BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses integrasi Kawasan Uni Eropa kini tengah diuji. Pandangan skeptis terhadap integrasi Uni Eropa (Euroscepticism) semakin meluas dan populer di kalangan masyarakat negara anggota Uni Eropa. Data survey Eurobarometer dari tahun 1990 hingga 2011 menunjukkan adanya peningkatan persepsi publik yang mengatakan bahwa unifikasi negara terhadap Uni Eropa adalah hal yang buruk (European Commission, n.d. a). Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi pandangan skeptis terhadap Uni Eropa diantaranya adalah ketidakpuasan terhadap kinerja
pemerintah,
ketidakpercayaan
terhadap
institusi
supranasional,
kekhawatiran terhadap hilangnya identitas nasional, dan refleksi terhadap kepentingan pribadi (McLaren, 2007). Euroscepticism didorong oleh kebijakan Uni Eropa yang dianggap merugikan (McLaren, 2007). Kebijakan Schengen yang memberikan peluang untuk bergerak secara bebas dalam Area Schengen dan kemajuan pesat ekonomi Uni Eropa telah menarik minat imigran dari negara nonUni Eropa untuk bermigrasi menuju Uni Eropa (Kasimis, 2012). Akibatnya, angka imigran di Uni Eropa meningkat pesat sejak 1990-an (Triandafyllidou & Gropas, 2007b). Awalnya imigrasi dianggap bermanfaat bagi ketersediaan tenaga kerja (labor supply) di negara penerima migran di Uni Eropa. Namun, seiring perlambatan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara penerima migran, imigrasi dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi
1
2
(McLaren, 2003). Krisis ekonomi Eropa di tahun 2010 mengakibatkan tingginya tingkat pengangguran di berbagai negara Uni-Eropa, terutama di Spanyol dan Yunani yang tingkat penganggurannya mencapai lebih dari 20% (Eurostat, 2014). Selain itu, jumlah imigran yang besar juga dapat menjadi ancaman terhadap nilainilai budaya yang menjadi identitas nasional masyarakat lokal negara anggota Uni Eropa (Jozwiak, 2012). Ancaman ekonomi dan budaya ini kemudian memicu ketegangan antara masyarakat lokal dengan penduduk imigran yang cenderung berujung pada tindak kekerasan terhadap imigran. Tindak kekerasan yang muncul seperti pelecehan, pemukulan, penikaman, bahkan pembunuhan. Penyerangan terhadap imigran di Yunani mencapai 900 kasus sejak tahun 2010 (Kotsoni, 2013). Berbagai
tindakan
kekerasan
tersebut
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
mengintimidasi para imigran untuk kembali ke negara asalnya. Alih-alih mendeportasi para imigran, pemerintah negara-negara penerima migran di Uni Eropa justru memberlakukan kebijakan regularisasi dan reunifikasi yang memberikan kesempatan bagi imigran untuk tetap berada di negara tersebut. Bahkan, kebijakan untuk membatasi jumlah imigran yang masuk dinilai tidak efektif, sebab masuknya imigran tercatat tetap tinggi di berbagai negara Uni-Eropa (McLaren, 2003). Keinginan masyarakat lokal untuk memulangkan penduduk imigran dari negara mereka tidak dapat terakomodasi dengan baik oleh partai politik mainstream yang mendominasi pemerintahan. Akibatnya, masyarakat lokal memilih untuk memberi dukungan pada partai politik radikal kanan yang menawarkan agenda politik anti-imigrasi. Sejak tahun 1980-an, dukungan terhadap partai radikal kanan di Eropa mengalami peningkatan (Mudde, 2014). Terdapat 14
3
dari 27 negara anggota Uni Eropa yang memiliki anggota dewan parlemen dari partai radikal kanan (Red Pepper, 2009). Salah satu partai radikal kanan yang sukses meraih dukungan suara adalah Partai Golden Dawn di Yunani pada tahun 2012. Peningkatan dukungan terhadap partai radikal kanan di Yunani ditunjukkan dengan meningkatnya elektabilitas partai radikal kanan Golden Dawn dalam pemilu parlemen Yunani tahun 2012. Hasil pemilihan umum Parlemen Yunani menunjukkan hasil yang menarik. Dua partai mainstream Yunani yaitu Partai New Democracy (ND) dan Partai Pan Hellenic Socialist Movement (PASOK) mengalami penurunan perolehan suara yang cukup tinggi dibandingkan hasil pemilu sebelumnya. Sementara, partai radikal kanan Golden Dawn berhasil memperoleh peningkatan perolehan suara secara drastis sehingga berhasil menduduki 18 kursi di parlemen Yunani (Igraphics, 2012). Padahal, Partai Golden Dawn tidak pernah memperoleh dukungan suara lebih dari 1% pada pemilu sebelumnya (Hellenic Republic Ministry of Interior, 2014). Perolehan ini merupakan keberhasilan terbesar sejak partai tersebut berdiri pada tahun 1985. Peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani tahun 2012 menjadi menarik sebab Golden Dawn tidak pernah meraih perolehan suara yang tinggi sebelumnya. Selain itu, ideologi yang diadopsi oleh Partai Golden Dawn mirip dengan ideologi partai radikal kanan lainnya di Eropa. Ideologi tersebut ialah fasisme atau nasionalisme. Ideologi ini sebenarnya tidak populer di Yunani pasca berakhirnya pemerintahan junta militer tahun 1974. Peningkatan perolehan suara Partai Golden Dawn yang tinggi dipengaruhi oleh berbagai agenda politik yang ditawarkan oleh partai tersebut. Salah satu
4
agenda politik yang ditawarkan adalah kebijakan anti-imigrasi yang bertujuan untuk mengurangi imigran di Yunani. Agenda politik anti-imigrasi tersebut berbeda dengan kebijakan imigrasi yang diimplementasikan oleh Pemerintah Yunani. Kebijakan imigrasi Pemerintah Yunani sejak tahun 1997 menunjukkan bahwa pemerintah masih mentolerir keberadaan penduduk migran ilegal di Yunani (Kiprianos, et al., 2003). Penelitian ini menganalisis pengaruh agenda politik antiimigrasi partai radikal kanan di Kawasan Uni Eropa dengan melihat contoh kasus kemenangan partai radikal kanan Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani tahun 2012.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang dijelaskan sebelumnya, penelitian
ini menjelaskan mengapa agenda politik anti-imigrasi Partai Golden Dawn dapat mempengaruhi perolehan suara partai tersebut pada pemilu Parlemen Yunani tahun 2012.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh agenda politik anti-imigrasi Partai Golden Dawn terhadap perolehan suara partai tersebut dalam pemilu Parlemen Yunani tahun 2012.
