BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy”(Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik kriminal. Kebijakan adalah arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan9. Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu10: a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do)11. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya 9
Kamus Hukum (Bandung: Citra Umbara, 2008), halaman 191. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), halaman 38. Lihat juga Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya, 2002) halaman 1. 11 Pandangan Thomas Dye ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sudarto dalam bukunya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), halaman 113-114 dan dalam Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), halaman 161. Kedua buku tersebut mengemukakan bahwa kebijakan/ politik berkaitan atau mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian alternatif yang dihadapi untuk dilaksanakan atau dijalankan. Menjalankan politik kriminal atau secara khusus menjalankan politik hukum pidana juga mengadakan 10
1 Universitas Sumatera Utara
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Tujuan akhir dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Kebijakan kriminal harus ditempuh dengan pendekatan yang integral yaitu ada keseimbangan sarana penal dan non penal. Dilihat dari aspek politik kriminal kebijakan paling strategis melalui apa yang dinamakan dengan sarana non penal12 yang bersifat mencegah (prevensi) daripada mengobati, sedangkan kebijakan penal mempunyai keterbatasan seperti tidak struktural fungsionalis, lebih bersifat represif, dan harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi. Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal perlu ditempuh melalui 3 tahap, yaitu13: 1. Tahap formulasi/ legislatif; 2. Tahap aplikasi/ yudikatif; 3. Tahap eksekusi/ pelaksanaan pidana. Ketiga tahapan ini dapat disebut sebagai satu kesatuan sistem dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan, maksud tahap-tahap ini tidak dapat dilihat bahwa yang
pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 12 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: BP Universitas Diponegoro, 2000), halaman 33. 13 Syarifuddin Pettanase, Kebijakan Kriminal, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2010), halaman 6.
Universitas Sumatera Utara
satu lebih strategis dari tahap yang lain (dikhotomi). Barda Nawawi Arief
14
sendiri
menegaskan bahwa satu diantara ketiga tahap tersebut yang paling strategis terletak pada tahap formulasi. Menurut A. Mulder, Strafrechtpolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan: 1. Ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui; 2. Perbuatan untuk mencegah terjadinya tindak pidana; 3. Cara
penyidikan,
penuntutan,
peradilan
dan
pelaksanaan
pidana
harus
dilaksanakan. Defenisi ini bertolak dari pengertian sistem hukum pidana yang menyatakan bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: 1. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya; 2. Suatu prosedur hukum pidana; dan 3. Suatu mekanisme pelaksanaan (pidana)15. Salah satu bidang kehidupan manusia yang dirumuskan dalam kebijakan pemerintah dalam berbagai peraturan perundang-undangan adalah bidang kesehatan. Masalah kesehatan bagi bangsa Indonesia memiliki peranan yang penting bagi kemajuan suatu bangsa sehingga bisa dikatakan kesehatan merupakan suatu indikator bagi kemajuan suatu bangsa dan sebagai modal bagi pembangunan bangsa Indonesia. 14 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2007), halaman 78-79. 15 Barda Nawawi, Op.Cit, halaman 26.