BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Peradaban dunia pada masa kini dicirikan dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir di seluruh bidang kehidupan. Globalisasi pada dasarnya bermula dari awal abad ke-20, yakni pada saat terjadi revolusi transportasi dan elektronika yang menyebarluaskan dan mempercepat perdagangan antar bangsa. 1 Teknologi Informasi (information technology) memegang peranan yang penting, baik dimasa kini maupun dimasa yang akan datang. Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan dan kepentingan yang besar bagi Negara-negara di dunia. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat teknologi informasi dianggap begitu penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dunia yakni: 2 a. Teknologi informasi mendorong permintaan atas produk-produk teknologi informasi itu sendiri seperti komputer, modem, sarana untuk membangun jaringan internet dan sebagainya. b. Memudahkan transaksi bisnis terutama bisnis keuangan di samping bisnisbisnis umum lainnya.
1
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Refika Aditama, Bandung: 2009), hlm. 1 2 Agus Raharjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, (Citra Aditya Bakti, Bandung: 2000), hlm. 1
Universitas Sumatera Utara
Kehadiran internet pada era globalisasi saat ini telah membuka cakrawala baru dalam kehidupan manusia. Internet merupakan sebuah ruang informasi dan komunikasi
yang
menjanjikan
menembus
batas-batas
antarnegara
dan
mempercepat penyebaran dan pertukaran ilmu dan gagasan di kalangan ilmuwan dan cendikiawan diseluruh dunia. Internet membawa kita kepada ruang atau dunia baru yang tercipta yang dinamakan Cyberspace. Cyberspace adalah sebuah dunia komunikasi berbasis komputer (Computer Mediated Communication) yang menawarkan realitas virtual (virtual reality) 3. Cyberspace menawarkan manusia untuk “hidup” dalam dunia alternatif. Sebuah dunia yang dapat mengambil alih dan menggantikan realitas yang ada, yang lebih menyenangkan dari kesenangan yang ada, yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, yang lebih menggairahkan dari kegairahan yang ada. Cyberspace telah membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan, kesenangan, kemudahan dan pengembaraan, seperti Chatting atau berbicara di dunia maya, ber-sosial media, berbelanja online, melakukan transaksi e-banking atau transaksi pada bank melalui internet dan lain-lain. Namun cyberspace yang memberi harapan akan kemudahan bertransisi di dunia tanpa batas itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace juga terdapat sisi gelap yang perlu kita perhatikan yang dikarenakan oleh rasa keingintahuan pengguna internet menimbulkan kecemasan atas terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan
3
Virtual Reality adalah suatu teknologi yang membuat pengguna dapat berinteraksi dengan suatu lingkungan yang disimulasikan oleh komputer baik lingkungan yang ditiru agar menyerupai kenyataannya maupun lingkungan yang hanya ada dalam imajinasi.
Universitas Sumatera Utara
jaringan internet tersebut yang dikenal dengan istilah cybercrime atau kejahatan dunia maya yang telah menjadi perhatian dunia, terbukti dengan dijadikannya masalah cybercrime sebagai salah satu topik bahasan pada kongres PBB mengenai the prevention of crime and the treatment of offender ke-8 tahun 1990 di Havana, Kuba dan Kongres ke-10 di Wina.
Pada kongres ke-8 membahas tentang
perlunya dilakukan usaha-usaha penanggulangan kejahatan yang berkaitan dengan komputer (computer related crime), sedangkan pada kongres ke-10 di Wina, cybercrime dijadikan sebagai topik bahasan tersendiri dengan judul Crime Related to Computer Network. Tidak semua Negara di dunia memberikan perhatian yang besar terhadap cybercrime dan memiliki peraturan tersendiri untuk hal tersebut (kecuali Negaranegara maju dan beberapa Negara Berkembang). Hal ini disebabkan oleh tingkat kemajuan dan perhatian dari hukum terhadap teknologi seperti disinyalir oleh kongres PBB di Wina dengan ungkapan sebagai berikut: Reason for the lack of attention to cybercrime may include relatively low levels of participation in international electronic communications, low levels of law enforcement experience and low estimations of damage to society expected to occur from electronic crimes. (artinya adalah membahas tentang alasan kurangnya perhatian dan partisipasi terhadap kejahatan dunia maya dan juga tingkat pengamanan serta penegakan hukum yang masih kurang pengalaman juga minimnya
