KEBIJAKAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM DI INDONESIA (STUDI TENTANG PP RI NO. 55 TAHUN 2007)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh: Fadly Mart Gultom NIM. 1110011000039
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK Fadly Mart Gultom (NIM: 1110011000039). Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia (Studi tentang PP RI No. 55 Tahun 2007) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebijakan pengelolaan pendidikan keagamaan Islam dalam PP RI No. 55 Tahun 2007 dalam perspektif kebijakan publik. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kebijakan (policy research). Penelitian kebijakan terdiri dari, yaitu: penelitian untuk kebijakan, dan penelitian tentang kebijakan. Penelitian ini menggunakan yang penelitian tentang kebijakan (research of policy) yang memfokuskan pada penelitian rumusan kebijakan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi dan wawancara. Sumber dari dokumentasi tersebut terdiri dari dua, yaitu: sumber primer dan sumber sekunder. Pendekatan wawancara yang digunakan adalah pendekatan petunjuk umum wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis isi (content analysis). Teknik analisis isi dalam penelitian ini adalah dengan membandingkan isi/rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 mengenai pendidikan keagamaan Islam dengan teori kebijakan publik. Untuk melaksanakan teknik analisis isi tersebut, maka langkah-langkah yang digunakan adalah dengan menyeleksi sumber data yang relevan, menyusun itemitem yang spesifik, mengurai data atau menjelaskan data, sehingga berdasarkan data tersebut dapat ditarik pengertian-pengertian dan kesimpulan-kesimpulan. Hasil penelitian yang ditemukan tentang rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam perspektif kebijakan publik adalah: (1) Rumusannya ditinjau dari bentuk kebijakan publik adalah bentuk kebijakan formal, yaitu perundang-undangan, (2) Rumusannya ditinjau dari tingkatan kebijakan publik adalah kebijakan tingkatan messo, yaitu penjelas kebijakan tingkatan mikro (umum) dalam hal ini adalah UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (3) Rumusannya ditinjau dari tujuan kebijakan publik adalah lebih banyak bersifat regulatif, yaitu mengatur dan membatasi, dan bersifat memperkuat negara daripada memperkuat publik, (4) Rumusannya ditinjau dari ciri-ciri kebijakan publik yang ideal adalah berkualitas biasa saja, karena hanya memiliki dua ciri dari tiga ciri kebijakan publik yang ideal, yaitu cerdas dan memberikan harapan. Rumusannya jika ditinjau dari ciri bijaksana tidak memenuhi, karena rumusannya memiliki kekurangan yang dapat menimbulkan masalah baru.
iv
KATA PENGANTAR Segala puji dan rasa syukur peneliti ucapkan atas kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan nikmat rohani, nikmat jasmani, dan nikmat rezeki. Sehingga peneliti dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia (Studi tentang PP RI No. 55 Tahun 2007). Selawat dan salam juga peneliti ucapkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, suri tauladan umat yang telah membawa perubahan bagi peradaban manusia. Pada kesempatan ini juga peneliti ingin mengucapakan terima kasih kepada seluruh pihak yang berperan penting dalam penyelesaian studi peneliti di Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Mereka antara lain adalah sebagai berikut: 1. Dra. Nurlena Rifa’i, M. A, Ph. D, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Jakarta, atas asuhan dan kepemimpinannya selama peneliti menempuh studi di FITK hingga selesai. 2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag; dan Marhamah Saleh, Lc, M. A, sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, FITK, UIN Jakarta, atas bimbingannya dan kepemimpinannya selama peneliti menempuh perkuliahan di Jurusan Pendidikan Agama Islam. 3. Prof. Dr. H. Armai Arief, M. Ag, sebagai Dosen Penasihat Akademik yang telah memberikan bimbingannya selama peneliti menempuh perkuliahan di Jurusan Pendidikan Agama Islam. 4. Muhammad Zuhdi, M. Ed, Ph. D, sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktunya dalam membimbing dan memberikan ilmunya kepada peneliti dalam penulisan skripsi. 5. Prof. Dr. H. A. Syafi’ie Noor dan Dr. Sapiudin Shidiq, M. Ag, sebagai penguji skripsi dalam sidang ujian munaqasah yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 6. Prof. Dr. H. Husni Rahim, yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mewawancarainya.
v
7. Tanenji, M. A, sebagai Dosen Pembimbing PIQI yang telah meluangkan waktunya dalam membimbing PIQI peneliti hingga lulus; Drs. Rusydi Jamil, M. Ag, sebagai Dosen Pembimbing PPKT yang telah membimbing peneliti bagaimana menjadi guru hingga lulus ujian PPKT; Iwan Permana Suwarna, M. Pd, sebagai Dosen Praktikum Komputer yang telah membimbing dan memberikan ilmunya dalam kegiatan praktik komputer; dan para dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam, FITK, UIN Jakarta yang telah memberikan bimbingan dan ilmunya. 8. Orang Tua peneliti, Mamak dan Bapak yang telah mengasuh, membesarkan, mendidik, mendoakan, memberikan materiil dan moril, sehingga peneliti dapat menyelesaikan serangkaian pendidikan dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi sarjana strata satu. Semoga Allah SWT, selalu memberikan kesehatan dan umur yang panjang kepada Mamak dan Bapak. Walaupun dalam kata pengantar ini Mamak dan Bapak dalam urutan kedelapan, tetapi sebenarnya Mamak dan Bapak ada diurutan ketiga setelah Allah SWT, dan Rasulullah Muhammad SAW. Mak, Pak, Ku persembahkan skripsi ini untuk Mamak dan Bapak. 9. Kepada keluarga besar peneliti yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Terkhusus kepada Kak Roma, Bang Doli, Kak Sane, Bang Cen, Bang Rien, dan Adikku Fauzan yang telah memberikan dukungan moril maupun materiil kepada peneliti. Skripsi ini juga Ku persembahkan untuk kalian. 10. Kepada sahabat peneliti, Hendriansyah Belitungi, yang telah menjadi sahabat yang sudah peneliti anggap sebagai saudara- yang telah memberikan bantuan dan dukungan moril selama peneliti menempuh perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya, kepada seluruh teman seperjuangan Angkatan 2010 Kelas A Jurusan Pendidikan Agama Islam, FITK, UIN Jakarta, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu (semoga kita tetap menjalin silaturahmi walaupun sudah berpisah nantinya), dan kepada Fahmi Faishal Cileungsi yang telah membantu peneliti untuk bisa membaca kitab gundul (walaupun belum bisa seutuhnya), tetapi Alhamdulillah, dengan bantuannya peneliti dapat lulus ketika diuji baca kitab gundul saat ujian komprehensif keislaman.
vi
Semoga Allah SWT, menjadikan setiap bantuan materiil dan moril yang mereka berikan kepada peneliti dijadikan amal ibadah, dan diberikan balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Terakhir, semoga rahmat Allah SWT, selalu menyertai kita. Amin. Ciputat, 11 Nopember 2014 Peneliti,
Fadly Mart Gultom
vii
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH ....................................................... i LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ....................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH ....................... iii ABSTRAK ............................................................................................................ iv KATA PENGANTAR ............................................................................................v DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................................1 B. Identifikasi Masalah ............................................................................10 C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ...................................11 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.........................................................12 E. Metode Penelitian ................................................................................12 F. Hasil Penelitian yang Relevan.............................................................16
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PENDIDIKAN KEAGAMAAN A. Kebijakan Publik ................................................................................18 1. Definisi Kebijakan Publik ..............................................................18 2. Ciri-ciri Kebijakan Publik yang Ideal.............................................21 3. Bentuk-bentuk Kebijakan Publik ...................................................23 4. Tingkatan Kebijakan Publik ...........................................................27 5. Tujuan Kebijakan Publik ................................................................28 B. Hubungan Politik, Kebijakan Publik, dan Pendidikan ........................30 C. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia .......................31 1. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia pada Masa Kolonial Belanda ..................................................................32 2. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia pada Masa Kolonial Jepang ....................................................................34 3. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia pada Masa Pemerintahan Orde Lama .....................................................36
viii
4. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia pada Masa Pemerintahan Orde Baru ......................................................39 5. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia pada Masa Pemerintahan Orde Reformasi..............................................43
BAB III PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM DALAM PP RI NO. 55 TAHUN 2007 A. Sekilas Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia ............................48 B. Latar Belakang Diundangkan PP RI No. 55 Tahun 2007 ...................53 C. Penjelasan PP RI No. 55 Tahun 2007 mengenai Pendidikan Keagamaan Islam ................................................................................56 D. Implementasi PP RI No. 55 Tahun 2007 ............................................63
BAB IV PP RI NO. 55 TAHUN 2007 PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK A. PP RI No. 55 Tahun 2007 Ditinjau Berdasarkan Bentuk Kebijakan Publik ..................................................................................................66 B. PP RI No. 55 Tahun 2007 Ditinjau Berdasarkan Tingkatan Kebijakan Publik .................................................................................67 C. PP RI No. 55 Tahun 2007 Ditinjau Berdasarkan Tujuan Kebijakan Publik ..................................................................................................70 D. PP RI No. 55 Tahun 2007 Ditinjau Berdasarkan Ciri-ciri Kebijakan Publik yang Ideal .................................................................................74
BAB V PENUTUP A. Simpulan..............................................................................................88 B. Saran ....................................................................................................89
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................90 LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................................94
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan yang ditetapkan pemerintah tentang pendidikan Islam dapat dilihat dalam sejarah perundang-undangan sistem pendidikan nasional. Pada masa pemerintahan Indonesia yang sudah berlangsung dalam tiga masa, yaitu: orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Indonesia memiliki tiga undangundang yang mengatur sistem pendidikan nasional, yaitu: UU RI No. 4 Tahun 1950 Jo UU RI No. 12 Tahun 1954 pada masa orde lama; UU RI No. 2 Tahun 1989 pada masa orde baru, dan UU RI No. 20 Tahun 2003 pada masa orde reformasi. Menurut Haidar Putra Daulay, “Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional keberadaannya terbagi atas tiga hal. Pertama, pendidikan Islam sebagai lembaga. Kedua, pendidikan Islam sebagai mata pelajaran. Ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai.”1 Tiga hal tersebut di atas dalam sejarah sistem pendidikan nasional tidaklah secara langsung termaktub dalam undang-undang sistem pendidikan nasional. Tiga hal tersebut mengalami perkembangan dari masa ke masa yang tidak terlepas dari permasalahan. Butuh waktu lima puluh delapan tahun (1945-2003) agar tiga hal tersebut termaktub dalam undang-undang sistem pendidikan nasional. Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, barulah pada UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tiga hal tersebut secara utuh termaktub. Menurut Nusa Putra dan Hendarman, “Sejumlah kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pada kenyataannya sering mendapat kritikan dari berbagai lapisan masyarakat. Kritikan itu sangat beragam, ada yang menekankan aspek peraturan perundangan, proses implementasi dan dampak
1
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. I, h. 108.
1
2
kebijakan yang telah ditetapkan terhadap berbagai kelompok di dalam masyarakat, dan aspek-aspek lain.”2 Pendidikan Islam dalam UU RI No. 4 Tahun 1950 Jo UU RI No. 12 Tahun 1954 memiliki permasalahan dalam hal pendidikan Islam sebagai mata pelajaran. Permasalahannya adalah rumusan mengenai pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri yang tercatum dalam Bab XII Pasal 20 ayat (1) sebagaimana yang dikutip Abd. Halim Soebahar: “Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.”3 Berdasarkan ayat tersebut artinya pengajaran agama Islam di sekolah negeri hanyalah mata pelajaran yang tidak wajib padahal Indonesia adalah negara yang berketuhanan, sebagaimana pada sila pertama pancasila, ditambah lagi Indonesia sebagai bangsa yang penganut Islam terbesar di dunia. Kekhawatiran yang lebih besar adalah pengajaran agama di sekolah swasta tergantung masing-masing sekolah, karena undang-undang tersebut tidak menjelaskan pelaksanaan pengajaran agama di sekolah swasta. Sebagaimana pernyataan Abd. Halim Soebahar, “Bagi sekolah swasta yang dikelola organisasi Islam PAI cenderung diberikan, tetapi bagi yang dikelola non Muslim besar kemungkinan PAI ditiadakan.”4 Pada tahun 1951, Menteri PP dan K dengan Menteri Agama mengeluarkan peraturan bersama yang berisi tiap-tiap sekolah rendah dan lanjutan diberikan pendidikan agama. Selanjutnya, pada tahun 1966, pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib, sebagaimana TAP MPRS No. 27 tahun 1966 yang dikutip Muhaimin, “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran pokok dan wajib diikuti murid/mahasiswa sesuai dengan agama masing-masing”.5 Permasalahan berikutnya adalah mengenai keberadaan madrasah yang tidak jelas dalam sistem pendidikan nasional saat itu (sebelumnya lahirnya 2
Nusa Putra dan Hendarman, Metodologi Penelitian Kebijakan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. I, h. 93. 3 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), Cet. I, h. 128. 4 Ibid. 5 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (PSAPM), 2004), Cet. II, h. 87.
3
SKB tiga menteri tahun 1975). Saat itu lulusan madrasah belum diakui oleh pendidikan umum, sehingga lulusan madrasah tidak dapat pindah maupun melanjutkan ke pendidikan umum yang lebih tinggi. Keadaan yang demikian membuat madrasah dan lulusannya dipandang sepele oleh masyarakat. Pada tahun 1975, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran mengeluarkan kebijakan berbentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah yang menghasilkan kesepakatan bahwa madrasah menduduki posisi yang sama dengan sekolah umum. Lalu, permasalahan yang dihadapi pendidikan Islam dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah masalah pengakuan pendidikan
Islam
sebagai
lembaga.
Permasalahannya
adalah
secara
nomenklatur belum tertulis nama lembaga dari jenis pendidikan Islam, karena dalam UU Sisdiknas 1989 hanya menyebutkan bahwa dalam jenis pendidikan terdapat pendidikan keagamaan. Sehingga pendidikan keagamaan Islam yang bagaimana bentuknya, belum jelas dalam undang-undang tersebut. Status MI, MTs dan MA sama dengan sekolah umum dalam UU Sisdiknas 1989 tidak tertulis, padahal telah ditetapkan SKB 3 Menteri tahun 1975 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah. Status kesamaan tersebut baru terlihat dalam bentuk peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut dari pasal 12, 13, dan 15 UU Sisdiknas 1989, yaitu: PP RI No. 28 Tahun 1990, PP RI No. 29 Tahun 1990.6 Selain itu, madrasah diniyah dan pesantren belum diakomodir dalam undang-undang tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa pengakuan pendidikan Islam dalam kebijakan yang ditetapkan pemerintah secara kekuatan hukum masih belum maksimal, sehingga keberadaan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional masih belum kuat. Apalagi pendidikan Islam yang secara kurikulum lebih khusus kepada materi agama, seperti madrasah diniyah dan pesantren. Statusnya hanya sebatas peraturan menteri agama yang mana kekuatan hukumnya masih rendah jika dilihat dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. 6
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. I, h. 111.
4
Keadaan di atas menjadi sungguh ironi, karena pendidikan Islam di Indonesia yang telah memberikan konstribusinya dalam mencerdaskan bangsa, namun peraturan perundang-undangan yang mengatur pendidikan Islam sejak Indonesia merdeka hingga tahun 2003 belum mendapatkan pengakuan atau pada masa lalu itu legalitas yang mengatur pendidikan Islam lemah, terutama pengakuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren sebagai lembaga. Hal tersebut sebagaimana penjelasan Prof. Husni Rahim, sebagai berikut: Aspek hukum atau legalitasnya pendidikan yang di bawah Kemenag pada masa lalu itu lemah. Pendidikan keagamaan baru diakui pada UU RI No. 20 Tahun 2003. Pada UU RI No. 4 Tahun 1950 sebagai UU Sisdiknas pertama, pendidikan keagamaan atau madrasah belum menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, sehingga pendidikan keagamaan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah, maka pendanaannya tidak ada, bantuan pada gurunya juga tidak ada, kalaupun ada hanya sekadarnya. Kemudian, karena pendidikan keagamaan tidak tanggung jawab negara, tidak dapat bantuan dari negara, tidak dapat fasilitas apa pun maka lulusannya kalah bersaing. Lulusan yang kalah bersaing itu tidak dilirik atau dianggap orang sekadar pelengkap atau tidak utama.7 Kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam yang memiliki legalitas yang kuat sangat perlu ditetapkan oleh pemerintah, karena sebagaimana penjelasan Prof. Husni di atas bahwa lemahnya legalitas memberikan dampak yang tidak baik untuk lulusan pendidikan keagamaan Islam. Oleh karena itu, dengan memiliki legalitas yang kuat dapat diharapkan pemerintah bertanggung jawab sebagaimana tanggung jawabnya terhadap pendidikan umum. Adanya tanggung jawab pemerintah diharapkan pula pendidikan keagamaan Islam memperoleh anggaran penyelenggaraan pendidikan yang sesuai kebutuhan. Anggaran penyelenggaraan pendidikan yang sesuai kebutuhan diharapakan dapat membawa perubahan yang lebih baik. Lulusannya yang sebelumnya kalah bersaing dengan pendidikan umum, diharapkan dengan adanya anggaran lulusannya dapat bersaing dengan lulusan pendidikan umum dan mendapatkan pengakuan yang baik oleh masyarakat umum. Oleh sebab itu, sangat diperlukan kebijakan pemerintah yang mengatur 7
Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014.
5
status yang sama antara pendidikan keagamaan Islam sebagai lembaga dengan pendidikan umum dalam sistem pendidikan nasional. Empat belas tahun sejak UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lahirlah UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang yang baru ini telah mengatur pendidikan Islam sebagai mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga, dan pendidikan Islam sebagai nilai. Undang-undang tersebut sebelum pengesahan mendapatkan perdebatan yang sengit sebelum diakui dalam bentuk undang-undang, terutama berkaitan dengan istilah pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, pengakuan kesetaraan pendidikan diniyah dan pesantren dengan pendidikan formal dan sebagainya.8 UU Sisdiknas 2003 memang memberikan pengakuan yang lebih terhadap pendidikan Islam daripada undang-undang sebelumnya, karena dalam undangundang ini pendidikan Islam sebagai lembaga, mata pelajaran, dan nilai telah dicatumkan pada undang-undang tersebut. Menurut Abdul Karim Lubis, “Saat undang-undang ini disahkan, kontra datang dari kalangan non-muslim, karena mereka menganggap undang-undang ini hanya untuk kepentingan beragama bukan kepentingan kebangsaan.”9 Menurut Azyumardi Azra terjadinya perdebatan dalam penetapan kabijakan negara disebabkan, karena: Perbedaan orientasi dan cara pandang berkenaan posisi dan peran agama dalam kehidupan bernegara. Perbedaan pandangan tentang peran agama dalam kehidupan kenegaraan dalam konteks Indonesia bermula sejak masa prakemerdekaan. Perbedaan cara pandang itulah yang juga mewarnai perdebatan dalam melahirkan kebijakan negara tentang pendidikan, terutama berkaitan dengan pendidikan agama dan keagamaan (pendidikan Islam).10
8
Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 137. Abdul Karim Lubis, “Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan Islam di Era Reformasi: Studi UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003”, Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 5. 10 Azyumardi Azra, “Dinamika Pendidikan Islam Pascakemerdekaan”, dalam Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), h. vii. 9
6
Pada undang-undang yang baru ini, penyebutan nomenklatur MI, MTs, dan MA lebih jelas dan begitu juga dengan statusnya sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam telah setara dengan pendidikan umum. Tentu, hal ini membawa MI, MTs, dan MA dalam kebijakan pemerintah menduduki kedudukan kuat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, kedudukan pendidikan agama menduduki posisi pertama dalam kurikulum nasional yang sebelumnya pada UU Sisdiknas 1989 menduduki posisi kedua setelah pendidikan pancasila. Ada perkembangan yang diperoleh pendidikan Islam dalam undangundang yang baru tersebut, yaitu adanya penjelasan pendidikan keagamaan yang lebih jelas dibandingkan penjelasan pendidikan keagamaan pada UU Sisdiknas 1989. Pasal 30 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjelaskan sebagai berikut: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilainilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.11 Penjelasan pendidikan keagamaan dalam pasal dan ayat di atas lebih jelas dibandingkan dengan Undang-Undang Sisdiknas tahun 1989, sebagaimana tertulis dalam Pasal 11 ayat (6), “Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan”.12
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas merupakan undang-undang pertama sejak Indonesia merdeka yang menyebutkan secara khusus 11 12
Pasal 30 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 11 ayat (6) UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
7
pendidikan keagamaan dengan jelas, karena dalam undang-undang tersebut disebutkan apa saja jenis pendidikan keagamaan Islam, yaitu pendidikan diniyah dan pesantren. Berdasarkan pada Pasal 30 ayat (5) di atas, ketentuan lebih lanjut tentang pendidikan keagamaan diatur oleh peraturan pemerintah. Perintah ayat tersebut baru direalisasikan oleh pemerintah setelah empat tahun dari diundangkannya UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Peraturan Pemerintah itu adalah PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada 5 Oktober 2007.13 Peraturan Pemerintah tersebut menjadi penjelas untuk menjalankan UU Sisdiknas 2003 dalam penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam di tanah air. Peraturan Pemerintah tersebut selayaknya memberikan penjelasan yang lebih dibandingkan penjelasan dalam UU Sisdiknas 2003 tentang pendidikan keagamaan Islam. Walaupun demikian, masih ada saja permasalahan yang timbul, yang hingga saat ini masih dihadapi pendidikan keagamaan Islam di tanah air. Setelah PP tersebut diberlakukan, maka status kesetaraan pendidikan keagamaan dengan pendidikan umum semakin jelas. Kesetaraan ini ternyata juga menimbulkan dampak negatif, yaitu bisa menimbulkan pergeseran pandangan masyarakat tehadap pendidikan keagamaan Islam yang pada awalnya untuk memperoleh pengetahuan agama saja, lalu lebih bergeser menjadi untuk mencari pengakuan atau ijazah. Menurut Abd. Halim Soebahar, “Semula, mereka belajar semata-mata untuk tafaqquh fiddin, setelah kebijakan diimplementasikan berubah menjadi tafaqquh fiddin wad dun ya. Orientasi belajar peserta didik yang mendua tersebut, akan menyebabkan konsentrasi belajar peserta didik juga mendua, tidak fokus, jarang yang mendalam keduakeduanya, yang banyak terjadi justru kurang mendalam keduanya.”14 Ahmad Faris Wijdan menyimpulkan sebagaimana dikutip oleh Abd. Halim Soebahar, “Jika dikaji dari perspektif sistem pendidikan nasional, maka eksistensi kelembagaan madrasah diniyah, eksistensi kurikulum madrasah diniyah, eksistensi pendidik madrasah diniyah, maupun eksistensi penilaian 13 14
PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 190.
8
pendidikan di madrasah diniyah belum memenuhi standar sistem pendidikan nasional yang ditetapkan dalam PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.”15 Hasil penelitian di atas, dapat menjadi gambaran bagaimana kualitas pendidikan keagamaan Islam di Indonesia hingga saat ini. Menurut Prof. Husni Rahim kualitas pendidikan keagamaan Islam di Indonesia hingga saat ini belum mampu bersaing dengan pendidikan umum. Sedangkan, kualitas pendidikan itu menurut Prof. Husni Rahim adalah menjadi tolak ukur masyarakat menilai pendidikan, dan dengan kualitaslah pendidikan itu dapat bersaing. Jika kualitas pendidikan itu lemah, maka pendidikan itu tidak akan dilirik orang atau bahkan tidak dianggap. Oleh sebab itu, menurut Prof. Husni Rahim, kualitas menjadi permasalahan yang hingga saat ini masih dihadapi pendidikan keagamaan Islam di Indonesia.16 Menteri Agama Suryadharma Ali pada tanggal 21 Februari 2012 menetapkan PMA RI No. 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan kemudian diundangkan pada tanggal 23 Februari 2012 sebagai kebijakan yang lebih operasional tentang pendidikan keagamaan Islam dari PP RI No. 55 Tahun 2007, tetapi belum ditidaklanjuti dalam bentuk action/sosialisasi, pada tanggal 19 Juni 2012 Menteri Agama telah menetapkan PMA No. 9 Tahun 2012 tentang Pencabutan PMA No. 3 Tahun 2012.17 Apa alasan dari pencabutan PMA tersebut tidak jelas dan ini tentu sangat disayangkan. Kemudian, setelah dua tahun dari pencabutan PMA RI No. 3 Tahun 2012, Menteri Agama yang baru dilantik Presiden SBY, yaitu Lukman Hakim Saifuddin menetapkan PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam pada tanggal 18 Juni 2014 dan diundangkan pada tanggal itu juga.18 Dengan demikian, kebijakan yang lebih operasional dari PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan keagamaan Islam di Indonesia tidak ada selama tujuh tahun. Padahal, sebagaimana pernyataan Abd. Halim Soebahar,
15
Ibid., h. 86. Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014. 17 Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 94. 18 PMA RI No. 13 Tahun 2004 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. 16
9
“Dalam logika yudisial, sifat imperatif suatu produk hukum akan efektif jika diterjemahkan melalui rambu-rambu lain sebagai produk hukum pendukung yang sampai ke tangan praktisi pendidikan.”19 Kemudian, permasalahan yang masih dihadapi pendidikan keagamaan Islam adalah mengenai statusnya dalam sistem desentralisasi atau otonomi daerah. Menurut Abd. Halim Soebahar, “Kementerian Agama RI, sampai saat ini belum memiliki kejelasan status madrasah dalam konteks otonomi daerah.”20 Dalam segi-segi tertentu madrasah masih mendapatkan perlakuan diskriminatif. Azyumardi Azra menyatakan: Misalnya saja dari segi anggran, karena Kementerian Agama adalah instansi vertikal-yang tidak termasuk didesentralisasikan-pemerintah daerah dan DPRD (provinsi, kabupaten/kota) tidak dapat/tidak bersedia memberikan anggaran rutin kepada madrasah, termasuk tambahan insentif kepada guru madrasah. Padahal, madrasah adalah lembaga pendidikan di mana anak bangsa juga mendapatkan pendidikannya-sama dengan sekolah umum di bawah Kemendikbud. Perlakuan diskriminatif ini masih terus berlanjut tanpa ada usaha kongkret dari Kementerian Agama untuk menyelesaikannya.21 Ini artinya sistem desentralisasi yang telah diberlakukan sejak reformasi telah mengakibatkan status pendidikan Islam yang tidak jelas, termasuk pendidikan keagamaan Islam. Jika keadaan ini terus terjadi, maka kualitas pendidikan Islam akan semakin tertinggal dengan pendidikan umum. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka saya berkeinginan untuk melakukan
penelitian
yang berkaitan
dengan
kebijakan
pendidikan
keagamaan Islam di Indonesia, yaitu PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang merupakan sebagai acuan operasional UU RI No. 20 Tahun 2003 yang berkaitan tentang pendidikan keagamaan Islam, dengan judul: “KEBIJAKAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM DI INDONESIA (STUDI TENTANG PP RI NO. 55 TAHUN 2007)”.
