BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (selanjutnya disebut TJSL) adalah
padanan kata yang digunakan di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas untuk penggunaan istilah Corporate Social Responsibility (selanjutnya disebut CSR). CSR atau TJSL sebagai suatu konsep, berkembang pesat sejak 1980-an hingga 1990-an sebagai reaksi dan suara keprihatinan dari organisasiorganisasi masyarakat sipil dan jaringan tingkat global untuk meningkatkan perilaku etis, fairness dan responsibilitas perusahaan yang tidak hanya terbatas pada perusahaan, tetapi juga pada para stakeholder dan komunitas atau masyarakat sekitar wilayah kerja dan operasinya. 1 Pada tahun 1992, Konferensi Tingkat Tinggi (selanjutnya disebut KTT) Bumi di Rio de Janeiro Brazilia menegaskan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainibility development) sebagai hal yang wajib diperhatikan, tidak hanya oleh negara tetapi terlebih oleh kalangan perusahaan yang kekuatan kapitalnya semakin menggurita. Salah satu hasil KTT tersebut antara lain : menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). 2 Pada tahun 2002, para 1
Gunawan Widjaja, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas 150 Tanya Jawab tentang Perseroan Terbatas, Cetakan Pertama, (Jakarta : Forum Sahabat, Agustus 2008), hal. 96. 2 Website Kementerian Lingkungan Hidup, “Berikan Kesempatan Pada Bumi (Give Earth A Chance)”, http://www.menlh.go.id/home/index.php?Itemid=237&id=437%3ABERIKANKESEMPATAN-PADA-BUMI-(Give-Earth-aChance)&lang=id&option=com_content&view=article., diakses pada 03 Juni 2011.
Universitas Sumatera Utara
Pemimpin Dunia di Yohannesburg telah mengajukan dan melahirkan konsep social responsibility untuk menggenapi dua paradigma pembangunan sebelumnya yaitu economic growth dan environment sustainability. 3 Ketiganya menjadi dasar bagi perusahaan untuk menerapkan CSR/TJSL di dalam menjalankan perusahaannya. Pada pertemuan United Nation Global Compact di Jenewa, Swiss tahun 2007 perusahaan diminta untuk menunjukkan penerapan dan pelaksanaan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat, dikenal dengan CSR. 4 Gagasan utama yang tersebut di dalam CSR/TJSL, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak hanya pada single bottle lines yaitu : “Nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja, tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines, yaitu berupa : finansial, sosial dan lingkungan. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila perusahaan juga turut memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. 5 Sebagai contoh : ada laporan keberlanjutan sebuah perusahaan migas yang memilih acara sunatan massal sebagai program sosial unggulan. Padahal, perusahaan tersebut banyak mengubah bentang alam hutan. Secara sosial sekedar sebuah ilustrasi perusahaan tersebut sebaiknya menunjukkan diri sebagai perusahaan yang mampu mengkompensasi hilangnya hutan kepada masyarakat adat setempat misalnya dengan program-program pemandirian ekonomi, serta mampu mengambil banyak pelajaran dari kearifan lokal”. 6
Ada tiga hal pokok yang menjadi faktor utama perkembangan CSR/TJSL pada periode berikutnya, yaitu : 3
Website Departemen Kehutanan, “Milestone : Kehutanan Dalam Forum Global”, http://www.dephut.go.id/Halaman/Buku-buku/2004/KLN/Milestone.htm., diakses pada 03 Juni 2011. 4 Andreas Rasche dan Georg Kell (Editor), United Nations Global Compact : Achievements, Trends and Challenges, (New York : Cambridge University Press, 2010), hal. 246-247. 5 CSR Indonesia, “Editorial : Dokumen Laporan Keberlanjutan Bukan Sekedar Souvenir”, Harian Mingguan CSR Indonesia, Volume 1, Minggu ke-37 2007, hal. 2. 6 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1. “Sifat voluntairly atau sukarela menjadi dasar penting di dalam perkembangan pelaksanaan prinsip CSR/TJSL; 7 2. Dirumuskannya suatu panduan dan standarisasi untuk menerapkan CSR/TJSL. Pada konteks ini, International Organization for Standarization (ISO) di bulan September, tahun 2004 membentuk Working Group Responsibility ISO; 8 dan 3. Standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung jawab sosial tersebut mencakup semua sektor, badan yang bersifat publik ataupun privat, baik di negara berkembang maupun negara maju”. 9
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab organisasi akan dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan hidup, melalui perilaku yang transparan dan etis, untuk konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Adapun prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam membuat keputusan dan kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000, meliputi antara lain : menghormati stakeholders dan kepentingannya, melaksanakan transparansi dan akuntabilitas, perilaku, beretika, melakukan tindakan pencegahan, dan menghormati hak asasi manusia. 10 Ada berbagai prinsip lain yang mendukung dan mengatur pelaksanaan CSR/TJSL, selain ISO 26000, yaitu antara lain :
7
Sukarmi, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dan Iklim Penanaman Modal”, Dirjend Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia, http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-bisnis/84-tanggung-jawabsosial-perusahaan-corporate-social-responsibility-dan-iklim-penanaman-modal.html., diakses pada 03 Juni 2011. 8 Mas Achmad Daniri, “Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”, Sambutan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Seminar Sehari “A Promise of Gold Rating : Sustainable CSR”, 23 Agustus 2006. Lihat juga : Bart Slob, et.al., “Briefing Paper, The ISO Working Group on Social Responsibility : Developing the future ISO SR 26000 Standard”, (Amsterdam : Centre for Research on Multinational Corporations Kaizersgracht, Maret 2007), hal. 2. 9 Bataviase.co.id, “Indonesia Siap Sambut ISO 26000”, http://bataviase.co.id/detailberita10498163.html., diakses pada 03 Juni 2011. 10 Bart Slob, et.al., Loc.cit., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
1. “Equator Principles, banyak diadopsi oleh lembaga keuangan internasional; 11 2. Accountability’s (AA1000) Standard, didasarkan pada prinsip “triple bottom line” (profit, people, planet) yang digagas oleh John Elkington; 12 3. Global Reporting Initiative’s (GRI), panduan pelaporan perusahaan untuk mendukung pembangunan berkesinambungan yang digagas oleh PBB lewat Coalition for Environmental Responsible Economies (CERES) dan UNEP tahun 1997; 13 4. Social Accountability International’s SA8000 Standard; 14 5. ISO 1400 Environmental Management Standard”. 15
Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR/TJSL kini menjadi trend yang mengglobal seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, misalnya :
11
Prinsip-Prinsip Equator (EP) adalah kerangka kerja manajemen resiko kredit untuk menentukan, menilai dan mengelola resiko lingkungan dan sosial dalam transaksi pembiayaan proyek. Proyek keuangan sering digunakan untuk membiayai pengembangan dan pembangunan infrastruktur utama dan proyek EP. Industri yang diadopsi secara sukarela oleh lembaga keuangan dan ditetapkan dimana biaya total proyek modal melebihi US$. 10 juta. Para EP terutama ditujukan untuk memberikan standar minimum untuk due diligence yang bertanggung jawab untuk mengambil keputusan resiko. Sumber : Equator Principles, “About The Equator Principles”, http://www.equatorprinciples.com/index.php/about-the-equator-principles., diakses pada 03 Juni 2011. Lihat juga : William B Werther Jr., dan David Chandler, Strategic Corporate Social Responsibility, Edisi Kedua, (California : SAGE Publications Inc., 2010), hal. 231-232. 12 Accountability’s (AA1000) Standard adalah berisikan para stakeholders. AA1000 berlaku umum bagi kerangka kerja, pelaksanaan penilai desain, dan komunikasi kualitas, dan keterlibatan pejabat perusahaan. Hal ini menggambarkan bagaimana menetapkan komitmen untuk keterlibatan perusahaan dengan pemerintah, strategi dan operasi, bagaimana menentukan tujuan, lingkup dan stakeholder untuk keterlibatan dan proses yang akan memberikan kualitas dan iklusif praktek keterlibatan dan hasil yang dihargai. Dalam : AccountAbility, “AA1000 Stakeholder Engagement Standard : Final Exposure Draft”, AA1000 Stakeholder Engagement Standard 2011. Lihat juga : Radu Mares, The Dynamics of Corporate Social Responsibility, (Leiden : Koninklijke Brill NV, 2008), hal, 147. 13 CSR Wire, “CSR Profile of Global Reporting Initiative (GRI)”, http://www.csrwire.com/members/10103-Global-Reporting-Initiative-GRI-., diakses pada 03 Juni 2011. 14 Andreas Sturm, et.al., ”SA8000 : Corporate Social Accountability Management”, Edisi Revisi 1.2.3. 03 Juli 2000, http://www.ellipson.com/files/ebooks/CSAM_handbook.pdf., diakses pada 03 Juni 2011. 15 Ataur Rahman Belal, Corporate Social Responsibility Reporting in Developing Country : The Case of Bangladesh, (Burlington : Ashgate Publishing Company, 2008), hal. 2-3.
