BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Beberapa tahun belakangan ini kita dapat melihat negara-negara anggota ASEAN telah menaruh perhatian lebih pada sektor pariwisata sebagai salah satu sektor yang sangat progresif dalam menunjang pembangunan ekonomi. Setiap negara ini soeolah-olah berlomba untuk menarik minat wisatawan agar melakukan perjalanan wisata ke negara tersebut, dengan harapan perolehan devisa semakin menaiki nilai yang lebih tinggi. Hal ini nampak sekilas dari promosi yang dilakukan oleh setiap negara misalnya Indonesia dengan Visit Indonesia, Thailand dengan amazing Thailand, Malaysia dengan Trully Malaysia, serta Kamboja dengan Kingdom of Wonder-nya.1 Hal yang ditawarkan di dalamnya tentu berbagai produk perdagangan jasa pariwisata yang sangat menjanjikan kepuasan. Perdagangan jasa pariwisata kian berkembang menjadi kegiatan yang sangat populer dan penting. Di Indonesia, perdagangan jasa pariwasata secara nyata telah menyumbangkan kontribusi yang sangat signifikan sekaligus menjadi jembatan dalam pembangunan serta pemerataan
pendapatan
masyarakat.
Pertumbuhan
ekonomi
yang
berimbang
dan
berkesinambungan menjadi target besar guna menggalakkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Berbagai subsektor pariwisata kian gencar mengalami peningkatan kuantitas dan kualitas. Peningkatan kuantitas dapat kita saksikan dengan maraknya bangunan penunjang perjalanan wisata baik itu hotel, penginapan, restoran, bar, kantor agen perjalanan wisata, bahkan menambahnya ketersediaan tenaga terampil seperti pramuwisata, pegawai hotel, serta
1 IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita, Udayana University Press, Denpasar, h.9.
pegawai restoran yang tidak kalah peningkatannya. Sementara peningkatan kualitas terlihat dari perbaikan pelayanan yang diberikan kepada wisatawan, baik itu kualitasa pelayanan hotel, perbaikan fasilitas hotel, peningkatan kualitas keamanan tempat wisata, peningkatan terhadap pola kebersihan, transportasi wisata dan lain sebagainya guna menjamin kenyamanan dan keamanan wisatawan sebagai peyumbang pendapatan yang sangat besar. Besarnya kontribusi yang dihasilkan dari sektor pariwisata tidak hanya terfokus pada pariwisata itu sendiri. Masih banyak sektor lain yang terkena dampak positif dari pariwisata. Misalnya saja sektor telekomunikasi, periklanan, money changer, bank, pembangunan jalan raya, jembatan, lapangan udara, pelabuhan, bahkan listrik dan air jernih.2 Dapat dibayangkan dan dilihat nyata betapa besarnya pariwisata mampu mengalokasikan keuntungan untuk negara kita sebagai negara berkembang, yang kita ketahui bahwa pendapatan perkapita masyarakat kita masih sangat rendah. Bahan baku usaha pariwisata sesungguhnya tidak akan pernah habis. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi yang sangat besar dalam hal ini. Kekuatan potensi alam dan budaya yang dimiliki Indonesia inilah yang dapat dijadikan modal untuk meraih nilai ekonomi yang tinggi.3Beberapa kalangan bahkan menyebut pariwisata sebagai mata rantai penyebaran kesejahteraan masyarakat. Bagi masyarakat Indonesia, pariwisata sangat potensial menyembatani peningkatan kualitas hidup melalui program pemberdayaan masyarakat setempat. Selain itu, pariwisata yang berbasis pada kebudayaan dan sumber daya alam menjadi orientasi yang sangat berpengaruh dalam peningkatan kualitas lingkungan hidup.
2
Ibid.
