universitas Sumatera Utara
keluarga korban24. Dari data korban diatas pada tahun 2002 peneliti akan membandingkan dengan tahun 2010 sebagai 8 tahun perbandingan dari 2002 ke 2010.
Tabel 3 Bentuk-Bentuk Kekerasan Berdasarkan Jumlah Kasus Tahun 2010 No.
Bentuk Kekerasan
Jumlah Kasus Tahun 2010
1.
Persetubuhan
5
2.
Penganiayaan
6
3.
Sodomi
3
4.
Penelantaran Anak
2
5.
Melarikan Anak Dibawah Umur
1
6.
Perdangangan Anak
3
7.
Pembatasan Hak Pendidikan
16
8.
Pembatasan Hak Asuh
6
9.
Pencabulan
7
Jumlah
49 Kasus
Sumber (indok) Indeks dokumen PKPA 2010
24
Wawancara Peneliti dengan Kak Emi, Koordinator Puspa PKPA.
Universitas Sumatera Utara
Pada tabel kasus kekerasan diatas tahun 2010 terdapat 49 kasus yang terbagi berdasarkan bentuk kekerasannya antara lain: penelantaran anak, penganiayaan, perdaganganan anak, pecabulan, pembatasan hak pendidikan dan asuh dengan jumlah kasus berdasarkan jenis kelamin adalah perempuan dengan jumlah 29 kasus dan laki-laki 20 kasus. Dalam kasus kekerasan ini perempuan kerap menjadi sasaran kekerasan karena budaya patriarki yang melekat dalam budaya keluarga, perempuan dianggap makhluk paling lemah dan tidak akan melawan karena tidak berdaya Bila ditinjau kembali kasus di 2010 mengalami penurunan bila dibanding 2002 yang angka kasus kekerasan pada anak terbilang tinggi. Hal ini disebabkan telah meluasnya tempat-tempat pengaduan untuk kasus KDRT. Tetapi bentuk kekerasan yang terjadi pada anak tahun 2010 semakin melebar seperti adanya pembatasan hak pendidikan pada anak yang jelas-jelas melanggar hak anak dan UUD 1945 serta UU Perlindungan Anak. Jumlah kasus kekerasan yang dialami anak setiap tahunnya akan dirinci lebih lanjut oleh peneliti berdasarkan data kasus anak per tahunnya pada Bab III dan Bab IV. Menurut Rahmat, 2003 ada beberapa faktor sosial yang menyebabkan kekerasan pada anak yaitu: 1. Norma sosial, yaitu tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan pada anak-anak, maksudnya ketika muncul kekerasan pada anak tidak ada orang di lingkungannya yang memperhatikan dan mempersoalkannya. 2. Nilai-nilai sosial, yaitu hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarkhi sosial di masyarakat. Atasan tidak boleh dibantah. Aparat pemerintahan harus selalu dipatuhi. Guru harus dijunjung dan ditiru. Orang tua tentu saja wajib ditaati dengan sendirinya. Dalam hirarkhi sosial
Universitas Sumatera Utara
seperti itu anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Mereka tidak punya hak apa pun, sedangkan orang dewasa dapat berlaku apa pun kepada anak-anak. 3. Ketimpangan sosial. Banyak ditemukan bahwa para pelaku dan juga korban child abuse kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. Kemiskinan, yeng tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan semacam subkultur kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orang tua mengalami stress yang berkepanjangan , menjadi sangat sensisitif dan mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Terjadilah kekerasan emosional.25 PKPA berdiri untuk menangani peliknya kehidupan dan penderitaan yang dirasakan oleh anak dan perempuan. Aktivitas yang mereka lakukan melalui program-program yang ada merupakan hasil kebudayaan26. Membangun suatu wadah, menuangkan pikiran dalam sebuah wadah visi dan misi, mendirikan sebuah bangunan, menjalankan hubungan kerjasama dengan organisasi nasional dan internasional, dan memberikan perlindungan kepada anak dan perempuan yang membutuhkan perlindungan sampai kepada perlindungan khusus. Wujud dari salah satu kebudayaan itu merupakan sistem sosial dimana sistem sosial itu adalah sistem berpola dari manusia itu sendiri yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu sama lain dari detik ke 25
http://www.duniapsikologi.com/latar-belakang-kekerasan-pada-anak/ (diakses 7 November 2012) 26 Tiga wujud kebudayaan (koetjaranigrat 2000:186-187) :1) ide atau gagasan, 2) perilaku atau tindakan kolektif, dan 3) artefak atau benda kongkret hasil kebudayaaan.