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan dalam hal memberantas kejahatan duniamaya yang menyebabkan berkembangnya tindak kejahatan di duniamaya itu sendiri). Indonesia sebagai Negara Berkembang memang dipandang terlambat dalam hal mengikuti perkembangan teknologi informasi. Hal ini tidak lepas dari strategi pengembangan teknologi yang tidak tepat karena mengabaikan penelitian sains dan teknologi. Akibatnya, transfer teknologi dari Negara Industri Maju tidak diikuti dengan penguasaan teknologi itu sendiri yang mengantarkan Indonesia kepada Negara yang tidak mempunyai basis teknologi yang memadai dalam hal perlindungan untuk korban kejahatan dunia maya, seperti yang dikatakan oleh Muhammad Nur sebagai Negara Industri baru semu. Tindak kejahatan dunia maya atau cybercrime yang paling banyak mendapat perhatian adalah tindakan yang dilakukan oleh cracker atau Hacker Hitam. Cracker atau Hacker hitam adalah sebutan untuk mereka yang melakukan kejahatan di dunia maya. Fenomena cracker dalam tahun-tahun terakhir ini memang mencemaskan. Apa yang dilakukan oleh cracker menurut Onno W. Purbo sangat mengganggu hak asasi manusia untuk memperoleh informasi, berkomunikasi dan hak untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi global tanpa dibatasi dimensi fisik, ruang, waktu dan institusi. Hukum perlu mengantisipasi hilangnya batas dimensi ruang, waktu dan tempat agar internet betul-betul bermanfaat. 4 Faktor penyebab bermunculannya pengguna cyberspace yang menyimpang tersebut dikarenakan perkembangan teknologi yang pesat dan semakin banyaknya pengguna internet sehinga memberikan kesempatan atau 4
Ibid, hlm. 7
Universitas Sumatera Utara
ruang untuk terjadinya tindak kejahatan di dunia maya. Sedangkan kejahatan itu sendiri telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang dan juga akan terus ada hingga masa yang akan datang. Kejahatan sebenarnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tidak ada kejahatan tanpa ada masyarakat seperti ucapan Lacassagne bahwa masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya. Kejahatan merupakan salah satu bentuk perilaku manusia yang terus mengalami perkembangan dari masyarakat itu sendiri. Agar internet betul-betul dapat bermanfaat bagi pengembangan sarana aktivitas manusia, maka kegiatan yang menyangkut cyberspace harus dibentengi dengan adanya aturan hukum sehingga meminimalisir tindak kejahatan di duniamaya yang dilakukan oleh cracker atau hacker hitam. untuk itu tindak kejahatan seperti cracker, jika dipandang dari persoalan hukum dan kriminologi maka akan masuk kedalam kategori tindak kriminal. Philip Nonet dan Philip Selznick mengemukakan bahwa ilmu hukum selalu memiliki keterkaitan yang luas dengan berbagai disiplin ilmu. Konsep abstrak tentang kewajiban hukum berbicara tentang perbedaan pemahaman tentang bagaimana hukum itu bekerja dan digunakan. Untuk sampai pada tahap pemahaman itu, ilmu hukum saja tidak cukup karena hukum itu sendiri dalam bekerjanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Dengan berbekal pengetahuan hukum dan
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan sosial lain, maka dapat digunakan untuk mendiagnosa kesulitankesulitan yang dihadapi dan menimpa hukum. 5 Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk kategorikan sesuatu dengan ukuran dalam kualifikasi hukum konvensional untuk dijadikan obyek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum dikarenakan kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subyek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Melihat fakta hukum sebagaimana yang ada pada saat ini, dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah disalahgunakan sebagai sarana kejahatan ini menjadi teramat penting untuk diantisipasi bagaimana kebijakan hukumnya, sehingga Cybercrime yang terjadi dapat dilakukan upaya penanggulangannya dengan hukum pidana, termasuk dalam hal ini adalah mengenai sistem pembuktiannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dikatakan teramat penting karena dalam penegakan hukum pidana dasar pembenaran seseorang dapat dikatakan bersalah atau tidak melakukan
5
Ibid, hlm. 9
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana, di samping perbuatannya dapat dipersalahkan atas kekuatan Undang-undang yang telah ada sebelumnya (asas legalitas), juga perbuatan mana didukung oleh kekuatan bukti yang sah dan kepadanya dapat dipertanggungjawabkan (unsur kesalahan). Pemikiran demikian telah sesuai dengan penerapan asas legalitas dalam hukum pidana (KUHP) kita, yakni sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam Pasal I ayat (1) KUHP "Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali" atau dalam istilah lain dapat dikenal,"tiada kesalahan yang dapat dihukum sebelum ada Undang-undang yang mengatur". 6 Bertolak dari dasar pembenaran sebagaimana diuraikan di atas, bila dikaitkan dengan Cybercrime, maka unsur membuktikan dengan kekuatan alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya untuk diantisipasi di samping unsur kesalahan dan adanya perbuatan pidana. Akhirnya dengan melihat pentingnya persoalan pembuktikan dalam Cybercrime, skripsi ini hendak mendeskripsikan pembahasan dalam fokus masalah Pembuktian terhadap tindak pidana Cybercrime Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Indonesia dan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karena alasan-alasan tersebut di atas, bagaimana pembuktianpembuktian dalam Cybercrime cukup sulit dilakukan mengingat, bahwa hukum di Indonesia yang mengatur masalah ini masih banyak cacat hukum yang
6
P.A.F. Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia., (Citra Aditya, Bandung: 1997), hlm 123.