3
Ibid., h.69
Berbagai organisasi internasional telah mengakui pula bahwa pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Pada mulanya kegiatan ini hanya dinikmati oleh beberapa orang yang relatif kaya pada awal abad ke-20, namun kini pariwisata dapat dinikmati oleh siapa saja. Bahkan beberapa ahli hukum menyatakan pariwisata sebagai hak asasi manusia.4 Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menyebutkan bahwa, di tahun 2002 pariwisata merupakan penyumbang devisa kedua terbesar setelah ekspor migas. Oleh karenanya, kitadapat memperkirakan kesuksesan dalam perdagangan jasa pariwisata akan berbanding lurus dengan penyerapan kesempatan kerjaserta menopang petumbuhan ekonomi Indonesia yang berjalan tidak terlalu cepat. Menyadari peran besar dari perdagangan jasa pariwisata sebagai salah satu sektor yang menjadi primadona, pemerintah mulai menunjukkan keseriusannya dengan menerbitkan Undang-undang No.10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Dalam konsideran, pemerintah menempatkan pariwisata sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana dan terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat setemmpat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional. Sayangnya, sebagai bagian integral seperti yang disebutkan dalam konsideran tersebut, kegiatan perdagangan jasa pariwisata belum dapat terealisasi secara maksimal apabila Indonesia hanya bekerja sendiri meskipun potensi pariwisata yang dimiliki oleh Indonesia hampir maksimal. Di sinilah konsep liberalisasi memberikan peran yang sangat besar dalam menopang kegiatan perdagangan jasa pariwisata di ASEAN, khususnya Indonesia. Liberalisasi dilakukan salah satunya adalah dengan membuka kelonggaran
4
Ibid, h. 10.
investasi untuk pengusaha asing. Namun liberalisasi yang dilakukan ini bukan berarti dilakukan kebebasan secara penuh. Kebebasan diberlakukan dengan mengacu pada prinsipprinsip tertentu serta batasan-batasan tertentu sesuai dengan kesepakatan agar tidak saling merugikan satu sama lain. Dengan kata lain, liberalisasi yang dimaksud adalah dalam arti mengurangi hambatan dalam melakukan perdagangan jasa pariwisata di ASEAN. Melalui liberalisasi ini pemerintah setempat membuka jalan yang begitu lebar bagi para penanam modal asing untuk melakukan akses perdagangan jasa di dalam negeri kita sendiri. Harapannya tentu agar sama-sama memperoleh keuntungan. Dengan melihat potensi yang dimiliki oleh Indonesia, para penanam modal asing akan semakin gencar untuk mendirikan usaha di Indonesia. Namun mengingat kemungkinan apabila kekuatan ekonomi investor dalam negeri masih relatif lebih rendah dibandingkan investor asing, maka untuk melindungi investor dalam negeri tersebut, pemerintah Indonesia tidak sembarangan membuka akses penuh pada semua subsektor perhotelan untuk diliberalisasi. Ide liberaliasasi perdagangan jasa dikawasan negara-negara ASEAN bermula dari hasil Pertemuan negara-negara ASEAN di Bangkok, Thailand pada tahun 1995 yang melahirkan Asean Framework Agremeent on Services(AFAS), kemudian disahkaan pada KTT ke-5 ASEAN tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand.5AFAS kemudian memberikan tuntunan dan menjadi landasan dasar bagi negara-negara ASEAN untuk meningkatkan akses pasar secara progresif serta menjamin pemberlakuan nasional yang setara bagi pelaku usaha di ASEANsebagai proses menuju liberalisasi perdagangan jasa di kawasan ASEAN.6Pada Article 1 AFAS disebutkan bahwa salah satu tujuan utamanya adalah
5
Perkembangan Kerjasama di Sektor Industri, URL: http://www.kemenperin.go.id/Buku -PerkembanganKerjasama-ASEAN-di-SektorIndustri-(s.d-2011). Diakses tanggal 26 September 2014 pukul 15.30 WITA. 6 Institue of Shouteast Asian Studies Singapore, 2010, Southeast Asia in a New Era, ISEAS Publishing, Singapore, h.252.
