BAB II INTEGRASI UNI EROPA DAN IMIGRASI YUNANI
2.1 Integrasi Uni Eropa dan Imigrasi Integrasi Uni Eropa dimulai ketika berakhirnya Perang Dunia. Perang Dunia I dan II telah menyebabkan kemunduran drastis pada ekonomi negara-negara Eropa. Ini kemudian mendorong terwujudnya European Coal and Steel Community (ECSC) pada tahun 1951 sebagai organisasi kawasan yang mewadahi kerja sama antar negara-negara Eropa yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian dan mengurangi kemungkinan terjadinya perang (Warleigh-Lack, 2009). ECSC adalah sebuah organisasi yang mewadahi kerja sama ekonomi Kawasan Eropa, terutama dalam bidang industri batu bara dan baja (Suparman, Silvya, & Sudirman, 2010). Batu bara dan baja merupakan sektor industri yang penting pada masa itu. Batu bara merupakan bahan bakar utama bagi lokomotif pengangkut barang dan penumpang, sedangkan baja merupakan bahan utama yang diperlukan untuk membuat rel kereta api dan berbagai barang manufaktur lainnya. Bertambahnya jumlah jalur kereta api dan lokomotif akan meningkatkan interaksi (interconnectedness) masyarakat negara anggota ECSC sehingga kerjasama yang telah terjalin menjadi semakin erat. Kerjasama melalui ECSC diharapkan akan meningkatkan perekonomian kawasan sekaligus meningkatkan rasa kebersamaan sehingga perdamaian di kawasan dapat terwujud. Kerja sama ekonomi menjadi faktor yang mendorong ECSC untuk semakin mengintegrasikan kawasan Eropa Barat. Kerja sama melalui ECSC pun semakin
26
27
berkembang sehingga terbentuklah European Economic Community (EEC) pada tahun 1957 dan mengawali proses integrasi kawasan menuju Uni Eropa (WarleighLack, 2009). Proses integrasi yang berlangsung tidak hanya mencakup kerja sama ekonomi dalam Kawasan Eropa tetapi juga politik dan keamanan. Penandatanganan Piagam Maastricht pada tahun 1992 menandai dua hal penting dalam integrasi Kawasan Uni Eropa. Kedua hal tersebut adalah 1) terbentuknya Tiga Pilar Kerja Sama Uni Eropa yang meliputi pilar ekonomi, politik, dan sosial-hukum, dan 2) kewenangan lebih besar bagi Parlemen Eropa untuk memutuskan ketentuan hukum Uni Eropa melalui mekanisme co-decision procedure yang meliputi pergerakan bebas pekerja, pasar tunggal, pendidikan, penelitian, lingkungan, dan sebagainya (Suparman, Silvya, & Sudirman, 2010).
Gambar 1 Tiga Pilar Uni Eropa
Sumber: ILSP (2000)
28
Tiga Pilar Kerja Sama Uni Eropa menunjukkan capaian proses integrasi Kawasan Uni Eropa, misalnya dengan penetapan Sistem Pasar Tunggal Eropa (pilar ekonomi), kebijakan luar negeri dan keamanan bersama (pilar politik), dan peradilan dan urusan dalam negeri (pilar sosial-hukum). Selain itu, kewenangan yang dimiliki oleh Parlemen Eropa melalui mekanisme co-decision procedure memungkinkan Uni Eropa menetapkan berbagai peraturan yang bersifat mengikat terhadap negara anggota Uni Eropa. Salah satu bentuk peraturan yang bersifat mengikat adalah dengan mewajibkan negara-negara yang menandatangani Piagam Maastricht untuk meratifikasi Perjanjian Schengen. Perjanjian Schengen memungkinkan warga negara anggota Uni Eropa untuk bebas berpindah dalam Kawasan Uni Eropa selain Inggris dan Irlandia (Area Schengen). Peraturan dalam Perjanjian Schengen menyebutkan bahwa penduduk negara anggota Uni Eropa hanya memerlukan sebuah paspor atau dokumen identitas resmi lainnya untuk bepergian dalam Area Schengen. Sedangkan, bagi penduduk negara non-Uni Eropa lainnya harus menyertakan paspor dan visa Schengen, serta wajib menjalani pemeriksaan di negara Schengen pertama yang ia kunjungi dan menyampaikan tujuan ia berkunjung. Visa Schengen hanya berlaku selama 3 bulan dan dapat digunakan untuk izin tinggal sementara selama berada dalam Area Schengen (Short-Stay Visa). Jika penduduk non-Uni Eropa hendak tinggal lebih dari 3 bulan, maka ia harus mengurus izin tinggal untuk jangka panjang yang dikenal sebagai Long-term Visa (European Commission, n.d. a). Persyaratan Long-term Visa bergantung pada kebijakan domestik tiap negara Schengen yang dituju. Perjanjian Schengen
