BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. Bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat. 9 Bank yang menjalankan operasional berdasarkan prinsip syariah, maka kegiatannya berlandaskan pada Hukum Islam yang bersumber pada Al Qur’an, Hadits dan Ijtihad. 10 Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 11 Pembuatan akad pembiayaan juga berlandaskan pada prinsip syariah. Akad dilakukan untuk saling mengikatkan diri
9
Bagian menimbang huruf a dan b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. 10
Ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada, dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad (dalam bahasa Arab) berasal dari kata jahadah artinya bersungguh-sungguh atau menghabiskan segala daya dalam usaha. Lihat dalam Othman Ishak, Ijtihad dalam Perundangan Islam, Kuala Lumpur, 1982. Lebih Lanjut lihat dalam Mohammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Hukum Islam I) Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), h.104 (Selanjutnya disingkat Mohammad Daud Ali-I). 11 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
1
2
tentang perbuatan yang akan dilakukan, diwujudkan dalam ijab dan qabul 12 yang menunjukkan adanya kesukarelaan antara kedua belah pihak sesuai dengan syari’at. Hukum perjanjian Islam akan melahirkan transaksi-transaksi bisnis yang terbebas dari riba, maisir dan gharar, haram dan zalim 13, sehingga diharapkan dapat lebih mendatangkan kemanfaatan bagi para pihak dan menjadikannya bebas dari unsurunsur eksploitasi terhadap sesama. 14 Istilah perjanjian dalam praktiknya disebut juga dengan kontrak atau akad.15 Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk
12
Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. 13 Riba yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah). Maisir yaitu transaksi yang digantungkan pada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan. Gharar yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah. Haram yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah. Zalim yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. Lihat bagian Umum huruf C Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/22/DPS tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah Bank Pembiayaan Syariah. 14 Abdul Ghafur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Tangerang: Agro Media Pustaka, 2006), h. 2-3. 15 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dalam judul Buku III title Kedua tentang “Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian.” Lihat Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial Cetakan Ketiga, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 13. Pendapat ini juga di dukung banyak sarjana antara lain lihat Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Edisi II, Cetakan Kesatu, (Bandung: Alumni, 1996), h. 89 (Selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman-I). Lihat J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992). Selanjutnya disebut J. Satrio-I. Sedangkan kata akad berasal dari Bahasa Arab, yaitu kata al-‘aqadu. Lihat Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2012), h. 5 (Selanjutnya disingkat Ahmadi Miru-I).
3
melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. 16 Akad sah apabila tidak bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan. 17 Keabsahan perjanjian berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya KUHPerdata) dalam Pasal 1320, bahwa sahnya perjanjian diperlukan adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Selanjutnya dalam ayat (3) dinyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Akad yang dilakukan saat ini banyak terkait dengan masalah perdagangan. Islam tidak membenci perdagangan, bahkan Islam menganggap perdagangan ini sebagai salah satu wasilah (sarana) kerja yang disyariatkan, sehingga Al-Qur’an memberikan sifat yang baik terhadapnya. 18 Manusia diharuskan berusaha dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut salah satu cara yang dapat dilakukan manusia adalah dengan membuka usaha. Untuk memulai dan mengembangkan usaha tersebut dibutuhkan modal. Bank merupakan salah satu
16
Pasal 20 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. 17 Pasal 26 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. 18 Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 752.
4
lembaga keuangan yang memberikan bantuan modal bagi masyarakat dalam bentuk pembiayaan. 19 Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan Pembiayaan adalah dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: 1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; 2. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; 3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; 4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan 5. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan (ujrah), tanpa imbalan, atau bagi hasil. Pembiayaan musyarakah merupakan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal, expertise/keahlian) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Pembiayaan diikat dalam sebuah perjanjian antara bank dengan nasabah debitur. 20 Undang-Undang Perbankan tidak menentukan bentuk perjanjian kredit bank, berarti pemberian kredit bank dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Dalam
19
Istilah kredit dikenal dalam perbankan konvensional, sedangkan pada perbankan yang menjalankan operasionalnya berdasarkan prinsip syariah disebut dengan pembiayaan. Lebih lanjut lihat dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 20 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 90.
