1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Wacana diperkenalkan oleh para linguis di Indonesia sebagai terjemahan dari istilah bahasa Inggris discourse. Namun, para ilmuan sosial lebih banyak menggunakan istilah diskursus. Wacana, di dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, Dardjowidjojo, Lapoliwa, dan Moeliono, 2003: 41) didefinisikan sebagai „rentetan kalimat yang bertautan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat tersebut‟. Sementara itu, Kridalaksana (2008:259) mendefinisikan wacana sebagai „satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar‟. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat lengkap. Berdasarkan media penyampaiannya, wacana terbagi atas dua jenis, yaitu wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dengan bahasa verbal. Sebaliknya, wacana tulis adalah jenis wacana yang disampaikan secara tertulis. Pada penelitian ini, penulis memfokuskan pengkajian wacana pada wacana tulis. Hal ini karena tulisan merupakan media yang efektif dan efisien untuk mengekspresikan berbagai ide, wawasan, dan pengetahuan yang ada dalam pikiran manusia. Namun, mengekpresikan ide dalam sebuah tulisan dengan menggunakan bahasa 1
2
yang baik dan komunikatif sehingga dipahami pembaca, bukanlah hal yang mudah. Tulisan akan mudah dipahami jika hubungan antarbagiannya memiliki suatu kesatuan dan keutuhan yang lengkap sebagai suatu wacana. Oleh karena itu, menulis sebuah wacana bukan hanya persoalan penggunaan bahasa yang baik, tetapi juga menggunakan kemampuan untuk menciptakan wacana tulis yang mempunyai kesatuan yang utuh. Hal yang perlu diperhatikan dalam wacana tulis adalah kepaduan wacana, baik antarkalimat, maupun antarparagraf. Kepaduan antarkalimat akan tampak pada keutuhan dalam paragraf. Adapun kepaduan antarparagraf akan tampak dalam keutuhan sebuah wacana. Membentuk suatu wacana yang padu dan utuh akan membentuk sebuah hubungan dan makna yang jelas antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lainnya. Wacana yang utuh adalah wacana yang lengkap, yaitu mengandung aspek-aspek yang terpadu dan menyatu. Aspek-aspek yang dimaksud di antaranya adalah kohesi dan koherensi. Untuk menciptakan wacana
utuh
tersebut,
diperlukan
kemampuan
untuk
memahami
dan
menggunakan sarana kohesi dan koherensi dengan tepat. Jika tidak, informasi yang ingin disampaikan melalui wacana tersebut diasumsikan akan menjadi tidak jelas bagi pembacanya. Oleh karena itu, di dalam sebuah wacana tulis hal yang disampaikan itu haruslah kohesif dan koheren. Mengingat begitu kompleknya persoalan yang harus diperhatikan dalam menulis sebuah wacana yang padu dan utuh, mahasiswa perguruan tinggi yang mengikuti perkuliahan pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) dibekali perkuliahan menulis (Writing). Hal ini penting dilakukan jurusan
3
Pendidikan Bahasa Inggris sebagai salah satu penyelenggara pendidikan untuk menghasilkan calon guru bahasa Inggris yang kompeten pada bidangnya. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris tersebut dibekali perkuliahan menulis seperti Sentences Writing, Composition dan Academic Writing pada tiga semester berturut-turut. Dengan pembekalan materi pada bidang menulis, mereka diharapkan memiliki kemampuan dan ketrampilan yang baik dalam menulis. Oleh karena itu, mahasiswa dapat menghasilkan salah satu wacana tulis berupa skripsi yang baik. Skripsi merupakan tulisan ilmiah yang harus ditulis mahasiswa sebagai salah satu syarat kelulusan dari jenjang studi Strata 1 (S1). Dengan demikian, mahasiswa diharapkan dapat menghasilkan skripsi dengan penulisan yang sebaik mungkin. Sebagaimana halnya wacana, skripsi yang baik tidak hanya baik dalam hal topik penelitiannya, tetapi juga pelaporan dalam bentuk wacana yang memiliki kesatuan yang utuh sehingga dapat dipahami oleh pembaca dengan baik pula. Skripsi yang terdiri atas beberapa bagian alinea atau paragraf haruslah memiliki kepaduan dan keterpautan makna agar pembentukan paragraf-paragraf di dalamnya dapat tersusun dengan baik. Kepaduan bentuk paragraf adalah hubungan yang dibangun antara kalimat yang satu dengan yang lain dalam sebuah paragraf. Kepaduan paragraf dapat diwujudkan dengan mempertimbangkan penanda kohesi yang meliputi: (1) referensi, (2) substitusi, (3) elipsis, dan (4) konjungsi (Halliday dan Hasan,1976:10-26). Skripsi yang baik harus mengandung keterpautan makna, baik antar kalimat maupun antar paragraf. Artinya, makna kalimat yang satu dengan yang lainnya harus berpautan atau harus berhubungan.