29
disepakati oleh 26 negara anggota Uni Eropa (Inggris dan Irlandia tidak meratifikasi perjanjian tersebut) dan 6 negara non-Uni Eropa yaitu Norwegia, Swiss, Islandia, Rumania, Bulgaria, dan Liechtenstein. Gambar 2 Area Schengen
Sumber: Leadbeater (2015)
Perjanjian Schengen telah mengubah definisi batas teritorial negara-negara yang meratifikasinya. Secara internal, negara peserta Schengen tidak perlu lagi melakukan kontrol ketat terhadap akses perbatasan dalam Area Schengen atau antar negara peserta Schengen lain. Secara eksternal, negara peserta Schengen (terutama yang berada pada batas terluar) harus meningkatkan keamanan serta kontrol
30
perbatasan mereka dengan negara non-Schengen (European Commission, n.d. a). Ini sesuai dengan tulisan Andrew Geddes (2005) bahwa proses integrasi Uni Eropa menjadikan perbatasan negara anggota Uni Eropa menjadi tanggungjawab bersama seluruh negara anggota Uni Eropa. Perjanjian Schengen telah menunjukkan bahwa Uni Eropa, sebagai organisasi kawasan dan entitas supranasional, memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai aturan yang berlaku di Kawasan Uni Eropa sekaligus memiliki pengaruh langsung terhadap proses pembuatan kebijakan domestik negara anggotanya, terutama mengenai kebijakan imigrasi. Ini juga sesuai dengan tulisan Andrew Geddes (2005) bahwa isu imigrasi telah menjadi isu yang sentral di Kawasan Uni Eropa pasca Perang Dunia II sehingga peran Uni Eropa semakin meningkat. Peningkatan tersebut terlihat dari proses integrasi berbagai kebijakan imigrasi dalam Program The Hague. Program ini juga mencakup pembahasan mengenai Area Schengen. Adanya Area Schengen menyebabkan akses dan mobilisasi individu antar negara anggota Uni Eropa menjadi semakin mudah sehingga kegiatan perekonomian dalam Kawasan Uni Eropa semakin lancar. Selain itu, Area Schengen juga sesuai dengan kepentingan Uni Eropa untuk menarik minat imigran untuk bekerja di wilayah Uni Eropa. Hal ini dilakukan sebab populasi penduduk usia produktif di Uni Eropa lebih rendah daripada jumlah penduduk usia lanjut (Sailer, 2000 & Legrain, 2015). Uni Eropa juga menerapkan Sistem Pasar Tunggal Eropa yang mengintegrasikan berbagai aturan perdagangan dan sistem pembayaran antar anggota Uni Eropa. Ini mendorong ekonomi Uni Eropa untuk maju dengan pesat. Kemajuan ekonomi Eropa juga di saat yang sama juga meningkatkan kualitas
31
pendidikan dan standar hidup warga Uni Eropa sehingga sektor pekerjaan formal lebih diminati warga Uni Eropa daripada sektor pekerjaan informal (Kasimis, 2012). Kemajuan perkembangan ekonomi Uni Eropa, kebijakan imigrasi Uni Eropa yang memperbolehkan perpindahan penduduk antar negara anggota Uni Eropa secara bebas, dan terbukanya kesempatan kerja di sektor informal menjadi daya tarik yang besar bagi imigran asal negara non-Uni Eropa untuk berpindah ke negara-negara di Kawasan Uni Eropa baik secara legal maupun ilegal. Proses integrasi Kawasan Uni Eropa melalui Perjanjian Schengen berdampak pada peningkatan arus imigrasi menuju kawasan tersebut sejak pasca Perang Dunia II. Hal ini menyebabkan negara-negara Uni Eropa yang berada pada daerah perbatasan Area Schengen menjadi pintu masuk utama bagi para imigran non-Uni Eropa. Peningkatan imigrasi menuju Uni Eropa tersebut juga dialami oleh Negara Yunani yang telah bergabung menjadi anggota Uni Eropa (pada saat itu masih disebut Komunitas Ekonomi Eropa) sejak tahun 1981. Letak Yunani yang berada pada perbatasan selatan Area Schengen menyebabkan Yunani menerima jumlah imigran yang tinggi.