Universitas Sumatera Utara
1. Bank-bank Eropa hanya memberikan pinjaman kepada perusahaanperusahaan perkebunan di Asia, apabila ada jaminan dari perusahaan tersebut, ketika membuka lahan perkebunan tidak melakukan pembakaran; 16 2. New York Stock Exchange memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai corporate sustainability dengan salah satu kriteria adalah praktek CSR; 17 3. London Stock Exchange memiliki Social Responsible Investment (SRI), Hanseng Stock Exchange dan Singapore Stock Exchange, konsekuensinya memacu investor global seperti perusahaan dana pensiun dan asuransi yang hanya akan menanamkan dananya ke perusahaan yang sudah masuk dalam index. 18
Perkembangan CSR/TJSL di Eropa juga meningkat. Pada tanggal 13 Maret 2007, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi berjudul “Corporate Social Responsibility : A New Partnership” yang mendesak Komisi Eropa untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan seperti : tugas direktur, kewajiban langsung luar negeri, dan pelaporan kinerja sosial dan lingkungan perusahaan (environmental and social reporting). Perkembangan pelaksanaan CSR/TJSL juga terjadi di Amerika Serikat dengan diadopsinya Code of Conduct CSR yang meliputi aspek lingkungan hidup, hubungan industrial, gender, korupsi, dan HAM. Australia, mewajibkan 16
Achmad Yakub dan Elisha Kartini Samon, “Saatnya Memajukan Kepentingan Nasional dan Kemakmuran Rakyat Tani”, Cetakan Pertama, (Jakarta : Serikat Petani Indonesia – SPI, Maret 2011), Lihat juga : Ahmad Ansori Mattjik, “Pentingnya Membudidayakan Community Development : Upaya Mewujudkan Tanggung Jawab Sosial”, Harian Berita Radar Bogor, Senin 19 Maret 2007, hal. 4. 17 A. Budimanta, “Corporate Social Responsibility”, Harian Republika, 15 September 2009. 18 Mas Achmad Daniri, Op.cit., hal. 8-9.
Universitas Sumatera Utara
perusahaan membuat Laporan Tahunan CSR dan mengatur standarisasi lingkungan hidup, hubungan industrial, dan HAM, dan Kanada mengatur CSR dalam aspek kesehatan, hubungan industrial, proteksi lingkungan dan penyelesaian masalah lingkungan. 19 Pelaksanaan CSR/TJSL di Indonesia saat ini belum menjadi perilaku yang umum, namun dalam era teknologi informasi setelah adanya desakan globalisasi maka tuntutan perusahaan untuk menjalankan CSR/TJSL tidak dapat dihindarkan. 20 Oleh karena itu, sebaiknya desakan untuk merealisasikan TJSL terhadap setiap perusahaan bukan timbul dari kewajiban hukum, tetapi dari timbulnya kesadaran bahwa pelaksanaan CSR/TJSL akan menimbulkan dampak positif bagi perseroan dalam jangka panjang. 21 Berdasarkan uraian tersebut maka kewajiban CSR/TJSL seharusnya disesuaikan dengan kemampuan dan kreativitas masing-masing. Perusahaan dan kebutuhan masyarakat lokal terlebih dahulu merumuskan bersama antara tiga pihak yang berkepentingan yakni Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat
setempat.
Kemudian
dilaksanakan
sendiri
oleh
masing-masing
perusahaan, karena setiap perusahaan memiliki karakteristik lingkungan dan masyarakat yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. CSR/TJSL yang dijadikan sebagai kewajiban hukum dari perusahaan di Indonesia, dalam penelitian ini akan
19
Richard Howitt sebagai reporter, “Report on Corporate Social Responsibility : A New Partnership”, European Parliament, Committee on Employment and Social Affairs, http://www.europarl.europa.eu/meetdocs/2004_2009/documents/a6/p6_a(2006)0471_/p6_a(2006)0471 _en.pdf., diakses pada 03 Juni 2011, hal. 21. 20 Investor Daily, “Pemerintah Akan Awasi Dana CSR Perusahaan”, http://www.investor.co.id/home/pemerintah-akan-awasi-dana-csr-perusahaan/1243., diakses pada 05 Juni 2011. 21 Herry Tjahjono, Culture Based Leadership, Cetakan Pertama, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Januari 2011), hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
dibahas mengenai latar belakang CSR/TJSL pertama sekali dibentuk di Indonesia. Untuk mengetahui jawaban dari pelaksanaan CSR/TJSL di Indonesia sebagai kewajiban hukum bagi perusahaan. Berdasarkan Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3), Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas memasukkan CSR sebagai berikut : (1) “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.
Penjelasan Pasal 74, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyatakan bahwa : (1) “Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. (2) Cukup jelas. (3) Yang dimaksud dengan “dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait”.