19
Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 194. Ibid., h. 123. 21 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2012), Cet. I, h. 98. 20
10
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut: 1.
Kualitas Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia masih lemah jika ditinjau dari standar nasional pendidikan, sehingga belum mampu bersaing dengan pendidikan umum. Sebagaimana hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa eksistensi madrasah diniyah sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam dalam perspektif sistem pendidikan nasional belum memenuhi standar sistem pendidikan nasional yang ditetapkan dalam PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
2.
Sejumlah kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pada kenyataannya sering mendapat kritikan dari berbagai lapisan masyarakat.
3.
Selama empat tahun tidak ada kebijakan operasional dari UU RI No. 20 Tahun berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam dan selama tujuh tahun pula tidak ada kebijakan tentang pendidikan keagamaan Islam yang lebih operasional dari PP RI No. 55 Tahun 2007 berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam. Padahal, dalam logika yudisial, sifat imperatif suatu produk hukum akan efektif jika diterjemahkan melalui rambu-rambu lain sebagai produk hukum pendukung yang sampai ke tangan praktisi pendidikan.
4.
PP RI No. 55 Tahun 2007 memerlukan kebijakan yang lebih operasional sebagai pendukung pelaksanaan. Maka, ditetapkanlah PMA No. 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam sebagai penjelas PP RI No. 55 Tahun 2007. Tetapi, PMA tersebut dicabut oleh Menteri Agama Suryadharma Ali dengan menetapkan PMA No. 9 Tahun 2012 tentang Pencabutan PMA No. 3 Tahun 2012. Padahal, belum ada tindaklanjut dari PMA No. 3 Tahun 2012 berupa action/sosialisasi. Kemudian, dua tahun dari setelah pencabutan PMA No. 3 Tahun 2012, Menteri Agama yang baru dilantik Presiden SBY, yaitu Lukman Hakim Saifuddin menetapkan PMA No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam pada tanggal 18 Juni 2014.
11
5.
Lembaga Pendidikan Keagamaan Islam dalam segi-segi tertentu masih mendapatkan perlakuan diskriminatif di daerah, misalnya saja dari segi anggaran. Padahal, status pendidikan keagamaan Islam telah disamakan dengan pendidikan umum. Hal tersebut terjadi, karena pendidikan keagamaan Islam berada di bawah naungan Kementerian Agama, sedangkan Kementerian Agama adalah instansi vertikal-yang tidak termasuk didesentralisasikan-, sehingga pemerintah daerah dan DPRD (provinsi, kabupaten/kota) tidak dapat/tidak bersedia memberikan anggaran rutin kepada madrasah, termasuk tambahan insentif kepada guru madrasah.
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka ada beberapa pembatasan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: a) Permasalahan yang akan diteliti adalah mengenai rumusan kebijakan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia perspektif kebijakan publik. b) Perspektif kebijakan publik yang dimaksud adalah ditinjau berdasarkan bentuk kebijakan publik, tingkatan kebijakan publik, tujuan kebijakan publik, dan ciri-ciri kebijakan publik yang ideal. c) Kebijakan pendidikan keagamaan Islam yang akan diteliti adalah PP RI No. 55 Tahun 2007. d) Pendidikan Keagamaan Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagaimana yang dimaksud pada rumusan Pasal 14 ayat (1) PP RI No. 55 Tahun 2007, “Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.”
2. Perumusan Masalah Bagaimana kebijakan pengelolaan pendidikan keagamaan Islam dalam PP RI No. 55 Tahun 2007 dalam perspektif kebijakan publik?
12
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.
Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebijakan pengelolaan pendidikan keagamaan Islam dalam PP RI No. 55 Tahun 2007 dalam perspektif kebijakan publik.
2. Kegunaan penelitian a.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi untuk para pelaksana maupun pemerhati pendidikan Keagamaan Islam.
b.
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pembelajaran dalam menetapkan kebijakan pendidikan yang lebih baik lagi.
c.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi menambah khazanah keilmuan tentang pendidikan keagamaan Islam di Indonesia.
E. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kebijakan (policy research). Menurut Riant Nugroho, Penelitian kebijakan adalah penelitian dengan objek suatu kebijkan tertentu. Penelitian kebijakan dapat dikelompokkan menjadi, yaitu: Pertama, penelitian untuk kebijakan, dalam arti penelitian untuk merumuskan suatu kebijakan, baik sebagai suatu kebijakan baru ataupun kebijakan revisi. Kedua, penelitian tentang kebijakan, yaitu penelitian tentang suatu kebijakan tertentu dengan dimensi penelitian berkenaan dengan rumusan kebijakan, termasuk di dalamnya proses perumusan dan dinamika di dalamnya; implementasi kebijakan, termasuk dinamika di dalamnya, termasuk di dalamnya bagaimana kebijakan dikendalikan, baik dari sisi monitoring, evaluasi, maupun pengganjarannya; kinerja kebijakan, termasuk dinamika di dalamnya, dari sejak output atau keluaran, atau hasil yang dirasakan atau dinikmati organisasi publik, hingga outcome atau impak atau hasil yang dirasakan atau dinikmati oleh publik dan umpan balik kepada organisasi publik; dan lingkungan kebijakan, baik lingkungan kebijakan pada saat perumusan, implementasi, maupun pada waktu kebijakan berkinerja.22
22
Riant Nugroho, Metode Penelitian Kebijakan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), Cet. II, h. 49-50.
13
Pada penelitian ini, jenis penelitian kebijakan yang digunakan adalah penelitian tentang kebijakan, yaitu penggunaan pendekatan dan strategi penelitian dalam ranah kebijakan terkait dengan perumusan kebijakan, rumusan kebijakan, desiminasi kebijakan, implementasi kebijakan, kinerja kebijakan, lingkungan kebijakan, dan dampak kebijakan.23 Penelitian kebijakan sangat beragam. Menurut Nusa Putra dan Hendarman, “Keberagaman itu berakar pada kenyataan banyak pendekatan dan strategi penelitian yang digunakan untuk dan dalam penelitian kebijakan.”24 Memperhatikan banyaknya fokus masalah dalam penelitian tentang kebijakan, maka dalam penelitian ini hanya fokus pada penelitian tentang rumusan kebijakan. Penelitian tentang isi/rumusan kebijakan adalah penelitian untuk menilai suatu kebijakan dari sisi muatan atau isinya. Menurut Nusa Putra dan Hendarman, “Rumusan kebijakan bisa dikaji dengan analisis isi, baik yang bersifat kuantitatif, kulitatif, maupun komparatif, metaanalisis, dan studi banding yang bersifat historis antara rumusan kebijakan itu dengan kebijakan sejenis dalam rentang waktu tertentu.”25
2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, yaitu: a. Dokumentasi Teknik dokumentasi sebagai teknik pengumpulan data yang berbentuk tulisan. Menurut Sugiyono, “Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen
23
Nusa Putra dan Hendarman, Metodologi Penelitian Kebijakan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. I, h. 77. 24 Ibid., h. 81. 25 Ibid., h. 82.
14
yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan.”26 Dalam pengumpulannya langkah-langkah yang digunakan: 1) mengumpulkan data-data yang diperoleh dari sumber primer dan sekunder. 2) melakukan editing terhadap data yang telah dikumpulkan. 3) menyusun seluruh data yang diperoleh sesuai dengan urutan pembahasan yang telah direncanakan. b. Wawancara Lexy J. Moleong menyatakan, “Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviewee)
yang
memberikan
jawaban
atas
27
pertanyaan itu.” Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara. Lexy J. Moleong menjelaskan bahwa wawancara pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara adalah sebagai berikut: Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan. Demikian pula penggunaan dan pemilihan kata-kata untuk wawancara dalam hal tertentu tidak perlu dilakukan sebelumnya. Petunjuk wawancara hanyalah berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok-pokok yang dirancanakan dapat seluruhnya tercakup. Tidak ada perangkat pertanyaan baku yang disiapkan terlebih dahulu. Pelaksanaan wawancara dan pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden dalam konteks wawancara yang sebenarnya.28 Pada penelitian ini, peneliti akan mewawancarai narasumber yang memahami atau ahli dalam kebijakan pendidikan Islam di Indonesia, yaitu Prof. Dr. Husni Rahim yang merupakan Guru Besar 26
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: CV Alfabeta, 2011), Cet. XIII, h. 329. 27 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), Cet. XXI, h. 186. 28 Ibid., h. 187.
15
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan-UIN Jakarta, dan pernah menduduki posisi strategis di Kementerian Agama, di antaranya pernah menjabat Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama). Tugas utama yang diembannya ketika itu adalah menangani masalah kebijakan
dan
pengambilan
keputusan
bagi
pengembangan
pendidikan Islam.
3.
Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua sumber, yaitu: sumber primer dan sekunder. a.
Sumber primer Sumber primer merupakan bahan utama atau rujukan utama dalam mengadakan suatu penelitian untuk mengungkapkan data dan menganalisis penelitian tersebut. Adapun sumber primer yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2) PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. 3) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 4) PP RI No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 5) PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam.
b. Sumber sekunder Sumber sekunder adalah sumber pendukung yang secara tidak langsung berhubungan dengan sumber primer atau penelitian. Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahanbahan pustaka, seperti: buku-buku, koran, majalah, karya-karya ilmiah, artikel, internet, maupun wawancara dengan narasumber
16
yang memiliki hubungan dengan penelitian ini yang tujuannya adalah untuk memberikan informasi atau pengetahuan tambahan.
4.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis isi (content analysis). Menurut Amirul Hadi dan Haryono: Penelitian dengan metode analisis isi digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi komunikasi, yang disampaikan dalam bentuk lambang yang terdokumentasi atau dapat didokumentasikan. Metode ini dapat dipakai untuk menganalisis semua bentuk komunikasi, seperti pada surat kabar, buku, puisi, film, cerita rakyat, peraturan perundang-undangan, dan sebagainya.29 Teknik
analisis
isi
dalam
penelitian
ini
adalah
dengan
membandingkan isi/rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 mengenai pendidikan keagamaan Islam dengan teori kebijakan publik. Untuk melaksanakan teknik analisis isi tersebut, maka langkah-langkah yang digunakan adalah dengan menyeleksi sumber data yang relevan, menyusun item-item yang spesifik, mengurai data atau menjelaskan data, sehingga berdasarkan data tersebut dapat ditarik pengertian-pengertian dan kesimpulan-kesimpulan.
F. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian tentang kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam di Indonesia bukankah penelitian yang baru. Ada beberapa peneliti yang telah melakukan penelitian tentang hal tersebut, di antaranya: Fauzan, dalam tesisnya yang berjudul Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan dalam Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Penelitiannya mengkaji kebijakan-kebijakan pemerintah pada Orde Lama dan Orde Baru tentang persoalan kurikulum, sumber daya manusia, sarana prasarana, dan persoalan anggaran yang dilihat dari sisi historis dan manajemen yang terjadi 29
Amirul Hadi dan Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), Cet. I, h. 175.
17
pada masa itu. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui apakah kebijakan yang diterapkan pemerintah Orde Lama dan Orde Baru mampu menciptakan PTAIN yang lebih inklusif atau eksklusif. Hasil penelitiannya adalah ia menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Lama dan Orde Baru sangat berpengaruh terhadap proses penciptaan kondisi PTAIN yang lebih inklusif, terbuka, dan lebih memberi peluang kepada para lulusan perguruan tinggi ini.30 Kemudian, penelitian oleh Abdul Karim Lubis dalam tesisnya yang berjudul Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan Islam di Era Reformasi: Studi UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Penelitiannya bertujuan untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi pemerintah, apa tujuan pemerintah, dan
apa
implikasinya
pemerintah
mengakomodasi
lembaga-lembaga
pendidikan Islam dalam UU Sisdiknas tahun 2003. Ia membatasi pendidikan Islam sebagai lembaga yaitu madrasah, madrasah diniyah, dan pondok pesantren. Hasil penelitiannya adalah ia menemukan bahwa kebijakan politik pendidikan pemerintah era reformasi mengakomodasi lembaga-lembaga pendidikan Islam cenderung murni berasal dari keputusan politik pemerintah itu sendiri, tanpa ada lobi-lobi, intervensi dan desakan dari eksternal. Lalu, implikasinya adalah diposisikannya madrasah (sekolah umum berciri khas Islam) sebagai komponen utama dalam sistem pendidikan nasional dan diintegrasikannya pendidikan diniyah dan pondok pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional.31 Sedangkan penelitian ini fokus pada bagaimana rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 mengenai pendidikan keagamaan Islam perspektif kebijakan publik, karena belum ada sepengetahuan peneliti, penelitian yang secara khusus mengkaji PP RI No. 55 Tahun 2007 mengenai pendidikan keagamaan Islam perspektif kebijakan publik. Oleh karena itu, hal tersebut layak untuk diteliti. 30
Fauzan, “Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan dalam Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru”, Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, tidak dipublikasikan. 31 Abdul Karim Lubis, “Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan Islam di Era Reformasi: Studi UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003”, Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, tidak dipublikasikan.
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PENDIDIKAN KEAGAMAAN A. Kebijakan Publik Menurut Yoyon Bahtiar, “Kejalasan maknawiyah tentang kebijakan dapat ditelusuri dari literatur kebijakan tentang ketatanegaraan yang menganggap bahwa ilmu kebijakan sering dianggap lebih dekat kepada Administrasi Negara dibandingkan dengan Ilmu Politik.”1 Solochin menyatakan bahwa: Mendefinisikan atau merumuskan apa yang dimaksud dengan kebijakan publik itu ternyata bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Kemungkinan penyebab dari kesukaran ini, karena kebijakan publik itu sendiri -sebagai bidang kajian- seumpamanya hamparan lahan garapan, bukan hanya terdiri dari satu petak dan satu lapis dengan satu penggarap melainkan terdiri dari berlapis lahan-lahan garapan dari sekian banyak penggarap.2 1. Definisi Kebijakan Publik Banyak tokoh yang mencoba mendefinisikan apa itu kebijakan publik, di antaranya adalah sebagi berikut: Definisi yang sering dikutip dan hampir selalu dapat kita jumpai di setiap buku teks yang ditulis oleh para ahli adalah yang dikemukakan oleh Thomas R. Dye sebagaimana dikutip oleh Riant Nugroho, “Kebijakan publik ialah whatever governments choose to do or not to do (pilihan tindakan apa pun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah). Namun, meski cukup akurat, ia sebenarnya tidak cukup memadai untuk mendeskripsikan substansi atau esensi kebijakan publik yang sesungguhnya.”3
1
Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Cet. I, h. 31. 2 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), Cet. I, h. 11. 3 Solichin, op.cit., h. 14.
18
19
Eystone merumuskan dengan pendek sebagaimana dikutip oleh Riant Nugroho, “Kebijakan publik adalah antar hubungan yang berlangsung di antar unit/satuan pemerintahan dengan lingkungannya.”4 Menurut Wilson kebijakan publik sebagaimana dikutip oleh Riant Nugroho, “Tindakan-tindakan, tujuan-tujuan, dan pernyataan pemerintah mengenai masalah-masalah tertentu, langkah-langkah yang telah/sedang diambil (atau gagal diambil) untuk diimplementasikan, dan penjelasanpenjelasan yang diberikan oleh mereka mengenai apa yang telah terjadi (atau tidak terjadi).”5 Pakar yang berasal dari Inggris, W. I. Jenkins merumuskan kebijakan publik sebagaimana dikutip oleh Riant Nugroho, “Serangkaian keputusan yang yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekolompok aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kekuasaan dari para aktor tersebut.”6 Kemudian, Chief J. O. Udoji, seorang pakar dari Nigeria mendefinisikan kebijakan publik sebagaimana dikutip oleh Riant Nugroho, “Suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.”7 Lalu, pakar yang berasal dari Prancis, Lemieux merumuskan kebijakan publik sebagaimana dikutip oleh Riant Nugroho, “Produk aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan untuk memecahkan masalahmasalah publik yang terjadi di lingkungan tertentu yang dilakukan aktoraktor politik yang hubungannya terstruktur. Keseluruhan proses aktivitas itu berlangsung sepanjang waktu.”8
4
Ibid., h. 11. Ibid. 6 Ibid., h. 15. 7 Ibid. 8 Ibid. 5
20
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan kebijakan, sebagaimana yang dikutip Solichin, Kebijakan adalah pedoman untuk bertindak. Pedoman itu bisa saja amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu, atau suatu rencana.9 Yoyon
Bahtiar
merumuskan,
“Kebijakan
merupakan
segala
perbuatan yang dikehendakai pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan yang dirumuskan dalam suatu kebijakan, untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai melalui program-program pemerintah.”10 M. Solly Lubis mendefinisikan public policy (kebijakan publik), “Serangkaian
tindakan
yang
ditetapkan
dan
dilaksanakan
oleh
pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat.”11 Ia menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan public interest, public institutions, public management, public sevice, public servant, dan public bureaucracy. Istilah public menunjukkan sifat-sifat yang umum dan berarti bukan masalah-masalah pribadi (individu/privat).12 Kebijakan publik sebagai public interest karena kepentingan yang dilayani di sini adalah kepentingan-kepentingan publik, maka yang aktif dan bekerja dalam hal ini ada beberapa lembaga publik yang dinamakan public
institutions.
Oleh
karena
itu,
untuk
keberhasilan
dan
penyelenggaraan pelayanan kepentingan umum ini harus ada manajemen (pengelolaan) yang dijalankan lembaga-lembaga atau jabatan resmi, secara tersistem dan terarah. Manajemen yang dilakukan oleh jabatanjabatan resmi itu disebut public management. Manajemen itu bertujuan melakukan pelayanan (service) kepada masyarakat dalam pelayanan
9
Ibid., h. 9. Yoyon, op.cit., h. 34. 11 M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007), Cet. I, h. 9. 12 Ibid., h. 1. 10
21
terhadap masyarakat itu disebut public service. Para pejabat negara dan seluruh aparatur pemerintahan harus bersikap sebagai pelayan kepada masyarakat atau disebut public servant. Aparatur pemerintah yang melakukan pelayanan umum itu dikendalikan melalui biro-biro, di mana sering
dinamakan
kelompok
birokrat
dan
ini
disebut
public
bureaucracy.13 Riant Nugroho sebagai public policy specialist di tanah air menyatakan bahwa kebijakan publik, “Keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicitacitakan.”14 Riant Nugroho juga menyatakan: Kita bisa menemukan lebih dari selusin definisi dari kebijakan publik, dan tidak ada dari satu definisi tersebut yang keliru, semuanya benar dan saling melengkapi. Hanya satu hal yang perlu dicatat, beberapa ilmuwan sosial di Indonesia menggunakan istilah kebijaksanaan sebagai kata ganti dari policy. Perlu diketahui, kebijaksanaan bukanlah kebijakan, karena (ke)bijkasana(an) adalah salah satu dari ciri kebijakan publik yang unggul.”15 2. Ciri-ciri Kebijakan Publik yang Ideal Kebijakan publik itu pada hakikatnya merupakan sebuah aktivitas yang unik (a unique activity), dalam arti ia mempunyai ciri-ciri tertentu yang agaknya tidak dimiliki oleh kebijakan jenis lain. Ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan-kebijakan publik bersumber pada kenyataan
13
bahwa
kebijakan
itu
lazimnya
dipikirkan,
didesain,
Ibid. H. A. R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Cet. I, h. 184. 15 Riant Nugroho, Metode Penelitian Kebijakan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), Cet. II, h. 6. 14
22
dirumuskan, dan diputuskan oleh mereka yang memiliki otoritas dalam sistem politik.16 Kebijakan publik yang dapat memberikan keadilan, maka haruslah kebijakan publik yang ideal, yaitu yang unggul, mempunyai tiga ciri utama, yang sekaligus dijadikan kriteria, yaitu: a.
b.
c.
Cerdas. Cerdas, yaitu memecahkan masalah pada inti permasalahannya. Kebijakan yang harus cerdas (intelligent) yang secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu cara yang mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan masalahnya sehingga sebuah kebijakan harus disusun setelah meneliti data dan menyusunnya dengan cara-cara yang ilmiah. Kecerdasan membuat pengambil keputusan kebijakan publik fokus pada isu kebijakan yang hendak dikelola dalam kebijakan publik daripada popularitasnya sebagai pengambil keputusan kebijakan. Bijaksana. Bijaksana, yaitu tidak menghasilkan masalah baru yang lebih besar daripada masalah yang dipecahkan. Kebijaksanaan membuat pengambil keputusan kebijakan publik tidak menghindarkan diri dari kesalahan yang tidak perlu. Memberikan harapan. Memberikan harapan, yaitu memberikan harapan kepada seluruh warga bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik dari hari ini. Dengan memberikan harapan, maka kebijakan publik menjadi a seamless pipe of transfer of prosperity dalam suatu kehidupan bersama. Kebijakan publik tidak identik dengan hukum publik, karena hukum publik berkenaan dengan larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar oleh publik, agar kehidupan bersama berjalan dengan tertib, sementara kebijakan publik utamanya berkenaan dengan kepentingan publik, bukan semata-mata kepentingan negara. Karena itu, ukuran ketiga dari kebijakan ideal adalah memberikan harapan bagi publik, baik yang menjadi pemanfaat maupun konstituan secara luas.17
Jika tiga ciri utama kebijakan yang unggul di atas dibuat dalam bentuk tabel, maka dapat dijadikan alat ukur sederhana kualitas kebijakan publik sebagai berikut: 16
Solichin, op.cit., h. 17-18. Riant Nugroho, Public Policy, Edisi V, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), h. 744-745. 17
23
Tabel Alat Ukur Kualitas Kebijakan Kebijakan
Cerdas
Bijaksana
Harapan
Kualitas Kebijakan
Kebijakan A
Tidak
Tidak
Tidak
Amat Buruk
Kebijakan B
Ya
Tidak
Tidak
Buruk
Kebijakan C
Ya
Ya
Tidak
Biasa
Kebijakan D
Ya
Ya
Ya
Unggul
Sumber: Riant Nugroho dalam bukunya Public Policy.18 Riant Nugroho menjelaskan bahwa: Kalau tidak memenuhi semua kriteria, jelas sangat buruk, artinya tidak layak menjadi sebuah kebijakan, dan kalau perlu dihapus. Kalau hanya satu jenis, kebijakan itu pun masih buruk. Kalau dua kriteria, masuk kategori kebijakan biasa saja. Selanjutnya, kebijakan yang memenuhi tiga kriteria, adalah kebijakan yang baik dan nilai baik di sini adalah nilai unggul atau excelleence.19 3. Bentuk-bentuk Kebijakan Publik Kebijakan publik memiliki empat wujud, yaitu: a.