2.2 Perkembangan Imigrasi di Yunani Yunani merupakan salah satu negara anggota Uni Eropa yang menjadi tujuan imigran non-Uni Eropa. Data jumlah imigran yang berpindah ke Yunani mengalami peningkatan drastis sejak tahun 1980-an. Awalnya, Yunani dikenal sebagai negara yang memiliki jumlah emigrasi yang lebih tinggi daripada jumlah imigrasinya. Namun, sejak tahun 1980-an tren tersebut berbalik. Jumlah emigrasi
32
dari Yunani mengalami penurunan drastis. Di sisi lain, jumlah imigrasi ke Yunani meningkat pesat. Ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti adanya pemberlakuan aturan ketat bagi masuknya imigran di beberapa negara penerima migran seperti Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara Eropa bagian utara pada tahun 1970-an yang menyebabkan gelombang emigrasi dari Yunani berkurang drastis. Transisi pemerintahan junta militer di Yunani menjadi pemerintahan yang demokratis pada tahun 1974 menjadi faktor pendorong bagi para imigran dari negara sekitar Yunani untuk bermigrasi ke Yunani (Kasimis, 2012). Selain itu, unifikasi Yunani ke dalam EEC tahun 1981 juga menjadi faktor pendorong imigrasi di Yunani. Jumlah imigran di Yunani cenderung terus mengalami peningkatan sejak tren imigrasi tahun 1980-an. Data sensus tahun 2001 Badan Statistik Nasional Yunani (National Statistical Service of Greece) mencatat jumlah penduduk migran di Yunani sebanyak 762.191 orang (Mediterranean Migration Observatory, 2004). Kemudian, sebuah laporan dari International Migration Outlook dari The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2010 memperkirakan angka imigran di Yunani berjumlah 1.259.258 orang. Laporan yang sama menyebutkan bahwa sejak 2007, jumlah imigran yang mendapatkan izin untuk tinggal dan bekerja hanya berjumlah sekitar 650.000 orang (Kasimis, 2012). Ini menunjukkan bahwa hampir setengah dari jumlah penduduk migran yang ada di Yunani merupakan imigran yang tidak tercatat secara resmi atau ilegal. Angka sensus imigran yang tidak akurat tersebut menunjukkan bahwa imigrasi di Yunani sangatlah sulit untuk dikendalikan. Data imigrasi Yunani pada
33
Tabel 1 memperlihatkan bahwa imigran yang masuk ke Yunani sejak 1970-an sebenarnya merupakan penduduk Yunani yang kembali pulang ke negara asalnya. Baru kemudian pada tahun 1991, tren imigrasi di Yunani didominasi oleh penduduk negara lain.
Tabel 1 Net Migrasi Yunani Pasca Perang Dunia II
Periode
Penduduk Yunani
Penduduk Migran
Total
1951-1960
-224.450
24.165
-200.285
1961-1970
-406.169
37.832
-368.337
1971-1980
164.552
78.856
243.408
1981-1990
251.190
-4.148
247.042
1991-2000
52.746
629.817
682.563
Sumber: National Statistical Service of Greece, dikutip dari Triandafyllidou & Maroufof (2009).
Data pada Grafik 1 menunjukkan bahwa imigrasi di Yunani didominasi oleh imigran non-Uni Eropa sejak 1990-an. Angka imigran non-Uni Eropa mengalami peningkatan drastis sejak tahun 2004. Motivasi para imigran di Yunani beragam, namun sebagian besar bertujuan untuk mencari pekerjaan. Sebuah laporan dari Theodore Lianos (2004) menyebutkan bahwa kira-kira 54% atau sekitar 438.000 imigran yang ada di Yunani pada tahun 2004 bertujuan untuk mencari pekerjaan.
34
Grafik 1
Jumlah Populasi Imigran di Yunani 900000 Uni Eropa
800000
Jumlah Imigran
700000 Non-Uni Eropa
600000 500000 400000
Garis Tren Uni Eropa
300000 200000
Garis Tren NonUni Eropa
100000
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2005
2004
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
0
Tahun
Sumber: (Hellenic Statistical Authority, n.d.)
Jumlah imigran di Yunani didominasi oleh imigran yang berasal dari negara-negara non-Uni Eropa yang berdekatan dengan Yunani. Tabel 2 menunjukkan bahwa imigran yang masuk ke Yunani sebagian besar berasal dari negara non-Uni Eropa seperti Albania, Rusia, Mesir, dan lain sebagainya. Albania merupakan negara pengirim imigran terbesar di Yunani. Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa jumlah imigran asal Albania di Yunani mencapai 70 persen dari jumlah seluruh imigran Yunani. Albania merupakan negara non-Uni Eropa yang berbatasan langsung dengan Yunani di sebelah barat. Para penduduk Albania bermigrasi ke Yunani untuk mengisi lowongan pekerjaan informal di bidang pertanian dan jasa konstruksi bangunan. Imigran asal Albania mengalami kesulitan dalam mengurus izin tinggal
35
dan bekerja di Yunani sebab pekerjaan yang mereka dapatkan sifatnya seasonal atau musiman sehingga kontraknya pun tidak menentu. Ini menyebabkan banyak imigran asal Albania merupakan imigran illegal di Yunani. Jumlah imigran ilegal Albania yang melintasi perbatasan Yunani ini merupakan 40 persen dari jumlah imigran ilegal yang berusaha melintas di seluruh Uni Eropa pada tahun 2008 dan 2009 (Frontex, n.d.).