untuk menghapuskan segala bentuk hambatan dalam perdagangan jasa antar negara anggota ASEAN. Dengan demikian AFAS sangatlah penting dalam rangka memajukan integritas negara-negara ASEAN dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Sebenarnya, dalam ruang lingkup yang lebih luas WTO (World Trade Organization) telah lebih dahulu mengatur mengenai penghapusan hambatan di bidang perdagangan atau liberalisasi di bidang jasa. Instrument pengaturan tersebut dikenal dengan GATS (General Agreement Tarif on Service) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan WTO. Sehingga negara-negara yang tergabung dalam WTO, dengan sendirinya terkena aturan GATS, salah satunya yaitu mengenai liberalisasi perdagangan jasa dan beberapa aturan dalam AFAS sendiri memang mengacu pada aturan yang terdapat dalam GATS sehingga dikatakan bahwa AFAS merupakan bentuk regionalisasi dari GATS untuk kawasan Asia Tenggara. Perlu diketahui, perdagangan di bidang jasa memiliki pengaruh yang sangat besar dimana sektorini mampu menyumbangkan 40%-50% PDB (Produk Domestik Bruto) terhadap negara-negara di Asia Tenggara. AFAS mencakup 12 (dua belas) sektor prioritas yaitu: produk berbasis agro, perjalanan udara dan laut, otomotif, E-ASEAN, elektronik, perikanan, kesehatan, produk berbasis karet, tekstil dan produk tekstil, pariwisata, produk berbasis kayu, serta jasa layanan logistik.7 Dalam perkembanganya tentu hal ini telah mengalami berbagai polemic. Apakah benar liberalisasi akan memberikan suatu kontribusi yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang.
Beberapa negara pelaku liberalisasi menganggap liberalisasi mampu
mempermudah transaksi perdagangan antar negara, mempermudah perluasan pemasaran, mempermudah akses jual beli, sehingga dengan sendirinya akan berdampak pada kekuatan ekonomi suatu negara dalam mensejahterakan rakyatnya.
7 Liberalisasi Sektor Jasa Pariwisata ASEAN diberlakukan 2010. http://www.antara.co.id/print/?=1200334351. Diakses tanggal 29 Sseptember 2014 pukul 19.20 WITA.
URL:
Namun, beberapa ahli di bidang ekonomi menyatakan bahwa semua hal yang diharapkan tersebut hanya akan terjadi apabila negara-negara yang bersangkutan memang telah siap untuk bersaing. Hal yang sangat perlu diperhatikan adalah sumber daya manusia, teknologi, serta sumber daya alam yang tersedia dalam suatu negara. Apabila kualitas 3 (tiga) komponen tersebut masih rendah maka kemungkinan yang terjadi adalah liberalisasi justru akan menjadikan negara berkembang sebagai sasaran pasar dari negara maju. Dalam kejadian yang demikian, liberalisasi perdagangan dikatakan sebagai pembungkus perdagangan yang dilakukan oleh negara maju, karena di beberapa negara maju seperti di Eropa telah menerapkan liberalisasi perdagangan sejak abad 19. Konsep liberalisasi yang diterapkan mengacu pada teori keunggulan komparatif, dimana suatu negara akan selalu memfokuskan dirinya pada kegiatan produksi dan ekspor karena biaya yang dimiliki oleh negara tersebut lebih rendah dari pada negara yang menjadi mitranya dalam perdagangannya.8 Dalam AFAS, setiap negara dapat menyatakan persetujuannya atas bidang jasa yang diliberalisasi, yang kemudian dikenal dengan “schedule of specific commitments” ke dalam suatu“paket perundingan”. Di sektor pariwisata, Indonesia telah menyatakan komitmennya tersebut dalam paket perundingan ke-7 (tujuh) AFAS yang mana Indonesia memberlakukan liberalisasi pariwisata pada subsector berikut: 1. Hotel and Restaurant Services 2. Travel agencies And Tour Operators 3. Tourist and Guide Services 4. Others 5. Sporting and Other Recreational Services
8
31.
Muhammad Sood, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h.
Dalam paket perundingan tersebut terbagi lagi subsektor mana yang diliberalisasi penuh, sebagian, serta diliberalisasi dengan pengecualian tertentu. Komitmen tersebut sangatlah terkait dengan Undang-undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sehingga antara Undang-undang ini dengan komitmen Indonesia dalam AFAS haruslah terbentuksuatu sinkronisasi. Instrument AFAS, tidak mengatur secara langsung mengenai hal-hal yang khusus dalam menjalankan liberalisasi perdagangan jasa pariwista. Yang diatur hanyahal-hal yang bersifat umum mengenai “perdagnagn jasa” saja seperti halnya tujuan, prinsip, kewajiban negara anggota, penyelesaian masalah, serta hal lainnya secara garis besar layaknya sebuah acuan atau pedoman. Peraturan lebih khusus tersebut dituangkan kembali dalam Mutual Recognition Arrangement (MRA) serta beberapa instrument regional lainnya yang terkait dengan kepariwisataan. Namun prinsip-prinsip pokok dalam AFAS tetap menjadi acuan utama bagi negara anggota ASEAN dan prinsip-prinsip tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang tercantum dalam GATS. Melihat keharusan tersebut, maka prinsipprinsip tersebut harus diaplikasikan ke dalam peraturan nasional kita yang menyangkut kepariwisataan termasuk pula peraturan lain yang terkait dengan liberalisasi perdagangan jasa pariwisata di Indonesia agar terciptanya suatu harmonisasi antara aturan nasional dengan aturan regional dan internasional. Meskipun banyak pro dan kontra mengenai efek liberalisasi, kenyataanya liberalisasi tak mungkin lagi di hindari. Sesuai dengan azas pacta sunt servanda, bahwa perjanjian mengikat para pihak maka apapun isi dalam perjanjian harus diterapkan dan dihormati oleh para pihak.9 Konvensi Wina dalam Pasal 26 juga menjelaskan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat bagi para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in
9
Boer Maurna, 2011, Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, h.135.