5
praktek perbankan, guna mengamankan pemberian kredit atau pembiayaan, umumnya perjanjian kreditnya dituangkan dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku (standard contract). Perjanjian kredit bank bisa dibuat di bawah tangan dan bisa secara notarial. 21 Berdasarkan
Surat
keputusan
Direksi
Bank
Indonesia
Nomor
27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB masingmasing tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa: “Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis. Berdasarkan peraturan tersebut diatas, pemberian pembiayaan harus dibuat dalam perjanjian secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta notarial.” Perjanjian kredit berfungsi sebagai panduan bank dalam perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian dan pengawasan pemberian kredit yang dilakukan oleh bank, sehingga bank tidak dirugikan dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank terjamin dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu sebelum pemberian kredit dilakukan, bank harus sudah memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan kredit telah diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank. 22 Perjanjian kredit (pembiayaan)
21
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 263. 22 Ibid, h. 264.
6
dalam pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang khusus baik oleh bank maupun nasabah. Perjanjian pembiayaan (kredit) memiliki beberapa fungsi yaitu: 23 1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. 2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenal batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur. 3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit. Perjanjian merupakan ketentuan yang disepakati oleh para pihak melalui perundingan atau negosiasi antara para pihak dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi dalam perkembangannya perjanjian-perjanjian yang digunakan dalam masyarakat mengalami perkembangan dan perubahan. Perubahan dan perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perkembangan sosial, ekonomi dan bisnis. Kebebasan berkontrak telah melampaui aturan-aturan yang melanggar kepatutan. Hal ini terlihat dari berkembangnya perjanjian baku dan pencantuman klausul eksonerasi dalam perjanjian. Perkembangan dalam hukum perjanjian menyebabkan, pihak yang memiliki kedudukan (status) yang kuat mulai bebas menentukan kedudukannya, serta bebas menentukan isi dan bentuk perjanjian. Sir Henry Maine menyatakan “hukum berkembang from status to contract.” 24
23
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 388. 24 Kedudukan atau status yang dimiliki oleh salah satu pihak dalam hubungan hukum perjanjian, pihak yang kedudukannya lebih kuat akan dengan mudah menentukan isi dan syarat-syarat dalam perjanjian. Lihat Sudikno Mertokusumo, Perkembangan Hukum Perjanjian, (Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Perdata/Dagang, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Konsorsium Ilmu Hukum), Yogyakarta, 12-13 Maret 1990, h.4. Selanjutnya lihat Marcel Seran & Anna Maria Wahyu Setyowati, “Penggunaan Klausul Eksonerasi dalam Perjanjian dan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume XXIV Nomor 2, April, 2006, h. 159
7
Perjanjian baku tumbuh berkembang dilatarbelakangi dengan keadaan sosial dan ekonomi, dimana perusahaan besar semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam satu organisasi dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu secara sepihak untuk diajukan kepada lawannya (counter party/wederpartij). 25 Perjanjian baku merupakan suatu bentuk perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang sudah dibakukan. Salah satu dalam perjanjian itu, yaitu pihak yang secara ekonomi kuat biasanya menetapkan syarat-syarat baku secara sepihak, oleh karena itu perjanjian baku itu pada prinsipnya ditetapkan tanpa lebih dahulu merundingkannya dengan pihak yang lainnya. Umumnya dalam praktek perbankan di Indonesia perjanjian kredit bank yang dipakai adalah perjanjian baku yang klausul-klausulnya telah disusun sebelumnya oleh pihak bank. 26 Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa perjanjian baku adalah “perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan dalam bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya.” 27 Penggunaan perjanjian baku diikuti dengan adanya pencantuman syarat atau klausul eksonerasi (exoneratie clausule). Klausul eksonerasi adalah syarat yang secara khusus membebaskan
25
Hasanudin Rahman, Legal Drafting, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h.34. http://www.pa-purworejo.go.id/web/transaksi-bank-menggunakan-perjanjian-kredit-dalambentuk-baku/, Tarsi, “Menyoal Transaksi Bank Menggunakan Perjanjian Kredit dalam Bentuk Baku”, Akses Terakhir, Minggu, 30 November 2014 pukul 15.00. 27 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), h. 47 (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman-II). 26