Tabel 2
Sumber: OECD (2014)
Negara asal imigran kedua terbanyak menurut Tabel 2 adalah Rusia. Walaupun jumlah imigran asal Rusia tidak sebanyak imigran Albania, mereka merupakan pekerja terbanyak pada sektor pekerjaan domestik atau rumah tangga. Kebanyakan imigran Rusia yang dipekerjakan adalah wanita. Banyaknya pekerja wanita Rusia yang menjadi asisten rumah tangga meningkatkan tingkat partisipasi wanita Yunani dalam bursa kerja. Alasannya, keberadaan asisten rumah tangga
36
migran telah meringankan beban pekerjaan rumah wanita Yunani sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam bursa kerja Yunani (Kassimi & Kasimis, 2004). Sejak bergabung dengan Komunitas Ekonomi Eropa pada tahun 1981, sebagian besar masyarakat lokal Yunani, terutama generasi muda, mampu menempuh pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik. Sehingga, standar hidup mereka pun meningkat (Kasimis, 2012). Penduduk Yunani yang semakin terdidik lebih memilih untuk bekerja di sektor formal yang memiliki upah lebih tinggi. Sedangkan, para imigran sebagian besar bekerja pada sektor informal meliputi pertanian, pariwisata, jasa konstruksi, dan lain sebagainya (Euro Challenge, 2014). Perjanjian Schengen sebagai bentuk integrasi Uni Eropa menimbulkan beban bagi negara anggota Uni Eropa yang berada di wilayah terluar Area Schengen seperti Yunani. Negara Yunani harus bertanggung jawab untuk menjaga batas terluar Area Schengen dari arus masuk imigran ilegal demi negara Uni Eropa lainnya. Padahal, di sisi lain Yunani menjadi kewalahan akibat menghadapi tingginya jumlah imigran yang tertarik untuk mencari pekerjaan di Uni Eropa. Letak Negara Yunani yang berada di perbatasan selatan Kawasan Uni Eropa menyebabkan Yunani menjadi pintu masuk menuju Kawasan Uni Eropa bagi penduduk negara non-Uni Eropa seperti Albania, Georgia, Rusia, Pakistan, Ukraina, dan India (Triandafyllidou & Gropas, 2007b). Selain itu, tingginya jumlah imigran ilegal di Yunani juga dipengaruhi oleh kemudahan akses masuk menuju Yunani melalui jalur darat dan laut di perbatasan selatan yang sangat sulit untuk diawasi oleh Pemerintah Yunani.
37
Gambar 3 Perbatasan Yunani
Sumber: Kasimis (2012)
Beban Yunani bertambah dengan diberlakukannya Perjanjian Dublin II (Dublin Regulation II) tahun 2003 yang mengatur bahwa seluruh imigran ilegal yang berada di Kawasan Uni Eropa menjadi tanggungjawab negara anggota Uni Eropa pertama yang dimasuki oleh imigran. Sehingga, seluruh imigran ilegal yang tertangkap akan dikembalikan kepada negara pertama yang dimasuki pertama kali oleh imigran tersebut. Sedangkan, Mahkamah Eropa (European Court of Justice) memperkirakan bahwa 90 persen imigran ilegal yang berada di Kawasan Uni Eropa masuk melewati perbatasan Yunani (Akrivopoulou, 2013). Inilah yang menyebabkan angka imigrasi di Yunani meningkat pesat sejak tahun 1990-an.
38
Tingginya jumlah imigran di Yunani mendorong Pemerintah Yunani untuk menetapkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk mengontrol jumlah imigran dan mengintegrasikan para imigran dengan masyarakat lokal Yunani.
