PERIL LAKU POL LITIK ET TNIS TOL LAKI DALAM PEMILIH HAN GUB BERNUR SULAWE S ESI TENG GGARA TA AHUN 20077 (Kasus: Kubu NUS SA Dalam Pemilihan Gubernur Su ulawesi Teng ggara Taahun 2007)
ARY YUNI SA ALPIAN NA JABA AR
SE EKOLAH PASCASARJANA A INST TITUT PE ERTANIA AN BOGO OR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007) adalah merupakan karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2009
Aryuni Salpiana Jabar NIM: I351060081
ABSTRACT
Aryuni Salpiana Jabar, Political Behaviour Of Tolaki Ethnic In 2007 South Of East Sulawesi Governor Election (Case: Group Of NUSA in 2007 South Of East Sulawesi Governor Election). Under direction of Said Rusli and Saharuddin.
In political world, political action refers to the amount of political behaviour which done by political elite or political actor. That political behaviour based political motivation and amount of purpose and political expectant. Society in South of East Sulawesi (Sultra) go to local democration by system of local government election. This study aims to investigate “why” and “how” political behaviour of Tolaki ethnic as individual actor. This is a qualitative study which use primary and secondary data. The findings of this study show leader values of Tolaki ethnic which internalize in them self and history of political configuration in Sultra that Tolaki ethnic not dominate, be political motivation for Individual Tolaki ethnic. Governor election is one momentum to change’s position of Tolaki ethnic in political conviguration in Sultra. Political aspect as political force used of Tolaki actor like political parties as formal aspect, mass media, social group in society and political figures as non-formal aspec. Keywords: political behaviour, leader values, political configuration and political aspect.
RINGKASAN
Aryuni Salpiana Jabar, Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi TenggaraTahun 2007, Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007. (Di bawah bimbingan Said Rusli sebagai Ketua dan Saharuddin sebagai Anggota).
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji “mengapa” dan “bagaimana” perilaku politik etnis Tolaki dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007 sebagai jalan untuk menjelaskan hadirnya figur beretnis Tolaki sebagai pemenang dalam pilgub Sultra tahun 2007. Penelitian ini dipumpunkan pada tiga aspek penting tindakan sosial sebagai sebuah obyek sosiologi yaitu motivasi dari tindakan yang dilakukan, bentuk tindakan itu sendiri serta tujuan yang ingin dicapai dari sebuah tindakan sosial. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dan menggunakan data primer dan sekunder. Unit analisis dalam penelitian adalah individu aktor politik beretnis Tolaki dengan mengambil kasus kubu NUSA sebagai salah satu kubu yang dilekatkan dengan identitas Tolaki sebagai jalan untuk memahami bagaimana aktor politik beretnis Tolaki secara individu melakukan perilaku dan tindakan politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua motivasi penting aktor politik beretnis Tolaki dalam melakukan tindakan politik yaitu nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam Kalo sebagai dasar perilaku orang Tolaki dan terinternalisasi dalam diri aktor politik beretnis Tolaki serta sejarah perjalanan peta politik Sultra dimana aktor beretnis Tolaki tidak mendominasi. Kalosara sebagai acuan bertindak orang Tolaki mengatur dasar kepemimpinan, bagaimana seorang pemimpin serta tujuan kepemimpinan orang Tolaki. Nilai kepemimpinan ini menjadi modal seorang Tolaki dalam memimpin masyarakat. Sejarah perjalanan peta politik Sultra menghadirkan dikotomis wilayah daratan versus kepulauan. Keterwakilan figur dari kedua wilayah ini penting untuk menjaga stabilitas sosial politik masyarakat Sultra yang tersebar dalam dua wilayah persebaran penduduk yaitu daratan dan kepualauan.
Di wilayah daratan Sultra, etnis Tolaki merupakan etnis dominan, sedangkan di wilayah kepulauan Sultra etnis Muna dan Buton sebagai etnis yang dominan. Perjalanan peta politik Sultra menunjukkan etnis Tolaki dari wilayah daratan hanya satu kali menjadi Gubernur sedangkan figur kepulauan selalu memonopoli kedudukan Gubernur. Momentum pemilihan Gubernur merupakan satu ajang penting bagi figur daratan maupun kepulauan sebagai ajang monopoli peta kekuasaan Sultra. Bagi figur kepulauan, pilgub 2007 adalah pembuktian monopoli peta kekuasaan Sultra, sedangkan bagi figur daratan, pilgub 2007 adalah ajang perebutan monopoli kekuasaan tersebut. Perebutan monopoli kekuasaan lebih memiliki makna dalam sistem pemilihan yang telah berubah dari pemilihan oleh dewan legislatif menjadi pemilihan secara langsung oleh masyarakat. Upaya untuk mendapatkan posisi Gubernur Sultra diwujudkan dengan serangkaian perilaku politik melalui optimalisasi aspek-aspek strategis pilkada. Optimalisasi peranan partai politik sebagai lembaga yang menentukan calon kepala daerah termasuk optimalisasi jaringan anggota partai politiknya merupakan salah satu wujud perilaku politik untuk mencapai tujuan politik aktor beretnis Tolaki. Selain itu, optimalisasi media massa, kelompok masyarakat serta figur politik merupakan aspek-aspek strategis lainnya yang dilakukan oleh aktor beretnis Tolaki. Partai politik memiliki kewenangan dalam menetapkan pasangan calon kepala daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 59. Menyadari pentingnya peran partai politik ini, Nur Alam sebagai individu beretnis Tolaki masuk ke dalam PAN, salah satu partai besar di Sulawesi Tenggara dan mengambil peranan penting sebagai ketua partai. Diutusnya Nur Alam sebagai calon tunggal partai PAN adalah bukti bahwa Nur Alam mampu memberikan dominasi kontrol terhadap keputusan internal partai. Dalam pilkada Sultra 2007, setiap pasangan calon kepala daerah selalu menampilkan figur beretnis Tolaki, baik sebagai calon Gubernur maupun hanya sebagai calon Wakil Gubernur. Hal ini menyebabkan aspek primordial sebagai salah satu dasar pilihan masyarakat tidak dapat efektif dimana suara masyarakat
daratan akan terbagi-bagi ke dalam empat kubu. Kubu NUSA memberikan kekhasan perilaku politik dibanding figur daratan lain dengan mengutamakan figur tingkat mikro sebagai penyambung antara calon pasangan kepala daerah dengan masyarakat akar rumput. Pencitraan positif terhadap figur politik merupakan aspek penting dalam pemilihan secara langsung oleh masyarakat. Nur Alam telah membangun figur positif di tengah masyarakat melalui kegiatan keliling desa jauh sebelum suksesi pilkada berlangsung. Penggunaan media massa juga dilakukan untuk membentuk figur positif Nur Alam. Serangkaian optimalisasi aspek politik memberikan kemenangan dan posisi Gubernur bagi Nur Alam. Konsisten dengan tujuan politiknya: etnis Tolaki mendapat posisi penting pemerintahan Sultra, Nur Alam melakukan resuffle organisasi pemerintahan dengan menempatkan figur-figur Tolaki pada posisi penting. Hasil review terhadap perilaku politik Nur Alam melalui optimalisasi aspek strategis pilkada menunjukkan aspek primordial menjadi lebih efektif dalam pemenangan kubu NUSA ketika Nur Alam mengoptimalkan peranan figurfigur tingkat mikro. Kondisi sosial pemilih yang tersebar di dua wilayah, daratan dan kepulauan menjadikan aspek media massa dan figur politik efektif untuk menyentuh berbagai segi masyarakat.
© Hak cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang – undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
PERILAKU POLITIK ETNIS TOLAKI
DALAM PEMILIHAN GUBERNUR SULAWESI TENGGARA TAHUN 2007 (Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007)
ARYUNI SALPIANA JABAR
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
HALAMAN PENGESAHAN Judul Penelitian
: Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus : Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007)
Nama
: Aryuni Salpiana Jabar
NRP
: I351060081
Program Studi
: Sosiologi Pedesaan (SPD)
Menyetujui Komisi Pembimbing,
Dr. Saharuddin, M.Si
Ir. Said Rusli, MA Ketua
Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Sosiologi Pedesaan
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, M.S DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.Si
Tanggal Ujian: 19 Februari 2009
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah. Swt atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007) ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari program studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Said Rusli, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Saharuddin, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan bimbingan yang bermanfaat bagi penulisan penelitian ini. Penulis juga menghaturkan ucapan terimakasih kepada bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, Guru Besar Politik dan Agraraia Institut Pertanian Bogor, selaku dosen penguji pada sidang tesis. Disamping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar penulis dan rekan-rekan di Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) angkatan 2006 (Mba. Hana, Mba. Ita, Pa’ Slamet atas segala informasi akademiknya, Pa’ Syarif, Pa Udin, Pa Himawan, Yusuf) yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama ini. Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Si dan Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Ibu Nurmala K. Pandjaitan, penulis ucapkan terima kasih atas kesediaannya menerima penulis untuk mengikuti pendidikan magister, serta penulis juga menghaturkan terima kasih kepada para Dosen PS.SPD atas bekal ilmu yang telah diberikan pada penulis yang sangat berguna bagi penulis di masa yang akan datang. Kepada Bapak, H. Syeh All Jabbar, SH., MH dan Ibu, Ramlah All Jabbar, terima kasih atas doa yang senantiasa diberikan dimanapun penulis berada. Pada saudara – saudaraku Ogim, Wawan, Japret, Ira dan Angko yang telah membantu penelitian di lapangan, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya Terkhusus Karya ini saya persembahkan kepada Suami tercinta, Brigadir. Idris Hasan dan Anak tersayang Syarifa Azra Al Idris (Syifa-ku) yang senantiasa selalu ikhlas mendoakan, memberikan dukungan untuk keberhasilan penulis, terima kasih atas penantian dan pengorbanan yang telah di lakukan.
Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik,
saran,
dan
tanggapan
sangat
diharapkan
dari
para
pembaca
menyempurnakan isi tulisan ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Februari 2009
Aryuni Salpiana Jabar
untuk
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 19 Juli 1984 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan All Jabbar dan Ramlah Jabar. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Tahun 2002 penulis lulus dari SMUN 1 Kendari dan pada tahun yang sama lulus seleksi USMI (Undangan Siswa Masuk IPB) di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Jurusan Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Pada tahun 2006 penulis berhasil menamatkan Strata 1 dengan predikat Mahasiswa Terbaik Jurusan Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) dan melanjutkan studi S2 pada tahun yang sama di sekolah Pascasarjana IPB program studi Sosiologi Pedesaan. Pada tahun 2007, di tengah studi S2, penulis menikah dengan suami Brigadir Idris Hasan dan saat ini telah dikaruniai seorang anak, Syarifa Azra Al Idris.
Daftar Isi I.
II.
PENDAHULUAN
1
1.1
Latar Belakang
1
1.2
Perumusan Masalah Penelitian
5
1.3
Tujuan Penelitian
7
1.4
Kegunaan Penelitian
7
PENDEKATAN TEORITIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1
III.
IV.
8
Perkembangan Sistem Politik Indonesia: Tinjauan Teoritis
8
2.2
Pendekatan Perilaku Politik
10
2.3
Perkembangan Budaya Politik, Pola Interaksi Serta Nilai Sosial Etnis Tolaki
13
2.4
Kerangka Pemikiran
16
2.5
Definisi Konseptual
20
METODE PENELITIAN
22
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
22
3.2
Metode Pengumpulan Data
23
3.3
Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data
23
3.4
Analisis data
24
GAMBARAN SISTEM POLITIK SULAWESI TENGGARA MASA PEMILIHAN GUBERNUR TAHUN 2007
26
4.1
Sistem Pemilihan Gubernur Sultra Periode 2008-2013
26
4.2
Karakteristik Kubu NUSA
31
4.3 4.4
Isu Strategis dan Kondisi Sosial Masyarakat Sultra Hasil Pemilihan dan Tanggapan Masyarakat 4.4.1 Hasil Pemilihan Kepala Daerah Secara Umum 4.4.2 Primordial Sebagai Kunci Kemenangan Kasus: Kelurahan Lepo-Lepo Ikhtisar
33 37 37
4.5
39 43
V.
ETNIS TOLAKI dan PEMILIHAN GUBERNUR SULTRA 2007 5.1 Nilai Kepemimpinan Etnis Tolaki 5.2 Etnis Tolaki dan Perjalanan Peta Politik Sultra 5.3 Kubu NUSA dalam Pemilihan Gubernur Sultra 2007 5.2.1 NUSA sebagai Kelompok Politik 5.2.2 Formasi Etnis dalam Kubu NUSA 5.4 Ikhtisar
VI.
PERILAKU POLITIK ELIT BERETNIS TOLAKI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR SULTRA 2007 62 6.1
6.2
6.3
6.4
VII.
Motivasi Sosiogenik: Nilai Pentingnya Kepemimpinan 6.1.1 Melahirkan Kembali HaluOleo
62 66
6.1.2 Masyarakat Tolaki dan Pemilihan Gubernur Optimalisasi Beragam Aspek Strategis Pilkada 6.2.1 Pemanfaatan Kelompok Masyarakat 6.2.2 Media Massa 6.2.3 Optimalisasi Peranan Partai Politik 6.2.4 Optimalisasi Peranan Figur Politik Kemenangan Gubernur Sultra Periode 2008-2013 Serta Signifikansi Etnis Tolaki Dalam Pemenangan Kubu NUSA Ikhtisar
68 70 71 75 77 84
KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 7.2
47 47 51 55 55 57 60
89 94
98
Kesimpulan 98 Saran
100
DAFTAR PUSTAKA
101
LAMPIRAN
103
Daftar Tabel
Tabel 1. Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data yang Digunakan
24
Tabel 2. Tabel Pembanding Empat Pasangan Calon Gubernur Sultra 2008-2013
35
Tabel 3. Distribusi Penduduk Lepo-Lepo Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Tabel 4. Komposisi Penduduk Lepo-Lepo Berdasarkan Etnis
40 40
Tabel 5. Rekapitulasi Jumlah Pemilih, TPS dan Surat Suara Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur di Kelurahan Lepo-Lepo Tabel. 6 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara
41 42
Tabel 7. Kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra serta Latar Belakang Etnisnya
53
Daftar Gambar
Gambar 1. Kerangka Fikir Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sultra Tahun 2007 Gambar 2. Peta Sulawesi Tenggara
19 104
Gambar 3. Peta Sulawesi Tenggara Berdasarkan Pembagian Wilayah Administratif
105
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Daerah saat ini merupakan ruang otonom1 dimana terdapat tarik-menarik antara berbagai kepentingan yang ada. Undang-Undang Otonomi Daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah semakin memperkuat pertarungan untuk mengelola berbagai basis sosial, ekonomi dan politik dalam daerah. Secara mikro, masyarakat desa maupun kelurahan sebagai pihak dan ruang otonom2 utama penyangga daerah, tidak dapat luput dari pertarungan antara berbagai pihak dan berbagai kepentingan. Secara ekonomi, tarik-menarik berbagai kepentingan yang ada di daerah secara jelas terlihat dalam pertarungan pengelolaan sumberdaya yang ada di daerah. Serupa dengan kepentingan ekonomi, kepentingan politik, sosial dan budaya pun memiliki kecenderungan atas pertarungan dalam pengelolaan berbagai sumberdaya yang ada di daerah, bahkan sadar ataupun tidak disadari, politik, sosial dan budaya terkadang menjadi basis pola dan sumber pertarungan berbagai kepentingan lainnya seperti kepentingan ekonomi. Indonesia merupakan negara dengan kekayaan beragam budaya serta etnis yang ada. Kekayaan budaya dan etnis3 ini dapat dipandang dalam dua sisi yang berbeda. Pertama, kekayaan budaya serta etnis dapat dipandang sebagai anugrah yang memperkaya keberagaman masyarakat, serta nilai dan kearifan lokal yang dimiliki masing-masing. Namun, secara berlawanan, keberagaman etnis dan budaya dapat menghambat berbagai kepentingan pembangunan sebab berbeda 1
Kata daerah dan daerah otonom memiliki makna yang berbeda. “Daerah” saja berarati local state government; kewenangan yang diberikan, di lain sisi, daerah otonom berarati local self government; memerintah sendiri (Dharmawan, Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan, 2004).
2
Otonom berasal dari kata Yunani autos dan nomos. Kata otonom memiliki cakupan makna lebih luas dari sekedar desentralisasi tetapi lebih pada memegang pemerintahan sendiri. Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. 3
Pembedaan atas konsep budaya serta etnis berdasarkan konsep Galzer (2000) dimana etnis merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut.
2
budaya dan etnis berarti juga berbeda latar belakang, berbeda pola pikir dan tingkah laku (yang tentunya dipengaruhi oleh latar belakang budaya) serta perbedaan kepentingan. Terkait dengan ruang otonom daerah, saat ini, budaya dan keberagaman etnis tidak jarang digunakan sebagai basis pertarungan politik, ekonomi dan sosial. Stone dan Rutledge Dennis (2003) menyatakan bahwa; “ethnic group as “human groups” (other than kinship groups) which cherish a blief in their common origins of such a kind that it provides a basis for the creation of a community”. Berdasar konsep etnis di atas, dalam penelitian ini Etnis dianggap sebagai kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memiliki identitas tertentu dan identitas tersebut menjadi pemersatu sehingga dapat membedakan antara kelompoknya dengan kelompok lain atau antara etnisnya dengan etnis lain. Selanjutnya kelompok yang memiliki identitas ini menjadi alat politik karena pertalian kepentingan selalu sangat erat bila berdasar pada persamaan etnisitas. Tidak hanya itu, etnis yang lebih besar dari hanya sebuah golongan keluarga merupakan basis pemersatu masyarakat yang masih kuat dibandingkan dengan basis pemersatu yang lain seperti tempat tinggal dan sebagainya. Robert Le Vine dalam Rush dan Althoff (1983) mengemukakan bahwa sosialisasi politik di negara-negara berkembang cenderung mempunyai relasi yang lebih dekat pada sistem-sistem lokal, kesukuan, etnis, dan regional daripada dengan sistem-sistem politik nasional. Menguatnya etnisitas sebagai basis pertarungan kepentingan di daerah telah dijelaskan oleh Soetarto dan Shohibuddin (2004) dimana dalam konteks pemilu distrik, dukungan berbasis ikatan solidaritas lokal sangatlah wajar bahkan memiliki signifikansi tersendiri sebagai basis legitimasi baru bagi proses rekruitmen politik dan proses demokratisasi lebih luas. Selanjutnya dijelaskan, mekanisme partisipasi yang mengacu pada medium-medium yang build in dalam keseharian masyarakat misalnya yang terwujud dalam seni, agama, etnis, budaya dan lain-lain, tidak terkelola dengan baik bahkan dimusuhi sebagai bentuk primordialisme, padahal di sisi lain, partisipasi kepartaian banyak mengandalkan kemapuan mobilisasi ikatan-ikatan primordial tersebut.
