1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit dan sebagai bisnis yang efisien dan dapat dijalankan serta dikembangkan oleh siapa saja karena pemasaran usaha yang telah dikenal luas dalam masyarakat. Pengertian waralaba menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam Pasal 1 angka 1 yaitu :1 “Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.” Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 juga menyebutkan bahwa waralaba diselenggarakan harus berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia dan dalam hal perjanjian ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Perjanjian waralaba memuat klausula paling sedikit :2
1
Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Bab I, Pasal 1 angka 1. 2 Ibid., Pasal 5.
1
2
a. b. c. d. e.
f. g. h. i. j. k.
Nama dan alamat para pihak; Jenis Hak Kekayaan Intelektual; Kegiatan usaha; Hak dan kewajiban para pihak; Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba; Wilayah usaha; Jangka waktu perjanjian; Tata cara pembayaran imbalan; Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris; Penyelesaian sengketa; dan Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.
Sistem usaha waralaba mengenal para pihak yaitu ;3 pertama, Franchisor atau pemberi waralaba/pewaralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya; kedua, Franchisee atau penerima waralaba/terwaralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba. Mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut dan untuk menjaga kepastian hukum bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian waralaba, yang berakibat pada tidak dapat dipenuhinya kewajibankewajiban yang sudah jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahanperubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang Kepailitan yang ada. 4
3
Ibid., Pasal 1. Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 1. 4
3
Latar belakang pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan (selanjutnya disebut Perpu No. 1 Tahun 1998), tidak lain berkaitan dengan kondisi perekonomian pada masa itu. Pada satu sisi, Indonesia membutuhkan kepercayaan dunia Internasional terhadap iklim bisnis Indonesia, dan di lain pihak para kreditur membutuhkan suatu aturan hukum yang cepat dan pasti bagi penyelesaian piutang-piutangnya pada berbagai perusahaan
Indonesia
yang
berada
dalam
kondisi
bangkrut.
Apabila
mengandalkan penyelesaian utang-piutang berdasarkan peraturan yang lama maka akan memakan waktu yang lama, berbelit-belit dan tidak menjamin kepastian hukum.5 Perpu No. 1 Tahun 1998 kemudian disahkan dalam bentuk UndangUndang yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi UndangUndang (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 1998). Kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU).6 Pada prinsipnya, sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 22 UUK dan PKPU, maka setiap dan seluruh perikatan antara pewaralaba yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut 5
Sunarmi, Hukum Kepailitan (Medan: USU Press, 2009), hlm. 3. Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 3. 6
4
mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. Gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung diajukan kepada debitur pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan.7
B. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Bagaimana waralaba sebagai salah satu bentuk sistem bisnis dalam hukum positif di Indonesia ? 2. Bagaimana kepailitan menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ? 3. Bagaimana akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam industri makanan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun penulisan ini dilakukan dengan tujuan dan manfaat yang hendak dicapai, yaitu : 1. Tujuan penulisan Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah : a. Untuk mengetahui bentuk waralaba sebagai suatu bentuk sistem bisnis dalam hukum positif yang berkembang di Indonesia
7
https://clickgtg.wordpress.com/2008/07/02/hukum-kepailitan-di-indonesia/ (diakses pada 03 Maret 2015).
5
b. Untuk mengetahui secara paham bentuk kepailitan menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang c. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam industri makanan 2. Manfaat penulisan Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : a. Secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan menambah wawasan ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan ilmu hukum ekonomi. b. Secara praktis Ditinjau dari permasalahan, penulis mengharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1) Bagi pewaralaba (franchisor), agar memiliki pengetahuan dalam gugatan yang diajukan kepada kreditur dan memahami akibat hukum kepailitan terhadap perjanjian waralaba. 2) Bagi terwaralaba (franchisee), agar memahami akibat hukum dari pewaralaba yang pailit. D. Keaslian Penulisan Berdasarkan hasil penelitian di Perpustakaan di Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, ternyata tidak ditemukan judul yang membahas mengenai “Akibat Hukum Kepailitan Pewaralaba Terhadap Perjanjian Waralaba Dalam Bidang Industri Makanan”, adalah sebagai berikut:
6
1. Akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam bidang industri makanan 2. Perlindungan hukum bagi pembeli harta debitur pailit sebelum terjadinya kepailitan 3. Analisis permohonan kepailitan Perum oleh Menteri Keuangan Dengan demikian jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya.