4
Berikut penggalan kalimat dalam skripsi mahasiswa yang mengandung pertalian kohesi: Some of English teachers seldom use English when they are teaching. „Beberapa guru Bahasa Inggris jarang menggunakan bahasa Inggris ketika mereka mengajar‟ (Sumber: skripsi mahasiswa) Bentuk they yang terdapat pada kalimat tersebut merujuk pada klausa nomina Some of English teachers pada awal kalimat. Kata they merupakan penanda kohesi gramatikal, yakni referensi. Kata they merupakan pronomina personal dari some of English teachers. Maka, pola penunjukan ini disebut referensi personal. Pola penunjukan inilah yang menyebabkan kalimat tersebut padu dan efektif karena penggunaan penunjukan ini menghindari terjadinya pengulangan klausal nomina Some of English teachers. Seperti penjelasan sebelumnya, selain memperhatikan kohesi, koherensi juga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Maka, berikut contoh paragraf yang koheren: Today, English is an important thing in almost every field. In educational context, English is used as the tools of communication to access the information and on the daily context, as the tools of making the interpersonal relationship, changing the information each other and take the benefit from the esthetic of English language and culture. English is the first foreign language which is considered very important to absorb and to develop language, technology, art, culture, and to make relationship with other nation in the world. „ Dewasa ini, bahasa Inggris adalah hal yang penting di hampir semua bidang. Di konteks pendidikan, bahasa Inggris digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengakses informasi dan pada konteks sehari-hari, sebagai alat untuk menciptakan hubungan interpersonal, mengubah informasi satu sama lain dan mengambil manfaat dari estetika bahasa dan budaya Inggris. Bahasa Inggris adalah bahasa asing pertama yang dianggap sangat penting untuk menyerap dan mengembangkan bahasa, tehnologi, seni, budaya dan menjalin hubungan dengan bangsa lain di dunia.‟
5
(Sumber: Skripsi Mahasiswa)
Koherensi yang diciptakan pada contoh tersebut ditunjukkan dengan adanya pengulangan kata kunci (repetition of keywords) dalam kalimat. Hal ini dapat terlihat dengan terdapatnya empat kata „English‟ pada paragraf. Penulis paragraf ini terfokus pada penggunaan pengulangan kata „English‟ pada awal kalimat selanjutnya karena ia ingin membuat makna dari setiap kalimat menjadi jelas dan kalimat-kalimat dalam paragraf erat kaitannya. Dengan demikian, penulis dapat mengembangkan dan menghubungkan ide tentang „English‟ dalam paragraf dengan baik sehingga paragraf tersebut menjadi koheren. Berdasarkan dua contoh yang dipaparkan, jelaslah bahwa suatu skripsi yang baik hendaklah kohesif dan koheren sehingga pesan dan informasi yang disampaikan dapat diterima dengan jelas oleh pembaca.
Namun, tidak semua
skripsi yang dihasilkan oleh mahasiswa mengandung kepaduan yang baik. Terdapat pula kalimat-kalimat yang tidak kohesif dalam skripsi mahasiswa. Hal ini menjadi perhatian yang serius, mengingat skripsi merupakan karya tulis ilmiah yang menuntut penerapan kaidah-kaidah bahasa serta pemenuhan aspek-aspek bahasa sebagai syarat dari sebuah tulisan ilmiah yang baik dan dapat dipahami oleh pembaca. Berikut penggalan kalimat yang tidak kohesif yang terdapat di dalam skripsi mahasiswa: Because of that every teacher also has different strategies to teach their students ‘Karena setiap guru memiliki strategi yang berbeda untuk mengajar siswa-siswa mereka.‟ (sumber: skripsi mahasiswa)
6
Pada contoh tersebut terdapat kesalahan penanda kohesi terkait penggunaan referensi. Pada kalimat digunakan referensi pronomina persona posesif their „(kepemilikan) mereka‟ untuk merujuk pada klausa nominal every teacher „setiap guru‟ pada bagian awal kalimat. Tentu saja hal ini menjadi tidak tepat karena every teacher merupakan klausa nominal untuk orang tunggal. Dengan demikian, referensi yang lebih tepat untuk merujuk pada every teacher tentunya pronomina persona posesif untuk orang ketiga tunggal, yaitu her/his ‘(kepemilikan) dia‟. Maka, seharusnya kalimat tersebut menjadi: Because of that every teacher also has different strategies to teach her/his students ‘Karena setiap guru memiliki strategi yang berbeda untuk mengajar siswa-siswanya.‟
Kesalahan membangun kalimat dalam paragaraf agar menjadi koheren juga dialami oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Hal ini terlihat pada contoh berikut:
In this research the writer uses observation sheet and interview guide as the instruments. The observation sheet consists of some prints around the problem mentioned in chapter I, which is hold by researcher as a guidance.Therefore the researcher is easy to do the observation and also the interview. The researcher collected the data by observing the English teaching learning process. „Pada penelitian ini penulis menggunakan lembar observasi dan panduan interview sebagai instrument. Lembar observasi terdiri dari beberapa cetakan seputar permasalahan yang disebutkan di bab I, yang di pegang oleh peneliti sebagai panduan. Oleh karena itu peneliti mudah melakukan observasi dan juga interview. Peneliti mengumpulkan data dengan cara mengamati proses belajar mengajar Bahasa Inggris‟. (sumber: skripsi mahasiswa)
7
Pada contoh tersebut, terdapat ketidaktepatan pengulangan kata kunci dalam sebuah paragraf. Munculnya kata reseacher pada kalimat kedua dan kalimat selanjutnya, yang diasumsi untuk menggantikan kata the writer tidaklah tepat. Tidak konsistennya penggunaan subjek menyebabkan makna yang tidak jelas. Hadirnya researcher mengimplikasikan kepada pembaca adanya orang yang berbeda dengan the writer. Sementara, yang dimaksudkan oleh penulis skripsi, the writer dan the researcher adalah orang yang sama, yaitu penulis skripsi tersebut. Hal ini membuat ketimpangan makna yang dibangun dalam paragraf tersebut. Dengan demikian, paragraf tersebut tidak menciptakan satu kesatuan makna yang utuh. Berdasarkan permasalahan- permasalahan terkait kohesi dan koherensi yang terdapat dalam wacana tulis seperti yang dipaparkan melalui contoh, penulis merasa tertarik untuk menjadikan wacana tulis berupa skripsi mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris sebagai objek penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang yang dipaparkan, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut: 1.2.1
Bagaimanakah kohesi sebagai aspek keutuhan wacana pada skripsi mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris?
1.2.2
Bagaimanakah koherensi sebagai aspek keutuhan wacana pada skripsi mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris?
8
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan pertanyaan pada rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk: 1.3.1
Mendeskripsikan kohesi sebagai aspek keutuhan wacana pada skripsi mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris.
1.3.2
Mendeskripsikan koherensi sebagai aspek keutuhan wacana pada skripsi mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoretis dan praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dan wawasan bagi perkembangan ilmu bahasa yang berkaitan dengan analisis wacana, khususnya kohesi dan koherensi. Adapun, secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat
dalam
upaya
pengkajian
wacana,
membantu
proses
pembelajaran bahasa, dan memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya tentang kohesi dan koherensi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tambahan, pengetahuan, dan masukan bagi pengajar juga pembelajar dalam implementasi dan penerapan pembelajaran keterampilan menulis yang berkaitan dengan kohesi dan koherensi sebagai aspek keutuhan suatu wacana khususnya dalam menyusun sebuah skripsi sebagai syarat kelulusan.