8
pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. 28 Klausul eksonerasi memuat suatu pernyataan yang membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang seharusnya menjadi kewajiban pelaku usaha. Isi, aturan atau ketentuan yang diatur mengandung syarat yang secara khusus membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab akibat dari sesuatu yang merugikan dari perjanjian. Berada pada posisi tawar yang lemah maka nasabah dihadapkan pada dua pilihan yaitu menyetujui perjanjian (take it) atau menolak dan meninggalkan perjanjian (leave it). 29 Penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian pembiayaan pada bank dalam prakteknya terjadi di bank syariah dalam perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama Medan Nomor 967/Pdt.G/2012/PA/Mdn. Kasus ini terjadi antara SD (Ibu kandung dari OSH yaitu nasabah debitur), di Padang Lawas Utara (Penggugat) melawan: 1. PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padang Sidimpuan (Tergugat I) 2. PT. Bank Sumut, Sumatera Utara (Tergugat II) 3. PT. Asuransi Y Syariah, Jakarta (Tergugat III) 4. YD (istri dari nasabah debitur), di Padang Lawas Utara, selaku pribadi sekaligus mewakili anak kandung yang masih dibawah umur:
28
Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), h. 20. 29 Lihat Muhammad Syaifuddin, Pengayaan Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 2012), h. 229.
9
a. EAH, 17 Tahun, tidak bekerja b. AUH, 15 Tahun, tidak bekerja c. RMH, 12 Tahun, tidak bekerja Kesemua anak 1 s/d 3 beralamat dan tinggal bersama dengan Turut Tergugat I di Kabupaten Padang Lawas Utara (Turut Tergugat I). 5. FDAH, alamat di Padang Lawas Utara (Turut Tergugat II) 6. EMH, alamat di Padang Lawas Utara (Turut Tergugat III) Berawal dari nasabah debitur dan Tergugat I terikat dalam akad pembiayaan musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011 pada tanggal 26 April 2011, untuk penambahan modal kerja dengan jumlah pembiayaan Rp. 700.000.000,. (tujuh ratus juta rupiah) dalam jangka waktu 12 bulan atau satu tahun. Perjanjian pembiayaan disertai dengan jaminan berupa Sertifikat Hak Milik Nomor 457/ Pasar Gunung Tua tanggal 19 Desember 2008 dan Sertifikat Hak Milik Nomor 395/ Pasar Gunung Tua tanggal 7 Juni 2007. Nasabah debitur telah memenuhi pembayaran asuransi jiwa dan biaya administrasi kepada bank sebesar Rp. 13.609.000,. (tiga belas juta enam ratus sembilan ribu rupiah). Tanggal 13 Juli 2011 nasabah debitur meninggal dunia. Meninggalnya nasabah debitur menyebabkan terhentinya pembayaran cicilan pembiayaan. Pada tanggal 3 Februari 2012, 27 Maret 2012, dan tanggal 22 Mei 2012 pihak bank mengirim surat peringatan kepada ahli waris nasabah debitur yaitu istri dan anakanaknya agar membayar pelunasan hutang pembiayaan sebesar Rp. 752.000.000,. (tujuh ratus lima puluh dua juta rupiah). Apabila tidak dilunasi maka bank akan
10
mengajukan lelang terhadap barang jaminan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Pihak bank dan nasabah debitur pada saat persetujuan akad pembiayaan musyarakah disertai dengan Surat Pernyataan yang ditandatangani oleh ahli waris yaitu istri nasabah debitur dan kedua anaknya yang sudah dewasa pada tanggal 26 April 2011 yang menyatakan “apabila dikemudian hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak bank dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya hingga selesai.” Ahli waris tidak bersedia melakukan pelunasan pembiayaan karena pembiayaan musyarakah tersebut telah dilindungi dengan asuransi pembiayaan dan premi asuransi tersebut telah dibayar oleh almarhum nasabah debitur sebelum beliau meninggal dunia. Akan tetapi pihak asuransi tidak bersedia mengeluarkan klaim asuransi karena bank belum memenuhi kelengkapan syarat administrasi berupa Hasil Pemeriksaan Kesehatan dari nasabah debitur. Ibu kandung dari nasabah debitur (Penggugat) pada tanggal 14 Juni 2012, mengajukan gugatannya atas dasar pembebasan hutang/penundaan lelang ke Pengadilan Agama Medan. Permohonan Penggugat sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn, Hakim
mengabulkan sebagian dari
permohonan Penggugat. Menariknya dalam kasus ini dalam amar putusan, Hakim memutuskan bahwa ahli waris dibebaskan dari pembayaran sisa pelunasan pembiayaan musyarakah, menyatakan Sertifikat Hak Milik yang dijadikan sebagai
11
jaminan harus dikembalikan kepada Penggugat, menyatakan Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan musyarakah yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelunasan pembiayaan musyarakah kepada ahli waris setelah nasabah debitur meninggal dunia, batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Proses selanjutnya PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan mengajukan Banding di Pengadilan Tinggi Agama Medan. Majelis Hakim dalam putusannya Nomor 124/Pdt.G/2013/PTA.Mdn, memutuskan menyatakan