E. Tinjauan Pustaka Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan pewaralaba Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undangundang ini“.8 Syarat-syarat yuridis agar debitur dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut:9 1.
Adanya utang; debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya;
8
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 1 angka 1. 9 https://clickgtg.wordpress.com/2008/07/02/hukum-kepailitan-di-indonesia/ (diakses pada 03 Maret 2015).
7
2.
Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo;
3.
Minimal satu dari utang dapat ditagih;
4.
Adanya kreditur dan kreditur lebih dari satu;
5.
Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan;
6.
Permohonan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang;
7.
Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam undang-undang
kepailitan. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh pihak yang berwenang, bahkan panitera wajib tidak menerima permohonan pernyataan pailit apabila diajukan oleh pihak yang tidak berwenang. Berdasarkan Undang-undang Kepailitan, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit antara lain:10 1. Debitur Dalam setiap hal disyaratkan bahwa debitur mempunyai lebih dari satu orang kreditur, karena merasa tidak mampu atau sudah tidak dapat membayar utang-utangnya,
dapat
mengajukan
permohonan
pailit.
Debitur
harus
membuktikan bahwa ia mempunyai dua atau lebih kreditur serta juga membuktikan bahwa ia tidak dapat membayar salah satu atau lebih utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Apabila debitur telah menikah, maka harus ada persetujuan pasanganya, karena hal ini menyangkut harta bersama, kecuali tidak ada pencampuran harta.
10
http://notariskhairulnas.blogspot.com (diakses pada 19 Maret 2015).
8
2. Kreditur Dua orang kreditur atau lebih, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit selama memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang. Kreditur yang mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi debitur harus memenuhi syarat bahwa hak tuntutannya terbukti secara sederhana atau pembuktian mengenai hak kreditur untuk menagih juga dilakukan secara sederhana. 3.
Kejaksaan Apabila permohonan pernyataan pailit mengandung unsur atau alasan
untuk kepentingan umum maka, permohonan harus diajukan oleh Kejaksaan. Kepentingan umum yang dimaksud dalam undang-undang adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. 4. Bank Indonesia Bank Indonesia adalah satu-satunya pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit jika debiturnya adalah bank. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggung jawabkan. 5. Badan Pengawas Pasar Modal Apabila debitur adalah perusahaan bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian maka satu-satunya pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah badan pengawas
9
pasar modal, karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan badan pengawas pasar modal. 6. Menteri keuangan Permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh Menteri Keuangan apabila debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik. Akibat hukum kepailitan adalah:11 1. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. 2. Perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitur dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan pihak tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menyebutkan pengertian waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan
11
Ibid.
10
dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.12 Perjanjian waralaba mengenal dua pihak yaitu:13 1. Pemberi waralaba/pewaralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba. 2. Penerima waralaba/terwaralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba. Waralaba terbagi atas beberapa bentuk, yaitu :14 1. Product franchise Suatu
bentuk
waralaba
dimana
terwaralaba
hanya
bertindak
mendistribusikan produk dari partnernya dengan pembatasan areal. 2. Processing or manufacturing franchise Jenis waralaba ini memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek pewaralaba. Jenis waralaba ini seringkali ditemukan dalam industri makanan dan minuman.
12
Pasal 1.
13 14
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba Ibid. http://jurnal-sdm.blogspot.com/ (diakses pada 01 Maret 2015).
