BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Lansia merupakan penduduk rentan yang memerlukan perhatian khusus, hal ini dijelaskan dalam undang - undang Nomor 17 tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional yang menetapkan bahwa pembangunan kesehatan
diselenggarakan
berdasarkan
perikemanusiaan,
pemberdayaan,
kemandirian, adil dan merata. Penduduk rentan dalam undang-undang ini terdiri dari ibu, anak, manusia usia lanjut, dan keluarga miskin. Pembangunan kesehatan ini juga diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan yang setinggitinggginya dapat terwujud (Depkes, 2009). Salah satu indikator keberhasilan pembangunan di Indonesia adalah meningkatnya derajat kesehatan sehingga juga akan meningkatnya usia harapan hidup penduduk di Indonesia. Seiring dengan semakin meningkatnya
usia
harapan hidup penduduk maka akan menyebabkan peningkatan jumlah lansia dari tahun ke tahun. Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA) melaporkan pada tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah lansia 7.998.543 orang (5,45%) maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,90%) dan UHH juga meningkat menjadi 66,2 tahun. Pada tahun 2011 penduduk lansia di Indonesia mencapai 19,5 juta jiwa dan pada tahun 2025 jumlah lansia diperkirakan mencapai 13,2% dari total penduduk (Hamid, 2007).
1
2
Proses penuaan yang terjadi pada lansia akan menyebabkan menurunnya fungsi tubuh sehingga akan mengakibatkan terjadinya masalah kesehatan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia adalah perubahan mental, psikososial, spiritual dan perubahan fisik. Perubahan fisik terjadi penurunan pada sistem-sistem yang ada dalam tubuh (Ismayadi, 2004). Gangguan pada sistem kardiovaskuler paling banyak dialami oleh lansia. Perubahan yang terjadi pada sistem kardiovaskuler ini salah satunya akan menyebabkan lansia mengalami hipertensi. Menurut Smeltzer & Bare (2002), hipertensi merupakan masalah yang banyak di temui pada lansia. Lansia dengan tekanan darah kurang dari 140/90 mm Hg akan hidup lebih lama daripada orang dengan tekanan darah yang lebih tinggi. Hal ini juga didukung oleh Riskesdas tahun 2007, yang menunjukkan bahwa hipertensi merupakan penyakit tertinggi kedua yang dialami oleh lansia setelah nyeri sendi. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2012 menunjukkan bahwa pada umur 60-70 tahun ke atas mengalami hipertensi sebanyak 2016 orang dari 3395 orang lansia, dimana pada kisaran umur ini merupakan data kejadian terbanyak terjadi hipertensi dari kisaran umur lainnya. Sedangkan data dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar tahun 2012 menunjukkan bahwa hipertensi merupakan penyakit yang paling banyak terjadi pada lansia dibandingkan dengan penyakit lainnya yaitu sebanyak 797 orang dari 2144 orang lansia. Dinas Kesehatan Kota Denpasar pada bulan Juni 2013 juga menunjukkan bahwa dari 11 puskesmas yang
3
ada di kota Denpasar, Puskesmas IV Denpasar Selatan memiliki angka tertinggi lanjut usia yang mengalami hipertensi. Penyakit hipertensi merupakan faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung kongestif serta penyakit cerebrovaskuler sehingga penyakit ini perlu untuk ditangani. Penatalaksanaan secara farmakologi sudah banyak dikembangkan untuk mengatasi penyakit hipertensi. Beberapa jenis farmakologi yang sering digunakan seperti obat diuretik, penghambat simpatis, golongan beta blocker, vasodilator, ACE inhibitor, calcium antagonis, dan penghambat reseptor angiotensin II. Semua obat tersebut memilki cara kerja yang berbeda dan memiliki kelebihan masing-masing, tetapi obat ini juga menimbulkan efek samping pada penderita hipertensi (Depkes, 2006). Seiring dengan kemajuan yang ada sudah banyak ditemukan adanya obatobatan yang dapat menurunkan tekanan darah pada lansia. Namun penanganan secara non farmakologis juga banyak diminati oleh masyarakat karena sangat mudah untuk dipraktekan, tidak mengeluarkan biaya yang terlalu banyak dan efek sampingnya tidak terlalu berbahaya (Zulhafni, 2011). Salah satu terapi non farmakologis untuk menurunkan tekanan darah adalah terapi komplementer. Terapi komplementer bersifat terapi pengobatan ilmiah diantaranya adalah dengan terapi biologi dengan menggunakan herbal, terapi energy, metode manipulasi tubuh, mind-body medicine, akupuntur (Cahyono, 2011). Terapi herbal banyak digunakan oleh masyarakat untuk menangani penyakit hipertensi dikarenakan memiliki efek samping yang sedikit. Salah satu terapi herbal untuk menurunkan tekanan darah adalah penggunaan daun seledri. Hal ini juga
4
didukung oleh penelitian Rahmawati (2012) menunjukkan bahwa jus seledri kombinasi wortel dan madu significant menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi. Seledri (apium graveolens) adalah salah satu jenis sayuran dan tumbuhan obat yang biasa digunakan sebagai bumbu masakan. Di Indonesia tumbuhan ini diperkenalkan oleh penjajah Belanda dan sering digunakan untuk menyedapkan sup. Seledri (Apium graveolens) mengandung flavonoid yang berfungsi sebagai anti oksidan sehingga dapat sebagai anti inflamasi. Kandungan phthalides dalam seledri berfungsi untuk merelaksasi dan melemaskan otot-otot halus pembuluh darah dan menurunkan hormon stres dalam darah (Zulhafni, 2011). Menurut data dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar bulan Juni 2013 menunjukkan bahwa dari 11 puskesmas yang ada di kota Denpasar, Puskesmas IV Denpasar Selatan memiliki angka tertinggi lanjut usia yang mengalami hipertensi. Hal ini didukung oleh studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas IV Denpasar Selatan pada bulan September 2013, jumlah lansia yang menderita hipertensi sebanyak 70 orang dari 196 orang lansia. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada pengaruh pemberian air rebusan seledri terhadap tekanan darah pada lanjut usia.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut: “Adakah Pengaruh Pemberian Air Rebusan Seledri Terhadap Penurunan Tekanan Darah Lansia Dengan Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas IV Denpasar Selatan ?”
5
1.3 Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum Mengetahui pengaruh dari pemberian air rebusan seledri terhadap penurunan tekanan darah pada lansia
1.3.2
Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi tekanan darah lansia pre-test pada kelompok perlakuan b. Mengidentifikasi tekanan darah lansia pre-test pada kelompok kontrol c. Mengidentifikasi tekanan darah lansia post-test pada kelompok per lakuan d. Mengidentifikasi tekanan darah lansia post-test pada kelompok kontrol e. Menganalisis perbedaan tekanan darah pre-test dan post-test pada kelompok perlakuan f. Menganalisis perbedaan tekanan darah pre-test dan post-test pada kelompok kontrol g. Menganalisis perbedaan penurunan tekanan darah pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
6
1.4 Manfaat
1.4.1
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi keluarga dalam menggunakan obat herbal sebagai salah satu terapi alternatif untuk menurunkan tekanan darah pada lansia.
1.4.2
Manfaat Teoritis a. Bagi tenaga kesehatan diharapkan dapat dijadikan sebagai wahana untuk menambah pengetahuan dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh. b. Sebagai informasi ilmiah dalam bidang keperawatan mengenai penggunaaan terapi komplementer yaitu pemberian air rebusan seledri untuk menurunkan tekanan darah pada lansia. c. Dapat memberikan informasi atau data dasar bagi peneliti selanjutnya dan sebagai motivasi untuk menyadari pentingnya terapi rebusan seledri dalam menurunkan tekanan darah maupun untuk mengatasi masalah kesehatan lainnya.
1.5 Keaslian Penelitian Penelitian tentang “Pemberian Rebusan Seledri untuk Menurunkan Tekanan Darah pada Lansia di Puskesmas”
sepengetahuan penulis belum pernah
dilakukan penelitian sebelumnya, tetapi ada beberapa penelitian yang mendukung penelitian ini:
7
1. Penelitian Rastiti (2011), Pengaruh Pemberian Rebusan Buah Belimbing Wuluh Terhadap Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi di Banjar Sulangai-Petang-Badung 2011, menyimpulkan bahwa Faktor penting yang menyebabkan hipertensi adalah stress oksidatif. Antioksidan seperti flavonoid dan vitamin C yang terkandung dalam buah belimbing wuluh merupakan salah satu cara untuk menanggulangi stress oksidatif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
belimbing
wuluh
dapat
menanggulangi
stress
oksidati.
Perbedaannya dengan penelitian ini adalah terapi obat herbal yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah. 2. Penelitian Wahyuningtyas, dkk (2012), Pengaruh Pemberian Ekstrak
Mengkudu Terhadap Penurunan Tekanan Darah pada Penderita Hipertensi di Desa Ujungwatu Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara menyimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan pemberian ekstrak mengkudu terhadap penurunan tekanan darah. 3. Penelitian Rahmawati, R. Praktiko G, M. Duraicha M, S. (2012),
Pengaruh Jus Seledri Kombinasi Wortel dan Madu Terhadap Penurunan Tingkat Hipertensi pada Pasien Hipertensi menyimpulkan bahwa ada perbedaan yang significant atau ada pengaruh sebelum dan setelah pemberian jus seledri kombinasi wortel dan madu terhadap tingkat hipertensi pada pasien hipertensi. 4. Penelitian Zulhafni (2011),
Pengaruh Rebusan Seledri Terhadap
Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi di Wilayah Kerja
8
Puskesmas Padang Pasir Kota Padang menyimpulkan bahwa terjadi perbedaan yang significant tekanan darah sistolik dan diastolik pada kelompok perlakuan yang diberikan air rebusan seledri dan kelompok kontrol yang tidak diberikan air rebusan seledri.