gugatan
penggugat tidak dapat diterima (Niet Onvanklijke Verklaard). Menghukum Penggugat/Terbanding untuk membayar biaya perkara pada tingkat pertama sebesar Rp. 3.841.000,00., (tiga juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) dan pada tingkat Banding sebesar Rp. 150.000,00., (seratus lima puluh ribu rupiah). Kemudian salah satu Terbanding (SD/Penggugat) mengajukan Kasasi. Majelis Hakim Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi dengan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi. Kasus ini dikaitkan dengan perjanjian, maka Perjanjian merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan. Kesepakatan dalam perjanjian membuat salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban sebagaimana yang telah diperjanjikan.
30
Isi, aturan atau ketentuan yang diatur dalam klausul eksonerasi mengandung suatu syarat yang secara khusus membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab akibat dari sesuatu yang merugikan dari perjanjian. Bahkan ketentuan syarat-syarat
30
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h.326.
12
klausul terlebih dahulu telah dipersiapkan dan ditetapkan secara sepihak oleh bank dan mengikat serta harus dipenuhi oleh nasabah debitur. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka menarik untuk dilakukan penelitian mengenai Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn sebagai judul dalam penelitian ini. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut diatas, yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah: 1. Bagaimana pandangan Hukum Perjanjian Islam terhadap penerapan klausul eksonerasi dalam suatu perjanjian? 2. Apakah akibat hukum terhadap penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian pembiayaan musyarakah ditinjau dari Hukum Perjanjian Islam, Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan? 3. Bagaimana pertimbangan hukum Hakim terhadap kekuatan mengikat klausul eksonerasi dalam pelunasan pembiayaan musyarakah setelah nasabah debitur meninggal
dunia
berdasarkan
putusan
Pengadilan
Agama
Nomor
967/Pdt.G/2012/PA.Mdn? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan tersebut di atas, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
13
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pandangan Hukum Perjanjian Islam terhadap penerapan klausul eksonerasi dalam suatu perjanjian. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan akibat hukum yang timbul terhadap penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian pembiayaan musyarakah berdasarkan Hukum Perjanjian Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. 3. Untuk mengetahui dan menjelaskan pertimbangan hukum Hakim terhadap kekuatan mengikat klausul eksonerasi dalam pelunasan pembiayaan musyarakah setelah nasabah debitur meninggal dunia berdasarkan putusan Pengadilan Agama Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn. D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoretis a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum bagi para akademisi bidang hukum berkaitan dengan klausul eksonerasi pada perjanjian pembiayaan di bank syariah. b. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat umum untuk menambah wawasan di bidang ilmu hukum perjanjian khususnya klausul eksonerasi. c. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar bagi bahan penelitian selanjutnya pada bidang yang sama. 2. Secara Praktis
14
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para praktisi khususnya dalam perbankan syariah, praktisi peradilan yang terlibat langsung dalam proses pelaksanaanya yaitu para hakim di Pengadilan. b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, referensi atau bacaan tambahan bagi mahasiswa Fakultas Hukum dan masyarakat luas. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi serta penelusuran yang dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara serta kepustakaan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Penerapan Klausul Eksonerasi Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada
Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor
967/Pdt.G/2012/PA.Mdn)” belum pernah ada yang meneliti. Ada beberapa Tesis yang membahas mengenai klausul eksonerasi dengan judul dan permasalahan yang berbeda, yaitu: 1. Olga Anne Marie Depari Nim: 017011049 program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dengan judul Tesis “Tanggung Jawab Perusahaan Pengiriman Barang Dalam Pengiriman Barang Paket Dengan Klausul Eksonerasi (Studi Kasus Di ELTEHA Internasional LTD Cabang Medan.” Dengan permasalahan sebagai berikut: a. Bagaimana kekuatan hukum klausul eksonerasi dalam perjanjian pengiriman barang yang dibuat secara sepihak (standard contract)?