Universitas Sumatera Utara
detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan norman-norma yang berlaku. 1.2.2
Konvensi Hak Anak, Secara internasional sejak tahun 1989 masyarakat dunia telah mempunyai
instrumen hukum yakni Konvensi Hak Anak (KHA). Dalam perpekstif hukum internasional yang mempunyai kekuatan mengikat negara peserta dan negara penanda tangan, KHA mendiskripsikan hak-hak anak secara detail, menyeluruh dan maju. Karena KHA memposisikan anak sebagai dirinya sendiri dan hak anak sebagai segmen manusia yang harus dibantu perjuangannya bersama-sama orang dewasa. Kategorisasi hak anak dalam 54 pasal KHA, antara lain: 1. Hak mendapatkan perlindungan adalah hak untuk mendapatkan perlindungann ini mencakup perlindungan dari segala bentuk perlakuan kejam, eksploitasi, dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidanan baik untuk pelaku maupun korban. 2. Mempertahankan eksitensi kehidupan: menyangkut hak atas hidup yang layak dan pelayanan kesehatan. 3. Hak untuk berkembang fisik, psikis, psikologis adalah mencakup hak untuk memperoleh pendidikan , kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, serta perlindungan. 4. Hak untuk berpatisipasi ini merupakan hak untuk memberikan pendapat, berkumpul dan berserikat, serta hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya27.
27
Joni, Muhammad dan Zuchaina Z.Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak) 1999, PT.Citra Aditya BaktI, Bandung.
Universitas Sumatera Utara
Pemeritah Indonesia sejak tahun 1990 telah meratifikasi KHA melalui Keppres 36 tahun 1990. Peratifikasian KHA mengakibatkkan Indonesia terikat secara hukum untuk mengimplementasikan konvensi. Ratifikasi ini merupakan tonggak awal dari perlindungan anak di Indonesia. Selanjutnya pasca diratifikasinya konvensi ini, disusunlah berbagai upaya untuk memetakan berbagai persoalan anak, baik dilakukan pemerintah maupun bekerjasama dengan berbagai lembaga PBB yang memiliki mandat untuk melaksanakan perlindungan anak.
1.2.3 Undang-undang No.23 Tahun 2002 Setiap elemen masyarakat, termasuk pemerintah, lembaga-lembaga sosial dan orangtua harus melaksanakan ataupun meresapi isi dari pada UU No.23 Tahun 2002 sebagai salah satu UU perlindungan anak yang dibuat pemerintah Indonesia. Adapun isi dari UU tersebut berdasarkan rativikasi konvensi hak anak (KHA). Indonesia dalam UU perlindungan anak salah satunya UU No.23 Tahun 2002 yang menjadi patokan setiap pemerintah, masyarakat, orangtua, dan lembaga-lembaga sosial lainnya. 1. Bahwa Negara Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia. 2. Bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat manusia seutuhnya. 3. Bahwa anak adalah tugas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan
Universitas Sumatera Utara
sifat khusus yang menjamin kelangsungan ekstensi bangsa dan negara pada masa depan. 4. Bahwa agar setiap anak kelak memiliki tanggung jawab tersebut , maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta unntuk mewujdukan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. 5. Bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksaanaannya. 6. Bahwa berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlinduangan anak28. 1.2.4
Sepuluh Prinsip Tentang Hak Anak Menurut Deklarasi 1. Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan dan diskriminasi. 2. Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan kesempatan dan fasilitas oleh hukum atau oleh peralatan lain, sehingga mereka mampu berkembang secara fisik, mental, moral, spritual, dan sosial dalam cara yang sehat dan normal. 3. Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan identitas kebangsaan.