good faith.10 Maka setiap prinsip AFAS yang menjadi landasan utama dalam melancarkan perdagangan jasa pariwisata di kawasan ASEAN harus benar-benar diterapkan oleh Indonesia ke dalam peraturan nasionalnya. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran penulis untuk mengangkat judul “Penjabaran AFAS dalam Pengaturan Perdagangan Jasa Pariwisata di Indonesia.”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat ditemukan beberapa masalah yang akan diteliti lebih lanjut yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan perdagangan jasa pariwisata dalam AFAS? 2. Bagaimanakah penjabaran prinsip-prinsip AFAS dalam pengaturan perdagangan jasa pariwisata di Indonesia?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam usulan penelitian ini penulis menentukan ruang lingkup masalah yang ingin dipecahkan adalah bagaimana pengaturan liberalisasi perdagangan jasa pariwisata diatur dalam AFAS. Kemudian bagaimanaprinsip-prinsip AFAS yang menjadi landasan utama dalam liberalisasi perdagangan jasa pariwisata dijabarkan dalam peraturan nasional mengenai liberalisasi perdagangan jasa pariwisatadi Indonesia yang harapannya dapat memajukan perekonomian negara anggota ASEAN, khususnya Indonesia.
1.4 Tujuan Penelitian Dalam menentukan tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti, maka berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan ruang lingkup masalah, serta
10
Konvensi Wina 1969.
untuk mendapatkan data-data dan informasi-informasi atau keterangan-keterangan, maka peneliti memiliki tujuan sebagai berikut: 1.4.1 Tujuan Umum 2. Untuk melatih diri dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis; 3. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa; 4. Untuk mengembangkan Ilmu Hukum; 5. Untuk membulatkan studi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada program Strata 1 (S1) di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Untuk lebih memahami mengenai perdagangan internasional khususnya pengaturan liberalisasi perdagangan jasa pariwisata yang diterapkan oleh negaranegara ASEAN sesuai dengan yang diatur dalam AFAS dan telah disetujui bersama oleh negara-negara ASEAN. 2. Untuk mengetahuiprinsip-prinsip AFAS dalam pengaturan perdagangan jasa pariwisata di Indonesia.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Dengan dilakukannya penelitian ini maka diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah dan memperkaya Ilmu Pengetahuan Hukum. Ilmu Pengetahuan Hukum yang dimaksud adalah Hukum Internasional mengenai penjabaran AFAS dalam pengaturan perdagangan jasa pariwisata di Indonesia. 1.5.2
Manfaat Praktis
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan hasil penelitian ini dapat member manfaat dan sumbangan pemikiran bagi pihak yang mendalami bidang Hukum Internasional dan pihak yang terlibat dalam Hukum Internasional. Sehingga dapat mewujudkan suatu kepastian pengaturan dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terlibat.