15
b. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh pihak kedua (pemakai jasa) apabila terjadi kehilangan atau keterlambatan barang paket oleh perusahaan pengiriman barang dengan klausul eksonerasi? c. Bagaimana tanggung jawab perusahaan pengangkutan barang dalam membayar ganti rugi atas pengiriman barang paket dengan klausul eksonerasi? 2. Intan Sahat Sitompul Nim: 002111021 Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul Tesis “Eksistensi Klausul Eksonerasi Dalam Kontrak Baku Di Dunia Perbankan Dan Implikasinya Bagi Nasabah (Studi Kasus Permata Bank Medan).” Dengan permasalahan sebagai berikut: a. Bagaimanakah dampak industrialisasi terhadap pengguna kontrak baku dalam bisnis perbankan? b. Faktor-faktor apa yang menyebabkan perbankan menggunakan kontrak baku dalam kegiatan usahanya? c. Bagaimanakah penggunaan kontrak baku dalam bisnis perbankan dapat menimbulkan ketidakadilan bagi nasabah? 3. Arief Fredy Kurniawan Harefa Nim: 117011062, program Magister Kenotariatan Univesitas Sumatera Utara dengan judul tesis “Akibat Hukum Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Penerbitan Kartu Kredit di Bank BNI 46 Cabang Medan.” Permasalahan penelitian sebagai berikut:
16
a. Apakah perjanjian penerbitan kartu kredit di BNI 46 Medan telah memenuhi asas kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan dalam hukum perjanjian? b. Bagaimana akibat hukum penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian penerbitan kartu kredit yang diterbitkan BNI 46 Medan? c. Bagaimana cara menyelesaikan sengketa akibat pengggunaan klausula eksonerasi? Berdasarkan perbandingan dari beberapa judul penelitian diatas, maka dapat dikatakan bahwa judul dan permasalahan dalam penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini mengenai penerapan klausul eksonerasi dalam tinjauan Hukum Perjanjian Islam dan prinsip-prinsip syariah serta Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dengan menganalisis kasus ekonomi syariah pada Pengadilan Agama Medan. Kemudian memperbandingkannya dengan KUHPerdata, UndangUndang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Oleh sebab itu maka penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta sesuai dengan etika dari proses untuk menemukan suatu kebenaran ilmiah, dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kerangka teori merupakan suatu hal yang penting dalam sebuah penelitian. Teori hukum merupakan dasar dalam memberikan penilaian apa yang seharusnya dan
17
untuk menjelaskan fakta atau peristiwa hukum yang terjadi. Untuk menggali makna lebih jauh dari aturan hukum, tidak cukup dilakukan penelitian dalam ruang lingkup dogmatik hukum saja, tetapi lebih mendalam lagi memasuki teori hukum. 31Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 32 Teori yang digunakan sebagai pisau analisis guna menjawab dan menjelaskan permasalahan pada penelitian ini adalah teori perjanjian (akad), serta teori kepastian hukum sebagai teori pendukung. Secara
khusus
penawaran/pemindahan kepemilikan)
dalam
akad
berarti
kepemilikan) lingkup
yang
keterkaitan dan
qabul
disyari’atkan
antara
ijab
(pernyataan
(pernyataan
penerimaan
dan
berpengaruh
pada
sesuatu. 33Ahmad Azhar Basyir memberikan pengertian akad, bahwa: 34 “Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.” Sahnya suatu akad harus dipenuhi rukun dan syarat akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan. Sedangkan
31
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Cetakan Keenam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2010), h. 112. 32 Muhammad Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 80. 33 Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2012), h. 35. 34 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 65.