3
Serupa dengan daerah lainnya di Indonesia, politik lokal di Sulawesi Tenggara saat ini memegang peranan yang semakin kuat karena adanya UU otonomi daerah terlebih UU yang mengatur mengenai pemilihan kepala daerah. Dikutip dalam Suryatna (2007), UU no 32 2004, tentang pemerintahan daerah mengubah ketentuan yang mengatur pergantian kepala daerah. Pasal 56 ayat 1 menyatakan; kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Berdasarkan UU di atas, politik lokal menjadikan para elit politik semakin tertarik untuk berpolitik, masyarakat awam pun tidak jarang memiliki ambisi serupa, untuk menentukan arah pembangunan yang akan dilakukan di tingkat daerah. Meningkatnya minat berpolitik masyarakat Sulawesi Tenggara yang tidak hanya terbatas pada elit politik semata, tentunya merupakan sebuah prestasi yang semakin memberi ruang pada kembali tegaknya kedaulatan rakyat. Namun demikian, masing-masing elit dan wakil masyarakat memiliki ambisi dan kepentingan sendiri-sendiri yang tidak jarang dapat berseberangan dengan kepentingan masyarakat. Perbedaan berbagai kepentingan tersebut mendatangkan berbagai upaya, taktik dan strategi untuk memenangkan kursi pemegang elit. Strategi para elit politik dapat bermain pada berbagai ruang politik tertentu. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, ruang strategis yang dapat digunakan para elit politik dapat bersumber dari aspek formal maupun aspek nonformal. Penggunaan aspek-aspek formal dalam konteks pemilihan kepala daerah menunjukkan masih besarnya pengaruh pemerintah dalam sistem politik Indonesia saat ini, sedangkan penggunaan aspek non-formal menunjukkan peranan masyarakat yang semakin menguat dalam sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat, di lain sisi masyarakat lebih bersandar pada aspek nonformal dalam menentukan pilihannya. Saat ini, masyarakat Sulawesi Tenggara sedang menghadapi gejolak sosial dimana pemilihan Gubernur pertama yang dipilih langsung oleh masyarakat telah digelar. Tidak dapat dipungkiri, politik etnis terlihat dalam proses pemilihan Gubernur ini. Fenomena politik etnis terlihat pada ke-empat pasangan calon kepala daerah selalu menggambarkan pola yang serupa; pertautan antara dua tenis berbeda. Dan pertautan ini memperlihatkan hadirnya etnis Tolaki sebagai etnis
4
yang selalu ada dalam kolaborasi pasangan tersebut (baik sebagai calon gubernur atau hanya sebagai calon wakil gubernur). Wilayah Sulawesi Tenggara terdiri dari dua wilayah persebaran penduduk yaitu wilayah daratan dan kepulauan. Dalam kancah politik Sultra, keterwakilan dua wilayah tersebut sangat penting untuk menjaga stabilitas sosial politik masyarakat Sultra secara umum yang masih kental dengan nilai-nilai budaya serta adat-istiadat. Baik wilayah daratan maupun wilayah kepulauan, masing-masing memiliki etnis dominan sebagai identitas penduduknya. Etnis Tolaki merupakan etnis dominan yang mendiami wilayah daratan Sulawesi Tenggara sedangkan etnis Muna dan Buton merupakan dua etnis dominan di wilayah kepulauan Sultra. Masing-masing etnis ini memiliki ciri dan kekhasan masing-masing. Namun jika dirunut lebih jauh, etnis Tolaki bukanlah etnis dominan yang ada di Sulawesi Tenggara meskipun secara jumlah, etnis ini merupakan etnis dominan yang berada di teritori daratan Sulawesi Tenggara, dan etnis lainnya cenderung tersebar di teritori kepulauan. Namun demikian, meskipun etnis Tolaki merupakan masyarakat yang mendiami ibu kota propinsi, etnis ini tidak menjadi etnis yang dominan dalam masyarakat, bahkan sebaliknya, dari sisi perjalanan peta politik Sultra, etnis ini menggambarkan posisi yang tidak mendominasi. Dari kolaborasi pasangan calon gubernur yang ada dengan Tolaki sebagai etnis yang selalu hadir serta kemenangan yang akhirnya dicapai oleh salah satu kubu yang dilekatkan dengan etnis Tolaki, terbentuk sebuah pendugaan bahwa etnis Tolaki memiliki kekhasan perilaku politik dalam sistem politik Sulawesi Tenggara, khususnya dalam proses pemilihan kepala daerah. Fenomena etnis Tolaki sebagai etnis yang selalu hadir dalam setiap kolaborasi pasangan calon kepala daerah (baik sebagai gubernur ataukah hanya wakil gubernur) serta akhirnya berhasil menjadi pemenang pada sistem pemilihan kepala daerah yang telah berubah, menjadi satu hal yang menarik untuk diteliti. Terlebih dalam konteks kesejarahan, etnis Tolaki tidak mendominasi peta politik Sultra.
5
1.2 Perumusan Masalah Penelitian Hadirnya elit beretnis Tolaki dalam setiap pasangan calon kepala daerah dalam pilgub Sultra 2007, kemenangan yang akhirnya diperoleh oleh kubu yang dilekatkan dengan identitas etnis Tolaki namun di lain sisi etnis Tolaki tidak mendominasi peta politik Sultra, serta dikotomis keterwakilan figur daratan versus kepulauan dalam setiap peta politik termasuk dalam pemilihan kepala daerah Sultra, merupakan akar dari permasalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini. Konsep Weber mengenai motivasi, aspek psikologis dan sistem nilai sebagai akar dari tindakan manusia, menunjukkan besarnya peranan motivasi terhadap perilaku yang dilakukan manusia yang tentunya membawa dampak terhadap lingkungannya. Weber dalam Laeyendecker (1983) menyatakan bahwa sebagai obyek sosiologi, tindakan sosial yang didasari oleh beragam motif hanya terbatas pada tindakan bertujuan dari individu yang melakukannya serta memiliki keterhubungan dengan tingkah laku individu-individu lain. Dari konsep Weber di atas, maka ada tiga aspek penting dari tindakan sosial sebagai sebuah obyek sosiologi, yaitu motif-motif tindakan sosial, tujuan dari tindakan sosial serta bentuk dan wujud tindakan sosial itu sendiri. Dalam penelitian ini, etnis Tolaki dimaksudkan pada individu-individu yang menyadari dirinya memiliki identitas sosial yaitu identitas etnis Tolaki dan identitas sosial tersebut terinternalisasi dalam berbagai segi kehidupannya. Kehidupan politik khususnya pada masa pemilihan kepala daerah merupakan satu segi kehidupan yang menarik dan menjadi kajian dalam penelitian ini. Kehidupan politik Sultra menghadirkan keterwakilan antara etnis daratan dan etnis kepulauan dalam setiap peta politik. Keterwakilan ini untuk menjaga stabilitas sosial politik masyarakat yang memiliki perbedaan karena perbedaan teritori daratan dan kepulauan. Sejarah perjalanan politik Sultra menggambarkan bagaimana posisi dan peran yang dimainkan oleh masing-masing etnis dalam peta politik. Keterwakilan setiap etnis dalam peta politik Sultra menjadi motif penting untuk melaksanakan beragam aksi dan perilaku politik. Sebagai motif penting dalam perilaku politik, maka menelaah sejarah perjalanan politik dan keterwakilan etnis Tolaki dalam kancah politik Sultra akan dilakukan sebagai jalan untuk melihat bagaimana hal tersebut menjadi motif dari tindakan politik etnis Tolaki.
6
Konsisten dengan identitas yang dibawa oleh individu politik, maka sistem nilai khususnya nilai kepemimpinan yang berperan dalam perilaku politik individu harus menjadi kesatuan analisis sebagai motif perilaku politik yang dilakukan individu politik. Aspek penting dari tindakan sosial sebagai obyek sosiologi adalah bagaimana wujud dari tindakan sosial itu sendiri. Oleh karenanya, selain melihat motif perilaku politik, selanjutnya adalah melihat bagaimana wujud dari perilaku politik. Perilaku politik dalam konteks pilkada merupakan satu kajian menarik untuk melihat aksi-aksi politik yang dilakukan aktor politik untuk mencapai tujuan politiknya. Tujuan politik juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari analisis perilaku politik tersebut. Pada akhirnya, review atas identitas sosial yang dibawa oleh aktor politik dalam hal ini etnis Tolaki dan kaitannya dengan hasil yang dicapai dari aksi-aksi politik dalam konteks pilkada sebagai momen politik menjadi bagian akhir untuk diuraikan dalam upaya mendapatkan gambaran bagaimana identitas sosial bermain dalam konteks pilkada yang dipengaruhi oleh beragam aspek-aspek penting dan bukan hanya dari aspek identitas sosial masyarakat saja. Secara rinci, masalah-masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peranan dan kedudukan elit beretnis Tolaki dalam perjalanan peta politik Sulawesi Tenggara secara umum dan dalam kancah pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007 secara khusus? 2. Mengapa dan bagaimana perilaku politik elit beretnis Tolaki dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007?. Pertanyaan ini merujuk pula pada aksi-aksi strategis memanfaatkan kekuatan politik untuk memenangkan kursi Gubernur Sulawesi Tenggara periode 20082013. 3. Bagaimana peranan etnis Tolaki dalam pemenangan kubu NUSA?.
7
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk: 1. Mengkaji peranan dan kedudukan elit beretnis Tolaki dalam perjalanan peta politik Sulawesi Tenggara secara umum dan dalam kancah pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007 secara khusus. 2. Mengkaji perilaku politik elit beretnis Tolaki dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007, serta berbagai aksi-aksi strategis memanfaatkan kekuatan politik untuk memenangkan kursi Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013. 3. Mengkaji peranan etnis Tolaki dalam pemenangan kubu NUSA.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih terhadap tambahan wawasan mengenai fenomena hadirnya etnis sebagai basis pertarungan khususnya pertarungan politik dalam lingkup daerah dengan sistem politik pemilihan langsung oleh masyarakat. Secara khusus penelitian ini juga diharapkan mampu memperkaya hasil penelitian dan pengetahuan atas studi-studi etnisitas khususnya studi etnisitas yang berkaitan dengan segi politik.
8
PENDEKATAN TEORITIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Perkembangan Sistem Politik Indonesia: Tinjauan Teoritis Studi mengenai perilaku politik4 elit beretnis Tolaki pada pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007, dapat diawali dengan tinjauan literatur mengenai teori dan fakta empiris tentang perilaku politik dalam sistem pemilihan langsung yang terjadi di Indonesia saat ini. Tinjauan ini nantinya berguna sebagai landasan teoritis serta menjadi acuan meletakkan sikap peneliti dalam studi-studi yang telah ada. Studi-studi perilaku politik pilkada sebelumnya lebih mengarah pada perilaku politik masyarakat atau mengenai perilaku masyarakat sebagai pemilih, meskipun telah banyak pula studi mengenai perilaku politik elit dalam upayanya memobilisasi massa. Studi ini sendiri berada pada jalur perilaku elit politik sebagai bagian dari aktor politik pilkada, oleh karenanya, dengan tidak mengesampingkan pentingnya literatur mengenai studi perilaku politik yang dilakukan oleh masyarakat sebagai pihak pemilih, maka bagian literatur ini akan lebih banyak mengulas mengenai perilaku elit politik dalam sistem pemilihan langsung kepala daerah yang terjadi di Indonesia saat ini. Perkembangan studi-studi periaku politik didasari oleh perubahan sistem politik yang berlaku di Indonesia saat ini, dimana sistem pemilihan langsung oleh masyarakat telah membuka peluang bagi lahirnya sistem politik yang lebih demokratis atau corak “demokrasi deliberatif” yakni demokrasi yang melibatkan pertimbangan masyarakat secara memadai (Soetarto dan Shohibuddin, 2004). Lebih lanjut dikatakan oleh keduanya, meskipun telah dihadapkan pada sebuah 4 Dalam pandangan sosiologi, politik lebih terarah pada masalah kekuasaan. Istilah kekuasaan disini diartikan sebagai kesanggupan seorang individu atau suatu kelompok sosial guna melanjutkan suatu bentuk tindakan (membuat dan melaksanakan keputusan, dan secara lebih luas lagi, menentukan agenda pembuatan keputusan) jika perlu menentang kelompok kepentingan, dan bahkan oposisi serta individu lainnya (Bottomore, 1983).
9
sistem yang lebih menjamin berkembangnya nilai-nilai demokrasi, kondisi transisi demokrasi di Indonesia saat ini lebih mengarah pada pembaruan struktur politik secara formal semata melalui pelembagaan infrastruktur politik dan hukum, di samping itu, elit di berbagai level pemerintahan dan ranah sosial belum mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan keadaban (civility) yang sebenarnya. Salah satu perangkat sistem politik demokrasi seperti partai politik misalnya. Sebagai instrumen politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat, partai politik belum mampu menjadi keterwakilan suara masyarakat dan partai politik ditengarai tidak lebih sebagai kendaraan politik bagi para elit. Keputusan pemerintah pun melalui berbagai Undang-Undang yang dikeluarkan turut mendukung mandegnya perkembangan sistem demokrasi yang dicita-citakan. Dijelakan oleh Amin (2005), dibandingkan RUU yang diajukan pemerintah, UU No.32 Tahun 2004 jauh mengalami kemunduran. Dalam RUU yang diajukan pemerintah, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan hanya berasal dari partai politik, tetapi bisa juga diajukan oleh perseorangan, organisasi kemasyarakatan atau keagamaan, organisasi profesi dan organisasi okupasi. Jadi, ada kesempatan bagi calon independen untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Namun, ayat 2 pasal 56 menegaskan, bahwa “pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik” artinya, UU No. 32 tahun 2004 menutup peluang bagi calon independen (nonpartai) untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Dalam masa transisi sistem politik Indonesia saat ini, selain penting melihat partai politik sebagai salah satu instrumen pada sistem politik demokratis, penting juga untuk melihat bagaimana sumber-sumber kekuatan politik pilkada di akomodir menjadi basis kekuatan dalam sistem politik yang melibatkan masyarakat sebagai pihak penentu kemenangan5. Telaah terhadap pola mobilisasi massa melalui berbagai sumber kekuatan politik juga akan memperlihatkan 5 Dalam konteks pemilihan kepala daerah, politik bermain dalam penerimaan dan penolakan pemilih terhadap pasangan calon kepala daerah. Kultur Indonesia, penolakan dan penerimaan ini lebih banyak disebabkan oleh hubungan yang bersifat emosional ketimbang rasional (Amin, 2005).
10
kecenderungan perilaku politik dari elit politik dalam upaya mencapai tujuan politiknya. Bachtiar Effendi dalam Sitepu (2005) menyatakan banyak aspek yang potensial yang dapat ditransformasikan menjadi kekuatan politik yakni aspek formal maupun aspek non-formal. Aspek formal adalah kekuatan politik yang mengambil bentuk ke dalam partai-partai politik sedangkan aspek non-formal adalah merupakan bangunan dari civil society yaitu 1. Dunia usaha, 2. Kelompok professional dan kelas menengah, 3. Pemimpin agama, 4. Kalangan cerdik pandai (intelektual), 5. Pranata-pranata masyarakat, 6. Media massa dan yang lainnya. Partai politik sebagai sumber kekuatan politik formal, lebih memiliki kekuatan formal setelah dikeluarkannya UU No. 32 pada pasal 56 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan sumber-sumber kekuatan politik yang lain sebagai kekuatan non-formal mendapatkan tempatnya sebab kultur masyarakat Indonesia dimana masyarakat sebagai pihak pemilih, cenderung memilih berdasarkan aspek-aspek emosional dan lebih dekat kepada sumbersumber kekuatan non-formal tersebut. Seperti misalnya media massa. Melalui media massa, kekuatan figur politik sebagai salah satu dasar pilihan masyarakat dapat terbentuk. Mengenai kekuatan figure politik, Qodari dalam Soetarto dan Shohibuddin (2004) menyatakan bahwa lima kategori latarbelakang calon anggota DPD yang berpeluang besar terpilih dalam kompetisi pemilu. Pertama, mantan pejabat karena namanya telah dikenal luas oleh masyarakat, kedua pengusaha besar karena memiliki dana dan dukungan karyawan yang besar, ketiga tokoh organisasi agama, figure tokoh etnis dan yang kelima adalah veteran pengurus partai karena selain berpengalaman dalam membina konstituen dan menggalang dukungan, ia juga dapat memanfaatkan jaringan partainya untuk memobilisasi dukungan politik.