Universitas Sumatera Utara
dapat dimanfaatkan oleh para pelaku Cybercrime untuk lepas dari proses pemidanaan. B. Perumusan Masalah Setelah mengetahui latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan, yaitu: a.
Bagaimanakah pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime ?
b.
Bagaimanakah Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Cybercrime Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia serta Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun tujuan serta manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Tujuan Penulisan. Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan merupakan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya bidang hukum yang mengatur tentang tindak pidana Cybercrime atau kejahatan di dunia maya. Sesuai permasalahan di atas, adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime 2. Untuk membahas tata cara pembuktian mengenai tindak pidana Cybercrime tersebut.
Universitas Sumatera Utara
b. Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan dari tujuan penulisan yang telah diuraikan di atas, yaitu: 1. Secara Teoritis Penulis berharap penulisan skripsi ini akan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang Tindak Pidana Cybercrime pada khususnya, sehingga penulisan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan mengenai hukum pidana pada umumnya dan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Tindak Pidana Cybercrime pada khususnya. 2. Secara Praktis Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat menambah wawasan bagi pihak-pihak yang terkait dan sebagai masukan bagi masyarakat serta aparat penegak hukum khususnya kepolisian, agar tidak hanya mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam menyelesaikan suatu kasus. Khususnya dibidang Cybercrime. D. Keaslian penulisan Skripsi ini dengan judul “Pembuktian Mengenai Tindak Pidana Cybercrime Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Indonesia dan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik” sudah pasti memiliki keterkaitan dengan penulisan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sebagai berikut beberapa judul yang hampir menyerupai judul skripsi penulis:
Universitas Sumatera Utara
1. KEDUDUKAN
BUKTI
SURAT
ELEKTRONIK
(EMAIL)
DARI
PRESPEKTIF HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA. Yang ditulis oleh Sara Yoshepina Bangun (070200008) Alumni Deprtemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara. Kedudukan surat elektronik sebagai alat bukti memang tidak ada diatur di dalam KUHAP, akan tetapi beberapa
Undang-undang
khusus
di
luar
KUHAP
sudah
mulai
memperhitungkan kedudukan surat elektronik (email) sebagai alat bukti. Berdasarkan latar belakang di atas dalam pembahasannya, hanya membahas Surat Elektronik (e-mail) sebagai alat bukti dalam hal membuktikan suatu tindak pidana dunia maya (cybercrime). 2. KEBIJAKAN
HUKUM
PIDANA
TERHADAP
TINDAK
PIDANA
TEKNOLOGI INFORMASI DARI PERSPEKTIF UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. Yang ditulis oleh Tessa Yudistira (060200011) Alumni Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisannya, skripsi tersebut membahas tentang kebijakan hukum pidana yang dilihat melalui UU ITE dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi (cybercrime) di Indonesia. Pembahasan yang diangkat oleh penulis adalah mengenai pembuktian yang dilihat melalui Hukum Acara Pidana Indonesia dan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-undang yang terkait dengan permasalahan pembuktian suatu tindak pidana kejahatan
Universitas Sumatera Utara
dunia maya dan sudah melalui pengesahan baik melalui perpustakaan dan pengesahaan oleh Kepala Jurusan Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis memperoleh karya ilmiah ini berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, media massa cetak maupun elektronik dan ditambahkan pemikiran penulis. Skripsi ini adalah merupakan karya ilmiah penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik. E. Tinjauan Pustaka a. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatakan “bersalah” dan Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Pitlo mengemukakan bahwa pembuktian merupakan suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak baik orang perseorangan maupun badan hukum atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya. Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan. Pembuktian dalam Acara Pidana agak berbeda dengan pembuktian dalam Acara Perdata, dimana dalam acara pidana
Universitas Sumatera Utara
pembuktian bersifat materiil sedangkan untuk Acara Perdata bersifat formil. Oleh karena itu jika dicurigai alat bukti itu dipalsukan, maka persidangan Acara Perdata akan dihentikan untuk menunggu diputus terlebih dahulu suatu kasus Pidana itu. 7 Menurut Subekti, pembuktian adalah upaya meyakinkan Hakim akan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak dalam berperkara, dalam hal ini antara bukti-bukti dengan tindak pidana yang didakwakan, dalam mengkonstruksikan hubungan hukum ini, masing-masing pihak menggunakan alat bukti untuk membuktikan dalil-dalilnya dan meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan. Salah satu contoh lemahnya Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia adalah ketika dihadapkan pada kasus awal mula cybercrime di Indonesia yaitu kasus persengketaan antara Tjandra Sugiantoro dan PT. Mustika Ratu yang diawali dengan pendaftaran nama domain Mustika Ratu ke Network Solution Inc di Amerika Serikat. Pada saat itu Tjandra Sugiantoro menjabat sebagai Manajer Umum Pemasaran Internasional PT. Martina Bertho produsen jamu dan kosmetika Sari Ayu yang tidak lain adalah pesaing PT. Mustika Ratu dalam Industri jamu dan kosmetik yang dibebaskan dari jeratan hukum dikarenakan sukarnya untuk menemukan alat bukti pada saat itu
7
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua, (Sinar Grafika, Jakarta: 2005), hlm. 273.