18
syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut. 35 Sebagian besar ulama berpendapat rukun dan syarat akad, yaitu: 36 a. Al ‘aqidain (Subjek Perikatan) b. Mahallul ‘Aqd (Objek Perikatan) c. Maudhu’ul ‘Aqd (Tujuan Perikatan) d. Sighat al ‘Aqd (Ijab dan qabul) Syarat sahnya suatu akad yaitu apabila tidak menyalahi syariat Islam, adanya keridhaan atau sepakat antara kedua belah pihak dalam akad dan akad harus jelas. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka akad tersebut batal demi hukum. 37 Ayat-ayat Al Qur’an memberikan aturan dan tata cara dalam pelaksanaan akad sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Qur’an. Allah SWT berfirman agar manusia menepati janji apabila ia berjanji, terdapat dalam surah An Nahl ayat (91) “dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah di ikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” Allah SWT berfirman agar manusia memenuhi akad-akad, tercantum dalam surah Al Maa’idah ayat (1) “hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu..”. Setiap manusia diharuskan memenuhi janji-janji yang telah mereka sepakati
35
Fathurahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h. 28. 36 Abdul Ghofur, Op.Cit, h.21. 37 Ibid, h. 24.
19
antara para pihak, sebab setiap janji yang telah disepakati akan diminta pertanggungjawabannya. Perintah ini diatur dalam surah Al Isra’ ayat (34) “…..dan penuhilah janji-janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” Sistem hukum perjanjian terkandung sejumlah asas dan hukum perjanjian dibangun berdasarkan asas-asas hukum tersebut. Dilihat dari segi substantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran dasar tentang kebenaran untuk menopang norma hukum dan menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum perjanjian. 38 Asas-asas akad yang dikenal dalam perjanjian Islam antara lain asas ikhtiyari/ sukarela,
amanah/menepati
janji,
ikhtiyati/kehati-hatian,
taswiyah
(kesetaraan/keadilan). 39 Pelaksanaan akad dilakukan berdasarkan asa-asas tersebut. Asas kesetaraan/keadilan mengatur para pihak di dalam akad berada pada kedudukan yang setara serta mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al Maidah ayat (8): “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Perjanjian merupakan suatu bentuk perikatan, ciri utama perikatan adalah merupakan suatu hubungan hukum antara para pihak, dimana dengan hubungan
38
Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antar Bank Dengan Nasabah, Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Perdata tanggal 2 September 2006, Universitas Sumatera Utara Medan, 2006, h.7. 39 Lihat Pasal 21 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
20
hukum itu terdapat hak (prestasi) dan kewajiban (kontra prestasi) yang saling dipertukarkan oleh para pihak. 40 Hukum perjanjian mengenal empat asas yang satu dengan lainnya saling berkaitan, yakni asas konsensualisme (the principle of consensualism, het consensualisme), asas kekuatan mengikatnya kontrak (the principle of the binding force of contract, de verbindende kracht van de overeenkomst), asas kebebasan berkontrak (principle of freedom of contract, de contractsvrijheid) dan asas itikad baik (good faith) 41 Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan bagi pihak-pihak dalam perjanjian untuk menentukan isi perjanjian. Namun kebebasan ini dibatasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menentukan bahwa, “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Pasal 1339 KUHPerdata mengatur pentingnya kepatutan dalam perjanjian disamping apa yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Pasal ini juga pada umumnya dihubungkan dengan Pasal 1338 ayat 3 bahwa “perjanjian harus dilaksanakan
40
dengan
itikad
baik.”
Hal
ini
karena
kepatutan
sangat
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), h. 1. Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman-III. 41 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, h. 107.