28
Undang-Undang Perlindungan Anak :http://www.komnasperempuan.or.id/wpcontent/uploads/2009/07/UU-PERLINDUNGAN-ANAK.pdf (diakses 01 November 2012)
Universitas Sumatera Utara
4. Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial. 5. Setiap anak baik secara fisik, mental, dan sosial mengalami kecacatan
harus
diberikan
perlakuan
khusus,
pendidikan,
pemeliharaan sesuai dengan kondisinya. 6. Setiap anak bagi perkembangan pribadinya secara penuh dan seimbang memerlukan kasih sayang dan pengertian. 7. Setiap anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan atas dasar wajib belajar. 8. Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima perlindungan dan bantuan yang pertama. 9. Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk ketelantaran, tindakan kekerasan, dan eksploitasi. 10. Setiap anak harus dilindungi dari setiap praktek diskriminasi, berdasarkan rasial, agama, dan bentuk-bentuk lainnya. 1.2.5
Pengertian Perlindungan Anak Pengertian tentang Perlindungan anak telah ditulis dalam UU perlindungan
anak BAB I pasal 1 adalah: “Segala kegiatan untuk menjamin dan melindugi anak dari hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminatif”. Seseorang anak akan mendapatkan perlindungan yang lebih atau perlindungan khusus jika anak sampai dalam kondisi darurat dimana pengertian perlindungan khusus adalah: “ Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan seksual, anak yang
Universitas Sumatera Utara
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental. Anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”. Perlindungan anak merupakan bagian integral dari proses dan dinamika pembangunan. Khususnya pengembangan sumber daya manusia. Dalam konteks perlindungan anak sebagai implementasi hak-hak anak. Dr.Irwanto menyebutkan beberapa prisip perlindungan anak, yaitu: 1. Anak tidak dapat berjuang sendiri 2. Kepentingan terbaik anak yang harus dipandang sebagai prioritas tertinggi. 3. Ancangan daur kehidupan, bahwa perlindungan terhadap anak harus dimulai sejak dini dan terus menerus. 4. Lintas struktural, nasib anak tergantung dari berbagai faktor yang makro maupun mikro yang langsung maupun tidak langsung29. 12.6
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pemerintah akhirnya mengeluarkan satu kebijakan baru lagi dengan
mensyahkan UU PKDRT
pada tahun 2004 setelah disyahkannya beberapa
kebijakan-kebijakan untuk melindungi anak. Adapun pemerintah sebelumnya membuat pertimbangan undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga UU No.23 Tahun 2004, yakni: 1. Bahwa setiap negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai falsafah pancasila dan UUD RI 1945. 2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. 29
Ibid
Universitas Sumatera Utara
3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang banyak adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan30, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. 4. Bahwa dalam kenyataanya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. 5. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, perlu dibentuk undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan
pertimbangan
tersebut
pemerintah
menjabarkan
UU
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang terdapat pada pasal 2, Pemerintah menjabarkan lingkup rumah tangga adalah siapa saja orang yang berada di dalam rumah tangga tersebut, berhak mendapatkan perlindungan berdasarkan pasal-pasal yang telah ditetapkan. Pada pasal 2 lingkup rumah tangga tersebut adalah: a) Suami, isteri, dan anak. b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau. 30
Ancaman kekerasan: setiap perbuatan yang secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang. (BAB I PASAL 1 UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangangan Orang)
Universitas Sumatera Utara
c) Orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, yang dimaksud dengan orang yang bekerja merupakan anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Setiap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintah, kepolisian, masyarakat, orang tua, maupun lembaga seperti yang tertera dalam UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai bentuk kepedulian dan perlindungan agar si korban tidak merasakan ketakutan, dari ancaman-ancaman yang dapat diberikan sewaktuwaktu oleh pelaku kepada korban kapan saja makan dibuatlah UU tersebut. Pembuatan UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini memiliki asas dan tujuan tersendiri sesuai BAB II Pasal 3, yaitu: 1. Penghormatan hak asasi manusia (HAM). 2. Keadilan dan kesetaraan gender. 3. Nondiskriminasi. 4. Perlindungan korban Tujuan dari UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tertera pada pasal 4, yaitu : 1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga 2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. 3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga. 4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera31.