5
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman mengenai pengaruh agenda politik anti-imigrasi pada perubahan dukungan publik terhadap partai politik sayap kanan dalam suatu negara. Penelitian ini juga diharapkan mampu menjelaskan peningkatan peran kawasan dalam isu imigrasi yang mempengaruhi pembuatan kebijakan imigrasi di tingkat domestik yang tidak lagi mengakomodir kepentingan masyarakat lokal. Ini dapat memberikan manfaat praktis bagi pengambil kebijakan suatu negara bahwa kebijakan domestik yang diambil sebagai hasil dari perjanjian integrasi suatu kawasan harus tetap mencerminkan kepentingan nasionalnya. Penelitian ini juga bermanfaat bagi akademisi Ilmu Hubungan Internasional yang menekuni kajian kawasan bahwa kebijakan di tingkat kawasan dapat memunculkan dukungan terhadap partai politik radikal kanan di tingkat domestik.
1.5 Kajian Pustaka Penelitian ini menggunakan beberapa literatur sebagai kajian yang menurut Peneliti relevan dengan fokus penelitian ini. Literatur pertama yang digunakan oleh Peneliti adalah tulisan karya Antonis A. Ellinas (2013) yang berjudul The Rise of Golden Dawn: The New Face of the Far Right in Greece. Tulisan ini membahas secara umum beberapa faktor yang menjadi penyebab peningkatan elektabilitias Partai Golden Dawn pada pemilu 2012. Faktor-faktor tersebut antara lain; sistem politik Yunani yang korup dan sarat dengan praktik patronase, dampak dari krisis ekonomi Yunani, peningkatan perhatian publik pada isu imigrasi dan persepsi
6
publik tentang kegagalan kinerja pemerintah dalam menangani isu imigran ilegal, posisi Partai Golden Dawn di tengah masyarakat Yunani sebagai partai yang mengusung nasionalisme ekstrim, konsistensi Partai Golden Dawn sebagai partai anti-imigrasi yang terwujud dalam agenda politik partai dan aksi kekerasan terhadap penduduk migran, dan pemberitaan mengenai Partai Golden Dawn oleh media. Ellinas (2013) menggunakan teori Critical Elections oleh Valdimer Orlando Key, Jr. dalam menganalisis peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani tahun 2012. Teori Critical Elections menjelaskan salah satu tipe pemilu yang memiliki ciri adanya perubahan besar yang terjadi pada pola dukungan publik terhadap partai politik mainstream. Teori ini juga menjelaskan bahwa perubahan pola dukungan masyarakat tersebut dapat bertahan dengan stabil hingga beberapa pemilu yang akan datang. Critical Elections terjadi bila intensitas dukungan publik dalam pemilu sangat tinggi, terdapat perubahan yang besar pada pola hubungan kekuasaan dalam kehidupan masyarakat, dan munculnya kelompok pendukung baru (electorate grouping) dalam kehidupan politik masyarakat. Pemilu Parlemen Yunani tahun 2012 merupakan Critical Election di Yunani (Ellinas, 2013). Pemilu tersebut telah memunculkan kelompok pendukung (electoral grouping) baru yang suportif terhadap kebijakan anti-imigrasi yang ditawarkan oleh Partai Golden Dawn. Hal ini menurut Ellinas (2013) dipengaruhi oleh keadaan ekonomi Yunani sejak tahun 2008 yang terus memburuk. Pendekatan ekonomi menjadi fokus utama dalam tulisan Ellinas (2013) untuk menjelaskan perubahan pola dukungan masyarakat Yunani pada pemilu Parlemen Yunani tahun 2012.