Jelas terlihat pada pasal tersebut di atas yang memasukkan CSR sebagai TJSL, bahwa adanya suatu kewajiban hukum dalam melaksanakan CSR/TJSL. Maka jika tidak dilaksanakan akan dikenakan sanksi. Pelaku usaha di Indonesia ternyata menolak model penerapan CSR/TJSL sebagai sesuatu yang bersifat mandatori sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Universitas Sumatera Utara
Perseroan Terbatas. Keberatan dari pelaku usaha tersebut dikonkritkan dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi RI terhadap Pasal 74 UndangUndang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sejumlah pertimbangan pelaku usaha terhadap Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, antara lain 22 : 1. “CSR/TJSL merupakan suatu prinsip yang bersifat etis dan moral yang dinormakan oleh Pasal 74 dan Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sehingga menjadi bersifat kewajiban dan memiliki sanksi bagi yang tidak menjalankan pasal tersebut. Tindakan tersebut menyebabkan Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang memberi norma pada sifat etis dan moral pada CSR/TJSL sehingga menjadi bersifat wajib dan harus dianggarkan serta diperhitungkan sebagai biaya operasional korporasi dengan pemberian sanksi; 2. Tindakan tersebut di atas juga menimbulkan ketidakpastian dan contradictio in terminis karena menyebabkan terjadinya ketidakjelasan antara tanggung jawab yang didasarkan atas karakter sosial (social responsibility) yang bersifat voluntairly dengan kewajiban yang bersifat hukum (legal obligation) yang mempunyai daya memaksa; 3. Pemberian norma pada prinsip CSR/TJSL dengan sifat wajib juga telah menimbulkan perilaku yang tidak sama di muka hukum dan juga mempunyai tendensi sebagai tindakan yang dapat dikualifikasi bersifat diskriminatif karena perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam sudah menjalankan kewajibannya berdasarkan Undang-Undang sektoral, tetapi masih diwajibkan untuk menganggarkan TJSL, sedangkan terhadap perusahaan-perusahaan lain tidak diwajibkan untuk melakukan TJSL. Demikian juga perusahaan-perusahaan lain yang tidak tunduk pada UndangUndang Perseroan Terbatas tidak diwajibkan; 4. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa : “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat...”, tetapi Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas merumuskannya menjadi suatu kewajiban bagi perseroan untuk menjalankan TJSL serta wajib menganggarkan biaya TJSL justru juga menimbulkan kerancuan pengertian 22
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008”, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
TJSL karena TJSL didefinisikan seolah-olah hanya kegiatan yang harus mengeluarkan biaya saja. Ada begitu banyak kegiatan TJSL yang tidak menimbulkan konsekuensi biaya bahkan dapat menghemat biaya, seperti : upaya penghematan energi dan air, pemberdayaan masyarakat dengan pelibatan dalam lembaga keuangan mikro, dan memperlakukan karyawan dengan lebih manusiawi; 5. CSR/TJSL yang dinormakan menjadi kewajiban menciptakan atau setidaknya potensial menciptakan penyelewengan (sikap dan perilaku koruptif), tidak hanya pada birokrasi lebih jauh meluas di kalangan masyarakat umum, karena TJSL hanya ditafsirkan secara sempit saja, yaitu sebagai ganti kerugian, bukan sebagai biaya untuk membangun hubungan harmonis jangka panjang antara perusahaan dengan stakeholder; 6. CSR/TJSL sebagai kewajiban merupakan tindakan penyeragaman dan potensial bersifat artifisial karena hanya dilihat dari perspektif pemenuhan prasyarat legal formal. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi terutama frasa “efisiensi berkeadilan”, karena TJSL tiap perusahaan berbeda-beda tidak dapat disamaratakan, dan secara relatif yang paling memahami, apakah suatu program TJSL bermanfaat bagi stakeholder adalah pelaku usaha itu sendiri, sehingga Pemerintah tidak pada posisi melakukan tindakan penyeragaman kebijakan TJSL dan bahkan menjadikannya sebagai suatu kewajiban. TJSL tidak hanya sekedar dan berarti pemberian ganti kerugian, tetapi membangun hubungan harmonis perusahaan dengan lingkungannya itu dapat berwujud beragam program, seperti : membangun sekolah, rumah sakit, tempat pendidikan atau upaya lain mensejahterakan lingkungannya. Itu sebabnya, besar kecilnya dan peruntukan TJSL tidak dapat dibuat serupa dan ditentukan keseragamannya. Dengan demikian, TJSL sebagai kewajiban yang legal normative bertentangan dengan esensi “efisiensi berkeadilan”; 7. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas termasuk ranah yang mengatur tentang mekanisme pendirian sebuah perseroan terbatas yang dimaksud untuk menjamin terselengaranya iklim dunia usaha yang kondusif, tetapi secara sembarangan dan tidak jelas landasan kajian akademisnya telah mengatur tentang kewajiban “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan” perseroan terbatas yang justru potensial akan menciptakan iklim usaha yang tidak kondusif melalui adanya kewajiban penganggaran yang memberatkan pengusaha. Keadaan faktual ini semakin relevan dengan adanya krisis keuangan yang kini tengah melanda dunia termasuk di dalamnya Indonesia sehingga kian memberatkan para Pemohon; 8. Negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan serta juga
Universitas Sumatera Utara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dengan demikian, pemajuan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, secara substantif sesungguhnya merupakan kewajiban serta bagian dari fungsi negara. Tindakan dan/atau pengaturan sebagaiman dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut di atas dapat dikualifikasi sebagai “penormaan TJSL menjadi kewajiban dunia usaha”. Tindakan sedemikian dapat dimaknai sebagai privatisasi fungsi negara pada dunia usaha; 9. Penjelasan tersebut dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengatur masalah CSR/TJSL juga dapat dikualifikasi sebagai pembuatan norma baru dari Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2). Penjelasan dimaksud memperluas pasal tersebut karena perseroan tidak hanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, tetapi juga perseroan yang kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam”.
Dunia usaha keberatan terhadap penerapan CSR/TJSL dikarenakan konsep CSR/TJSL telah diatur di berbagai peraturan perundang-undangan. Maka pelaku usaha melakukan pengajuan permohonan pengujian materi dan revisi Pasal 74 dan Penjelasan Pasal 74 dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu 23 : 1. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (tidak adanya kepastian hukum), yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 2. Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (bersifat diskriminatif), yang berbunyi : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”. 3. Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 (prinsip efisiensi berkeadilan), yang berbunyi : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. 23
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008”, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tanggung jawab perusahaan ada di setiap undang-undang, yaitu 24 : Tabel 1 Undang-Undang yang Mengatur Mengenai Tanggung Jawab Perusahaan No.
Undang-Undang
Ketentuan
Sanksi
1.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
-
Pasal 6 ayat (2); Pasal 14 ayat (1); Pasal 15 ayat (1); Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 18 ayat (1); Pasal 19 ayat (1); Pasal 28; Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2).
-
2.
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
-
Pasal 2; Pasal 3; Pasal 4; Pasal 24; Pasal 52; Pasal 82.
- Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2);
3.
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
- Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6).
- Pasal 56; - Pasal 58.
4.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
-
- Pasal 78 ayat (14); - Pasal 80 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 23; Pasal 30; Pasal 31 ayat (1); Pasal 67 ayat (1); Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 25 ayat (1) dan ayat (5); Pasal 27 ayat (1); Pasal 34 ayat (1) dan (2); Pasal 41 ayat (1); Pasal 42 ayat (1); Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 45; Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2).
Sumber : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008”, hal. 23-32.
Berdasarkan Tabel 1 di atas, pelaku usaha menganggap bahwa setiap ketentuan CSR/TJSL perusahaan sudah ada diatur pada Undang-Undang bidang usaha tertentu. Jadi, tidak perlu dimasukkan lagi di dalam Undang-Undang No. 40 24
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008”, hal. 23-32.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Jelas, hal ini akan menjadi tumpang tindih dan pelaku usaha dikenakan dua kali dalam hal pelaksanaan CSR/TJSL. 25 Adapun yang menjadi dasar permohonan pengujian tersebut, antara lain 26 : 1. “Menyatakan Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Penjelasannya pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bertentangan dengan Pasal 22A jo Pasal 28D ayat (1) jo Pasal 28I ayat (2) jo Pasal 33 ayat (4) frase “efisiensi keadilan” Undang-Undang Dasar 1945; dan 2. Menyatakan Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Penjelasannya pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
Namun, putusan ini menolak permohonan pengujian materil dan pengujian formil terhadap Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas beserta Penjelasannya. Amar putusannya adalah sebagai berikut 27 : “Menyatakan permohonan pengujian materil dan pengujian formil terhadap Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas beserta Penjelasannya, ditolak; Menyatakan Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas beserta Penjelasannya, tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945”.