2.3. Kebijakan Imigrasi Yunani Pemerintah Yunani telah menerapkan kebijakan imigrasi sejak tahun 1990an. Peraturan-peraturan imigrasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Yunani diantaranya; Undang-Undang 1975 Tahun 1991 tentang Entry, Exit, Sojourn, Employment, Removal of Aliens, Procedure for the Recognition of Refugees and other Measures, Dekrit Presiden No. 358 dan No. 359 Tahun 1997 yang mengatur tentang program regularisasi imigran, Undang-Undang No. 2910 Tahun 2001 mengenai Action Plan for the Social Integration of Immigrants 2002-2005, Undang-Undang No. 3386 Tahun 2005 tentang Izin Masuk, Tinggal dan Integrasi Warga Negara Asing di Yunani. Keikutsertaan Yunani sebagai anggota Uni Eropa kemudian membuat Pemerintah Yunani menerbitkan Undang-Undang 3536 Tahun 2007 yang merupakan revisi dari Undang-Undang 3386 Tahun 2005. UndangUndang tersebut dibuat untuk menyelaraskan kebijakan imigrasi Yunani dengan keputusan Council Directive dari Dewan Uni Eropa (The Council of The European Union) No. 2003/86/EC tentang Reunifikasi Keluarga dan Council Directive No. 2003/109/EC tentang Izin Tinggal Jangka Panjang Bagi Warga Negara Non-Uni Eropa. Kedua keputusan Council Directive Dewan Uni Eropa tersebut mengatur bahwa imigran non-Uni Eropa berhak untuk memperoleh hak-hak dasar. Hak-hak
39
dasar yang dimaksud adalah misalnya hak untuk reunifikasi dengan keluarga imigran di wilayah negara Uni Eropa yang didiami seperti yang diatur dalam Council Directive No. 2003/86/EC dan menyamakan hak para imigran yang telah tinggal dalam jangka panjang dengan penduduk lokal di negara tempat imigran tersebut tinggal berdasarkan Council Directive No. 2003/109/EC. Selain itu, keputusan Council Directive No. 2003/109/EC juga menegaskan bahwa hak dasar yang diterima imigran jangka panjang harus setidaknya sama dengan hak dasar yang diperoleh oleh penduduk lokal di seluruh Uni Eropa. Ini sesuai dengan komitmen Uni Eropa dalam mempromosikan hak asasi manusia melalui European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms dan Charter of Fundamental Rights of the European Union (Triandafyllidou, 2009). Undang-Undang 3536 Tahun 2007 yang dikeluarkan Pemerintah Yunani bertujuan untuk menyederhanakan sekaligus memperbaiki implementasi dari program regularisasi sebelumnya yang mengharuskan para imigran menyertakan bukti pembayaran iuran jaminan sosial nasional oleh badan usaha tempat mereka bekerja. Undang-undang 3536 Tahun 2007 memperbolehkan para imigran untuk membayar iuran jaminan sosial nasional sebanyak 20 persen yang dipersyaratkan untuk memperoleh izin masuk dan tinggal. Artinya, para imigran tidak harus mendapatkan bukti pembayaran iuran jaminan sosial dari badan usaha tempat mereka bekerja. Aturan ini juga menghapus biaya administrasi yang dikenakan bagi anak para imigran dan membentuk National Committee for The Integration of Migrants
dibawah
naungan
Kementerian
Dalam
Negeri
Yunani
yang
40
bertanggungjawab atas koordinasi berbagai kebijakan integrasi imigran di tingkat pusat, provinsi, maupun daerah (Balourdos, 2010). Persyaratan untuk mendapatkan izin tinggal dan bekerja bagi imigran sejak tahun 1997 di Yunani semakin mudah dan sederhana. Ini merupakan komitmen Pemerintah Yunani untuk semakin mengintegrasikan imigran dengan penduduk asli Yunani (Balourdos, 2010). Komitmen ini juga merupakan wujud nyata dari adaptasi berbagai perjanjian di tingkat Kawasan Uni Eropa yang mengatur tentang imigrasi. Pemerintah Yunani berusaha untuk mengintegrasikan imigran melalui tiga hal, yaitu kebijakan regularisasi para imigran ilegal, perlindungan hak pekerja migran, dan kebijakan naturalisasi bagi penduduk imigran generasi kedua (Triandafyllidou, 2009). Bahkan, Pemerintah Yunani menetapkan Undang-Undang 3838 Tahun 2010 yang memperbolehkan warga imigran yang telah lama tinggal di Yunani (long-term resident) atau memiliki keturunan Yunani untuk berpartisipasi dalam pemilu (Kasimis, n.d.). Kebijakan integrasi imigran diberlakukan agar semakin banyak imigran yang mendaftarkan diri mereka secara legal sehingga Pemerintah Yunani memperoleh data akurat mengenai keberadaan imigran di Yunani. Data imigrasi yang akurat sangat diperlukan sebagai pedoman untuk mengontrol imigrasi di Yunani. Namun, ternyata berbagai peraturan imigrasi yang telah dibuat tidak efektif (Akrivopoulou, 2013). Masih banyak imigran yang tidak mendaftarkan diri dan tetap menjadi tenaga kerja ilegal. Kebijakan imigrasi Yunani sejak tahun 1990-an telah gagal dalam mengontrol imigrasi di Yunani. Kebijakan tersebut gagal karena jumlah imigran di Yunani masih tinggi dan pendataan jumlah imigran masih tidak akurat. Selain itu,
41