2.2
Pendekatan Perilaku Politik Mengkaji sistem politik suatu masyarakat, terdapat beberapa teori yang
dapat digunakan. Sitepu (2005) mengemukakan terdapat empat teori guna menganalisis dinamika kehidupan politik suatu Negara. Pertama adalah teori
11
sistem yang mengemukakan pranata-pranata sosial politik merupakan wadah untuk memahami dinamika kehidupan politik masyarakat. Kedua adalah teori perilaku politik yang mengungkapkan bahwa mengamati dinamika kehidupan politik masyarakat, tidak cukup dengan melihat pranata sosial politik formal saja tetapi juga individu-individu yang bersangkutan. Teori elit merupakan teori ketiga yang mengungkapkan bahwa elit politiklah yang menetukan dinamika kehidupan politik masyarakat. Sedangkan teori kelompok merupakan teori terakhir yang menjelaskan bahwa kristalografi yang ada dalam masyarakat ikut menentukan kehidupan politik masyarakat dan Negara. Dalam pengkajian perilaku politik ini, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan politik di dasarkan atas empat pendekatan politik Sitepu (2005) yang sebelumnya telah diuraikan. Meskipun empat pendekatan ini diajukan untuk melihat dinamika kehidupan politik Negara, namun pendekatan ini akan dipakai dan dipinjam untuk menjelaskan dinamika politik masyarakat daerah multietnis. Empat pendekatan politik yakni teori sistem, teori perilaku politik, teori elit dan teori kelompok digunakan dengan menyesuaikan konteks penelitian yaitu masyarakat daerah. Untuk kepentingan penelitian, dari empat teori tersebut di atas, teori yang akan digunakan adalah teori perilaku politik. Pemilihan atas teori perilaku politik (behavior political theory) didasarkan atas pumpunan penelitian yang ingin dikaji yaitu perilaku politik para pelaku politik dalam pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara 2007. Pendekatan perilaku politik diarahkan untuk melihat kecenderungan perilaku politik individu ber-etnis Tolaki dalam kaitannya memanfaatkan ruang politik yang ada serta memainkan peranannya dalam ruang politik. Pendekatan ini juga digunakan untuk melihat hubungan antara elit politik ber-ernis Tolaki dalam kehidupan bermasyarakat, kemampuan menjalin hubungan sosial asosiatif dengan masyarakat khususnya membangun hubungan politik sesama elit. Dalam kehidupan sosial terdapat dua golongan elit yang berbeda yaitu antara elit yang memerintah dan elit non-memerintah. Elit yang memerintah adalah individu yang secara langsung maupun tidak langsung memainkan bagian yang berarti dalam pemerintahan sedangkan elit yang tidak memerintah adalah elit yang tidak termasuk dalam golongan pertama (Bottomore, 1984). Sehubungan dengan
12
penelitian ini, maka pengkajian dibatasi hanya kepada perilaku-perilaku politik elit yang memeritah. Selain pendekatan politik, dalam penelitian ini juga akan menggunakan pendekatan etnisitas. Pendekatan etnisitas diharapkan mampu menjelaskan perjalanan budaya dan sosial masyarakat etnis Tolaki, terlebih hubungan etnis Tolaki dengan etnis lainnya dan khususnya hubungan dan proses sosial politik elit ber-etnis Tolaki dengan elit dari etnis lainnya. Terdapat tiga pendekatan untuk mengkaji etnisitas. Pertama adalah perspektif asimilasi yang lebih menekankan pada proses-proses sosial yang cenderung melarutkan dan menghilangkan perbedaan etnisitas, mengarahkan asimilasi etnis minoritas ke dalam masyarakat luas. Pendekatan kedua adalah perspektif stratifikasi yang berfokus pada konsekuensi dari ketidakseimbangan yang terjadi akibat keberagaman antara kelompok etnis. Pendekatan yang ketiga adalah perspektif sumber-sumber kelompok sosial yang menekankan pada proses-proses mobilisasi dan solidaritas kelompok, anggota kelompok etnis menggunakan etnisitasnya untuk bersaing secara sempurna dengan kelompok yang lain. Gordon dalam Healey (1945) mengemukakan bahwa teori asimilasi sangat penting untuk melihat asimilasi dan pluralisme dapat terjadi secara bersama. Asimilasi merupakan sebuah proses untuk mencapai komformiti. Dalam penelitian ini, perspektif asimilasi merupakan pendekatan utama yang akan digunakan, meskipun demikian tidak berarti dua pendekatan lainnya tidak digunakan. Dalam menelaah dan menganalisis proses sosial dalam kelompok etnis Tolaki kaitannya dengan etnis lainnya, pokok pimikiran dari ketiga perspektif di atas akan digunakan secara kontekstual agar tujuan penelitian dapat tercapai.
13
2.3
Perkembangan Budaya Politik, Pola Interaksi serta Nilai Sosial Etnis Tolaki Etnis6 Tolaki tersebar secara meluas di hampir seluruh wilayah Sulawesi
Tenggara, tidak seperti etnis Buton dan Muna yang memiliki daerah pemusatan kelompok masyarakat tersendiri. Etnis Tolaki secara umum berasal dari kerajaan Konawe dan kerajaan Mekongga. Dalam penelitian ini, pengkajian terhadap subyek penelitian tidak melakukan pembedaan atas asal-usul dari kerajaan mana etnis Tolaki berasal, hal ini disebabkan pemakaian individu sebagai subyek penelitian, selain itu, Tamburaka (2004) juga menjelaskan bahwa penduduk Kolaka (kerajaan Mekongga) dan Kendari (kerajaan Konawe) merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dan DR. Kruyt dalam Tamburaka (2004) juga menjelaskan bahwa orang Tolaki mendiami daerah yang sangat luas yang meliputi kerajaan Mekongga dan kerajaan Konawe. Selanjutnya dijelaskan bahwa bahasa dan adat-istiadat orang-orang etnis Tolaki yang diam di landscahp Mekongga hanya berbeda sedikit skali dari orang Tolaki di landschap Konawe, sehingga secara pasti dapat dikatakan bahwa mereka semua adalah rumpun orang-orang suku Tolaki.
Namun demikian, penjelasan mengenai kerajaan Konawe dan
kerajaan Mekongga dianggap penting untuk menyajikan gambarakan mengenai etnis Tolaki di Sulawesi Tenggara. Dari segi administrasi, wilayah Kendari saat ini sebagian besar merupakan wilayah yang meliputi bekas kerajaan Konawe. Sedangkan kerajaan Konawe yang asal mula katanya adalah Konaweeha yang merupakan sungai yang memberikan kesuburan dan kemakmuran bagi masyarakatnya, memiliki wilayah yang sangat luas. Wilayah tersebut berbatas langsung dengan wilayah propinsi Sulawesi Tengah (kerajaan Bungku dan kerajaan Luwu) di bagian Utara, Teluk Bone dan kerajaan Mekongga (kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara) di bagian Barat, selat Tiworo dan selat Buton di bagian Selatan, dan dibagian Timur berbatas langsung
6 Glazer (2000) membedakan antara culture dan ethnicity dimana ethnic lebih kepada bentuk sebuah kelompok sedangkan culture merupakan nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut.
14
dengan laut Maluku. Namun demikian, wilayah Kendari ini serta berubah ketika Kendari berubah dari bentuk kerajaan Konawe. Seperti dengan kesultanan Buton, kerajaan Konawe juga mendapat pengaruh besar dari masuknya agama Islam. Pengaruh ini dapat terlihat dari sistem politik yang beribah serta sistem lainnya. Pada awal kerajaan Konawe, hukum serta sistem politik selalu bersumber dari hukum adat dan hal ini tergantikan menjadi politik berdasarkan hukum-hukum Islam yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadits. Sistem pemerintahan ini cenderung mengarah pada sistem musyawarah atas mufakat, dan kegotong-royongan. Selain itu, masyarakat tidak dibedakan jenis ras dan strata masyarakat tetapi masyarakat merupakan kelompok yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Asas kemanusiaan merupakan prinsip yang menjadi pegangan kerajaan Konawe ketika politik Islam berlaku. Dalam bidang sosial budaya, masuknya agama Islam mempengaruhi pergeseran nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Apabila sistem adat memberlakukan strata sosial berdasarkan asal-usul keluarga, yaitu anak dari keturunan kerajaan mutlak memiliki status sosial yang tinggi, maka pada sistem hukum Islam hal ini tidak berlaku. Status sosial diperolah bukan atas dasar keturunan tetapi lebih berorientasi pada perjuangan. Sehingga pendidikan Islam melahirkan elit-elit baru yaitu; elit politik, elit ilmu pengetahuan, elit harta benda dan elit bangsawan yang pengaruhnya hanya terlihat pada kehidupan bermasyarakat semata. Daerah Mekongga pada mulanya bernama Wonua Sorume atau Wonua ”Unamendaa”. Seperti kerajaan Konawe, kerajaan Mekongga juga mendapat pengaruh besar dari masuknya agama Islam. Penyebaran agama Islam di kerajaan Mekongga dilakukan melalui tiga jalur, yaitu; a. Jalur pendidikan, dilaksanakan oleh para da’i diawali dengan memberikan pengetahuan yang mudah dimengerti oleh masyarakat, bertetangga dan bernegara, sampai kepada hal-hal yang menyangkut hidup berumah tangga. Di samping itu diperkenalkan sikap bertingkah
15
laku, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin suatu kelompok atau golongan dalam masyarakat. b. Perkawinan, penyebaran agama Islam melalui perkawinan dilakukan pertama kali oleh seorang guru agama (da’i) dari Luwu yang menikah dengan keluarga bangsawan. Selanjutnya jalur pernikahan ini diikuti oleh da’i lainnya, sehingga di Kolaka banyak terdapat keturunan masyarakat yang berasal dari daerah Luwu dan Bone. c. Saluran Islamisasi melalui perdagangan dilakukan oleh orang Bugis yang telah menganut agama Islam dan juga datang untuk berdagang. Kerajaan Mekongga membina hubungan dengan kerajaan Konawe, Wolio, Muna, Tiworo, Moronene, kerajaan Bone dan Luwu. Hubungan kerajaan Konawe dan Mekongga berlangsung sejak raja pertama. Selain itu, raja Mekongga dan raja Konawe adalah bersaudara. Hubungan kekeluargaan keduanya dipererat lagi dengan adanya perkawinan antar keturunan. Dalam sidang paripurna dan seminar nasional yang diadakan di Kendari pada tanggal 24 Agustus 1999, terdapat keputusan yang mengangkat sejarah masyarakat Sulawesi Tenggara yaitu diterimanya Haluoleo sebagai pahlawan nasional. Haluoleo lebih dikenal sebagai tokoh yang beretnis Tolaki, namun demikian, dalam penjelajahan sejarah, Tamburaka (2004) mejelaskan bahwa Haluoleo merupakan pahlawan pemersatu masyarakat Sulawesi Tenggara yang terdiri dari beragam etnis. Awal karirnya, Haluoleo berkedudukan sebagai Tamalaki Pobendeno Wonua (panglima perang) di kerajaan Konawe, Mekongga dan Moronene (1520-1530). Selanjutnya Haluoleo menjadi raja ke VII di kerajaan Muna dengan gelar Raja Lakolaponto (1530-1538). Pada tahun 1538, Haluoleo diangkat menjadi raja Buton ke VI (1538-1541) dan kemudian dinobatkan menjadi Sultan Buton I dengan gelar Sultan Qaimoeddin Khalifatul Khamiz (1541-1587) dan setelah mangkat pada tahun 1587 diberi gelar Murhum. Demikian sejarah Sulawesi Tenggara dan hadirnya tokoh etnis Tolaki yang menjadi pemersatu beragam etnis di Sulawesi Tenggara sekaligus menjabat sebagai pemimpin atau raja di periode tertentu. Meskipun demikian, dalam kehidupan masyarakat sehari-hari saat ini pengakuan atas kehadiran tokoh etnis
16
Tolaki sebagai pemersatu tidak begitu dihiraukan oleh masyarakat, sehingga perjalanan sejarah seolah-olah menjadi kabur, bahkan masyarakat etnis lainnya cenderung untuk menyangsikan dan meragukan atas sejarah tersebut (beberapa percakapan dengan masyarakat etnis Muna dan Buton memperlihatkan kecenderungan yang serupa).
2.4
Kerangka Pemikiran Pada dasarnya kerangka pemikiran dibangun sebagai gambaran pola pikir
peneliti, mapping atau susunan arah penelitian. Pada penelitian ini, ketertarikan terhadap kecenderungan aktor politik beretnis Tolaki selalu hadir dalam konfigurasi pasangan calon kepala daerah, kemenangan kubu yang dilekatkan dengan identitas Tolaki namun disatu etnis Tolaki tidak mendominasi peta politik Sultra, menjadi dasar
kajian untuk melihat bagaimana fenomena PILKADA
gubernur Sulawesi Tenggara digelar. Kajian ini meliputi perilaku7 politik aktor politik beretnis Tolaki khususnya dalam proses pilkada, berbagai hal yang mempengaruhi perilaku politik yang dalam penelitian ini difokuskan pada nilai etnisitas khususnya nilai akan pentingnya kepemimpinan serta sejarah peranan dan kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra. Selain hal itu, berbagai aspek yang menjadi kekuatan politik sebagai madia pencerminan dari perilaku politik yang dilakukan etnis Tolaki untuk mencapai berbagai kedudukan strategis dalam peta politik Sultra lebih jauh akan dikaji alam penelitian ini. Untuk dapat menjabarkan hal tersebut, teori perilaku politik dari Sitepu (2005) merupakan pilihan teori yang digunakan untuk menganalisis bagaimana fenomena perilaku politik etnis Tolaki tersebut berlangsung. Pemilihan teori ini dilandaskan atas pemikiran bahwa perilaku-perilaku politik dari para aktor politik 7 Batasan konsep perilaku secara umum dalam kajian ini mengacu pada konsep perilaku yang dikemukakan oleh Theodorson dan Theodorson, A.G (1979) dimana perilaku tidak hanya terbatas pada reaksi fisik dan gerakan tetapi juga mencakup pernyataan dan perkataan atau secara umum dapat mencakup segala sesuatu baik perkataan, pemikiran, perasaan dan perbuatan seseorang.
17
mencerminkan dinamika kehidupan politik masyarakat. Begitupula dengan perilaku politik calon kepala daerah beretnis Tolaki merupakan representasi serta pencerminan dari perilaku politik elit politik beretnis Tolaki. Merujuk pada Nazaruddin Syamsuddin dalam Sitepu (2005) individual sebagai kekuatan politik merujuk pada aktor-aktor politik atau orang-orang yang memainkan peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari pribadipribadi yang hendak mempengaruhi peroses pengambilan keputusan politik. Dalam kasus pemilihan kepala daerah, aktor politik dapat berwujud masyarakat umum sebagai pemilih dan elit politik. Elit politik merupakan fokus kajian sekaligus sebagai subyek penelitian kali ini. Pemilihan elit politik sebagai pelaku politik yang akan dikaji didasarkan atas keyakinan bahwa pelaku politik yaitu elit politik mampu memberikan berbagai warna pada proses politik yang terjadi pada pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara. Weber dalam Eva dan Etzioni (1973) juga mengemukakan bahwa elit politik beserta pengikutnya merupakan bagian terpenting untuk membawa perubahan dalam masyarakat, dan perubahan tersebut tentunya akan kembali ke masyarakat. Perilaku politik yang dilakukan oleh para aktor politik tidak dapat terlepas dari nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya. Seperti yang dikemukakan oleh Althof dan Rush (1983) bahwa tidak ada seorang pun yang bertingkah laku terisolasi secara mutlak dari nilai-nilai. Lebih lanjut dikemukakan oleh keduanya bahwa nilai-nilai dapat dianggap penting selama ia dalam bentuk ideology; karena perkembangan nilai-nilai yang berkaitan dalam pola yang konsisten merupakan kekuatan bagi pembentukan tingkah-laku sosial, dan lebih khusus lagi bagi pembentukan sikap politik. Sztompka (1993) menyatakan perubahan dalam masyarakat dapat dilihat dari faktor tak teraba seperti keyakinan, nilai, motivasi dan sebagainya. Hal ini juga didukung oleh pendapat Weber bahwa nilai kultural, norma dan motivasi psikologis menjadi akar tindakan dan perilaku sosial seseorang. Berdasarkan konsep tersebut, maka perilaku politik aktor beretnis Tolaki didasarkan atas berbagai nilai yang dianut dalam etnisnya. Nilai kepemimpinan menjadi nilai penting dalam perilaku politik aktor beretnis Tolaki.
18
Selain berbagai nilai kepemimpinan yang dimiliki oleh etnis Tolaki, perilaku politik aktor beretnis Tolaki juga dipengaruhi oleh sejarah peranan dan kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra khususnya pada masa sebelum pilkada Gubernur 2007. Nilai kepemimpinan yang dimiliki etnis Tolaki serta sejarah peta politik Sultra, membentuk sikap terhadap apa yang diharapkan, dalam hal ini harapan akan perubahan peran dan kedudukan elit politik beretnis Tolaki dalam peta politik Sultra. Baron dan Byrne (2003) menyatakan bahwa ketika individu memiliki sikap yang kuat terhadap isu-isu tertentu, mereka seringkali bertingkah laku konsisten dengan pandangan tersebut. Pentingnya peran serta kedudukan strategis dalam peta politik Sultra yang diyakini berdampak pada keterwakilan etnis Tolaki dalam segi sosial, politik, ekonomi Sultra serta peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat etnis Tolaki menjadikan pentingnya aksi-aksi dan perilaku politik untuk mewujudkan hal tersebut. Momentum pemilihan kepala daerah secara langsung yang digelar di Sulawesi Tenggara tahun 2007 adalah sebuah momentum tepat untuk menjalankan serangkaian perilaku politik untuk mewujudkan tujuan politik yang dilatarbelakangi oleh faktor nilai kepemimpinan dan sejarah peta politik Sultra tersebut. Perubahan sistem pemilihan Gubernur dari dewan legislatif menjadi pilihan berdasarkan suara masyarakat semakin meningkatkan keinginan untuk mewujudkan tujuan politik; mendapat peran strategis dalam peta politik Sultra. Hal ini dikarenakan memberikan signifikansi terhadap siapa figur yang pantas menjadi pemimpin masyarakat Sultra dalam dikotomis wilayah daratan versus kepulauan. Merujuk pada konsep aspek potensial dalam pilkada oleh Bachtiar Effendi dalam Sitepu (2005), maka untuk mewujudkan tujuan politiknya, aktor beretnis Tolaki mengoptimalisasikan sejumlah aspek potensial baik aspek formal maupun non-formal sebagai sumber kekuatan politik dalam proses pemilihan Gubernur. Aspek formal mengambil bentuk pada partai politik sebagai lembaga yang menentukan siapa elit politik yang berhak maju pada ajang politik pilkada. Sedangkan aspek non-formal mengambil bentuk pada kelompok-kelompok masyarakat, media massa, kekuatan figur politik.
19
Kemampuan optimalisasi sejumlah kekuatan politik ini juga merupakan bentuk partisipasi politik elit beretnis Tolaki secara pribadi atau individu serta kemampuannya mengorganisir berbagai kekuatan politik untuk mencapai tujuan politiknya. Optimalisasi kekuatan politik juga mempertimbangkan aspek masyarakat Sultra sebagai pemilih dilihat dari sisi rasional dan emosional pemilih serta sisi keberagaman masyarakat Sultra yang tersebar pada wilayah daratan dan kepulauan. Berikut skema kerangka berfikir perilaku politik aktor beretnis Tolaki dalam pemilihan Gubernur Sultra 2007.
Nilai Etnis Tolaki
Perilaku politik aktor politik beretnis Tolaki
1. Penggunaan Media Massa dan Pranata Sosial 2. Optimalisasi Figur 3. Optimalisasi Partai Politik
Peranan Etnis Tolaki dalam peta politik Sultra
Peran & Kedudukan Etnis Tolaki dalam peta politik Sultra
Gambar 1. Kerangka Fikir Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sultra Tahun 2007
20
2.5 Definisi Konseptual Berdasarkan berbagai konsep dan literatur yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka disusun beberapa definisi konseptual sebagai acuan pencarian data, penyusunan hasil kajian serta penarikan kesimpulan. Definisi konseptual tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Etnis merupakan kelompok terdiri dari orang-orang yang memiliki kesamaan identitas yaitu seperangkat nilai menjadi dasar bertindak dan berperilaku sekaligus menjadi pemersatu kelompok. Etnis yang memiliki identitas mampu membedakan antara etnis ego8 dengan etnis lainnya. 2. Politik merupakan kesanggupan individu atau kelompok untuk bertindak mempengaruhi proses pembuatan, pengambilan serta pelaksanaan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat. 3. Politik Etnis merupakan kemampuan individu atau kelompok untuk mempengaruhi jalannya pengambilan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, dengan menggunakan identitas kelompok sebagai sumber kekuatan bertindak. 4. Perilaku Politik merupakan aksi-aksi yang dilakukan para pelaku politik untuk mencapai tujuan politiknya yaitu mendapatkan peran dan kedudukan strategis dalam peta politik Sultra melalui optimalisasi sejumlah aspek kekuatan politik. 5. Kekuatan politik dalam pemilihan kepala daerah terarah pada semua aspek baik aspek formal maupun non-formal yang dapat dioptimalisasikan dalam upaya menggalang suara dari masyarakat. Partai politik sebagai lembaga penentu calon kepala daerah serta jaringan keanggotaan yang ada di dalamnya merupakan aspek formal kekuatan politik. Sedangkan media massa, kelompok masyarakat serta figur politik merupakan aspek nonformal kekuatan politik.
