BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa tahun belakangan ini, jumlah anak-anak yang berkebutuhan khusus semakin meningkat di Indonesia dan bahkan di dunia. Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal menyatakan saat ini jumlah anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapat perhatian serius mencapai 1,2 juta orang atau 2,5% dari populasi anak-anak usia sekolah (Pelita, 2012). Hal ini dapat terjadi karena adanya pola hidup orangtua yang salah, kecelakaan yang dialami ibu selama masa kehamilan, penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol selama kehamilan dan lain sebagainya. Dibutuhkan penanganan sedini mungkin mulai dari penambahan pengetahuan kepada calon orang tua hingga cara penanganan pada masa tumbuh kembang anak. Anak merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan yang dapat meneruskan generasi dan semangat hidup dalam suatu rumah tangga. Bagi orang tua khususnya ibu yang melahirkan anak, tentunya mereka sangat memiliki keinginan untuk memiliki anak yang normal seperti anak pada umumnya. Namun ketika kenyataan tidak sejalan dengan harapan, umumnya mereka sulit untuk secara langsung menerima setiap keadaan yang ada (Hurlock, 1978).
Universitas Sumatera Utara
Seperti yang juga dikemukakan oleh Satiadarma (2001), setiap orang tua menginginkan memiliki anak atau keturunan yang baik, sehat, berkualitas yang baik dan berpengetahuan baik, dalam artian orang tua memiliki harapan yang ideal bagi anak mereka tetapi apabila “berbeda” dengan kenyataan maka akan menimbulkan kekecewaan. Anak yang “berbeda” sering disebut dengan anak spesial (children with special needs) dimana anak memiliki perkembangan dan karakteristik fisik maupun mental yang berbeda dengan anak normal. Anak-anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik ini disebut dengan anak berkebutuhan khusus (Heward, 1996). Salah satu yang termasuk dalam pembagian anak berkebutuhan khusus adalah tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial atau biasa sering disebut dengan retardasi mental (Somantri, 2007). Seseorang dikatakan tunagrahita tidak hanya dilihat dari IQ-nya tetapi perlu dilihat sampai sejauh mana ia dapat menyesuaikan diri. Beberapa karakteristik umum tunagrahita yaitu keterbatasan inteligensi, keterbatasan sosial dan keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya (Somantri, 2007). Hampir seluruh orangtua tentunya mengharapkan mereka memiliki anak yang sehat dan normal, baik secara fisik maupun mental. (Hurriyati, 2009) Bila anak yang dinanti-nanti gagal memenuhi harapan orang tua, maka orang tua akan merasa kecewa. Hal seperti ini tentunya tidak mudah diterima oleh para orang tua,
Universitas Sumatera Utara
dimana
anak
mereka
mengalami
gangguan
dan
keterlambatan
dalam
perkembangannya. Anak tunagrahita membutuhkan penanganan dini dan intensif untuk membantu kesehariannya. Terdapat beberapa reaksi emosional awal yang biasanya dimunculkan orang tua ketika mengetahui anak mereka berbeda dibanding anak-anak lainnya. Orang tua hendaknya memahami dan menyadari emosi-emosi yang dialaminya, sehingga orang tua dapat mengelolanya secara efektif. Beberapa reaksi emosional tersebut antara lain shock, penyangkalan dan merasa tidak percaya, sedih, perasaan terlalu melindungi atau kecemasan, perasaan menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, perasaan marah, serta perasaan bersalah dan berdosa atas apa yang terjadi pada anak (Safaria, 2005). Seperti kutipan wawancara dibawah ini : “Semua orang juga pasti ngarepinnya punya anak normal kan, tapi ternyata saya dikaruniai anak yang ada gangguan gini. Ya sebenarnya saya masih gak percaya sampe sekarang tapi saya juga gak bisa buat apa-apa. Ya sekarang saya berusaha jaga anak saya sampe besar aja lah, walaupun berat.” (komunikasi interpersonal, 02 Maret 2013).