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan sulit untuk menentukan kejahatan yang dituduhkan kepada Tjandra Sugianto. 8 b. Pengertian Tindak Pidana Tindak Pidana berasal dari suatu istilah dalam hukum belanda yaitu Straafbaar feit. Adapula yang mengistilahkan menjadi delict yang bahasa latinnya delictum. Hukum Pidana yang digunakan pada Negara-negara penganut Anglo Saxon menggunakan istilah tersebut dengan sebutan offens atau criminal act. Menurut Pompe, perkataan “straafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Simon merumuskan bahwa strafbaar feit adalah sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Alasan Simon bahwa strafbaar feit harus dirumuskan seperti yang diatas adalah dikarenaka sebagai berikut: 9 1. Untuk adanya suatu strafbaar feit
itu disyaratkan bahwa disitu harus
terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh 8 9
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op cit, hlm. 99 P.A.F. Lamintang, Op cit, hlm. 181
Universitas Sumatera Utara
undang-undang, dimana pelanggaran yang dilarang atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum 2. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan didalam undang-undang 3. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada akikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu “onrechtmatige handling”. c. Pengertian tentang Hukum Acara Pidana Simon mengatakan bahwa Hukum Acara Pidana adalah hukum pidana formil yang mengatur Negara melalui alat-alat atau organ perlengkapannya untuk bertindak dan menghukum para pelanggar hukum. Van Bamelen berpendapat bahwa Hukum Acara Pidana adalah ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana Negara dihadapi pada suatu kejadian yang menimbulkan persangkaan telah terjadi pelanggaran hukum pidana, dengan perantara alat-alat perlengkapan Negara mencari kebenaran untuk mendapatkan keputusan hakim mengenai perbuatan yang didakwakan dan bagaimana keputusan itu harus dilaksanakan. Van Bamelen juga mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu: a. Mencari dan menemukan kebenaran b. Pemberian keputusan oleh hakim c. Pelaksanaan keputusan.
Universitas Sumatera Utara
Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya adalah “mencari kebenaran” setelah menemukan kebenaran yang diperoleh dari alat bukti dan bahan bukti itulah hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) dan kemudian akan dilaksanakan oleh jaksa. d. Pengertian Komputer Komputer adalah alat yang dipakai untuk mengolah data menurut perintah yang telah dirumuskan. Kata komputer semula dipergunakan untuk menggambarkan orang yang perkerjaannya melakukan perhitungan aritmatika, dengan atau tanpa alat bantu, tetapi arti kata ini kemudian dipindahkan kepada mesin itu sendiri. Asal mulanya, pengolahan informasi hampir eksklusif berhubungan dengan masalah aritmatika, tetapi komputer modern dipakai untuk banyak tugas yang tidak berhubungan dengan matematika. Secara luas, Komputer dapat didefinisikan sebagai suatu peralatan elektronik yang terdiri dari beberapa komponen, yang dapat bekerja sama antara komponen satu dengan yang lain untuk menghasilkan suatu informasi berdasarkan program dan data yang ada. Adapun komponen komputer adalah meliputi : Layar Monitor, CPU, Keyboard, Mouse dan Printer (sebagai pelengkap). Tanpa printer komputer tetap dapat melakukan tugasnya sebagai pengolah data, namun sebatas terlihat dilayar monitor belum dalam bentuk print out (kertas). 10
10
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_komputer, diakses pada tanggal 25 oktober 2013,
21.56 wib.
Universitas Sumatera Utara
e. Pengertian Internet Internet atau Inter Connection Network adalah merupakan jaringan komputer yang terhubung satu sama lain melalui media komunikasi, seperti kabel telepon, jaringan satelit ataupun gelombang frekuensi dan lain-lain yang menghubungkan antar Negara dan Benua yang berbasis Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP). 11 f. Pengertian mengenai Cybercrime Cybercrime adalah merupakan suatu tindak kejahatan yang dilakukan di dunia maya dan teknologi komputer sebagai alat kejahatan utamanya. Cybercrime memanfaatkan perkembangan teknologi komputer khususnya internet.