1.6 Landasan Teori 1. Teori Keadilan John Rawls John Rawls dikenal sebagai seorang filsuf yang mengkritik ekonomi pasar bebas secara keras. Bagi John Rawls pasar bebas dapat memberikan kebebasan kepada setiap orang, namun hal ini justru membuat keadilan sulit untuk ditegakkan. Dalam bukunya yang berjudul “A Theory of Justice”, Beliau menyatakan prinsip yang paling mendasar dari keadilan adalah bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dari posisi mereka yang wajar.11 Oleh karena itu, supaya keadilan tercapai maka struktur konstitusi, politik, ekonomi, dan pengaturan hak milik haruslah sama bagi semua orang. Setiap orang harus mengesampingkan atribut yang membedakannnya dari orang lain seperti kekayaan, kemampuan, bahkan pandangan folosofi karena tidak akan tercapai keadilan apabila suatu masyarakat yang bersaing berasal dari latar belakang yang berbeda.12 2. Teori keunggulan mutlak (Absolute Advantage Theory)
John Rawls’s Theory of Justice, URL: http://philosophyfaculty.ucsd.edu/faculty/rarneson/Rawlschaps1and2.pdf. Diakses tanggal 10 Desember 2014 pukul 20.00 WITA 11
12
Ibid.
Adam Smith dalam karyanya “An Inquiry to The Nature and Causes of Wealth Nation”mengemukakan bahwa dengan melakukan spesialisasi internasional, maka masing-masing negara akan berusaha untuk menekan produksinya pada barangbarang tertentu yang sesuai dengan keuntungan yang dimiliki baik keuntungan alamiah maupun keuntungan yang diperkembangkan.13 Yang dimaksud dengan keuntungan alamiah adalah keuntungan yang diperoleh karena suatu negara memiliki sumberdaya yang tidak dimiliki oleh negara lain baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sedangkan yang dimaksud dengan keuntungan yang diperkembangkan adalah keuntungan yang diperoleh karena suatu negara mampu mengembangkan kemampuan dan keterampilan dalam menghasilkan produk-produk yang belum dimiliki oleh negara lain.14 Ada dua prasyarat utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, yaitu desentralisasi kekuasaan dan ekonomi pasar. Kepercayaan suatu bangsa akan terbangun apabila syarat ini terpenuhi karena selama mekanisme pasar berlangsung, semua tindakan individu akan terdorong oleh kepentingan individu seiring dengan kebutuhan masyarakat. Negarapun tidak boleh mengekang individu dalam mencapai kebebasan pribadi.15 3. Teori keunggulan komparatif (Comparative Advantage Theory) Teori ini dikemukakan oleh David Ricardo untuk melengkapi teori Adam Smith yang tidak mempersoalkan kemungkinan adanya negara-negara yang sama sekali tidak mempunyai keunggulan mutlak dalam memproduksi suatu barang terhadap negara lain misalnya negara yang sedang berkembang.
13
Muhammad Sood, Op.cit.,h.33.
14
Ibid.
15
IGN Parikesit Widiatedja, Op.cit., h.40
Menurut Ricardo dua negara dapat menarik keuntungan dari perdagangan timbal balik apabila salah satunya lebih efisien dalam memproduksi barang dan jasa dari pada yang lainnya. Keuntungan mutlak yang dikemukakan oleh Adam Smith dapat berlaku di dalam perdagangan dalam negeri yang dijalankan atas dasar ongkos tenaga kerja, karena adanya persaingan bebas dan kebebasan bergerak dari faktorfaktor produksi tenaga kerja dan modal. Karena itu masing-masing tempat akan melakukan spesialisasi dalam memproduksi barang-barang tertentu apabila memiliki ongkos tenaga kerja yang kecil.16 Sedangkan untuk perdagangan luar negeri tidak dapat didasarkan pada keuntungan atau ongkos mutlak karena faktor-faktor produksi pada perdagangan luar negeri tidak dapat bergerak bebas sehingga barang-barang yang dihasilkan oleh suatu negara mungkin akan ditukarkan dengan barang-barang dari negara lain meskipun ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membuat barang tersebut berlainan.17 Untuk itu bagi negara yang tidak memiliki faktor-faktor produksi yang menguntungkan, dapat melakukan perdagangan internasional asalkan negara tersebut mampu menghasilkan satu atau beberapa jenis barang yang paling produktif dengan catatan, negara tidak ikut campur dalam urusan masyarakatnya. 4. Teori Kedaulatan Negara
Setiap negara merdeka memiliki kekuasaan tertinggi dalam batas-batas teritorialnya yang kemudian disebut sebagai kedaulatan. Kedaulatan suatu negara dapat dibedakan menjadi kedaulatan internal dan kedaulatan eksternal. Aspek internal suatu kedaulatan diselidiki oleh Jean Bodin, bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan negara dalam batas lingkungan wilayahnya. Sedangakan Grotius menyelidiki dan 16
Muhammad Sood, Op.cit.,h.34.