21
mempertimbangkan aspek-aspek penting yang melingkupi suatu kasus, yaitu itikad baik, maksud para pihak, situasi atau keadaan-keadaan, dan lain-lain. 42 KUHPerdata memberikan batasan untuk menghindari terjadinya perjanjian yang melanggar norma-norma umum. Batasan tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, bahwa sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal (suatu sebab yang tidak terlarang). Apabila keempat syarat tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian akan batal demi hukum. Tidak terpenuhinya syarat subjektif (sepakat dan cakap) maka perjanjian dapat dibatalkan (voidable). Tidak terpenuhinya syarat objektif (suatu hal tertentu dan sebab yang halal) perjanjian batal demi hukum (null and void). Terhadap saat-saat terjadinya perjanjian ada beberapa ajaran: 43 a. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan mengirim surat. b. Teori pengiriman (verzendtheori) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. d. Teori kepercayaan (vertrouwwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
42
O. Notohamidjojo, Masalah keadilan, (Semarang: Tirta Amerta, 1971), h.13. Selanjutnya lihat dalam Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h. 67. 43 Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.Cit, h. 98-99.
22
Teori perjanjian (akad) dijadikan dasar untuk menganalisis dan menjelaskan mengenai penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian pembiayaan musyarakah. Klausul eksonerasi merupakan bagian dari perjanjian baku yang merupakan subsistem dari hukum perdata, perjanjian harus didasarkan pada norma hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Penelitian ini juga menggunakan teori kepastian hukum sebagai teori pendukung. Hukum Islam mengatur tata cara dalam menjalankan kepastian hukum, hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Qur’an surah Al Maidah ayat (8), “hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah”, serta dalam Al Qur’an Surah Al-Baqarah ayat (42), “dan janganlah kamu campuradukkan yang haq dengan yang batil…” Hadits Rasulullah Saw menegaskan “kaum muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” Aturan-aturan kepastian hukum ini mengatur agar perjanjian tidak menggunakan cara batil, dijalankan secara benar sesuai dengan aturan Al Qur’an dan Hadits. Kepastian hukum menurut Muhammad Solly Lubis ada dua yaitu: “Kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam atau dari hukum. Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu sebanyak-banyaknya hukum undangundang dan bahwa dalam undang-undang itu tidak ada ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu dibuat berdasarkan “rechtswerkelijheid”
23
(kenyataan hukum) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilahistilah yang dapat ditafsirkan berlainan.” 44 Kepastian hukum menurut Tan Kamello, meliputi dua hal yakni: “Pertama, kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu dengan yang lainnya baik dari Pasal-Pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun dengan Pasal-Pasal yang berada diluar undangundang. Kedua kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip hukum undang-undang.” 45 Teori kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa telah diputuskan.
46
Ronald Dworkin menyatakan “law as it is written in the books and law as it is decided by the judge through judicial process (hukum adalah apa yang tertulis
44
Muhammad Solly Lubis, Op.Cit, h. 43. Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung, Alumni, 2004), h. 117. 46 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Keempat, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2008), h. 158. (Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki-I). 45
24
didalam undang-undang maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui pengadilan.” 47 Teori kepastian hukum ini digunakan untuk menganalisis klausul eksonerasi dalam perjanjian pembiayaan musyarakah dan apa akibat hukum yang ditimbulkan dalam penerapan klausul tersebut serta pertimbangan hakim dalam putusan perkara. 2. Kerangka Konsepsi Kerangka konsepsional mengungngkap beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. 48 Konsep adalah suatu kontruksi mental, yaitu suatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis. 49 Kerangka konsepsi digunakan untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda terhadap penggunaan istilah dan pengertian-pengertian dalam suatu penelitian. Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman, maka akan dijelaskan kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini: a. Akibat Hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum kepada objek hukum atau akibat-akibat lain yang
47
Sebagaimana dikutip dari Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, (Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum Pada Majalah Akreditasi), Fakultas Hukum USU, Medan, 18 Februari 2003, h. 1. 48 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h.7. 49 Satjipto Rahardjo, Konsep Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h.397.