Ada terdapat dissenting opinion yang menerima permohonan pemohon dan menyatakan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak mempunyai daya laku mengikat umum. 28 Berdasarkan dasar permohonan,
25
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008”, hal. 33. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008”, hal. 38. 27 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008”, hal. 100. 28 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008”, hal. 111. 26
Universitas Sumatera Utara
putusan, dan dissenting opinion inilah maka dari itu perlu untuk membahas mengenai pertimbangan hukum para hakim pada penelitian ini. Hal ini terkait dengan perusahaan sebagai pelaku usaha di Indonesia. Industri dan perusahaan berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangkan pula faktor lingkungan hidup. 29 Sebenarnya konsep TJSL telah dikenal sejak awal 1970, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktek yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Seiring perjalanan waktu, di satu sisi sektor industri atau perusahaan-perusahaan berskala besar telah mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi di sisi lain, eksploitasi sumber-sumber daya alam oleh sektor industri sering kali menyebabkan kerusakan lingkungan. Sebagai upaya untuk menegaskan hubungan perusahaan dengan aktifitas perniagaan yang diselenggarakan oleh para perusahaan. Dalam konteks perdagangan yang diselenggarakan terdapat hubungan timbal balik antara personal perusahaan secara internal dan antara internal perusahaan dengan masyarakat luar perusahaan. 30 Jadi, CSR/TJSL adalah suatu bagian hubungan perniagaan yang melibatkan perusahaan di satu pihak dan masyarakat sebagai lingkungan sosial perusahaan di pihak lain. CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun
29
Chairil N. Siregar, Analisis Sosiologis Terhadap Implementasi CSR Pada Masyarakat Indonesia, hal. 285., dalam : Hasan Asy’ari, “Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Sebagai Modal Sosial Pada PT. Newmont”, (Semarang : Tesis, Universitas Diponegoro, 2009), hal. 1. 30 Ibid., hal. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
hubungan harmonis dengan masyarakat. Secara teoritik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para stakeholders, terutama komunitas atau masyarakat di sekitar wilayah kerja atau operasionalnya. 31 Jika satu perusahaan sudah mengurangi daya dukung dan daya tampung suatu daerah atau wilayah tempatnya berdiri maka perusahaan tersebut wajib untuk mengembalikan keadaan lingkungan sekitar perusahaan tersebut seperti sedia kala sebelum perusahaan itu memasuki wilayah operasionalnya. Tekanan masyarakat agar perusahaan lebih peduli kepada lingkungan merupakan kesempatan untuk memperkuat antara perusahaan dengan konsumen, bahkan dapat dijadikan keunggulan kompetitif. Konsumen yang semakin sadar terhadap isu lingkungan akan mencari produk yang bersahabat dengan lingkungan. Sebagai dampak ikutannya perusahaan akan mencari pemasok yang bisa memecahkan persoalan-persoalan lingkungan. Hubungan antar perusahaan juga akan berubah, karena sama-sama ditekan untuk menjadi ramah lingkungan. Maka banyak perusahaan, terutama perusahaan besar, mulai cerewet terhadap pamasokpemasoknya. Bagi perusahaan-perusahaan bereputasi besar, menerapkan CSR adalah aset terpenting perusahaan. Walaupun hanya belakangan ini istilah CSR dikenal, sesungguhnya aktivitas community outreach atau penjangkauan masyarakat sudah dilakukan oleh perusahaan sejak dahulu kala. 32 Bentuk community outreach yang paling primitif adalah corporate philanthropy, merupakan sebuah usaha yang dilakukan oleh perusahaan, atau
31 32
Ibid., hal. 2. Ibid., hal. 7-8.
Universitas Sumatera Utara
seseorang untuk memberikan dana kepada individu atau kelompok masyarakat, misalnya dalam bentuk beasiswa. Seiring waktu berlalu, Corporate Philanthropy (CP) kemudian berkembang menjadi Corporate Social Responsibility (CSR). CSR berbeda dengan philanthropy dari dimensi keterlibatan si pemberi dana dalam aktivitas yang dilakukannya. Kegiatan CSR seringkali dilakukan sendiri oleh perusahaan, atau dengan melibatkan pihak ketiga (misalnya Yayasan atau Lembaga Swadaya Masyarakat) sebagai penyelenggara kegiatan tersebut. Melalui CSR, perusahaan jauh lebih terlibat dan terhubung dengan pihak pertama (beneficiaries) dalam aktivitas sosial dibandingkan dengan CP. 33 Corporate Philanthropy inilah yang merupakan asal muasal dari Corporate Social Responsibility. Perbedaannya adalah bahwa CP tidak diberitahukan kepada media massa ketika sebuah perusahaan menyumbangkan dananya kepada masyarakat, sedangkan CSR selalu diberitakan di media. Namun, persamaannya tetap Corporate Philanthropy maupun Corporate Social Responsibility adalah bukan suatu kewajiban hukum. Pelaksanaan CSR selama ini hanya didasarkan kepada kesadaran dan komitmen perusahaan. Padahal komitmen dan kesadaran setiap perusahaan tidak sama dan sangat tergantung sekali kepada kebijakan perusahaan masing-masing. Menggantungkan pelaksanaan CSR kepada kesadaran dan komitmen perusahaan mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahan paling mendasar adalah tidak adanya sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR. Kondisi ini tidak akan mendorong pelaksanaan CSR di Indonesia. Selama ini juga, bagi perusahaan 33
Joe M. Ricks Jr., “The Effects of Strategic Corporate Philanthropy on Consumer Perceptions : An Experimental Assessment”, (New Orleans : Disertasi, University of New Orleans, May 2002), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
yang melaksanakan CSR tidak memilki arah yang jelas. Padahal ada banyak sekali manfaat yang diperoleh apabila CSR dilaksanakan dengan aturan dan arahan yang jelas. Contohnya apabila CSR diarahkan pada sektor tertentu seperti pendidikan, maka betapa banyaknya manfaat yang diperoleh. Masyarakat yang kurang mampu akan ditolong dengan CSR ini dalam hal peningkatan kualitas pendidikan mereka. Pemerintah juga akan sangat ditolong dalam melaksanakan tanggung jawabnya dalam pencerdasan kehidupan bangsa. Tentunya, itu semua dapat dilaksanakan bilamana ada regulasi yang jelas tentang CSR. Kelemahan lain dengan tidak adanya regulasi yang jelas tentang CSR adalah semakin dirugikannya masyarakat dan juga negara. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia seperti banjir lumpur, banjir karena pembalakan hutan dan pencemaran lingkungan di berbagai tempat menunjukan bahwa pelaksanaan CSR merupakan suatu kemutlakan. Apabila kondisi seperti sekarang terus berlanjut, maka yang menanggung kerugian terbesar adalah masyarakat dan negara. Regulasi CSR juga sebenarnya bukan hal baru dalam dunia perusahaan. Di berbagai negara maju, setiap perusahaan tidak diwajibkan untuk melaksanakan CSR dan melaporkannya secara periodik. Hal ini dilakukan untuk memantau dan mengontrol pelaksanaan CSR setiap perusahaan. Regulasi yang ada juga memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggaran terhadap pelaksanaan CSR. Sanksi yang diberikan mulai dari yang ringan seperti peringatan tertulis hingga dikeluarkan dari lantai bursa bagi perusahaan go public.