kebijakan imigrasi Yunani juga dianggap gagal menyalurkan aspirasi masyarakat Yunani karena alih-alih mendeportasi imigran, kebijakan imigrasi yang berlaku justru memudahkan imigran ilegal Yunani untuk melakukan proses regularisasi dan mengintegrasikan imigran dengan masyarakat Yunani. Kegagalan ini disebabkan oleh lemahnya kinerja birokrasi Yunani dan jumlah imigran yang terlalu tinggi. Selain itu, kebijakan imigrasi Yunani juga sangat dipengaruhi oleh reaksi negara Uni Eropa lainnya dan kebijakan imigrasi yang berlaku di tingkat Kawasan Uni Eropa. Berbagai kebijakan integrasi dan program regularisasi imigran Yunani ditetapkan sebagai reaksi atas kritik keras negara-negara anggota Uni Eropa terhadap Yunani atas perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh para imigran ilegal di perbatasan Yunani pada tahun 1991 (Triandafyllidou, 2009) berdasarkan kebijakan imigrasi Yunani yang berlaku saat itu. Padahal, kebijakan imigrasi Yunani No. 1975 Tahun 1991 sebenarnya merupakan langkah tegas yang diambil oleh Pemerintah Yunani pada saat itu untuk merespon peningkatan drastis arus imigrasi menuju Yunani sejak 1990-an. Kebijakan ini secara umum bertujuan untuk mencegah (discourage) masuknya imigran dan memulangkan imigran ilegal secara paksa baik yang telah berada di Yunani maupun yang tertangkap di perbatasan Yunani (Kiprianos, Balias, & Passas, 2003). Selain karena mendapatkan kritik dari negara Uni Eropa lainnya, kebijakan ini juga dinilai tidak efektif. Alasannya, jumlah imigran ilegal masih terus meningkat akibat adanya integrasi pasar Uni Eropa yang maju dan pemulangan paksa imigral ilegal membutuhkan biaya yang tinggi.
42
Selain itu, kebijakan imigrasi Yunani juga dipengaruhi oleh kebijakan Uni Eropa yang berkaitan dengan isu imigrasi. Prinsip Uni Eropa untuk menjunjung European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms dan Charter of Fundamental Rights of the European Union menyebabkan Pemerintah Yunani harus menyesuaikan kebijakan imigrasinya sehingga hak dasar yang harus diterima para imigran dan hak dasar yang diterima oleh warga negara anggota Uni Eropa harus sama (Triandafyllidou, 2009). Uni Eropa juga mengadopsi prinsip non-refoulement (Euractiv, 2015) dalam Hukum Internasional yang melarang pengusiran imigran di batas terluar negara. Ini menyebabkan negara Uni Eropa, seperti Yunani tidak dapat secara sepihak mendeportasi atau melarang imigran untuk masuk ke Yunani di wilayah perbatasan negaranya seperti yang diatur pada kebijakan imigrasi No. 1975 tahun 1991. Keanggotaan Yunani dalam Uni Eropa menyebabkan partai politik mainstream yang menjalankan pemerintahan Yunani tidak dapat mengambil langkah tegas untuk mengontrol imigrasi menuju Yunani. Kebijakan imigrasi Yunani yang mencoba untuk mengintegrasikan imigran dan memberikan kesempatan lebih besar bagi para imigran ilegal untuk memperoleh status resmi melalui program regularisasi imigran mendapat respon negatif dari masyarakat Yunani. Masyarakat Yunani menganggap kebijakan tersebut justru merugikan. Pemerintah Yunani yang didominasi oleh partai politik mainstream dianggap gagal memenuhi kepentingan masyarakat Yunani untuk mengurangi jumlah imigran yang masih tinggi sejak tahun 1990-an (Kasimis, 2012 & Leivada, 2015). Jumlah imigran di Yunani yang sangat tinggi dan kegagalan
43
Pemerintah Yunani untuk mengontrol arus imigrasi menyebabkan semakin tingginya sentimen negatif masyarakat Yunani terhadap para imigran.
2.4 Sentimen Negatif Terhadap Imigran di Yunani Kebijakan imigrasi Yunani melalui Undang-Undang 3536 Tahun 2007 menegaskan bahwa posisi Pemerintah Yunani tidaklah sepenuhnya anti terhadap imigran di Yunani. Padahal, masyarakat Yunani secara umum menentang kebijakan imigrasi yang suportif terhadap imigran (Levinson, 2005). Integrasi dan regularisasi imigran melalui peraturan tersebut membuka peluang bagi ratusan ribu imigran ilegal di Yunani untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan dari Pemerintah Yunani. Selain itu, kebijakan regularisasi imigran akan memicu meningkatnya jumlah imigran ilegal menuju negara tersebut (Linos, 2003). Akibatnya, sentimen negatif masyarakat Yunani terhadap imigran di Yunani semakin tinggi. Sentimen negatif ini dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu lapangan pekerjaan, jaminan sosial, dan identitas nasional. Sebagian besar masyarakat Yunani menganggap bahwa para imigran telah merebut lapangan pekerjaan yang tersedia di bursa kerja dan mengurangi manfaat jaminan sosial yang diterima oleh masyarakat Yunani (Pew Research Centre, 2014). Ini sesuai dengan hasil polling Gallup tahun 2012 hingga 2014 bahwa 84 persen masyarakat Yunani menginginkan jumlah imigrasi di Yunani harus dikurangi (International Organization for Migration, 2015). Selain itu, masyarakat Yunani juga merasa terancam dengan kehadiran imigran karena mereka dianggap dapat mengganggu stabilitas politik dan persatuan nasional Yunani (Triandafyllidou, 2009).