“Awalnya saya gak tau anak saya itu ternyata begini keadaannya. Pas sekitar umur 3 tahun baru ketauan. Saya tekejut kali rasanya, nangis gak percaya, rasanya kasian gak tega gitu liat anak saya. Saya juga ngerasa bersalah karena liat anak saya kayak gitu. Tiap hari sedih gitu liatnya tapi anak saya gak boleh liat saya sedih nanti dia sedih juga.” (komunikasi interpersonal, 03 Maret 2013).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kutipan wawancara diatas dapat dilihat bahwa ibu dari anak tunagrahita mengalami berbagai bentuk reaksi awal mengenai kondisi anak mereka. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Mangunsong (1998) yang mengemukakan bahwa tahap pertama yang biasanya muncul adalah perasaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan kecacatan yang diderita anaknya. Penolakan yang dimunculkan oleh ibu sebagai bentuk reaksi emosional awal, mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang dimiliki oleh ibu dari anak tunagrahita tersebut. Seperti kutipan wawancara dengan seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita berusia 7 dan 10 tahun dibawah ini: “Kalo malu sih ya gimana ya, saya malesnya sih kalo diejek-ejek tetangga ato orang-orang lain gitu. Kadang-kadang saya sedih juga rasanya, pernah juga sampe stress. Gatau saya harus buat apa lagi.” (komunikasi interpersonal, 04 Maret 2013). “Kadang-kadang liat keadaannya itu saya suka gak kuat, kayaknya saya gak bisa, rasanya pengen lari aja. Apalagi kalo bantuin dia apa-apa, aduh gak taulah. Tapi saya selalu kuat-kuatin diri saya buat biasa aja karena anak saya juga harus tumbuh kan.” (komunikasi interpersonal, 03 Maret 2013). Berdasarkan kutipan wawancara diatas, dapat dilihat bahwa kedua ibu yang memiliki anak tunagrahita tersebut memiliki rasa malu dan rasa malu akan tetap ada pada diri ibu yang menerima keadaan anak tunagrahita yang memiliki keterbelakangan mental, namun hal tersebut tidak sepenuhnya menguasai orang tua, sehingga ada usaha lain yang dilakukan demi membantu perkembangan anak. Di sisi lain, penolakan pada diri ibu juga akan memunculkan rasa putus asa
Universitas Sumatera Utara
terhadap perkembangan anak, yang juga berpengaruh pada kehidupan orang tua itu sendiri. Terdapat beberapa tahapan penerimaan menurut Kubler-Ross (dalam Gargulio, 1985) dimana terdapat beberapa tahapan yang didalamnya terdapat shock (perasaan kaget dan shock dengan kondisi anak), denial (menolak kenyataan), grief and depression (perasaan berkabung dan depresi), ambivalent (ambivalensi atau kecenderungan untuk merawat anaknya sekaligus menolaknya), guilty feeling (perasaan bersalah karena kondisi anak), anger (perasaan marah), shame and embarrassment (perasaan malu terutama dalam lingkup sosial), bargaining (tawar-menawar demi membantu anak menjadi layaknya anak normal lainnya), adaptation and reorganization (adaptasi dan adanya rasa nyaman pada orang tua) dan acceptance and adjustment (penerimaan dan penyesuaian dengan kondisi diri dan anak). Tahapan-tahapan ini mungkin dapat terjadi satu demi satu pada beberapa orang, namun pada sebagian orang dalam mencapai tahap penerimaan tidak harus melalui keseluruhan tahap demi tahap diatas dan bisa hanya mengalami beberapa tahap saja serta tidak berurutan. Dukungan dan penerimaan dari anggota keluarga khususnya ibu, akan memberikan energi dan kepercayaan dalam diri anak tunagrahita untuk lebih berusaha meningkatkan setiap kemampuan yang dimiliki. Terdapat dua kemungkinan sikap yang akan dimunculkan oleh anggota keluarga terhadap anak tunagrahita, yaitu menerima atau menolak. Secara normatif, sebagian besar orang tentunya menyatakan telah menerima keberadaan mereka, sebab bagaimanapun
Universitas Sumatera Utara
mereka telah ditakdirkan menjadi bagian dari keluarga (Hendriani, Handariyati & Sakti, 2006).