Universitas Sumatera Utara
Penerapan CSR di Indonesia semakin meningkat baik dalam kuantitas maupun kualitas. Selain keragaman kegiatan dan pengelolaannya semakin bervariasi, dilihat dari kontribusi finansial, jumlahnya semakin besar. Penelitian PIRAC pada tahun 2001 menunjukkan bahwa dana CSR di Indonesia mencapai lebih dari Rp.
115.000.000.000,-
(seratus
lima
belas
miliar
rupiah)
atau
sekitar
US$. 11.500.000,- (sebelas juta lima ratus ribu dollar amerika) dari 180 (seratus delapan puluh) perusahaan yang dibelanjakan untuk 279 (dua ratus tujuh puluh sembilan) kegiatan sosial yang terekam oleh media massa. Meskipun dana ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan dana CSR di Amerika Serikat, dilihat dari angka
kumulatif
tersebut,
perkembangan
CSR
di
Indonesia
cukup
menggembirakan. 34 Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa CSR/TJSL penting untuk diteliti karena beberapa persoalan antara lain seperti : pengaturan CSR/TJSL yang belum jelas karena kondisi keuangan setiap perusahaan berbeda-beda; hukum dapat melaksanakan CSR/TJSL yang diwajibkan karena pengaturan CSR/TJSL dianggap sudah tercakup pada berbagai peraturan perundang-undangan lain dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Maka dengan demikian penelitian berjudul “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility – CSR) Berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008)” sangatlah penting untuk dibahas dan dicermati secara 34
Saidi dalam Bing Bedjo Tanudjaja, “Perkembangan Corporate Social Responsibility di Indonesia”, http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/viewFile/17049/17013., diakses pada 27 Juni 2011, hal. 95.
Universitas Sumatera Utara
lebih mendalam walaupun sudah banyak penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas masalah CSR/TJSL perusahaan di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menetapkan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility – CSR) sebagai kewajiban hukum dari perusahaan?
2. Bagaimana konsep Corporate Social Responsibility (CSR) berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dilihat dari aspek efisien dan keadilan?
3. Mengapa Mahkamah Konstitusi RI menerima Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai kewajiban hukum perseroan?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian yang terdapat pada rumusan masalah di atas maka yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam menetapkan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility – CSR) sebagai kewajiban hukum dari perusahaan;
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui dan menganalisis konsep Corporate Social Responsibility (CSR) berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dilihat dari aspek efisien dan keadilan;
3. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan-alasan Mahkamah Konstitusi RI menerima Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai kewajiban hukum perseroan.
D.
Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun praktis, yaitu : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat umum serta diharapkan dapat memberikan manfaat guna menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum perusahaan secara khusus di Indonesia.
2. Manfaat Praktis a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Pemerintah/Badan Legislatif dalam menentukan kebijakan maupun regulasi dalam upaya pengembangan hukum nasional ke arah pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan; b. Sebagai informasi dan inspirasi bagi praktisi bisnis (para Pelaku Usaha, Pemegang Saham, dan Komisaris) untuk memahami pengaturan
Universitas Sumatera Utara
Tanggung Jawab Sosial Lingkungan perusahaan serta melaksanakannya sebagai kepedulian dan komitment dalam pelaksanaan tugas Corporate Social Responsibility perusahaan; c. Sebagai bahan kajian bagi masyarakat yang dapat mengambil poin-poin atau modul-modul pembelajaran dari penelitian ini dan diharapkan wacana Tanggung Jawab Sosial Lingkungan perusahaan ini berkembang ke arah yang lebih baik.
E.
Keaslian Penelitian Menurut data yang didapat dari pemeriksaan dan hasil-hasil judul penelitian
yang ada pada Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian yang berjudul : “Analisis Yuridis Tanggung
Jawab
Sosial
dan
Lingkungan
Perusahaan
(Corporate
Social
Responsibility – CSR) Berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 53/PUU-VI/2008)” belum pernah dilakukan. Namun, ada penelitian yang membahas kajian yang serupa tapi permasalahan dan tujuan penelitian berbeda, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2 Penelitian Terdahulu No.
Judul Penelitian
1.
ANALISIS HUKUM TERHADAP PENGATURAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
-
Konsep CSR dalam etika bisnis dan perusahaan;
-
Peranan Pemerintah, Perusahaan, dan Masyarakat sebagai kemitraan tripartit dalam penerapan CSR; dan
Ditulis pada tahun 2008
-
Pengaturan CSR dalam UU 40/2007.
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN TERHADAP STAKEHOLDER
-
Tanggung jawab perusahaan terhadap stakeholders dalam perspektif etika bisnis;
-
Tanggung jawab hukum perusahaan terhadap stakeholders berdasarkan UUPT; dan
-
Penerapan tanggung jawab sosial terhadap stakeholders dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
-
Perbandingan pengaturan CSR antara Cina dengan Indonesia;
-
Faktor penghambat pengaturan CSR di Indonesia dalam pemenuhan GCG untuk mewujudkan sustainable development.
2.
Permasalahan
Ditulis pada tahun 2010
3.
PERBANDINGAN PENGATURAN TENTANG CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY ANTARA INDONESIA DENGAN CINA DALAM UPAYA PERWUJUDAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA
Nama Mahasiswa Ika Safithri 067005033/HK
HARIYANTO 087005007/HK
NILAWATY 087005114/HK
Ditulis pada tahun 2011
Sumber : Website Resmi Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Program Magister Ilmu Hukum, http://repository.usu.ac.id/., diakses pada 04 Juni 2011.
Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa permasalahan yang diutarakan pada penelitian ini adalah berbeda dengan penelitian terdahulu. Jadi dengan demikian, penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah berdasarkan kajian ilmu pengetahuan hukum dan asas-asas penulisan yang harus dijunjung tinggi yaitu jujur, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah.
Universitas Sumatera Utara
F.
Kerangka Teori dan Konsep 1.
Kerangka Teori
Penelitian ini, menggunakan teori kebijakan perusahaan, yang diutarakan oleh R. Freeman dalam bukunya Ethical Theory and Business mengatakan bahwa 35 : “Stakeholder theory identifies stakeholders as any group of individuals who can affect or is affected by a firm. Empirical evidence suggest that stakeholder relationship variables have a direct affect on financial performance and that stakeholder relationship variables moderate the relationship between strategy variables and financial performance. The stakeholder concept requires management look beyond the internal interest of the firm and consider the interest of all stakeholders affected by the firm’s action when making important operational and strategic decisions. Stakeholders are generally identified as stockholders, employees, consumers, suppliers, competitors, creditors, regulatory agencies, professional groups, and the local community”.