31
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Asas dan tujuan dibuat untuk menimbang kembali keutuhan sebuah rumah tangga agat tidak terjadi perceraian maupun pemisahan orang tua dalam artian kurungan penjara yang dapat menimbulkan kesengsaraan terhadap anak dan dapat menyebabkan anak depresi dan kekecewaan terhadap orangtuanya. Sedangkan bentuk perlindungan sebagai tujuan berguna untuk melindungi korban 1 x 24 jam sejak pihak kepolisian menerima pengaduan dari korban maupun saksi lainnya, perlindungan ini bisa berlangsung hingga 7 hari lamanya hingga korban merasa aman terkhusus anak sebagai korban. 1.3
Perumusan Masalah Kekerasan pada anak yang dapat terjadi kapan pun dan dimana pun tanpa
memandang tempat perlu mendapatkan perhatian dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Berdasarkan banyaknya kasus kekerasan yang terjadi pada anak berdirilah lembaga perlindungan anak untuk memberikan kemudahan bagi anak korban kekerasan dalam rumah tangga untuk diberi perindungan. Latar belakang yang telah diuraikan maka masalah dalam penelitian ini adalah “Apa yang dilakukan PKPA dalam melindungi kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak?” Dari rumusan masalah tersebut peneliti memecahkan dalam beberapa pertanyaan penelitian.
Bagaimana penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak yang dilakukan oleh PUSPA PKPA?
Apa bentuk perlindungan kepada anak korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh PUSPA PKPA?
Universitas Sumatera Utara
1.4.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan
bagaimana PKPA menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak serta untuk mengetahui bentuk dari perlidungan anak yang dilakukan PKPA kepada anak korban kekerasan dalam rumah tangga. Manfaat penelitian ini selain untuk memenuhi syarat kelulusan S1 Antropologi Sosial FISIP USU juga menambah wawasan peneliti. Penelitian ini juga bermanfaat kepada keluarga, masyarakat dan pemerintah. Untuk keluarga pertama dan terutama agar mengetahui bahwa kekerasan yang dilakukan kepada anak dapat menimbulkan goncangan jiwa, kesakitan, bahkan kematian pada anak dan agar setiap orang tua dapat memperhatikan anak-anaknya lebih baik lagi dalam pemberian kasih sayang tentunya. Untuk pemerintah agar dapat memperhatikan nasib anak Indonesia dan melindugi hak anak Indonesia sesuai yang telah tertera dalam UUD 1945 dan UU perlindungan anak. Menggunakan setiap kebijakan yang telah diberlakukan dengan sebaik mungkin agar angka kekerasan yang terjadi pada anak setiap tahunnya baik di Kota Medan, dan kotakota lainnya di Indonesia mengecil. Selain itu penelitian ini bermanfaat untuk menambah bahan bacaan dan referensi bagi akademisi tentang sebuah lembaga swadaya masyarakat dalam melindungi kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak karena kasus kekerasan ini selalu terjadi dan menjadi perhatian publik dan berita di media massa. 1.5
Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembahasan yang sistematis dari keseluruhan
skripsi ini, maka disusun sedemikian rupa penulisan secara sistematis untuk
Universitas Sumatera Utara
mempermudah dalam pembahasannya. Masing-masing bab terdiri dari beberapa subbab. Adapun sistematika penyusunannya sebagai berikut:
BAB I berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat Penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II berisi gambaran umum mengenai kekerasan anak dikota Medan, berdirinya lembaga perlindungan anak di Indonesia, sejarah berdirinya PKPA, kerja sama dan fundrising, layanan yang dapat diberikan PKPA, kebijakkan PKPA, pendampingan yang diberikan PKPA.