Secara umum yang dimaksud dengan kejahatan komputer atau
kejahatan didunia cyber adalah upaya untuk memasuki dan/atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa izin dan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan/atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut. 12 Indonesia dalam hal kejahatan dunia maya atau cybercrime sendiri pada saat ini sudah menempati presentase tertinggi didunia setelah Ukraina yang memiliki presentase tertinggi sebelumnya dibidang kejahatan dunia maya. Tindak pidana cybercrime yang paling sering terjadi di Indonesia adalah carding dan hacking. Carding adalah pembobolan kartu kredit sedangkan hacking adalah pengerusakan terhadap jaringan internet pihak lain dengan sengaja.
11
Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrime Cyberlaw tinjauan Aspek Hukum Pidana, (Tatanusa, Jakarta: 2012), hlm. 25 12 Ibid, hlm. 35
Universitas Sumatera Utara
Namun Roy Suryo dalam seminarnya tentang “Komunikasi Mayantara” (Cyber Communication) mengatakan bahwa Indonesia dalam hal penggunaan Internet masih tergolong dalam kategori rendah, artinya jumlah pengguna internet dibandingkan dengan jumlah penduduk masih sangat sedikit dari sekitar 240.000.000 jiwa penduduknya hanya 3 sampai 4 juta jiwa yang benarbenar menggunakan internet. 13 g. Hacking sebagai bentuk Cybercrime Internet atau jaringan komputer yang besar sesungguhnya tidak mengganggu manusia, justru membantu manusia dalam mencapai tujuantujuan yang positif, seperti dalam bidang bisnis ada e-comerce atau e-trade, sebagai media pendidikan politik dan sebagainya. Factor manusia yang menggunakan internet dengan tujuan jahat yang membuat pemakai internet tidak nyaman. Manusia inilah yang didalam dunia cyber dinamakan hacker hitam/cracker. Hacker secara harfiah berarti mencincang atau membacok, dalam arti luas adalah mereka yang menyusup atau melakukan perusakan melalui komputer. Hacker juga dapat didefenisikan sebagai orang-orang yang gemar mempelajari seluk-beluk sistem komputer dan bereksperimen dengannya. Penggunaan istilah hacker terus berkembang seiring dengan perkembangan internet, namun terjadi pembiasaan makna kata.
13
http://arissutanto.blogspot.com/2009/04/kajian-sosiologis-terhadap-kejahatan.html diakses pada tanggal, 04 Januari 2014, jam 19.03 wib
Universitas Sumatera Utara
Hakcker yang masih menjunjung tinggi atau memiliki motivatsi yang sama dengan perintis mereka, hacker-hacker MIT disebut hacker topi putih (white hat hackers). Mereka masih memegang prinsip bahwa meng-hack adalah bertujuan untuk meningkatkan keamanan internet. Hacker dalam pengertian yang kedua adalah mereka yang memanfaatkan kemampuan untuk melakukan kejahatan, baik pencurian nomor kartu kredit sampai perusakan situs atau website milik orang lain. Mereka selalu saling berperang antara hacker topi putih dengan mereka yang disebut cracker (hacker hitam). Akibat publikasi dari aksi-aksi hacker dari kedua kelompok tersebut diatas, maka muncullah kelompok hacker yang melakukan aksinya secara terang terangan dan cenderung menyombongkan diri apabila berhasil melakukan penyelundupan atau perusakan, Hacker demikian dinamakan Vandal Komputer atau Bogus Hacker. Hacking
yang dilakukan oleh hacker hitam pada intinya adalah
unauthorized acces sebagai first crime. Setelah hacker dapat masuk kejaringan internet pihak lain, maka hacker dapat melakukan kejahatan lain seperti damage to data or computer espionage atau dapat juga mengirim virus pada email orang lain yang akan menyebar apabila e-mail itu dibuka. 14 Dapat disimpulkan, bahwa untuk menentukan apakah hacking itu merupakan kejahatan atau bukan maka harus dilihat dengan menggunakan pendekatan perspektif yang telah ditentukan secara umum. Penetapan suatu
14
Agus Raharjo, Op Cit, hlm. 132
Universitas Sumatera Utara