Stakeholders umumnya diidentifikasi sebagai pemegang saham, karyawan, konsumen, pemasok, pesaing, kreditur, Pemerintah, kelompok profesional, dan masyarakat setempat. Berarti stakeholders disini adalah terkait dengan semua pihak yang berkepentingan pada suatu perusahaan. Tidak terlepas juga Pemerintah dan Masyarakat sekitar. Oleh karena itu, seluruh kebijakan yang dikeluarkan harus menguntungkan banyak pihak. Barulah itu disebut sebagai sebuah keadilan yang tercapai. Untuk mencapai keadilan tersebut diperlukan Utilitarian Theory yang pertama kali ditemukan oleh Jeremy Bentham. Teori kemanfaatan hukum mengutarakan 36 : “An action is right from an ethical point of view if and only if the
35
Freeman dalam Joe M. Ricks Jr., Op.cit., hal. 26-27. John Rowland Dinwiddy, Bentham : Selected Writing of John Dinwiddy, William Twining (Editor), (California : Stanford University Press, 2004), hal. 26. 36
Universitas Sumatera Utara
sum total of utilities produced by that act is greater than the sum total of utilities produced by any other act the agent could have performed in its place”. Dengan kata lain, semakin banyak pihak yang diuntungkan dengan penerapan CSR maka semakin baik CSR yang dilaksanakan. Maksudnya adalah bahwa penerapan CSR sudah pasti melibatkan para stakeholder atau pemangku kepentingan, jadi apabila perusahaan menerapkan CSR dengan benar dan tepat sasaran kepada masyarakat sekitar perusahaannya berdiri maka kebijakan penerapan CSR berpengaruh baik kepada stakeholder. Perusahaan bisa meraih banyak manfaat dengan menguras kekayaan alam melalui teknologi dan industri, hingga sumber daya alam rusak atau habis sama sekali. Karena itu, menurut utilitarianisme upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi tanggung jawab moral individu atau perusahaan. 37 Mudah dipahami bahwa utilitarianisme sebagai teori etika sesuai dengan pemikiran ekonomis. Misalnya, teori ini cukup dekat dengan cost benefits analysis (analisis biaya manfaat) yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang dimaksudkan utilitarianisme ini bisa dihitung juga sama seperti menghitung untung rugi atau debet kredit dalam konteks bisnis. Keputusan diambil pada manfaat terbesar dibanding biayanya. 38 Prinsip utilitarian dianggap mengasumsikan bahwa kita bisa mengukur dan menambahkan kuantitas keuntungan yang dihasilkan oleh suatu tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari tindakan tersebut, dan
37
Kees Bartens, Pengantar Etika Bisnis, Cetakan Kesepuluh, (Yogyakarta : Kanisius, 2000),
hal. 66-69. 38
John Rawls, A Theory of Justice, Edisi Revisi, (London : Harvard University Press, 1971),
hal. 23-24.
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya menentukan tindakan mana yang menghasilkan keuntungan paling besar atau biaya yang paling kecil. 39 Ada suatu pola pemikiran masyarakat yang membuatnya mudah untuk dipahami adalah bahwa konsep yang paling masuk akal dan adil bagi masyarakat adalah konsep utilitas (manfaat). Suatu masyarakat dapat diatur dengan baik bila perusahaan mampu memaksimalkan saldo bersih dari target yang ditentukan. Prinsip ini merupakan pilihan yang diperuntukkan bagi banyak orang. Prinsip keadilan adalah prinsip dari kebijaksanaan yang masuk akal dan diberlakukan bagi suatu konsepsi kesejahteraan bersama. 40 Apabila kehidupan bisnis ingin berlangsung dalam jangka panjang maka perusahaan yang menjalankan bisnis tersebut harus memberikan jawaban kepada kebutuhan dasar masyarakat sekitar dan memberikan apa yang dibutuhkan masyarakat. Adanya konsep CSR/TJSL perusahaan merupakan suatu bentuk utilitas perusahaan yang mampu memberikan kesenangan atau kebahagiaan bagi masyarakat (society) dan juga merupakan perbuatan etis karena konsekuensi perbuatannya memberi manfaat kepada banyak orang. 41 CSR/TJSL adalah tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat di luar tanggung jawab ekonomis. Jika berbicara tanggung jawab sosial perusahaan, yang dimaksud adalah kegiatan-kegiatan yang
39
Kees Bartens, Loc.cit., hal. 66-67. John Rawls, Loc.cit., hal. 23-24. Dalam : Hariyanto, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Terhadap Stakeholder”, (Medan : Tesis, Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 31. 41 OP. Simorangkir, Etika : Bisnis, Jabatan, dan Perbankan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hal. 55. 40
Universitas Sumatera Utara
dilakukan perusahaan demi suatu tujuan sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi ekonomis. 42 Pada dasarnya, tanggung CSR/TJSL dibedakan dari tanggung jawab lain. Bisnis selalu memiliki dua tanggung jawab : tanggung jawab ekonomis; dan tanggung jawab sosial. Tetapi perlu dicatat hal ini hanya berlaku untuk sektor swasta. Kinerja setiap perusahaan menyumbangkan kepada kinerja ekonomi nasional sebuah negara. Jika suatu perusahaan berhasil memainkan peranannya dengan baik di atas panggung ekonomi nasional, dengan sendirinya akan memberi kontribusi yang berarti kepada kemakmuran masyarakat. Hubungan masyarakat diartikan mempunyai hubungan sosial dan bukan hubungan bisnis. Fenomena sosial tersebut menuntut perusahaan memiliki tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR). 43 Berarti jelas, antara stakeholders dengan perusahaan terjadi hubungan yang saling mempengaruhi sehingga perubahan pada salah satu pihak akan memicu dan mendorong terjadinya perubahan pada pihak yang lainnya. Dalam dunia usaha yang global dan sangat kompetitif sekarang ini, banyak pihak yang dapat menjadi stakeholder perusahaan. Dari sudut pandang perusahaan ada beberapa orang atau sekelompok orang yang secara pasti dapat digolongkan sebagai stakeholders perusahaan, yaitu mereka yang memiliki legitimasi, kepentingan langsung, atau hak dalam kegiatan perusahaan. Mereka dalam golongan ini diantaranya adalah pemegang saham, karyawan, dan pelanggan. Tetapi dalam sudut pandang masyarakat yang lebih plural, para stakeholders tidak hanya mereka yang
42 43
Kees Bartens, Op.cit., hal. 296-297. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
disebutkan di atas, tetapi juga termasuk pesaing usaha, komunitas sekitar, LSM, pers, dan masyarakat pada umumnya, yang sebenarnya tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan inti dalam perusahaan. Kepentingan (stake) seseorang atau sekelompok orang atas suatu perusahaan dapat timbul karena dua macam hak, yaitu hak hukum (legal right) dan hak moral (moral right), seperti kutipan berikut ini 44 : “Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki hak hukum (legal right) adalah orang yang memiliki kepentingan berdasarkan aturan yang berlaku bahwa mereka harus diperlakukan sebagaimana aturan yang berlaku tersebut. Sedangkan, mereka yang memiliki hak moral (moral right) adalah seseorang atau sekelompok orang yang kepentingannya timbul secara moral atau etika dimana perlakuan yang mereka terima adalah semata-mata berdasarkan moral dan etika dari perusahaan tersebut, yang sebenarnya tidak wajib”.