44
Para imigran di Yunani memang sebagian besar menempati sektor pekerjaan informal yang tidak diminati oleh masyarakat Yunani. Namun, seiring meningkatnya tingkat pengangguran akibat krisis ekonomi Yunani tahun 2010, persaingan lapangan pekerjaan antara masyarakat Yunani dan imigran di sektor informal semakin meningkat. Ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah masyarakat Yunani yang mencari pekerjaan di sektor informal. Data dari Inspektorat Tenaga Kerja Yunani (SEPE) menyebutkan bahwa tingkat penyerapan tenaga kerja pada sektor informal Yunani pada pertengahan tahun 2012 meningkat 5 persen dari data tahun 2011 yang mencakup 30 persen dari keseluruhan jumlah angkatan kerja Yunani (Maltezou, 2012). Akibatnya, persaingan tenaga kerja antara imigran dan masyarakat Yunani semakin meningkat. Jumlah imigran yang tinggi di Yunani pun dianggap membebani skema jaminan sosial yang disediakan oleh Pemerintah Yunani. Skema jaminan kesehatan Yunani berdasarkan pada prinsip persamaan yang tidak membedakan besarnya tanggungan jaminan kesehatan berdasarkan jenis pekerjaan dan status warga negara (Marouda, et al., 2014). Ini berarti imigran yang bekerja pada sektor informal pun menerima manfaat jaminan kesehatan yang sama dengan masyarakat Yunani yang sebagian besar bekerja pada sektor formal. Padahal, jumlah iuran jaminan kesehatan yang dibayarkan tidak sama besarnya sebab ditentukan dari pajak penghasilan. Penghasilan masyarakat Yunani yang relatif lebih besar daripada imigran sektor informal menyebabkan masyarakat Yunani membayar iuran jaminan kesehatan lebih banyak. Sedangkan, jumlah anggota keluarga imigran cenderung lebih banyak daripada jumlah anggota keluarga masyarakat Yunani (Robolis,
45
2009). Artinya, jaminan kesehatan Yunani sebenarnya lebih banyak diterima oleh keluarga imigran daripada keluarga masyarakat Yunani. Jumlah imigran yang cenderung meningkat dipandang mengurangi manfaat jaminan kesehatan yang seharusnya dapat diterima lebih optimal bagi masyarakat Yunani. Peraturan jaminan kesehatan Yunani menyebutkan dengan jelas bahwa yang berhak menerima jaminan hanyalah masyarakat Yunani dan imigran yang memiliki dokumen resmi. Namun, imigran ilegal pun masih memiliki hak untuk menerima manfaat jaminan kesehatan tersebut meski terbatas. Imigran ilegal berhak menerima layanan kesehatan bagi anak-anak dibawah usia 18 tahun atau dalam kondisi darurat atau khusus seperti persalinan, kecelakaan parah, dan perawatan penderita HIV/AIDS (Kotsioni & Hatziprokopiou, n.d.). Imigran ilegal di Yunani tidak ikut membayar iuran jaminan kesehatan namun tetap mendapatkan layanan kesehatan darurat karena Yunani terikat pada perjanjian Konvensi Eropa Tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights) yang menyebutkan bahwa hak untuk hidup (right to life) dan hak untuk diperlakukan secara manusiawi (prohibition of inhuman treatment) harus dilindungi (The European Union Agency for Human Rights, 2011). Perjanjian ini ditandatangani oleh 27 negara anggota Uni Eropa yang termaktub dalam Perjanjian Lisbon tahun 2007 (Groussot et al., 2011). Imigran juga dianggap sebagian besar masyarakat Yunani membebani jaminan sosial lainnya seperti pendidikan dan santunan bagi pengangguran (unemployment benefits). Undang-Undang Dasar Yunani berprinsip bahwa anakanak berhak mendapatkan pendidikan dasar tanpa memperhatikan status
46