Kebijakan formal atau Peraturan formal Kebijakan
formal
adalah
“keputusan-keputusan
yang
dikodifikasikan secar tertulis dan disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku. Kebijakan publik diformalkan dalam bentuk legallegal tidak senantiasa identik dengan hukum.”20 Kebijakan publik tidak identik dengan hukum, karena kebijakan tidak selalu hukum. Jika hukum itu „menghukum‟ (to punish) dan membatasi (to limit); kebijakan itu mengarahkan (to direct) membimbing (to guide) dan mengelola (to govern). Kebijakan publik tidak mengesampingkan hukum, karena hukum adalah salah satu bentuk formal kebijakan publik.21 Kebijakan formal dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 18
Ibid., h. 747. Ibid. 20 Riant Nugroho, Public Policy, h. 137. 21 Ibid., h. 70. 19
24
1) Perundang-undangan. Perundang-undangan adalah kebijakan publik berkenaan dengan usaha-usaha pembangunan nasion, baik berkenaan dengan negara maupun masyarakat atau rakyat. Karena berkenaan dengan pembangunan, maka perundang-undangan lazimnya bersifat menggerakkan, maka wajarnya ia bersifat mendinamiskan, mengantisipasi, dan memberi ruang bagi inovasi.22 Untuk perudang-udangan, terdapat dua pemahaman: pola Anglo-Saxon, yang berupa keputusan legislatif dan keputusan eksekutif; dan pola Kontinental, yang biasanya terdiri dari pola makro, messo, dan mikro.23 UU RI No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 7, mengatur jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, sebagai berikut: (a) UUD Negara RI Tahun 1945 (b) TAP MPR (c) UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (d) Peraturan Pemerintah (e) Peraturan Presiden (f) Peraturan Daerah Provinsi (g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Model susunan jenis peraturan perundang-undangan di atas membuktikan
bahwa
Indonesia
masih
menganut
model
Kontinentalis yang diwariskan oleh Belanda saat masa penjajahannya
di
Indonesia.
Model
Kontinentalis
dikelompokkan kebijakan publik menjadi tiga, yaitu: (a) Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yang lazim diterima mencakup UUD, TAP MPR, UU/Perpu.
22 23
Ibid., h. 137. Riant Nugroho, Metode Penelitian Kebijakan, h. 9.
25
(b) Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau penjelas pelaksanaan yang lazim diterima mencakup PP dan Perpres. (c) Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di atasnya yang lazim diterima mencakup Perda-Perda.24 2) Hukum. Hukum atau law adalah: Aturan yang bersifat membatasi dan melarang. Tujuannya adalah untuk menciptakan ketertiban publik. Khasanah hukum biasanya mencakup pidana, perdata, tata negara, dan hukum khusus, termasuk di dalamnya hukum penindakan korupsi dan hukum militer. Hal ikhwal hukum wajarnya berkenaan dengan keputusan-keputusan hukum, yang terdiri dari: keputusan mediasi atau keputusan kesepakatan di antara pihak yang bersengketa; keputusan pengadilan atau keputusan yang ditetapkan oleh hakim melalui proses keadilan, dan; keputusan judisial atau keputusan oleh lembaga yang berada di atas lembaga pembuat keputusan pengadilan, misalnya Mahkamah Agung.25 3) Regulasi. Bentuk ketiga kebijakan formal adalah regulasi. Regulasi berkenaan dengan alokasi asset dan kekuasaan negara oleh Pemerintah -sebagai wakil lembaga negara- kepada pihak nonpemerintah, termasuk di dalamnya lembaga bisnis dan nirlaba. Regulasi yang bersifat umum adalah pemberian izin atau lisensi kepada suatu organisasi bisnis atau kemasyarakatan/nirlaba untuk
menyelenggarakan
misi
menjadi
bagian
untuk
membangun masyarakat.26 Namun demikian, ada kebijakan regulasi yang bersifat khusus, yaitu regulasi yang berkenaan dengan tiga isu: (a) Ada aset negara yang dikelola lembaga bisnis, (b) Berupa infrastruktur publik atau utilitas yang bersifat publik atau inklusif yang menghasilkan monopoli (termasuk duopoli atau oligopoli) maupun monopoli, 24
Ibid., h. 10. Riant Nugroho, Public Policy, h. 141. 26 Riant Nugroho, op.cit., h. 15. 25
26
b.
(c) Atau karena keberadaannya memerlukan adanya monopoli (termasuk duopoli atau oligopoli) yang bersifat alami.27 Kebiasaan umum lembaga publik yang telah diterima bersama (konvensi) Bentuk kedua dari kebijakan publik adalah konvensi atau kebiasaan atau kesepakatan umum. Kebijakan ini biasanya ditumbuhkan dari proses manajemen organisasi publik, contohnya upacara rutin, SOP-SOP tidak tertulis, atau tertulis tetapi tidak diformalkan. Ada konvensi yang ditumbuhkan dari aktor organisasi publik, misalnya Pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus. Selain itu, ada konvensi yang ditumbuhkan dari publik, contohnya selamatan 17 Agustus, selamatan atas kejadian yang berkenaan dengan kelembagaan publik.28
c.
Pernyataan pejabat publik dalam forum publik Bentuk ketiga adalah pernyataan pejabat publik di depan publik. Pernyataan pejabat publik harus dan selalu mewakili lembaga publik yang diwakili atau dipimpinnya. Dengan demikian, setiap pejabat publik harus bijaksana dalam mengemukakan pernyataan-pernyataan yang berkenaan dengan tugas dan kewenangan dari lembaga publik yang diwakilinya.29
d.
Perilaku pejabat publik Bentuk keempat adalah perilaku atau gesture atau gerik-mimikgaya dari pejabat publik. Kebijakan publik jenis ini merupakan bentuk kebijakan yang paling jarang diangkat sebagai isu kebijakan. Padahal, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia, pada praktiknya, perilaku pejabat publik akan ditiru rakyat.30
27
Ibid. Ibid., h. 18. 29 Ibid., h. 19. 30 Riant Nugroho, op.cit., h. 149. 28
27
4. Tingkatan Kebijakan Publik Tri Widodo Wahyu Utomo, S.H, menyebutkan bahwa kebijakan publik memiliki tingkatan-tingkatan, yaitu: a. Lingkup Nasional 1. Kebijakan Nasional Kebijakan negara yang bersifat fundamental dan strategis dalam pencapaian tujuan nasional. Wewenang dari MPR, dan Presiden bersama-sama dengan DPR. Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: UUD,TAP MPR, UU, PERPU. 2. Kebijakan Umum Kebijakan Presiden sebagai pelaksana UUD, TAP MPR, UU. Kebijakan ini guna mencapai tujuan nasional. Wewenang dari Presiden. Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: PP, KEPPRES, INPRES. 3. Kebijakan Pelaksanaan Penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu. Wewenang dari menteri / pejabat setingkat menteri dan pimpinan LPND (Lembaga Pemerintah Non Departemen). Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: Peraturan, Keputusan, Instruksi Pejabat tertentu.31 b. Lingkup Wilayah/Daerah 1. Kebijakan Umum Kebijakan Pemerintah Daerah sebagai pelaksanaan asas Desentralisasi dalam rangka mengatur urusan Rumah Tangga Daerah. Wewenang dari Kepala Daerah bersama DPRD. Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: PERDA. 2. Kebijakan Pelaksanaan Wewenang dari Kepala Daerah atau Kepala Wilayah. Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: Keputusan Kepala Daerah dan Instruksi Kepala Daerah, atau Keputusan Kepala Wilayah dan Instruksi Kepala Wilayah.32 Tingkatan kebijakan publik di atas, menurut Riant Nugroho merupakan model Kontinentalis yang merupakan warisan Belanda saat masa penjajahannya di Indonesia. Tingkatan peraturan perundangundangan tersebut masih dianut Indonesia hingga sekarang. Model Kontinental dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
31
Tri Widodo Wahyu Utomo, Pengantar Kebijakan Publik (Introduction to Public Policy), (Bandung: STIA LAN Bandung, 1999), h. 9. 32 Ibid., h. 10.
28
a. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yang lazim diterima mencakup UUD, TAP MPR, UU/Perpu. b. Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau penjelas pelaksanaan yang lazim diterima mencakup PP dan Perpres. c. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di atasnya yang lazim diterima mencakup Perda-Perda.33 Model Kontinentalis yang masih dianut Indonesia tersebut mengakibatkan kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah berbentuk top down. Artinya, sebuah kebijakan dapat full implemented setelah sekian banyak kebijakan pelaksanaannya siap, misalnya, UU Sisdiknas 2003. Kebijakan ini mengamanatkan perlunya dua undang-undang dan lebih kurang dua belas PP sebagai penerjemahan kebijakan di atas, di antaranya tentang standardisasi pendidikan, hak-hak anak didik, peran swasta dalam pendidikan, dan otonomi pendidikan.34
5. Tujuan Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah keputusan otoritas negara yang mempunyai tujuan untuk mengatur kehidupan bersama. Tujuan dari kebijakan publik dapat dibedakan dari sisi sumberdaya atau risorsis, yaitu antara kebijakan publik yang bertujuan men-distribusi sumberdaya negara dan yang bertujuan menyerap sumberdaya negara. Jadi, pemahaman pertama adalah absorbtif versus distributif.35 Kebijakan absorbtif adalah kebijakan yang menyerap sumberdaya, terutama sumberdaya ekonomi dalam masyarakat untuk dijadikan modal atau biaya untuk mencapai tujuan bersama. Termasuk di dalamnya adalah kebijakan perpajakan. Kebijakan distributif, yaitu kebijakan yang secara langsung atau tidak langsung alokasi sumberdaya-sumberdaya material maupun non material ke seluruh masyarakat. Kebijakan 33
Riant Nugroho, op.cit., h. 138. Ibid., h. 55. 35 Ibid.,, h. 153. 34
29
distributif murni, misalnya kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan dari daerah untuk menguasai dan mengelola sejumlah sumberdaya.36 Kedua dari tujuan kebijakan publik adalah regulatif versus deregulatif. Kebijakan regulatif bersifat mengatur dan membatasi, seperti kebijakan tarif, kebijakan pengadaan barang dan jasa, kebijakan HAM, kebijakan proteksi industri, dan sebagainya. Kebijakan deregulatif bersifat
membebaskan,
seperti
kebijakan
privatisasi
kebijakan
penghapusan tarif, dan kebijakan pencabutan daftar negatif investasi.37 Ketiga dari tujuan kebijakan publik adalah dinamisasi versus stabilisasi. Kebijakan dinamisasi adalah kebijakan yang bersifat menggerakkan sumberdaya nasion untuk mencapai kemajuan tertentu yang dikehendaki. Misalnya, kebijakan desentralisasi, kebijakan zona industri eksklusif, dan lain-lain. Kebijakan stabilisasi bersifat mengerem dinamika yang terlalu cepat agar tidak merusak sistem yang ada, baik sistem politik, keamanan, ekonomi, dan sosial.38 Keempat dari tujuan kebijakan publik adalah memperkuat negara versus memperkuat pasar. Kebijakan yang memperkuat negara adalah kebijakan-kebijakan yang mendorong lebih besar peran negara sementara kebijakan memperkuat pasar atau publik adalah kebijakan yang mendorong lebih besar peran publik atau mekanisme pasar daripada peran negara. Kebijakan memperkuat negara, misalnya kebijakan tentang pendidikan nasional yang menjadikan negara sebagai pelaku utama pendidikan nasional daripada publik. Kebijakan yang memperkuat pasar, misalnya kebijakan privatisasi BUMN, kebijakan perseroan terbatas, dan lain-lain.39
36
Ibid., h. 153-154. Ibid., h. 154. 38 Ibid. 39 Ibid., h. 154-155. 37
30
B. Hubungan Politik, Kebijakan Publik, dan Pendidikan Setiap sistem politik membuat kebijakan publik. Bahkan dapat dikatakan bahwa produk utama dari sistem dan proses politik adalah kebijakan publik.40 Politik berasal dari kata Yunani, yaitu Politea dan diperkenalkan pertama kali oleh Plato (347 SM) dengan makna hal ikhwal mengenai negara dan dikembangkan oleh muridnya Aristoteles (322 SM) yang memahami politik sebagai seni mengatur dan mengurus negara. Ini merupakan makna pertama tentang politik. Di sini politik kemudian dipahami sebagai kegiatan suatu sistem politik atau negara untuk mencapai tujuan bersama. Pemahaman ini menjadi pemahaman yang paling universal, termasuk di antaranya untuk memahami kebijakan-kebijakan tertentu sebagai upaya merealisasikan tujuan tersebut.41 Selanjutnya, pemahaman politik berkembang menjadi struggle for power. Pemahaman kedua ini banyak dipergunakan untuk memahami perilaku animalis dari para elit politik, dibandingkan pemahaman pertama yang melihat politik sebagai sebuah proses menuju tujuan yang telah ditetapkan bersama.42 Negara adalah sebuah entitas politik yang bersifat formal yang mempunyai minimal lima komponen utama. Pertama, komponen lembagalembaga negara. Kedua, komponen rakyat sebagai warga negara. Ketiga, wilayah yang diakui kedaulatannya. Keempat, komponen kebijakan publik.43 Setiap negara modern dipastikan mempunyai konstitusi, peraturan perundangan, keputusan kebijakan sebagai aturan main hidup bersama. Negara tanpa komponen kebijakan publik ini menjadi negara gagal, karena kehidupan bersama diatur oleh seseorang atau sekelompok orang saja, yang bekerja seperti tiran dengan tujuan memuaskan kepentingan diri dan/atau kelompoknya saja. Pada dimensi kebijakan publik inilah, kita memulai pemahaman tentang arti penting kebijakan publik pada konteks makro negara. 40
Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), Cet. I, h. 1. 41 Tilaar, op.cit., h. 260. 42 Ibid., h. 262. 43 Riant Nugroho, op.cit., h. 26-27.
31
Setiap negara, terutama pemerintahan, sebagai pemegang kekuasaan, berkehendak untuk dapat mengendalikan rakyat.44 Pendidikan merupakan di antara bagian dari politik dan kebijakan publik. Para pembuat kebijakan publik, yaitu pejabat publik merupakan bagian dari politik. Mereka merupakan hasil dari aktivitas politik. Maka, kebijakan publik dalam bidang pendidikan merupakan hasil dari kegiatan politik. Hubungan antara pendidikan dan politik juga dapat dilacak dalam sejarah Islam sejak masa pertumbuhan paling subur dalam lembaga pendidikan Islam, semacam madrasah. Sepanjang sejarah, terdapat hubungan amat erat antara pendidikan dan politik. Kenyataan ini, misalnya, dapat dilihat dari pendirian banyak madrasah di Timur Tengah yang disponsori penguasa politik. Contoh paling terkenal adalah Madrasah Nizamiyah di Baghdad yang didirikan sekitar 1064 oleh Wazir Dinasti Saljuk, Nizam al-Mulk; di madrasah ini terkenal bahwa pemikir dan ulama besar, al-Ghazali, pernah menjadi guru besar.45
C. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia Memperhatikan definisi kebijakan publik pada pembahasan sebelumnya, yakni keputusan negara atau pemerintah sebagai strategi untuk mencapai citacita negara. Cita-cita Indonesia sebagaimana dalam pembukaan UUD Negara RI 1945 di antaranya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian, memperhatikan definisi pendidikan keagamaan dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan keagamaan adalah berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama, maka dapat diartikan bahwa kebijakan pendidikan keagamaan Islam adalah keputusan negara atau pemerintah berkaitan untuk mempersiapkan 44
Ibid., h. 27-28. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Edisi I, (Jakarta: Kencana, 2012), Cet. I, h. 69. 45
32
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam. Kebijakan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia mengalami dinamika yang luar biasa mengalami tantangan. Dinamika dan perubahan itu dapat
dilihat
dalam
sejarah
Indonesia,
yaitu:
masa
penjajahan,
pascakemerdekaan yang terdiri dari: masa pemerintahan orde lama, masa pemerintahan orde baru, dan masa pemerintahan orde reformasi.
1. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam pada Masa Kolonial Belanda. Pada akhir abad ke-16 (1596) organisasi perusahaan dagang Belanda (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Maksudnya semula untuk berdagang, namun kemudian haluannya berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia.46 Ketika bangsa Belanda pertama kali menginjakkan kakinya di Nusantara yang dimulai dengan melakukan monopoli kegiatan perniagaan di bawah sebuah badan bernama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), tahun 1602-1799 lalu diikuti masa penjajahan pemerintahan kolonial Belanda mulai tahun 1799, tidak dapat disangkal, bahwa kegiatan dan misi keagamaan golongan Kristen telah jalan barsama, baik dilakukan oleh pejabat VOC atau pejabat pemerintahan kolonial, oleh Zendig (Kristen Protestan) dan Misionaris (Katolik).47 Pemerintahan kolonial Belanda pada masa penjajahannya dalam mengkristenkan penduduk pribumi terlihat dari kebijakan pemerintahan kolonial Belanda. Kegiatan Zendig dan Misionaris yang telah berjaya di masa VOC semakin leluasa menancapkan kukunya di beberapa kawasan Indonesia Timur. Juga di kawasan Barat.48
46
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), Cet. II, h. 192. 47 Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, (Jakarta: Yayasan Ngali & Penamadani, 2010), Cet. I, h. 49. 48 Ibid., h. 51.
33
Ketika mulai memikirkan, merencanakan, dan mencari model pendidikan bagi penduduk pribumi, pejabat dan pemerintah kolonial Belanda, lebih memilih sekolah-sekolah yang didirikan oleh Zendig dan Misionaris untuk diadopsi menjadi model pendidikan bagi penduduk pribumi. Mereka tidak menjadikan sistem pendidikan pesantren/diniyah dan madrasah sebagai model, karena mereka menilai sistem pendidikan pesantren/diniyah dan madrasah terlalu buruk. Di dalamnya hanya diajarkan agama, bahasa Arab, dan al-Qur‟an. Di pesantren dan madrasah tidak diperkenalkan huruf latin. Guru-gurunya pun tidak bisa membaca dan menulis huruf Latin. Padahal, sekolah-sekolah Zendig dan Misionaris, pendidikannya juga agama dan guru-gurunya juga tidak profesional di bidang pendidikan, melainkan pendeta dari tamatan lembaga pendidikan keagamaan Kristen.49 Berdasarkan hal tersebut, menurut Marwan Saridjo, “Terlihat bahwa alasan menolak untuk mengadopsi pesantren dan madrasah sebagai bentuk dan model pendidikan penduduk pribumi, di samping alasan teknis adalah alasan politik dan alasan keagamaan.”50 Pada tahun 1882 M, pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Pristerraden. Atas nasihat dari badan inilah maka pada tahun 1905 M, pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran harus minta izin lebih dahulu,51 kebijakan ini disebut Ordonansi Guru tahun 1905. Selanjutnya, pada perkembangan berikutnya Ordonansi Guru tahun 1905 itu akhirnya dicabut karena dianggap tidak relevan lagi.52 Maka, pada tahun 1925 M, pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam, yaitu tidak semua orang (Kyai) boleh
49
Ibid., h. 52. Ibid., h. 53. 51 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), Cet. VII, h. 149. 52 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. I, h. 35. 50
34
memberikan pelajaran mengaji, kebijakan ini disebut Ordonansi Guru tahun 1925. Pada tahun 1932 M, keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonante).53 Jika dikaitkan dengan setting sosial-politik pada masa pemerintahan kolonial Belanda, menurut Nurhayati Djamas: Dikeluarkannya ketentuan Ordonansi Guru tampak jelas dilatarbelakangi oleh kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam dan sepak terjang guru agama yang akan memperluas pengembangan agama Islam melalui pendidikan. Dengan perluasan itu, pemerintah Belanda juga mengkhawatirkan implikasinya, yaitu makin meluasnya “sentimen antipenjajahan” dan anti terhadap pemerintahan Belanda yang disuburkan dengan sentimen keagamaan.54 Berdasarkan penjelasan di atas, maka kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap pendidikan keagamaan Islam sangat tidak mendukung, bahkan berupaya untuk meruntuhkan pendidikan Islam, termasuk pendidikan keagamaan Islam
2. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam pada Masa Kolonial Jepang Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia Belanda dalam perang Dunia ke II. Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan membawa semboyan: Asia Timur Raya untuk Asia dan semboyan Asia Baru. Jepang di Indonesia juga mencari kepentingan untuk mencari kekuatan untuk menghadapi perang Pasifik, perang Asia Timur Raya. Kekuatan yang diharapkan itu adalah jumlah mayoritas umat Islam.
53 54
Zuhairini, loc.cit. Nurhayati Djamas, op.cit., h. 178.
35
Sehingga, untuk mendapatkan simpati dari umat Islam, Jepang mengeluarkan kebijakan yang kelihatannya mendukung umat Islam.55 Pemerintahan Kolonial Jepang mengizinkan untuk membuka sekolahsekolah yang pernah diasuh Belanda. Bahkan Jepang juga mengizinkan untuk membuka sekolah-sekolah yang diasuh badan-badan swasta, termasuk di antaranya sekolah-sekolah Islam.56 Kebijakan Jepang yang berkaitan dengan pendidikan Islam, di antaranya sebagai berikut: a) pondok pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang. b) pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan Bung Hatta.57 c) mendirikan organisasi guru Islam yang diberi nama Pergaboengan Goeroe Islam Indonesia.58 Walaupun Jepang memberikan kebijakan tersebut, tetapi umat Islam dipaksa untuk kepentingan perang mereka. Sehingga, dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-murid sekolah setiap hari hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (romusha), barnyanyi, dan lain sebagainya. Agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren yang bebas dari pengawasan langsung pemerintah Jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren masih dapat berjalan dengan agak wajar.59 Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Jepang saat itu tidak mengebiri pendidikan Islam, seperti yang dilakukan pemerintahan Belanda, karena Jepang saat itu disibukkan dengan persiapan perang mereka.
55
Haidar, op.cit., h. 37. Ibid. 57 Zuhairini, op.cit., h. 151. 58 Haidar, op.cit., h.38. 59 Zuhairini, op.cit., h. 152. 56
36
3. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam pada Masa Pemerintahan Orde Lama. Indonesia telah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam, bahkan berusaha untuk menjajah kembali.
Pada
bulan
Oktober
1945
para
ulama
di
Jawa
memproklamasikan perang jihad fisabilillah terhadap Belanda/sekutu.60 Kebijakan dan politik pendidikan setelah kemerdekaan tidak lagi mengandung nuansa pengawasan ketat yang mengebiri pendidikan Islam, seperti yang berlaku pada masa pemerintahan Belanda. Dalam kebijakan pendidikan pascakemerdekaan, ada upaya mengakui pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang berhak mendapatkan fasilitas dari pemerintah seperti pengadaan guru.61 Empat bulan setelah proklamasi, yaitu tepatnya tanggal 29 Desember 1945. BKNIP (Badan Komite Nasional Indonesia Pusat) mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) untuk selekas mungkin mengusahakan pembaruan pendidikan dan pengajaran dengan menggunakan pokok-pokok usaha pembaruan yang pada prinsipnya sama dengan rancangan yang lahir bersama dengan UUD 1945, yaitu pendidikan agama dan kebudayaan, pendidikan untuk rakyat, sekolah partikular swasta, kurikulum, susunan persekolahan, bahasa Indonesa. Salah satu di antara usulan BKNIP adalah tentang pengajaran agama. BKNIP mengusulkan pengajaran agama hendaklah mendapat tempat yang teratur seksama dan mendapat perhatian yang semestinya dengan
tidak
berkehendak
mengurangi mengikuti
kemerdekaan
kepercayaan
golongan-golongan
yang
dipeluknya.
yang
Dengan
terbentuknya Kementerian Agama, maka madrasah dan pesantren berada di bawah binaan Kementerian Agama, sedangkan pengajaran agama di sekolah-sekolah umum diatur dengan peraturan bersama Menteri P dan K
60 61
Ibid. Nurhayati Djamas, op.cit., h. 179.
37
dan Menteri Agama.62 BKNIP juga mengusulkan agar madrasah dan pesantren mendapat perhatian dan bantuan nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan dari pemerintah.63 Berdasarkan usulan BKNIP mengenai pendidikan, maka Menteri P dan K kedua, Mr. Suwandi membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran yang diketuai Ki Hajar Dewantara (mantan Menteri P dan K), dengan tugas, “(1) merencanakan rumusan persekolahan baru untuk semua tingkat dan jenis. (2) menetapkan bahan-bahan pengajaran dengan memperhatikan keperluan praktis dan tidak terlalu berat bagi muridmurid. (3) menyiapkan rencana pelajaran untuk tiap tingkat dan jenis sekolah yang diperinci tiap kelas.”64 Hasil kerja Panitia Penyelidik Pengajaran yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan keagamaan Islam adalah pesantren dan madrasah harus dipertinggi mutunya, dan tidak perlu bahasa Arab.65 Kemudian untuk melaksanakan usulan dari BKNIP dan Panitia Penyelidik Pengajaran, maka didirikanlah Kementerian Agama pada tanggal 3 Januari 194666 dengan Penetapan Pemerintah No. 1/SD tanggal 3 Januari 1946 untuk mengurus masalah pendidikan agama dan masalah urusan agama lain.67 Undang-undang
Sistem
Pendidikan
Nasional
pertama
yang
dikeluarkan pemerintah setelah kemerdekaan, yakni UU RI No. 4 Tahun 1950, belum secara spesifik memberikan ketentuan khusus dalam pengaturan terhadap lembaga pendidikan Islam. Meskipun demikian, undang-undang ini telah memberikan pengakuan terhadap kedudukan sekolah agama, yakni seperti yang tercatum dalam Pasal 10 ayat (2) undang-undang tersebut, bahwa “belajar di sekolah agama yang telah
62
Marwan Saridjo, op.cit., h. 70-71. Ibid., h. 74. 64 Ibid., h. 72. 65 Ibid., h. 74. 66 Abdul Rachman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 285. 67 Marwan Saridjo, op.cit., h. 76. 63
38
mendapatkan pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”. Sebelum ditetapkannya undang-undang tersebut, Menteri Agama telah mengeluarkan ketentuan yang memberikan pengakuan terhadap madrasah sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam, yakni Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 yang ditetapkan pada tanggal 19 Desember tahun 1946 tentang pemberian bantuan dan subsidi terhadap madrasah.68 Peraturan
Menteri
Agama
No.