17
Ibid.
menguraikan kedaulatan dalam hubungannya dengan negara lain. Kedaulatan yang dilihat dari aspek eksternal inilah yang kemudian dikenal sebagai kemerdekaan dan persamaan derajat diantara negara-negara.18 Kedaulatan eksternal mengandung pengertian kebebasan bagi suatu negara merdeka untuk mengadakan hubungan dengan masyarakat internasional. Hubungan ini dapat berupa pembentukan suatu organisasi regional maupun internasional serta melakukan perjanjian lintas negara baik yang bersifat bilateral maupun multilateral dalam berbagai bentuk yang telah disepakati. Inilah yang kemudian menyebabkan suatu negara memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan kaidah dalam Hukum Internasional yang berlaku. 5. Teori mengenai kedudukan antara Hukum Internasional dengan Hukum Nasional, yaitu Teori Monisme dan Teori Dualisme. a. Teori Monisme, dibedakan menjadi:
Monisme Primat Hukum Nasional Menyatakan hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri.19 Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang dikemukakan adalah tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara. Dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk
18
FX. Adji Samekto, 2009, Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 49-50. 19
Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Alumi, Bandung, h. 57-56.
mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.
Teori Monisme Primat Hukum Internasional Teori ini menjadi patokan dari kedaulatan eksternal, dimana Hukum Internasional mempunyai kedudukan yang lebih tinggi disbanding Hukum Nasional. Segi positifnya adalah, apabila semua negara di dunia dengan Hukum Nasionalnya masing-masing tunduk serta menghormati Hukum Internasional di atas Hukum Nasionalnya maka akan tercipta ketertiban, keamanan, dan kedamaian yang luar biasa dalam pergaulan masyarakat internasional.20
b. Teori Dualisme Teori dualisme menganggap Hukum Internasional dan Hukum Nasiona sebagai dua sistem yang terpisah. Koneskuensinya adalah tansformasi hukum, artinya Hukum Internasional hanya akan berlaku apabila sudah ditransformasikan dalam
sistem
Hukum
Nasional.21
Menurut
teori
transformasi,
Hukum
Internasional tidak akan pernah berlaku apabila belum menjadi bagian dari prinsip-prinsip dalam Hukum Nasional. Dengan adanya transformasi tersebut, maka kaidah hukum internasional diubah menjadi kaidah hukum nasional untuk berlaku sehingga tunduk pada dan masuk pada tata urutan perundangan nasional. Karena merupakan dua sistem yang berbeda maka tidak mungkin terjadi konflik antara keduanya.22
20 21
I Wayan Parthiana, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, h. 305. Sefriani, 2010, Hukum Internasional Suatu Pengantar, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h.33-34.
22 Damos Dumoli Agusman, 2010, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktek Indonesia, Refika, Jakarta, h.97.
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah pemecahan masalah yang didasarkan pada literature-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma atau asas hukum, dengan menggunakan landasan teoritis dan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Landasan teoritis yang digunakan merupakaan undang-undang, norma-norma, maupun teori-teori sesuai dengan permasalahan yang diangkat. Dalam skripsi ini, landasan teoritis yang digunakan berasal dari teori-teori yang mengawali dan mendorong munculnya liberalisasi perdagangan, dikaitkan dengan teori mengenai kedaulatan suatu negara dalam mengaplikasikan liberalisasi tersebut. Penelitian hukum normatif yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi hukum.23 Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode normatif karena penelitian ini mempelajari bahan-bahan hukum sebagai acuan dalam penelitian. Peraturan perundang-undangan dikaji berdasarkan teori dan ketentuan hukum yang mengaturnya. Penelitian hukum normatif mengacu pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (konvensi, piagam, kontrak, dokumen hukum, putusan hakim). Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang member penjelasan terhadap bahan hukum primer, misalnya buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, media cetak, serta media elektronik. Sedangakan bahan hukum
23
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 41.