kewarganegaraannya (Triandafyllidou & Gropas, 2007c). Pendidikan di Yunani diatur terpusat oleh pemerintah sehingga biaya pendidikan di seluruh sekolah negeri ditanggung oleh negara. Ini berarti anak-anak para imigran baik yang legal maupun ilegal dapat mendapatkan pendidikan dasar secara gratis. Akibatnya, tiga-perempat siswa di sebagian besar sekolah di Yunani berasal dari keluarga imigran (Syrigos, 2012). Kemudian, imigran legal yang telah bekerja namun diberhentikan berhak mendapatkan unemployment benefits sebesar 360 Euro per bulan ditambah 10 persen untuk tiap tanggungan dalam keluarga (European Commission, n.d. b). Jumlah unemployment benefits ini sama dengan yang diterima oleh masyarakat Yunani yang juga diberhentikan. Krisis yang melanda Yunani tahun 2010 telah menyebabkan angka pengangguran di Yunani meningkat drastis hingga mencapai 24,4 persen (Statista, 2015) atau sekitar 1,2 juta orang (World Bank, n.d.) pada tahun 2012. Angka pengangguran Yunani ini adalah yang tertinggi kedua setelah Spanyol jika dibandingkan dengan seluruh negara anggota Uni Eropa (The Guardian, n.d.). Ini menimbulkan beban berat pada anggaran Pemerintah Yunani untuk memenuhi unemployment benefits secara besar-besaran baik untuk masyarakat Yunani, maupun untuk para imigran. Sentimen negatif terhadap imigran juga dipengaruhi oleh adanya kekhawatiran masyarakat Yunani bahwa kehadiran imigran dapat mengancam identitas nasional Yunani. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Pemerintah Yunani mencoba untuk mengintegrasikan imigran dengan masyarakat Yunani melalui berbagai kebijakan. Kebijakan integrasi imigran ini juga memberikan peluang
bagi
imigran
generasi
kedua
untuk
memperoleh
pengakuan
47
kewarganegaraan Yunani (Triandafyllidou, 2009). Padahal, sebelumnya Yunani mengadopsi prinsip Ius Sanguinis dalam menetapkan kewarganegaraan (Syrigos, 2012). Artinya, orang yang berhak mendapatkan hak kewarganegaraan Yunani harus memiliki hubungan keturunan Bangsa Yunani, bukan diperoleh dari pengajuan hak kewarganegaraan berdasarkan lama tinggal dan tempat lahir. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan drastis pada naturalisasi imigran Yunani sejak tahun 2007. Ini sesuai dengan kebijakan Pemerintah Yunani yang memberlakukan Undang-Undang 3536 Tahun 2007 untuk mengintegrasikan imigran dengan masyarakat Yunani dan dipertegas dalam Undang-Undang 3838 Tahun 2010. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa sikap Pemerintah Yunani terhadap para imigran sangat terbuka.
Tabel 3
Sumber: Triandafyllidou, Anna. (2014)
48
Usaha yang dilakukan Pemerintah Yunani untuk mengintegrasikan imigran dengan masyarakat Yunani mendapatkan penolakan. Ini dapat dilihat dari persepsi masyarakat Yunani yang masih menganggap anak keturunan imigran yang mendapatkan pengakuan kewarganegaraan Yunani sebagai ‘Alien’ dan tidak termasuk dalam anggota masyarakat Yunani (Triandafyllidou & Gropas, 2007a). Alasannya, masyarakat Yunani memiliki kebanggaan yang sangat tinggi terhadap identitas nasionalnya. Masyarakat Yunani merasa bahwa identitas nasional Yunani hanya dimiliki oleh bangsa Yunani yaitu orang yang lahir di Yunani atau memiliki keluarga yang secara turun temurun berasal dari Yunani (Triandafyllidou & Gropas, 2007a). Kehadiran imigran yang kemudian diperbolehkan untuk mendapatkan pengakuan kewarganegaraan dan bahkan berpartisipasi dalam pemerintahan Yunani melalui pemilu dinilai mengancam homogenitas identitas nasional Yunani yang sudah terbentuk sejak awal berdirinya negara tersebut. Identitas nasional Yunani yang kuat terbentuk dari sejarah masa lalu Yunani. Perang Balkan pada abad ke-19 dan abad ke-20 telah mengintegrasikan identitas Yunani sehingga identitas tersebut membedakan Yunani dengan negara Balkan lainnya seperti Albania dan Macedonia (Triandafyllidou & Gropas, 2007c). Tingginya jumlah imigran yang berasal dari negara Balkan seperti Albania menyebabkan munculnya kekhawatiran masyarakat Yunani terhadap integritas nasional mereka (Triandafyllidou, 2009). Penolakan kebijakan integrasi imigran oleh masyarakat Yunani ternyata tidak diakomodir dengan baik oleh Pemerintah Yunani. Ini kemudian menjadi peluang bagi partai radikal kanan Golden Dawn untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat Yunani. Sebab, reaksi penolakan
49
terhadap jumlah imigran di Yunani yang semakin tinggi dinilai dapat terakomodir dengan baik melalui agenda politik anti-imigrasi yang ditawarkan Partai Golden Dawn.