1
Tahun
1946
kemudian
disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No. 7 Tahun 1952 yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Peraturan ini membagi madrasah menjadi tiga tingkatan, yaitu Madrasah Rendah yang kemudian menjadi Madrasah Ibtidaiyah dengan masa belajar 6 tahun; Madrasah Tingkat Lanjutan Pertama yang kemudian menjadi Madrsah Tsanawiyah dengan masa belajar selama 3 tahun dan diikuti oleh lulusan madrasah rendah; dan Madrasah Lanjutan Atas yang kemudian menjadi Madrasah Aliyah dengan lama belajar 3 tahun dan diikuti lulusan Madrasah Tsanawiyah.69 Peneliti berpendapat bahwa penyebutan nomenklatur lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan pesantren dalam peraturan perundang-undangan sangat penting. Karena, dengan penyebutan nomenklatur madrasah dan pesantren dalam peraturan perundangundangan akan menperjelas kedudukan madrasah dan pesantren. Jika hanya sekadar penyebutan “sekolah agama” hanya akan menimbulkan pemahaman yang berbeda, sehingga tujuan dari suatu keputusan itu tidak dapat berjalan semestinya. Penyebutan sekolah agama tersebut dapat dilihat pada pasal 2 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954, tidak menyebutkan kata madrasah atau pesantren melainkan sekolah agama, sebagaimana disebutkan: “Undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan 68 69
Nurhayati Djamas, loc.cit. Ibid., h. 180-181.
39
pengajaran di sekolah agama dan pendidikan masyarakat”. Lalu, pada ayat (2) disebutkan: “Pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama dan pendidikan masyarakat masing-masing ditetapkan dalam undang-undang lain”. Sayangnya, sampai undang-undang ini diganti, undang-undang organik itu tidak kunjung terlaksana. Selanjutnya, penyebutan sekolah agama juga terdapat pada pasal 10 ayat (2) disebutkan: “Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dan Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”.70 Kebijakan pemerintah untuk madrasah diniyah sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam adalah Peraturan Menteri Agama No. 13 Tahun 1964. Pada PMA tersebut, madrasah diniyah dibagi dalam tiga jenjang, yakni madrasah diniyah awwaliyah/ula (4 tahun); madrasah diniyah wustha (3 tahun); dan madrasah diniyah „ulya (3 tahun). Madrasah yang dibentuk tersebut hampir tidak memiliki efek terhadap kelanjutan studi dan pengembangan profesi lulusan, sehingga hanya sedikit peserta didik yang meminta ijazah formal dari institusi pendidikan ini.71 Karena, kebijakan tersebut hanya sekadar menjelaskan jenjang madrasah diniyah, bukan menjelaskan kedudukan madrasah diniyah dalam sistem pendidikan nasional.
4. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam pada Masa Pemerintahan Orde Baru. Lahirnya Orde Baru ditandai dengan lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Pemerintahan Orde Baru bertekad sepenuhnya untuk kembali kepada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni. Pemerintah dan rakyat akan membangun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, yakni membangun bidang rohani dan jasmani untuk kehidupan yang baik, di dunia dan
70
Abdul Rachman Saleh, op.cit., h. 285-286. Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), Cet. I, h. 74. 71
40
akhirat sekaligus (simultan). Oleh karena itu, Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan.72 Marwan Saridjo berpandapat bahwa: Pada masa ini ada ide untuk menyatukan pendidikan yang di bawah naungan kementerian pendidikan dengan pendidikan yang di bawah kementerian agama dalam satu atap. Karena, ada anggapan bahwa dua macam lembaga pendidikan persekolahan di bawah dua kementerian yang berlainan bidang statusnya, dapat mengakibatkan adanya dualisme Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.73 Pada tahun 1972, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan Presiden tersebut diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut. Keppres dan Inpres tersebut mendapatkan tantangan yang sangat keras dari kalangan Islam. Kedua keputusan itu dipandang sebagai langkah untuk mengebiri tugas dan peran Kementerian Agama dan bagian dari upaya sekularisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Melihat reaksi kalangan Islam yang menolak Keputusan Presiden tersebut akhirnya pada sidang kabinet terbatas yang dilaksanakan pada tanggal 26 Oktober 1974, berkaitan dengan hal tersebut Presiden Soeharto memberikan petunjuk sebagai berikut: a) karena tujuan pembangunan nasional adalah untuk mencapai kemajuan materiil dan spiritual yang seimbang, maka harus ada keseimbangan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. b) pembinaan pendidikan umum adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan pendidikan agama berada di bawah tanggung jawab Menteri Agama. c) untuk melaksanakan Keppres No. 34 Tahun 1972 dan Inpres No. 15 Tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu ada kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama.74 72
Zuhairini, op.cit., h. 155. Marwan Saridjo, op.cit., h. 107. 74 Nurhayati Djamasi op.cit., h. 183-184. 73
41
Tindak lanjut dari hasil sidang kabinet itu dibentuklah sebuah tim yang anggota-anggotanya wakil dari Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, dan lembagalembaga terkait untuk merumuskan konsep keputusan bersama yang kemudian dikenal dengan SKB 3 Menteri, yaitu Menteri Agama (Mukti Ali), Menteri Dalam Negeri (H. Amir Mahmud), dan Menteri Pendidikan dan Kebudyaan (H. Syarif Thayeb). Judul SKB itu adalah “Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah”.75 Berdasarkan SKB 3 Menteri Tahun 1975, Bab I Pasal I, menyebutkan: “Yang dimaksud dengan madrasah dalam Keputusan Bersama ini ialah: Lembaga Pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30%, di samping mata pelajaran umum”.76 Pengertian madrasah yang pada awalnya adalah lembaga pendidikan Islam yang memberikan pengajaran agama Islam 100%, setelah SKB tersebut berubah hanya memberikan pengajaran agama Islam 30%. SKB 3 Menteri tersebut menjadi pergeseran istilah madrasah menjadi sekolah umum berciri khas Islam. Lembaga jenis itu bukanlah menjadi lembaga pendidikan keagamaan Islam lagi. Karena, pendidkan keagamaan Islam adalah pendidikan yang memberikan pengajaran agama Islam lebih banyak daripada yang umum. Maka, madrasah yang murni memberikan pengajaran agama Islam disebut madrasah diniyah yang merupakan bagian dari pendidikan keagamaan Islam. Tetapi, pada saat itu statusnya hanya sebagai pendidikan non formal atau pelengkap saja. Terkait dengan pesantren, Menteri Agama Mukti Ali tahun 1974 telah mengeluarkan kebijakan mengenai pendidikan keterampilan di pondok pesantren. Kebijakan ini timbul atas kritik beliau terhadap pondok pesantren salafi yang sepenuhnya agama. Mukti Ali menilai hal 75 76
Marwan Saridjo, op.cit., h. 113. Haidar Putra Daulay, op.cit., h. 101.
42
tersebut terlalu mementingkan kepandaian otak (menghafal) dan penonjolan keutamaan akhlak (tasawuf), tetapi kurang memerhatikan keterampilan tangan sebagai bekal untuk hidup setelah terjun di masyarakat. Menurutnya secara ideal seorang santri harus mampu menyerasikan antara otak (head), akhlak (heart), dan keterampilan tangan (hand). 77 Kebijakan pemerintah tentang pesantren lainnya adalah PMA No. 3 Tahun 1979 yang mengenai pengklasifikasian pondok pesantren menjadi empat tipe, keempat tipe dalam peraturan tersebut bukan keharusan untuk dimiliki pondok pesantren, karena varian pondok pesantren memang sangat beragam.78 Kebijakan pemerintah tentang pesantren hanya terkait untuk menjelaskan jenis-jenis pesantren, bukan bagaimana status pesantren dalam sistem pendidikan nasional. Sama halnya juga dengan madrasah diniyah. Pada masa Orde Baru lahirlah UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut menjadi undang-undang kedua tentang sistem pendidikan nasional. Menurut Nurhayati Djamas, UU No. 2 Tahun 1989 tersebut merupakan perwujudan dari misi pemerintah dalam rangka mengatur tentang penyelenggaraan madrasah dan pendidikan agama diarahkan pada konvergensi dan pengintegrasian dualisme sistem pendidikan ke dalam satu sistem pendidikan nasional yang menjadi acuan penyelenggaraan seluruh jenis dan jenjang pendidikan.79 Penyebutan nomenklatur madrasah dan pesantren pada UU No. 2 Tahun 1989 tidak dijumpai, yang diatur adalah ketentuan tentang penyelenggaraan pendidikan keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan menengah pada pasal 15 ayat (2). Pada pasal 2 ayat (6) disebutkan: “Pendidikan Keagamaan merupakan pendidikan yang 77
Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 53. Ibid., h. 46-47. 79 Nurhayati Djamas, op.cit., h. 187. 78
43
mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan”. Bentuk dari pendidikan keagamaan yang semestinya diatur dengan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Keagamaan sebagai disebut dalam pasal 15 ayat (4) seperti halnya undang-undang organik dari UU No. 4 Tahun 1950 Jo No. 12 Tahun 1954, juga tidak terselesaikan.80 Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti berpendapat bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap pendidikan keagamaan Islam belum mampu membuat posisi pendidikan keagamaan Islam diakui dengan peraturan perundang-undangan yang jelas. Adapun kebijakan yang ditetapkan hanya sekadar bagaimana pelaksanaan madrasah dan pesantren. Sejak pemerintah Orde Baru berkuasa dari tahun 1966 hingga ditetapkannya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tidak ada kebijakan yang menjelaskan bagaimana posisi pendidikan keagamaan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 yang diharapkan mampu memposisikan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional ternyata belum juga mampu memposisikannya dalam sistem pendidikan nasional. Walaupun ada penyebutan pendidikan keagamaan sebagai pendidikan menengah, tetapi penjelasan yang disebutkan dalam undang-undang tersebut tidak menggambarkan pengakuan terhadap pendidikan keagamaan Islam, bahkan peraturan pemerintah untuk memperjelas pendidikan keagamaan pun tidak ada sampai lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
5. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam pada Masa Pemerintahan Orde Reformasi. Berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto tahun 1997, dan digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habiebie menjadi Presiden menandai lahirnya 80
Abdul Rachman Saleh, op.cit., h. 286.
44
era reformasi. Lahirnya era reformasi itu disambut dengan sikap euforia oleh komponen bangsa yang telah lama menginginkan perubahan, baik masyarakat
umum,
kalangan
birokrasi/eksekutif,
legislatif,
dan
yudikatif.81 Hasil pemilu tahun 1999 menghasilkan pemerintahan baru di bawah pimpinan Gus Dur alias K.H. Abdurrahman Wahid. Di antara gebrakan Gus Dur adalah melakukan perubahan nama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan Nasional. Hal itu dimaksudkan Gus Dur untuk menyatukan penyelenggaraan dan pembinaan pendidikan yang ada di Indonesia di bawah satu atap atau dalam satu tangan.82 Tetapi, gagasan Gus Dur tersebut tidak dapat direalisasikan. Sebelum masa pemerintahannya yang formal habis, ia telah dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden Indonesia. Maka, dengan lengsernya Gus Dur, ide untuk menyatukan pembinaan dan pengelolaan madrasah di bawah Kementerian Pendidikan Nasional masih tetap sebagai wacana saja.83 Masa pemerintahan Orde Reformasi ini lahirlah UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut merupakan undang-undang pertama yang telah mengakomodir pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Prof. Husni Rahim menyatakan bahwa dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 pendidikan Islam yang awalnya belum diakui sudah diakui, madrasah dan pendidikan keagamaan sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.84 RUU RI No. 20 Tahun 2003 untuk disahkan menjadi undang-undang tidak berjalan dengan mulus. Muncul perdebatan dikalangan anggota DPR. Perbedaan pola pikir dan kepentingan masing-masing golongan di DPR yang ingin diakomodasi dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, termasuk soal pendidikan agama (pendidikan keagamaan). 81
Marwan Saridjo, op.cit., h. 147. Ibid., h. 150. 83 Ibid., h. 154. 84 Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014. 82
45
Kelompok yang berpandang sekuler, termasuk golongan komunis, tidak setuju
pendidikan
agama
masuk
dalam
Undang-undang
Sistem
Pendidikan Nasional. Demikian juga kelompok (kaum) Nasrani. Menurut mereka, kalau memang pendidikan agama harus diselenggarakan di sekolah-sekolah, cukup ditetapkan dengan peraturan di bawah undangundang, misalnya dengan SKB atau Keputusan Presiden yang dalam strategi mereka, sewaktu-waktu, dapat dicabut tanpa melibatkan DPR.85 Substansi yang diperdebatkan di DPR adalah yang berkaitan dengan istilah-istilah
mencerminkan
pendidikan
Islam,
misalnya
istilah
“pendidikan agama”, istilah “pendidikan keagamaan”.86 Pro-kontra
tidak
bisa
dihindari
ketika
RUU
Sisdiknas
disosialisasikan, sehingga RUU yang semula akan disahkan sebagai kado Hardiknas (2 Mei 2003) tertunda. Penundaan semula 20 Mei 2003 tertunda lagi, direncanakan 10 Juni tertunda lagi, dan akhirnya baru disahkan 11 Juni 2003 tanpa kehadiran F-PDIP, selanjutnya diundangkan 8 Juli 2003, khususnya menyangkut pasal 12 (berkenaan dengan hak peserta didik memperoleh pendidikan agama dan diajarkan oleh yang seagama dengan peserta didik) yang dinilai sebagai poin yang paling tersorot tajam dari kalangan karena menyangkut keyakinan seseorang. Selanjutnya, pasal 37 secara berturut-turut dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, dan untuk pendidikan dasar dan menengah masih diwajibkan materi lainnya. Mereka yang kontra dengan pasal tersebut menilai pasal tersebut tidak memperhatikan pluralitas dan keberagaman.87 Terlepas dari perdebatan ketika akan disahkan RUU RI 20 Tahun 2003. Umat Islam patut bersyukur, karena dari sejak penjajahan hingga orde baru, pendidikan Islam kurang dapat perhatian penguasa dalam diakuinya dalam sistem pendidikan nasional, sedangkan dalam undang85
Marwan Saridjo, op.cit., h. 155. Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 137. 87 Ibid., h. 138-139. 86
46
undang yang baru ini pendidikan Islam sudah sah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Pendidikan Islam statusnya telah setara dengan pendidikan umum dalam sistem pendidikan nasional. Hal yang paling menggembirakan bagi umat Islam dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 adalah pengakuan madrasah diniyah dan pesantren. Pasal 15 menyebutkan bahwa pendidikan keagamaan adalah jenis pendidikan. Pasal 30 ayat (4) menyebutkan, “Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaya samanera, dan bentuk lain yang sejenis”. Pasal tersebut menyebutkan dengan jelas bahwa pendidikan diniyah dan pesantren adalah bentuk dari pendidikan keagamaan. Paradigma baru mengenai madrasah dan pendidikan keagamaan dalam ketentuan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas ini lebih banyak mengatur tentang kedudukan fungsi, jalur, jenjang, dan bentuk kelembagaannya.88 Mengenai pendidikan keagamaan dalam ketentuan perundangan Sisdiknas dinyatakan berfungsi untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilainilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama (Pasal 30 ayat 2). Ketika diundangkannya Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (kemudian diperbarui dengan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan), dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, di dalamnya banyak ketentuan yang mengakomodasi pengembangan pondok pesantren. Artinya, jika undangundang sebelumnya, yakni UU No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954 dan UU No. 2 Tahun 1989 tidak mengakomodasi sama sekali eksistensi pondok pesantren, maka dalam UU No. 12 Tahun 2003 dan 88
Abdul Rachman Shaleh, op.cit., h. 295.
47
peraturan pelaksanaannya, eksistensi pondok pesantren diakui sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam yang dapat menyelenggarakan pendidikan formal dan nonformal yang harus dikembangkan lebih lanjut.89 Meskipun payung hukum penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam umunya kian kuat, khususnya setelah diundangkannya UU No. 20 Tahun 2003, PP No. 55 Tahun 2007, dan UU No. 12 Tahun 2012. Ketika telah diundangkannya PP No. 55 Tahun 2007, maka Menteri Agama menetapkan PMA No. 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah, PMA No. 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, dan PMA No. 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementrian Agama. Namun demikian, ketika PMA No. 16 Tahun 2010 dan PMA No. 13 Tahun 2012 gencar disoalisasikan, tidak demikian halnya dengan kelanjutan PMA No. 3 Tahun 2012, karena belum sampai 4 bulan sejak PMA No. 3 Tahun 2012 ditetapkan, bahkan belum ditindaklanjuti dalam bentuk action/sosialisasi, pada tanggal 19 Juni 2012 Menteri Agama telah menetapkan PMA No. 9 Tahun 2012 tentang Pencabutan PMA No. 3 Tahun 2012.90 Tetapi, dua tahun dari setelah dicabutnya PMA No. 3 Tahun 2012, Menteri Agama menetapkan PMA No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. PMA tersebut sangat penting dalam menjalankan kebijakan tentang pendidikan keagamaan Islam sebagai penjelas dari kebijakan yang lebih tinggi.
89 90
Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 55. Ibid., h. 94.
BAB III PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM DALAM PP RI NO. 55 TAHUN 2007 A. Sekilas Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia Pendidikan keagamaan Islam merupakan bagian dari pendidikan Islam. Menurut Haidar Putra Daulay, “Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional keberadaannya terbagi atas tiga hal. Pertama, pendidikan Islam sebagai lembaga. Kedua, pendidikan Islam sebagai mata pelajaran. Ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai.”1 Pada pembahasan ini yang dijelaskan adalah mengenai pendidikan Islam sebagai lembaga. Karena, dalam hal ini lah pendidikan keagamaan Islam itu terlihat. Jika dilihat dari mata pelajaran, maka itu hanya sekadar mata pelajaran pendidikan agama Islam yang diajarkan pada tingkat dasar hingga perguruan tinggi dengan frekuensi pembelajaran satu kali seminggu, sehingga jika dilihat dari pengertian ini sangat tidak mungkin untuk menjadikan siswa atau mahasiswa menjadi ahli agamanya. Pendidikan
Islam
termasuk
masalah
sosial,
sehingga
dalam
kelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Lembaga disebut juga institusi atau pranata, sedangkan lembaga sosial adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.2 Jika mengacu pada Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan
Nasional
merupakan
acuan
normatif
dalam
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia termasuk pendidikan keagamaan Islam. Dalam undang-undang tersebut yang termasuk pendidikan keagamaan Islam adalah pendidikan diniyah dan pesantren, sebagaimana tertulis dalam 1
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. I, h. 108. 2 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), Cet. II, h. 127.
48
49
pasal 30 ayat (4): “Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis”. Maka, dalam pembahasan ini lembaga pendidikan keagamaan Islam di Indonesia yang dijelaskan adalah pondok pesantren dan pendidikan diniyah. 1.
Pondok Pesantren Pondok pesantren yang pertama kali dirintis oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M untuk menyebarkan Islam di Jawa. Hal ini berdasarkan hasil studi Ronald Alan Lukens Bull (1977), doktor yang menekuni studi pondok pesantren asal Amerika. Selanjutnya, dia menelusuri bahwa tokoh yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel).3 Raden Rahmat (Sunan Ampel) mendirikan pesantren di Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu: Wiryo Suroyo, Abu Hurairoh, dan Kiyai Bangkuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta, Surabaya, dan mendirikan pondok pesantren di sana. Akhirnya, beliau dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Misi keagamaan dan pendidikan Sunan Ampel mencapai sukses, sehingga beliau dikenal oleh masyarakat Majapahit. Kemudian bermunculan pesantren-pesantren baru yang didirikan oleh para santri dan putra beliau. Misalnya: pesantren Giri oleh Sunan Giri, pesantren Demak oleh Raden Patah, dan pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.4 Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan
di
Pesantren
meliputi
pendidikan
Islam,
dakwah,
pengembangan kemasyarakatan, dan pendidikan lainnya yang sejenis. Para peserta didik pada Pesantren disebut santri yang umumnya menetap, di lingkungan Pesantren disebut dengan istilah Pondok. Dari sinilah timbul istilah Pondok Pesantren.5 3
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), Cet. I, h. 33. 4 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), Cet. I, h. 70-71. 5 Ibid., h. 1.
50
Pondok pesantren memiliki unsur-unsur yang dapat dijadikan persyaratan lembaga tersebut disebut pondok pesantren. Menurut Dhofier sebagaimana dikutip oleh Daulay bahwa unsur-unsur pokok pesantren itu adalah pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kyai. Ada juga yang menyebutkan unsur-unsur pokok pesantren itu hanya tiga, yaitu kyai yang mendidik dan mengajar, santri yang belajar, dan masjid tempat mengaji. Namun, menurut Haidar Putra Daulay jika melihat kenyataan yang sesungguhnya bahwa unsur-unsur yang disebut Dhofier itulah lebih mengena unsur-unsur pokok dari suatu pesantren.6 Perkembangan
pondok
pesantren
sangat
variatif.
Dhofier
sebagaimana dikutip oleh Soebahar membagi pondok pesantren menjadi dua macam, yaitu: salafi dan khalafi. Abdullah Syukri Zarkasyi membagi varian pondok pesantren menjadi tiga, yaitu: pondok pesantren tradisional, pondok pesantren modern, dan pondok pesantren perpaduan antara tradisional dan modern. Sedangkan Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1979 mengklasifikasikan pondok pesantren menjadi empat tipe. Namun, keempat tipe dalam peraturan tersebut bukan keharusan untuk dimiliki pondok pesantren, karena varian pondok pesantren memang sangat beragam. Dalam PMA tersebut pondok pesantren dipetakan sebagai berikut: 1) Pondok pesantren tipe A, yaitu di mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan dan sorogan). 2) Pondok pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu, santri tinggal di asrama di lingkungan pondok pesantren. 3) Pondok pesantren tipe C, yaitu pondok pesantren hanya merupakan asrama, sedangkan para santrinya balajar di luar (madrasah atau sekolah umum) kyai hanya mengawasi dan sebagai pembina para santri tersebut. 4) Pondok pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah dan madrasah.7
6
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. I, h. 62. 7 Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 46-47.
51
Pondok pesantren dalam sejarah Republik Indonesia, mencatat sejarahnya yang gemilang. Dalam lapangan pendidikan ia ikut menjadi pelopor dalam mencerdaskan bangsa. Menurut H. Alamsjah Ratu Perwiranegara (Menteri Agama RI Kabinet Pembangunan III) bahwa pendidikan pondok yang menggunakan sistem asrama merupakan sistem yang paling baik dalam pendidikan. Karena, dalam waktu dua puluh empat jam anak didik diasuh oleh para kyai dan pengasuh. Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa, menyatakan bahwa sistem pondok dan asrama itulah sistem nasional. Dengan demikian arti pondok tidak dapat diabaikan dalam memberikan corak pada pendidikan nasional.8 Tetapi, pernyataan kedua tokoh itu, tidak menjadikan pondok pesantren diakui dalam undang-undang sistem pendidikan nasional saat itu.
2.
Pendidikan Diniyah/Madrasah Diniyah Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren, pendidikan Islam di Indonesia juga mengenal madrasah diniyah. Madrasah Diniyah adalah jenis pendidikan keagamaan yang memberikan pendidikan khusus ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Sebagaimana sejarah berdirinya pondok pesantren, madrasah diniyah juga berkembang dari bentuknya yang sederhana, yaitu pengajian di masjid-masjid, langgar, dan surau. Berawal dari bentuknya yang sederhana ini berkembang menjadi pondok pesantren. Persinggungannya dengan sistem madrasi, model pendidikan Islam mengenal pola pendidikan madrasah. Madrasah ini pada mulanya hanya mengajarkan ilmi-ilmu agama dan bahasa Arab. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagian di madrasah diberikan mata pelajaran umum, dan sebagian lainnya tetap mengkhususkan diri hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab inilah yang dikenal dengan madrasah diniyah.9
8
Alamsjah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Pendidikan Agama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1982), h. 71. 9 Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah: Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), h. 21-22.