Orang yang memiliki hak hukum dalam suatu perusahaan adalah orang-orang yang berasal dari dalam perusahaan itu sendiri, seperti karyawan, direksi, komisaris, dan pemegang saham. Sedangkan orang yang memiliki hak moral adalah orang yang berasal dari luar perusahaan seperti masyarakat dan pemerintah. Tujuan dari teori stakeholders adalah menekankan bahwa bisnis harus dijalankan berdasarkan hubungan yang terjalin dalam kegiatan bisnis, agar hak dan kepentingan semua pihak terkait yang berkepentingan dengan suatu kegiatan bisnis dijamin, diperhatikan, dan dihargai. Semua pihak terkait dan memiliki kepentingan diperhatikan dan dijamin
44
Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Resiko Hukum & Bisnis Perusahaan Tanpa CSR : Implementasi CSR Menurut UUPT No. 40 Tahun 2007, Cetakan Pertama, (Jakarta : Forum Sahabat, 2008), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
karena mereka memiliki keinginan untuk memperoleh keuntungan dan tidak ingin dirugikan dengan baik, jujur, bertanggung jawab, dan etis. 45 Pemahaman sebaliknya dari ungkapan tersebut adalah bahwa sebenarnya pendekatan stakeholder, juga untuk kepentingan pihak perusahaan yaitu agar dapat bertahan lama dan berhasil. Pihak yang sudah memiliki hubungan dengan perusahaan juga akan berfikir untuk memutuskan hubungan dengan perusahaan atau paling tidak akan sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan perusahaan tersebut. Dalam pendekatan stakeholder pihak perusahaan harus memiliki hubungan yang saling mempengaruhi dengan berbagai pihak. Pihak-pihak yang berhubungan dengan perusahaan pada umumnya adalah : penyalur; rekan bisnis; konsumen; pemasok barang; pemegang saham; pekerja; media massa; pemerintah asing; pemerintah setempat; aktivis sosial; masyarakat setempat; dan sekelompok pendukung lainnya. 46 Di Indonesia, definisi CSR/TJSL secara etimologis kerap diterjemahkan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam konteks lain, CSR kadang juga disebut sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha. Namun umumnya, bila disebut salah satu darinya, konotasinya pasti kembali kepada CSR/TJSL. Kendatipun tidak mempunyai definisi tunggal, konsep ini menawarkan sebuah kesamaan, yaitu keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan atau konsep economic sustainability, environment sustainability, dan social sustainability. 47
45
Nurlailah, Pendekatan Stakeholder Dalam Pemikiran Etika Bisnis, Jurnal Al-Qanun Volume 12, Nomor 2, (Surabaya : Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, 2009), hal. 403. 46 Ibid., hal. 404. 47 Yusuf Wibisono, dalam : Hariyanto, Op.cit., hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
Dengan penerapan CSR/TJSL, maka perusahaan harus berperan sebagai agen sosial perubahan, ini cara yang bijak menyelamatkan lingkungan dan sekaligus kelangsungan bisnisnya. Tujuannya adalah agar perusahaan turut mengambil peran mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat dimana perusahaan itu berada. Ini adalah konsekuensi logis, karena perusahaan swasta menuntut peran Negara direduksi dalam bidang sipil. Latar belakangnya adalah ketidakpuasan swasta akan lambannya peran negara meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terkait dengan alokasi anggaran negara yang terbatas dan penyalurannya yang birokratis. 48 Sehingga persoalan tanggung jawab sosial perusahaan ini harus dilihat secara realistis, jika peran negara dalam bidang sipil direduksi, maka harus ada penambahan kewajiban dan tanggung jawab pada perusahaan. Dengan demikian adanya keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. 49 Jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan Perseroan Terbatas sebelumnya dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas belum diatur mengenai CSR. Namun, setelah diundangkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, CSR sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 ayat (3) dikenal dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah satu langkah positif. Dengan terbitnya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan memuat ketentuan TJSL pada salah satu pasalnya, yaitu pada Pasal 74 bahkan disertai dengan sanksi tersirat beberapa unsur di dalamnya. Unsur tersebut, antara lain : (1)
48 49
Hadi Setia Tunggal, dalam : Ibid., hal. 38. Hariyanto, Op.cit., hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
kewajiban bagi; (2) perseroan yang bergerak di bidang pengelolaan atau berkaitan dengan sumber daya alam (SDA); (3) dianggarkan sebagai biaya; (4) dilakukan dengan memperhatikan aspek “kepatutan dan kewajaran”; (5) bagi pelanggaran dikenakan sanksi; dan (6) pengaturan lebih lanjut akan dituangkan dalam satu peraturan pemerintah. 50 Berkaitan dengan CSR/TJSL akan dibuat peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) termasuk mengenai besaran kewajibannya, siapa lembaga yang akan mengawasinya serta apa sanksi jika tanggung jawab diabaikan. Pemerintah masih berupaya mencari titik keseimbangan yang paling sesuai agar kalangan dunia usaha tidak sampai dirugikan atau terpaksa mencari lokasi investasi di tempat lain dan masyarakat setempat juga mendapatkan keuntungan. Tujuan utama membuat aturan main (rule of game) tentang CSR/TJSL adalah agar perusahaan bisa bekerja dengan tenang. Pada dasarnya melaksanakan CSR/TJSL merupakan investasi jangka panjang karena adanya asas manfaat (utilitas) untuk menciptakan kesenangan atau kebahagiaan yang bersifat mutualisme. 51 CSR/TJSL harus melibatkan kedua pihak yang diberikan hak, baik itu hak moral maupun hak hukum. Keterlibatan tersebut harus secara aktif dilakukan oleh stakeholder bukan dilakukan oleh pihak lain. Tidak tepat dikatakan bahwa CSR/TJSL dilakukan oleh pihak lain. CSR perusahaan A dilakukan oleh Pihak Lain, hal ini bukanlah CSR/TJSL jadi harus ada partisipasi aktif dari stakeholder. 52 Pemerintah
50
Ibid., hal. 39-40. Ibid., hal. 41. 52 Keterangan saksi ahli Maria R. Nindita Radyati dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 53/PUU-VI/2008, hal. 44. 51
Universitas Sumatera Utara
sebagai penjaga malam harus mengawasi kegiatan setiap perusahaan yang melakukan CSR/TJSL melalui sebuah lembaga hukum. Inilah yang belum dibentuk oleh Pemerintah. Lembaga-lembaga CSR/TJSL yang ada masih melalui sektor swasta, sehingga penegakan hukum sama sekali tidak dilakukan oleh Pemerintah bagi Perusahaan yang tidak melakukan CSR/TJSL.
2.
Kerangka Konsep Demi memudahkan pemahaman dan menghindari kesalahan penafsiran yang
berbeda antara satu konsep dengan konsep lainnya maka digunakanlah kerangka konsep. Kerangka konsep berisikan tentang konsep-konsep operasional dari penelitian bukan konsep-konsep dari Undang-Undang. Namun, penggunaan UndangUndang dimungkinkan apabila konsep sudah ada di dalamnya. 53 Jadi, tidak menutup kemungkinan dalam hal penggunaan Undang-Undang untuk memberikan definisi mengenai konsep yang dikemukakan. Dikarenakan penelitian hukum adalah penelitian normatif yang bersifat kualitatif maka tidak menutup kemungkinan dalam hal penggunaan semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutan dengan
53
Perumusan konsep diserahkan kepada kebutuhan penelitian, yang dapat diperoleh dari semua sumber hukum yang dimiliki. Perumusan konsep dibutuhkan untuk memperoleh pemahaman inti dan dasar pijakan pada istilah yang akan dipergunakan dalam penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini adalah penelitian hukum jadi konsep operasional berasal dari Undang-Undang. Sumber : Dian Puji N. Simatupang, “Penyusunan Proposal Penelitian”, Bahan Perkuliahan Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 27 Februari 2008), hal. 16. Lihat juga : Topo Santoso, “Penelitian Proposal Penelitian Hukum Normatif”, Pelatihan Penelitian Hukum, (Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 25 April 2005), hal. 23. Mengatakan bahwa : “Kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkret daripada kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak kadangkala diperlukan definisi operasional. Dalam penelitian hukum, kerangka konsepsional dapat diambil dari peraturan perundangundangan”.