9
1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian terkait wacana telah banyak dilakukan. Hal ini disebabkan perkembangan studi wacana yang kian diminati. Penelitian tersebut mengkaji dari sudut pandang sosiolinguistik, pragmatik, dan struktural. Penelitian yang menyangkut struktur yang terkait kohesi dan koherensi (penanda kepaduan paragraf) sudah pernah dilakukan oleh Ramlan (1993), yang menyatakan bahwa penanda hubungan antarkalimat dapat berupa penunjukan, penggantian, pelesapan, perangkaian, dan penanda hubungan leksikal. Halliday dan Hasan dalam bukunya Cohesion in English (1976) membahas konsep kohesi, mengemukakan macam-macam tipe kohesi, dan memaparkan penanda-penanda kohesi dalam bahasa Inggris. Keduanya membedakan jenis kohesi menjadi dua, yaitu kohesi gramatikal (gramatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion). Kohesi gramatikal dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, yaitu referensi, substitusi, ellipsis, dan konjungsi. Adapun kohesi leksikal terdiri atas repetisi, sinonim, dan kolokasi. Penelitian lain tentang struktur wacana dilakukan oleh Atmawati (2009), yang salah satu kajian permasalahannya terkait dengan struktur wacana dakwah beberapa da‟i terkemuka di Indonesia. Untuk menjawab masalah-masalah dalam penelitian tersebut, digunakan metode struktural untuk menganalisis struktur wacana. Terkait dengan kohesi dan koherensi, ia menggunakan teori kohesi dari M.A.K Halliday dan Ruqaiya Hasan (1976) sebagai dasar analisis data. Dengan demikian, dalam disertasinya, ia menyimpulkan bahwa wacana dakwah beberapa dai/daiyah tersebut memiliki struktur yang relatif teratur, mengandung
10
keterpaduan makna (koherensi) dan kepaduan bentuk (kohesi), meskipun terkadang terdapat kalimat yang kurang runtut. Secara khusus penelitian tentang kohesi dan koherensi telah dilakukan oleh Zakiyah (2011) dengan menjadikan Surat Al-Kahfi sebagai objek penelitian. Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif ini menunjukkan bahwa antara kohesi dan koherensi di dalam teks memiliki keterkaitan yang sangat erat. Aspek bentuk dan makna yang terjalin saling berhubungan antara satu sama lain sehingga membentuk suatu teks yang padu. Kadangkala koherensi tetap terjaga meskipun tidak terdapat perwujudan kohesi karena dalam memahami teks bukan hanya berdasarkan perwujudan kohesi secara eksplisit, tetapi juga dibutuhkan pemahaman terhadap konteks. Selanjutnya adalah penelitian Erlina (2003) mengenai kohesi dan koherensi yang terdapat dalam cerita anak berbahasa Indonesia. Dalam tesisnya, ia mendeskripsikan jenis- jenis penanda kohesi dan koherensi antarkalimat yang terdapat dalam cerita anak dan menemukan bahwa dalam cerita anak terdapat lima jenis kohesi dan sebelas jenis koherensi antarkalimat. Kelima jenis kohesi tersebut adalah penunjukan, penggantian, pelesapan, perangkaian, dan kohesi leksikal yang berupa pengulangan, sinonimi, hiponimi, dan kolokasi. Selanjutnya, kesebelas jenis koherensi antarkalimat tersebut adalah penambahan, perturutan, perlawanan, penekanan, sebab-akibat, waktu, syarat, cara, kegunaan, penjelasan, dan penyimpulan. Ia juga menyimpulkan bahwa penanda kohesi dan koherensi antarkalimat yang digunakan dalam cerita anak lebih sedikit dibandingkan dengan
11
penanda-penanda kohesi dan koherensi antarkalimat yang digunakan dalam wacana bahasa Indonesia pada umumnya. Penelitian dengan objek cerita anak juga telah dilakukan oleh Kusumawardani (2011) yang menganalisis struktur dan tekstur wacana cerita anak berbahasa Inggris dan peran keduanya dalam penyampaian pesan moral kepada anak-anak. Penelitian ini merupakan penelitian deskripsi-kualitatif dengan data cerita anak bilingual berbahasa Indonesia dan Inggris yang dianalisis dengan metode agih dengan menerapkan teori Halliday-Hasan mengenai struktur dan tekstur wacana. Terkait dengan kohesi, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tekstur wacana cerita anak berbahasa Inggris dibentuk oleh komponen utama berupa ikatan kohesi, yang dibangun oleh alat-alat kohesi, yakni yang bersifat gramatikal berupa referensi, substitusi, elipsis, dan konjungsi, serta yang bersifat leksikal. Setiap alat kohesi tersebut membentuk pertalian kohesi wacana cerita anak berbahasa Inggris dengan caranya masing-masing. Penelitian terkait kohesi dan koherensi pada wacana tulis mahasiswa juga telah dilakukan oleh Ahmed (2010) yang berjudul Students’ Problems with Cohesion and Coherence in EFL Essay Writing in Egypt : Different Perspectives. Penelitian ini berfokus pada permasalahan yang dihadapi mahasiswa Guru bahasa Inggris di Mesir ketika menulis sebuah esai berbahasa Inggris. Penelitian yang bertujuan untuk menemukan permasalahan yang dihadapi mahasiswa terkait kohesi dan koherensi dalam esai EFL tersebut, menggunakan metode desain penelitian campuran ( Mixed method research design), yaitu dengan kuesioner dan wawancara mendalam semi-terstruktur. Hasil penelitian ini mengungkapkan
12
bahwa siswa mengalami beberapa permasalahan kohesi dan koherensi dalam penulisan esai EFL, yaitu kohesi meliputi penggunaan referensi katafora dan anaphora, ellipsis, substitusi; sedangkan koherensi meliputi kesulitan menulis pendahuluan, kalimat topik, kalimat penutup dan kesimpulan. Berdasarkan sejumlah hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa penelitian yang menjadikan skripsi mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris sebagai objek penelitian dengan kajian struktural yang meliputi kohesi dan koherensi, terutama dengan mengkaji penanda kohesi dan koherensi baik yang digunakan dalam skripsi maupun kesalahan-kesalahan dalam penggunaannya, sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi khasanah penelitian analisis wacana tekstual terutama terkait kohesi dan koherensi dalam skripsi mahasiswa.