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan bagian menimbang menyatakan bahwa kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan yang besar artinya bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksana pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Besarnya peranan kesehatan bagi masyarakat dan ternyata tidak semuanya bisa diserahkan kepada masyarakat itu sendiri, maka pemerintah mau tidak mau harus ikut campur dalam masalah kesehatan masyarakat. Perlindungan dan penegakkan hukum di Indonesia dalam bidang medis masih terlihat belum efektif. Kasus tindak pidana di bidang medis banyak terjadi dari pelayanan yang buruk sampai pada kematian pasien. Di berbagai media saat ini baik media elektronik maupun media cetak banyak mengekspos mengenai kasus-kasus di bidang medis, yang merupakan tanda kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka mengenai kesehatan dan tindakan medik, sekaligus kesadaran untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama di bidang kesehatan. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan memberikan peluang bagi pengguna jasa atau barang untuk mengajukan gugatan/ tuntutan hukum terhadap pelaku usaha yang telah dianggap telah melanggar hak-haknya, terlambat
Universitas Sumatera Utara
melakukan/tidak melakukan/terlambat melakukan sesuatu yang menimbulkan kerugian bagi pengguna jasa atau barang, baik kerugian harta benda atau cedera atau bisa juga sampai pada kematian. Hal ini berarti bahwa pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan dapat menuntut/menggugat rumah sakit, dokter atau tenaga kesehatan lainnya jika ada masalah atau kerugian yang diakibatkan kelalaian medis tersebut. Tidak sedikit dari masyarakat tidak memahami bahwa banyak faktor lain diluar pengawasan dan kekuasaan tenaga medis yang dapat mempengaruhi hasil medis, misalnya daya tahan tubuh pasien, tingkat stadium dari penyakit yang diderita oleh pasien, juga kepatuhan pasien pada saat pengobatan oleh tenaga medis. Faktorfaktor tersebut dapat mengakibatkan upaya medis menjadi tidak mempunyai arti. Tidak salah jika kemudian dikatakan bahwa hasil suatu upaya medis penuh dengan ketidakpastian (uncertainly) dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik16. Begitu juga halnya dengan diagnosis (mencari dan mendefenisikan gangguan kesehatan), pada hakekatnya merupakan bagian dari pekerjaan tenaga medis yang paling sulit. Tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan (perbedaan diagnosis klinik) diberbagai rumah sakit sekalipun dibantu oleh alat medis yang canggih guna mempermudah pekerjaan para medis. Hasil diagnosis yang salah tidak secara langsung menimbulkan suatu tindak pidana, terlebih dahulu harus dilakukan
16
S. Sutrisno, Tanggungjawab Dokter di Bidang Hukum Pembuktian. Segi-Segi Hukum Pembuktian, (Semarang: Makalah dalam Seminar Malpraktek Kedokteran, 1991), halaman 22.
Universitas Sumatera Utara
penelitian
apakah
tindakan
malpraktek
tersebut
merupakan
akibat
tidak
dilaksanakannya standar prosedur diagnosis oleh tenaga medis. Pada kenyataan sehari-hari sering kita mendengar keluhan-keluhan dari masyarakat mengenai kualitas pelayanan di rumah sakit. Keluhan tersebut seperti pelayanan rawat inap yang kurang nyaman, fasilitas dan perhatian tim medis terhadap pasien tidak sebanding dengan biaya yang di bayar oleh pasien, bahkan beberapa rumah sakit ada yang mengharuskan pembayaran di awal sebelum penanganan pasien. Walaupun secara fakta petugas tidak bisa disalahkan apabila menanyakan kepada pasien atau keluarga pasien dapat melakukan pembayaran tersebut, karena ada beberapa obat yang harganya cukup mahal tidak ada disediakan oleh rumah sakit dan harus ditebus di rumah sakit. Sebagai contoh lain apabila pasien darurat membutuhkan banyak darah, sementara persediaan darah di rumah sakit tersebut yang sesuai dengan darah pasien sudah habis maka pasien harus membayar atau menebus darah tersebut di luar pelayanan rumah sakit. Sering sekali pihak rumah sakit selalu disalahkan apabila terjadi akibat buruk pada pasien setelah mendapat pengobatan atau tindakan medis yang berupa keadaan penyakit yang semakin parah, adanya cedera lebih fatal atau bahkan sampai pada kematian pasien. Keluhan pasien terhadap rumah sakit atau tenaga medis tentu tidak semuanya benar dan bersifat subyektif, tetapi juga keluhan tersebut tidak dapat diabaikan agar tidak menimbulkan konflik hukum yang berkepanjangan.
Universitas Sumatera Utara
Contoh kasus kebijakan formulasi tindakan medik, yaitu: 1.