8
Dimaksudkan untuk menunjukkan pribadi individu. Sebagai contoh: “saya orang Bugis, dia orang Muna”.
21
6. Mobilisasi Massa merupakan segala bentuk gerak dan upaya untuk menghimpun massa atau masyarakat agar ikut ke dalam tujuan politik yang diinginkan. Dalam pemilihan kepala daerah, mobilisasi massa ditunjukkan dengan adanya berbagai upaya agar masyarakat bersimpatik, mendukung dan akhirnya memilih calon pasangan tertentu. 7. Nilai Etnis yaitu seperangkat nilai yang dimiliki etnis tertentu yang menjadi dasar dan pedoman dalam bertindak. Kasus etnis Tolaki, nilai ini mengatur cara berperilaku orang Tolaki juga apa yang dianggap baik oleh etnis Tolaki. 8. Tim Sukses yaitu sekelompok orang-orang dengan beragam latar belakang, memiliki tujuan bersama, dengan pembagian tugas yang jelas, saling dukung-mendukung untuk berjuang mendapatkan kemenangan dalam pilgub Sultra 2007. 9. Figur Politik yaitu pencitraan terhadap sosok pemimpin mengenai apa yang dianggap layak dan tidak layak, menjadi salah satu dasar dan pertimbangan atas pilihan politik. 10. Peran dan kedudukan strategis adalah posisi struktural dalam organisasi pemerintahan yang memungkinkan aktor politik menjalankan kontrol terhadap segi kehidupan masyarakat Sultra.
22
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Tenggara dengan mengambil para elit politik yang ikut dalam pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara 2007 sebagai subyek penelitian atau tineliti. Unit analisis dalam kajian ini terfokus individu sebagai anggota politik pada salah satu kubu yang mengikuti pencalonan kepala daerah yaitu kubu NUSA. Pemilihan terhadap unit analisis ini disebabkan kepala daerah yang diusung berasal dari etnis Tolaki sehingga dianggap mewakili pumpunan penelitian yang ingin
dikaji, selain itu kubu NUSA merupakan
pasangan pemenang pilkada Sultra 2007 sehingga menjadi mungkin untuk menggali informasi tidak saja seputar masa pemilihan tetapi juga ketika pemilihan selesai digelar dan pemerintahan baru dijalankan termasuk peran serta kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra pasca pilgub 2007. Kajian ini merupakan kajian sosiologi politik dimana penelitian diarahkan mengenai hubungan antara masalah-masalah politik dan masyarakat, antara struktur sosial dan struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku politik. Studi sosiologi sendiri memusatkan perhatian pada tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan masyarakat atau tingkah laku manusia dalam konteks sosial. Oleh karenanya, menjadi penting untuk melihat kasus masyarakat yang menggambarkan
berlakunya
kekuatan-kekuatan
aspek
non-formal
dalam
pemilihan kepala daerah sebagai aspek penting dasar pemilihan masyarakat. Kelurahan Lepo-Lepo, Kecamatan Baruga, Kota Kendari menjadi lokasi pilihan peneliti. Hal ini didasarkan atas keberagaman etnis yang ada dalam masyarakatnya, tetapi etnis Tolaki masih menjadi etnis dominan dalam hal jumlah. Di samping itu, masyarakat Kelurahan Lepo-Lepo memiliki basis kedekatan emosional terhadap pasangan kubu NUSA dan juga pasangan kubu AZIMAD sehingga semakin menarik untuk melihat fenomena politik yang terjadi dalam masyarakat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Desember tahun 2008. PILKADA pertama Sulawesi Tenggara berlangsung 2 Desember 2007, sehingga
23
waktu penelitian dianggap tepat untuk meneliti bagaimana fenomena politik etnis yang telah berlangsung saat PILKADA 2007 tersebut. Meskipun demikian, karena proses-proses pemilihan kepala daerah berlangsung lama sebelum hari pemilihan sendiri, maka telah dilakukan pengamatan terhadap jalannya suksesi pemilihan tersebut dimulai dari bulan September 2007.
3.2 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif diperoleh melalui tehnik wawancara mendalam terhadap subyek penelitian baik melalui responden maupun informan kunci yang dilakukan dalam situasi informal, posisi kesetaraan dan akrab. Hasil informasi dan kajian yang diberikan oleh anggota tim sukses calon kepala daerah yang tetunya berasal dari etnis Tolaki, diharapkan menjadi representasi dari perilaku politik calon beretnis Tolaki. Hal ini dimungkinkan karena dilapangan, aksi-aksi politik lebih banyak diperankan oleh para anggota tim sukses calon kepala daerah. Selain data primer yang diperoleh melalui hasil wawancara, data sekunder juga digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder dibutuhkan untuk melengkapi data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data sekunder tersebut diperoleh melalui penelusuran dokumentasi dari masyarakat, surat kabar maupun lembaga yang mampu memberikan informasi seputar sistem nilai budaya etnis Tolaki, peta politik Sultra pra Pilkada 2007 ataupun pasca Pilkada 2007. Data sekunder juga diharapkan diperoleh dari dokumentasi seputar pemilihan Gubernur yang berlangsung Desember 2007.
3.3 Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data yang Digunakan Tabel 1. akan menjelaskan sumber informasi baik dari informan kunci maupun dari responden seputar kajian penelitian. Pemilihan informan kunci hanya seputar aktor politik beretnis Tolaki yang direpresetatifkan dengan para tim sukses calon kepala daerah didasarkan atas tujuan penelitian yang ingin mengkaji perilaku politik aktor beretnis Tolaki seputar pemilihan gubernur 2007. Informan
24
kunci dari aktor politik non-etnis Tolaki diharapkan mampu memberikan penjelasan atas pertanyaan seputar pandangan aktor non-etnis Tolaki terhadap perilaku politik aktor beretnis Tolaki. Informasi penting diharapkan didapat dari wawancara bebas dengan pengamat politik Sulawesi Tenggara dimana akan memberikan serangkaian informasi terkait proses pemilihan gubernur 2007. Informasi ini diharapkan menjadi bahan berarti dalam pembahasan dan proses pengambilan keputusan nantinya. Tabel.1 Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data yang Digunakan Topik Kajian
Jenis Data
1. Sistem nilai Primer dan sekunder etnis Tolaki
Sumber Data
Keterangan
Berbagai literatur etnografi etnis Tolaki. Tokoh Adat Etnis Tolaki, tim sukses beretnis Tolaki
2. Peta Politik Sultra Pra Pilgub 2007 3. Perilaku Politik etnis Tolaki terkait penggunaan ruang / aspek kekuatan politik 4. Peta politik Sultra pasca pilgub 2007
Primer dan sekunder
Tim sukses, pengamat politik Sultra serta berbagai literatur
Primer dan sekunder
Tim sukses, pengamat politik Sultra serta berbagai literatur
Primer dan sekunder
Tim sukses, pemerhati politik Sultra serta berbagai literatur
Dilakukan pula pengamatan langsung terhadap penggunaan media massa selama proses pilkada
3.4 Analisis Data Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terkait dengan jenis data yang digunakan yaitu data-data kualitatif. Data kualitatif yang diperoleh dari
25
wawancara mendalam terhadap informan kunci dan wawancara bebas terhadap informan selanjutnya akan disajikan sebagaimana adanya untuk menjaga kekhasan segala fenomena yang terjadi terkait dengan kajian di lokasi penelitian. Perbandingan antara data penelitian dengan berbagai konsep dan teori dilakukan untuk melihat kasus serta kekhasan peristiwa yang terjadi di lokasi penelitian. Selanjutnya data yang telah diperoleh baik data primer maupun data sekunder akan dianalisis melalui pemilihan data dan penyederhanaan data sehingga hasil nalisis semakin tajam. Data-data yang ada akan direduksi dan dikelompokkan menjadi bagian-bagian yang saling berkaitan dan tersusun dalam bentuk yang padu sehingga memudahkan melihat apa yang terjadi dalam masyarakat. Setelah penyajian data berupa teks naratif dan kutipan langsung hasil wawancara mendalam selanjutnya data akan dianalisis lagi dan dilakukan penarikan kesimpulan untuk mejawab pertanyaan penelitian yang sebelumnya disusun.
26
GAMBARAN SISTEM POLITIK SULAWESI TENGGARA MASA PEMILIHAN GUBERNUR TAHUN 2007
4.1 Sistem Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Periode 2008-2013 Provinsi Sulawesi Tenggara secara Geografis terletak di jazirah tenggara pulau sulawesi, sedangkan secara astronomi Provinsi Sulawesi Tenggara terletak dibagian selatan garis khatulistiwa, membentang dari Utara ke Selatan diantara 30 - 60 Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara 120045 - 1240 60 Bujur Timur. Wilayah ini memiliki Luas wilayah 153.019 Km2. Lautan mendominasi luas Sulawesi Tenggara, yaitu 114.879 Km2 (72%), sedang daratan hanya mencapai 38.140 Km2 (28%). Provinsi Sulawesi Tenggara juga tergolong provinsi kepulauan. Keseluruhan pulau baik pulau kecil maupun sedang berjumlah 124 buah pulau ditambah lagi oleh dua gugus kepulauan, yakni pulau – pulau Wakatobi dan pulau – pulau Tiwoto. Penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2000 berjumlah 1.776.292 jiwa yang terdiri : 974.427 laki – laki dan 984.987 perempuan. Lima tahun kemudian, yaitu 2005, penduduk Sulawesi Tenggara berjumlah 1.959.414 jiwa. Pencatatan terakhir, melalui Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) BPS tahun 2006, jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara adalah 2.001.818 jiwa. Konsentrasi terbesar penduduk Sulawesi Tenggara menetap di daratan Pulau Sulawesi, yaitu sekitar 52% dan di kepulauan 48%. Jumlah penduduk tahun 2006 sebanyak 2.001.818 jiwa, tercatat sebanyak 290.358 jiwa di Kabupaten Muna, 271.657 jiwa di Kabupaten Buton, 273.168 jiwa di Kabupaten Kolaka, 265.646 jiwa di Kabupaten Konawe, 244.586 jiwa di Kota Kendari, 234.400 jiwa di Kabupaten Konawe Selatan, 122.339 jiwa di Kota Bau-Bau, 107.294 jiwa di Kabupaten Bombana, 94.190 jiwa di Kabupaten Kolaka Utara dan 98.180 jiwa di Kabupaten Wakatobi (BPS, 2007). Pemilihan kepala daerah (Gubernur) secara langsung yang dilakukan di Sulawesi Tenggara merupakan sebuah momentum pesta demokrasi rakyat sebab
27
hal ini merupakan pertama kali dilakukan masyarakat Sulawesi Tenggara. Pemilihan Gubernur periode 2008 – 2013 diwarnai dengan beragam aksi politik yang bertujuan untuk menarik massa. Sejauh penelitian dilakukan, aksi-aksi yang dilakukan para calon kepela daerah tersbut masih berada dalam koridor politik yang jauh dari sumber-sumber konflik massa ataupun masyarakat. Sebagaimana yang disampaikan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara Bapak Drs. H. Kaimuddin Haris “…Kita butuhkan konsistensi dari para calon tersebut. Konsisten memebela dan mengedepankan kepentingan publik, kepentingan rakyat. Bukan kepentingan golongan, bukan kepentingan partai bukan kepentingan primordial, bukan kepentingan pribadi atau kepentingan tim sukses.” Dalam UU No.32 Tahun 2004 pemilihan kepala daerah menggunakan sistem pemilihan “plurality majority sistem”. Artinya, jika tidak dicapai pemenang berdasarkan suara 25 persen lebih, dilakukan putaran kedua. Dengan begitu, jika suatu daerah hanya ada empat calon, tidak perlu harus ada putaran kedua (Amin, 2005). Berdasarkan UU No.32 tersebut, pemilihan Gubernur dan wakil gubernur Sultra dilakukan dalam satu kali pemilihan tanpa melakukan tahapan putaran kedua. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut diikuti oleh empat pasangan calon masing-masing pasangan Prof.Ir.H. Mahmud Hamundu, M.Sc – Drs. H. Yusran A.Silondae, M.Si, yang selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat menjadi pasangan MAHASILA, pasangan Drs. H. Masyhur Masie Abunawas, M.Si – Azhari, S.Stp, M.Si (MMA), pasangan Ali Mazi, SH – H. Abd. Samad (AZIMAD) serta pasangan Nur Alam, SE – H.M. Saleh Lasata (NUSA). Terkait penentuan calon peserta pilakada, parpol memiliki kekuasaan untuk mencalonkan pasangan Gubernur dan wakil Gubernur sebagaimana yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dimana pasal 59 menyebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah
28
dalam pemilu anggota DPRD di daerah setempat. Ketentuan tersebut seringkali menggagalkan langkah calon kepala daerah potensial. Dalam pasal 59 ayat (3) juga menyebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat serta memperhatikan tanggapan dan pendapat masyarakat dalam penetapan calon. Hal ini memungkinkan munculnya calon independen sehingga sistem politik akan berjalan lebih variatif, kompetitif dan fair. Namun demikian, dalam pilkada 2007, KPU Sultra belum bisa mengakomodir calon perseorangan disebabkan KPU Sultra masih harus menunggu revisi UU No.32/2004 atau keluarnya peraturan pengganti UU (perpu), serta menunggu KPU pusat menjabarkan aturan teknis dari calon perseorangan tersebut9, sementara di lain sisi, tahapan pelaksanaan pemilihan Gubernur Sultra segera akan dilaksanakan. Tahapan kegiatan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra periode 2008-2013 dimulai pada tanggal 18 Agustus 2007 setelah komisi pemilihan Umum (KPU) Sultra menerima surat pemberitahuan dari DPRD mengenai berakhirnya masa jabatan Gubernur dan wakil Gubernur Sultra. Sedangkan hari pemilihannya sendiri rencananya dijadwalkan pada tanggal 4 November 2008 namun karena pembenahan data pemilih, maka jadwal tersebut berubah menjadi tanggal 2 Desember 2007. Namun demikian, dinamika politik berkaitan dengan pemilihan Gubernur tersebut sudah menghangat sejak dua tahun sebelum pelaksanaan pemilihan digelar. Figur-figur mulai bermunculan memperkenalkan diri kepada masyarakat bahwa mereka bakal bertarung dalam pemilihan Gubernur Sultra. Ada juga figur yang masih memohon kepada parpol agar diakomodir menjadi calonnya kelak. KPU
dituntut
agar
dalam
menyelenggarakan
pemilu
senantiasa
berpedoman pada 12 asas, yakni; mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib 9
Meskipun KPU Sultra dapat saja mengambil langkah berdasarkan kewenangan yang diatur UU No.22 Tahun 2007 untuk membuat pengaturan atau regulasi dalam rangka pemilu kepala daerah, atau KPU Sultra bisa merujuk UU Pemerintah Aceh yang telah melaksanakan pemilu kepala daerah dengan calon perseorangan.
29
penyelenggara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Data pemilih saat penyelenggaraan pemilihan Gubernur merupakan hal penting, karena pemilihlah yang akan menentukan kekalahan dan kemenangan pasangan kepala daerah. KPU kabupaten atau kota paling lambat lima bulan sebelum hari dan tanggal pemungutan suara, sudah selesai menyusun daftar pemilih10 sementara. Pendataan penduduk dilakukan oleh pemerintah bukan KPU. Mekanisme penentuan hak pilih ada dua yaitu, pertama, KPU memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih. Dalam pemutakhiran data pemilih, KPU Sultra merupakan pengguna terakhir data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh pemda. Kedua, KPU Sultra menerima daftar pemilih dari KPU kabupaten atau kota dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur. Data penduduk potensial meliputi NIK/ nomor pemilih; nama lengkap; tempat/tanggal lahir (umur); status perkawinan; jenis kelamin; alamat tempat tinggal; dan jenis cacat yang disandang. Dan tidak semua penduduk dalam daftar data potensial bisa menjadi pemilih, sebab untuk menjadi wajib pilih pemilu mempunyai kriteria sebagaimana diamanatkan PP no. 6 Tahun 2005, yakni: sudah berusia 17 tahun pada hari pemungutan suara pemilihan atau sudah/ pernah kawin. Mereka yang memenuhi kriteria tersebut pun harus terdaftar sebagai pemilih dengan syarat: tidak sedang terganggu jiwa/ ingatannya, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya enam bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk. Terkait dengan pemilih pemilihan Gubernur Sultra, KPU Sultra belum bisa melakukan langkah-langkah yang telah diamanatkan konstitusi Negara tersebut karena data dasar (data penduduk potensial) masyarakat Sultra belum juga diserahkan oleh pemerintah provinsi Sultra. Untuk itu, langkah-langkah yang 10
Baca juga Rachim, M. Djufri (2008) mengenai masalah wajib pilih menjelang pemilihan Gubernur Sultra
30
dilakukan oleh KPU Sultra adalah: pertama, KPU Sultra melalui KPU Kabupaten/ Kota meminta langsung data penduduk potensial setiap kabupaten/ kota pada kantor/ badan kependudukan dan catatan sipil kabupaten/ kota se-Sultra. Kedua, menggunakan data pemilih terakhir yang ada di setiap KPU kabupaten/ kota. Alternatif kedua ini memiliki kelemahan sebab banyak data yang tidak aktual lagi, namun hal ini harus dilakukan KPU karena data tidak tersedia dan belum diserahkan oleh Pemda sebagai penyedia data penduduk. Tugas KPU dan perangkatnya untuk melakukan pemutakhiran data penduduk yang memenuhi syarat pemilih sesuai amanat UU nomor 32 Tahun 2004 dan PP no.6 tahun 200511. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilihan, memiliki kewenangan untuk menetapkan berbagai keputusan berkaitan dengan proses pilkada. Keputusan KPU berkaitan dengan pemilu antara lain; organisasi dan tata cara kerja KPU provinsi, KPU Kabupaten/ Kota, hingga kelembagaan di tingkat kecamatan (PPK) dan desa/ Kelurahan (PPS dan KPPS). Dasar hukum keputusan tersebut adalah pasal 8 Ayat (3) huruf a dan huruf j juncto Pasal 117 UU No.22 tahun 2007 tentang penyeleggaraan pemilu yang memberikan kewenangan bagi KPU untuk membuat pengaturan atau regulasi dalam rangka pemilu kepala daerah. Semua regulasi pemilihan Gubernur Sultra yang dibuat oleh KPU Sultra pada masa pilkada 2007 tidak bertentangan dengan keputusan KPU (pusat) dan peraturan perundang-undangan, mulai UU no. 32/2004 besrta PP No.6 Tahun 2005 hingga UU No.22/2007, dengan satu prinsip yakni menjalankannya dalam cara pemerintahan Negara atau rezim pemilu. Dari tahapan-tahapan proses penyeleggaraan pemilihan Gubernur, ada dua kategori yang dianggap rawan, yakni pada tahap penetapan pasangan calon dan tahapan pemenang pemilu12. Pada tahap penetapan pasangan calon, ada saja 11
Lihat hasil Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra pada halaman lampiran 12
Dua tahapan ini menjadi sangat penting karena selalu menimbulkan implikasi sosial dalam masyarakat. Masyarakat yang masing-masing menjagokan figur tokohnya, tidak jarang menerima kekalahan atau penolakan bakal calon dengan sikap negatif bahkan berujung pada sikap anarki.