Pada kenyataannya, respon “penerimaan” dari seorang ibu tidaklah selalu sama pada setiap orang. Respon inilah yang akan menjelaskan apakah mereka telah benar-benar menerima atau sebenarnya melakukan penolakan dengan caracara dan perlakukan tertentu. Hal ini juga akan menjelaskan tentang bagaimana pola sebuah keluarga untuk dapat menyesuaikan diri dengan keberadaan anak yang “berbeda” tersebut. Ibu merupakan tokoh yang sangat rentan terhadap masalah penyesuaian dikarenakan mereka berperan langsung dalam kelahiran anak. Pandangan yang terbentuk pada ayah ataupun ibu juga sering menyebabkan kesenjangan antara kegembiraan setelah masa penantian kehamilan dengan realitas keadaan anaknya. Mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini merupakan tantangan tersendiri bagi orang tua yang memiliki anak tunagrahita (Mangunsong, 1998). Sebagian besar orang tua dengan anak tunagrahita, menghadapi dua krisis utama (Kirk & Gallagher, 1989). Pertama, orang tua tentunya memiliki harapanharapan mengenai masa depan dari anak yang akan lahir, seperti harapan mengenai kesuksesan, pendidikan, hingga kondisi finansial anak tersebut. Tidak dapat dielakkan lagi orang tua yang mengetahui bahwa anaknya berbeda dari anak normal, akan kehilangan mimpi dan harapan mereka. Bahkan beberapa dari orang tua mengalami depresi berat ketika mengetahui kenyataan tersebut (Farber dalam Kirk & Gallagher, 1989). Kedua, krisis yang dialami orang tua berhubungan dengan masalah untuk memberikan pelayanan sehari-hari bagi anak mereka yang
Universitas Sumatera Utara
tunagrahita dimana anak tersebut harus mendapatkan bantuan oleh orang tuanya, seperti membantu anak dalam urusan sekolah, dalam hal berpakaian, makan, minum dan sebagainya. Bagi anak, tidak ada sumber kekuatan yang lebih penting selain orangtua. Ketika guru hanya bersifat sementara, orangtua merupakan figur utama dan tetap bagi kehidupan anak. Orangtua harus memberikan dukungan yang dibutuhkan anak secara konsisten, terus menerus dan sistematis (Smith, 2008). Bagi seorang anak tunagrahita tentunya lingkungan keluarga merupakan yang paling penting, khususnya orangtua, karena ketidakmampuan yang dirasakannya. Walaupun berbeda dari anak normal lainnya, pada dasarnya anak tunagrahita tetap mempunyai hak-hak dasar sebagaimana anak normal. Anak-anak tunagrahita ini pun perlu memiliki waktu untuk bermain, belajar dan bersosialisasi dalam komunitas di lingkungannya. Mereka juga tidak luput dari kebutuhan untuk dicintai, dihargai serta diberikan kesempatan agar dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki (Payne dalam Hastuti & Zamralita, 2004). Dan terlebih bagi seorang ibu juga harus membantu anak tunagrahita dalam mengembangkan kemampuan pada berbagai aspek kehidupan seperti kognitif, komunikasi, binabantu diri, mobilitas, perkembangan panca indera, motorik halus dan kasar, dan sosial (Smith, 2008). Seorang ibu merupakan sosok paling dekat terhadap anak karena berhubungan langsung dengan kelahiran si anak. Konsekuensinya, anak tunagrahita ini membutuhkan pengawasan dan perhatian lebih besar dari ibu mereka. Hal ini memerlukan waktu, usaha, tenaga dan dana yang tidak sedikit.