Pasien menderita sakit (luka tikam pada bagian leher, dada dan perut), telah dilakukan operasi kecil oleh dokter. Untuk perawatan selanjutnya pasien dirawat untuk luka pada bagian dada yang ditangani oleh dokter yang lain, melalui pemeriksaan Radiologi dokter menganjurkan pasien menjalani bedah Thorax. Dokter konsultan dari DPD Ampi TK.I SUMUT melihat hasil Radiologi menyimpulkan bahwa tidak ditemukan adanya indikasi pada pasien untuk menjalani bedah Thorax. Tuntutan: a.
Rumah sakit telah memberikan pelayanan kesehatan secara tidak optimal yaitu tidak memberikan hak pasien untuk mendapatkan pelayanan kedua (second opinion vide: Penjelasan Pasal 53 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 dengan perubahan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009).
b.
Selain informasi medis dari seorang tenaga kesehatan yang menyatakan therapi medis atas pasien harus dilakukan bedah Thorax.
c.
Bahwa tindakan dokter yang menyatakan therapi medis dan penentuan diagnostik yang tidak proposional.
d.
Bahwa atas pelayanan rumah sakit dan keputusan penanganan medis dari tenaga kesehatan tidak sesuai dengan Standar Pelayanan Kesehatan dan standar profesi terindikasi sebagai perbuatan malpraktek.
2.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terutama Bab VI Upaya Kesehatan. Misalnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dengan
Universitas Sumatera Utara
kompetensi Kebidanan. Komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru lahir sebagian besar terjadi pada masa disekitar persalinan. Hal ini antara lain disebabkan pertolongan tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi kebidanan (profesional). Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 70,62% - 77,21%. Pemerintah juga seharusnya memberikan pelayanan yang terbaik kepada setiap warganya, diperlukan dukungan dan komitmen, antara lain adanya kejelasan pelayanan yang diberikan, konsistensi aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan, merelevansikan dengan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan pelayanan publik serta komitmen kuat dalam memberikan pelayanan terbaik. Pelayanan merupakan tindakan atau perbuatan yang berupaya memberikan kebutuhan bagi orang lain dan manfaatnya dapat dirasakan oleh orang lain yang dilayani itu17. Konsep ini disebut sebagai konsep pelayanan prima yang sesungguhnya mirip dengan prinsip-prinsip good governance18. Salah satu contoh peran pemerintah dalam memberikan pelayanan terhadap kepentingan masyarakat adalah dibidang kesehatan yang dapat diwujudkan dengan mendirikan rumah sakit dan meningkatkan sumber daya manusia bidang medis. Rumah sakit merupakan institusi atau lembaga yaitu rumah tempat merawat orang-orang yang sakit, tempat memberikan pelayanan kesehatan dan meliputi berbagai masalah dengan kesehatan. Sifat dari rumah sakit
17 18
Sutopo dan Adi Suryanto, Pelayanan Prima, (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2003), halaman 8. Ibid., halaman 21-22.
Universitas Sumatera Utara
yaitu bersifat publik artinya siapapun bisa menggunakan fasilitas pelayanan rumah sakit tanpa membeda-bedakan latar belakangnya. Pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan termasuk perundang-undangan yang berkaitan dengan kesehatan untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut. Perundang-undangan kesehatan merupakan sebagian dari hukum kesehatan dan hukum Administrasi Negara. Hal ini dapat dilihat dari aturan yang melingkupi masalah kesehatan yang lebih banyak mengatur tugas pemerintah dan dalam berhubungan dengan warganya. Berbagai peraturan perundang-undangan dikeluarkan pemerintah harus dapat dijalankan dan ditegakkan apabila ada pelanggaran. Negara dalam hal ini pemerintah bertanggungjawab untuk menjaga aturan-aturan dalam perundang-undangan itu dijalankan. Dalam menegakkan aturanaturan tersebut digunakan sanksi hukum. Keberadaan sanksi hukum diperlukan karena dengan ancaman hukuman diharapkan dapat dicapai paksaan rohani dan pengaruh mendidik terhadap yang berkepentingan. Salah satu ancaman hukuman tersebut adalah sanksi pidana. Sekarang ini dalam berbagai peraturan perundang-undangan mencantumkan sanksi pidana di dalam bab ketentuan pidana. Dengan adanya sanksi pidana maka penegakkan hukumnya dilakukan oleh negara/pemerintah yang dalam hal ini dilaksanakan pihak kepolisian dan kejaksaan. Dengan demikian dapat disimpulkan pemerintah ikut campur dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai alat yang ada padanya. Salah satu alat tersebut adalah hukum pidana.