52
Madrasah merupakan institusi pendidikan yang tumbuh dan berkembang oleh dan dari masyarakat. Jumlah madrasah sebagian terbesar berstatus swasta yang kebanyakan mengandalkan sumber pembiayaan pendidikan dari masyarakat.10Madrasah diniyah yang dikenal saat ini merupakan evolusi dari sistem belajar yang dilaksanakan di pondok pesantren salafiyah. Dalam sejarahnya, madrasah lahir dari rahim pondok pesantren, dengan ciri khasnya yang berbasis pengetahuan agama.11 Madrasah yang pertama didirikan di Indonesia adalah sekolah Adabiah.12 Madrasah ini didirikan oleh Syaikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 di Padang. Tetapi sangat disayangkan, usia madrasah ini tidak lama, pada tahun 1915 madrasah ini diubah menjadi HIS Adabiah.13 Empat tahun sebelum Sekolah Adabiah didirikan, yaitu tahun 1905, sebenarnya di Surakarta telah didirikan Madrasah Manba‟ul Ulum oleh Raden Hadipati Sasro Diningrat dan Raden Penghulu Tafsirul Anom, tetapi karena masih mengikuti sistem pendidikan pondokpesantren (tanpa kelas), madrasah tersebut tidak dikategorikan sebagai madrasah yang pertama didirikan di Indonesia. Mahmud Yunus sebagaimana dikutip oleh Soebahar bahwa baru pada tahun 1916, diterapkan sistem kelas pada madrasah tersebut, yaitu kelas I s.d kelas XI.14 Adapaun pondok pesantren (surau) yang pertama kali membuka madrasah formal ialah Thawalib di Padang Panjang pada tahun 1921 M di bawah pimpinan Syaikh Abd. Karim Amrullah, ayah Buya Hamka.15 Madrasah diniyah dimaksudkan sebagai institusi yang awalnya disediakan bagi peserta didik yang pada waktu pagi belajar di sekolah umum, dan pada sore hari ingin mendapatkan pelajaran agama. Madrasah jenis ini terbagi dalam tiga jenjang, yakni: madrasah diniyah awwaliyah/ula (4 tahun); madrasah diniyah wustha (3 tahun); dan 10
Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan Indonesia, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu), h. 1. 11 Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 71. 12 Ibid., h. 74. 13 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), Cet. VII, h. 193. 14 Abd. Halim Soebahar, loc.cit. 15 Zuhairini, loc.cit.
53
madrasah diniyah „ulya (3 tahun). Madrasah yang dibentuk dengan Keputusan Menteri Agama No. 13 Tahun 1964 ini hampir tidak memiliki efek terhadap kelanjutan studi dan pengembangan profesi lulusan, sehingga hanya sedikit peserta didik yang meminta ijazah formal dari institusi pendidikan ini.16
B. Latar Belakang Diundangkan PP RI No. 55 Tahun 2007 PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan telah ditetapkan Presiden RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 5 Oktober 2007 dan kemudian diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalatta, pada tanggal 5 Oktober 2007.17 Diundangkannya PP RI No. 55 Tahun 2007 adalah sebagai amanat dari UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagaimana yang tersebut pada klausul menimbang PP RI No. 55 Tahun 2007, “Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.” Lembaran Penjelas Atas PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan menjelaskan, “Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal sesuai karakteristik agama masing-masing.”18 Pasal 12 UU RI No. 20 Tahun 2003 adalah berkaitan tentang hak dan kewajiban peserta didik. Pada Pasal 12 ayat (1) huruf (a), disebutkan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan
16
Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 74-75. Lembaran Isi PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada halaman terakhir. 18 Lembaran Penjelas Atas PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada Bagian I. Umum, Paragraf ke-6. 17
54
agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu: Pertama, untuk menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama; kedua, dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama; ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.19 Kemudian, untuk ketentuan lebih lanjut mengenai hal tersebut, maka sesuai dengan amanat Pasal 12 ayat (4), disebutkan: “Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.” Pasal 30 UU RI No. 20 Tahun 2003 adalah berkaitan dengan pendidikan keagamaan. Pada pasal tersebut disebutkan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilainilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 37 UU RI No. 20 Tahun 2003 adalah berkaitan dengan kurikulum. Pada ayat (1) berkaitan dengan pendidikan agama sebagai kurikulum wajib pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sedangkan, pada ayat (2) berkaitan dengan pendidikan agama sebagai kurikulum wajib pada jenjang pendidikan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut “Pendidikan Agama”. Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar agama dapat 19
Lembaran Penjelas Atas PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada Bagian I. Umum, Paragraf ke-3.
55
dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran /kuliah agama. Pendidikan Agama dengan demikian sekurang-kurangnya perlu berbentuk mata
pelajaran/mata
kuliah
Pendidikan
Agama
untuk
menghindari
kemungkinan peniadaan pendidikan agama di suatu satuan pendidikan dengan alasan telah dibelajarkan secara terintegrasi. Ketentuan tersebut terutama
pada
penyelenggaraan
pendidikan
formal
dan
pendidikan
kesetaraan.20 Dan untuk ketentuan lebih lanjut mengenai kurikulum (termasuk dengan kurikulum pendidikan keagamaan), maka perlu peraturan pemerintah. Pasal 37 ayat (3), disebutkan: “Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.” Berdasarkan ketiga pasal di atas lah, maka perlu diundangkan PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Karena, dalam logika yudisial, sifat imperatif suatu produk hukum akan efektif jika diterjemahkan melalui rambu-rambu lain sebagai produk hukum pendukung yang sampai ke tangan praktisi pendidikan.21 Selain itu, dalam teori kebijakan publik suatu Undang-Undang sebagai kebijakan nasional, yaitu kebijakan negara yang bersifat fundamental dan strategis dalam pencapaian tujuan nasional. Maka, perlu Peraturan Pemerintah sebagai kebijakan umum untuk kebijakan pelaksana yang ditetapkan oleh Presiden.22 Hal tersebut juga dipertegas dalam dalam UUD 1945, bahwa “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.”23 Juga dipertegas lagi pada Pasal 1 ayat (5) UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa: “Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.” Dan pada Pasal 12, disebutkan: “Materi muatan Peraturan
20
Lembaran Penjelas Atas PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada Bagian I. Umum, Paragraf ke-2. 21 Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 194. 22 Tri Widodo Wahyu Utomo, Pengantar Kebijakan Publik (Introduction to Public Policy), (Bandung: STIA LAN Bandung, 1999), h. 9. 23 BAB III Kekuasaan Pemerintahan Negara, Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.
56
Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.”
C. Penjelasan PP RI No. 55 Tahun 2007 mengenai Pendidikan Keagamaan Islam Penjelasan PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan terkait dengan Pendidikan Keagamaan Islam termaktub pada Pasal 14 s.d Pasal 26. Pada Pasal 14 ayat (1), disebutkan: “Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.” Artinya, pendidikan keagamaan Islam di Indonesia ada dua bentuk, yaitu: Pendidikan Diniyah dan Pesantren. Melihat jumlah pasal terkait dengan pendidikan keagamaan Islam dari Pasal 14 s.d Pasal 26, terdapat sepuluh pasal yang menjelaskan pendidikan diniyah, yaitu dari Pasal 15 s.d Pasal 25, dan hanya satu pasal yang menjelaskan pesantren, yaitu pasal 26. Satu pasal, yaitu Pasal 14 merupakan penjelasan umum tentang pendidikan keagamaan Islam. Pada Pasal 14 yang terdiri dari tiga ayat, disebutkan: (1) Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren. (2) Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. (3) Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal. 1. Pendidikan Diniyah Ada sepuluh pasal pada PP RI No. 20 Tahun 2007 yang menjelaskan pendidikan diniyah, yaitu Pasal 15 s.d Pasal 25. Sebelumnya pada Pasal 14 ayat (2) menjelaskan bahwa pendidikan diniyah dapat diselenggarakan pada tiga jalur, yaitu formal, nonformal, dan informal. Sepuluh pasal tersebut menjelaskan hal-hal sebagai berikut: a) Jalur Formal (Pasal 15 s.d Pasal 20) Pasal 15 menjelaskan apa itu Pendidikan Diniyah Formal. Pendidikan diniyah formal adalah pendidikan yang mengajarkan ilmuilmu yang bersumber dari ajaran Islam. Pendidikan diniyah formal
57
terdiri dari empat jenjang, yaitu pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pasal untuk menjelaskan pendidikan anak usia dini tidak ada dalam PP RI No. 55 Tahun 2007. Sedangkan jenjang lainnya ada pasalnya. (1) Pendidikan Diniyah Dasar Pasal 16 ayat (1) menjelaskan bahwa pendidikan diniyah dasar terdiri dari dua, yaitu pendidikan diniyah dasar sederajat dengan SD/MI, dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat SMP/MTs. Pendidikan diniyah dasar terdiri dari enam tingkat, dan pendidikan diniyah menengah pertama terdiri dari tiga tingkat. Terkait dengan penamaan satuan pendidikan diniyah dasar diserahkan atau hak penyelenggara pendidikan bersangkutan, ketentuan ini termaktub pada Pasal 16 ayat (3). Pasal 17 ayat (1) menjelaskan syarat untuk mengikuti pendidikan diniyah dasar, yaitu usia peserta didik sekurangkurangnya harus berusia tujuh tahun. Tetapi, jikalau daya tampung satuan pendidikan masih ada, maka peserta didik yang berusia enam tahun dapat diterima, hal ini disebutkan pada Pasal 17 ayat (2). Sedangkan syarat peserta didik untuk dapat diterima pada jenjang pendidikan diniyah menengah pertama harus memiliki ijazah pendidikan diniyah dasar, ketentuan ini termaktub pada Pasa 17 ayat (3). Berkaitan dengan kurikulum pendidikan diniyah dasar dijelaskan pada Pasal 18 ayat (1). Kurikulum pendidikan diniyah dasar selain ilmu-ilmu agama, wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Kurikulum wajib tersebut adalah rangka menyelenggarakan program wajib belajar.
58
(2) Pendidikan Diniyah Menengah Pasal 16 ayat (2) menjelaskan bahwa pendidikan diniyah menengah adalah pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri dari tiga tingkat. Terkait untuk penamaan sama halnya dengan ketentuan untuk pendidikan diniyah dasar, yaitu diserahkan atau hak penyelenggara pendidikan bersangkutan. Mengenai persyaratan untuk dapat diterima sebagai peserta didik pada jenjang ini, peserta didik harus memiliki ijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sesderajat, ketentuan ini termaktub pada Pasal 17 ayat (4). Berkaitan dengan kurikulum pendidikan diniyah menengah atas dijelaskan pada Pasal 18 ayat (2). Kurikulum pendidikan diniyah menengah atas selain ada muatan ilmu-ilmu agama, juga wajib
ada
muatan
pendidikan
kewarganegaraan,
bahasa
Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan seni budaya. (3) Pendidikan Diniyah pada jenjang pendidikan tinggi Berkaitan dengan jenjang ini dijelaskan pada Pasal 20 ayat (1) s.d ayat (4). Pada ayat (1) dijelaskan bahwa pendidikan jenjang ini dapat menyelenggarakan akademik, vokasi, dan profesi berbentuk universitas, institut, atau sekolah tinggi. Terkait dengan penamaan tidak ada penjelasan. Kurikulum setiap program studi selain ilmu-ilmu agama, wajib ada memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia. Mata kuliah dalam kurikulumnya memiliki beban belajar dalam bentuk satuan kredit semester (sks). Dalam penyelenggaraannya pendidikan jenjang ini harus berdasarkan standar nasional pendidikan.
Pada pasal 19 ayat (1) mengatur mengenai Ujian Nasional untuk tingkat pendidikan diniyah dasar dan menengah dalam rangka untuk menentukan standar pecapaian kompetensi peserta didik atas ilmuilmu yang bersumber dari ajaran Islam. Kemudian, mengenai
59
ketentuan lebih lanjut dari Ujian Nasional pendidikan diniyah dasar dan pendidikan diniyah menengah, serta ketentuan lebih lanjut tentang standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam, diatur dalam Peraturan Menteri Agama. b) Jalur Nonformal (Pasal 21 s.d Pasal 25) Pasal 21 ayat (1) s.d ayat (3) menjelaskan ketentuan umum pendidikan diniyah nonformal. Pada ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan
diniyah
nonformal
diselenggarakan
dalam
bentuk
pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur‟an, Diniyah Tidakmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis. Selanjutnya, pada ayat (2) disebutkan
bahwa
pendidikan
diniyah
nonformal
dapat
diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan. Dan pada ayat (3) disebutkan bahwa pendidikan diniyah formal yang berkembang menjadi satuan pendidikan harus atau wajib memperoleh izin dari kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan. (1) Pengajian Kitab {Pasal 22 ayat (1) s.d ayat (3)} Pengajiab
kitab
diselenggarakan
dalam
rangka
untuk
mendalami ajaran Islam dan/atau ahli ilmu agama Islam. Penyelenggaraannya dapat dilaksanakan berjenjang atau tidak berjenjang. Pengajian kitab ini dilaksanakan di pondok pesantren, masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat. (2) Majelis Taklim {Pasal 23 ayat (1) s.d ayat (3)} Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa Majelis Taklim atau nama lain yang sejenis bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia peserta didik serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta. Berkaitan dengan kurikulum Majelis Taklim dijelaskan bahwa kurikulumnya bersifat terbuka dengan mengacu pada pemahaman terhadap Al-Qur‟an dan Hadits sebagai dasar untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta akhlak mulia. Pelaksanaannya dapat
60
dilaksanakan di masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat. (3) Pendidikan Al-Qur‟an {Pasal 24 ayat (1) s.d ayat (6)} Pendidikan ini bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik
membaca,
menulis,
memahami,
dan
mengamalkan
kandungan Al Qur‟an. Pendidikan ini terdiri dari Taman KanakKanak Al-Qur‟an (TKQ), Taman Pendidikan Al-Qur‟an (TPQ), Ta‟limul Qur‟an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis. Pendidikan ini dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang. Penyelenggaraannya dipusatkan di masjid, mushalla, atau ditempat lain yang memenuhi syarat. Berkaitan dengan kurikulum dijelaskan bahwa kurikulumnya adalah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Al-Qur‟an, tajwid, serta menghafal doa-doa utama. Pendidik pada pendidikan Al-Qur‟an minimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, dapat membaca
Al-Qur‟an
dengan
tartil
dan
menguasai
teknik
pengajaran Al-Qur‟an. (4) Diniyah Takmiliyah {Pasal 25 ayat (1) s.d ayat (5)} Diniyah Takmilyah adalah bentuk terakhir pendidikan diniyah nonformal yang dijelaskan dalam PP RI No. 55 Tahun 2007. Diniyah Takmiliyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT. Penyelenggaraannya dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang. Tempat penyelenggaraannya dapat dilaksanakan di masjid, mushalla, atau di tempat lain yang memenuhi syarat. Lalu, berkaitan dengan penamaannya diserahkan kepada penyelenggara pendidikan ini. Penyelenggaraan Diniyah Takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,
61
SMK/MAK atau pendidikan tinggi. Terkait dengan kurikulumnya tidak ada pasal atau ayat yang menjelaskan. c) Jalur Informal Penjelasan dalam PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan jalur informal tidak ada pasal yang menjelaskannya. Padahal, pada Pasal 14 ayat (2) dijelaskan bahwa pendidikan diniyah dapat diselenggarakan pada tiga jalur, yaitu formal, nonforma, dan informal. 2. Pesantren {Pasal 26 ayat (1) s.d ayat (3)} Penjelasan dalam PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pesantren hanya ada satu pasal yang terdiri dari tiga ayat. Satu pasal tersebut menjelaskan tentang tujuan dari penyelenggaraan pesantren, jenis pendidikan yang diselenggarakan, dan menjelaskan status peserta didik dam pendidik di pesantren. Tujuan penyelenggaraan pesantren dijelasakan untuk menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren
untuk
mengembangkan
kemampuan,
pengetahuan,
dan
keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih
fiddin)
dan/atau
menjadi
muslim
yang
memiliki
keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat. Jenis pendidikan yang diselenggarakan pesantren adalah pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi. Penjelasan mengenai pendidik dan peserta didik dalam pasal ini menjelaskan bahwa jikalau peserta didik dan/atau pendidik yang diakui keahliannya dalam ilmu agama, tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan Peraturan Perundangundangan.
62
Demikianlah penjelasan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam. Berkaitan ketentuan lebih lanjut mengenai isi pendidikan/kurikulum;
jumlah
dan
kualifikasi
pendidik
dan
tenaga
kependidikan; sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran; sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan sekurang-kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik berikutnya; sistem evaluasi. Sesuai dengan amanat Pasal 13 ayat (5) PP RI No. 55 Tahun 2007, maka diatur dengan Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman pada ketentuan Standar Nasional Pendidikan. Pengelolaan pendidikan keagamaan sebagaimana disebutkan pada Pasal 9 ayat (3) PP RI No. 55 Tahun 2007 adalah dilakukan oleh Menteri Agama. Dengan demikian Menteri Agama berkewajiban membuat kebijakan sebagai peraturan pendukung terkait dengan pendidikan keagamaan. Kewajiban itu telah dilaksanakan oleh Menteri Agama Suryadharma Ali dengan menetapkan Peraturan Menteri Agama (PMA) RI No. 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. Namun cukup disayangkan, belum ditindaklanjuti dalam bentuk action/sosialisasi, pada tanggal 19 Juni 2012 Menteri Agama Suryadharman Ali telah menetapkan PMA No. 9 Tahun 2012 tentang Pencabutan PMA No. 3 Tahun 2012.24 Dua tahun dari setelah dicabutnya PMA No. 3 Tahun 2012, Menteri Agama yang baru dilantik Presiden RI pada tanggal 9 Juni 2014, Lukman Hakim Saifuddin, menetapkan PMA No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, pada tanggal 18 Juni 2014. PMA tersebut sangat penting dalam menjalankan kebijakan tentang pendidikan keagamaan Islam sebagai penjelas dari kebijakan yang lebih tinggi, dalam hal ini PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Karena, dalam teori kebijakan publik PP sebagai kebijakan publik yang ditetapkan presiden untuk kebijakan pelaksana UU memerlukan kebijakan pelaksanaan yang merupakan penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu yang ditetapkan menteri / pejabat setingkat menteri.25 24
Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 94. Tri Widodo Wahyu Utomo, Pengantar Kebijakan Publik (Introduction to Public Policy), (Bandung: STIA LAN Bandung, 1999), h. 9. 25
63
D. Implementasi PP RI No. 55 Tahun 2007 Proses kebijakan adalah suatu proses kebijakan publik yang dapat ditunjukkan dari urutan dasar (generik) kegiatan, yaitu perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, dan hasil yang dicapai oleh kebijakan dalam bentuk kinerja kebijakan.26 Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk programprogram atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.27 Terkait dengan implementasi PP RI No. 55 Tahun 2007 menurut Prof. Husni Rahim belum terimplementasikan. Menurutnya, PP tersebut harus lebih “membumi”, yaitu melihat realitas, bukan tataran dari aspek orang dibelakang meja. Jadi, ketika muncul kebijakan pendidikan keagamaan, dengan diakuinya pondok pesantren maka itu harus dibumikan. Cara membumikannya adalah dengan membuat sistem yang sama dengan pendidikan umum untuk pendidikan keagamaan, misalnya bagaimana menjadikan orang lulusan pesantren sama dengan lulusan S1, bagaimana meng-sks-kan pelajaran yang semata-mata tentang al-Qur‟an dalam bentuk jadi beberapa sks. Oleh sebab itu, perlu dibuat aturan bagaimana memperoleh kesejajaran itu.28 Jadi, PP RI No. 55 Tahun 2007 khusus terkait dengan pendidikan keagamaan belum diimplementasikan dalam bentuk nyata yang sebagaimana ketentuan PP tersebut yang mensejajarjan pendidikan keagamaan dengan pendidikan umum. Pengimplementasian suatu kebijakan bukanlah sesuatu yang gampang. Solichin Abdul Wahab menjelaskan bahwa: Bagi mereka yang melihat kebijakan publik dari perspektif policy cycle (siklus kebijakan), implementasi kebijakan merupakan suatu aktivitas yang paling penting. Tetapi, tidak seperti anggapan sebagian orang bahwa setiap kebijakan itu akan terimplementasikan dengan sendirinya, seolah aktivitas implementasi kebijakan tersebut menyangkut sesuatu yang tinggal jalan. 26
Riant Nugroho, Metode Penelitian Kebijakan, (Yogyakarta: Pustidaka Pelajar, 2014), Cet. II, h. 109. 27 Riant Nugroho, Public Policy, Edisi V, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), h. 657. 28 Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014.
64
Realita menunjukkan, implementasi kebijakan itu sejak awal melibatkan sebuah proses rasional dan emosional yang teramat kompleks. Jadi, ia bukan sekadar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran politik ke dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu.29 Jika implementasi PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan turunan dari PP tersebut baru terealisasikan pada tahun 2014 atau tujuh tahun dari diundangkannya PP tersebut. Mengapa peneliti mengatakan baru tahun 2014, padahal tahun 2012 juga telah dikeluarkan kebijakan turunan dari PP tersebut. Karena, kebijakan turunan PP tersebut yang tahun 2012 belum ada action/sosialiasi sudah dicabut oleh Menteri Agama Suryadharma Ali. Kebijakan turunan yang dicabut itu adalah Peraturan Menteri Agama (PMA) RI No. 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. PMA tersebut dicabut dengan ditetapkan dan diundangkan PMA RI No. 9 Tahun 2012 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. Pencabutan PMA tersebut menandakan tidak ada kebijakan turunan dari PP RI No. 55 Tahun 2007. Padahal, dalam teori kebijakan publik PP sebagai kebijakan publik yang ditetapkan presiden untuk kebijakan pelaksana UU memerlukan kebijakan pelaksanaan yang merupakan penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu yang ditetapkan menteri / pejabat setingkat menteri.30 Artinya adalah Peraturan Menteri Agama terkait dengan pendidikan keagamaan Islam merupakan strategi pelaksanaan tugas PP RI No. 55 Tahun 2007. PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam hanya menjelaskan secara umum saja, sebagaimana penjelasan sebelumnya. Dua tahun dari setelah dicabutnya PMA No. 3 Tahun 2012, Menteri Agama yang baru dilantik Presiden RI pada tanggal 9 Juni 2014, Lukman Hakim Saifuddin, menetapkan PMA No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, pada tanggal 18 Juni 2014. Oleh karena itulah, peneliti
29
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik., (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), Cet. I, h. 125. 30 Tri Widodo Wahyu Utomo, loc.cit.
65
berpendapat bahwa selama tujuh tahun tidak ada kebijakan turunan sebagai aturan pelaksana atau pendukung PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam. Jadi, bagaimana mungkin suatu kebijakan yang umum (PP) dapat diimplementasikan dengan nyata jika kebijakan umum itu tidak ada kebijakan penjelasnya (PMA). Sedangkan, walaupun kebijakan itu memiliki
kebijakan
turunan
yang
lengkap,
belum
tentu
dapat
diimplementasikan dengan baik oleh pelaksana kebijakan. Jadi, tidak salah lah jika Prof. Husni Rahim menyatakan PP RI No. 55 Tahun 2007 belum terimplementasikan. Solichin Abdul Wahab menyatakan, “Secara jujur, kita dapat mengatakan bahwa kebijakan publik apa pun sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. Hoggwood dan Gunn (1986) membagi pengertian kegagalan kebijakan publik (public failure) dalam dua kategori besar, yaitu non-implementation (tidak terimplementasikan), dan unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil).”31 Solichin juga menjelaskan bahwa: Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak terlibat di dalam pelaksanaannya mau bekerjasama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, atau karena mereka kemungkinan tidak menguasai permasalahan, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatanhambatan yang ada tidak dapat mereka selesaikan. Sementara itu, implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi ketika suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai rencana, namun mengingat kondisi eskternal ternyata tidak menguntungkan, misalnya pergantian kekuasaan (cuop de’ tat), bencana alam, dan sebagainya.32 Biasanya, kebijakan yang memiliki resiko gagal itu disebabkan oleh faktor berikut: pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya jelek (bad policy), atau kebijakan itu yang bernasib jelek (bad luck).33
31
Solichin, op.cit., h. 128. Ibid., h. 129. 33 Ibid. 32
BAB IV PP RI NO. 55 TAHUN 2007 PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK
A. PP RI No. 55 Tahun 2007 ditinjau Berdasarkan Bentuk Kebijakan Publik Kebijakan publik jika ditinjau berdasarkan bentuknya, menurut Riant Nugroho, “Ada empat bentuk kebijakan publik, yaitu bentuk formal, kebiasaan umum lembaga publik yang telah diterima bersama (konvensi), pernyataan pejabat publik, dan perilaku pejabat publik.”1 Kebijakan publik dalam bentuk formal adalah keputusan-keputusan yang dikodifikasikan secara tertulis dan disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku. Berdasarkan hal tersebut, maka PP RI No. 55 Tahun 2007 dapat digolongkan sebagai kebijakan publik dalam bentuk formal, karena PP RI No. 55 Tahun berbentuk tulisan yang telah diformalkan dalam ketetapan presiden dan diundangkan oleh menteri hukum dalam lembaran negara.2 Oleh sebab itu, PP RI No. 55 Tahun 2007 bukan konvensi, bukan pernyataan pejabat publik, dan bukan pula perilaku pejabat publik. Menurut Riant Nugroho, “Kebijakan publik dalam bentuk formal terdiri dari perundang-undangan, hukum, dan regulasi.”3 Perundang-undangan oleh Riant Nugroho adalah “kebijakan publik berkenaan dengan usaha-usaha pembangunan nasion, baik berkenaan dengan negara maupun masyarakat atau rakyat. Karena berkenaan dengan pembangunan, maka perundang-undangan lazimnya bersifat menggerakkan, maka wajarnya ia bersifat mendinamiskan, mengantisipasi, dan memberikan ruang bagi inovasi.”4 Berdasarkan penjelasan di atas, maka PP RI No. 55 Tahun 2007 merupakan bentuk kebijakan formal yang perundang-undangan. Karena, lahirnya PP RI No. 55 Tahun 2007 bukan upaya yang bersifat membatasi dan 1
Riant Nugroho, Public Policy, Edisi V, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), h.