1.6 Landasan Teori Sebelum pemaparan pembahasan hasil penelitian, terlebih dahulu disajikan penjelasan mengenai beberapa teori dan peristilahan yang akan digunakan sebagai landasan dalam pembahasan penelitian ini. Adapun teori-teori dan peristilahan tersebut antara lain meliputi 1) definisi wacana, 2) wacana tulis, 3) kohesi, dan 4), koherensi. Berikut ini uraian mengenai keempat hal tersebut.
1.6.1
Pengertian Wacana Crystal dalam A Dictionary of Linguistics and Phonetic (2008: 148)
menyatakan bahwa wacana adalah sebuah istilah yang digunakan dalam linguistik
13
yang berarti rangkaian bahasa yang berkesinambungan yang lebih luas daripada kalimat. Kalimat merupakan basis pokok dalam pembentukan wacana karena pada tataran wacana, dijelaskan hubungan antara suatu kalimat dengan kalimatkalimat sebelumnya dan sesudahnya (Ramlan, 1993:23). Hal ini senada dengan definisi wacana yang diberikan oleh Kridalaksana (2008: 259) bahwa wacana adalah „satuan baha terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar‟. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat lengkap. Membawa amanat lengkap, maksudnya adalah bahwa makna yang disampaikan dalam suatu wacana tidak terputus-putus. Oleh karena itu, kesatuan dan keutuhan merupakan unsur yang penting dalam suatu wacana. Kesatuan dan keutuhan dalam suatu wacana terlihat dari hubungan antara kalimat yang satu dengan kalimat lainnya yang mengkonstruksi wacana. Halliday dan Hasan (1976:2) mengemukakan bahwa hubungan-hubungan yang ada di dalam dan di antara kalimat-kalimat pada suatu wacana atau teks merupakan penentu apakah serangkaian kalimat itu merupakan teks atau bukan. Terkait hubungan antarkalimat dalam wacana, Brown and Yule (1996:190) mempertegas dengan menyatakan bahwa di dalam wacana atau teks terdapat jaringan yang mengikat kalimat-kalimat di dalamnya menjadi padu sehingga pendengar atau pembaca dapat membedakan apakah ia berhadapan dengan suatu wacana, atau hanya suatu kumpulan kalimat tanpa ikatan.
14
Selain memperhatikan keutuhan wacana, terdapat beberapa unsur atau kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu wacana yang komunikatif. Beaugrande dan Dressler (1981:3-10) mengemukakan bahwa sebuah wacana harus memenuhi tujuh buah kriteria sebagai dasar pertimbangan komunikatif tidaknya suatu wacana, yaitu (1) keterpaduan (cohesion), (2) keruntutan (coherence), (3) keintensionalan
(intentionality),
(4)
keberterimaan
(acceptability),
(5)
keinformatifan (informativity), (6) kesitusionalan (situationality), dan (7) keintertekstualan (intertextuality).
1.6.2
Wacana Tulis berupa Skripsi Mahasiswa Berdasarkan media penyampaiannya, Mulyana (2005:51) memilah wacana
menjadi dua, yaitu wacana lisan dan tulisan. Perbedaan wacana tulis dengan wacana lisan sangatlah jelas, tetapi untuk menunjukkan ciri-ciri pembeda antara wacana lisan dan wacana tulis, selain bahwa wacana lisan merupakan produk dari kegiatan oral dan wacana tertulis merupakan produk kegiatan tulis, tidaklah mudah. Brown dan Yule (1996: 15-17) menyatakan bahwa wacana tulis secara tipikal tersusun atas kalimat-kalimat yang lebih terstruktur dari wacana lisan. Dalam wacana tulis, lebih banyak digunakan penanda metalingual untuk menunjukkan hubungan antarklausa. Adapun wacana lisan cenderung kurang eksplisit sehingga menggunakan sedikit penanda hubungan antarklausa. Merunut pada penjelasan terhadap wacana tulis yang disebutkan sebelumnya, maka skripsi yang merupakan laporan penelitian ilmiah sebagai
15
syarat kelulusan bagi mahasiswa Strata 1 (satu) pada universitas atau institut adalah salah satu contoh dari ragam wacana tulis. Skripsi tersusun dari kalimatkalimat yang terstruktur dengan rangkaian bahasa yang berkesinambungan sehingga membentuk satu kesatuan, yang terdiri atas pendahuluan, isi dan penutup.
1.6.3
Kohesi Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Sebagai aspek
formal, kohesi menjadi pemarkah hubungan antarkalimat yang disusun secara padu untuk menghasilkan wacana yang mempunyai kesatuan dan keutuhan. Alwi, Dardjowidjojo, Lapoliwa, dan Moeliono (2003:427) menyatakan bahwa kohesi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana. Halliday & Hasan (1976:4) membahas konsep kohesi dengan mengemukakan macam-macam tipe kohesi dan memaparkan penanda-penanda kohesi dalam bahasa Inggris. Keduanya membedakan jenis kohesi menjadi dua, yaitu kohesi gramatikal (gramatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion). Kohesi gramatikal dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, yaitu referensi, substitusi, ellipsis, dan konjungsi. Adapun kohesi leksikal terdiri atas repetisi, sinonim, dan kolokasi.