Universitas Sumatera Utara
Hukum pidana menduduki peranan penting sebagai salah satu sarana kebijakan pemerintah. Hal ini karena hukum pidana mempunyai kedudukan yang istimewa, dalam arti hukum pidana tidak hanya terdapat dalam undang-undang hukum pidana saja namun juga terdapat di dalam berbagai peraturan perundangundangan lain di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) seperti UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, dan sebagainya. Dalam hal semacam ini kedudukan hukum pidana bersifat menunjang penegakkan norma yang berada di bidang hukum lain. Bahkan dalam hal-hal tertentu peranannya diharapkan lebih fungsional daripada bersifat subsidair mengingat situasi perekonomian yang kurang menguntungkan19. Kegunaan sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan mengenakan sanksi tersebut dapat diciptakan kondisi yang lebih baik. Dalam perkembangannya terjadi perubahan terhadap fungsi hukum pidana mengingat adanya pembangunan di segala bidang kehidupan dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Hukum pidana digunakan sebagai sarana oleh pemerintah untuk meningkatkan rasa tanggungawab negara/ pemerintah dalam rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Berdasarkan uraian tersebut, maka tesis ini akan mengkaji permasalahan dengan mengambil judul “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Tindakan Medik”.
19
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang. Naskah Pidato Pengukuhan, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1990), halaman 148.
Universitas Sumatera Utara
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan permasalahan penting untuk dikaji di dalam penelitian ini, yaitu: 1.
Bagaimana tindakan medik dikategorikan sebagai tindak pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan?
2.
Bagaimana kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanganan tindak pidana di bidang tindakan medik?
3.
Bagaimana perlindungan hukum pidana terhadap korban tindak pidana di bidang tindakan medik?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui tindakan medik yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2.
Untuk mengetahui kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanganan tindak pidana di bidang tindakan medik yang dirumuskan dalam perundang-undangan yang terdiri dari masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar aturan.
3.
Untuk mengetahui perlindungan hukum pidana terhadap korban tindak pidana di bidang tindakan medik.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna bagi semua pihak. Adapun manfaat penelitian ini secara teoritis dan praktis adalah: 1.
Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah
bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana, khususnya pengetahuan teoritis tentang tindak pidana di bidang tindakan medik, dan pengkajian terhadap beberapa peraturan hukum pidana yang berlaku saat ini berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap tindak pidana di bidang tindakan medik. 2.
Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini yang berfokus kepada kebijakan
perlindungan hukum ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi konkrit bagi para legislator dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap tindak pidana di bidang medis di Indonesia. Dengan pendekatan kebijakan hukum pidana yang tetap memperhatikan pendekatan aspek lainnya dalam kesatuan pendekatan sistemik/ integral, diharapkan dapat menghasilkan suatu kebijakan perlindungan hukum yang benar-benar dapat memberikan perlindungan terhadap tindak pidana di bidang medis ini, khususnya terhadap pembaharuan hukum pidana di Indonesia di masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian Guna menghindari karya ilmiah yang mengandung unsur plagiat terhadap karya ilmiah milik orang lain, sebelumnya dilakukan penelusuran di perpustakaan besar dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Hasil penelusuran ditemukan beberapa judul dan permasalahan tesis berikut ini: 1.