BAB III berisi dari rumusan masalah peneliti yakni PKPA
dalam
menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak.
BAB IV berisi dari rumusan masalah peneliti yakni tentang bentuk perlindungan PUSPA PKPA kepada anak korban kekerasan dalam rumah tangga.
BAB V berisi kesimpulan dari hasil semua BAB yang berisi keseluruhan hasil penelitian dan saran penelitian.
1.6
Metode Penelitian, Pengalaman Lapangan, Analisis Data 1.6.1
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif32 yang didasarkan pada upaya membangun pandangan mereka yang diteliti secara rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik dan rumit. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Penelitian ini akan mengumpulkan
32
Moleong , Metode Pnelitian Kualitatif 2005, PT.Remaja Rosdakarya. Bandung. (hal 11)
Universitas Sumatera Utara
data33 kualitatif untuk menjawab persoalan dari permasalahan peneliti. Penelitian ini akan menggunakan metode etnografi dimana peneliti melihat dari padangan para informan baik di PKPA maupun korban. Untuk memperoleh data peneliti akan menggunakan teknik observasi, wawancara dan pengumpulan data sekunder. Observasi adalah suatu tindakan untuk meneliti suatu gejala (tindakan atau peristiwa atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau lokasi penelitian dengan cara mengamati. Dengan observasi kita dapat memperoleh gambaran tentang kehidupan sosial dan budaya yang sukar untuk diketahui dengan metode lainnya.Teknik observasi ini dilakukan peneliti untuk memperoleh gambaran penuh mengenai tindakan-tindakan, percakapan, tingkah laku dan semua hal yang dapat ditangkap panca indera terhadapa apa yang dilakukan masyarakat. Dalam hal mengobservasi ini peneliti menggunakan observasi partisipasi. Observasi partisipasi adalah observasi yang melibatkan peneliti atau observer secara langsung dalam kegiatan pengamatan di lapangan. Dalam melakukan observasi partisipasi ini peneliti mengamati secara langsung dan merasakan apa yang ada dalam masyarakat tersebut berupa nilai-nilai dan tindakan mereka. Peneliti juga akan berusaha sedekat mungkin membangun rapport34 dengan orang yang di PKPA. Peneliti akan ikut serta dalam penyelesaian kasus-kasus anak sampai ke pengadilan dan berusaha sedekat mungkin kepada anak yang menjadi korban maupun keluarga korban guna menambah data peneliti untuk mendeskripsikan kasus kekerasan yang terjadi pada si korban.