perbuatan sebagai kejahatan atau bukan merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang, dalam hal ini Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Agar dapat disebut atau dikategorikan sebagai kejahatan, maka harus memenuhi beberapa karakteristik dari tindak pidana yaitu: 15 a. Bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum (a public wrong). Dilihat dari kriteria ini, maka tindakan hacking yang dilakukan oleh cracker sangat bertentangan dan merugikan kepentingan umum bahkan kepentingan pribadi. Seorang cracker menyerang situs yang menyediakan pelayanan publik atau menyediakan data-data yang diperuntukkan bagi publik sudah barang tentu merugikan pengakses yang hendak mengakses situs tersebut, dalam hal ini tidak hanya pemerintah atau perusahaan yang dirugikan (sebagai
penyelenggara
pelayanan
umum)
tetapi
juga
merugikan
kepentingan pengakses. Demikian juga dengan situs yang dikelola secara pribadi, jika di-hack maka akan mengganggu kepentingan pemilik situs tersebut secara pribadi. b. Bertentangan dengan moral masyarakat (a moral wrong). Tidaklah mudah untuk menentukan dasar moral apa yang dipakai sebagai pertimbangan dalam memutuskan suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tidak. Dalam hal ini dasar moral yang dapat diambilkan dari kehidupan sekitar atau dimana perbuatan itu ada atau terjadi (dalam arti kehidupan yang nyata) dan ketentuan-ketentuan moral yang dipakai atau dipergunakan dalam kehidupan para netizen (dalam hal ini adalah moral yang masyarakat 15
Ibid, hlm. 185
Universitas Sumatera Utara
yang ada di cyberspace). Para netizen umumnya mengakui bahwa menghack sebuah situs merupakan tindakan yang tidak baik apalagi jika hacking itu dilakukan terhadap situs-situs pendidikan, penelitian dan pelayanan umum. Jika ditinjau dari aspek kriminologi, maka untuk memahami tentang kejahatan hacking tidak cukup dengan hanya mempelajari dari sisi akibat berupa kerugian-kerugian yang diderita oleh para korban dan landasan aturanaturan apa yang
dipakai penguasa atau pembentuk undang-undang untuk
menentukan suatu perbuatan sebagai kejahatan, melainkan dengan mempelajari dan meneliti sebab musabab dari kejahatan itu sendiri. Kejahatan merupakan fenomena sosial sebagai rangkaian dari keseluruhan proses-proses sosial, budaya, politik, ekonomi dan struktur yang ada didalam masyarakat. Dalam penjelasannya, kejahatan memiliki 3 (tiga) pandangan yaitu: 16 a.
Secara praktis (partical interpretation) Bahwa, kejahatan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang melanggar ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi pidana.
b.
Secara religius (religious interpretation) Bahwa, kejahatan adalah suatu pengertian mengidentikkan jahat dengan dosa. Jahat dan dosa dalam arti religius itu merupakan sinonim. Berbuat jahat adalah dosa dan sebaliknya berbuat dosa adalah kejahatan. 16
Ediwarman, Nurmalawaty, Edi Yunara, Berlin Nainggolan, Rofiqoh, Monograf Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, (Medan: 2010). Hlm. 20
Universitas Sumatera Utara
c.
Secara Yuridis (juridical interpretation) Bahwa, kejahatan adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum atau dilarang oleh undang-undang. Dalam mengkonstruksi suatu tindakan hacking sebagai kejahatan terdapat
beberapa tahapan. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut: a.
Mengumpulkan dan mempelajari informasi yang ada mengenai system operasi komputer atau jaringan komputer yang dipakai pada target sasaran.
b.
Menyusup atau mengakses jaringan komputer yang dipakai oleh target sasaran.
c.
Menjelajahi system komputer (dan mencari akses yang lebih tinggi).
d.
Membuat backdoor dan menghilangkan jejak. Proses belajar menjadi seorang hacker atau cracker dalam persepektif atau pandangan kriminologi terutama dari teori differential association ataupun dalam perkembangannya yang disebut differential social organization dari Sutherland sudah menunjukkan bahwa orang yang belajar itu sedang mempelajari atau belajar menjadi seorang penjahat. Pada intinya untuk menjadi seorang penjahat di cyberspace harus melalui pembelajaran baik itu secara otodidak maupun dengan belajar pada ahlinya. 17
8. Bentuk-Bentuk Cybercrime Berdasarkan jenis aktifitas yang dilakukannya, Cybercrime dapat digolongkan menjadi beberapa jenis sebagai berikut: 18 a. Unauthorized Access
17 18
Agus Raharjo, Op Cit, hlm. 175. Ibid, hlm. 200.