16
1.6.3.1 Kohesi gramatikal Kohesi gramatikal adalah hubungan kalimat di dalam teks yang mengacu pada komponen gramatikal. Berikut ini penjelasan jenis kohesi yang termasuk dalam kategori gramatikal.
a. Referensi Ramlan (1993:12) mengemukakan bahwa referensi atau penunjukan merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjukkan kata atau kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya. Halliday dan Hasan (1976: 32) membagi referensi atas dua tipe, yaitu eksofora dan endofora. Referensi eksofora adalah pengacuan terhadap sesuatu yang terdapat di luar teks (ekstratekstual), sedangkan referensi endofora adalah pengacuan terhadap sesuatu yang terdapat di dalam teks (intratekstual). Cutting (2008:9) menyatakan bahwa endofora berfungsi untuk menghindari pengulangan yang tidak penting. Berdasarkan arah acuannya, referensi endofora terbagi lagi ke dalam dua pola, yaitu anafora dan katafora. Anafora adalah referensi yang merujuk hal yang telah disebutkan sebelumnya. Sebaliknya, katafora adalah referensi yang merujuk hal yang ada pada kalimat berikutnya. Pembagian ini dapat dilihat jelas dalam diagram berikut:
17
Referensi
Eksofora
Endofora
<<<< Anafora
Katafora >>>>
(Cutting, 2008: 9)
Klasifikasi lebih lanjut terkait referensi dinyatakan oleh Halliday dan Hasan (1976: 37) yang mengklasifikasikan referensi ke dalam tiga jenis, yaitu pronomina persona, demonstratif, dan komparatif. Pada pronomina persona, pemakaian persona di dalam teks ditentukan berdasarkan kategori persona, yaitu penggunaan pronomina orang pertama (speaker), pronomina orang kedua (adressee), dan pronomina orang ketiga (other person); dan penggunaan ini juga meliputi kategori jumlah (tunggal dan jamak) dan gender (laki-laki dan perempuan). Referensi demonstratif ditentukan berdasarkan ukuran kedekatan (scale of proximity), dan referensi komparatif ditentukan berdasarkan identitas dan kesamaan.
b. Substitusi (Penggantian) Subtitusi adalah penggantian suatu unsur dalam sebuah teks atau wacana
oleh
unsur
yang
lain.
Halliday
dan
Hasan
(1976:90)
mengklasifikasikan substitusi menjadi tiga bagian, yaitu (1) substitusi
18
nominal (nominal substitution) digantikan dengan one, ones, same; (2) substitusi verbal (verbal substitution) digantikan dengan do; dan (3) substitusi klausal (clausal substitution) digantikan dengan so, not. Berikut contoh substitusi nominal yang diberikan oleh Cutting (2008:10) pada sebuah nyanyian oleh Reynolds (1962): Little boxes on the hillside Litle boxes made of ticky-tacky Little boxes, little boxes, Little boxes, all the same. There’s a green one and a pink one And a blue one and a yellow one
Pada baris There’s a green one and a pink one/ and a blue one and a yellow one terkandung subtitusi “one” yang mewakili kata “box”. Sama halnya dengan referensi, penggunaan subtitusi pun berfungsi untuk menghindari pengulangan kata.
c. Elipsis (Penghilangan) Elipsis adalah penghilangan atau pelesapan. Suatu hal yang tidak muncul dalam wacana, tetapi dapat dipahami maknanya. Halliday dan Hasan (1976: 142) berpendapat bahwa elipsis dan subtitusi sangatlah mirip. Selain sama-sama berfungsi menghindari pengulangan,
hubungan keduanya
19
diibaratkan dengan pernyataan bahwa elipsis adalah hanya subtitusi dengan menggunakan nol (zero). Berdasarkan unsur yang terlesap, Halliday dan Hasan (1976: 146) mengklasifikasikan elipsis menjadi tiga, yaitu (1) elipsis nominal, (2) elipsis verbal, dan (3) elipsis klausal. Dalam elipsis atau penghilangan, ada unsur kalimat yang tidak terdapat secara tersurat pada kalimat berikutnya. Meskipun demikian, kehadiran unsur tersebut dapat diperkirakan dan dapat pula dipahami maknanya. Berikut salah satu contoh dari elipsis verbal:
Joan brought some carnations, and Catherine some sweet peas. (Joan membawa beberapa anyelir, dan Catherine beberapa kacang polong manis)
Struktur dari kalimat kedua terdiri atas subjek dan komplemen. Struktur ini tidak lazim. Struktur yang seharusnya ialah Catherine brought some sweet peas. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa terjadi penghilangan kata brought pada kalimat tersebut. Penghilangan ini dimaksudkan agar tidak terjadi pengulangan kata karena kata brought telah disebutkan sebelumnya pada kalimat pertama. Meskipun demikian, kalimat tersebut masih dapat dipahami.
d. Konjungsi Jenis gramatikal kohesi yang terakhir adalah konjungsi. Halliday dan Hasan (1976: 226) menegaskan bahwa konjungsi sedikit berbeda dengan
20
jenis kohesi lainnya, baik itu referensi, subtitusi, maupun elipsis. Konjungsi adalah hubungan dua unsur bahasa, baik antarklausa, antarkalimat, maupun antarparagraf dengan menggunakan perangkat atau piranti penghubung. Konjungsi tidak hanya sebuah hubungan anafora. Konjungsi bersifat kohesif bukan karena dirinya sendiri, melainkan secara tidak langsung. Zaimar dan Harahap (2011) menambahkan bahwa pembahasan tentang konjungsi sebagai alat kohesi juga berkaitan dengan aspek semantik dan bukan semata-mata aspek gramatikal. Selanjutnya, Halliday dan Hasan (1976: 238) menyatakan bahwa konjungsi dapat menyatakan empat macam relasi, yaitu aditif, adversatif, kausal, dan temporal. Dalam bahasa Inggris, konjungsi aditif (penambahan) terdiri atas kata and, or, nor, in addition, by the way, in other words, likewise, dan lain-lain. Selanjutnya, konjungsi adversatif yang pada dasarnya bermakna „bertentangan dengan harapan‟, terdiri atas kata though, yet, only, but, however, nevertheless, in fact, dan sebagainya. Berikutnya, contoh konjungsi kausal adalah so, thus, hence, therefore, then, because, dan sebagainya yang berkaitan dengan sebab- musabab. Kemudian yang terakhir, yaitu konjungsi temporal, contohnya adalah next, then, before, soon, next time, in short, finally dan lain-lain. Selain itu, terdapat pula kata-kata yang berfungsi sebagai konjungsi, seperti now, of course, well, surely yang dikategorikan konjungsi lainnya.
21
1.6.3.2 Kohesi Leksikal Kohesi leksikal adalah hubungan kalimat di dalam teks yang tidak mengacu pada komponen gramatikal. Penerapan jenis kohesi ini dapat dilihat dengan pemilihan kata. Halliday dan Hassan (1976: 288) mengemukakan dua jenis kohesi leksikal, yaitu reiterasi (reiteration) dan kolokasi (collocation).
1. Reiterasi Halliday dan Hasan (1976: 318) menyatakan bahwa reiterasi adalah pengulangan dari sebuah leksikal, atau terjadinya sinonim dari beberapa jenis, di konteks referensi; yaitu, terdapat dua kejadian yang memiliki rujukan yang sama. Halliday dan Hasan (1976: 277) membagi reiterasi atas tiga jenis, yaitu:
a. Repetisi Repetisi adalah pengulangan kata yang sama dan pada umumnya menggunakan acuan yang sama pula. Penggunaan repetisi yang semua komponen maknanya diulang biasanya bukan hanya menunjukkan sifat kohesif teks, melainkan juga menyembunyikan makna konotatif tertentu, dan hal ini tergantung dari konteksnya (Zaimar dan Harahap, 2011: 148).
b. Sinonim Crystal (2008: 470) mendefinisikan sinonim sebagai sebuah istilah yang digunakan dalam semantik untuk merujuk pada hubungan antara leksem.
22
Leksem-leksem yang memiliki kesamaan makna adalah sinonim. Terkait dengan kohesi, Zaimar dan Harahap (2011:150) mengungkapkan bahwa penggunaan sinonim memang cukup menopang kohesi suatu wacana. Pengulangan yang bervariasi ini mengikat teks, menjadikannya suatu wacana yang padu.
c. Superordinasi (superordinate) Crystal (2008:465) menyatakan bahwa superordinasi merupakan sebuah istilah yang terkadang digunakan dalam deskripsi grammatikal untuk merujuk pada unit linguistik hierarki yang lebih tinggi daripada lainnya. Dijelaskan pula, bahwa istilah ini digunakan untuk merujuk pada unit urutan yang lebih tinggi, contohnya „flower‟ adalah superordinasi untuk „tulip‟, „daffodil‟, dan lain-lain. Istilah superordinasi ini berkaitan pula dengan hiponimi. Kridalaksana (2008: 83) mendefinisikan hiponimi sebagai „hubungan dalam semantik antara makna spesifik dan makna generik, atau antara anggota taksonomi dan nama taksonomi‟. Jika contoh yang dikemukakan tersebut „flower‟ adalah superordinat untuk „tulip‟, „daffodil‟; maka „tulip‟, „daffodil‟ adalah hiponimi untuk „flower‟.
2. Kolokasi Jenis kohesi leksikal yang selanjutnya adalah kolokasi. Kolokasi didefinisikan oleh Halliday-Hasan (1976: 284), merupakan penggunaan
23
kosakata-kosakata yang saling memiliki keterkaitan dalam ruang lingkup tertentu. Keterkaitan antar kosakata tersebut bisa jadi bersifat antonimi atau bahkan berbeda kelas katanya.
1.6.4
Koherensi Elemen lainnya yang perlu diperhatikan di dalam keutuhan paragraf
adalah koherensi. Oshima and Hogue (1991: 40) menyatakan bahwa comerupakan prefiks dari bahasa Latin yang bermakna bersama-sama „together‟ atau dengan „with‟. Kata kerja cohere bermakna menjaga kesatuan „hold together‟. Dengan demikian, dari definisi tersebut, terkait dalam hal menulis, koherensi dapat diartikan padu, mempunyai hubungan. Dalam hal membuat suatu tulisan yang koheren, maka perpindahan dari suatu kalimat ke kalimat lainnya atau dari satu paragraf ke paragraf lainnya hendaklah logis dan halus. Logis dan halus yang dimaksudkan di sini, yaitu bahwa ide yang disampaikan tidak terputus-putus atau melompat-lompat. Setiap kalimat satu dengan kalimat selanjutnya mengalir dengan halus. Selain itu, keutuhan koheren dijabarkan oleh adanya hubunganhubungan makna yang terjadi secara semantis. Hal ini ditegaskan sebelumnya oleh Halliday dan Hasan (1976:2) bahwa wacana merupakan sebagai unit semantik dan unit tersebut bukanlah berupa bentuk (form), melainkan makna (meaning). Halliday dan Hasan (1994: 65-66) juga menyatakan bahwa ada kesetalian dalam teks atau wacana sehingga merupakan kesatuan yang padu.
24
Artinya, setiap bagian wacana mengandung suatu pertalian antara bagian sebelumnya dan bagian sesudahnya. Selanjutnya, Oshima dan Hogue (1991: 39) menjelaskan bahwa terdapat empat cara untuk mencapai koherensi dalam sebuah tulisan. Dua cara pertama adalah dengan mengulang kata benda kunci dan menggunakan pronomina yang mengacu pada kata benda kunci. Cara yang ketiga adalah dengan menggunakan sinyal transisi „transition signal‟ dan yang terakhir adalah dengan menyusun kalimat dalam urutan logis „logical order‟.
1.6.4.1 Koherensi
melalui
Pengulangan
Kata
Kunci
(Keywords)
dan
menggunakan pronomina Oshima dan Hogue (1991: 41) menyatakan bahwa cara yang paling mudah untuk mencapai koherensi adalah dengan dengan mengulang kata benda kunci dan menggunakan pronomina (kata ganti) yang merujuk pada kata kunci tersebut. Tidak ada aturan pasti tentang waktu yang tepat untuk mensubstitusi dengan pronomina atau seberapa sering pengulangan dan pergantian dibenarkan. Namun, penulis perlu mengulang kata benda kunci dibandingkan menggunakan pronomina ketika makna paragraf atau wacana tersebut tidak jelas. Artinya, pengulangan kata kunci diperlukan agar makna paragraf atau wacana menjadi lebih jelas. Penggunaan teknik ini dapat dilihat pada contoh berikut.
25
Gold Gold, a precious metal, is prized for two important characteristics. First of all, gold has a lustrous beauty that is resistant to corrosion. Therefore, it is suitable for jewelry, coins, and ornamental purposes. Gold never needs to be polished and will remain beautiful forever. For example, a Macedonian coin remains as untarnished today as the day it was minted twenty-three centuries ago. Another important characteristic of gold is its usefulness to industry and science. For many years, it has been used in hundreds of industrial applications. The most recent use of gold is in astronouts‟s suits. Astronouts wear gold-plated heat shields for protection outside spaceships. In conclusion, gold is treasured not only for its beauty but also for its utility.(sumber: Oshima & Hogue, 1991: 41)
Kata kunci pada paragraf di atas adalah gold. Pada paragraf tersebut, terdapat pengulangan kata gold sebanyak tujuh kali, penggunaan pronomina it yang merujuk ke kata gold sebanyak dua kali dan penggunaan pronomina posesif its sebanyak tiga kali.
1.6.4.2 Koherensi melalui Sinyal Transisi (Transition Signal) Oshima dan Hogue (1991: 42) menyatakan bahwa sinyal transisi dalam paragraf adalah seperti tanda lalulintas yang mengatakan kepada pembaca kapan untuk maju, kembali, pelan-pelan, dan berhenti. Maka, dengan menggunakan sinyal transisi, pembaca dapat mengetahui paragraf tersebut memberikan pemikiran yang sama (similarly, moreover, furthermore, in addition), pemikiran yang berlawanan (on the other hand, however, in contrast), sebuah contoh (for example), hasil (as a result), atau sebuah kesimpulan (in conclusion).
26
1.6.4.3 Koherensi melalui Urutan Logis (Logical Order) Selain penggunaan sinyal transisi dan pengulangan kata benda kunci dan pronomina, cara terakhir untuk mencapai koherensi adalah dengan merangkai kalimat ke dalam beberapa urutan logis. Oshima dan Hogue (1983: 48) mengatakan “ your choice of one kind of logical order over another, will, of course, depend on your topic and on your pupose”. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa seorang penulis merupakan orang yang paling mengetahui tujuan dan topik dari tulisannya. Dengan demikain, ia selayaknya menyesuaikan dengan berbagai macam urutan logis: akan berada pada urutan logis, divisi logis dari ide, perbandingan dan kontras, atau sebab dan akibat. Misalnya, jika kata-kata atau frasa dari penulis menunjukkan hubungan antara ide dalam paragraf, dapat diklasifikasikan ke dalam divisi logis dari ide.
Selain menggunakan teori yang dinyatakan Oshima dan Hogue terkait koherensi dalam hal menulis sebuah paragraf atau wacana, dalam penelitian ini juga digunakan teori prinsip-prinsip karya tulis ilmiah sebagai pendukung dalam menganalisis kekoherensian skripsi mahasiswa secara keseluruhan. Dalam hal menulis sebuah karya ilmiah berupa skripsi, Poedjosoedarmo (1989: 58) menyatakan bahwa ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan untuk mencapai kekoherensian sebagai keutuhan sebuah skripsi, antara lain:
27
1. Bahasa yang lengkap Dalam menulis laporan ilmiah, bahasa yang digunakan haruslah lengkap. Kelengkapan yang dimaksud adalah baik dalam tataran kelengkapan kalimat, paragraf, bab, maupun wacana. Kelengkapan kalimat ditandai dengan kelengkapan unsur kalimat. Selanjutnya, kelengkapan paragraf dapat dilihat dengan memuat satu kalimat pokok dan beberapa kalimat pendukung. Terakhir, wacana dikatakan lengkap, apabila unsur pembentuk wacana tulis berupa skripsi terpenuhi, yaitu bab pendahuluan, isi dan penutup. 2. Bahasa yang ringkas Dalam usaha menyajikan bahasa yang lengkap, penulis juga dituntut agar tidak menyajikan bahasa yang berlebihan. Bahasa yang digunakan dalam karya ilmiah haruslah ringkas, tidak berlebih atau bertele-tele. Menurut Poedjosoedarmo (1989: 60), penggunaan bahasa yang ringkas dapat dilakukan dengan menciptakan paragraf yang hanya terdiri satu kalimat topik dan kalimat pendukung yang tidak dinyatakan berulang-ulang, serta menghindari penggunaan konjungsi rangkap untuk kalimat yang sudah jelas maknanya walaupun hanya dengan menggunakan satu konjungsi saja. 3. Bahasa yang bulat Bahasa yang digunakan dalam tesis juga harus memancarkan kebulatan ide dari wacana tersebut. Dalam hal tataran wacana atau bab, dikatakan wacana tersebut bulat atau utuh jika hal yang disebutkan pada
28
bagian awal, dilengkapi oleh sajian pada bagian isi, dan dan disempurnakan pada bagian penutup. Pada tataran paragraf, utuh atau bulat berarti hanya terdapat satu kalimat pokok dan semua kalimat pendukung, menopang kalimat pokok tersebut. Selanjutnya pada tataran kalimat, kalimat yang utuh mempunyai satu informasi baru, yang dimuat dalam predikat, dan satu topik utama (yang biasanya dimuat oleh subjek). 4. Bahasa yang lugas Selanjutnya, bahasa dalam penyusunan laporan ilmiah juga haruslah lugas atau jelas. Bahasa yang lugas paling tidak haruslah konvensional, standar (baku), gramatikal, dan tidak ambigu. Penggunaan kalimat yang terlalu panjang tidak disarankan apabila membuat ide dari kalimat tersebut menjadi tidak jelas. 5. Bahasa yang runtut Bahasa yang digunakan dalam membuat karya tulis ilmiah seharusnya bersifat runtut dan teratur. Dalam laporan penelitian terdapat pendahuluan, isi, dan kesimpulan. Maka, dalam membuat karya tulis, pendahuluan haruslah diletakkan di bagian depan dan kesimpulan di bagian akhir. Jika tidak demikian, karya tulis berupa wacana dapat dikatakan tidak runtut. 6. Bahasa yang santun Untuk menyatakan kesantunan bahasa dalam skripsi, maka harus memenuhi
prinsip-prinsip
yang
telah
disebutkan
sebelumnya.