31
pasangan calon yang digugurkan oleh KPU karena tidak memenuhi persyaratan administratif, dan pada tahap penetapan pemenang sudah pasti hanya satu pasangan calon yang dinyatakan sebagai pemenang, yakni pengumpul suara terbanyak (Rachim, M. Djufri, 2008). KPU Sultra sebagai pihak penyelenggara pemilihan Gubernur Sultra juga menerima dua gugatan dari dua tahapan yang paling dianggap rawan tersebut. Pertama, dari tahapan penetapan pasangan calon, KPU menerima gugatan dari pasangan bakal calon yang tidak diloloskan sebagai calon peserta pilkada yaitu Laode Ida dan Andi Kaharuddin, kedua gugatan berkaitan dengan hasil perhitungan suara oleh kubu AZIMAD. Dalam proses pemilu baik pemilu presiden maupun pilkada, ada tiga upaya penggagalan pemilu yang wajib diwaspadai semua pihak baik penyelenggara, peserta pemilu, pemerintah, masyarakat dan pihak keamanan. Upaya penggagalan tersebut adalah permintaan judicial review Undang-Undang pemilihan umum, bentrokan antar massa parpol serta money politics yang melibatkan petugas perhitungan suara. Di Sulawesi Tenggara, penyelenggaraan pemilu yang terdiri dari KPU provinsi dan Panwaslu sudah menyatakan kesiapannya untuk mensukseskan penyelenggaraan pemilu disertai pula dua unsur penting lain yakni Pemerintah provinsi Sultra dan Polda Sultra.
4.2 Karakteristik Kubu NUSA Empat kubu pasangan calon Gubernur yang akan memperebutkan kursi pemegang kekuasaan Sultra periode 2008-2013 masing-masing adalah kubu MAHASILA yaitu pasangan Mahmud Hamundu dan Yusran Silondae, kubu MMA yaitu pasangan Mashur Massie dan Azhari, kubu AZIMAD yaitu pasangan Ali Mazi dan Abd. Samad serta kubu NUSA yaitu pasangan Nur Alam dan Saleh Lasata. Latar belakang pasangan calon Gubernur dan Wakilnya pun memiliki perbedaan masing-masing. Kubu NUSA yaitu kolaborasi pasangan Nur Alam dengan Saleh Lasata merupakan kolaborasi antara calon Gubernur berlatar belakang pengusaha dan legislator sedangkan pasangannya Saleh Lasata berlatar belakang TNI meskipun juga pernah menjadi orang nomor satu di wilayah Kabupaten Muna. Kolaborasi
32
antara legislator-TNI ini hanya dimiliki kubu NUSA sedangkan kubu lain dimonopoli oleh kolaborasi birokrat-birokrat seperti pasangan Azimad dan MMA. Sedangkan kolaborasi unik lainnya adalah pasangan MAHASILA dimana terjadi kolaborasi antara akademisi dan birokrat. Kolaborasi antara Gubernur dan wakilnya juga diwarnai dengan penggabungan keterwakilan dua wilayah Sultra yaitu antara wilayah daratan dan wilayah kepulauan. Kolaborasi dua wilayah ini juga terjadi dalam kubu NUSA. Kubu NUSA dengan Nur Alam sebagai Gubernurnya merupakan sosok figur calon gubernur dari etnis Tolaki yang merupakan etnis dominan di wilayah daratan Sultra sedangkan pasangannya Saleh Lasata merupakan sosok calon wakil Gubernur beretnis Muna dari wilayah kepulauan Sultra. Dukungan partai politik merupakan hal krusial bagi sistem pemilihan kepala daerah maupun pilpres di Indonesia. Partai politik semakin menunjukkan kekuatan dan wewenangnya dalam menetukan figur kepala daerah manakala sistem calon independen tidak diberlakukan. Hal ini serupa yang terjadi di Sulawesi Tenggara. Dengan berbagai alasan administrasi, maka terdapat calon figur pasangan kepala daerah yang maju dengan sistem perseorangan terhenti upayanya karena KPU sebagai pihak penyelenggara tidak memberlakukan sistem calon independem tersebut. Seperti misalnya yang dialami oleh Laode Ida yang upayanya menjadi kepala daerah Sultra terpaksa terhenti dikarenakan tidak didukung oleh satu partai politik pun dan KPU tidak memberlakukan sistem calon independen. Kubu NUSA merupakan kubu yang dudukung oleh dua partai besar yang memiliki kursi di fraksi DPRD Sultra yaitu PAN dan PBR. Meskipun dukungan penuh yang diberikan PAN kepada kubu ini melebihi dari persyaratan yang ada yaitu partai politik yang memiliki 15 % suara di DPRD, namun dukungan dari partai politik alternatif menjadi penting untuk menambah kekuatan kubu ini. Hal ini sama seperti yang dialami oleh kubu lain. Kubu AZIMAD misalnya, meskipun telah mendapatkan dukungan dari partai Golkar yang memiliki lebih dari 15 % suara di DPRD, namun kubu ini tetap saja meminta dukungan dari partai alternatif lainnya seperti PKS dan PKB. Bagi setiap kubu, dukungan partai politik menjadi
33
penting karena adanya UU yang mengatur kewenangan Parpol dalam memilih calon figur kepala daerah, dan juga jaringan partai politik yang ada mulai dari wilayah Provinsi hingga Kelurahan atau Desa menjadikan semakin mudah membangun jaringan tim sukses hingga ke daerah-daerah.
4.3 Isu Strategis dan Kondisi Sosial Masyarakat Sultra Visi misi serta isu strategis yang diangkat merupakan salah satu strategi jitu mendekati masyarakat yang merupakan pihak pemilih dalam sistem pemilihan secara langsung. Peraturan Pemerintah nomor 6 Tahun 2005 menyebutkan bahwa kampanye adalah kegiatan dalam rangka menyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon. Dalam sebuah pemilihan Kepala Daerah, tidak dapat dipungkiri bahwa visi dan misi merupakan dua hal yang krusial, meskipun hal ini juga terkadang menjadi boomerang bagi pasangan yang akhirnya menang sebab visi dan misi selalu dijadikan patokan penilaian masyarakat akan program pembangunan yang dijalankan. Pilkada Sultra yang digelar tahun 2007 telah menghadirkan empat pasang calon kepala daerah dengan visi dan misi yang dibawa masing-masing. Pemaparan mengenai visi dan misi menjadi penting bagi pemilih sebagai bahan pertimbangan serta informasi mengenai gambaran ringkas para kandidat, lebih jauh lagi, visi dan misi merupakan gambaran rancangan arah pembangunan yang akan dijalankan nantinya. Bagi kubu NUSA, pemilihan visi misi serta isu strategis yang diangkat terlebih dahulu disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat Sultra sendiri. Seperti lima program utama yang akan menjadi fokus program selama pasangan ini memimpin yaitu peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), revitalisasi pemerintahan,
pembangunan
ekonomi,
pembangunan
kebudayaan
serta
pembangunan infrastruktur. Peningkatan SDM menjadi penting sebagai skala prioritas karena faktor utama keberhasilan pembangunan daerah ditentukan oleh sumber daya manusianya. Demikian halnya dengan revitalisasi pemerintah. Revitalisasi
34
pemerintahan ini termasuk pula dalam penempatan jabatan struktural akan dilakukan sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Sementara pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utama, akan membangun struktur dan infrastruktur ekonomi seperti investasi dimana akan mendatangkan investor dan mempertahankan investor yang ada. Program ini difokuskan karena kubu NUSA melihat angka kemiskinan masyarakat Sultra telah melebihi angka kemiskinan nasional. Di sisi lain, angka kemiskinan ini sangat ironis jika melihat laju pertumbuhan Sultra yang juga melebihi angka pertumbuhan nasional. Untuk itu kubu NUSA merasa perlu untuk membangun sistem ekonomi masyarakat yang berbasis kepada masyarakat lapisan bawah dan hal ini benar-benar menjadi prioritas NUSA ketika menjadi kepala daerah nantinya. Begitu pula dengan pembangunan kebudayaan dan infrastruktur, merupakan dua hal yang dinilai penting bagi kubu NUSA. Pembangunan kebudayaan menjadi penting karena melihat potensi budaya Sultra cukup baik terlebih melihat Bali sebagai provinsi yang dicontohkan dengan kebudayaan yang terkemuka. Untuk program pembangunan infrastruktur ada tiga komponen utama yang digunakan yakni komponen darat, laut dan udara. Misalnya saat ini transportasi udara sudah memadai, tetapi masih sebatas daerah tujuan, bukan persinggahan atau terminal. Hal ini yang dikejar oleh kubu NUSA dalam memilih program pembangunan infrastruktur. Apalagi Sultra terletak di bibir lautan pasifik yang berdekatan dengan Filipina, Australia dan Timor Leste, maka dengan infrastruktur transportasi yang baik akan dengan mudah mengakses tiga Negara tersebut. Secara ringkas, visi dan misi yang diangkat oleh pasangan calon kepala daerah Sultra akan disajikan dalam Tabel 2. Tabel pembanding ke-empat pasangan calon kepala daerah Sultra berikut.
35
Tabel 2. Tabel Pembanding Empat Pasangan Calon Gubernur Sultra 2008-2013
No.
1.
Topik Pembanding
Visi
MAHASILA
Religius, budaya, daya saing, nyaman, tentram, asri, produktif, inovatif, demokratis, sejahtera dan adil.
MMA
Sejahtera, beriman, damai, demokratis dan mandiri
Misi
Fasilitas ibadah dan akhlak Good governance Sarana budaya Pelayanan public Infrastruktur ekonomi dan investasi Pmebangunan partisipatif, gender, wawasan lingkungan
Upaya mencakup: awakening, empowering, advocating
NUSA
Membangun kesejahteraan Sultra 20082013
swadaya masyarakat membangun diri sendiri
Rakyat memiliki kedaulatan dan pemerintah hanya sebagai fasilitator 2.
AZIMAD
Spiritual Social Economic Prosperity
meneruskan program kerja Sultra Raya 2020
Revitalisasi pemerintah Pembangunan Sosial Ekonomi
Justice and Enforcement
Membangun Kebudayaan
Democracy
Mempercepat pembangunan infrastruktur
Good Governance
Partisipasi politik masyarakat, demokrasi 3.
Isu Strategis
Pengelolaan sumber daya alam
Pemerataan pembangunan
Sumberdaya manusia
Penanggulan gan kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi dan investasi
Pengembanga n sosial ekonomi kerakyatan
Membangun kesejahteraan masyarakat
Pendapatan perkapita Produktivitas
Data KPU Sultra13 menyajikan informasi keempat pasangan calon kepala daerah Sultra mengenai latar belakang pasangan, visi & misi serta isu strategis 13
Berdasarkan Seri Mengenal Cagub Sultra 2008-2013 yang dikeluarkan oleh KPU Sultra
36
diangkat dalam upaya merebut simpatik dan suara dari masyarakat Sultra. Berdasarkan data tersebut, maka menarik menjadi perhatian adalah kesejahteraan, budaya, pemerintahan yang baik serta partisipasi aktif masyarakat menjadi isu dan topik yang selalu ada dalam visi & misi ke-empat pasangan calon kepala daerah. Vox populi, vox Dei; suara rakyat adalah suara Tuhan14. Pepatah latin tersebut menjadi penting dalam pemilihan dengan sistem langsung dimana masyarakat menentukan sendiri pilihan akan Gubernurnya atau pemimpinnya. Pentingnya suara rakyat menjadikan para elit politik bergerak masuk ke dalam segi kehidupan masyarakat untuk mengambil simpati masyarakat. Pemaparan visi dan misi merupakan satu bentuk upaya pengumpulan dukungan masyarakat atau sebagai bentuk tindakan mobilisasi massa. Shohibuddin dan Soetarto (2004) menyatakan bahwa salah satu bentuk mobilisasi massa dalam pemilu adalah mobilisasi dengan melakukan komunikasi politik yang intens dengan seluruh lapisan komponen masyarakat dengan menawarkan isu-isu spesifik untuk memperoleh dukungan politik atas dasar pilihan rasional dan kontraktual15. Dalam konteks pemilihan kepala daerah Sultra isu yang paling diangkat oleh setiap pasangan calon Gubernur selalu terkait dengan kebutuhan masyarakat seperti tingkat kesejahteraan, kemiskinan, kebutuhan akan pemerintahan yang baik dan kebutuhan keagamaan masyarakat. Pilihan atas beberapa isu strategis ini dapat dilihat sebagai pemikiran rasional calon pemimpin atas dasar pemilihan masyarakat dimana masyarakat dalam menentukan pilihannya juga bergantung pada pertimbangan keuntungan peribadi. Artinya, masyarakat juga memiliki pemikiran rasional dalam menentukan pilihannya, apakah mendatangkan keuntungan ataukah tidak. Hal ini sejalan dengan konsep individual rationality dan social choice oleh Ansofino dan Anwar (2004) yang mengemukakan bahwa voters akan lebih dulu memenuhi kebutuhan individunya (keuntungan peribadi) dibandingkan dengan kebutuhan lainnya. 14
Ungkapan yang dikeluarkan oleh Ketua KPU Sultra sebagai pesan untuk pemilih Sultra yang dimuat dalam Seri Mengenal Cagub Sultra 2008-2013 15
Pola mobilisasi rasional dan kontraktual dilakukan dengan mengembangkan komunikasi politik yang sehat, melalui penawaran program-program spesifik, maupun perhatian pada isu-isu lokal yang berkembang di masyarakat.
37
4.4 Hasil Pemilihan dan Tanggapan Masyarakat 4.4.1 Hasil Pemilihan Kepela Daerah Secara Umum Pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Tenggara telah selesai digelar. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sultra sebagai lembaga penyelenggara telah menetapkan pasangan H. Nur Alam dan H. M. Saleh Lasata sebagai pemenang dalam pemilihan Gubernur yang berlangsung 2 Desember 2007. Kemenangan pasangan ini ditandai dengan perolehan suara sebanyak oleh 421.360 suara (42,78 %). Sedangkan perolehan suara tiga pasangan calon lain yaitu Ali Mazi SH. dan H. Abdul Samad sebanyak 387.404 suara ( 39,34 %), Drs. H. Masyhur Masie Abunawas M.Si dan Azhari, S.Stp, M.Si sebanyak 91.388 suara (9,28 %), dan Prof. Ir.H. Mahmud Hamundu, M.Sc dan Drs.H.Yusran A. Silondae, M.Si sebanyak 84.699 suara (8,60 %). Meskipun pemilu telah berhasil digelar, pihak KPUD sebagai pelaksana tidak terlepas dari gugatan yang datang dari dua pihak yaitu pasangan bakal calon L.I – A.K yang tidak diloloskan menjadi pasangan calon kepala daerah dan juga gugatan hasil penghitungan suara yang datang dari kubu AZIMAD. Terkait dengan hasil pemilihan yang berlangsung serta gugatan hasil penghitungan suara tersebut, kepala KPU Sultra menyatakan bahwa merasa lega telah berhasil melaksanakan
pemilihan
yang
pertamakali
melibatkan
secara
langsung
masyarakat Sultra dan hal tersebut diakuinya bukan satu hal yang mudah. Penuturan Informan Bpk K.H: “…tidak gampang menjalankan pemilu apalagi yang ini baru pertama kali masyarakat memilih kepala daerahnya langsung, meskipun gugatan masih tetap ada, tapi toh tidak sampai seperti kontraversi yang terjadi pada pemilu SulSel. Kalau masalah gugatan AZIMAD itu kan sudah terbukti tidak benar dan dimentahkan, itu hanya upaya penggagalan hasil pemilu saja. Tapi sejauh ini, kami dari KPU sudah merasa lega dan cukup puas tinggal bagaimana kami belajar lagi untuk pemilu-pemilu yang akan datang meskipun mungkin bukan saya lagi yang menjadi ketuanya…”. Rapat pleno terbuka rekapitulasi perolehan suara pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur Sultra telah selesai dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Tenggara. Jalannya rekapitulasi suara di KPU menurut
38
informan K.H sudah sesuai prosedur. KPU Sultra dengan disaksikan oleh saksi pasangan calon, panitia pengawas pemilu, pemantau, muspida dan tokoh masyarakat merekapitulasi perolehan suara di setiap kabupaten/ Kota secara terbuka. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa hasil rapat menetapkan kubu NUSA sebagai pemenang dan pasangan tersebut berhak menjabat sebagai kepala daerah Sulawesi Tenggara selama lima tahun ke depan. Berdasarkan hasil penetapan jumlah perolehan suara pada pemilu Sultra tersebut, masing-masing pasangan calon yang gagal mendapatkan posisi utama memiliki reaksi berbeda-beda. Misalnya saja pada kubu AZIMAD, pasangan ini langsung mengajukan keberatan dan gugatan atas hasil perolehan suara yang disahkan oleh KPUD Sultra. Hal ini wajar saja dilakukan mengingat telah ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai hal tersebut. Pada UndangUndang No.32 Tahun 2004 (Pasal 106) dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 (Pasal 94) disebutkan bahwa keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat tiga hari setelah hari penetapan hasil pemilihan. Selanjutnya Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara tersebut paling lambat 14 hari stelah diterimanya permohonan keberatan. Jika pasangan AZIMAD sibuk memperkarakan hasil penghitungan suara, maka berbeda dengan sikap yang dikeluarkan oleh pasangan MAHASILA. Dikutip dalam media Metro Kendari, Kendari Pos (Senin, 4 Februari 2008) M.H menegaskan bahawa dirinya tetap berkomitmen dengan apa yang telah diucapkan sebelumnya. Dua hari setelah pelaksanaan pilkada pasangan MAHASILA pernah mengatakan bahwa akan sepenuhnya menerima hasil putusan KPUD, sehingga tidak mungkin ikut menggugat hasil pemilihan karena sama saja dengan menjilat air ludah sendiri tuturnya. Proses dan tahapan pemilihan kepala daerah secara langsung yang telah dilakukan masyarakat Sultra dan berjalan secara lancar dan damai, tidak terlepas dari peranan masyarakat sendiri dan juga pihak elit politik yang lebih mengutamakan jalur hukum dari pada terlibat dalam aksi-aksi yang berujung pada anarkis jika ada masalah, seperti yang terjadi di daerah lainnya. Salah satu langkah tepat yang telah diambil oleh KPU Sultra sebagai pihak penyelenggara
39
adalah pengunduran jadwal pencoblosan yang semula direncanakan berjalan pada tanggal 4 November 2007, berubah menjadi 2 Desember 2007. Pengunduran jadwal ini dirasa tepat untuk menghindari mobilisasi massa yang protes karena merasa
dirugikan
tidak
terdaftar
sebagai
pemilih.