136. 2
PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 124. 3 Riant Nugroho, op.cit., h. 137. 4 Ibid.
66
67
melarang, apalagi pelimpahan aset negara ke lembaga bisnis. Melainkan, sebagai usaha negara dalam pembangunan warga negara dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Sebagaimana penjelasan klausul “Menimbang” dan “Mengingat” PP RI No. 55 Tahun 2007 bahwa PP tersebut diundangkan adalah sebagai amanat UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.5 Selain itu, dijelaskan dalam UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan bahwa Peraturan Pemerintah merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan.6
B. PP RI No. 55 Tahun 2007 ditinjau Berdasarkan Tingkatan Kebijakan Publik UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangudangan menjelaskan tentang hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.7
Tingkatan hierarki perturan perundang-undangan di atas menurut Riant Nugroho adalah sebagai berikut: Membuktikan bahwa Indonesia masih menganut model Kontinental, warisan penjajah Belanda, di mana kebijakan publik dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yang lazim diterima mencakup UUD, TAP MPR, UU/Perpu. 2. Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau penjelas pelaksanaan yang lazim diterima mencakup PP dan Perpres.
5
Klausul Menimbang dan Mengingat PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. 6 Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (1) UU RI No. 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 7 Pasal 7 ayat (1) UU RI No. 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
68
3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di atasnya yang lazim diterima mencakup Perda-Perda.8 Kemudian, menurut Riant Nugroho, “Dengan jenjang kebijakan publik seperti di atas yang amat berlapis mengakibatkan sebuah UU, baru dapat diimplementasikan jika sudah ada peraturan pelaksanaan, kalau perlu sampai Kabupaten/Kota.”9 Berdasarkan penjelasan di atas, maka PP RI No. 55 Tahun 2007 merupakan kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau penjelas pelaksanaan dari kebijakan yang di atasnya. Sebagaimana juga penjelasan Tri Widodo Wahyu Utomo bahwa PP adalah kebijakan penjelas atau pelaksana UU. Kebijakan publik memiliki dua lingkup yang masingmasing lingkup memiliki tingkatan. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Lingkup Nasional a) Kebijakan Nasional Kebijakan negara yang bersifat fundamental dan strategis dalam pencapaian tujuan nasional. Wewenang dari MPR, dan Presiden bersama-sama dengan DPR. Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: UUD,TAP MPR, UU, PERPU. b) Kebijakan Umum Kebijakan Presiden sebagai pelaksana UUD, TAP MPR, UU. Kebijakan ini guna mencapai tujuan nasional. Wewenang dari Presiden. Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: PP, KEPPRES, INPRES. c) Kebijakan Pelaksanaan Penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu. Wewenang dari menteri / pejabat setingkat menteri dan pimpinan LPND (Lembaga Pemerintah Non Departemen). Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: Peraturan, Keputusan, Instruksi Pejabat tertentu.10 2. Lingkup Wilayah/Daerah a) Kebijakan Umum Kebijakan Pemerintah Daerah sebagai pelaksanaan asas Desentralisasi dalam rangka mengatur urusan Rumah Tangga Daerah. Wewenang dari Kepala Daerah bersama DPRD. Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: PERDA. b) Kebijakan Pelaksanaan 8
Riant Nugroho, op.cit., h. 138. Ibid., h. 52. 10 Tri Widodo Wahyu Utomo, Pengantar Kebijakan Publik (Introduction to Public Policy), (Bandung: STIA LAN Bandung, 1999), h. 9. 9
69
Wewenang dari Kepala Daerah atau Kepala Wilayah. Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: Keputusan Kepala Daerah dan Instruksi Kepala Daerah, atau Keputusan Kepala Wilayah dan Instruksi Kepala Wilayah.11 Peraturan Pemerintah dalam penjelasan di atas merupakan bagian dari kebijakan lingkup nasional dalam tingkat kebijakan umum. Kebijakan umum merupakan kebijakan yang ditetapkan presiden sebagai pelaksana UUD, TAP MPR, UU. Artinya, PP merupakan kebijakan turunan dari kebijakan yang di atasnya, seperti, UUD, TAP MPR, dan UU. Hal ini senada dengan penjelasan UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan berkaitan dengan hierarki kekuatan peraturan perundang-undangan, “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”12 Ayat (1) yang dimaksud adalah pasal 7 ayat (1) yang telah disebutkan di atas. PP RI No. 55 Tahun 2007 sebagaimana penjelasan di atas, merupakan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan pelaksana atau turunan dari UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagaimana penjelasannya, “Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.”13 PP sebagai penjelas kebijakan di atasnya, juga ditegaskan dalam UUD 1945, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.”14 Lalu, dipertegas lagi dalam UU RI No. 12 Tahun 2011, “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.”15
11
Ibid., h. 10. Pasal 7 ayat (2) UU RI No. 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. 13 Klausul Menimbang PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. 14 BAB III Kekuasaan Pemerintahan Negara, Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. 15 Pasal 12 UU RI No. 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 12
70
C. PP RI No. 55 Tahun 2007 ditinjau Berdasarkan Tujuan Kebijakan Publik Tujuan dari kebijakan publik dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Men-distribusi sumberdaya negara kepada masyarakat, termasuk di dalamnya alokatif, realokatif, dan redistribusi, versus mengabsorbsi atau menyerap sumberdaya ke dalam negara. 2. Regulatif versus deregulatif. 3. Dinamisasi versus stabilisasi 4. Memperkuat negara versus memperkuat masyarakat/pasar.16 Tujuan kedua dari kebijakan publik adalah regulatif versus deregulatif. Regulatif adalah kebijakan yang bersifat mengatur dan membatasi, sedangkan deregulatif adalah kebijakan yang bersifat membebaskan. Tujuan ketiga dari kebijakan publik adalah dinamisasi versus stabilisasi. Dinamisasi adalah kebijakan yang bersifat menggerakkan sumberdaya nasion menuju kemajuan tertentu yang dikehendaki, sedangkan stabilisasi adalah kebijakan yang bersifat mengerem dinamika yang terlalu cepat agar tidak merusak sistem yang ada. Kebijakan dengan tujuan memperkuat negara adalah kebijakan yang mendorong lebih besar peran negara, sedangkan kebijakan dengan tujuan memperkuat publik/pasar adalah kebijakan yang mendorong lebih besar peran publik daripada peran negara.17 Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam memiliki lebih dari satu tujuan kebijakan publik. Tujuan tersebut, yaitu sebagai berikut: 1.
Tujuan regulatif. PP RI No. 55 Tahun 2007 memiliki tujuan regulatif, yaitu membatasi dan mengatur bagaimana penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam. Rumusan regulatif tersebut terlihat dalam Pasal 14 ayat (1) s.d ayat (3). Pada pasal tersebut mengatur dan membatasi tentang bentuk pendidikan keagamaan Islam, yaitu terdiri dari pendidikan diniyah dan pesantren. Kemudian juga mengatur dan membatasi jalur apa saja yang dapat diselenggarakan oleh pendidikan diniyah dan pesantren.
16 17
Riant Nugroho, op.cit., h. 155. Ibid., h. 154.
71
Pada Pasal 15, rumusan regulatifnya adalah jenjang pendidikan diniyah formal, yaitu terdiri dari jenjang pendidikan anak usia dini, dasar, menengah, dan tinggi. Kemudian, Pasal 16 s.d Pasal 17 membatasi dan mengatur jenjang pendidikan diniyah formal jenjang dasar dan menengah. Kemudian, Pasal 18 ayat (1) s.d ayat (2) mengatur dan membatasi kurikulum wajib pendidikan diniyah formal jenjang dasar dan menengah. Sedangkan, pasal yang mengatur dan membatasi pendidikan diniyah formal jenjang pendidikan tinggi diatur dalam Pasal 20 ayat (1) s.d ayat (3). Lalu, yang mengherankan adalah tidak ada pasal untuk rumusan yang mengatur tentang pendidikan diniyah formal jenjang pendidikan anak usia dini. Padahal, telah disebutkan pada Pasal 15 bahwa jenjang pendidikan diniyah formal terdiri dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Terkait dengan pendidikan diniyah nonformal diatur dalam Pasal 21 s.d Pasal 25. Sedangkan, pasal yang mengatur dan membatasi pendidikan informal tidak ada. Pasal yang mengatur dan membatasi pesantren termaktub pada Pasal 26 yang terdiri dari tiga ayat. 2.
Tujuan deregulatif PP RI No. 55 Tahun 2007 memiliki rumusan tujuan deregulatif, yaitu yang bersifat membebaskan. Pasal terkait pendidikan keagamaan Islam dengan tujuan tersebut hanya sedikit. Rumusan deregulatif, terkait dengan pemberian nama pada satuan pendidikan diniyah formal jenjang dasar dan menengah. Rumusan tersebut termaktub pada Pasal 16 ayat (3) bahwa penamaan satuan pendidikan diniyah formal jenjang dasar dan menengah adalah hak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan. Kemudian, rumusan deregulatif juga termaktub pada Pasal 25 ayat (4) bahwa penamaan atas diniyah takmilyah merupakan kewenangan penyelenggara.
3.
Tujuan dinamisasi PP RI No. 55 Tahun 2007 memiliki rumusan tujuan dinamisasi, yaitu yang bersifat menggerakkan sumberdaya nasion untuk mencapai tujuan tertentu. Pasal dengan rumusan dinamisasi termaktub pada pasal
72
penjelasan umum pendidikan keagamaan yang juga memiliki keterkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam, yaitu pada Pasal 13 ayat (2) bahwa pendidikan keagamaan dapat didirikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. Rumusan dengan tujuan dinamisasi tersebut terkait dengan diberikannya hak untuk mendirikan lembaga pendidikan keagamaan Islam oleh swasta/masyarakat. 4.
Tujuan stabilisasi PP RI No. 55 Tahun 2007 memiliki rumusan dengan tujuan stabilisasi, yaitu bersifat mengerem agar sistem yang ada tidak rusak, maka dibuatlah standar yang harus diikuti. Rumusan dengan tujuan tersebut terkait dengan adanya standar-standar pendidikan yang harus diikuti. Pasal 13 ayat (5) yang menjelaskan bahwa pendirian satuan pendidikan keagamaan diatur oleh Menteri Agama yang berpedoman pada ketentuan Standar Nasional Pendidikan. Pedoman tersebut terkait dengan isi pendidikan/kurikulum, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran, sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan sekurang-kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik berikutnya, dan sistem evaluasi.18 Selanjutnya, Pasal 19 ayat (1) s.d ayat (2) menjelaskan standar ujian nasional pendidikan diniyah formal jenjang pendidikan dasar dan menengah. Terkait dengan standar pendidikan formal jenjang pendidikan tinggi juga terdapat rumusannya. Rumusannya termaktub pada Pasal 20 ayat (4). Pasal tersebut menjelaskan bahwa pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. Kemudian, terkait dengan standar pendirian lembaga pendidikan keagamaan termaktub pada Pasal 13 ayat (4) dan ayat (5).
18
Pasal 13 ayat (4) dan ayat (5) PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
73
5.
Tujuan memperkuat negara PP RI No. 55 Tahun 2007 juga memiliki rumusan dengan tujuan memperkuat negara, yaitu rumusan yang bersifat memberikan peran negara. Rumusan tersebut termaktub pada Pasal 12 ayat (3) dan ayat (4). Pasal 12 ayat (3) dan ayat (4) menjelaskan kewenangan negara dalam melakukan akreditasi. Kemudian, Pasal 13 ayat (2) mejelaskan kewenangan negara dalam mendirikan pendidikan keagamaan. Lalu, Pasal 13 ayat (3) dan ayat (6) menjelaskan kewenangan negara dalam hal pemberian izin pendirian satuan pendidikan keagamaan. Selanjutnya, pada pasal 19 ayat (2) dijelaskan kewenangan negara dalam membuat peraturan tentang ujian nasional pendidikan diniyah formal jenjang dasar dan menengah.
6.
Tujuan memperkuat publik PP RI No. 55 Tahun 2007 memiliki rumusan dengan tujuan memperkua publik, yaitu rumusan yang bersifat memberi peran kepada publik. Rumusan tersebut termaktub pada pasal penjelasan umum pendidikan keagamaan
yang juga memiliki
keterkaitan dengan
pendidikan keagamaan Islam, yaitu pada Pasal 13 ayat (2) bahwa pendidikan keagamaan dapat didirikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. Rumusan dengan tujuan memperkuat publik tersebut terlihat dengan diberikannya hak kepada publik/masyarakat untuk mendirikan lembaga pendidikan keagamaan Islam. Kemudian, Pasal 16 ayat (3), yang terkait dengan kewenangan penyelenggaran satuan pendidikan diniyah formal jenjang dasar dan menengah dalam pemberian nama satuan pendidikan. Dan Pasal 25 ayat (4) terkait penamaan
atas
diniyah
takmilyah
merupakan
kewenangan
penyelenggara.
Memperhatikan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam memiliki lebih dari satu tujuan kebijakan publik. Riant Nugroho menjelaskan, “Pada praktiknya, setiap kebijakan mengandung lebih dari satu tujuan
74
kebijakan,
dengan
kadar
yang
berlainan.
Kebijakan
publik
selalu
mengandung multi-tujuan, untuk menjadikan kebijakan itu sendiri menjadi yang adil dan seimbang dalam mendorong kemajuan dalam kehidupan bersama.”19 Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam cenderung lebih banyak bersifat: 1.
Tujuan regulatif, yaitu kebijakan yang bersifat membatasi dan mengatur.
2.
Tujuan stabilisasi, yaitu kebijakan yang besifat memberikan standarstandar yang harus diikuti.
3.
Tujuan memperkuat negara, yaitu kebijakan yang bersifat memberikan lebih besar peran negara. Sedangkan,
terkait
dengan
rumusan
kebijakan
dengan
tujuan
memperkuat publik hanya sedikit, yaitu Pasal 13 ayat (2); Pasal 16 ayat (3); dan Pasal 25 ayat (4).
D. PP RI No. 55 Tahun 2007 ditinjau Berdasarkan Ciri Kebijakan Publik yang Ideal Kebijakan publik yang ideal menjadi hal yang sangat diinginkan untuk tercapainya cita-cita yang diiginkan dari tujuan dibuatnya kebijakan publik. Kebijakan publik dibuat adalah sebagai strategi yang diproyeksikan dalam mencapai cita-cita tertentu dalam suatu bangsa. Indonesia sebagai bangsa di antara tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana termaktub pada alinea ke-4 Pembukaan UUD Negara RI 1945. Berdasarkan tujuan itu lah, maka Pemerintah RI menetapkan kebijakan publik terkait dengan pendidikan. Sepanjang sejarah pendidikan Indonesia, pemerintah telah menentapkan tiga undang-undang tentang pendidikan, yaitu pada masa orde lama terdapat UU RI No. 4 Tahun 1950 Jo UU RI No. 12 Tahun 1954; pada masa orde baru terdapat UU RI No. 2 Tahun 1989; dan pada masa orde reformasi hingga saat ini terdapat UU RI No. 20 Tahun 2003.
19
Ibid., h. 155.
75
Membuat kebijakan publik yang ideal bukanlah hal yang gampang, diperlukan peran kepemimpinan yang ideal juga untuk menghasilkan kebijakan publik yang ideal. Kepemimpinan yang ideal, tentu memiliki pemahaman yang baik terhadap keinginan bangsa yang dipimpinya. Sehingga kebijakan publik yang dibuatnya sesuai dengan harapan bangsa yang dipimpinnya. Menurut Riant Nugroho, “Pada dasarnya, terdapat lima karakter kepemimpinan yang unggul, yaitu karakter, kredibilitas, nilai, keteladanan, dan kemampuan memberikan dan menjadi bagian dari harapan.”20 Lima karakter tersebut dapat dijadikan sebagai tolak ukur kepemimpinan yang ideal dalam membuat kebijakan publik yang ideal. Kebijakan publik yang ideal adalah kebijakan menjunjung keadilan. Konsepsi ideal negara hukum menurut Aristoteles dekat dengan „keadilan‟. Bahkan pada tingkat yang paling dasar dapat dikatakan bahwa tujuan negara tercapai apabila telah tercipta keadilan. Untuk tingkat yang paling dasar, acapkali kesejahteraan merupakan prioritas kemudian dibanding keadilan. Kebijakan publik sebagai sebuah hukum berfungsi untuk memastikan setiap warga untuk memperoleh apa yang menjadi haknya.21 Kebijakan publik yang dapat memberikan keadilan, maka haruslah kebijakan publik yang ideal, yaitu yang unggul, mempunyai tiga ciri utama, yang sekaligus dijadikan kriteria, yaitu: 1.
2.
20 21
Cerdas. Cerdas, yaitu memecahkan masalah pada inti permasalahannya. Kebijakan yang harus cerdas (intelligent) yang secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu cara yang mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan masalahnya sehingga sebuah kebijakan harus disusun setelah meneliti data dan menyusunnya dengan cara-cara yang ilmiah. Kecerdasan membuat pengambil keputusan kebijakan publik fokus pada isu kebijakan yang hendak dikelola dalam kebijakan publik daripada popularitasnya sebagai pengambil keputusan kebijakan. Bijaksana. Bijaksana, yaitu tidak menghasilkan masalah baru yang lebih besar daripada masalah yang dipecahkan. Kebijaksanaan membuat pengambil keputusan kebijakan publik tidak menghindarkan diri dari kesalahan yang tidak perlu.
Ibid., h. 241. Ibid., h. 193.
76
3.
Memberikan harapan. Memberikan harapan, yaitu memberikan harapan kepada seluruh warga bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik dari hari ini. Dengan memberikan harapan, maka kebijakan publik menjadi a seamless pipe of transfer of prosperity dalam suatu kehidupan bersama. Kebijakan publik tidak identik dengan hukum publik, karena hukum publik berkenaan dengan larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar oleh publik, agar kehidupan bersama berjalan dengan tertib, sementara kebijakan publik utamanya berkenaan dengan kepentingan publik, bukan semata-mata kepentingan negara. Karena itu, ukuran ketiga dari kebijakan ideal adalah memberikan harapan bagi publik, baik yang menjadi pemanfaat maupun konstituan secara luas.22
Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam dapat dinilai apakah telah menjadi rumusan kebijakan publik yang menjunjung keadilan. Tolak ukur keadilan rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam adalah apakah ada ciri-ciri dari kebijakan publik yang ideal, yaitu cerdas, bijaksana, dan memberi harapan, terdapat dalam rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam. 1. Apakah rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 cerdas? Kebijakan publik yang cerdas adalah kebijakan yang memecahkan permasalahan pada intinya. PP RI No. 55 Tahun 2007 ditetapkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono adalah sebagai amanat dari UUD Negara RI 1945 dan UU RI No. 20 Tahun 2003. UUD Negara RI 1945 mengamanatkan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya.”23 UU RI No. 20 Tahun 2003 mengamanatkan: a) “Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.”24
22
Ibid., h. 744-745. BAB III Kekuasaan Pemerintahan Negara, Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. 24 Pasal 12 ayat (4) UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 23
77
b) “Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.”25 c) “Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.”26 Tiga amanat UU RI No. 20 Tahun 2003 di atas yang menjadi acuan ditetapkannya PP RI No. 55 Tahun 2007 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Tiga amanat tersebut juga dijelaskan dalam klausul menimbang PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, “Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.”27 Sehubungan dengan yang diteliti adalah rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam, maka amanat yang terkait adalah Pasal 30 ayat (5). Perlunya peraturan pelaksana adalah akibat model kebijakan yang dianut Indonesia, yaitu Model Kontinental yang merupakan model warisan dari Belanda. Model Kontinental adalah model kebijakan dengan paradigma bahwa kebijakan harus dibuat berjenjang sesuai dengan hierarki implementabilitasnya. Sebagaimana penjelasan Riant Nugroho, sebagai berikut: Pada praktik, ini dipahami di Indonesia, di mana Undang-Undang sebagai kebijakan yang dinilai berposisi tertinggi, dibuat dengan pasal-pasal yang bersifat makro atau umum, untuk kemudian dibuat Peraturan Pelaksana, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan sejenisnya. Akibatnya, di Indonesia banyak terjadi kasus di mana sudah ada Undang-Undang, tetapi tetap tidak dapat dilaksanakan karena PP atau peraturan pelaksananya belum dibuat.28 25
Pasal 30 ayat (5) UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 37 ayat (3) UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 27 Klausul Menimbang PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. 28 Riant Nugroho, op.cit., h. 697. 26
78
Berdasarkan
penjelasan
di
atas,
maka
pemerintah
“cerdas”
menetapkan PP RI No. 55 Tahun 2007. Karena, jika pemerintah tidak menetapkan PP RI No. 55 Tahun 2007, maka kebijakan turunan sebagai kebijakan penjelas dan pelaksana tentang pendidikan keagamaan tidak ada.
Sehingga
dapat
menimbulkan
masalah,
terutama
dalam
penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam. Jika hal itu terjadi, maka rumusan Pasal 30 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak dapat diimplementasikan, karena tidak memiliki kebijakan turunan yang dalam kebijakan publik merupakan kebijakan pelaksana terhadap kebijakan di atasnya. Dan itu juga adalah amanat UUD 1945, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya.”29 Lahirnya PP RI No. 55 Tahun 2007 adalah sebagai pemecahan masalah untuk pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. PP ini merupakan hasil amanat UU RI No. 20 Tahun 2003. UU RI No. 20 Tahun 2003 merupakan kebijakan pertama yang memberikan legalitas diakuinya kesejajaran pendidikan keagamaan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Karena, sebelum UU RI No. 20 Tahun 2003 ini diundangkan keberadaan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia legalitasnya lemah, sehingga pendidikan keagamaan Islam
di Indonesia dianggap bukan
tanggung jawab pemerintah. Jelasnya sebagaimana pernyataan Prof. Husni Rahim, sebagai berikut: Aspek hukum atau legalitasnya pendidikan yang di bawah kemenag pada masa lalu itu lemah. Pendidikan keagamaan baru diakui pada UU RI No. 20 Tahun 2003. Pada UU RI No. 4 Tahun 1950 sebagai UU Sisdiknas pertama, pendidikan keagamaan atau madrasah belum menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, sehingga pendidikan keagamaan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah, maka pendanaannya tidak ada, bantuan pada gurunya juga tidak ada, kalaupun hanya sekadarnya. Kemudian, karena pendidikan keagamaan tidak tanggung jawab negara, tidak dapat bantuan dari negara, tidak dapat fasilitas apa pun maka lulusannya kalah bersaing. Lulusan yang
29
BAB III Kekuasaan Pemerintahan Negara, Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.
79
kalah bersaing itu tidak dilirik atau dianggap orang sekadar pelengkap atau tidak utama.30 Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa UU RI No. 20 Tahun 2003 merupakan kebijakan yang pertama yang memberikan pemecahan masalah untuk pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. Oleh sebab itu, PP RI No. 55 Tahun 2007 adalah kebijakan turunan yang pertama yang secara khusus diundangkan tentang pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam ada tiga belas pasal (Pasal 14 s.d Pasal 26) yang secara khusus berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam (pendidikan diniyah dan pesantren) dan ada enam pasal (Pasal 8 s.d Pasal 13) yang secara umum berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam. Sehingga rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam telah menyelesaikan masalah. Oleh sebab itu lah, rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam disebut “cerdas” Prof. Husni Rahim juga menyatakan bahwa kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah terkait dengan pendidikan keagamaan Islam sudah bagus hanya yang bermasalah diimplementasinya.31
2. Apakah rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 bijaksana? Kebijakan publik dengan ciri bijaksana adalah kebijakan yang tidak menghasilkan
masalah
baru.
Kebijakan
ditetapkan
adalah
untuk
menyelesaikan masalah yang harus diselesaikan bukan menghasilkan masalah baru. Lahirnya PP RI No. 55 Tahun 2007 adalah sebagai pemecahan masalah untuk pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. PP ini merupakan hasil amanat UU RI No. 20 Tahun 2003. UU RI No. 20 Tahun 2003 merupakan kebijakan pertama yang memberikan legalitas diakuinya kesejajaran pendidikan keagamaan Islam dalam sistem pendidikan 30
Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014. Ibid.
31
80
nasional. Karena, sebelum UU RI No. 20 Tahun 2003 ini diundangkan keberadaan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia legalitasnya lemah, sehingga pendidikan keagamaan Islam
di Indonesia dianggap bukan
tanggung jawab pemerintah. Jelasnya sebagaimana pernyataan Prof. Husni Rahim, sebagai berikut: Aspek hukum atau legalitasnya pendidikan yang di bawah Kemenag pada masa lalu itu lemah. Pendidikan keagamaan baru diakui pada UU RI No. 20 Tahun 2003. Pada UU RI No. 4 Tahun 1950 sebagai UU Sisdiknas pertama, pendidikan keagamaan atau madrasah belum menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, sehingga pendidikan keagamaan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah, maka pendanaannya tidak ada, bantuan pada gurunya juga tidak ada, kalaupun hanya sekadarnya. Kemudian, karena pendidikan keagamaan tidak tanggung jawab negara, tidak dapat bantuan dari negara, tidak dapat fasilitas apa pun maka lulusannya kalah bersaing. Lulusan yang kalah bersaing itu tidak dilirik atau dianggap orang sekadar pelengkap atau tidak utama.32 Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa UU RI No. 20 Tahun 2003 merupakan kebijakan yang pertama yang memberikan pemecahan masalah untuk pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. Oleh sebab itu, PP RI No. 55 Tahun 2007 adalah kebijakan turunan yang pertama yang secara khusus diundangkan tentang pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. Selanjutnya adalah apakah rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam menimbulkan masalah baru, karena kebijakan yang bijaksana tidak memimbulkan masalah baru. Hasil penelitian yang peneliti lakukan tentang rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam terdapat beberapa masalah yang ditimbulkan. a) Tidak ada rumusan pasal tentang pendidikan diniyah formal jenjang pendidikan anak usia dini. Padahal,
telah
disebutkan,
“Pendidikan
diniyah
formal
menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan 32
Ibid.
81
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.”33 Tidak adanya rumusan pasal terkait dengan hal tersebut hanya akan menimbulkan masalah. Ada nomenklatur tetapi tidak tahu apa yang dimaksud tentang nomenklatur tersebut. Parahnya lagi, dalam Peraturan Menteri Agama RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam tidak memasukkan pendidikan anak usia dini dalam jenjang pendidikan diniyah formal, sehingga tidak ada juga penjelas tentang pendidikan anak usia dini. Bunyinya adalah sebagai berikut: “Pendidikan diniyah formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a terdiri atas: (a) Pendidikan diniyah formal jenjang pendidikan dasar. (b) Pendidikan diniyah formal jenjang pendidikan menengah. (c) Pendidikan diniyah formal jenjang pendidikan tinggi.”34 Maka, Pasal 23 PMA RI No. 13 Tahun 2013 bertentangan dengan Pasal 15 PP RI No. 55 Tahun 2007. Padahal, PP RI No. 55 Tahun 2007 kekuatan hukumnya lebih tinggi daripada PMA RI No. 13 Tahun 2014. b) Tidak ada rumusan pasal tentang pendidikan diniyah jalur informal. Padahal, telah disebutkan pada Pasal 14 ayat (2), “Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.”35 Tidak adanya rumusan tentang pendidikan diniyah jalur informal, maka secara langsung pendidikan diniyah jalur informal tidak memiliki rumusan kebijakan turunan dari UU RI No. 20 Tahun 2003. Kebijakan turunan berfungsi sebagai kebijakan pelaksana atau penjelas dari kebijakan di atasnya. Tidak adanya penjelasan dari rumusan PP tersebut, tentu akan menimbulkan masalah bagi pendidikan diniyah jalur informal, yaitu terkait dengan implementasinya nanti dilapangan.
33
Paragraf 1, Pendidikan Diniyah Formal, Pasal 15 PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. 34 Paragraf 2, Jenjang Pendidikan, Pasal 23 ayat (1) PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. 35 Bagian Kesatu, Pendidikan Keagamaan Islam, Pasal 14 PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
82
Penjelasan tentang pendidikan diniyah jalur informal ini hanya dijelaskan pada Peraturan Menteri Agama RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam yang termaktub pada Pasal 52. Dengan demikian, sejak PP RI No. 55 Tahun 2007 diundangkan, baru pada tahun 2014 ada penjelasan tentang pendidikan diniyah jalur informal dan itu pun hanya dua ayat yang penjelasannya menurut peneliti kurang jelas. Bunyinya adalah sebagai berikut: (1) Pendidikan diniyah informal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c diselenggarakan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan pemahaman dan pengalama ajaran agama Islam. (2) Pendidikan diniyah informal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk kegiatan pendidikan keagamaan Islam di lingkungan keluarga.36 Ketidakjelasannya
adalah
terkait
dengan
bagaimana
yang
dimaksud dengan pendidikan keagamaan Islam di lingkungan keluarga. Ketidakjelasan ini akan menimbulkan tafsiran yang berbedabeda yang lama kelamaan dapat menimbulkan masalah.
c) Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam lebih banyak bersifat regulatif. Kebijakan yang bersifat regulatif adalah kebijakan yang mengatur dan membatasi. Rumusan regulatif tersebut termaktub pada Pasal 14 ayat (1) s.d (3), Pasal 15, Pasal 16 ayat (1) s.d (3), Pasal 17 ayat (1) s.d (4), Pasal 20 ayat (1) s.d (3), Pasal 21 ayat (1) s.d (3), Pasal 22 ayat (1) s.d (3), Pasal 23 ayat (1) s.d (3), Pasal 24 ayat (1) s.d (6), Pasal 25 ayat (1) s.d (5), dan Pasal 26 ayat (1) s.d (3). Menurut Prof. Husni Rahim selayaknya peraturan itu jangan hanya membuat aturan sesuatu itu harus begini-begitu, tetapi juga memberikan kelonggaran. Lebih jelasnya pernyataan Prof. Husni Rahim adalah sebagai berikut:
36
Bagian Keempat, Pendidikan Diniyah Informal, Pasal 52 PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam.
83
(Peraturan) harus bersifat memberikan dukungan bukan hanya membuat aturan harus begini-begitu. Aturannya biar saja longgar, tetapi dukungan yang bagaimana dia (pendidikan keagamaan Islam), seperti itu yang (seharusnya) dilakukan. Banyak yang membuat aturan begini-begitu malah hanya membuatnya menjadi tidak otonom, seharusnya dia dibiarkan otonom kemudian berikan fasilitas untuk mendukung keotonomannya itu.37 Berdasarkan keterangan di atas, maka seharusnya rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam lebih memberikan kelonggaran kepada penyelenggara agar mereka otonom, bukan mengatur dan membatasi yang membuat gerak mereka tidak leluasa. d) Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam juga lebih banyak bersifat memperkuat negara dibandingkan bersifat memperkuat publik. Rumusan yang bersifat memperkuat negara terdapat tiga pasal dengan enam ayat, sedangkan rumusan yang bersifat memperkuat publik terdapat tiga pasal dengan tiga ayat. Jadi, rumusan yang bersifat memperkuat negara lebih banyak tiga ayat daripada rumusan yang bersifat memperkuat publik. Kebijakan
publik
itu
selayaknya
menyeimbangkan
antara
memperkuat negara dan memperkuat publik. Menurut Riant Nugroho, “Tidak mungkin membangun dengan cara memperkuat civil society di satu sisi dan melemahkan (atau membiarkan lemah) negara di sisi lain.”38 Dia juga menyatakan, “Untuk membangun negara bangsa yang kuat dan unggul, memerlukan rakyat yang kuat dan negara yang kuat. Tidak ada trade off di antara keduanya.”39 Berdasarkan penjelasan di atas, maka seharusnya PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait dengan pendidikan keagamaan Islam memuat rumusan yang memberikan keseimbangan antara negara dan rakyat
37
Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014. Riant Nugroho, op.cit., h. 118. 39 Ibid. 38
84
agar terlaksana kebijakan yang unggul, bukan kebijakan yang menimbulkan masalah baru.
3. Apakah rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 memberi harapan? Kebijakan publik dengan ciri memberi harapan adalah kebijakan yang memberikan harapan kepada warganya bahwa mereka akan lebih baik daripada sebelum kebijakan itu ada. Abd. Halim Soebahar menyatakan bahwa: Ketika ada keinginan pemerintah untuk membuat Madrasah Diniyah Negeri, respon masyarakat memang beragam. Tetapi, sebagian besar menyatakan menyambut baik dan meminta pemerintah membuat percontohan. Ini berarti bahwa visi madrasah negeri adalah visi baru yang dibangun dengan kerangka pikir baru dan boleh jadi tidak berkaitan dengan Madrasah Diniyah sekarang ini. MDA Al-Kamal Jakarta misalnya, menyambut baik gagasan ini, tetapi tidak dengan cara melikuidasi MDA yang sudah ada, sekaligus agar dijaga konsistensinya.40 Pasal 13 ayat (2) memang menyebutkan bahwa Pemerintah berhak mendirikan pendidikan keagamaan. Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa akan adanya pendidikan keagamaan negeri yang dikelola pemerintah. Kehadiran pendidikan keagamaan negeri sebagaimana keterangan di atas menjadi perhatian dan harapan masyarakat. Harapan itu adalah terbentuknya model baru pendidikan keagamaan, bukan menlikuidasi model pendidikan keagamaan yang telah berkembang. Abd. Halim Soebahar juga menyatakan bahwa diundangkannya PP RI No. 55 Tahun 2007 memberikan kegembiraan dan harapan baru bagi pendidikan Islam masa depan. Pernyataan lengkapnya adalah sebagai berikut: Yang lebih menggembirakan dan memunculkan harapan baru bagi pendidikan Islam adalah diundangkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP ini menjadi acuan operasional penyelenggaraan pendidikan Islam. Materi dan nilainilai pendidikan Islam kian menguat, pendidikan keagamaan seperti pesantren, madrasah diniyah, TPA/TPQ, dan majelis ta‟lim diakui eksistensinya. Bahkan Madrasah Diniyah, dengan syarat-syaray tertentu 40
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonansi Guru Sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), Cet.I, h. 87.
85
disetarakan, sehingga selain mengukuhkan eksistensi pendidikan Islam, juga memberikan harapan pendidikan Islam yang lebih cerah di masa depan.41 Pernyataan di atas, jika dilihat rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam memang benar. Rumusan pasal demi pasal tentang pendidikan keagamaan Islam memberikan legalitas yang lebih kuat terhadap penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Penyetaraan pendidikan keagamaan Islam dengan pendidikan umum oleh pemerintah menjadi harapan bagi pendidikan Islam. Secara umum rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 pada Pasal 11 ayat (1) s.d (3) memberikan penjelasan, sebagai berikut: (1) Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan. (2) Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. (3) Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.42 Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) juga memberikan penjelasan tentang kesederajatan pendidikan diniyah formal jenjang dasar dan menengah. Penjelasannya adalah sebagai berikut: (1) Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
41
Ibid., h. 186-187. Bab III Pendidikan Keagamaan, Pasal 11 PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. 42
86
(2) Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.43 Paling penting adalah PP RI No. 55 Tahun 2007 telah memberikan harapan bagi masa depan pendidikan Islam untuk lebih baik dibandingkan sebelum diundangkannya UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP RI No. 55 Tahun 2007. Pada masa lalu pendidikan
keagamaan
Islam
secara
kekuatan
hukum
lemah.
Sebagaimana pernyataan Prof. Husni Rahim sebagai berikut: Aspek hukum atau legalitasnya pendidikan yang di bawah Kemenag pada masa lalu itu lemah. Pendidikan keagamaan baru diakui pada UU RI No. 20 Tahun 2003. Pada UU RI No. 4 Tahun 1950 sebagai UU Sisdiknas pertama, pendidikan keagamaan atau madrasah belum menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, sehingga pendidikan keagamaan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah, maka pendanaannya tidak ada, bantuan pada gurunya juga tidak ada, kalaupun hanya sekadarnya. Kemudian, karena pendidikan keagamaan tidak tanggung jawab negara, tidak dapat bantuan dari negara, tidak dapat fasilitas apa pun maka lulusannya kalah bersaing. Lulusan yang kalah bersaing itu tidak dilirik atau dianggap orang sekadar pelengkap atau tidak utama.44 Oleh sebab itu lah, rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 sebagai kebijakan turunan yang berfungsi sebagai pelaksana UU RI No. 20 Tahun 2003 yang merupakan undang-undang pertama yang menyeterakan pendidikan keagamaan memberikan harapan kepada pendidikan Islam untuk lebih baik di masa depan.
Riant Nugroho memberikan alat ukur untuk menilai kualitas kebijakan publik dilihat berdasarakan ciri-ciri kebijakan publik yang ideal. Alat ukurnya adalah sebagaimana tabel di bawah ini:
43
Bagian Kesatu Pendidikan Keagamaan Islam, Paragraf 1 Pendidikan Diniyah Formal, Pasal 16 PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. 44 Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014.
87
Tabel Alat Ukur Kualitas Kebijakan Publik Kebijakan
Cerdas
Bijaksana
Harapan
Kualitas Kebijakan
Kebijakan A
Tidak
Tidak
Tidak
Amat Buruk
Kebijakan B
Ya
Tidak
Tidak
Buruk
Kebijakan C
Ya
Ya
Tidak
Biasa
Kebijakan D
Ya
Ya
Ya
Unggul
Sumber: Riant Nugroho dalam bukunya Public Policy.
45
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa: Kalau tidak memenuhi semua kriteria, jelas sangat buruk, artinya tidak layak menjadi sebuah kebijakan, dan kalau perlu dihapus. Kalau hanya satu jenis, kebijakan itu pun masih buruk. Kalau dua kriteria, masuk kategori kebijakan biasa saja. Selanjutnya, kebijakan yang memenuhi tiga kriteria, adalah kebijakan yang baik dan nilai baik di sini adalah nilai unggul atau excelleence.46 Berdasarkan berbagai penjelasan di atas tentang rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam ditinjau berdasarkan ciri-ciri kebijakan publik yang ideal, maka jika dibuat dalam tabel kesimpulannya adalah sebagai berikut: Tabel Kualitas Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 Kebijakan PP RI No. 55 Tahun 2007
Cerdas
Bijakasana
Harapan
Ya
Tidak
Ya
Kualitas Kebijakan Biasa
Maka, berdasarkan tabel di atas rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam kualiatasnya tidak mencapai ideal atau biasa saja, karena dari tiga ciri kebijakan publik yang ideal hanya dua ciri yang terpenuhi, yaitu cerdas dan memberi harapan.
45 46
Riant Nugroho, op.cit., h. 747. Ibid.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Kebijakan pengelolaan pendidikan keagamaan Islam dalam PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam jika ditinjau berdasarkan perspektif
kebijakan
publik,
maka
rumusan
pasal-pasalnya
dapat
dikategorikan adalah sebagai berikut: Pertama, jika ditinjau berdasarkan bentuk kebijakan publik maka rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam adalah berbentuk kebijakan formal, yaitu perundang-undangan. Kedua, jika ditinjau berdasarkan tingkatan kebijakan publik pola Kontinental maka rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam termasuk tingkatan messo atau tingkatan pelaksana dari kebijakan umum (tingkatan makro, dalam hal ini UU RI No. 20 Tahun 2003). Kedua, jika ditinjau berdasarkan tujuan kebijakan publik maka rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam lebih cenderung bersifat memperkuat negara dan memperlemah publik, karena rumusannya lebih banyak bersifat memperkuat negara daripada memperkuat publik. Keempat, jika ditinjau dari ciri-ciri kebijakan publik yang ideal maka rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam hanya berkualitas biasa saja, karena dari tiga ciri-ciri kebijakan publik yang ideal, yaitu cerdas, bijaksana, dan memberi harapan. Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam hanya memenuhi dua ciri saja, yaitu cerdas dan memberi harapan. Sedangkan, untuk ciri bijaksana, rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 terkait pendidikan keagamaan Islam lebih cenderung memberi peluang menimbulkan masalah baru.
88
89
B. Saran Ada beberapa hal yang perlu direkomendasikan atau disarankan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Kebenaran yang dihasilkan dalam penelitian ini bersifat relatif dan terdapat keterbatasan. Oleh sebab itu, perlu adanya penyempurnaan oleh peneliti-peneliti berikutnya. 2. Penelitian tentang kebijakan pendidikan keagamaan Islam, sepengetahuan peneliti belum begitu banyak. Oleh sebab itu, perlu adanya penelitianpenelitian berikutnya agar dapat menyempurnakan hasil penelitian ini dan menambah khazanah perkembangan kebijakan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. 3. Memperhatikan fokus penelitian ini kepada rumusan kebijakan dan fokus penelitian kebijakan publik ada beberapa hal, yaitu perumusan, rumusan, implementasi, dan hasil. Oleh sebab itu, perlu adanya penelitian lain yang lebih khusus meneliti pada perumusan, implementasi, dan hasil. Agar menambah hasil penelitian tentang kebijakan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. 4. Pengetahuan tentang kebijakan pendidikan keagamaan Islam bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam menurut peneliti adalah sesuatu yang penting. Oleh sebab itu, peneliti menyarankan agar ada mata kuliah khusus tentang kebijakan pendidikan Islam di Indonesia dan diberikan juga pengetahuan tentang teori-teori kebijakan, karena sepengetahuan peneliti sangat sedikit mahasiswa yang paham akan hal tersebut. 5. Kementerian Agama RI sebagai pengelola pendidikan keagamaan Islam. Peneliti menyarankan agar mengevaluasi rumusan dari PP RI No. 55 Tahun 2007 dan PMA No. 13 Tahun 2014 (kebijakan penjelas PP RI No. 55 Tahun 2007). 6. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama RI sebagai penanggung jawab pendidikan keagamaan Islam selayaknya harus mendesak DPR RI atau Presiden untuk membuat kebijakan khusus yang lebih tinggi tentang pendidikan keagamaan Islam.
DAFTAR PUSTAKA Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. II, 2002. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milineum III. Jakarta: Kencana, 2012. Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Paradigma Baru. Jakarta: Departemen Agama RI, 2005. -----. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah: Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: Departemen Agama RI, 2003. Djamas,
Nurhayati.
Dinamika
Pendidikan
Islam
di
Indonesia
Pascakemerdekaan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009. Fathoni, Muhammad Kholid. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Paradigma Baru. Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005. Fauzan, “Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan dalam Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru”, Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003. tidak dipublikasikan. Hadi, Amirul., dan Haryono. Metodologi Penelitian Pendidikan II. Bandung: CV Pustaka Setia, 1998. Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. II, 1996. Irianto, Yoyon Bahtiar. Kebijakan Pembaruan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. I, 2011. Lubis, Abdul Karim, “Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan Islam di Era Reformasi: Studi UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003”, Tesis pada Pascasarjana
UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta,
2009.
tidak
dipublikasikan. Lubis, M. Solly. Kebijakan Publik. Bandung: CV. Mandar Maju, Cet. I, 2007. Mansur., dan Junaedi, Mahfud. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI, 2005. 90
91
Mardalis. Metodologi Penelitian: Sebuah Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 1995. Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. V, 2005. Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (PSAPM), Cet. II, 2004. Mutohar, Ahmad., dan Anam, Nurul. Manifesto Modernisasi Pendidikan Islam dan Pesantren. Jember: STAIN Jember Press, Cet. I, 2013. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, Cet. XXI, 2013. Nizar, Samsul. Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara. Jakarta: Kencana, Cet. I, 2013. Nugroho, Riant. Public Policy. Edisi V. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014. -----. Metode Penelitian Kebijakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2014. Perwiranegara, Alamsjah Ratu. Pembinaan Pendidikan Agama. Jakarta: Departemen Agama RI, 1982. PMA RI No. 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. PMA RI No. 9 Tahun 2012 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP RI No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Putra Daulay, Haidar. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana, Cet. II, 2004. -----. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, Cet. I, 2007. Putra, Nusa., dan Hendarman. Metodologi Penelitian Kebijakan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. I, 2012.
92
Rahim, Husni. Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu. -----. Wawancara. Ciputat, 04 September 2014. Saleh, Abdul Rachman. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi, dan Aksi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. Saridjo, Marwan. Pendidikan Islam dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Ngali & Penamadani, Cet. I, 2010. Sirozi, M. Politik Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. III, 2010. Soebahar, Abd. Halim. Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. I, 2013. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: CV Alfabeta, 2011, Cet. XIII. Suwendi. Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. I, 2004. Tilaar, H. A. R., dan Nugroho, Riant. Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I. 2008. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. UUD Negara RI 1945 Amandemen Ke-4. Wahab, Solichin Abdul. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet. I, 2012. Wahjoetomo. Perguruan Tinggi Pesantren. Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 1997. Wibawa, Samodra. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu, Cet. I, 2011.
93
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Zuhairini., dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet. X, 2010. Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori-Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. II, 2007.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
94
Hasil Wawancara dengan:
Prof. Dr. Husni Rahim Guru Besar FITK UIN Jakarta, Mantan Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI Ciputat, Kamis, 04 September 2014, Pukul 10.07 s.d 10.18 WIB di FITK 1. Apa permasalahan yang masih dihadapi Pendidikan Keagamaan Islam hingga saat ini, Pak? Jawab: Permasalahan yang masih dihadapi Pendidikan Keagamaan Islam adalah masalah kualitas. Kualitas pendidikan keagamaan Islam belum mampu bersaing dengan pendidikan umum. Bagaimana pendidikan yang di bawah Kemenag dapat bersaing dengan pendidikan yang di bawah Kemendikbud. Dengan kualitaslah pendidikan itu dilirik orang, tanpa adanya kualitas, maka pendidikan itu akan dilecehkan atau tidak dianggap orang. Hanya dengan kualitas lah pendidikan itu bisa bersaing. Kualitas pendidikan keagamaan ini belum mampu bersaing, itu tidak terlepas dari sejarah. Aspek hukum atau legalitasnya pendidikan yang di bawah Kemenag pada masa lalu itu lemah. Pendidikan keagamaan baru diakui pada UU RI No. 20 Tahun 2003. Pada UU RI No. 4 Tahun 1950 sebagai UU Sisdiknas pertama, pendidikan keagamaan atau madrasah belum menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, sehingga pendidikan keagamaan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah, maka pendanaannya tidak ada, bantuan pada gurunya juga tidak ada, kalaupun hanya sekadarnya. Kemudian, karena pendidikan keagamaan tidak tanggung jawab negara, tidak dapat bantuan dari negara, tidak dapat fasilitas apa pun maka lulusannya kalah bersaing. Lulusan yang kalah bersaing itu tidak dilirik atau dianggap orang sekadar pelengkap atau tidak utama. Padahal, pendidikan di bawah Kemenag itu seharusnya menjadi sumber kedua dari SDM Indonesia (maksudnya yang pertama adalah SDM nasional-keagamaan, lalu kedua adalah SDM keagamaan yang nasional, tetapi semuanya tetap satu bagian dari sistem pendidikan nasional).
1
2
Dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 semua (pendidikan Islam) yang awalnya belum diakui sudah diakui, madrasah dan pendidikan keagamaan sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. 2. Lalu, Bagaimana dengan Implementasinya (pengakuan pendidikan keagamaan oleh UU Sisdiknas 2003), Pak? Jawab: Seharusnya kebijakan di lapangan harus segera diimplementasikan. Tetapi, perubahan dari yang tidak akui kemudian diakui dalam sistem pendidikan nasional tidak secara otomatis di lapangan terjadi perubahan. Jadi, bagaimana pendidikan keagamaan yang selama ini kurang mendapat perhatian seharusnya diangkat, karena pendidikan keagamaan sudah tanggung jawab pemerintah, tetapi kalau dibiarkan (tidak diimplementasikan) itu akan menjadi
problem
utama.
Jadi,
harus
ada
langkah
berikutnya
mengimplementasikan undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada tentang pendidikan keagamaan. 3. Jadi, menurut Bapak, kebijakan pemerintah tentang pendidikan keagamaan belum sempurna? Jawab: Sudah bagus, tetapi sekarang hanya implementasinya. Payung hukum sudah ada, maka implementasinya harus diiringi aturan-aturan main dan dukungan anggaran keuangan. Jadi, ketika madrasah sudah sama dengan sekolah umum, maka ketinggalan yang selama ini dikejar, karena sekarang sudah jadi kewajiban pemerintah. Oleh sebab itu, anggaran harus diberikan untuk mengejar ketertinggalan. Sekarang, pesantren yang dulu belum diakui, sekarang sudah diakui. Jadi, untuk dapat diakui harus dikejar ketinggalan yang belum dapat dikejar. Jadi, semua peraturann itu harus digerakkan supaya pendidikan keagamaan mampu bersaing, mampu menghasilkan SDM dengan ciri khas keunggulan agama + umum, kalau diknas keunggulan sains (umum) + agama, sehingga hasilnya sama. Jadi, implementasi yang belum sempurna, Pak? Ya. Itu (implementasi itu) yang harus dikerjakan.