11
3. Bussiness format atau sistem waralaba Pewaralaba memiliki cara yang unik dalam menyajikan produk dalam satu paket, seperti yang dilakukan oleh McDonald’s dengan membuat variasi produknya dalam bentuk paket. 4. Group trading franchise Bentuk waralaba yang menunjuk pada pemberian hak mengelola toko-toko grosir maupun pengecer yang dilakukan toko serba ada. Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut:15 a. Memiliki ciri khas usaha; b. Terbukti sudah memberikan keuntungan; c. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis; d. Mudah diajarkan dan diaplikasikan; e. Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan f. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar. Perjanjian waralaba merupakan kesepakatan tertulis yang dibuat antara pewaralaba dan terwaralaba untuk melindungi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Selain itu, perjanjian waralaba juga diperlukan sebagai salah satu syarat administratif bagi terwaralaba untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) sebagai bukti sebuah perusahaan terwaralaba.
F. Metode Penulisan Untuk mendapatkan data yang valid dan akurat penelitian harus dilakukan secara sistematis dan teratur, sehingga metode yang dipakai sangatlah menentukan. Metode penelitian yaitu urutan-urutan bagaimana penelitian ini dilakukan. 15
Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Bab I, Pasal 3.
12
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Spesifikasi penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum. Dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.16 Penelitian ini bersifat deskriptif. Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan secara jelas tentang permasalahan yang terdapat pada masyarakat dan dapat dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Adapun metode pendekatan penelitian yang dipakai adalah pendekatan yuridis. 2. Data penelitian Mencapai tujuan untuk melengkapi materi skripsi, maka dicari dan diambil bahan penelitian melalui data sekunder. Adapun data-data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Bahan hukum primer, yaitu berbagai dokumen perundang-undangan yang tertulis yang ada dalam dunia hukum bisnis antara lain, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang pengecualian Waralaba, Undang-Undang Republik 16
Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 54.
13
Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, serta Peraturan Perundang-Undangan lain dibawah undang-undang. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memiliki hubungan dengan badan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang dapat menjadi sumber informasi mengenai kepailitan, seperti hasil seminar atau makalah-makalah dari pakar hukum, koran, majalah. c. Bahan hukum tersier, yaitu mencakup kamus bahasa untuk pembenahan tata bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu pengalih bahasa beberapa istilah asing serta sumber-sumber lain yakni, internet yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas. 3. Teknik pengumpulan data Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan melakukan penelitian kepustakaan atau yang lebih dikenal dengan studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, hasil seminar, dan sumber-sumber lain yang terkait dengan sumber masalah yang dibahas dalam skripsi ini. 4. Analisis data Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan, dianalisis dengan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan
14
kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga diperoleh jawaba atas permasalahan yang diajukan.
G. Sistematika Penulisan Pembahasan dan penyajian suatu penelitian haruslah melalui sistematika yang benar agar menghasilkan karya ilmiah yang baik. Oleh karena itu, penulis membagi tulisan ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Bab ini mengemukakan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
WARALABA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK SISTEM BISNIS DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA Bab ini menjelaskan tentang waralaba sebagai bentuk sistem bisnis dan pengaturan waralaba dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007.
BAB III
KEPAILITAN PEWARALABA MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004
TENTANG
KEPAILITAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
DAN
PENUNDAAN
15
Bab ini menjelaskan tentang syarat dan prosedur kepailitan serta akibat yang timbul ketika pewaralaba mengalami pailit ditinjau dari sisi perjanjian waralaba dan berakhirnya kepailitan. BAB IV
AKIBAT
KEPAILITAN
PEWARALABA
TERHADAP
PERJANJIAN WARALABA DALAM INDUSTRI MAKANAN Bab ini menjelaskan tentang karakteristik industri makanan pada umumnya, akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba serta bentuk perlindungan hukum bagi terwaralaba dalam menjaga kelangsungan usaha dalam bidang industri makanan BAB V
PENUTUP Bab ini dikemukakan kesimpulan dari bagian awal penulisan skripsi hingga pada bagian akhir dari penulisan skripsi yang merupakan substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis berikan dalam masalah yang dibahas.