KPU
Sultra
telah
memperhitungkan hal tersebut dan mencoba belajar dari pemilihan sebelumnya yakni pilwali Kota Kendari dan pilwali Kota Bau-bau.
4.4.2
Primordial Sebagai Kunci Kemenangan. Kasus: Kelurahan Lepo-
Lepo Lepo-Lepo merupakan salah satu kelurahan di kecamatan Baruga, Kotamadya Kendari dengan luas wilayah 37.650 ha. Jumlah penduduk Kelurahan Lepo-Lepo pada tahun 2007 sebanyak 2545 jiwa. Keadaan penduduk kelurahan Lepo-Lepo berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk relatif baik ditunjukkan dengan tidak adanya penduduk usia 7-45 tahun yang tidak pernah sekolah ataupun tidak adanya penduduk yang pernah sekolah SD tetapi tidak tamat. Pendidikan merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam proses pemilihan secara langsung, sebab pemilih merupakan pemegang suara dan penentu kemenangan sekaligus menentukan pola pembangunan dan kemajuan masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh informan K.H: “pendidikan pemilih kali ini jauh lebih penting sebab pemilihan gubernur sudah dilaksanakan oleh lembaga independen dengan melibatkan suara langsung rakyat, sebagai pembeda dengan pemilihan gubernur pada masa silam”. Berdasarkan mata pencaharian pokok, penduduk Lepo-Lepo menunjukkan pegawai negeri dan TNI/POLRI yang mendominasi mata pencaharian pokok masyarakat dengan jumlah berturut-turut 220 orang dan 142 orang. Sedangkan mata pencaharian pokok lainnya sebagai buruh/swasta, pedagang, penjahit, tukang batu, tukang kayu, nelayan, montir, dokter, dan sopir. Distribusi penduduk LepoLepo berdasarkan mata pencaharian pokok secara lebih rinci dapat dilihat dalam Tabel 3. berikut.
40
Tabel 3. Distribusi Penduduk Lepo-Lepo Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok NO.
Jenis Mata Pencaharian Pokok
Jumlah
1.
Buruh/ Swasta
31
2.
Pegawai Negeri
220
3.
Pedagang
3
4.
Penjahit
2
5.
Tukang Batu
12
6.
Tukang Kayu
17
7.
Nelayan
1
8.
Montir
5
9.
Dokter
1
10.
Sopir
59
11.
TNI/POLRI
142
Berdasarkan sistem kepercayaan, masyarakat kelurahan Lepo-Lepo menunjukkan sebagian besar masyarakat beragama Islam yaitu sebanyak 3712, Kristen sebanyak 220 orang, Katholik sebanyak 37 orang, Hindu sebanyak 15 orang dan Budha sebanyak 1 orang. Berdasarkan etnisitas, penduduk Lepo-Lepo menunjukkan etnis Tolaki sebagai etnis yang dominan pada masyarakat, selanjutnya diikuti oleh enis Muna, Bugis, Buton, Makassar. Secara lebih rinci,komposisi penduduk berdasarkan etnis dapat dilihat dalam Tabel 4. Berikut.
Tabel 4. Komposisi Penduduk Lepo-Lepo Berdasarkan Etnis No.
ETNIS
Jumlah
1.
Tolaki
963
2.
Bugis
169
3.
Muna
241
4.
Buton
151
5.
Makassar
60
6.
Lain-Lain
961
41
Partai politik yang terdapat dalam masyarakat lepo-Lepo yang terhitung aktif dan memiliki pengurus sebanyak enam (6) partai politik masing-masing Golongan Karya (GOLKAR), PDIP, PAN, PPP, PKS dan PBB. Sedangkan organisasi non-formal dalam hal ini kelompok masyarakat yang menjadi ruang politik pilkada sebanyak 7 kelompok yang semuanya adalah kelompok majelis Taklim atau pengajian dengan jumlah anggota 210 orang anggota. Pada saat proses pemilihan Gubernur periode 2008-2013, jumlah pemilih sementara yang terdaftar untuk wilayah Lepo-Lepo sebanyak 2,281 sedangkan daftar pemilih tambahan sebanyak 79, daftar pemilih tetap sebanyak 2,360 dan meliputi 5 tempat pengumpulan suara (TPS). Berikut akan disajikan rekapitulasi jumlah pemilih, TPS dan surat suara pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur di kelurahan Lepo-Lepo.
Tabel 5. Rekapitulasi Jumlah Pemilih, TPS dan Surat Suara Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur di Kelurahan Lepo-Lepo
No.
Uraian
TPS 1
TPS 2
TPS 3
TPS 4
TPS 5
1
Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih Jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih Jumlah pemilih dari TPS lain Jumlah surat suara yang rusak Jumlah surat suara yang tidak terpakai Jumlah surat suara yang terpakai
445
204
335
235
269
209
343
152
60
105
3
2
1
1
209
344
150
59
105
445
207
337
236
270
2
3
4
5
6
Seperti daerah lain di Sulawesi Tenggara, di Kelurahan Lepo-Lepo pun melaksanakan pemilihan kepala daerah pada tanggal 2 Desember 2007.
42
Berdasarkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur di tingkat Kecamatan oleh panitia pemilihan Kecamatan, maka proses pemilihan yang terjadi di Kelurahan Lepo-Lepo khususnya berlangsung dengan tertib dan baik. Sedangkan hasil perhitungan suara pada akhirnya dimenangkan oleh pasangan NUSA. Berikut disajikan Tabel 6. Rekapitulasi hasil perhitungan suara untuk wilayah Kelurahan Lepo-Lepo.
Tabel. 6 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara
No.
1
Nama pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur MAHASILA
Jumlah Skor Suara
Hasil Dalam %
198
13.24
2
M.M.A dan Azhari
149
9.97
3
AZIMAD
564
37.73
4
NUSA
572
38.26
5
Suara tidak sah
12
0.8
Hasil yang diperoleh ini telah diperediksi oleh para elit politik khususnya pakar politik yang berdomosili di walayah Lepo-Lepo. Terdapat beberapa prediksi sebelum hasil perhitungan suara dikeluarkan. Pertama, para pakar politik memprediksikan bahwa kubu NUSA akan menjadi pesaing berat kubu AZIMAD untuk wilayah Lepo-Lepo. Hal ini dikarenakan kedekatan faktor-faktor nonformal masyarakat terhadap kedua pasangan. Misalnya saja, kandidat A.S dari pasangan AZIMAD merupakan orang yang ditokohkan dan dituakan di wilayah Lepo-Lepo. Selain itu, kediaman A.S berbatasan langsung dengan wilayah LepoLepo sehingga banyak terdapat keluarga dan kerabat dekatnya di wilayah LepoLepo. Sedangkan pasangan N.A dari kubu NUSA merupakan tokoh yang dekat dengan masyarakat Lepo-Lepo dikarenakan N.A tumbuh dan berkembang di wilayah Konda yang juga berdekatan dengan wilayah Lepo-Lepo. Selain itu, N.A memiliki banyak teman berasal dari masyarakat Lepo-Lepo yang kemudian direkrut menjadi tim suksesnya. Alasan kedua, keduanya beretnis Tolaki yang merupakan etnis terdekat dan mayoritas di wilayah Lepo-Lepo. Berikut tanggapan
43
yang diberikan oleh informan H.S yang merupakan pengamat politik dan berdomisili di wilayah Lepo-Lepo. “…sudah jauh hari memang kami disini sudah prediksi kalo suara akan terpecah antara kubu NUSA dengan kubu AZIMAD. Bagaimana tidak, dua-duanya familiar untuk masyarakat sini. A.M adalah Gubernur periode sebelumnya ditambah pasangannya A.S orang tua disini, N.A meskipun pasangannya tidak terlalu familiar tapi dia pegangannya kuat disini melalui kroni-kroni dan konco-konconya”. Tanggapan atas perolehan suara juga diberikan oleh informan Ibu DMT yang merupakan Lurah Lepo-Lepo. Berikut tanggapannya:
“…wajar saja kalo perolehan suara hasilnya terpecah dua hampir sama besar antara kubu NUSA dengan kubu AZIMAD. Duaduanya dari etnis Tolaki dimana masyarakat Lepo-Lepo juga mayoritas beretnis Tolaki. Sedangkan etnis Bugisnya banyak yang sudah kawin dengan orang Tolaki, kadang masyarakat juga memegang dua etnis antara Tolaki dengan Bugis. Jadi ya…jangan heran kalo orang Bugis juga dukungannya jatuh sama orang Tolaki apalagi Tolakinya masih orang sini-sini juga”. Demikian penuturan informan DMT yang menuturkan kedekatan antara N.A dengan A.S dimana masyarakat menganggap keduanya adalah masyarakat Lepo-Lepo juga. Keduanya juga dekat dengan masyarakat Lepo-Lepo melalui acara-acara kekeluargaan ataupun pesta-pesta pernikahan yang mereka hadiri. Hal ini semakin mendekatkan mereka dengan masyarakat Kelurahan Lepo-Lepo.
4.5
Ikhtisar Pada bab ini telah dibahas mengenai sistem pemilihan yang berlaku pada
pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007. Bahasan mengenai sistem pemilihan yang berlaku pada pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 ini berguna sebagai jalan untuk mengetahui kondisi politik yang terjadi selama masa pemilihan Gubernur. Hal ini juga dimaksudkan sebagai jalan pembuka untuk mengetahui situasi dan kondisi politik selama masa pemilihan Gubernur berlangsung, sehingga diharapkan akan lebih mudah memahami topik-topik yang akan dibahas selanjutnya. Selain membahas sistem pemilihan yang berlaku pada
44
pemilihan Gubernur Sultra Tahun 2007, bab ini juga membahas mengenai karateristik kubu NUSA sebagai fokus kajian dan juga membahas karateristik kubu lain sehingga membantu memahami kekhasan karateristik kubu NUSA sebagai fokus kajian. Isu strategis yang diangkat oleh kubu NUSA dan kubu-kubu lain juga menjadi salah satu bahasan dalam bab ini. Pada akhirnya, pembahasan mengenai hasil pemilihan secara umum dilakukan untuk mengetahui hasil yang telah diperoleh setelah melewati serangkaian tahapan dalam pemilihan Gubernur Sultra tahun 2007. Bahasan mengenai satu kasus mikro, yaitu mengangkat kasus Kelurahan Lepo-Lepo, menjadi satu ilustrasi yang menarik untuk menggambarkan bagaimana kekhasan kubu NUSA sebagai kubu yang dilekatkan dengan identitas etnis Tolaki bermain dalam tataran masyarakat akar rumput sebagai bagian dari masyarakat Sultra secara umum. Hasil pembahasan mengenai sistem pemlihan Gubernur Sulra Tahun 2007 menunjukkan bahwa pemilihan Gubernur Sultra periode 2008-2013 yang berlangsung pada tahun 2007 diikuti oleh empat kubu kandidat calon pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur masing-masing kubu MAHASILA, MMA, AZIMAD dan kubu NUSA. Sistem pemilihan yang digunakan adalah sistem ”plurality majority system” yaitu sistem pemilihan dengan satu kali putaran saja jika hasil diperoleh terdapat suara terbesar lebih dari 25 % suara yang ada. Kewenangan partai politik dalam menetukan kandidat bakal calon yang diatur oleh UU No.32 Tahun 2004 Pasal 59 dimana parpol dan gabungan parpol mendaftarkan pasangan calon jika memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya 15 % dari faraksi yang ada di DPRD setempat. Berdasarkan kewenangan partai politik tersebut serta kondisi administratif yang dihadapi KPU Sultra, KPU Sultra sebagai pihak penyelenggara pilkada Sultra meloloskan empat pasangan calon Gubernur dan tidak meloloskan calon independent dalam pilkada 2007 lalu, meskipun dalam UU yang sama juga telah diatur mengenai calon perseorangan. Kubu NUSA yang merupakan salah satu kubu yang ikut dalam Pilkada Sultra merupakan obyek penelitian dengan mengambil anggota tim suksesnya sebagai subyek penelitian. Kubu NUSA mencalonkan dua figur pemimpin dari dua latar belakang berbeda yaitu Politikus-pengusaha sebagai Gubernurnya serta mantan anggota TNI sebagai wakil Gubernurnya. Kekhasan kolaborasi latar
45
belakang fugur pemimpin ini hanya dimiliki oleh kubu NUSA dimana kubu lainnya tidak memiliki figur berlatar belakang mantan anggota TNI. Visi, misi serta isu strategis merupakan hal penting dalam proses pilkada dengan sistem pemilihan langsung oleh masyarakat karena merupakan serangkaian program kerja dan janji yang ditawarkan kepada masyarakat sebagai pihak pemegang suara. Bagi kubu NUSA, pemilihan atas serangkaian visi, misi serta isu strategis didasarkan atas latar belakang kondisi sosial masyarakat Sultra. Misalnya pemilihan atas program pembangunan okonomi dan peningkatan iklim investasi di Sultra didasarkan atas kondisi kemiskinan yang terjadi di Sultra. Hasil pemilihan yang dilakukan pada tanggal 2 Desember 2007 menempatkan kubu NUSA sebagai pemenang pilkada Sultra dengan perolehan suara sebanyak 42,78%. Meskipun terdapat gugatan atas hasil perolehan suara oleh kubu lainnya khususnya kubu AZIMAD, namun KPU Sultra sebagai pihak penyelenggara tetap menetapkan kubu NUSA sebagai pemenang pilkada Sultra. Kelurahan Lepo-Lepo adalah sebuah kelurahan yang berbatasan langsung dengan Ranomeeto sebagai wilayah domisili Abd.Samad salah satu figur wakil Gubernur dari kubu AZIMAD dan juga berbatasan dengan wilayah Konda dan Wua-Wua sebagai wilayah domisili dan pusat kekerabatan dari Nur Alam figur dari kubu NUSA. Di kelurahan Lepo-lepo juga terdapat beberapa elit politik yang merupakan pendukung dua kubu berbeda yaitu kubu Azimad dan NUSA. Masyarakat lepo-Lepo sendiri memiliki kedekatan emosional terhadap dua figur calon pemimpin tersebut. Hasil pemilihan di kelurahan ini memperlihatkan adanya signifikansi antara pilihan masyarakat dengan kedekatan emosional sebagai sumber pemilihan masyarakat. Setelah mengetahui sistem politik yang terjadi pada pemilihan Gubernur Sultra tahun 2007 serta mengenal karateristk kubu NUSA sebagai fokus kajian, pada bahasan berikutnya, akan dijelaskan bagaimana etnis Tolaki, melalui elit politik beretnis Tolaki di kubu NUSA memiliki serangkaian motif perilaku politik yang bersumber dari nilai-nilai adat yang dimiliki dan sejarah perjalanan peta politik Sultra dan kemudian menjadi dorongan kekuatan untuk melangsungkan berbagai aksi strategis pada pemilihan Gubernr Sultra untuk mencapai tujuan
46
politiknya. Bahasan ini menarik untuk mengetahui motivasi-motivasi di balik serangkaian manuver politik yang terjadi selama masa pemilihan Gubernur Sultra berlangsung.
V. ETNIS TOLAKI DAN PEMILIHAN GUBERNUR SULTRA 2007
5.1
Nilai Kepemimpinan Etnis Tolaki
47
Etnis Tolaki merupakan etnis yang berasal dari dua kerajaan besar yaitu kerajaan Mekongga yang mendiami wilayah Kolaka serta kerajaan Konawe yang mendiami wilayah Konawe dan Kendari. Etnis Tolaki memiliki simbol adat ”Kalo” dimana simbol ini menjadi simbol persatuan dan kesatuan termasuk sebagai dasar pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah seperti masalah perbedaan etnis, ras, agama dan berbagai perbedaan lain dalam masyarakat yang menimbulkan konflik sosial. Nilai-nilai yang terkandung dalam kalo juga terinternalisasi dalam setiap gerak hidup masyarakat Tolaki. Kalo yang biasa juga disebut kalosara memiliki wujud yang terdiri dari tiga komponen dengan makna berbeda-beda (Anonymous, 2007). Wujud dan makna kalo masing-masing adalah: 1. Lingkaran yang berbahan rotan kecil bulat berwarna krem tua yang dipilin, kedua ujung rotan disatukan dalam satu simpul ikatan. Lingkaran memiliki makna sebagai pencerminan jiwa persatuan dan kesatuan dari tiga unsur dalam sebuah kerajaan atau pemerintahan yaitu: a. Unsur pemimpin (raja atau penguasa) b. Unsur pelaksana atau penyelenggara kekuasaan raja atau penguasa (pejabat, pemangku adat, perangkat lembaga adat) c. Unsur kedaulatan rakyat, yang merupakan refleksi dari jiwa falsafah demokrasi masyarakat Tolaki yang berjiwa Ketuhanan. 2. Alas kalosara dari kain berwarna putih, memiliki makna sebagai simbol kejujuran, kesucian, keadilan, dan kebenaran. 3. Alas bawah kalosara, yang disebut juga Siwole yaitu wadah berbentuk segi empat yang terbuat dari anyaman daun palem hutan memiliki simbol sebagai pencerminan dari jiwa kerakyatan, keadilan sosial, dan kesejahteraan umum bagi seluruh warga masyarakat Tolaki.
Tarimana (1989) menyebutkan sedikitnya terdapat empat fungsi Kalo bagi orang Tolaki. Keempat fungsi tersebut adalah: (1) Kalo sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan orang Tolaki; (2) Kalo sebagai fokus dan pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki; (3) Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam
48
kehidupan orang Tolaki serta (4) Kalo sebagai pemersatu untuk pertentanganpertentangan konseptual dan sosial dalam kebudayaan dan dalam kehidupan orang Tolaki. Berbicara mengenai posisi Gubernur serupa dengan berbicara mengenai kepemimpinan.