7
Penjelasan Ellinas (2013) mengenai berbagai faktor yang mendukung peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn memberikan gambaran kepada Peneliti mengenai penyebab perubahan pola dukungan publik terhadap partai politik mainstream di Yunani pada tahun 2012. Penelitian ini juga menganalisis peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani tahun 2012. Namun, penelitian ini menganalisis pengaruh agenda politik anti-imigrasi sebagai faktor yang mendukung peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn. Ini berbeda dengan tulisan Ellinas (2013) yang menggunakan teori Critical Election dan berfokus pada aspek ekonomi dalam menjelaskan fenomena tersebut. Tulisan kedua yang digunakan oleh Peneliti sebagai referensi adalah tulisan karya Andrew Geddes (2005) yang berjudul Europe’s Border Relationships and International Migration Relations. Geddes (2005) menjelaskan bahwa keterkaitan antara pola hubungan perbatasan (border relations) negara anggota Uni Eropa dan migrasi internasional merupakan faktor penentu dimensi eksternal dari kebijakan suaka dan migrasi Uni Eropa yang menjadi semakin penting pasca Perang Dunia II. Pola perbatasan yang dimaksud Geddes (2005) tersebut terbagi atas tiga tipe; perbatasan teritori (territorial), organisasi (organizational), dan konseptual (conceptual). Perkembangan isu imigrasi yang semakin kompleks di Eropa pasca Perang Dunia II dalam tulisan Geddes (2005) menunjukkan bahwa isu imigrasi menjadi isu yang sentral bagi Uni Eropa. Ini terlihat dari arah kebijakan imigrasi Uni Eropa yang mencoba menekan jumlah imigran yang masuk ke Uni Eropa dengan berbagai kebijakan, baik berupa kebijakan kontrol arus masuk imigran, maupun kebijakan
8
preventif yang dilakukan pada negara asal para imigran. Kebijakan preventif yang merupakan dimensi eksternal dari kebijakan migrasi Uni Eropa ini menunjukkan bahwa peran Uni Eropa dalam isu imigrasi mengalami peningkatan sebab dalam kebijakan tersebut Uni Eropa mengintegrasikan isu imigrasi ke dalam isu keamanan dan isu sentral lainnya yang menjadi perhatian utama seluruh negara anggota Uni Eropa. Ini berarti, isu imigrasi tidak lagi menjadi isu yang hanya dikelola oleh pemerintah negara anggota Uni Eropa saja. Isu imigrasi menjadi sebuah isu sentral yang menjadi pilar berbagai aspek kebijakan Uni Eropa yang meliputi kebijakan luar negeri dan keamanan (foreign and security policy), keadilan dan urusan dalam negeri (justice and home affairs), dan perdagangan dan pembangunan (trade and development). Sejak tahun 2004 usaha untuk mengintegrasikan berbagai aturan (acquis) mengenai suaka dan migrasi Uni Eropa kepada negara anggota Uni Eropa telah dilakukan secara intensif. Geddes (2005) juga mengungkapkan bahwa terjadi perubahan yang besar pada definisi batas teritori negara anggota Uni Eropa. Ini berdampak pada perubahan proses pembuatan kebijakan imigrasi di tingkat nasional. Perjanjian Schengen menyebabkan batas teritori negara anggota Uni Eropa tidak lagi menjadi tanggung jawab negara tersebut secara penuh, melainkan menjadi tanggung jawab bersama. Hal ini terlihat pada Program The Hague yang mengkonsolidasi berbagai aturan mengenai migrasi dan suaka seperti sistem suaka Eropa bersama (Common European Asylum System), aturan bersama mengenai imigrasi legal (common measures on legal immigration), sistem informasi
9
Schengen (the Schengen information system), dan aturan visa bersama (common visa rules). Tulisan Andrew Geddes (2005) berkontribusi dalam menjelaskan hubungan antara regionalisme Uni Eropa dengan kebijakan imigrasi yang berlaku di negara anggota Uni Eropa. Geddes (2005) menjelaskan bahwa isu imigrasi yang semakin meluas pasca Perang Dunia II menyebabkan peran Uni Eropa menjadi semakin aktif dalam mengatur arus imigrasi. Uni Eropa kemudian melakukan berbagai langkah konsolidasi batas teritori melalui berbagai inisiatif dan program untuk mengatur imigrasi. Ini menunjukkan bahwa kebijakan integrasi Uni Eropa memiliki pengaruh yang besar terhadap pembuatan kebijakan imigrasi di tingkat nasional. Tulisan ketiga yang digunakan Peneliti adalah tulisan karya Scott H. Corroon (1989) yang berjudul The Re-emergence of Europe’s Far-Right. Corroon (1989) menjelaskan dalam tulisannya bahwa sejak tahun 1980-an, partai sayap kanan ekstrim (far-right party) memperoleh peningkatan dukungan publik secara drastis (Corroon, 1989). Tulisan Corroon (1989) mendeskripsikan fenomena peningkatan dukungan publik terhadap partai sayap kanan ekstrim Republican Citizens Party (RCP) dan National Democratic Party (NDP) di Jerman Barat dan Partai National Front di Perancis. Peningkatan dukungan publik ini menurut Corroon (1989) disebabkan oleh kekecewaan masyarakat terhadap partai politik mainstream untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat Jerman Barat dan Perancis pada saat itu (Corroon, 1989). Kegagalan partai politik mainstream dalam menanggulangi persoalan publik di Jerman dan Perancis seperti jumlah penduduk migran yang tinggi, tingkat
10
pengangguran yang tinggi, dan pengurangan anggaran jaminan sosial, telah mendorong masyarakat di Jerman dan Perancis untuk melakukan aksi protes dengan memberikan dukungan terhadap partai politik sayap kanan ekstrim dalam pemilu (Corroon, 1989). Isu imigrasi merupakan faktor utama yang mendorong masyarakat Jerman dan Perancis untuk mendukung Partai RCP, NDP, dan National Front (Corroon, 1989). Tulisan Corroon (1989) memberikan kontribusi bagi Peneliti dalam melihat fenomena peningkatan dukungan terhadap partai politik sayap kanan ekstrim di Eropa sejak tahun 1980-an. Ini membantu peneliti dalam mendeskripsikan kebangkitan partai sayap kanan ekstrim di Eropa, terutama Eropa bagian barat dan utara. Corroon (1989) juga menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara isu imigrasi dan dukungan terhadap partai sayap kanan ekstrim. Peneliti mengembangkan argumen Corroon (1989) mengenai fenomena tersebut. Peneliti menganalisis pengaruh kebijakan integrasi Uni Eropa terhadap perolehan suara Partai Golden Dawn dalam pemilu Parlemen Yunani tahun 2012. Ini akan mengembangkan argumen Corroon (1989) bahwa peningkatan dukungan terhadap partai sayap kanan juga dapat terjadi pada negara anggota Uni Eropa bagian selatan seperti Yunani.