Universitas Sumatera Utara
Ketika mengetahui anak mereka tidak akan melalui perkembangan layaknya orang normal akan menjadi stressor bagi ibu dari anak tunagrahita, dimana ibu merupakan figur yang lebih rentan terhadap stres dibandingkan ayah (Hallahan & Kauffman, 2006). Beberapa studi menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak tunagrahita sering kali mengalami stres tingkat tinggi (Hendriks, DeMoor, Oud, & Savelberg; McKinney & Peterson; Rodrigue, Morgan, & Geffken; Smith, Oliver, & Innocenti dalam Lessenberry & Rehfeldt, 2004). Sebuah penelitian mengenai level stres orang tua dari anak yang memiliki gangguan dalam perkembangan (termasuk anak-anak tunagrahita), melaporkan bahwa ibu menunjukkan level stres yang sangat tinggi serta bereaksi negatif terhadap gangguan atau ketunaan si anak (McKinney & Peterson dalam Lessenberry & Rehfeldt, 2004). Hal ini berkaitan dengan ibu yang biasanya memegang peran utama, sedangkan ayah hanya memiliki peran sekunder dalam mengasuh anak. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa ayah menghabiskan waktu lebih sedikit dengan anak daripada ibu (Blairr, Wenk, & Hardesty, 1994). Meskipun ibu yang memiliki anak yang “berbeda”
lebih mungkin
mengalami depresi dan tingkat stres yang tinggi daripada ibu dari anak-anak yang berkembang secara normal (Blacher et al, 1997; Deater-Deckard, 2004; Perry, 2005; Seligman, 1999), faktor-faktor yang berkaitan dengan tingkat stres dan gejala depresi yang tinggi perlu dipahami sebelum dapat diambil tindakan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu. Tingkat stres atau depresi seorang ibu ditemukan
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan jenis ketunaan anak , tingkat kognitif anak atau jenis kelamin anak. Dari penelitian yang dilakukan Mitchell dan Hauser-Cram (2006) didapatkan bahwa penyedia layanan kesehatan mengantisipasi bahwa anak dengan tingkat kognitif rendah atau gangguan motorik tertentu akan menyebabkan stres tinggi pada ibunya. Tidak mengherankan, kesehatan anak secara keseluruhan ditemukan sebagai prediktif stres pada ibu, karena kekhawatiran tentang kesehatan fisik dan mental anak telah ditemukan dalam penelitian lain untuk menjadi sumber stres ibu dalam mengasuh anaknya (Turner, Sloper, Cunningham & Knussen, 1990). Stres yang dialami oleh ibu yang memiliki anak tunagrahita berpengaruh pada cara ibu mengasuh anak yang secara tidak langsung juga berpengaruh pada perkembangan kemampuan anak, baik dalam intelegensi, sosial dan fungsi mental lainnya. Oleh karena itu, agar dapat menjalankan peran efektif sebagai orang tua bagi si anak yang memiliki banyak keterbatasan, ibu harus bisa mengatasi stres yang dihadapi terlebih dahulu. Bila stres yang dialami dapat diatasi maka perlahan-lahan ibu juga akan mampu menerima kondisi anak mereka tersebut. Penerimaan diri si ibu sebagai orang tua dari anak tunagrahita serta penerimaan terhadap kondisi anak mereka akan memberikan energi positif bagi si ibu untuk mengembangkan kemampuan anak yang juga berdampak pada kesejahteraan ibu secara psikologis (Heward & Orlansky, 1992). Peran orang tua khususnya ibu akan terlihat dalam kehidupan anak; tentang penerimaan atau penolakan ibu terhadap kondisi meraka dan kondisi anak
Universitas Sumatera Utara
yang berdampak pada sikap dan pengasuhan terhadap sang anak, pengembangan dan pengaktualisasian potensi diri sebagai manusia, orang tua, istri dan bahkan anggota masyarakat dalam mencapai tujuan hidup yang semula sudah ditetapkan (Hastuti & Zamralita, 2004). Bukan berarti seorang ibu, tidak mampu untuk menerima keadaan yang dimiliki oleh anaknya yang memiliki keterbatasan dan kebutuhan yang berbeda dengan anak-anak lainnya, namun penerimaan mereka tersebut dapat muncul dan berkembang ketika seseorang memiliki kesejahteraan psikologis dalam keadaan yang baik, dimana penerimaan itu sendiri merupakan aspek dari kesejahteraan psikologis (Ryff, 1989). Kesejahteraan psikologis atau psychological well-being adalah sebuah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, memiliki tujuan hidup, dan terus bertumbuh secara personal (Ryff, 1989). Menurut Ryff (dalam Palupi, 2008), kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologically-well) dan kesejahteraan psikologis (psychological well-being) merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Kesejahteraan psikologis diperlukan agar manusia didalam hidupnya
Universitas Sumatera Utara