Dalam
nilai
budaya
masyarakat
Tolaki
sendiri,
nilai
kepemimpinan yang terkandung dalam Kalo ditunjukkan dengan serangkaian nilai seperti “dasar dan tujuan kepemimipinan tradisional orang Tolaki”. Menurut Tarimana (1989), secara ideal dasar kepemimpinan tradisional orang Tolaki adalah : 1. Petono’a (kemanusiaan), yakni kemanusiaan menurut pe’olowi ari ine imbue (ajaran dari pesan-pesan leluhur). 2. Ponano ana niawo, tono nggapa, rome-romeno wonua (kehendak orang banyak). 3. Medulu, mepoko’aso (kesatuan dan persatuan).
Dalam usahanya mewujudkan ketiga tujuan kepemimpinan dalam masyarakat Tolaki terurai di atas, seorang pemimpin tradisional orang Tolaki harus mampu menjalankan tiga prinsip kepemimpinan yang disebut : mo’ulungako
(mengajak
orang
banyak
yang
dipimpinnya),
mohiasako
(menggerakkan tenaga orang banyak yang dipimpinnya), dan momboteanako (menggembala orang banyak yang dipimpinnya). Sebagai seorang pemimpin, yang mengajak orang banyak, maka ia adalah seorang yang disebut pasitaka (tauladan bagi orang banyak); demikian sebagai seorang pemimpin yang menggerakkan orang banyak, maka ia adalah seorang yang disebut pohaki-haki (pemberi semangat bagi orang banyak); dan begitu pula sebagai seorang pemimpin yang menggembala orang banyak, maka ia adalah seorang yang disebut tani’ulu (pemegang tali kendali). Serangkaian nilai-nilai kepemimpinan yang dianut oleh masyarakat etnis Tolaki menjadi dasar bertindak sekaligus sebagai modal untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat, baik dalam masyarakat etnis Tolaki sendiri maupun masyarakat Sultra secara umum. Informan bapak M.N menyatakan bahwa: “…di Sultra ini tidak sedikit juga orang Tolaki yang duduk di pemerintahan, sebagai pemerintah yang mengatur masyarakat, orang
49
Tolaki sudah punya modal. Nilai-nilai adat sudah mengatur bagaimana pentingnya seorang pemimpin. Leluhur orang Tolaki juga ada yang mampu memerintah tidak hanya untuk masyarakat etnis Tolaki tapi malah untuk semua masyarakat Sultra seperti HaluOleo. Jadi kalo orang Tolaki jadi pemimpin, memang karena sudah ada modalnya”. Dalam hubungannya dengan etnis lain, etnis Tolaki telah biasa melakukan hubungan antar etnis seperti hubungan dengan Etnis Mori, Bungku, Moronene, Muna, Buton, Ternate dan etnis lainnya (Tarimana, 1989). Hubungan antar etnis ini dominan terjadi karena hadirnya etnis tersebut dalam lingkungan etnis Tolaki. Pada dasarnya orang Tolaki sendiri tidak suka merantau ke negeri lain secara perseorangan atau dalam bentuk satu keluarga kecuali mengikuti pemimpinnya atau raja yang pindah16. Seperti yang terjadi ketika HaluOleo pergi ke Muna dalam proses perpindahannya sebagai Sultan di Buton. Saat ini, hubungan dan interaksi sosial etnis Tolaki dengan etnis lain lebih intensif terjadi dengan semakin meningkatnya arus mobilisasi penduduk dari dan ke wilayah orang Tolaki. Hubungan yang terjalin antara etnis ini membawa dampak pada pergeseran peran kalosara sebagai dasar bertindak masyarakat etnis Tolaki. Khasanah kehidupan etnis Tolaki saat ini, tidak lagi semata-mata hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam kalosara tetapi juga beragam nilai yang dibawa oleh etnis lainnya serta pengaruh perkembangan informasi, teknologi dan ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, nilai pada Kalosara tetap menjadi acuan bertindak masyarakat. Jika dulu bertindak semata-mata berdasar atas nilai etnis Tolaki, maka saat ini pertimbangan atas sistem sosial yang ada di lingkungan masyarakat etnis Tolaki menjadi pendamping nilai kalosara sebagai nilai utama. Informan bapak M.N memberikan informasi bagaimana nilai yang terkandung dalam kalo sebagai acuan gerak masyarakat etnis Tolaki sekaligus pengaruh nilai etnis lain terhadap tindakan masyarakat etnis Tolaki. Berikut kutipan informasi yang diberikan informan: ”...kalau dulu, nilai-nilai adat sebagai sumber paling utama bahkan satusatunya sumber segala tindakan, termasuk pendapat orang-orang tua (orang yang dituakan), tapi sekarang tidak bisa. Ada orang Bugis, ada orang Muna yang belum tentu sesuai dengan nilai adatnya orang Tolaki”. 16
Berdasarkan penjelasan Tarimana (1989), etnis lain masuk ke dalam lingkungan masyarakat Tolaki terlebih ketika kebijakan pemerintah dengan transmigrasi.
50
Etos kerja yang dibawa oleh etnis lain dalam kehidupan sosial memberikan pengaruh terhadap pandangan ”apa yang dianggap baik” serta ”bagaimana melakukan tindakan” oleh etnis Tolaki. Porter (2000) menjelaskan bahwa daya saing dan kemampuan kompetisi dipengaruhi oleh modal manusia dalam arti nilai, keyakinan dan sikap yang dimiliki seseorang. Dalam kehidupan berpolitik, etnis Bugis, Muna dan Buton memperlihatkan kecenderungan monopoli kekuasaan dikarenakan kemampuannya menggunakan nilai, keyakinan serta sikap terhadap orientasi kepemimpinan. Oleh karenanya, orang Bugis, meskipun bukan sebagai etnis asli di Sultra, mampu menjadi bagian penting dalam pemerintahan Sultra. Sebagai contoh, Andi Musakkir sebagai mantan Wakil Walikota Kendari, Musadar Mappasomba yang saat ini menjabat sebagai Wakil Walikota Kendari. Informan bapak H.S menyatakan bahwa: ”...orang Muna dan Buton dalam berpolitik memperlihatkan dominasi dalam arti memiliki vokal yang kuat untuk mempengaruhi pengambilan keputusan-keputusan politik, orang Bugis memiliki sistem politik yang unik, sadar sebagai etnis pendatang, Bugis harus lebih dulu masuk ke dalam sisi humanis etnis lokal untuk berdiri menjadi bagian penting di dalamnya, sedangkan orang Tolaki, beberapa ada yang vokal seperti Nur Alam, tetapi kebanyakan lebih mengikuti kemana dan seperti apa aliran politik itu berjalan”.
5.2
Etnis Tolaki Dan Perjalanan Peta Politik Sultra Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan salah satu provinsi dengan
keberagaman etnis. Terdapat tiga etnis terbesar yang ada di jasirah Sulawesi Tenggara. Etnis Muna, Buton dan Tolaki merupakan tiga etnis besar sebagai etnis asli yang mendiami bagian daratan dan kepulauan Sultra. Dalam perjalanan sosial, politik dan ekonomi, ketiga etnis tersebut masing-masing memainkan peranan. Secara khusus, dalam segi sosial-politik, peranan yang dimainkan ketiga etnis tersebut dapat terlihat dalam momentum pilkada Sultra yang digelar Desember 2007 lalu, dan secara umum dapat terlihat melalui perjalanan sosial politik yang berlangsung sepanjang kehidupan masyarakat Sultra. Pada awal kemerdekaan, Sultra masuk dalam wilayah provinsi Sulawesi (Groote Celebes) sebagai salah satu provinsi dari delapan provinsi yang dibentuk
51
berdasarkan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) taggal 18 Agustus 1959 dengan ibukotanya Makassar yang dipimpin oleh seorang Gubernur (Tamburaka, 2004). Tahun 1959 kemudian diadakan pemekaran menjadi dua provinsi
yaitu
provinsi
Sulawesi
Utara/Tengah
dan
provinsi
Sulawesi
Selatan/Tenggara. Berdasarkan PP No. 64 tanggal 27 April 1964, Sultra berhasil memisahkan diri dari Sulawesi Selatan menjadi satu provinsi dengan Kendari sebagai ibukotanya. Ketika memisahkan diri dari Sulawesi selatan, provinsi Sulawesi Tenggara ditopang empat kabupaten sebagai pilar utama. Dua kabupaten terletak di wilayah daratan yaitu Kendari dan Kolaka, sedangkan dua kabupaten lainnya terletak di wilayah kepulauan yaitu kabupaten Muna dan Buton. Dalam percaturan politik lokal, keterwakilan aspirasi kedua wilayah tersebut selalu menjadi faktor pertimbangan dalam rangka menjaga keseimbangan dan stabilitas sosial politik. Bila Gubernur dijabat oleh figur kepulauan misalnya, maka wakilnya berasal dari wilayah daratan. Namun demikian, kedudukan Wakil Gubernur biasanya tidak dapat berbuat banyak untuk memenuhi harapan dan aspirasi masyarakat. Terbentuknya Sultra sebagai sebuah provinsi sendiri sebagai hasil pemekaran dari provinsi Sulawesi Selatan/Tenggara tidak terlepas dari perjuangan tokoh politik baik dari wilayah daratan maupun dari wilayah kepulauan. Tokohtokoh politik yang tercatat gigih memperjuangkan Sultra sebagai sebuah provinsi sendiri antara lain: Letkol Edy Sabara, H. Jakub Silondae (Tolaki), Drs. H. La Ode Munarfa, Drs. H. Abdullah Silondae (Tolaki), La Ode Hadi, H. Eddy A. Mokodompit, MA. Andrey Jufri, SH., Abd. Rauf Landehora, H. Bunggasi (Tolaki), Umar Tongasa (Tolaki), dll. Dalam upaya memisahkan diri dari provinsi Sulawesi Selatan/Tenggara, terjadi kekompakkan suara baik tokoh dari etnis daratan maupun tokoh kepulauan, namun selanjutnya dalam penetapan ibukota provinsi hal ini tidak serta-merta terjadi. Baik tokoh daratan maupun kepulauan memiliki pandangan masingmasing atas daerah yang layak dijadikan ibukota provinsi Sultra. Penetapan calon ibukota provinsi Sultra, berlangsung alot karena utusan Buton dan Muna mengusulkan kota Bau-Bau sebagai ibukota provinsi sedangkan utusan Kendari
52
Kolaka mengusulkan kota Kendari sebagai ibukota provinsi Sultra. Tetapi setelah diskusi yang alot, akhirnya semua sepakat menyetujui Kota Kendari sebagai ibukota provinsi Sultra (Tamburaka, 2004). Informan bapak H.S menjelaskan bahwa perpecahan suara antara tokoh politik Sultra dari wilayah daratan dan kepulauan dalam penentuan ibukota provinsi menjadi wajar karena ibukota propinsi akan menjadi pusat berjalannya roda pemerintahan sedangkan tokoh politik dari masing-masing wilayah memiliki kepentingan atas kedudukan strategis yang ada di ibukota provinsi tersebut. Berikut penuturan oleh informan bapak H.S: ”...selain perdebatan diantara para tokoh politik mengenai masalah ibukota provinsi, masih banyak perdebatan lain yang meghadapkan kepentingan masyarakat daratan dengan kepulauan. Bahkan dulu, Kolaka dan Kendari juga ingin memisahkan diri membuat provinsi sendiri yaitu provinsi Sulawesi Timur. Sebenarnya kepentingan elit atau tokoh politik bermain disitu, dalam arti bagaimana dengan pembagian kedudukan strategis nantinya, hanya saja kadang sudah tidak dapat dibedakan mana kepentingan masyarakat luas mana kepentingan pribadi elit politik ketika kepentingan pribadi sudah dimobilisasi menjadi isu-isu kepentingan masyarakat”. Di era demokratisasi dengan ciri pemilihan langsung kepala daerah, dikotomis antara daratan dan kepulauan menjadi semakin tajam terlebih hadirnya isu primordial sebagai sumber penghimpunan suara masyarakat. Wilayah daratan Sultra dengan etnis Tolaki sebagai etnis besar yang mendiami wilayah ini, dalam kancah politik Sultra selalu hadir sebagai bagian peta politik Sultra. Dalam pilkada 2007, terdiri dari dua figur daratan dan dua figur kepulauan. Figur daratan tersebut hadir sosok Nur Alam dan Mashur Masie Abunawas sedangkan figur kepulauan diwakili dengan hadirnya Ali Mazi (Buton) dan Mahmud Hamundu (Muna). Dalam perjalanan politik Sultra, figur daratan tercatat hanya satu kali memegang jabatan Gubernur Sultra yaitu pada periode 1978-1982 dimana kursi Gubernur dipegang oleh Drs. Abdullah Silondae. Namun dalam perjalanan pelaksanaan jabatan, Gubernur tidak sampai pada akhir masa jabatan dikarenakan kondisi kesehatan yang mengkibatkan wafatnya Gubernur Abdullah Silondae. Di lain sisi, figur kepulauan selalu memegang dan memonopoli kursi pemimpin
53
masyarakat Sultra seperti pemerintahan La Ode Hadi (1965-1966), Edy Sabara (1966-1978), pemerintahan La Ode Kaemoeddin selama dua periode (1992-1997 dan 1997-2002) serta pemerintahan Ali Mazi (2003-2008). Berikut akan disajikan tabel peta politik Sultra berupa kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur yang pernah menjabat selama terbentuknya provinsi Sultra hingga periode sebelum pilkada 2007 lalu.
Tabel 7. Kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra serta Latar Belakang Etnisnya Periode 1964-1965 1965-1966 1966-1978 1978-1982 1982-1992 1992-2003 2003-2007
Gubernur J. Wayong La Ode Hadi (Muna) Brogjen Edy Sabara (Buton) Drs. Abdullah Silondae (Tolaki) Ir. H. Alala (Mori, Sulawesi Tengah) Drs. La Ode Kaimuddin (Muna) Ali Mazi, SH (Buton)
Wakil Gubernur Jacob Silondae (Tolaki) Brigjen H. Sudjatmiko Kol. H. Arifin Sugianto (Mantan Bupati Buton) Brigjen D. Moehidin Drs. H. Hoesein Efendi. SH (Tolaki) Yusran Silondae (Tolaki)
Sumber: data sekunder
Perjalanan politik yang dodiminasi oleh figur kapulauan ini juga menyimpan beberapa catatan hitam bagi masyarakat Sultra, dimana beberapa Gubernur selama masa jabatannya tersandung oleh masalah. Seperti misalnya mantan Gubernur Ali Mazi yang terhalang kasus Hak Guna Bangunan hotel Hilton (Jakarta), membuat kekecewaan sekaligus memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap sosok Ali Mazi. Masyarakat yang bersimpati terhadap kepemimpinan Ali Mazi, khususnya masyarakat Buton, terpukul dengan adanya masalah yang dialami oleh Ali Mazi tersebut. Masyarakat khawatir penonaktifan tersebut menimbulkan stigma baru dikalangan masyarakat Sultra yang terdiri dari beragam etnis, bahwa putera-puteri Buton kedepan tidak dapat menjadi pemimpin. Hal ini juga dipicu oleh kegagalan kepemimpina sebelumnya, dimana catatan hitam juga dialami oleh figur kepulauan La Ode Hadi, namun berbeda dengan masalah yang dialami Ali Mazi,
54
La Ode Hadi dihalang oleh isu kasus keterlibatan dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Terdapat figur-figur daratan lainnya yang pernah menonjol dalam kehidupan sosial politik masyarakat Sultra meskipun tidak sampai pada posisi puncak seperti Hussein Effendi (Wakil Gubernur), Hino Biohanis (Ketu DPRD Sultra), Adel Berty (Mantan Bupati Kolaka) serta Yusran Silondae (mantan Wakil Gubernur Sultra). Sederet figur tersebut mewakili kehadiran masyarakat Sultra bagian daratan dalam kancah sosial politik Sultra. Politik Sultra yang berlangsung dalam proses pemilihan Gubernur secara langsung oleh masyarakat merupakan satu arena politik yang kembali mempertemukan antara figur-figur daratan versus kepulauan. Figur daratan yang diwakili dua kubu politik menunjukkan eksistensi masyarakat daratan dengan etnis Tolaki sebagai etnis dominan. Pemimpin dari etnis daratan versus pemimpin dari etnis kepulauan dalam pilkada Sultra 2007 menjadi menarik karena memiliki signifikansi tersendiri terhadap kepemimpinan mayarakat Sultra. Isu pemekaran wilayah Sultra dimana wilayah kepulauan akan membentuk provinsi tersendiri yaitu provinsi Buton Raya dengan lima daerah otonom (Kota Bau-Bau, Kabupaten Muna, Buton Utara, Buton dan Wakatobi) menjadikan pigub Sultra 2007 menjadi satu ajang pembuktian politik daratan – kepulauan. Bagi figur kepulauan, pilkada Sultra 2007 menjadi pembuktian akhir monopoli peta kepemimpinan Sultra sedangkan bagi figur daratan pilkada Sultra 2007 sebagai ajang kompetisi perebutan monopoli kepemimpinan tersebut.
5.3 Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sultra 2007 Salah satu figur kuat dalam pilkada Sultra yang mewakili wilayah daratan adalah hadirnya sosok Nur Alam. Nur Alam yang “menggawangi” kubu NUSA merupakan putera daerah kelahiran Konda, satu wilayah yang mayoritas penduduknya beretnis Tolaki. Nur Alam sebagai pribadi aktor politik memiliki kemampuan untuk “menyetir” kubu NUSA mencapai tujuan politiknya. Kubu NUSA dalam pilkada ini dapat dilihat dari dua sisi berbeda: pertama, kubu NUSA
55
merupakan sebuah kelompok politik. Sebagai sebuah kelompok politik, Nur Alam mampu
mengangkat
mengoptimalisasikan
isu-isu
strategis
menjadi
tujuan
kelompok
dan
anggota, jejaring kelompok serta solidaritas kelompok
untuk mencapai tujuan kelompok, dan kedua kubu NUSA sebagai bentuk keterwakilan masyarakat bagian daratan provinsi Sultra yang mayoritas beretnis Tolaki. Dalam keterwakilan masyarakat etnis Tolaki ini, Nur Alam berangkat dari identitas sosial etnis Tolaki baik dalam kehidupan masyarakat terlebih dalam kehidupan politik dimana enis Tolaki selalu tidak mendominasi. Identitas sosial etnis Tolaki baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan politik menjadi dasar serta tujuan politik Nur Alam. Selanjutnya Nur Alam mampu mengangkat kepentingan dan tujuan politiknya sebagai isu kepentingan etnisitas serta sebagai kebutuhan yang harus diperjuangkan bersama masyarakat etnis Tolaki. Hal ini memungkinkan Nur Alam untuk menggunakan kekuatan politik berbasis etnisitas serta kedekatan emosional dan primordial etnis Tolaki.