1.6 Kerangka Pemikiran Analisis mengenai pengaruh kebijakan integrasi Uni Eropa terhadap perolehan suara partai radikal kanan Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani
11
tahun 2012 dilakukan dengan berpedoman pada kerangka pemikiran yang disusun Peneliti. 1.6.1 EU Issue Voting dan Integrasi Peneliti menggunakan sebuah teori EU Issue Voting yang diungkapkan oleh Catherine E. De Vries (2007). Vries (2007) menganalisis penyebab pengaruh integrasi Uni Eropa terhadap elektabilitas partai politik pada pemilu nasional negara anggota Uni Eropa dengan membandingkan hasil pemilu Negara Inggris, Denmark, Belanda, dan Jerman dari tahun 1992 hingga 2002. Proses integrasi Uni Eropa yang semakin erat menyebabkan peran Uni Eropa yang semakin tinggi. Ini terlihat dari meningkatnya otoritas yuridis Uni Eropa pada berbagai aspek kebijakan. Aspek kebijakan tersebut antara lain integrasi pasar, kebijakan imigrasi dan luar negeri, kebijakan mata uang tunggal, dan sebagainya. Namun, tidak semua masyarakat Eropa setuju dengan hal ini sehingga Vries (2007) mengungkapkan bahwa terdapat opini publik yang skeptis terhadap integrasi Uni Eropa. Opini publik yang skeptis ini dirasakan secara meluas namun belum diekspresikan secara jelas karena minimnya partai politik yang menawarkan agenda politik anti-Uni Eropa. Vries (2007), meminjam istilah dari Van der Eijk dan Franklin (2004), menyebut fenomena ini sebagai ‘Raksasa Tidur’ (Sleeping Giant) yang dapat sewaktu-waktu dibangunkan oleh partai politik yang diuntungkan dengan menawarkan agenda politik anti-Uni Eropa. Bila hal ini terjadi, Vries (2007) mengungkapkan bahwa pola hasil pemilu nasional negara anggota Uni Eropa dapat terpengaruhi. Integrasi Uni Eropa dapat mempengaruhi hasil pemilu di tingkat nasional sebab isu integrasi Uni Eropa merupakan agenda alternatif yang dapat dieksploitasi oleh
12
partai politik radikal kiri atau kanan untuk memobilisasi massa agar mendukung partai politik tersebut seperti yang telah diungkapkan oleh Vries (2007): Extreme, Eurosceptic parties, have an electoral incentive to play up the EU issue…far left and far right political entrepreneurs have strategic incentive to mobilize the EU issue in order to reap electoral gains.
Partai politik radikal kiri dan kanan cenderung skeptis terhadap integrasi Uni Eropa (Eurosceptic) sebab berlawanan dengan landasan ideologi ekstrim partai mereka. Partai radikal kiri cenderung menolak integrasi Uni Eropa sebab integrasi tersebut mengarah pada paradigma neo-liberalisme yang berlawanan dengan paradigma Marxisme yang diusung partai radikal kiri. Integrasi Uni Eropa juga cenderung ditentang oleh partai radikal kanan sebab integrasi Uni Eropa dinilai mengikis kedaulatan negara dan identitas nasional. Ini sesuai dengan pernyataan Vries (2007): Eurocepticism is rooted in the partisan ideology of far left and far right parties… radical right parties oppose European integration because it erodes national sovereignty and national identity; the radical left resists further integration in Europe owing to its neo-liberal character.
Perbedaan tersebut kemudian menyebabkan partai radikal kiri dan radikal kanan melakukan kampanye secara masif dan berperan aktif untuk menolak integrasi Uni Eropa lebih jauh lagi. Ini terlihat dari berbagai agenda politik mereka yang tidak suportif terhadap kebijakan integrasi Uni Eropa. Teori Vries (2007) juga mengungkapkan bahwa perubahan pola dukungan publik terhadap partai radikal kanan dapat terjadi bila isu mengenai integrasi Uni Eropa merupakan isu yang dominan (high EU issue salience) dalam sebuah negara dan tingkat konflik antar partai mengenai isu integrasi Uni Eropa tinggi (high partisan conflict).