bahagia, tentram dan dapat melakukan sesuatu hal yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada keluarga terutama orang tua. Salah satu faktor utamanya adalah keadaan emosional dan kesehatan fisik orang tua. Orang tua khususnya ibu merupakan jantung dari sebuah keluarga. Ibu dari anak-anak tunagrahita adalah orang-orang yang berurusan dengan isu yang terkait dengan kecacatan mental anak mereka dan di sisi lain mereka juga diperlukan untuk dapat mempertahankan rumah tangga. Sikap masyarakat terhadap anak tunagrahita atau anak yang memiliki gangguan mempengaruhi reaksi ibu terhadap kehadiran anak tersebut di dalam keluarganya (Maramis, 1994). Mengasuh anak-anak tunagrahita juga bukan merupakan hal yang mudah. Dalam mengasuh anak tunagrahita yang memiliki keterbelakangan mental, orang tua akan merasa terusik secara psikologis. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu usaha dan strategi dari orang tua yang melibatkan kognitif dan perilaku secara aktif dalam mencari cara untuk mengatasi suatu peristiwa yang penuh dengan tekanan. Sangat penting sebagai seorang ibu, untuk meluangkan waktu untuk merawat diri sendiri sebagai individu dalam mempertahankan kesejahteraan psikologis mereka (Ravindranadan, 2007). Seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita juga memerlukan dukungan dari segala pihak untuk mengurangi beban yang dirasakannya, dimana kondisi ibu yang memiliki anak yang memiliki keterbatasan secara intelegensi dan sosial tersebut memerlukan tenaga, pikiran dan biaya yang lebih besar dalam merawat anaknya sehingga membutuhkan
Universitas Sumatera Utara
bantuan dari orang lain untuk meringankan beban yang dirasakan dan membantu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan psikologis ibu. Ibu yang merasa stress dan memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah, akan merasa terganggu dalam membantu memenuhi kebutuhan anak tunagrahita sehari-hari dan memilih untuk lari dari keadaan (escape) dan menelantarkan anak mereka. Bagi ibu yang merasa bahagia dan sejahtera secara psikologis (psychologically-well) atau memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi, tekanan dalam mengasuh dan memiliki anak tunagrahita akan dimaknai secara positif dan lebih baik. Keadaan tersebut tidak lagi dimaknai sebagai sebuah penderitaan yang menimbulkan keputus asaan, tetapi justru ibu akan berusaha melakukan
upaya
dan
pengobatan
yang
terbaik
bagi
anak
dengan
mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi diri yang mereka miliki. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui gambaran kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita. B. Perumusan Masalah
Penelitian ini akan mengetahui gambaran kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita, dimana pertanyaan-pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut : 1. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita? 2. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi penerimaan diri?
Universitas Sumatera Utara
3. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi hubungan positif dengan orang lain? 4. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi otonomi? 5. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi penguasaan terhadap lingkungan? 6. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi tujuan hidup? 7. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi pertumbuhan pribadi?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase dan memperoleh gambaran kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Menambah pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi ilmu psikologi, terutama di bidang psikologi perkembangan dan psikologi klinis b. Menjadi masukan yang berguna bagi peneliti lain dan pembaca untuk mengetahui bagaimana kesejahteraan psikologis yang dimiliki orang tua
Universitas Sumatera Utara
khususnya ibu yang memiliki anak tunagrahita atau keterbelakangan mental
2. Manfaat praktis Memberikan informasi mengenai gambaran kesejahteraan psikologis pada orang tua khususnya ibu yang memiliki anak tunagrahita atau keterbelakangan mental.
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah : BAB I
: Pendahuluan Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan
penelitian,
manfaat
penelitian
dan
sistematika penelitian. BAB II
: Landasan Teori Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan teori-teori yang
menjelaskan
dan
mendukung
data
penelitian.
Diantaranya adalah teori kesejahteraan psikologis, ibu dan anak tunagrahita.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
: Metode Penelitian Bab
ini
berisikan
mengenai
metode-metode
dalam
penelitian yaitu identifikasi variabel, definisi operasional variabel
penelitian,
populasi,
sampel
dan
metode
pengambilan sampel, instrument dan alat ukur penelitian, validitas dan reabilitas alat ukur, uji daya beda aitem, presedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.
BAB IV
: Hasil Analisa Data Bab ini berisi analisa data dan pembahasan. Pada bagian ini berisi uraian yang akan membahas mengenai analisa data hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan mengenai hasil berkenaan dengan Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita.
BAB V
: Kesimpulan dan Saran Bab ini mengenai kesimpulan dan saran. Pada bagian ini berisi uraian yang akan membahas mengenai kesimpulan peneliti mengenai hasil penelitian serta saran penelitian berupa saran metodologis dan saran praktis bagi penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara