1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Manusia adalah salah satu unsur terpenting dalam lingkungan hidup dimana
tingkah laku manusia sangat menentukan dan mempengaruhi perkembangan dari alam sekitarnya. Hal ini juga dijelaskan dalam penjelasan undang-undang lingkungan hidup antara lain sebagai berikut : Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan mantranya sesuai dengan wawasan nusantara. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUDNRI) merupakan landasan konstitusional yang menjamin hak asasi manusia dan setiap warga Negara Indonesia serta menjamin kepastian hukum. Salah satu hak yang dicantumkan dalam Konstitusi Negara adalah hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1)
UUDNRI 1945
menyebutkan bahwa : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan. Amanah Pasal 28 ayat (1) UUDNRI 1945 tersebut jelas memandang bahwa kebutuhan mendapatkan lingkungan yang sehat adalah salah satu hak asasi. Negara berkewajiban memberi perlindungan dan jaminan lingkungan sehat, oleh sebab itu
2
negara harus memiliki otoritas kuat dalam mengelola dan melindungi lingkungan hidup. Dalam penjelasan mengenai hak-hak tersebut banyak menuai problematika, mengenai dimana letak dan urgensi hak tersebut, bahkan hak-hak tersebut banyak disalahgunakan seperti halnya tindakan merusak atau mencemari lingkungan hidup yang banyak menimbulkan pro dan kontra. Seiring dengan berjalannya waktu perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin meningkat yang menjadikan tindakan perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan yang dilakukan oleh subjek hukum baik itu manusia dan badan hukum (korporasi) sebagai sesuatu yang harus dilawan secara kolektif. Langkah ini secara yuridis semakin memiliki sandaran dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keberlakuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) jelas melengkapi pandangan bahwa lingkungan hidup adalah sesuatu yang patut dijaga dan dilestarikan oleh seluruh anggota masyarakat. Ada banyak kepentingan yang terkait dengan lingkungan hidup salah satunya adalah percepatan pembangunan dengan pengerahan dan pemanfaatan sumber alam menjadi tantangan berat bagi keutuhan lingkungan. Demi kemajuan dalam bidang ekonomi, dilakukan berbagai tindakan berupa pemanfaatan kekayaan alam seperti misalnya penebangan hutan maupun penambangan yang dilakukan secara besarbesaran. Tindakan-tindakan terhadap lingkungan hidup ini seringkali mengakibatkan terancamnya kelestarian lingkungan hidup.
3
NHT Siahaan berpendapat bahwa : Pertimbangan yang bersifat ekonomi tampak lebih menonjol mewarnai setiap pelaksanaan proyek pembangunan. Pemerintah dengan berbagai cara membujuk investor untuk menanamkan modalnya, sekalipun lokasi pendirian usaha yang diminta merupakan daerah subur atau daerah resapan yang semestinya tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan ketentuan tata ruang daerah setempat. Disamping itu, banyak juga dijumpai pendirian usaha yang dapat berdampak terhadap lingkungan, namun tidak dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebagaimana mestinya.1 Pendapat dari NHT Siahaan menunjukkan bahwa tidak hanya manusia saja yang berperan besar dalam mengakibatkan rusak dan tercemarnya lingkungan hidup juga badan hukum baik berupa korporasi maupun perusahaan yang jauh dari konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup ikut berperan aktif dalam rusak dan tercemarnya lingkungan hidup. Contohnya adalah kasus yang hingga kini masih hangat menjadi perbincangan yaitu munculnya sumber lumpur di Sidoarjo yang diindikasikan disebabkan oleh kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Akibat peristiwa tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam lumpur, belum lagi industri-industri di sekitar semburan lumpur yang harus tutup akibat tidak bisa berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaannya.2 Guna mencegah pencemaran dan perusakan yang semakin hari semakin meningkat, selain membentuk program pembangunan lingkungan pemerintah juga membentuk undang-undang guna melindungi lingkungan hidup serta memberi sanksi
1
N.H.T. Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta,(selanjutnya disingkat NHT Siahaan I), h. 147. 2 Ali Azhar Akbar, 2007, Konspirasi Dibalik Lumpur Lapindo, Galangpres, Jakarta, h.34.
4
baik berupa sanksi-sanksi administrative, sanksi perdata dan juga sanksi pidana kepada pelaku yang melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.3 Secara lebih konkrit di baca dari kalimat dari Penjelasan Umum UUPPLH, penggunaan instrument penegakan hukum pidana lingkungan hidup baru dilakukan bila memenuhi salah satu persyaratan berikut ini : 1.
Sanksi administrasi, sanksi perdata, penyelesaian sengketa secara alternative melalui negosiasi, mediasi, musyawarah di luar pengadilan setelah diupayakan tidak efektif atau diperkirakan tidak akan efektif.
2.
Tingkat kesalahan pelaku efektif berat
3.
Akibat perbuatan pelaku efektif besar
4.
Perbuatan pelaku menimbulkan keresahan bagi masyarakat Syarat untuk dapat dipidananya pelaku tindak pidana harus memenuhi unsur-
unsur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Jika ditinjau dari sudut
terjadinya
suatu
tindakan
yang
dilarang
tindakan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan adalah apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak adanya alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. Jika dilihat dari sudut pertanggungjawaban maka hanya seseorang yang
mampu
3
bertanggungjawablah
yang
dapat
mempertanggungjawabkan
Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Andi Hamzah I) h.55.
5
perbuatannya. Hal ini menyangkut mengenai criminal responsibility atau criminal liability.4 Asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld : Actus non facit reum nisi mens sist rea).5 Asas ini tidak tercantum dalam hukum tertulis namun dalam hukum yang tidak tertulis di Indonesia berlaku. Oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana, ini tergantung persoalan apakah dalam melakukan perbuatan tersebut pelaku mempunyai kesalahan atau tidak, tetapi manakala tidak mempunyai kesalahan, walaupun telah melakukan perbuatan yang terlarang atau tercela pelaku dalam hal ini subjek hukum tentu tidak dapat dipidana.6 Mengenai penerapan unsur kesalahan menurut hukum pidana di Indonesia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) berbeda dengan unsur kesalahan jika dikaitkan dengan UUPPLH. Perbedaan itu, dilihat dari ketentuan Pasal 88 UUPPLH disebutkan bahwa, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggungjawab mutak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Ketentuan dalam Pasal 88 UUPPLH inilah yang menjadikan pertanggungjawaban pidana
4
Moeljatno, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h.25 Ibid 6 Ibid 5
6
lingkungan berbeda dengan pertanggungjawaban pidana menurut KUHP sehingga dapat menimbulkan persoalan dalam aspek norma hukum yaitu konflik norma. Jika
dilihat
dari
teori
kesalahan
yang
berhubungan
erat
dengan
pertanggungjawaban pidana penentuan adanya kesalahan ini menjadi masalah bagi penyidik atau penuntut umum karena biasanya dampak dari pencemaran maupun perusakan lingkungan hidup tidak terjadi pada waktu itu juga, tetapi biasanya bertahun-tahun. Sulit untuk menentukan apakah telah terjadi pencemaran maupun perusakan lingkungan atau belum terjadi. Mengingat bahwa pencemaran atau perusakan dapat terjadi oleh proses alam dan tindakan subjek hukum (manusia atau badan hukum), sehingga harus dapat dibedakan manakah pencemaran atau perusakan lingkungan yang diakibatkan proses alam atau disebabkan oleh subjek hukum. Jika lingkungan tercemar ataupun rusak akibat ulah manusia maka tidak perlu diterapkannya unsur kesalahan terhadap pelaku untuk membuktikannya karena didasarkan pada Pasal 88 UUPPLH yang mengatur mengenai pertanggungjawaban mutlak. Pertanggungjawaban mutlak disebut juga dengan istilah strict liability without fault atau pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan.7 Oleh sebab itu, perlunya dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders).
7
Terdapat
hal-hal
yang
dikecualikan
khususnya
mengenai
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pres, Jakarta,
h.78.
7
pertanggungjawaban pidana berdasarkan unsur kesalahan dalam UUPPLH yang berbeda dengan pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana yaitu KUHP. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis tertarik untuk mengajukan usulan penelitian dengan judul “UNSUR KESALAHAN DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN SUATU KAJIAN TERHADAP UNDANGUNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP” 1.2
Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaturan unsur kesalahan dalam tindak pidana lingkungan hidup? 2. Bagaimanakah
pertanggungjawaban
pidana
dalam
Tindak
Pidana
Lingkungan Hidup? 1.3
Ruang Lingkup Masalah Skripsi ini akan membahas lebih spesifik mengenai tindak pidana hukum
lingkungan. Untuk mencegah terjadinya pembahasan yang berlebihan dan agar suatu masalah tidak keluar jauh menyimpang dari pokok permasalahan, maka penulis perlu memberikan batasan-batasan terhadap ruang lingkup masalahnya yang lebih menekankan pada pengaturan mengenai tindak pidana lingkungan hidup dari segi hukum pidana dan dasar unsur kesalahan dalam tindak pidana lingkungan hidup.
1.4 1.4.1
Tujuan Penelitian Tujuan Umum
8
Tujuan umum dari skripsi ini adalah untuk mengetahui unsur kesalahan dan pertanggungjawabannya dalam tindak pidana lingkungan hidup. 1.4.2
Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana unsur kesalahan dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup . 2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup.
1.5 1.5.1
Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Manfaat secara teoritis dari hasil penelitian ini yaitu hasil penelitian ini akan dapat bermanfaat dan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi pengembangan disiplin ilmu hukum khususnya yang berkenaan dengan hukum pidana terutama mengenai tindak pidana lingkungan hidup kajian terhadap dasar pemberlakuan unsur kesalahan dan pertanggungjawabannya terhadap tindak pidana lingkungan hidup.
1.5.2
Manfaat Praktis 1. Bagi penulis Memperluas dan menambah pengetahuan tentang kajian tindak pidana lingkungan hidup dan dasar pemberlakuan unsur kesalahan dalam tindak pidana lingkungan hidup. 2. Bagi aparat penegak hukum
9
Diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai masukan dan
bahan
pertimbangan
bagi
aparat
penegak
hukum
dalam
menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana dalam tindak pidana lingkungan hidup. 3. Bagi masyarakat Diharapkan agar masyarakat mendapatkan informasi mengenai pengaturan mengenai tindak pidana hukum lingkungan dalam hukum pidana Indonesia. 1.6
Landasan Teoritis
1.6.1
Teori Pertanggungjawaban Pidana Konsep pertanggungjawaban pidana merupakan konsep yang sangat sentral
dalam hukum pidana yang sering dikenal dengan ajaran kesalahan (mens rea). Suatu tindak
pidana
atau
kejahatan
akan
membawa
konsekuensi
logis
pada
pertanggungjawaban pidana yaitu, berupa vonis atau penjatuhan sanksi pidana di muka pengadilan kepada pelaku tindak pidana atau kejahatan tersebut. Pelaku tindak pidana
tidak
semua
dapat
dijatuhi
pidana,
oleh
karena
asas
dalam
pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” (geen straf zonder schuld).8 Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar untuk adanya perbuatan 8
Moeljatno, op, cit, h.165
10
pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya suatu perbuatan adalah asas kesalahan. Berarti pembuat perbuatan pidana akan dipidana jika mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang mempunyai kesalahan menyangkut pada pertanggungjawaban pidana.9 Ruang lingkup asas pertanggungjawaban pidana harus adanya kemampuan bertanggungjawab, kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederecchttelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana ialah pembahayaan masyarakat oleh pembuat. Konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidananya pembuat, ada beberapa syarat harus dipenuhi, yaitu : a.
Ada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat
b.
Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan dan kealpaan
c.
Ada pembuat yang mampu bertanggungjawab
d.
Tidak ada alasan pemaaf.10 Pasal-pasal mengenai unsur-unsur delik dan unsur pertanggungjawaban
pidana bercampuraduk dalam Buku II dan III KUHP, sehingga dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang dapat membedakan unsur keduanya. 1.6.2
Teori Penegakan Hukum Lingkungan Penegakan hukum dalam bahasa Inggris disebut law enforcement, bahasa
Belanda rechtshandhaving.11 Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan
9
Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Centra, Jakarta, h.57. 10 Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.11-12
11
kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku yang administrative, perdata dan pidana. Penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administratif, keperdataan, dan kepidanaan. Diantara ketiga instrumen utama untuk menegakkan hukum lingkungan berupa instrumen administratif, instrumen perdata, dan instrumen hukum pidana, penegakan hukum administrasi dianggap sebagai upaya penegakan hukum terpenting.12 Penegakan hukum administrasi dianggap sebagai upaya mencegah (preventif) terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. Disamping itu penegakan hukum administrasi juga bertujuan untuk menghukum pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan. Beberapa jenis sarana penegakan hukum administratif, yaitu tindakan paksa, uang paksa, penutupan tempat usaha, penghentian kegiatan mesin perusahaan, dan pencabutan izin. Penegakan hukum perdata merupakan upaya penegakan hukum kedua setelah hukum administrasi karena tujuan dari penegakannya hanya terfokus pada upaya permintaan ganti rugi oleh korban kepada pencemar atau perusak lingkungan. Penegakan hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan hukum penjara atau
11
Andi Hamzah, op.cit, h.48 Andi Hamzah, loc.cit.
12
12
denda. Jadi, penegakan hukum pidana tidak berfungsi untuk memperbaiki lingkungan yang tercemar. Akan tetapi, penegakan hukum pidana ini dapat menimbulkan faktor penjara (detterant factor) yang sangat efektif. Oleh karena itu dalam praktiknya penegakan hukum pidana selalu diterapkan secara efektif. Secara lebih konkrit dibaca dari kalimat penjelasan umum UUPLH, penggunaan instrument penegakan hukum pidana lingkungan hidup baru dilakukan bila memenuhi salah satu persyaratan berikut ini : 1. Sanksi administrasi, sanksi perdata, penyelesaian sengketa secara alternative melalui negosiasi, mediasi, musyawarah di luar pengadilan setelah diupayakan tidak efektif atau diperkirakan tidak akan efektif. 2. Tingkat kesalahan perilaku efektif berat. 3. Akibat perbuatan perilaku relative besar. 4. Perbuatan pelaku menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Falsafah pengayoman yang dianut oleh sistem pemidanaan di Indonesia berarti pemidanaan tidak boleh menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Tujuan yang hendak dicapai sehubungan dengan tindak pidana lingkungan adalah pertama, untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang. Kedua, mencegah atau menghalangi pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup. 1.6.3
Teori Kesengajaan
13
Kesengajaan merupakan salah satu bentuk dari kesalahan, tentang apa arti dari kesengajaan tidak ada keterangan sama sekali dalam KUHP namun pengertian kesengajaan terdapat dalam Memorie van Toekicthting (Mvt) dimana sengaja diartikan sebagai “kehendak” atau “kesadaran melakukan suatu perbuatan”. Kesengajaan berhubungan erat dengan kejiwaan pelaku terhadap suatu tindakan dibandingkan dengan kealpaan. Terdapat dua istilah yang berkaitan dengan sengaja, yaitu Niat (voorhamen) dan dengan rencana lebih dulu (met voorberachteade). Pasal 35 ayat (1) KUHP tentang percobaan menentukan : “percobaan melakukan kejahatan dipidana jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri”. Hukum Pidana Indonesia menganut kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu (kleurloosbegrip)
yaitu dalam hal seseorang melakukan tindak pidana
tertentu cukuplah jika atau hanya menghendaki tindakannya itu, artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaan (batin) dengan tindakan apakah seseorang menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.13 Kesengajaan jenis yang saat ini dianut dalam hukum pidana Indonesia dan sampai saat ini masih tetap dipandang sebagai yang lebih baik. Berbeda halnya dengan tindak pidana yang dilakukan orang, perusahaan, badan atau suatu korporasi terhadap lingkungan hidup yang merupakan tindak pidana tertentu, didalam
13
EY Kanter dan SR Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia Dan Penerapannya, Sinar Grafika, Jakarta, h. 170.
14
prakteknya dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas baru yang tidak ada dan merupakan pengecualian di dalam KUHP yaitu asas stric liabilityus dimana badan hukum seperti korporasi yang melakukan tindak pidana dapat diancam dan dipidana. Kesalahan saja tidak cukup untuk seseorang dapat dipertanggungjawabkan melainkan juga harus melihat nilai-nilai moral atau kesusilaan serta keadaan-keadaan batin yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, sehingga diterapkan asas baru tentang strict liability dan juga melihat tindak pidana lingkungan ini mengalami kendala di dalam pembuktiannya apakah seseorang, korporasi bersalah atau tidak serta siapa saja yang dapat mempertanggungjawabkannya. Sengaja dalam KUHP adalah kemauan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Ada dua teori yang berhubungan
dengan
teori
kesengajaan
yaitu
teori
kehendak
dan
teori
membayangkan. 1.6.4
Teori Kebijakan Hukum Pidana Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal
(criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan, dengan perkataan lain dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana), oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum
15
pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).14 Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya guna.15 Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)
dan upaya
mencapai kesejahteraan masyarakat (social walfare), oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ini adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Untuk mencapai tujuan utama dari politik kriminal, di Indonesia diperlukan suatu pembaharuan terhadap KUHP. Diperlukannya pembaharuan dalam KUHP mengingat bahwa KUHP yang hingga saat ini berlaku di Indonesia merupakan warisan dari kolonial Belanda sehingga terdapat beberapa hal yang perlu diatur didalamnya salah satunya adalah mengenai pengaturan unsur kesalahan. KUHP unsur kesalahan tidak diatur dalam suatu pasal namun dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana Tahun 2013 (RUUKUHP 2013) unsur kesalahan diatur dalam
14
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenata Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), h.24. 15 Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 153.
16
pasal 37 ayat (1) dan (2) KUHP tidak mengatur serta menjelaskan / mendefinisikan mengenai Strict Liability dan Vicarious Liability . Strict Liability adalah dapat dipidananya seseorang tanpa harus dibuktikan unsur kesalahannya (actus non facit reum men sit rea/mens rea), Vicarious Liability yaitu suatu pertanggungjawaban pengganti,
dimana
seseorang
ada
hubungan
khusus,
yang
akan
mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Dan dalam RUU KUHP 2013 kedua hal ini diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) dan (2) RUU KUHP 2013. Terdapat dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan : (1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan (2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial-politik yang telah ditetapkan, dengan demikian kebijakan hukum pidana termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).16
16
Barda Nawawi Arief I, op.cit., h.27.
17
Menurut Sudarto dalam buku Barda Nawawi Arief dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut : a. Penggunaan hukum pidana harus memerhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penggunaan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat. c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle). d. Penggunaan hukum pidana harus pula memerhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).17
Sejalan dengan yang dikemukakan Sudarto di atas, menurut Bassiuoni dalam buku Barda Nawawi Arief keputusan untuk melakukan kriminalisasi dengan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor termasuk : (a) keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai; (b) analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari;
17
Barda Nawawi Arief I, loc.cit.
18
(c) penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia; dan (d) pengaruh sosial dari kriminalisasi dan deskriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.18 1.7 1.7.1
Metode Penelitian Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif digunakan dalam penulisan ini beranjak dari adanya persoalan dalam dalam aspek norma hukum, yaitu norma yang konflik (geschijld van normen) yang ada dalam peraturan perundang-undangan terkait permasalahan yang hendak diteliti yaitu berupa asas kesalahan dalam KUHP dengan Pasal 88 dalam UUPPLH. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini menguraikan permasalahan-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.19 Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yang bertitik tolak pada adanya konflik
18
Barda Nawawi Arief I, loc.cit. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta, h.13 19
19
norma mengenai pengaturan unsur kesalahan dalam UUPPLH dengan asas dalam hukum pidana di Indonesia. 1.7.2
Jenis Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statue
approach), pendekatan fakta (the fact approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conseptual approach). Pendekatan perundang-undangan (the statue approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
dalam
penelitian
itu.20
Pendekatan
perundang-undangan
digunakan
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum yang berhubungan dengan tindak pidana hukum lingkungan. Pendekatan fakta (the fact approach) digunakan berdasarkan pada fakta atau kenyataan aktual yang terjadi dalam masyarakat terkait dengan tindak pidana hukum lingkungan. Pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conseptual approach digunakan memahami konsep-konsep aturan tentang tindak pidana hukum lingkungan di Indonesia. 1.7.3
Sumber Bahan Hukum Pada penelitian hukum ini menggunakan beberapa sumber badan hukum,
yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 1.
Bahan Hukum Primer
20
Ibrahim Jonhny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, Malang, h.302.
20
Badan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang bersifat mengikat. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah : 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3.
RUU KUHP 2013
4.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
5.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
6.
Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
2.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian adalah ....
3.
1.
Buku-buku hukum (text book)
2.
Jurnal-jurnal hukum
3.
Karya tulis hukum
4.
Pandangan ahli hukum atau doktrin
5.
Skripsi dan makalah
Bahan Hukum Tersier
21
Badan hukum tersier berupa kamus hukum Indonesia, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris, kamu bahasa Belanda dan encyclopedia. 1.7.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum diperlukan dalam
penelitian ini adalah teknik kepustakaan (Library research). Telah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu mencatat dan membahas masingmasing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 1.7.5
Teknik Analisis Bahan Hukum Setelah bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder
dikumpulkan, selanjutnya diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif-analisis dan dengan menggunakan teknik argumentatif, yaitu dengan menguraikan dan menghubungkan dengan teori-teori dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan kemudian melakukan penafsiran, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan dalam bentuk argumentasi hukum untuk mendapatkan hasil yang akurat.