13
Teori yang diungkapkan oleh Vries (2007) ini digunakan Peneliti untuk menganalisis bagaimana respon masyarakat Yunani terhadap integrasi Uni Eropa, khususnya dalam isu imigrasi dan kaitannya dengan usaha Partai Golden Dawn mendapatkan dukungan publik dengan menawarkan agenda politik anti-imigrasi. Agenda politik anti-imigrasi yang ditawarkan Partai Golden Dawn merupakan agenda politik yang tidak suportif terhadap integrasi Uni Eropa, sebab agenda tersebut berbeda dengan kebijakan imigrasi Uni Eropa yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan dan suportif terhadap imigran. Integrasi Uni Eropa yang semakin kuat menyebabkan kebijakan imigrasi model Uni Eropa harus diterapkan pada kebijakan imigrasi di tingkat nasional. Kesenjangan antara kebijakan imigrasi model Uni Eropa dan kebijakan imigrasi yang dikehendaki masyarakat Eropa dapat memicu pandangan skeptis yang lebih besar terhadap integrasi Uni Eropa seperti yang diungkapkan oleh Vries (2007). Peneliti menggunakan konsep integrasi Uni Eropa untuk lebih memahami bagaimana integrasi Uni Eropa dapat mempengaruhi kebijakan imigrasi di Yunani. Integrasi Uni Eropa berkaitan dengan konsep regionalisme. Fawcett (2004) mendefinisikan regionalisme sebagai sebuah kebijakan ketika aktor negara dan non-negara saling bekerja sama dan mengkoordinasikan strategi untuk berbagai isu dalam sebuah kawasan (region). Regionalisme tercipta akibat munculnya permasalahan bersama (common concern) yang menuntut adanya sebuah mekanisme kerja sama lintas batas kedaulatan negara-negara yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Misalnya, permasalahan ekonomi yang dialami negara-negara Eropa pasca Perang Dunia I dan II telah mendorong
14
terciptanya kerja sama kawasan. Alasannya, kerja sama ekonomi dan perang merupakan dua hal yang saling bertentangan sebab tidak mungkin kerja sama ekonomi antara dua pihak dapat terjalin bila kedua pihak sedang terlibat perang. Begitu juga sebaliknya, bila kerja sama ekonomi antara kedua pihak terjalin erat dan saling menguntungkan, maka kemungkinan terjadinya perang antar kedua pihak semakin minim terjadi. Kedua pihak akan senantiasa mengusahakan pendekatan damai dalam menyelesaikan konflik demi menghindari perang dan rusaknya kerja sama ekonomi yang terjalin. Hal ini kemudian menjadi dasar pemikiran bahwa demi menjaga perdamaian, kerja sama antar negara Eropa harus ditingkatkan. Studi regionalisme menjelaskan bahwa kerja sama di tingkat kawasan dapat ditingkatkan melalui proses integrasi kawasan. Louise Fawcett & Andrew Hurrell (1995) menjelaskan mengenai proses integrasi sebuah organisasi kawasan dapat dimulai dengan tahapan kerjasama ekonomi, kemudian berlanjut ke tahapan politik dan identitas seperti yang dapat dilihat pada model integrasi Uni Eropa. Integrasi sebuah kawasan dapat dipahami sebagai bentuk peningkatan peran dan fungsi sebuah organisasi kawasan dalam mengatur hubungan antar negara anggotanya dan negara di luar kawasan dan berbagai kebijakan yang berlaku di tingkat kawasan. Uni Eropa merupakan entitas supranasional yang memiliki pengaruh besar pada pembuatan kebijakan sosial dan ekonomi negara anggotanya. Melalui Piagam Maastricht tahun 1992, Uni Eropa (pada saat itu disebut European Community) sebagai entitas supranasional memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai aturan yang berlaku di kawasan Uni Eropa sekaligus memiliki pengaruh
15
langsung terhadap proses pembuatan kebijakan domestik negara anggotanya. Peran Uni Eropa yang semakin kuat ini ditunjukkan dengan penetapan tiga pilar Uni Eropa melalui Piagam Maastricht. Ketiga pilar tersebut meliputi Komunitas Eropa (European Communities), Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Terintegrasi (Common Foreign and Security Policy), dan Kerja Sama Kepolisian dan Peradilan dalam Isu Kriminal (Police and Judicial Cooperation in Criminal Matters) (EURLex, 2010). Peneliti menggunakan pilar Komunitas Eropa dalam menjelaskan integrasi Uni Eropa yang semakin kuat sehingga mengaburkan identitas nasional masyarakat Eropa dengan menguatkan identitas Komunitas Eropa yang sama. Pilar Komunitas Eropa terdiri dari Treaty of Rome yang telah di revisi berdasarkan Single European Act, Pasar Tunggal (Single Market), Demokratisasi Institusi (Democratization of the Institutions), Kewarganegaraan Eropa (European Citizenship), dan Uni Ekonomi dan Moneter (Economic and Monetary Union) (ILSP, 2000). Melalui pilar ini, Uni Eropa menegaskan bahwa tiap individu yang merupakan warga negara anggota Uni Eropa adalah masyarakat Uni Eropa. Hakhak yang dimiliki oleh masyarakat Uni Eropa diantaranya (European Council, 1992); (1) berhak berpindah dan menetap di negara Uni Eropa manapun, (2) Berhak memilih dan dipilih sebagai anggota dewan Parlemen Uni Eropa mewakili negara tempat ia tinggal, (3) berhak memilih dan dipilih sebagai anggota dewan perwakilan tingkat daerah di negara tempat ia tinggal, (4) berhak mendapatkan perlindungan diplomatik dari negara anggota Uni Eropa manapun di negara ketiga (non-Uni Eropa) ketika negara asal individu tersebut tidak memiliki perwakilan diplomatik di negara ketiga tersebut, dan sebagainya. Hak-hak tersebut telah mengaburkan
16
batas negara anggota Uni Eropa. Masyarakat Uni Eropa tidak lagi hanya menjadi bagian dari negara asalnya, namun juga bagian dari sebuah organisasi kawasan supranasional. Pilar Komunitas Eropa telah menciptakan sebuah identitas Komunitas Eropa yang berada di atas identitas nasional masyarakat Uni Eropa (EUR-Lex, 2010). Alasannya, pilar Komunitas Eropa menyebabkan peran Dewan Uni Eropa (European Council) semakin kuat melalui penetapan mekanisme pengambilan keputusan co-decision procedure yang diatur dalam Pasal 189 Piagam Maastricht. Mekanisme co-decision procedure adalah suatu mekanisme yang memperbolehkan Dewan Uni Eropa bersama dengan Parlemen Uni Eropa menetapkan berbagai aturan (regulations), keputusan (decision), dan instruksi (directive) yang bersifat mengikat (European Council, 1992). Proses pengambilan keputusan melalui mekanisme ini menunjukkan bahwa masyarakat Uni Eropa harus tunduk pada kebijakan yang telah disepakati bersama tanpa menghiraukan posisi pemerintah negara asalnya terhadap kebijakan tersebut. Berdasarkan hal ini, identitas masyarakat Uni Eropa sebagai bagian dari sebuah Komunitas Eropa memiliki posisi lebih tinggi daripada identitas nasionalnya. Penguatan peran regionalisme menimbulkan setidaknya dua reaksi. Pertama, regionalisme dapat mendorong peningkatan jumlah imigran. Kedua, peran organisasi kawasan sebagai wujud regionalisme yang semakin kuat dapat menuai reaksi negatif dari masyarakat lokal negara anggotanya (Betts, 2009, hal. 170 & Ash, 1998).
17
1.6.2 Imigrasi Pengertian imigrasi merujuk pada perpindahan lintas batas negara yang dilakukan oleh individu dengan identitas kebangsaan (nationality) yang berbeda. Imigrasi mencakup peran negara dalam mengontrol arus keluar-masuk imigrasi dalam wilayah kedaulatan negara (Torpey, 2000). Ini meliputi berbagai kebijakan tentang imigrasi yang pada proses pembuatannya dipengaruhi oleh berbagai hal, termasuk rezim supranasional yang mengatur tentang imigrasi. Imigrasi juga mencakup identifikasi individu terhadap negara (Guild, 2009). Istilah imigrasi hanya akan memiliki makna apabila individu yang berpindah-pindah memiliki identitas yang diakui. Elspeth Guild (2009) kemudian menyebutkan bahwa imigrasi melibatkan kedaulatan negara dalam mendefinisikan warga negara (citizen) dan warga asing (foreigner). Dengan kata lain, imigrasi tidak hanya mencakup perpindahan individu ke negara lain, namun juga mencakup perbedaan hak yang dimiliki seorang imigran dengan seorang warga negara. Motivasi seorang individu untuk melakukan migrasi ke wilayah negara lain sangat beragam. Menurut data laporan Eurostat (2000), motivasi atau alasan tersebut terbagi dalam tiga kategori, yaitu: 1. Alasan Ekonomi: meliputi ketersediaan lapangan pekerjaan, keadaan atau perlakuan dalam bekerja, potensi karir yang lebih baik, upah yang lebih baik, dan standar kehidupan yang lebih baik. 2. Alasan Keluarga: meliputi reunifikasi dengan anggota keluarga dan pernikahan.
18
3. Alasan Lainnya: meliputi pendidikan, ketakutan terhadap perang atau perlakuan buruk (persecution), pensiun, habis kontrak, keinginan untuk kembali ke daerah asal (homesickness), pengusiran (expulsion), dan sebagainya. Imigran yang berpindah ke sebuah negara untuk mencari pekerjaan cenderung menempati sektor ekonomi informal dengan upah yang rendah. Ini menciptakan preferensi terhadap pekerja imigran dibandingkan pekerja lokal bagi para pengusaha, sehingga persaingan lapangan kerja pada sektor informal dan peningkatan upah minimum pekerja informal yang rendah sangat mungkin terjadi (Keeton, 2005). Imigrasi juga memiliki hubungan yang berbanding lurus terhadap peningkatan kriminalitas. Ini semakin jelas terlihat apabila keadaan ekonomi di negara penerima imigran sedang berada pada situasi krisis (Hadjimatheou, 2012). Tingginya jumlah imigran di sebuah negara menyebabkan semakin tinggi pula beban anggaran pemerintah dalam penyediaan layanan publik. Selain itu, kinerja pemerintah dalam menyediakan layanan publik secara optimal pun kian menurun akibat jumlah imigran yang tinggi (Congressional Budget Office, 2007). Bentuk lain dari ancaman yang dapat timbul akibat adanya arus masuk imigran adalah jumlah imigran yang tinggi dapat memodifikasi komposisi etnis sebuah negarabangsa. Ini tentu saja akan mengancam kestabilan kontrak sosial antara warga negara dan negara yang juga nantinya akan mengancam legitimasi negara tersebut (Hollifield, 2004).