Poedjosoedarmo (1989: 68) menyatakan bahwa rasa sopan santun dapat
29
dicapai dengan membuat laporan selengkap mungkin agar pembaca merasa puas, laporan yang ringkas, dan jelas. Selain itu, laporan yang baik adalah laporan yang tidak menggurui. Oleh karena itu, dalam pembuatan skripsi sebaiknya penggunaan kalimat perintah atau permintaan dihindari. 7. Bahasa yang jujur Dalam
pembuatan
laporan
penelitian,
kejujuran
sangatlah
diperlukan. Bahasa yang jujur dapat dilihat pada bagian pendahuluan atau bagian penutup, yang penulis skripsi tersebut memaparkan kelebihan dan kekurangan dari karyanya. 8. Bahasa yang objektif Laporan ilmiah yang bersifat objektif juga tercermin dari bahasanya. Bahasa yang objektif cenderung menggunakan kalimat pasif untuk beberapa jenis kalimat. 9. Bahasa yang menarik Penggunaan bahasa yang menarik juga diperlukan dalam membuat laporan penelitian ilmiah. Walaupun skripsi harus disampaikan dalam ragam baku dan formal, variasi masih dapat dilakukan. Variasi dapat dilakukan pada tataran paragraf dan kalimat. Pemilihan kata penghubung paragraf yang tidak monoton juga dapat dikatakan sebagai variasi agar menghindari pengulangan kata yang sama.
30
1.7
Metode Penelitian Metode
merupakan
cara
memahami
masalah penelitian. Metode
menjabarkan cara yang harus ditempuh peneliti dalam setiap penelitian (Sudaryanto, 1993: 25). Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang didasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga hal yang dihasilkan merupakan paparan apa adanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif,
dengan
desain
penelitian
yang
dilakukan
bertujuan
untuk
mendeskripsikan data yang berupa kata-kata tertulis dari objek penelitian yang dapat diamati untuk memperoleh gambaran tentang fenomena pada skripsi mahasiswa terkait kohesi, dan koherensi. Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu 1) pengumpulan data, 2) analisis data, dan 3) penyajian hasil analisis data.
1.7.1
Metode Pengumpulan data Sumber data dalam penelitian ini merupakan skripsi mahasiswa
Pendidikan Bahasa Inggris pada Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Namun, tidak semua mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris UAD dilibatkan sebagai objek penelitian. Sebagai penelitian kualitatif, penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel secara purposif (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa pengambilan sampel tersebut berdasarkan tujuan dan merupakan hal yang spesifik, yaitu skripsi yang mengandung kohesi dan koherensi juga mempunyai kesalahan dalam mengaplikasikan keduanya. Dengan
31
demikian, skripsi yang dipilih dalam penelitian ini sebanyak 3 (tiga) skripsi yang memenuhi tujuan penulis. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mendokumentasikan skripsi mahasiswa.
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu metode
simak dengan teknik catat. Mahsun (2007:242) mengemukakan bahwa metode simak merupakan metode yang digunakan dalam penyediaan data dengan cara penyimakan penggunaan bahasa oleh peneliti. Metode ini dapat disejajarkan dengan pengamatan atau observasi. Dalam hal ini, dilakukan pengamatan terhadap 3 (tiga) skripsi yang memenuhi dan mendukung tujuan penelitian ini. Selanjutnya, teknik catat dilakukan melalui proses penentuan data, baik yang mengandung kohesi dan koherensi, maupun tidak pada setiap skripsi. Data dicatat dengan kode tertentu, seperti S1/C1/01/01, yang berarti skripsi yang pertama pada chapter pertama, paragraf pertama dan kalimat pertama.
1.7.2
Metode Analisis Data Analisis data penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah yang ada.
Mahsun (2007:253) menegaskan bahwa analisis data merupakan upaya yang dilakukan untuk mengklasifikasikan dan mengelompokkan data. Sejalan dengan pernyataan tersebut, dalam penelitian ini dilakukan dua tahapan analisis data. Pertama, dilakukan pengidentifikasian terhadap data, yaitu mengidentifikasikan penanda kohesi dan koherensi yang digunakan mahasiswa di dalam skripsi. Kedua, dari hasil identifikasi tersebut dilakukan pemilahan untuk membuat klasifikasi data mengenai kohesi berdasarkan teori Halliday dan Hasan dan
32
koherensi berdasarkan teori Oshima dan Hogue serta prinsip-prinsip karya ilmiah oleh Poedjosoedarmo sebagai pendukung analisis koherensi, dan mencatat beberapa kesalahan atau pelanggaran yang terjadi pada jenis kohesi dan koherensi yang terdapat dalam skripsi mahasiswa. Kemudian, terhadap kesalahan atau pelanggaran tersebut, diberikan analisis tentang hal yang salah dan menyertakan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang ditemukan.
1.7.3
Penyajian Hasil Analisis Data Berdasarkan klasifikasi dari data yang ditemukan, hasil analisis akan
disajikan dalam bentuk deskripsi. Hal ini karena penelitian yang dilakukan merupakan kajian kualitatif. Selanjutnya, hasil penelitian dijelaskan dalam uraian per bab, sebagaimana yang tertera dalam sistematika penyajian. Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini tersaji dengan kata-kata. Hal ini sejalan dengan Mahsun (2007:123) yang menegaskan bahwa hasil analisis yang berupa kaidahkaidah dapat disajikan melalui dua cara. Salah satu dari metode tersebut adalah metode formal yang perumusannya dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis.
1.8 Sistematika Penulisan Penelitian ini disajikan ke dalam lima bab. Bab I merupakan Pendahuluan, meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
33
Bab II berjudul Kohesi dalam Skripsi Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris. Pada bab ini berisi hasil analisis data berupa deskripsi jenis dan tanda kohesi pada skripsi mahasiswa, baik itu analisis terhadap jenis dan penanda kohesi yang digunakan dalam skripsi tersebut, maupun kesalahan-kesalahan dalam menggunakan penanda kohesi. Bab III berjudul Koherensi di dalam Skripsi Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris. Bab ini berisi hasil analisis data berupa deskripsi jenis dan tanda koherensi yang digunakan di dalam skripsi, maupun kesalahan-kesalahan yang menyebabkan tidak koherennya antarkalimat dan antarparagraf di dalam skripsi tersebut. Bab IV Penutup, meliputi simpulan dan saran penelitian.