25
disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. 50 b. Klausul eksonerasi adalah syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. 51 Klausul yang isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban konsumen. 52 c. Perjanjian adalah hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaedah hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalankan. 53 d. Pembiayaan adalah dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: 54 1) Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; 2) Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; 3) Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; 4) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan 5) Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
50
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.73. Abdul Kadir Muhammad, Loc.Cit, h. 20. 52 Bagian II angka 3 huruf a Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku. 53 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1983), h. 96. 54 Pasal 1 angka 25 Bab I Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 51
26
e. Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal, expertise/keahlian) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. 55 f. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 56 g. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. 57 G. Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu usaha yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Sebagai suatu penelitian ilmiah maka rangkaian kegiatan dalam penelitian ini diawali pengumpulan sumber bahan hukum, identifikasi bahan hukum, sistematisasi bahan hukum dan analisis bahan hukum kemudian perancangan dan penulisan yang dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut:
55
Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit, h. 90. Pasal 1 angka 7 Bab I Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 57 Pasal 1 angka 13 Bab I Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 56
27
1. Jenis Dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian normatif. Metode penelitian normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. 58 Penelitian normatif membahas doktrin-doktrin dan asas-asas dalam ilmu hukum. 59 Berdasarkan kegunaannya, jenis metode penelitian normatif berguna untuk mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimanakah hukum positifnya mengenai suatu masalah tertentu dan juga dapat menjelaskan dan menerangkan kepada orang lain apakah dan bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah yang tertentu. 60 Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis dan eksplanatif yaitu memaparkan dan menjelaskan gejala hukum yang ada dalam masyarakat dan peraturan-peraturan hukum yang ada. Menggali peraturan-peraturan tersebut terhadap peristiwa yang terjadi, yaitu menjelaskan mengenai perjanjian pembiayaan musyarakah yang dalam perjanjian tersebut menerapkan klausul eksonerasi dengan menggali putusan hakim pengadilan agama terhadap kasus tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analitis (analytical approach), yaitu pendekatan terhadap undang-undang dan peraturan hukum yang terkait dengan klausul eksonerasi, 58
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kesebelas, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009), h. 13-14. 59 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum Cetakan Ketiga, (Jakarta: Kencana, 2006), h.35. 60 C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), h. 140.
28
perjanjian pembiayaan dan prinsip syariah serta menganalisis putusan hakim Pengadilan Agama Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn terkait putusan adanya penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian pembiayaan musyarakah. 2. Sumber Data Sumber data merupakan segala sesuatu yang dapat memberikan informasi mengenai data. Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang dilakukan dengan mencari, mengumpulkan dan mengkaji bahan hukum primer, sekunder dan tersier. 61 Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 62 Al Qur’an dan Hadits menjadi bahan sandaran dalam penelitian ini. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah KUHPerdata, Kitab UndangUndang Hukum Dagang, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang
61
Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), h.13. 62 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Cetakan Keenam, ( Jakarta: Prenada Media Group), h.187.
29
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/III/2002 tentang Asuransi Syariah, putusan Hakim Pengadilan Agama Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn. Fatwa DSN Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum. 63 Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, disertasi, jurnal hukum, majalah dan hasil penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data sekunder pada penelitian tesis ini melalui penelusuran kepustakaan (library research), dengan cara data sekunder ditabulasi kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat dan aturan-aturan hukum yang berkaitan dan permasalahan dalam penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian ini di dukung dengan wawancara mendalam pada informan, yaitu Hakim Pengadilan Agama Medan yang memutus perkara dalam
63
Ibid, h. 195-196.
30
penelitian ini, Dewan Pengawas Syariah pada Bank Syariah Propinsi Sumatera Utara dan pelaku usaha PT. Bank Sumut wilayah Sumatera Utara bagian Divisi Syariah. 4. Analisis Data Pengolahan data pada hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap
bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi
terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan penafsiran dan konstruksi. 64 Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisa kualitatif berdasarkan logika berfikir induktif. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, tulisan atau lisan dari orang-orang yang diamati. 65 Data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan berdasarkan permasalahan untuk selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif dalam suatu kalimat atau teks sehingga memberikan penjelasan dan mempresentasikan hasil dari data yang diperoleh. Analisis data dilakukan dengan menganalisis pertimbangan hukum hakim (content analist method) mengenai penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian pembiayaan musyarakah, kemudian menginventarisir norma-norma hukum mengenai penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian pembiayaan berdasarkan Al Qur’an, Hadits, KUHPerdata, KHES, Undang-Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Fatwa DSN untuk mengkaji penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian pembiayaan musyarakah dan akibat hukumnya. 64
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
h.195. 65
Lexy J. Maleong, Metode Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h.103.