Universitas Sumatera Utara
judul dan permasalahan (isu hukum) yang sedang diteliti. 54 Dalam menentukan konsep harus berurutan sesuai dengan judul dan rumusan masalah. Adapun konsep dimaksud dalam penelitian ini, antara lain : 1.
Penerapan Undang-Undang adalah proses atau cara untuk mempraktikkan hukum. 55 Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan penerapan UndangUndang adalah penerapan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas khususnya Pasal 74;
2.
Perseroan Terbatas/Perusahaan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang; 56
3.
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) adalah kewajiban perusahaan/perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya; 57
4.
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang
54
Alvi Syahrin, “Pendekatan Dalam Penelitian Hukum”, Bahan Perkuliahan Metode Penelitian Hukum, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 3. 55 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1986). 56 Pasal 1 angka 1., Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756. 57 Alinea ke-10 Bagian Umum Penjelasan, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Universitas Sumatera Utara
berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbagnan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan. 58 Dalam penelitian ini konsep CSR dipersamakan dengan konsep TJSL; 5.
Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan pengadilan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam perkara No. 53/PUU-VI/2008;
6.
Kewajiban Hukum adalah suatu kewajiban yang diberikan dari luar diri manusia (norma heteronom). Kewajiban hukum dan kewajiban moral dapat berpadu, dalam istilah Hegel, “Sittlicheit”. 59 Dalam tataran ini kewajibankewajiban hukum telah diterima sebagai kewajiban-kewajiban moral. Dalam pembahasan etika, Immanuel Kant menguraikan etika “imperatif kategoris” dimana tunduk kepada hukum merupakan suatu sikap yang tanpa pamrih, dan tidak perlu alasan apapun untuk tunduk kepada hukum. Untuk perbandingan adapula yang dinamakan imperatif hipotetis, dimana kewajiban dilaksanakan karena suatu alasan tertentu atau mengharapkan reward tertentu. 60 Kaitannya dengan penelitian ini adalah bahwa TJSL/CSR dilakukan berdasarkan kewajiban hukum; 61 58
Philip Kotler dan Nancy Lee, Corporate Social Responsibility : Doing the Most Good for Your Company and Your Cause, (Canada : John Wiley & Sons, Inc., 2005), hal. 3. Mendefinisikan bahwa : “Corporate Social Responsibility is a commitment to improve community well-being through discretionary business practices and contribution of corporate resources”. 59 Bryan Magee, The Story of Philosophy, diterjemahkan Marcus Widodo, (Yogyakarta : Kanisius, 2008), hal. 158-160. 60 Immanuel Kant dalam Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 2005), hal. 267-268. 61 Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan pada Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mewajibkan pelaksanaan TJSL/CSR kepada perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Sedangkan bagi perusahaan yang tidak menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
7.
Dunia Usaha adalah suatu lingkup kegiatan dengan menggunakan modal tertentu untuk memperoleh laba. Seperti : industri, perdagangan, dan pengangkutan; 62
8.
Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan usaha dalam berbagai bidang ekonomi; 63
9.
Pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan/CSR adalah diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
10. Pertimbangan Hukum adalah bagian dari putusan pengadilan Indonesia yang mempertimbangkan dasar hukum yang dipakai dalam memutuskan suatu perkara. Pertimbangan hukum dalam penelitian ini adalah pertimbangan hakim pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-VI/2008.
sumber daya alam, maka TJSL/CSR dapat dilaksanakan sebagai komplimen, karena memang tujuannya adalah untuk kepentingan, kemaslahatan, dan kesinambungan perusahaan itu sendiri. Sumber : Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 96. 62 Ralona M., Kamus Istilah Ekonomi Populer, (Jakarta : Gorga Media, 2006), hal. 57. 63 Pasal 1 angka 3., Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821.
Universitas Sumatera Utara
G.
Metode Penelitian Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk mendapatkan pemahaman
mengenai objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. 64 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. 65 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya. 66 Dengan demikian secara umum objek penelitiannya adalah norma hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan diterapkan oleh Pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang terkait secara langsung dengan kebijakan CSR/TJSL perusahaan di Indonesia. Secara khusus, objek penelitiannya adalah Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan turunannya dalam bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 53/PUU-VI/2008.
1.
Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian hukum normatif dikenal sebagai penelitian hukum yang bersifat
kualitatif. Alasan penggunaan metode penelitian hukum normatif ini adalah analisis kualitatif yang didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep64
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta : Indonesia Hillco, 1990), hal. 106. 65 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 1. 66 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. 67 Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif analisis yang ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait penerapan CSR/TJSL perusahaan di Indonesia berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
2.
Sumber Bahan Hukum Penelitian hukum normatif yang menititikberatkan pada studi kepustakaan dan
berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu : 1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen; b. Undang-Undnag No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; c. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; d. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; e. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing; 68
67
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Keenam, (Jakarta : Kencana, 2010), hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
f. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; g. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 69 h. Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Republik
Indonesia
No.
53/PUU.VI/2008.
2. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer, yang terdiri dari : a. Buku-buku; b. Jurnal-jurnal; c. Majalah-majalah; d. Artikel-artikel; dan e. Berbagai tulisan lainnya.
3. Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti : a. Kamus Besar Bahasa Indonesia; b. Kamus Ekonomi; c. Black’s Law Dictionary. 68
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724. 69 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
Universitas Sumatera Utara
3.
Teknik Pengumpulan Data Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi
kepustakaan (library research) dengan alat pengumpulan data berupa studi dokumen dari berbagai sumber yang dipandang relevan. 70 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 58/PUU-VI/2008 didapat dari website resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Selanjutnya bahan hukum yang ada di kolaborasi dengan buku-buku yang di dapat dari Perpustakaan. Dipilah mana yang hukum dan mana yang bukan hukum. Setelah didapat pengelompokan sumber bahan hukum barulah selanjutnya dianalisis. Perpustakaan yang digunakan adalah Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4.
Analisis Data Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke
dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja. 71 Analisa data yang akan dilakukan secara kualitatif. Kegiatan ini diharapkan akan dapat memudahkan dalam menganalisa permasalahan
70
Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber bahan hukum lainnya. Dalam : Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Edisi Kedua, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, Januari 2008), hal. 1. 71 Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisaikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Analisa berbeda dengan penafsiran yang memberikan arti yangsignifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi dimensi uraian. Dalam : Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 280.
Universitas Sumatera Utara
yang diajukan, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan. Analisa kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan data yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda satu dengan yang lainnya. Metode analisis data digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dimana pada penelitian ini digunakan metode normatif kualitatif. Normatif, karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturanperaturan yang ada sebagai normatif hukum positif sedangkan kualitatif, dimaksudkan analisis data yang bertolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi dalam penerapan CSR/TJSL perusahaan di Indonesia. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dirumuskan. 72 Logika deduktif maksudnya disini adalah menjelaskan CSR/TJSL dari segi manfaat dan tujuan yang hendak dicapai.
72
Deduktif artinya adalah menggunakan teori sebagai alat, ukuran, dan bahkan sebagai instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai “pisau analisis” dalam melihat CSR/TJSL perusahaan di Indonesia. Dalam : Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 26.
Universitas Sumatera Utara