Tesis atas nama Jan Bosarmen Sinaga, dengan judul “Analisis Putusan Sanksi Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung)”. Fokus masalah adalah pertanggungjawaban tindak pidana malpraktek berdasarkan KUHP dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan belum cukup untuk mengatur mengenai tindak pidana malpraktek sehingga pengaturan mengenai tindak pidana malpraktek harus dibentuk baik dari segi kualifikasi perbuatan malpraktek, akibat dari perbuatan malpraktek dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana malpraktek.
2.
Tesis atas nama Supriono Tarigan, dengan judul “Tindakan Aborsi Dengan Alasan Indikasi Medis Karena Terjadinya Kehamilan Akibat Perkosaan”. Fokus masalahnya adalah ketentuan pidana aborsi menurut KUHP dan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah kepada korban perkosaan, serta kehamilan akibat perkosaan bisa dikatakan sebagai alasan indikasi medis.
3.
Tesis
atas
nama
Natalita
Solagracia
Situmorang,
dengan
judul
“Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan
Menurut
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen”.
Fokus
Universitas Sumatera Utara
masalahnya adalah tanggung jawab rumah sakit terhadap pasien dalam pelayanan jasa kesehatan di rumah sakit dan alternatif penyelesaian sengketa antara pasien (konsumen) dengan pihak rumah sakit. Judul pada penelitian ini adalah “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Tindakan Medik”, dan permasalahan yang akan menjadi fokus kajian di dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana tindakan medik dikategorikan sebagai tindak pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan?
2.
Bagaimana kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanganan tindak pidana di bidang tindakan medik?
3.
Bagaimana perlindungan hukum pidana terhadap korban tindak pidana di bidang tindakan medik? Dari perbandingan judul dan fokus kajian di dalam penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya jelas menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini adlah asli, sebab terhadap judul dan rumusan masalah di dalam penelitian ini tidak memiliki kemiripan dengan judul dan permasalahan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini dapat dikatakan tidak mengandung unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain. F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsional 1.
Kerangka Teori Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan,
yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki
Universitas Sumatera Utara
menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataan), juga simbolis20. Kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir yang menunjukkan dari sudut mana masalah yang telah dipilih akan disoroti21. Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan-landasan filosofisnya yang tertinggi22. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butirbutir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan pendapat yang menjadi perbandingan, pegangan teoritis23. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut diamati24. Dalam penelitian ini terdapat beberapa teori yang relevan digunakan yaitu teori perlindungan hukum dan teori keadilan. Namun yang menjadi grand theory adalah teori perlindungan hukum. a.
Teori perlindungan hukum Awal mulanya dari teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum
alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid
20
HR. Otje Salman S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2005), halaman 21. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), halaman 93. 22 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), halaman 254. 23 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), halaman 80. 24 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2003), halaman 39. 21
Universitas Sumatera Utara
Plato) dan Zeno. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral25. Menurut Von Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah cerminan dari undang-undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran sejarah hukum, ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundangundangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya hakikat kebenaran dan keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa ke masa. Pada abad ke-17, substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas yang bersifat universal yang bisa disebut HAM26. Pemikiran yang eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak asasi dan kebebasan warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia merupakan mahluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagiaan rakyat merupakan
25 26
B. Arief Sidharta, Hukum dan Logika, (Bandung: Alumni, 2000), halaman 35. Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), halaman 116.
Universitas Sumatera Utara
tujuan negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh negara27. Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum28. Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif antisipatif29. Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Teori perlindungan hukum merupakan teori yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Roscou Pound mengemukakan hukum merupakan alat rekayasa sosial (law is a tool of social enginering). Kepentingan manusia adalah suatu tuntutan yang dilindungi dan dipenuhi manusia dalam bidang hukum. Hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia, berbeda dengan norma-norma yang lain, karena hukum itu berisi perintah dan/ atau larangan, serta membagi hak dan kewajiban.