3
4. Menurut Bapak, seberapa penting PP RI No. 55 Tahun 2007 untuk Pendidikan Keagamaan Islam dan Bagaimana Implementasinya? Jawab: Bagus untuk pelaksanaan, tetapi PP tersebut harus lebih “membumi”, yaitu melihat realitas, bukan tataran dari aspek orang dibelakang meja. Jadi, ketika muncul kebijakan pendidikan keagamaan, dengan diakuinya pondok pesantren maka itu harus dibumikan. Bagaimana menjadikan orang lulusan pesantren sama dengan lulusan S1. Membumikannya adalah dengan membuat sistem yang sama untuk memperoleh S1 di tempat umum, misalnya lulusan S1 harus menyelesaikan beberapa sks. Jadi, tugasnya adalah bagaimana meng-sks-kan pelajaran yang semata-mata tentang al-Quran dalam bentuk jadi beberapa sks. Oleh sebab itu, perlu dibuat aturan bagaimana memperoleh kesejajaran itu. Tetapi, kalau tidak, mereka yang sudah hapal al-Quran dan sudah menguasai al-Quran dengan bagus tetapi harus mengambil ijazah yang lain. Padahal, UU sudah mengakui boleh. Jadi, implementasinya yang belum. 5. Apakah PP RI No. 55 Tahun 2007 ini Pak, masih memerlukan kebijakan yang lebih operasional dalam bentuk Peraturan Menteri Agama (PMA)? Jawab: Biasanya begitu untuk memberikan dukungan. Jadi Peraturan Menteri harus bersifat memberikan dukungan bukan hanya membuat aturan harus begini-begitu. Aturannya biar saja longgar, tetapi dukungan yang bagaimana dia seperti itu yang dilakukan. Banyak yang membuat aturan begini-begitu malah hanya membuatnya menjadi tidak otonom, seharusnya dia dibiarkan otonom kemudian berikan fasilitas untuk mendukung keotonomannya itu. Misalnya, pengakuan yang belajar al-quran, maka dukungannya pertama adalah menyiapkan semua bacaan-bacaan yang berkaitan dengan materi itu (al-Quran), sehingga mengkuantitatifkan menjadi sks gampang, misalnya lulus tafsir al-maraghi maka dia dapat sekian sks. Kemudian dukungannya terakhir adalah bagaimana menyiapkan dosennya sesuai kepangkatan. Untuk menjadi dosen biasanya dia harus lektor, maka perlu didukung bagaimana yang belum lektor menjadi lektor. Oleh karena itu, keterbukaan ini diimplementasikan kalau tidak, hanya jadi peraturan saja
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan;
Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301); 3. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 2727); MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
BAB I . . .
- 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. 2. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. 3. Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan. 4. Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya. 5. Pasraman adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal. 6. Pesantian adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan nonformal yang mengacu pada sastra agama dan/atau kitab suci Weda. 7. Pabbajja samanera adalah satuan pendidikan keagamaan Buddha pada jalur pendidikan nonformal. 8. Shuyuan adalah satuan pendidikan keagamaan Khonghucu yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan yang mengacu pada Si Shu Wu Jing.
9. Tempat . . .
- 3 9. Tempat pendidikan agama adalah ruangan yang digunakan untuk melaksanakan pendidikan agama. 10. Rumah ibadah adalah bangunan yang secara khusus dibangun untuk keperluan tempat beribadah warga satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau masyarakat umum. 11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. 12. Menteri Agama adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. BAB II PENDIDIKAN AGAMA Pasal 2 (1) Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. (2) Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Pasal 3 (1) Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama. (2) Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama.
Pasal 4 . . .
- 4 Pasal 4 (1) Pendidikan agama pada pendidikan formal dan program pendidikan kesetaraan sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah agama. (2) Setiap peserta didik pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama. (3) Setiap satuan pendidikan menyediakan menyelenggarakan pendidikan agama.
tempat
(4) Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggara pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik. (5) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan agama yang dianut oleh peserta didik. (6) Tempat melaksanakan ibadah agama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya. (7) Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 5 . . .
- 5 Pasal 5 (1) Kurikulum pendidikan agama Standar Nasional Pendidikan.
dilaksanakan
(2) Pendidikan agama diajarkan sesuai perkembangan kejiwaan peserta didik.
dengan
sesuai tahap
(3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan seharihari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. (5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab. (6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga. (7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses. (8) Satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan. (9) Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalaman materi.
Pasal 6 . . .
- 6 Pasal 6 (1) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (2) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan. (3) Dalam hal satuan pendidikan tidak dapat menyediakannya, maka Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib menyediakannya sesuai kebutuhan satuan pendidikan. Pasal 7 (1) Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) sampai dengan ayat (7), dan Pasal 5 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan sampai dengan penutupan setelah diadakan pembinaan/pembimbingan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. satuan pendidikan tinggi dilakukan oleh Menteri setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama; b. satuan pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh bupati/walikota setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
c. satuan . . .
- 7 c. satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan oleh pemerintah daerah menjadi bertaraf internasional dilakukan oleh kepala pemerintahan daerah yang mengembangkannya setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi atau Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, serta tentang pendidik pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur dengan Peraturan Menteri Agama. BAB III PENDIDIKAN KEAGAMAAN Pasal 8 (1) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (2) Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilainilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Pasal 9 . . .
- 8 Pasal 9 (1) Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. (2) Pendidikan keagamaan diselenggarakan pendidikan formal, nonformal, dan informal. (3) Pengelolaan pendidikan Menteri Agama.
keagamaan
pada
dilakukan
jalur oleh
Pasal 10 (1) Pendidikan keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama. (2) Penyelenggaraan pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum/keterampilan terutama bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik pindah pada jenjang yang sama atau melanjutkan ke pendidikan umum atau yang lainnya pada jenjang berikutnya. Pasal 11 (1) Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan. (2) Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. (3) Peserta . . .
- 9 (3) Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya. Pasal 12 (1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan. (2) Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. (3) Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang, melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan. (4) Akreditasi atas pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama. Pasal 13 (1) Pendidikan keagamaan dapat berbentuk satuan atau program pendidikan. (2) Pendidikan keagamaan dapat didirikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. (3) Pendirian satuan pendidikan keagamaan wajib memperoleh izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk. (4) Syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. isi pendidikan . . .
- 10 a. isi pendidikan/kurikulum; b. jumlah dan kependidikan;
kualifikasi
pendidik
dan
tenaga
c. sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran; d. sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan sekurang-kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik berikutnya; e. sistem evaluasi; dan f. manajemen dan proses pendidikan. (5) Ketentuan lebih lanjut tentang syarat-syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diatur dengan Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman pada ketentuan Standar Nasional Pendidikan. (6) Pendidikan keagamaan jalur nonformal yang tidak berbentuk satuan pendidikan yang memiliki peserta didik 15 (lima belas) orang atau lebih merupakan program pendidikan yang wajib mendaftarkan diri kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Bagian Kesatu Pendidikan Keagamaan Islam Pasal 14 (1) Pendidikan keagamaan diniyah dan pesantren.
Islam
berbentuk
pendidikan
(2) Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
(3) Pesantren . . .
- 11 (3) Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Paragraf 1 Pendidikan Diniyah Formal Pasal 15 Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pasal 16 (1) Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat. (2) Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat. (3) Penamaan satuan pendidikan diniyah dasar dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan. Pasal 17 (1)
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurangkurangnya 7 (tujuh) tahun.
(2) Dalam . . .
- 12 (2)
Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar.
(3)
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah pertama, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah dasar atau yang sederajat.
(4)
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat. Pasal 18
(1)
Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar.
(2)
Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya. Pasal 19
(1)
Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.
(2)
Ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 20 . . .
- 13 Pasal 20 (1)
Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, vokasi, dan profesi berbentuk universitas, institut, atau sekolah tinggi.
(2)
Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap program studi pada perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia.
(3)
Mata kuliah dalam kurikulum program studi memiliki beban belajar yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks).
(4)
Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. Paragraf 2 Pendidikan Diniyah Nonformal Pasal 21
(1)
Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis.
(2)
Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk satuan pendidikan.
(3)
Pendidikan diniyah nonformal yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan.
Pasal 22 . . .
- 14 Pasal 22 (1)
Pengajian kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami ajaran Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam.
(2)
Penyelenggaraan pengajian kitab dapat secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(3)
Pengajian kitab dilaksanakan di pondok pesantren, masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.
dilaksanakan
Pasal 23 (1)
Majelis Taklim atau nama lain yang sejenis bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia peserta didik serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta.
(2)
Kurikulum Majelis Taklim bersifat terbuka dengan mengacu pada pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta akhlak mulia.
(3)
Majelis Taklim dilaksanakan di masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat. Pasal 24
(1)
Pendidikan Al-Qur’an bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan Al Qur’an.
(2)
Pendidikan Al-Qur’an terdiri dari Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKQ), Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis.
(3)
Pendidikan Al-Qur’an dapat berjenjang dan tidak berjenjang.
dilaksanakan
secara
(4) Penyelenggaraan . . .
- 15 (4)
Penyelenggaraan pendidikan Al-Qur’an dipusatkan di masjid, mushalla, atau ditempat lain yang memenuhi syarat.
(5)
Kurikulum pendidikan Al-Qur’an adalah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Al Qur’an, tajwid, serta menghafal doa-doa utama.
(6)
Pendidik pada pendidikan Al-Qur’an minimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, dapat membaca Al-Qur’an dengan tartil dan menguasai teknik pengajaran Al-Qur’an. Pasal 25
(1)
Diniyah takmiliyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT.
(2)
Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(3)
Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dilaksanakan di masjid, mushalla, atau di tempat lain yang memenuhi syarat.
(4)
Penamaan atas diniyah kewenangan penyelenggara.
(5)
Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi.
takmiliyah
merupakan
Paragraf 3 . . .
- 16 Paragraf 3 Pesantren Pasal 26 (1)
Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat.
(2)
Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi.
(3)
Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Bagian Kedua Pendidikan Keagamaan Kristen Pasal 27
(1)
Pendidikan keagamaan Kristen diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan . . .
- 17 (2)
Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal diselenggarakan pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
(3)
Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibina oleh Menteri Agama. Pasal 28
Penamaan satuan pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal jenjang pendidikan menengah dan tinggi merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan. Pasal 29 (1)
Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar Teologi Kristen (SDTK) dan Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen (SMPTK).
(2)
Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan menengah adalah Sekolah Menengah Agama Kristen (SMAK) dan Sekolah Menengah Teologi Kristen (SMTK) atau yang sederajat, yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(3)
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pada pendidikan menengah keagamaan Kristen seseorang harus berijazah SMP atau yang sederajat.
(4)
Pengelolaan SMAK dan SMTK diselenggarakan oleh Pemerintah, gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen.
(5)
Kurikulum SMAK dan SMTK memuat bahan kajian tentang agama/teologi Kristen dan kajian lainnya pada jenjang menengah.
(6)
Isi dan materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral merupakan kewenangan gereja dan/atau kelembagaan Kristen.
Pasal 30 . . .
- 18 Pasal 30 (1)
Pendidikan tinggi keagamaan Kristen diselenggarakan oleh gereja dan atau lembaga keagamaan Kristen.
(2)
Pendidikan keagamaan jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) dan Sekolah Tinggi Teologi (STT) atau bentuk lain yang sejenis.
(3)
STAK, STT atau bentuk lain yang sejenis dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
(4)
Penamaan satuan jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5)
Isi/materi kurikulum menyangkut iman dan moral pendidikan keagamaan Kristen/Teologi jenjang pendidikan tinggi merupakan kewenangan gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen.
(6)
Untuk dapat diterima sebagai mahasiswa pada pendidikan tinggi keagamaan Kristen seseorang harus berijazah SMA atau yang sederajat. Bagian Ketiga Pendidikan Keagamaan Katolik Pasal 31
(1)
Pendidikan keagamaan Katolik diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2)
Pendidikan keagamaan Katolik pada jalur pendidikan formal diselenggarakan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi.
(3)
Pendidikan keagamaan Katolik pada jalur formal dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 32 . . .
- 19 Pasal 32 Penamaan satuan pendidikan keagamaan Katolik jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan. Pasal 33 (1)
Pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah merupakan Sekolah Menengah Agama Katolik (SMAK) atau yang sederajat yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2)
Pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah dibina oleh Menteri Agama. Pasal 34
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan menengah keagamaan Katolik seseorang harus berijazah SMP atau yang sederajat. Pasal 35 (1) Kurikulum pendidikan keagamaan Katolik memuat bahan kajian tentang agama Katolik dan kajian lainnya pada jenjang menengah. (2) Isi dan materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral merupakan wewenang gereja Katolik dan/atau Uskup. Pasal 36 Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah dilakukan oleh gereja Katolik/keuskupan.
Pasal 37 . . .
- 20 Pasal 37 (1) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan oleh gereja Katolik/keuskupan. (2) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan satuan pendidikan tinggi keagamaan yang mendapat ijin dari Menteri Agama. (3) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Pastoral/Kateketik/Teologi atau bentuk lain yang sejenis dan sederajat. (4) Penamaan satuan pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan hak penyelenggara yang bersangkutan. (5) Isi dan/atau materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan kewenangan gereja Katolik. (6) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pada pendidikan tinggi keagamaan Katolik seseorang harus berijazah SMA atau sederajat. Bagian Keempat Pendidikan Keagamaan Hindu Pasal 38 (1) Pendidikan keagamaan Hindu merupakan pendidikan berbasis masyarakat yang diselenggarakan dalam bentuk Pasraman, Pesantian, dan bentuk lain yang sejenis. (2) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Hindu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(3) Pendidikan . . .
- 21 (3) Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur formal, dan nonformal. (4) Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur formal setingkat TK disebut Pratama Widya Pasraman, yaitu tingkat Pratama Widya Pasraman A (TK A) dan tingkat Pratama Widya Pasraman B (TK B). (5) Pendidikan pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan dasar setingkat SD disebut Adi Widya Pasraman terdiri atas 6 (enam) tingkat. (6) Pendidikan Pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan dasar setingkat SMP disebut Madyama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat. (7) Pendidikan Pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan menengah setingkat SMA disebut Utama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat. Pasal 39 (1) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik (Brahmacari) Adi Widya Pasraman, seseorang harus berijazah Pratama Widya Pasraman atau yang sederajat. (2) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik (Brahmacari) Madyama Widya Pasraman, seseorang harus berijazah Adi Widya Pasraman atau yang sederajat. (3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik (Brahmacari) Utama Widya Pasraman, seseorang harus berijazah Madyama Widya Pasraman atau yang sederajat. (4) Pendidikan Adi Widya Pasraman terdiri atas 6 (enam) tingkat selama 6 (enam) tahun, pendidikan Madyama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat selama 3 (tiga) tahun, dan pendidikan Utama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat selama 3 (tiga) tahun.
(5) Peserta didik . . .
- 22 (5) Peserta didik (Brahmacari) pada pendidikan Pasraman berkewajiban melaksanakan warna asrama dharma. (6) Acarya atau pendidik membimbing, menuntun, dan membekali peserta didik (Brahmacari) dengan pengetahuan agama lainnya sesuai dengan kurikulum. Pasal 40 (1) Maha Widya Pasraman atau pendidikan keagamaan tinggi Hindu, diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat. (2) Penamaan satuan jenjang Maha Widya Pasraman yang diselenggarakan oleh masyarakat merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan. (3) Maha Widya Pasraman diselenggarakan sesuai dengan ketentuan tentang pendidikan tinggi dalam Standar Nasional Pendidikan. Pasal 41 (1) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal dilaksanakan dalam bentuk Pesantian, sad dharma yaitu dharmatulla, dharma sadhana, dharma wacana, dharma yatra, dharma gita, dharma santi atau dalam bentuk lain yang sejenis. (2) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal merupakan kegiatan pendidikan keagamaan Hindu secara berjenjang atau tidak berjenjang bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama di sekolah formal dalam rangka meningkatkan sraddha dan bhakti peserta didik. (3) Penyelenggaraan pendidikan keagamaan Hindu nonformal sebagai kegiatan pendidikan keagamaan Hindu berbasis masyarakat, diselenggarakan oleh lembaga sosial dan tradisional keagamaan Hindu, dilaksanakan di lingkungan tempat ibadah, balai adat, dan tempat lainnya yang memenuhi syarat.
(4) Pendidikan . . .
- 23 (4) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal keberadaannya kepada Menteri Agama.
didaftarkan
Bagian Kelima Pendidikan Keagamaan Buddha Pasal 42 (1) Pendidikan keagamaan Buddha diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan nonformal dalam bentuk program Sekolah Minggu Buddha, Pabbajja Samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (2) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Buddha dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Pasal 43 (1) Pabbajja Samanera merupakan pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh Sangha atau Majelis Keagamaan Buddha bertempat di Vihara/Cetiya yang diperuntukkan khusus bagi samanera, samaneri, silacarini, buddhasiswa, dalam rangka peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan. (2) Pabbajja Samanera bertujuan untuk menanamkan disiplin pertapaan sesuai dengan ajaran Sang Buddha dalam meningkatkan kualitas keimanan umat Buddha. (3) Pabbajja Samanera dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) minggu. (4) Peserta didik Pabbajja Samanera meliputi anak-anak, remaja, dan dewasa. (5) Kurikulum Pabbajja Samanera meliputi riwayat hidup Buddha Gotama, etika samanera, pokok-pokok dasar agama Buddha, paritta/mantra, meditasi, kedharmadutaan, dan materi penting terkait lainnya.
(6) Pendidik . . .
- 24 (6) Pendidik pada Pabbajja Samanera mencakup para Bhikkhu/Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Pandita, Pendidik Agama, atau yang berkompetensi. Pasal 44 (1) Sekolah Minggu Buddha merupakan kegiatan belajar mengajar nonformal yang dilaksanakan di Vihara atau Cetya setiap hari Minggu secara rutin. (2) Sekolah Minggu Buddha bertujuan untuk menanamkan saddha/sraddha dan bhakti peserta didik dalam rangka meningkatkan keimanan umat Buddha secara berkesinambungan. (3) Sekolah Minggu Buddha diselenggarakan berjenjang atau tidak berjenjang.
secara
(4) Sekolah Minggu Buddha merupakan pelengkap atau bagian dari pendidikan agama pada satuan pendidikan formal. (5) Kurikulum Sekolah Minggu Buddha memuat bahan kajian Paritta/Mantram, Dharmagita, Dhammapada, Meditasi, Jataka, Riwayat Hidup Buddha Gotama, dan Pokok-pokok Dasar Agama Buddha. (6) Tenaga Pendidik pada Sekolah Minggu Buddhis mencakup Bhikkhu/Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Samanera/Sramanera, Samaneri/Sramaneri, Pandita, Pendidik Agama, atau yang berkompetensi. Bagian Keenam Pendidikan Keagamaan Khonghucu Pasal 45 (1)
Pendidikan keagamaan Khonghucu diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan . . .
- 25 (2)
Pendidikan keagamaan Khonghucu berbentuk program Sekolah Minggu, Diskusi Pendalaman Kitab Suci, Pendidikan Guru dan Rohaniwan Agama Khonghucu, atau bentuk lain yang sejenis.
(3)
Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Khonghucu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Pasal 46
(1)
Sekolah Minggu Khonghucu dan Diskusi Pendalaman Kitab Suci merupakan kegiatan belajar-mengajar nonformal yang dilaksanakan di Xuetang, Litang, Miao dan Klenteng, yang dilaksanakan setiap minggu dan tanggal 1 serta 15 penanggalan lunar.
(2)
Sekolah Minggu Khonghucu dan Diskusi Pendalaman Kitab Suci bertujuan untuk menanamkan keimanan dan budi pekerti peserta didik.
(3)
Kurikulum Sekolah Minggu Khonghucu memuat bahan kajian Daxue, Zhongyong, Lunyu, Mengzi, Yijing, Shujing, Liji, Shijing, Chun Qiu Jing, Xiaojing, Sejarah Suci Agama Khonghucu, serta Tata Agama/Peribadahan Khonghucu.
(4)
Tenaga Pendidik pada pendidikan keagamaan Khonghucu mencakup Jiaosheng, Wenshi, Xueshi, Zhanglao atau yang mempunyai kompetensi. Pasal 47
Pendidikan Guru dan Rohaniwan Agama Khonghucu adalah pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan di Shuyuan atau lembaga pendidikan lainnya dan oleh yayasan yang bergerak dalam pendidikan atau perkumpulan umat Khonghucu.
BAB IV . . .
- 26 BAB IV KETENTUAN LAIN Pasal 48 Seluruh satuan pendidikan, program, dan kegiatan pendidikan keagamaan diselenggarakan dengan mengacu pada ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 49 Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yang ada pada saat diberlakukan Peraturan Pemerintah ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 50 Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak tanggal berlakunya Peraturan Pemerintah ini. Pasal 51 Peraturan Pemerintah diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar . . .
- 27 Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR.H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 124
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Atas dasar amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahan Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 37 ayat (1) mewajibkan Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut “Pendidikan Agama”. Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar agama dapat dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran /kuliah agama. Pendidikan Agama dengan demikian sekurang-kurangnya perlu berbentuk mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Agama untuk menghindari kemungkinan peniadaan pendidikan agama di suatu satuan pendidikan dengan alasan telah dibelajarkan secara terintegrasi. Ketentuan tersebut terutama pada penyelenggaraan pendidikan formal dan pendidikan kesetaraan.
Selain itu . . .
- 2 Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 12 ayat (1) huruf a mengamanatkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama. Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu pertama, untuk menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama; kedua, dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama; ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama. Pendidikan keagamaan pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari merupakan bagian tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan keagamaan juga berkembang akibat mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi berbagai keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan tambahan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan yang kemudian berkembang menjadi satuan atau program pendidikan keagamaan formal, nonformal atau informal. Secara historis, keberadaan pendidikan keagamaan berbasis masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat belajar, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan. Dalam kenyataan terdapat kesenjangan sumber daya yang besar antar satuan pendidikan keagamaan. Sebagai komponen Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan keagamaan perlu diberi kesempatan untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk Pemerintah dan pemerintah daerah. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal sesuai karakteristik agama masing-masing.
II. PASAL . . .
- 3 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Kurikulum pendidikan agama bagi peserta didik yang beragama berbeda dengan kekhasan agama satuan pendidikan menggunakan kurikulum pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut peserta didik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kerjasama tentang penyelenggaraan pendidikan agama dengan penyelenggara pendidikan agama di masyarakat memperhatikan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Beberapa satuan pendidikan dapat bekerjasama menyediakan pendidik pendidikan agama.
Ayat (2) . . .
- 4 Ayat (2) Dalam hal penyediaan pendidik pendidikan agama tidak dapat dilakukan oleh setiap atau beberapa satuan pendidikan, maka Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menyediakan tempat penyelenggaraan pendidikan agama dengan menggabungkan para peserta didik seagama dari beberapa satuan pendidikan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Pemerintah/pemerintah daerah wajib menyalurkan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang ditutup ke satuan pendidikan lain yang sejenis. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Keterampilan mencakup pola-pola pendidikan yang dikembangkan pada jenis pendidikan kejuruan, vokasi, dan pendidikan kecakapan/keahlian lainnya. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Pemberian bantuan sumber daya pendidikan meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya.
Pemberian . . .
- 5 Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Bantuan dana pendidikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam meliputi ilmu agama Islam (dirasah Islamiyah), atau terpadu dengan ilmu-ilmu umum dan keterampilan. Ilmu agama Islam (dirasah Islamiyah) dapat menggunakan klasifikasi tema: aqidah, tafsir, hadis, usul fikih, fikih, akhlak, tasawuf, dan tarikh Islam. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 . . .
- 6 Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2) Pendidik/satuan pendidikan dapat menggabungkan berbagai muatan pendidikan menjadi satu mata pelajaran atau lebih dalam kurikulum. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi antara lain Ma’had ‘Aly. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Pengajian kitab di dalam pesantren diselenggarakan untuk mengkaji kandungan Al Quran dan As sunnah dan pemahaman transformatif atas kitab-kitab salaf (kitab kuning) dan kholaf (modern). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 . . .
- 7 Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penamaan “diniyah takmiliyah” yang umum dipakai masyarakat adalah madrasah diniyah. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 . . .
- 8 Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48 . . .
- 9 Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4769
i
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.639, 2012
KEMENTERIAN AGAMA. Keagamaan Islam. Pencabutan.
Pendidikan.
PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
bahwa Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam telah menimbulkan berbagai persepsi yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan peraturan dimaksud dan karenanya perlu dicabut;
Mengingat
:
1.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4769);
2.
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.639
2
3.
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara; 4. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 592); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG PENCABUTAN PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM. Pasal 1 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 2 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Juni 2012 MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA, SURYADHARMA ALI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 Juni 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN
www.djpp.depkumham.go.id