Universitas Sumatera Utara
Merupakan kejahatan yang terjadi ketika seseorang memasuki suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin, atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Probing dan port merupakan contoh kejahatan ini yaitu mengintai server target yang akan dilakukan tindak kejahatan. b. Illegal Contents Merupakan kejahatan yang dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang suatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau menggangu ketertiban umum, contohnya adalah penyebaran pornografi. c. Penyebaran virus secara sengaja Penyebaran virus pada umumnya dilakukan dengan menggunakan e-mail. Sering kali orang yang sistem e-mailnya terkena virus tidak menyadari hal ini. Virus ini kemudian dikirimkan ke tempat lain melalui e-mailnya. d. Data Forgery Kejahatan jenis ini dilakukan dengan tujuan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang ada di internet. Dokumen-dokumen ini biasanya dimiliki oleh institusi atau lembaga yang memiliki situs berbasis web database. e. Cyber Espionage, Sabotage dan Extortion Cyber Espionage merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata - mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran. Sabotage dan Extortion
Universitas Sumatera Utara
merupakan jenis kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. f. Cyberstalking Kejahatan jenis ini dilakukan untuk mengganggu atau melecehkan seseorang dengan memanfaatkan komputer, misalnya menggunakan e-mail dan dilakukan berulang - ulang. Kejahatan tersebut menyerupai teror yang ditujukan kepada seseorang dengan memanfaatkan media internet. Hal itu bisa terjadi karena kemudahan dalam membuat email dengan alamat tertentu tanpa harus menyertakan identitas diri yang sebenarnya. g. Carding Carding merupakan kejahatan yang dilakukan untuk mencuri nomor kartu kredit milik orang lain dan digunakan dalam transaksi perdagangan di internet. h. Hacking dan Cracker Istilah Hacker biasanya mengacu pada seseorang yang punya minat besar untuk mempelajari sistem komputer secara detail dan bagaimana meningkatkan kapabilitasnya. Adapun mereka yang sering melakukan aksiaksi perusakan di internet lazimnya disebut cracker. Boleh dibilang cracker ini sebenarnya adalah hacker yang memanfaatkan kemampuannya untuk hal-hal yang negatif. Aktivitas cracking di internet memiliki lingkup yang sangat luas, mulai dari pembajakan account milik orang lain, pembajakan situs web, probing, menyebarkan virus, hingga pelumpuhan target sasaran.
Universitas Sumatera Utara
Tindakan yang terakhir disebut sebagai DoS (Denial of Service). Dos attack merupakan serangan yang bertujuan melumpuhkan target (hang, crash) sehingga tidak dapat memberikan layanan. i. Cybersquatting and Typosquatting Cybersquatting merupakan kejahatan yang dilakukan dengan mendaftarkan domain nama perusahaan orang lain dan kemudian berusaha menjualnya kepada perusahaan tersebut dengan harga yang lebih mahal. Adapun typosquatting adalah kejahatan dengan membuat domain plesetan yaitu domain yang mirip dengan nama domain orang lain. Nama tersebut merupakan nama domain saingan perusahaan. j. Hijacking Hijacking merupakan kejahatan melakukan pembajakan hasil karya orang lain. Yang paling sering terjadi adalah Software Piracy (pembajakan perangkat lunak). k. Cyber Teroris Suatu tindakan Cybercrime termasuk Cyber Terorism jika mengancam pemer intah atau warganegara, termasuk cracking ke situs pemerintah atau militer. 9. Pengertian Alat Bukti menurut KUHAP dan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut Pasal 184 ayat (1) menyebutkan bahwa Alat Bukti yang sah ialah: 19
19
Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, & Perdata, (Visimedia, Jakarta Selatan: 2008), hlm. 193.
Universitas Sumatera Utara
a. Keterangan Saksi. b. Keterangan Ahli. c. Surat. d. Petunjuk. e. Keterangan Terdakwa. Sebagaimana yang disebutkan diatas, sudah menjelaskan bahwa Pasal 184 ayat (1) sudah menentukan alat bukti yang sah menurut Undang-undang. Diluar dari alat bukti itu, tidak dibenarkan untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Yang dikatakan Alat Bukti menurut Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ada pada pasal 5 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan antara lain: (1). Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. (2). Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Pasal 44 Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan antaralain : 20 a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan.
20
Gardien Mediatama, Undang – Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (Yogyakarta: 2008), hlm. 25 dan hlm. 71.
Universitas Sumatera Utara
b. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), (2) dan (3). F. Metode Penelitian 1. Penelitian Normatif Dalam penulisan skripsi, Penulis berusaha menemukan data-data dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang disebut juga dengan penelitan hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Dalam penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data yang mencakup: 21 a) Bahan hukum primer Bahan hukum primer ini adalah berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan maupun undang-undang yang telah berlaku di Indonesia. Yang dalam penelitian ini bahan hukum primernya merupakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. b) Bahan hukum sekunder Bahan hukum ini adalah bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer dan merupakan bahan pendukung dari bahan hukum primer. Dalam penelitian ini penulis mengambil bahan hukum sekunder dari studi kepustakaan, seperti mengumpulkan data dari library, literature.