27
Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Ibid, halaman 54. 29 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rusdakarya, 1993), halaman 118. 28
Universitas Sumatera Utara
Roscou Pound membagi kepentingan manusia yang dilindungi hukum menjadi 3 (tiga) macam, meliputi30: a. Public interest (kepentingan umum); b. Social interest (kepentingan masyarakat); c. Privat interest (kepentingan individu)31. Kepentingan umum (public interest), merupakan kepentingan yang utama, meliputi32: a. Kepentingan dari negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan substansinya; b. Kepentingan-kepentingan dari negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat. Ada 6 (enam) kepentingan masyarakat (social interest) yang dilindungi oleh hukum, meliputi33: a. Kepentingan masyarakat bagi keselamatan umum, seperti: a) Keamanan; b) Kesehatan; c) Kesejahteraan; d) Jaminan bagi transaksi-transaksi dan pendapatan. b. Kepentingan bagi lembaga-lembaga sosial, yang meliputi perlindungan dalam bidang: a) Perkawinan; b) Politik, seperti kebebasan berbicara; c) Ekonomi. c. Kepentingan masyarakat terhadap kerusakan moral, seperti: a) Korupsi; b) Perjudian; c) Pengumpatan terhadap Tuhan; d) Tidak sahnya transaksi-transaksi yang bertentangan dengan hal moral yang baik; 30
Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada PenelitianTesis dan Disertasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2013), halaman 266. 31 Lili Rasjidi, Loc. Cit. 32 Ibid. 33 Ibid, halaman 267.
Universitas Sumatera Utara
e) Peraturan yang membatasi tindakan-tindakan anggota trust. d. Kepentingan masyarakat dalam pemeliharaan sumber sosial, seperti menolak perlindungan hukum bagi penyalahgunaan hak (abuse of right); e. Kepentingan masyarakat dalam kemajuan umum, seperti perlindungan pada: a) Hak milik, hak perdagangan bebas dan monopoli; b) Kemerdekaan industri; c) Penemuan baru. f. Kepentingan masyarakat dalam kehidupan manusia secara individual, seperti perlindungan terhadap: a) Kehidupan yang layak; b) Kemerdekaan berbicara; c) Memilih jabatan. Ada 3 (tiga) macam kepentingan individu (privat interest) yang perlu mendapat perlindungan hukum. Ketiga macam perlindungan itu meliputi34: a. Kepentingan kepribadian (interest of personality), meliputi perlindungan terhadap: a) Integritas (keutuhan) fisik; b) Kemerdekaan kehendak; c) Reputasi (nama baik); d) Terjaminnya rahasia-rahasia pribadi; e) Kemerdekaan untuk menjalankan agama yang dianutnya; f) Kemerdekaan mengemukakan pendapat. b. Kepentingan dalam hubungan rumah tangga (interest in domestic), meliputi: a) Perlindungan bagi perkawinan; b) Tuntutan bagi pemeliharaan keluarga; c) Hubungan hukum antara orang tua dan anak. c. Kepentingan substansi (interest of substance), meliputi perlindungan terhadap: a) Harta; b) Kemerdekaan dalam menyusun testamen; c) Kemerdekaan industri dan kontrak; dan d) Pengharapan legal akan keuntungan-keuntungan yang diperoleh. Manfaat adanya klasifikasi kepentingan hukum menjadi 3 (tiga) macam di atas, adalah karena35: 34
Ibid, halaman 268.