19
1.6.3 Politico-Territorial Identity Politico-territorial identity adalah sebuah konsep yang menjelaskan identitas individu yang terbentuk dari latar belakang politik seseorang dalam sebuah wilayah teritori (Knight, 1982). Identitas individu menurut konsep ini terbentuk karena individu tersebut tinggal dan berada dalam sebuah wilayah teritori entitas politik yang sama sehingga definisi politico-territorial identity sebuah kelompok masyarakat bergantung pada abstraksi identitas mereka terhadap legitimasi entitas politik pada berbagai tingkatan dalam wilayah tersebut. Abstraksi identitas seorang individu berbeda-beda pada tiap tingkatan hirarki organisasi politik. Hirarki organisasi politik yang dimaksud Knight (1982, hal. 515) adalah ruang lingkup organisasi politik tersebut dimulai dari organisasi politik di tingkat lokal atau daerah yang memiliki ruang lingkup kecil hingga organisasi di tingkat supranasional yang ruang lingkupnya sangat luas dan terdiri dari berbagai organsisasi politik lainnya. Abstraksi identitas yang berbeda-beda ini menyebabkan keterikatan individu yang berbeda pula pada tiap tingkatan hirarki organisasi politik. Meskipun demikian, abstraksi identitas tiap individu, menurut Knight (1982), sangatlah kuat di tingkat nasional bila dibandingkan di tingkat yang lebih luas seperti kawasan dan global. Ini disebabkan karena individu yang tergabung dalam sebuah komunitas bangsa memiliki hubungan keterikatan yang kuat terhadap teritori yang sama (common territory). Reaksi terhadap unifikasi sebuah negara ke dalam sebuah organisasi kawasan yang lebih luas dapat berupa reaksi positif dan negatif. Reaksi negatif adalah reaksi yang mengidentifikasi tiap individu secara unik eksklusif sehingga
20
menciptakan antagonisme dengan individu lain yang identitasnya berbeda. Knight menyatakan bahwa keterikatan individu pada komunitas yang lebih kecil disebabkan oleh adanya penolakan terhadap unifikasi identitas pada komunitas yang lebih luas dan adanya keinginan untuk menentukan nasib sendiri. Konsep politico-territorial identity kemudian menjelaskan reaksi negatif terhadap unifikasi negara pada sebuah organisasi kawasan. Proses integrasi Uni Eropa melalui penguatan peran Uni Eropa dalam kebijakan imigrasi kawasan memicu reaksi negatif dari masyarakat yang menolak untuk meleburkan identitas mereka menjadi sebuah identitas Eropa yang sama. Identitas Eropa yang dimaksud adalah nilai-nilai yang disepakati oleh Uni Eropa seperti menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan individu untuk berpindah ke mana saja. Reaksi negatif juga ditunjukkan oleh masyarakat yang resisten terhadap pengaruh Uni Eropa yang semakin meningkat dalam proses pembuatan kebijakan imigrasi di tingkat domestik. Reaksi ini diekspresikan melalui dukungan publik terhadap partai radikal kanan di berbagai negara anggota Uni Eropa yang menawarkan agenda politik antiimigrasi sebagai alternatif dari kebijakan imigrasi Uni Eropa.
1.6.4 Partai Radikal Kanan Partai radikal kanan merupakan tipe partai politik yang menganut ideologi sayap kanan ekstrim dalam spektrum ideologi politik. Spektrum ideologi politik menjelaskan perspektif politik kiri dan kanan. Norberto Bobbio (1996) menyebutkan bahwa perspektif dalam spektrum ideologi politik dibedakan berdasarkan prinsip kesetaraan (equality) dan ketidaksetaraan (inequality).
21
Semakin mengarah ke kiri, maka semakin kental pula suatu perspektif politik terhadap prinsip kesataraan (equality). Maksudnya, semakin mengarah ke kiri (semakin ekstrim kiri), maka semakin tinggi pula kepercayaan dalam sebuah perspektif politik bahwa seluruh manusia adalah sama dan oleh sebab itu memiliki hak yang sama. Perspektif politik kiri akan menghasilkan berbagai bentuk kebijakan politik yang bertujuan untuk mendistribusikan manfaat atau kesejahteraan secara seimbang (sama rata) kepada sebagian, bila tidak seluruh, masyarakat. Sebaliknya, semakin mengarah ke kanan (semakin ekstrim kanan), maka semakin kental suatu perspektif politik terhadap prinsip ketidaksetaraan (inequality). Maksudnya, semakin mengarah ke kanan, maka semakin tinggi pula kepercayaan dalam sebuah perspektif politik bahwa seluruh manusia sejatinya tidaklah sama dan oleh sebab itu memiliki hak yang tidak sama pula. Perspektif politik kanan percaya bahwa ketidaksetaraan justru dapat menciptakan komunitas masyarakat yang lebih baik (Bobbio, 1996). Perspektif politik kanan akan menghasilkan berbagai kebijakan politik yang mengarah pada penjaminan kebebasan tiap individu dalam memenuhi kebutuhannya dan mengusahakan kesejahteraannya tanpa harus dibatasi oleh negara (libertan). Berbagai perspektif politik (kiri dan kanan) ini kemudian mempengaruhi ideologi politik yang diadopsi oleh partai politik yang tampak dari berbagai karakteristik partai, termasuk agenda politiknya. Partai politik sayap kiri lebih egaliter daripada partai sayap kanan (nonegaliter) (Bobbio, 1996). Partai sayap kanan ekstrim adalah partai yang percaya bahwa negara dapat menjadi lebih kuat dengan cara homogenisasi (satu negara satu kultur) (Rydgren,