21
Burhan Ashofa, Metode penelitian hukum, (rieneka cipta , Jakarta: 1996), hlm.
Universitas Sumatera Utara
c) Bahan hukum tersier Merupakan bahan hukum pelengkap dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dimana peneliti mendapatkannya melalui berbagai jurnal maupun arsip-arsip penelitian. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak mengkaji literaturliteratur dan data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan yang berkaitan dengan judul skripsi, pendapat para ahli hukum terkait dan analisa kasus dalam dokumen-dokumen untuk memperjelas hasil penelitian.
22
Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan). 23 Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan pendekatan Undang-Undang terkait dengan Cybercrime yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang terkait sperti Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-udang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indoneia (UIPRESS), 1981, hlm.52 23 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007), hlm.81
Universitas Sumatera Utara
2. Penelitian Deskriptif Dari sudut sifatnya, penelitian dapat ditinjau melalui berbagai sifat. Seperti: 24 1. Penelitian yang bersifat eksploratif (penjajakan atau penjelajahan) Penelitian ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu, atau untuk mendapatkan ide-ide baru mengenai suatu gejala itu. 2. Penelitian yang bersifat deskriptif Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. 3. Penelitian yang bersifat eksplanatif (menerangkan) Penelitian eksplanatif bertujuan menguji hipotesis-hipotesis tentang ada tidaknya hubungan sebab akibat antara berbagai variabel yang diteliti. Dalam penulisan skripsi, penulis menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif karena disini penulis menggambarkan sifat-sifat suatu individu yang bertujuan untuk menghubungkan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat dan dapat membentuk teoti-teori baru atau memperkuat teori yang sudah ada, serta dapat menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. 3. Jenis Data Dalam penelitian, lazimnya jenis data dibedakan antara: 25 24
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Gramedia, Jakarta: 1980),
hlm. 45
Universitas Sumatera Utara
4. Data Primer Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama sekali. 5. Data Skunder Yaitu data yang diperoleh melalui penelitian terhadap dokumen-dokumen, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menganalisis data berdasarkan pada bahan-bahan yang sudah tersedia baik diperpustakaan, media massa maupun media elektronik atau disebut data skunder. Karena pada dasarnya penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang bersifat normatif dan Sumber data yang diperoleh penulis dalam penulisan skripsi ini antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan seterusnya. Ciri-ciri umum dari data sekunder adalah: 26 a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian, tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa maupun konstruksi data c. Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat Dari sudut tipe-tipenya, maka data sekunder dapat dibedakan antara:
25
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2004), hlm. 30 26 Soerjono Soekanto, Op cit, hlm.12
Universitas Sumatera Utara
a. Data sekunder yang bersifat pribadi, yang antara lain mencakup: a. Dokumen pribadi, seperti surat-surat, buku harian, dan seterusnya b. Data pribadi yang tersimpan di lembaga dimana yang bersangkutan pernah bekerja atau sedang bekerja. 2. Data sekunder yang bersifat publik: a. Data arsip, yaitu data yang dapat dipergunakan untuk kepentingan ilmiah, oleh para ilmuwan b. Data resmi pada instansi-instansi pemerintah, yang kadang-kadang tidak mudah untuk diperoleh oleh karena mungkin bersifat rahasia c. Data lain yang dipublikasikan, misalnya yurisprudensi Mahkamah Agung. G. Sistematika Penulisan Skripsi ini dibagi atas 4 (empat) bab, yang tiap bab dibagi pula beberapa sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud dari penulisan skripsi ini. Hal ini dimaksud untuk menjalin hubungan yang serasi antar bab, sehingga dapat menjawab permasalahan secara benar, terarah, terperinci dan sistematis kemudian dapat dipertanggungjawabkan. Adapun sistematika penulisan skripsi ini secara singkat adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Adalah sebagai bab pengantar dari permasalahan, terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu: Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II PENGATURAN
HUKUM
PIDANA
TERHADAP
TINDAK
PIDANA
CYBERCRIME Pada bab ini berisikan pembahasan tentang masalah pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime yang memiliki 2 (dua) sub bab yaitu pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime dan pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. BAB III PEMBUKTIAN MENGENAI TINDAK PIDANA CYBERCRIME MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG ITE Pada bab ini berisikan pembahasan tentang masalah pembuktian mengenai tindak pidana cybercrime menurut hukum acara pidana Indonesia dan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memiliki 2 (dua) sub bab yaitu alat bukti dalam sistem pembuktian hukum acara pidana Indonesia dan pembuktian alat bukti elektronik. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan penutup dari keseluruhan materi skripsi yang terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu : Kesimpulan dan Saran.
Universitas Sumatera Utara