Universitas Sumatera Utara
a. Hukum sebagai instrumen kepentingan sosial; b. Membantu premis-premis yang tidak terang menjadi jelas; c. Membuat legislator (pembuat undang-undang) menjadi sadar akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan yang khusus. Sudikno Mertokusumo mengemukakan tidak hanya tentang tujuan hukum, tetapi juga tentang fungsi hukum dan perlindungan hukum. Dia berpendapat bahwa dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum36. b. Teori keadilan Menurut Subekti, hukum mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Hukum menurut Subekti, melayani tujuan negara tersebut dengan menyelenggarakan “keadilan” dan “ketertiban”, syarat-syarat yang pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan. Ditegaskan selanjutnya, bahwa keadilan itu kiranya dapat digambarkan
35 36
Ibid. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberti, 1999), halaman 71.
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati orang, dan jika dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan37. L.J Van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot distudie van het naderlandsche recht” menegaskan bahwa tujuan hukum ialah pengaturan kehidupan masyarakat secara adil dan damai dengan mengadakan keseimbangan antara hak dan kewajibannya38. Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan kepentingan golongangolongan manusia. Pertentangan kepentingan ini dapat menjadi pertikaian bahkan dapat menjelma menjadi peperangan, seandainya hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan perdamaian. Adapun
hukum
mempertahankan
perdamaian
dengan
menimbang
kepentingan yang bertentangan itu secara teliti dan mengadakan keseimbangan di antaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan, jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan antara kepentingankepentingan yang dilindungi, pada setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya. Keadilan tidak dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama39. Menurut Aristoteles dalam tulisannya “Rhetorica”, keadilan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu40:
37
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka. 1989), halaman 41. 38 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), halaman 32. 39 C.S.T Kansil, Ibid, halaman 42. 40 K. Bertens, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), halaman 49.
Universitas Sumatera Utara
1. Keadilan legal atau konvensional Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku41. 2. Keadilan komutatif Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yang lain atau antara warga negara yang satu dengan warga negara lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal antara warga yang satu dengan warga lainnya. 3. Keadilan distributif Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif (berlaku dalam hukum publik) dan keadilan korektif (berlaku dalam hukum perdata dan pidana). Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting adalah bahwa imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian keadilan yang sama rata42. 2.
Kerangka Konsepsi Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus
yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti dan/ atau diuraikan dalam karya ilmiah43. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam penelitian, maka dengan ini perlu untuk memberikan beberapa konsep yang berhubungan dengan judul dalam penelitian ini, yaitu: 1.
Kebijakan adalah arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan44.
2.
Pelayanan medik adalah upaya kesehatan perorangan meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diberikan kepada pasien oleh 41
Haris Setyawan, Keadilan menurut Aristoteles, http://haris-setyawan.blogspot.com/2012/04/keadilanmenurut-aristoteles.html?m=1 diakses pada tanggal 28 Oktober 2014. 42 K. Bertens, Ibid, halaman 50. 43 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), halaman 79. 44 Kamus hukum, Op.Cit, halaman 191.
Universitas Sumatera Utara
tenaga medis sesuai dengan standartd tindakan medik dengan memanfaatkan sumber daya dan fasilitas secara optimal45. 3.
Tindakan medik adalah tindakan professional oleh tenaga medis terhadap pasien dengan tujuan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau menghilangkan atau mengurangi penderitaan46.
4.
Rumah sakit adalah suatu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan rawat inap dan rawat jalan yang memberikan pelayanan kesehatan jangka pendek dan jangka panjang yang terdiri dari observasi, diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif untuk orang-orang yang menderitakan sakit, cidera dan melahirkan47.
5.
Kebijakan formulasi adalah bagian dari kebijakan publik yang merupakan tahap paling krusial karena implementasinya dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi telah selesai48.
6.
Kebijakan formulasi adalah bagian dari kebijakan publik yang merupakan tahap paling krusial karena implementasinya dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi telah selesai49.
45 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1045/MENKES/PER/XI/2006 Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Di Lingkungan Departemen Kesehatan. 46 http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/09/pengertian-tindakan-medik.html, diakses tanggal 14 April 2015. 47 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1045/MENKES/PER/XI/2006 Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Di Lingkungan Departemen Kesehatan. 48 Kamus hukum, Op.Cit, halaman 191. 49 Kamus hukum, Op.Cit, halaman 191.