33
Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angkaa. Rapport adalah hubungan antara Peneliti dan sbujek yang sudah melebur sehingga seolah-olah tidak ada lagi dinding pemisah diantara keduanya 34
Universitas Sumatera Utara
Selain
observsi
partisipasi, peneliti
juga
meggunakan
observasi
ketidakterlibatan penuh. Observasi ini dilakukan peneliti untuk memperkuat data yang telah di dapat dari hasil wawancara dan hal ini bisa dilakukan kapan saja ketika peneliti berada di lokasi penelitian seperti di PKPA, maupun di lokasi rumah korban, POLDA/POLRES, maupun di pengadilan. Teknik pengumpulan data selanjutnya dengan teknik wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara ini dapat dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview) maupun wawancara sambil lalu. Wawancara sambil lalu dilakukan peneliti juga dengan orang yang bekerja di PKPA maupun korban untuk memperkuat data yang telah didapat dari hasil observasi dan wawancara mendalam. Wawancara ini dilakukan melalui percakapan biasa dan sederhana. Namun peneliti tetap akan menyinggung pertanyaan-pertanyaan penelitian. Misalnya saja saat peneliti mengikuti kasus Ranjani di Pengadilan Negeri Medan dengan sidang tertutup, peneliti mewawancarai ibu korban di luar ruang sidang. Wawancara mendalam merupakan wawancara yang berstruktur dan mendalam. Wawancara mendalam proses menggali informasi secara mendalam, terbuka, dan bebas, dengan fokus yang diarahkan ke pusat penelitian. Dalam hal ini metode wawancara mendalam yang dilakukan dengan adanya daftar pertanyaan yang telah peneliti persiapkan yaitu interview guide, peneliti juga akan menggunakan data sekunder seperti buku, koran, dan majalah yang berkaitan
Universitas Sumatera Utara
dengan informasi penelitian untuk melengkapi data dan data korban anak yang didapat dari PKPA. 1.6.2 Pengalaman Lapangan Pengalaman ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana cara peneliti mendapatkan data dari PKPA dan korban. Penelitian resmi dilakukan setelah mendapatkan surat izin kelapangan dari Departemen Antropologi Sosial pada tanggal 25 April 2013. Dengan izin dari PKPA peneliti boleh melakukan penelitian di PKPA. Sebelumnya peneliti pernah ke PKPA saat masih dalam proposal skripsi. Peneliti telah mengenal beberapa orang sebelumnya seperti Bang Ismail, Kak Liza, dan Bang Misran. Peneliti diberi brosur dan profil PKPA yang berisi bagaimana PKPA berdiri, visi dan misi PKPA, lembaga kerjasamanya, layanan yang diberikan PKPA, dan orang-orang yang bekerja di PKPA. Peneliti juga sebelumnya pernah melakukan wawancara dengan Bang Misran yang merupakan Deputi PKPA. Seminggu peneliti di PKPA peneliti banyak mendapatkan referensi dari perpustakaan milik PKPA. Seminggu awal peneliti di PKPA hanya di perpustakaan, lalu peneliti akhirnya punya kesempatan untuk mewawacarai Kak Emi koordinator Puspa yang telah lama bekerja ± 11 tahun yang terkait dengan masalah kekerasan. Walaupun wawancara hanya sebentar berkenaan dengan kesibukan Kak Emi peneliti mendapatkan data yang membantu peneliti untuk mengolah data. Lalu tanggal 1 Mei 2013 peneliti ikut dengan Kak Emi dan tiga mahasiswa kesejahteraan sosial 2010 yang melakukan PKL ke Pengadilan Negeri Medan terkait dengan kasus Ranjani korban seksual (pencabulan). Walaupun peneliti baru ikut di sidangnya yang ke enam kali peneliti sempat melakukan wawancara dengan Ibu Ranjani dan
Universitas Sumatera Utara