22
2007). Partai ini juga bercermin pada nilai-nilai tradisional di masa lalu yang kemudian dijadikan acuan dalam kehidupan bernegara (konservatif). Pengakuan terhadap hak individu warga negara secara universal merupakan tujuan sekunder sebuah negara menurut perspektif partai kanan ekstrim. Tujuan utamanya adalah memperkuat posisi negara dengan cara homogenisasi etnis warga negara dan berpedoman pada nilai-nilai tradisional. Partai radikal kanan adalah partai politik yang mengadopsi paham radikal kanan sebagai landasan ideologis partainya. Paham radikal kanan merupakan varian yang berbeda dengan paham kanan ekstrim (right-wing extremist). Menurut Cas Mudde (2000), paham kanan ekstrim merupakan sebuah paham yang menolak dengan tegas segala prosedur dan nilai demokrasi. Partai yang berpaham kanan ekstrim cenderung menjadi sebuah partai politik yang mencoba merombak tatanan pemerintahan demokrasi di suatu negara, bila tidak hingga merombak sistem konstitusi negara tersebut. Ini menunjukkan bahwa partai kanan ekstrim tidak mendukung adanya sistem pemerintahan yang dibentuk melalui mekanisme pemilihan umum. Sedangkan, paham radikal kanan merupakan paham oposisi dari paham politik kiri dan mainstream (sentral), tetapi masih berjalan dalam prosedur dan tatanan demokrasi. Partai radikal kanan akan menyasar berbagai isu dan permasalahan politik berdasarkan perspektif politik kanan tanpa harus merombak tatanan demokrasi suatu negara, termasuk mekanisme pemilihan umum. Partai radikal kanan secara umum memiliki agenda politik yang bergerak dalam aspek sosio-kultural yang mencakup berbagai isu seperti imigrasi, peraturan hukum, identitas nasional, aborsi, dan lain sebagainya (Rydgren, 2007). Partai
23
radikal kanan yang non-egaliter percaya bahwa identitas nasional yang berbeda merujuk pada perbedaan pengakuan hak dalam negara. Sesuai dengan perspektif politik kanan yang dijelaskan oleh Norberto Bobbio (1996) yang menyatakan bahwa ketidaksetaraan (inequality) akan merujuk pada komunitas masyarakat yang lebih baik, maka partai radikal kanan percaya bahwa pemisahan berbagai identitas kebangsaan dalam kelompok masyarakat suatu negara akan menjadikan negara tersebut lebih baik. Partai radikal kanan percaya bahwa sebuah negara akan menjadi lebih baik bila memiliki identitas nasional (kebangsaan) yang homogen. Atas dasar inilah sebagian besar partai radikal kanan, terutama di Eropa, merupakan partai yang mengadopsi agenda politik anti-imigrasi.
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif yang mendeskripsikan sebuah fenomena sosial. Menurut Hadari Nawawi (2012), metode deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan faktafakta yang ada. Selanjutnya, Nawawi menyatakan bahwa metode deskriptif juga dapat meliputi analisa dan interpretasi data. Dalam penelitian kualitatif deskriptif, hasil penelitian berupa hasil analisis kata maupun angka yang menggambarkan sebuah fenomena. Penelitian ini akan meneliti pengaruh agenda politik antiimigrasi di Kawasan Uni Eropa dengan melihat contoh kasus kemenangan Partai Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani tahun 2012.
24
Sumber data yang digunakan dalam Penelitian ini adalah sumber data sekunder yang diperoleh melalui berbagai pustaka seperti buku, jurnal, artikel ilmiah, surat kabar, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan imigrasi, partai radikal kanan, dan kemenangan partai Golden Dawn. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan (library research). Pengumpulan data lebih berfokus kepada data-data dari berbagai literatur baik dari buku-buku, media online (internet) seperti artikel-artikel jurnal ilmiah, ataupun berbagai website berita dan website resmi Pemerintah Yunani. Semua data disajikan oleh Peneliti melalui langkah-langkah pengolahan data seperti pengumpulan informasi dari berbagai sumber data, reduksi data dengan memilih informasi yang sesuai dengan ruang lingkup penelitian, penyajian data penelitian baik dalam bentuk uraian penjelasan lewat kata-kata, tabel ataupun grafik, dan diakhiri dengan penarikan kesimpulan.
1.8 Sistematika Penelitian Sistematika penelitian ini akan disusun dalam empat bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian beserta pendekatan metodologis, termasuk kerangka pemikiran yang digunakan untuk menganalisis pengaruh agenda politik anti-imigrasi Golden Dawn. Selanjutnya, Bab kedua akan membahas mengenai hubungan antara proses integrasi Uni Eropa dan imigrasi Yunani, perkembangan imigrasi di Yunani, kebijakan imigrasi Yunani, dan sentimen negatif terhadap imigran di Yunani. Bab ketiga akan membahas mengenai latar belakang,
25
agenda politik, dan peningkatan dukungan suara Partai Golden Dawn. Penelitian ini kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang ditulis pada Bab keempat.