Universitas Sumatera Utara
7.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum, dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan50.
8.
Medis adalah tenaga ahli dalam bidang kesehatan dengan fungsi utamanya memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dengan mutu sebaik-baiknya dengan menggunakan tata cara dan teknik berdasarkan ilmu pengetahuan dan etik yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan51.
9.
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis52.
10. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi53. 11. Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti yang sangat luas dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka nilai sama54. 12. Peraturan adalah keputusan yang memberikan penyelesaian sesuatu hal secara umum, abstrak55.
50
Sudarsono, Op.Cit, halaman 170. Ibid, halaman 270. 52 Pasal 1 angka 1 UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. 53 Pasal 1 angka 10 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. 54 Sudarsono, Op.Cit, halaman 268. 55 Kamus Hukum, Op.cit, halaman 354. 51
Universitas Sumatera Utara
13. Perundang-undangan adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum yang dilakukan oleh penguasa masyarakat yang berwenang untuk itu dan dilakukan melalui prosedur yang ditentukan56. 14. Pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara sendiri57. 15. Tindak pidana adalah setiap perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam KUHP maupun peraturan perundangundangan lainnya58. G. Metode Penelitian 1.
Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif yaitu penelitian yang mengacu pada teori-teori dan doktrin-doktrin yang dikemukakan berbagai para ahli. Asas-asas atau prinsip-prinsip, baik yang masih bersifat abstrak maupun yang sudah dinormatifkan dalam perundang-undangan. Juga terhadap norma-norma hukum, kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutnya sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis baik
56
Ibid, halaman 385. Ibid, halaman 316. 58 Ibid, halaman 493. 57
Universitas Sumatera Utara
hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process59. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu selain menggambarkan (mendeskripsikan) fakta-fakta di lapangan juga menganalisisnya melalui pendekatan perundang-undangan (statute aproach)60. Sifat penelitian deskriptif analitis dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung atau menggambarkan data objektif kemudian dianalisis berdasarkan teori-teori, doktrindoktrin, asas-asas atau prinsip-prinsip kebijakan hukum pidana. 2.
Sumber Bahan Penelitian Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder61. Data sekunder pada penelitian dapat dibedakan menjadi bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier62. Dalam penelitian ini, bersumber dari data sekunder sebagai berikut63: a.
Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang mengikat dengan permasalahan dan tujuan penelitian antara lain: UndangUndang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang No.
59
Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, Metode Penelitan Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, halaman 1. 60 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), halaman 96. 61 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), halaman 23-24. 62 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), halaman 12. 63 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit., halaman 13.
Universitas Sumatera Utara
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang No. 44 Tahun 2004 Tentang Rumah Sakit. b.
Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer yang terdiri dari: buku-buku, jurnal, majalah dan artikel.
c.
Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus hukum, kamus hukum kesehatan, berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan dokumen elektronik dan hukum administrasi negara.
3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library
research) dan studi dokumen. Studi kepustakaan dilakukan di perpustakaan dengan mengumpulkan berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, artikel-artikel atau tulisan, makalah dan jurnal ilmiah, dan segala bahan tertulis yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana dan bahan-bahan hukum tertulis tentang penanganan tindak pidana di bidang medis. 4.
Analisis Data Data yang berhasil dikumpulakan akan diuraikan secara sistematis. Data yang
diperoleh tersebut kemudian dianalisa secara normatif dan kualitatif dengan penguraian secara deskriptif analitis dan prespektif dalam arti menggambarkan data apa adanya dan memberikan pemikiran-pemikiran untuk masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini akan dikemukakan secara deduktif (penalaran logika dari umum ke khusus)64 dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data sehingga permasalahan dapat dijawab.
64
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Peneltian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), halaman 109.
Universitas Sumatera Utara