tersier adalah adalah bahan hukum yang memeberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya rancangan undang-undang, kamus hukum, dan ensiklopedia. Dalam skripsi ini, bahan hukum primer terdiri dari Peraturan PerundangUndangan nasional (UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal), kaidah hukum internasional (General Agreement on Trade and Services/GATS), serta beberapa kaidah hukum regional ASEAN (AFAS dan instrument terkait lainnya). Bahan hukum sekunder penulis dapatkan dari beberapa buku dan informasi dari media elektronik terkait dengan perdagangan jasa. 1.7.2 Jenis Pendekatan Penelitian hukum normatif pada umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni:24 1. Pendekatan Kasus (The Case Approach) 2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach) 3. Pendekatan Fakta (The Fact Approach) 4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach) 5. Pendekatan Frasa (Word & Phrase Approach) 6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach) 7. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach) Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, serta pendekatan frasa. Adapun mengenai pendekatan perundang-undangan, dalam Hukum Internasional tidaklah terdapat Undang-Undang, sehingga makna Undang-Undang tersebut perlu diinterpretasikan secara lebih luas lagi,
24 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.75-76.
mencakup segalaketentuan hukum yang tertulis, sehingga Konvensi, dan segala bentuk Perjanjian Internasional juga dapat diinterpretasikan sebagai sebuah Undang-Undang. Pendekatan ini penulis gunakan secara dominan karena penulis melakukan pengkajian normatif mengenai pengaturan liberalisasi perdagangan jasa pariwisata dalam AFAS. Dalam pendekatan analisis konsep hukum, penulis mengkaji prinsip-prinsip yang melandasi perdagangan jasa,konsep hukum terkait mode pemasokan jasa, serta konsep hukum lainnya terkait liberalisasi perdagangan jasa pariwisata. Sementara pendekatan frasa digunakan untuk mengkaji beberapa istilah serta beberapa bunyi pasal dalam suatu pengaturan hukum. 1.7.3 Sumber Bahan Hukum Karena penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif, maka sumber data uyang digunakan adalah data sekunder berupa bahan hukum yang terdiri atas: a. Bahan Hukum Primer, yaitu sumber hukum yang bersifat autoritatif yang artinya memiliki otoritas.25 Bahan hukum primer dalam karya tulis ini terdiri atas asas serta kaidah hukum yang diwujudkan dalam: “General Agreement on Trade and Services (GATS), Asean Framework Agreement on Service (AFAS), UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.” b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber hukum yang bersifat pelengkap bagi bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam karya tulis ini terdiri atas buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, dan materi muatan internet yang berkaitan dengan rumusan masalah. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber yang menjelaskan bahan hukum primer maupun sekunder. Bahan hukum tersier dalam karya tulis ini terdiri atas
25
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 96.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum, dan Ensiklopedia. 1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum/data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah teknik studi dokumen, yaitu dengan cara mencari bahan-bahan di dalam buku-buku terkait untuk dibaca serta dicatat kembali untuk disusun secara sistematis sesuai dengan bahasan dalam penelitian ini. Untuk menunjang penulisan penelitian ini, pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan diperoleh melalui: a. Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumendokumen hukum nasional, regional, dan internasional yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. b. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan bahan-bahan hukum yang bersumber dari bukubuku, rancangan undang-undang, jurnal nasional maupun asing, karya tulis hukum maupun pandangan ahli hukum yang termuat dalam media masa maupun berita di internet yang terkait dengan permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini. 1.7.5 Teknik Analisis Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya.26 Adapaun teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpulkemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi, yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder apa adanya.27 Bahan
26
Mukti Fajar MD dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Puetaka Pelajar, Yogyakarta, h. 183. 27
Ronny Hanitijo, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet.II, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 93.
hukum primer dan sekunder yang telah terkumpul selajutnya diberikan penilaian (evaluasi), kemudian dilakukan interpretasi dan selanjutnya diajukan argumentasi. Argumentasi di sini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogyanya menurut hukum atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Dari hal tersebut nantinya akan ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum lainnya.Teknik lain yang penulis gunakan adalah teknik analisis, yaitu pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis.28 Dalam skripsi ini, penulis memaparkan hal-hal terkait dengan liberalisasi perdagangan jasa dalam AFAS dari bahan hukum primer dan sekunder apa adanya. Kemudian melakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut sesuai dengan rumusan masalah, sehingga penulis mendapatkan jawaban dari rumusan masalah tersebut. Selanjutnya,
penulis
memberikan
argumentasi
terhadap
kesenjangan
ataupun
keharmonisan norma pada hasil analisa yang penulis dapatkan. Terakhir barulah penulis menarik kesimpulan dari hasil penelitian sesuai dengan rumusan masalah.
28
Ibid.