mahasiswa PKL yang ikut menangani kasus Ranjani ini, peneliti sedikit mendapat bantuan bagaimana kekerasan yang terjadi pada Ranjani dapat terjadi sebelum peneliti lebih lanjut mengunjungi rumah Ranjani untuk mendapatkan data lebih dalam dan mewawancara Ibu Emi yang menangani masalah Ranjani sebagai koordinator kekerasan yang dialami anak dari PKPA. Peneliti juga mewawancarai Kak Wiwik yang merupakan Staf Litigasi Puspa yang telah bekerja selama ±10 tahun. Peneliti mengenal Kak Wiwik saat di PKPA dan di pengadilan saat Kak Wiwik dari PKPA menindaklanjuti sidang terbuka kasus geng motor. Hambatan yang dirasakan peneliti dimana peneliti ingin mengambil foto sebagai lampiran nantinya, peneliti menjaga nama baik dan profesi korban dan pelaku sesuai persetujuan koordinator PKPA untuk menjaga nama baik klien peneliti tidak membuat nama asli pelaku dan korban. Oleh sebab itu peneliti sulit mengambil foto saat ada pelapor (korban, pelaku, maupun keluarga korban dan pelaku) ke PKPA, Polda, maupun di pengadilan. Kegiatan penelitian yang dilakukan PKPA masih
berlangsung hingga Agustus dengan
melibatkan diri menjadi panitia acara yang melibatkan PKPA. Peneliti mengikuti setiap sidang kasus kekerasan anak di Pengadilan Negeri Medan bersama Kak Wiwik. Peneliti saat berada di pengadilan menunggu Kak Wiwik selalu bertemu orang BAPAS dan KPAID dan kami mengborol tentang kasus-kasus anak sidang hari itu juga. Banyak suka dan duka yang peneliti rasakan saat berada di PKPA. Peneliti yang hanya sendiri mahasiswa antropologi yang melakukan penelitian di PKPA awalnya merasakan kesulitan untuk menjumpai Kak Emi selaku koordinator PUSPA.Walaupun awalnya peneliti merasa sulit peneliti berusaha dan menjaga
Universitas Sumatera Utara
hubungan yang baik kepada Kak Emi dan Staf PKPA lainnya. Peneliti beberapa kali meminta kepada Kak Emi untuk memperbolehkan peneliti ikut saat PKPA akan mengunjungi rumah klien, tetapi alasan peneliti tidak mempunyai kawan dan kendaraan peneliti tidak diberi kesempatan. Karena kesulitan yang peneliti rasakan peneliti pun mengurungkan niat untuk pergi ke PKPA selama 2 minggu, setelah merasa jenuh berdiam dengan data yang masih mengambang dan masa lama tamat menjadi mahasiswa,
peneliti mencoba lagi untuk berjuang
mendapatkan data. Tidak sia-sia peneliti ke PKPA, peneliti bertemu dengan Kak Wiwik di PUSPA. Dari pertemuan itu Kak Wiwik memberi kesempatan kepada peneliti untuk dapat bertemu korban baik dipengadilan, rumah walaupun PKPA terlebih dahulu mengunjungi klien, dan di Polda. Peneliti mengikuti kasus-kasus anak yang melibatkan Kak Wiwik sebagai advokat maupun pendamping lalu berdiskusi dengan Kak Wiwik mengenai kasus-kasus anak yang peneliti boleh ambil dan meminta bantuan kepada Kak Wiwik untuk membantu peneliti dalam kasus yang peneliti teliti seperti meminta izin untuk dapat mengunjungi keluarga. Peneliti juga mendapatkan data dari beberapa bacaan (novel) tentang kisah nyata anak-anak yang mendapatkan perlakuan kasar seperti A Child Call it and The Lost Boy karangan Dave Pelzer penulis buku betseller internasional seperti kasus Helena, Rito, Itin, dan semua korban anak dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga mempunyai kemiripan tersendiri dalam novel ini dan beberapa novel life story di ruang baca PKPA. Peneliti membaca novel ini karena cerita yang mereka kisahkan benar-benar ada peneliti temukan juga pada kasus-kasus anak didalam penelitian peneliti.
Universitas Sumatera Utara
1.6.3
Analisis Data
Untuk menganalisis hasil data yang peneliti temukan di lapangan baik dari hasil wawancara, obseravasi dan data sekunder. Peneliti menganalisis berdasarkan kategori-kategori yang telah disusun untuk mempermudah peneliti sesuai tujuan penelitian. Selesai melakukan wawancara dengan informan di PKPA peneliti menganalis data di ruangan baca. Didalalam melakukan analisi data ini peneliti menggunakan kode etik yang dimana di dalam PKPA siapa pun mereka yang ingin mengambil data kasus harus mengingat kode etik dan melakukan perjanjian tanpa mengurangi atau melebihkan dan menyebarluaskan tanpa kepentingan yang sesuai prosedur perjanjian. Peneliti juga menyamarkan semua foto dan nama korban terkait data dan cerita mereka sangat rahasia untuk mereka ceritakan.
Universitas Sumatera Utara