5.3.1 NUSA Sebagai Kelompok Politik Dalam pilkada Sultra 2007, NUSA merupakan salah satu kubu yang ikut bertarung untuk memperebutkan kemenangan kursi kepala daerah disamping tiga kubu lainnya. Nur Alam sebagai “penggerak” kubu NUSA memegang kendali penting sebagai peribadi yang memberikan kontrol langsung terhadap apa yang seharusnya dilakukan oleh kubu NUSA. Kubu NUSA memiliki keanggotaan yang mendukung keberhasilan kubu, dalam sistem politik pilkada, keanggotaan ini menjadi sebuah tim yang memiliki tujuan berasama. Keanggotaan dalam tim ini tidak mengenal batasan etnis namun lebih kepada tujuan bersama yaitu tujuan politik, tujuan satu tim. Masing-masing anggota kelompok dengan latar belakang etnis, agama, keturunan serta profesi berbeda menjadi satu dengan adanya tujuan kelompok yang sama. Informan bapak A.J memberikan informasi bahwa salah satu kesuksesan Nur Alam dalam Pulgub Sultra adalah kemampuannya menggalang orang-perorang ataupun kelompok menjadi satu dalam tim kubu NUSA. Dalam satu tim, identitas perorangan menjadi sekunder dibandingkan identitas kelompok. Berikut penuturan bapak A.J:
56
“…Nur Alam itu pintar. Dia mampu menggalang orang-orangnya dari berbagai latar belakang menjadi teman satu timnya. Dia juga mampu menggerakkan orang-orang yang ada dalam timnya bekerja keras untuk mencapai tujuan politiknya. Mungkin orang mau bekerja dalam timnya karena kansnya untuk menang besar tapi bisa jadi juga ada “kontrak kerja” setelah NUSA menang nantinya”. Sebagai sebuah tim, kubu NUSA didukung oleh ikatan solidaritas bersama anggota tim, tanpa melihat berbagai motivasi atau kepentingan individu lainnya. Meskipun kelompok kubu NUSA terdiri dari individu-individu yang memainkan peranan politik, namun tujuan kelompoklah yang menjadi tujuan utama dan didahulukan oleh individu. Kekuatan NUSA sebagai sebuah kelompok politik terletak pada instrumen-instrumen jaringan politik yang dapat digunakan untuk mendukung tercapainya tujuan kelompok politik ini. Latar belakang figur politik yang dibawa oleh Nur Alam dan Saleh Lasata memungkinkan beragam jaringan politik dapat digunakan. Nur Alam sebagai seorang politikus, ketua Partai Amanat Nasional sekaligus pengusaha memungkinkan penggunaan jaringan politik berdasarkan latar belakang tersebut. Jaringan partai, jaringan kelompok politik lebih khusus lagi jaringan dewan legislatif yang pernah diduduki oleh Nur Alam serta jaringan pengusaha dimana Nur Alam pernah menjadi ketua Gapensi Sultra menjadikan hubungan jaringan dapat terbangun lebih luas. Jaringan kepartaian yang digunakan sebagai basis kekuatan kelompok politik misalnya dengan menggerakkan anggota partai di setiap wilayah Kabupaten/Kota, Kecamatan hingga Desa atau Kelurahan untuk mendukung pergerakan politik pada pilgub Sultra 2007. Jaringan kepartaian yang terhubung hingga wilayah pedesaan dan kelurahan memungkinkan melihat potensi strategis yang ada di Kelurahan/Desa misalnya basis agama sebagai sumber kekuatan, kelompok pemuda atau potensi strategis lainnya. Jaringan pengusaha terutama digunakan untuk mendukung keuangan yang tidak sedikit dan digunakan selama masa pilgub berlangsung. Pembiayaan atas proses pilgub yang dihadapi seperti pembiayaan iklan televisi, baliho, stiker-stiker atau pembiayaan logistik dan akomodasi membutuhkan dana yang tidak sedikit. Perbedaan sistem politik dari pemilihan berdasarkan keputusan dewan legislatif menjadi pemilihan langsung oleh masyarakat menimbulkan pembengkakan
57
kebutuhan keungan dan pengeluaran selama pilgub berlangsung. Sistem politik dengan pemilihan dewan legislatif menempuh jalan tidak sesulit sistem saat ini. Dalam sistem pemilihan melalui dewan legislatif, figur yang ingin menjadi pemimpin cukup masuk ke dalam partai yang memiliki fraksi di dewan kemudian melakukan lobi-lobi politik beserta komitmen terhadap anggota dewan langsung mendapatkan hasil dengan pencalonan berdasarkan fraksi tersebut. Hal ini berbeda dengan sistem politik pemilihan yang digelar secara langsung. Figur harus melakukan pendekatan tidak saja terhadap partai politik yang memiliki kursi fraksi di dewan, tetapi juga harus mampu membangun kepercayaan masyarakat di seluruh wilayah yang akan memilihnya. Pendekatan terhadap dua kelompok politik tersebut tentunya membutuhkan dana dan biaya yang tidak sedikit ditambah lagi membutuhkan tim sukses dengan skema yang sempurna agar mendukung proses politik.
5.3.2 Formasi Etnis dalam Kubu NUSA Nur Alam yang dicitrakan sebagai anak desa yang ulet, berani, dan sangat percaya diri, dengan modalnya sebagai ketua DPW PAN dan Wakil DPRD Sultra, maju sebagai calon pemimpin masyarakat Sultra. Kemunculan Nur Alam sebagai sosok baru pemimpin masyarakat Sultra mulai terlihat pada tahun 2001 ketika beliau mengikuti suksesi walikota Kendari. Meskipun gagal dalam ajang Pilwali tersebut, Nur Alam muda sudah dapat memperlihatkan kemampuan politiknya. Dalam pilkada Sultra 2007, Nur Alam yang mewakili figur daratan tidak sendiri, Mashur Masie Abunawas (MMA) sekaligus lawan Nur Alam pada Pilwali 2001, juga ikut bertarung. Kedua figur ini sama-sama berkolaborasi dengan figur kepulauan, jika Nur Alam berkolaborasi dengan Saleh Lasata (mantan Bupati Muna), maka MMA berkolaborasi dengan Azhari figur muda yang berasal dari Mawasangka bagian kepulauan Buton. Dikotomis antara kepulauan versus daratan menjadikan pentingnya keterwakilan wilayah tersebut dalam setiap ajang politik khususnya dalam ajang pilgub Sultra 2007. Kehadiran Nur Alam sebagai motor penggerak kubu NUSA dapat dianggap sebagai keterwakilan masyarakat wilayah daratan dalam ajang
58
tersebut. Kehadiran figur yang mewakili calon Gubernur sering dianggap hanya sebagai pelengkap paling tidak mengisi kekosongan ruang politik yang tidak dimiliki figur utama (calon Gubernur) seperti sebagai sumber penarik massa wilayah tertentu dan sebagai figur yang melengkapi latar belakang sosok utama yang dinilai mampu mempengaruhi pola kepemimpinan yang akan dilaksanakan. Pentingnya
figur
utama
(calon
Gubernur)
dibandingkan
figur
pelengkapnya (calon Wakil Gubernur) menjadikan satu kubu dianggap mewakili masyarakat dari wilayah asal figur utama seperti yang terjadi pada kubu NUSA. Meskipun secara nyata kolaborasi antara dua kelompok etnis ada dalam kubu tersebut, namun masyarakat tetap melihat kehadiran kubu NUSA sebagai keterwakilan satu etnis saja. Ungkapan-ungkapan yang melihat kubu NUSA sebagai keterwakilan etnis daratan atau Tolaki tercermin dari ungkapan “kalau menang, pasti orang Tolaki yang paling banyak dapat kursi17”. Anggapan keterwakilan salah satu golongan masyarakat dari Gubernur yang akan memimpin Sultra juga tercermin ketika Gubernur periode 2002-2007 akan digelar. Ketika pemilihan dilangsungkan, terjadi aksi unjuk rasa yang dilakukan 200 anggota Forum Masyarakat Buton yang menuntut agar Gubernur Sultra terpilih adalah putra asli daerah Buton. Hal ini mencerminkan harapan masyarakat bahwa siapa yang menduduki kursi kepemimpinan Sultra akan membawa dampak positif terhadap kehidupan golongan etnis masyarakat yang sama dengan golongan etnis pemimpin. Anggapan terhadap keterwakilan masyarakat tertentu dari figur pemimpin yang dicalonkan tidak saja terjadi pada pilgub Sultra. Dengan kentalnya masalah dikotomis daratan versus kepulauan, masyarakat terbiasa dengan menggolongkan satu golongan etnis masyarakat dengan figur pemimpin. Hal ini misalnya terjadi ketika pemilihan rektor salah satu universitas terkemuka di Sultra terjadi. Naiknya rektor terpilih dari etnis kepulauan menjadikan terbentuknya anggapan
akan
susahnya perkembangan karir dari etnis daratan. Responden ibu AME (seorang dosen fakultas perikanan universitas di Sultra beretnis Tolaki) mengemukakan: 17 Komentar yang selalu dikeluarkan oleh beberapa responden dan Informan melalui wawancara.
59
“Kampus sebagai ajang politik bukan rahasia lagi. Apalagi sistemnya sudah dibentuk sedemikian rupa untuk memungkinkan etnis tertentu naik menduduki kursi penting di universitas. Saya ini hanya mengikuti saja. Tidak perduli dengan masalah etnis yang penting tugas dijalankan”. Anggapan terhadap keterwakilan salah satu golongan masyarakat dalam pencalonan figur utama (Gubernur) sebenarnya tidak sepenuhnya salah, sebab dengan tidak menyampingkan keberadaan figur pendamping, latar belakang nilai sosial yang tertanam dalam pribadi figur utama tentunya akan mempengaruhi pola kepemimpinan yang akan dijalankan dan secara langsung mempegaruhi sistem kehidupan masyarakat yang akan dipimpinnya. Ringkasnya, latar belakang pemimpin mempengaruhi kontrolnya terhadap lingkungan yang dipimpinnya. Weber telah menyatakan bahwa akar tindakan seseorang akan selalu dipengaruhi oleh motivasi psikologis, nilai kultural dan norma yang tertanam pada diri orang tersebut. Seperti misalnya nilai kulutural yang terkandung dalam diri Nur Alam setelah beliau dilantik menjadi Gubernur Sultra. Dua hari setelah dilantik menjadi Gubernur Sultra, Nur Alam kemudian melakukan tradisi Mosehe di cagar budaya makam raja Mekongga, Sangia Nibandera. Raja Mekongga ini ada juga yang menyebutnya sebagai Lakidende pahlawan yang namanya diabadikan melalui beragam tempat dan jalan penting di Sultra. Ritual adat mosehe yang dilakukan Nur Alam ini merupakan ritual bagi etnis Tolaki yang dianggap memiliki beberapa nilai berdimensi positif bagi kehidupan masyarakat Sultra secara umum seperti sebagai acara syukuran seperti yang dilakukan oleh Gubernur, sebagai acara tolak bala bencana dan juga sebagai acara bersama dalam upaya
menghilangkan
perbedaan,
permusuhan
yang
ditimbulkan
dari
keberagaman dalam masyarakat. Oleh karenanya, ritual adat Mosehe ini tidak saja ditujukan bagi keberhasilan Nur Alam menjabat sebagai Gubernur baru tetapi juga permintaan restu untuk memimpin seluruh masyarakat Sultra yang terdiri dari beraneka macam etnis serta nilai budaya. Ritual mosehe yang dilakukan Nur Alam menunjukkan bagaimana sosoknya sebagai individu membawa identitas etnis Tolakinya ke dalam kehidupan politik.
5.4
Ikhtisar
60
Bab ini khusus membahas mengenai keberadaan etnis Tolaki dalam perjalanan peta politik Sultra secara umum dan juga dalam menghadapi pertarungan politik selama pilkada Sultra 2007 berlangsung. Pembahasan ini dimaksudkan untuk mencari akar perilaku politik etnis Tolaki yang tentunya tidak saja dimulai pada saat pemilihan Gubernur berlangsung tetapi jauh telah ada sebelum suksesi Gubernur berlangsung. Bahasan kesejarahan mengenai pembentukan provinsi Sultra dimaksudkan untuk melihat bagaimana perjuangan etnis Tolaki dan juga etnis lainnya dalam upaya melahirkan provinsi Sultra yang berdiri sendiri. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa peta politik Sultra selalu memperlihatkan keterlibatan dua kelompok masyarakat yaitu masyarakat bagian daratan dengan masyarakat bagian kepulauan hal ini merupakan konsekuensi dari wilayah masyarakat Sultra yang meliputi wilayah daratan dan wilayah kepulauan. Perjalanan politik Sultra menggambarkan ketidak-seimbangan antara perwakilan masyarakat daratan dengan perwakilan masyarakat kepulauan. Peta politik Sultra selalu dimonopoli oleh hadirnya figur kepulauan pada kursi strategis kepemimpinan Sultra seperti kursi Gubernur. Masyarakat wilayah daratan adalah masyarakat dengan etnis Tolaki sebagai etnis dominan sedangkan etnis Muna dan Buton sebagai etnis yang mendominasi wilayah kepulauan. Meskipun bukan sebagai figur orang nomor satu Sultra, etnis Tolaki selalu melengkapi kursi kepemimpinan sebagai wakil Gubernur ataupun sebagai ketua DPRD Sultra atau berbagai kursi kepemimpinan lainnya. Dalam pilkada yang dilakukan tahun 2007, keterwakilan masyarakat etnis daratan digambarkan dengan hadirnya dua kubu politik yaitu kubu NUSA dan kubu MMA dimana figur pemimpinnya adalah figur beretnis Tolaki. NUSA sebagai obyek kajian dapat dipandang dari dua sisi berbeda yaitu NUSA sebagai kelompok politik dan NUSA sebagai keterwakilan masyarakat beretnis Tolaki. Sebagai sebuah kelompok politik, NUSA tidak mengenal batasan etnisitas. Kelompok ini menampung anggota dari berbagai latar belakang dengan satu tujuan bersama yaitu tujuan kelompok. Dengan kekuatan kelompok, memungkinkan kubu NUSA menggunakan berbagai jaringan kelompok baik
61
jaringan kepartaian, jaringan tim serta jaringan pengusaha yang merupakan latar belakang profesi Nur Alam sebagai figur Gubernurnya. Berbeda dengan tinjauan kelompok politik, NUSA juga dapat dikaji sebagai keterwakilan masyarakat beretnis Tolaki. Dari kajian ini, maka kubu NUSA dianggap sebuah kubu yang mewakili kepentingan masyarakat beretnis Tolaki karena Nur Alam sebagai figur Gubernur berasal dari etnis Tolaki dan diyakini nilai-nilai etnis Tolaki terinternalisasi dalam perilaku Nur Alam selain itu, NUSA sebagai keterwakilan etnis Tolaki diyakini membawa dampak terhadap kehidupan masyarakat beretnis Tolaki dibandingkan dengan masyarakat etnis lainnya. Sebagai sebuah keterwakilan etnisitas, NUSA dapat mengandalkan jaringan etnisitas serta orang-orang yang loyal terhadap etnisnya sebagai basis kekuatan dalam pilkada Sultra 2007. Pada bahasan selanjutnya, akan dijelaskan mengenai perilaku politik strategis yang dilakukan Nur Alam sebagai elit beretnis Tolaki terkait dengan upaya memobilisasi massa dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara. Aksi strategis ini ditunjukkan dengan optimalisasi berbagai aspek kekuatan politik. Selain itu, akan dikaji bagaimana konsistensi tujuan yang ingin dicapai elit beretnis Tolaki pada pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 dengan hasil yang telah dicapai.
VI. PERILAKU POLITIK ELIT BERETNIS TOLAKI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR SULTRA 2007
6.1 Motivasi Sosiogenik: Nilai Pentingnya Kepemimpinan Setiap tindakan sosial seseorang memiliki tujuan yang ingin dicapai begitu pula tindakan berpolitik para aktor politik beretnis Tolaki. Tindakan-tindakan
62
tersebut, selain diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu juga dilatarbelakangi oleh berbagai hal. Tindakan-tindakan berpolitik para aktor politik bertenis Tolaki secara umum menggambarkan latar belakang politik untuk mengatur kehidupan masyarakat Sulawesi Tenggara sebagai acuan untuk bertindak, namun secara khusus latar belakang politik ini mengandung nilai-nilai yang tertanam dalam pribadi aktor beretnis Tolaki. Secara garis besar, ada dua nilai yang terkandung dalam latar belakang berpolitik para aktor politik beretnis Tolaki yaitu; motivasi sosiogenik akan pentingnya suatu nilai kepemimpinan dan keinginan untuk kembali menghadirkan keteladanan dan kepemimpinan HaluOleo yang dianggap mampu mempersatukan masyarakat Sulawesi Tenggara di jamannya. Hal terakhir juga sekaligus diarahkan untuk memulihkan peran dan kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra yang selalu tidak mendominasi khususnya pada masa Orde Baru hingga masa sebelum pemilihan langsung. Para aktor politik beretnis Tolaki merupakan orang-orang yang hidup dan besar dilingkungannya sehingga perilakunya banyak dipengaruhi oleh beragam nilai-nilai yang berlaku dilingkungannya. Dalam bagian pendahuluan telah dijelaskan oleh Sarwono (1999) bahwa motivasi sosiogenik merupakan motifmotif yang timbul karena perkembangan individu dalam tatanan sosialnya dan terbentuk karena hubungan antar peribadi, hubungan antar kelompok atau nilainilai sosial, dan pranata-pranata. Secara konstitusional dasar kepemimpinan orang Tolaki bersumber dari ajaran adat, yang tercakup dalam kalo sebagai pu’uno o sara (adat pokok orang Tolaki). Kalo sebagai adat pokok adalah sumber dari segala adat-istiadat orang Tolaki yang terinternalisasi dalam semua aspek kehidupan mereka. Perilaku-perilaku politik para aktor politik beretnis Tolaki yang berlandaskan nilai-nilai kepemimpinan tradisional ditunjukkan dengan perilaku politik yang cenderung bersikap kekeluargaan, toleransi atas ide dan pendapat mengenai satu masalah politik. Keseluruhan nilai sosial kepemimpinan ini telah tertuang di dalam kalo sebagai acuan bertindak etnis Tolaki. Pada konteks pemilihan kepala daerah yang digelar 2 Desember 2007 lalu, perilaku-perilaku politik yang dilakukan para aktor beretnis Tolaki juga dilandaskan atas nilai-nilai kepemimpinan tradisional tersebut. Orang Tolaki
63
menganggap penting kedudukan pemimpin dimana pemimpin mampu membawa perubahan terhadap rakyat dan masyarakat yang dipimpinnya. Hal tersebut juga serupa dengan konsep Weber dimana elit politik merupakan bagian terpenting untuk membawa perubahan dalam masyaralat 18. Adapun tujuan kepemimpinan dalam masyarakat Tolaki yang terkandung dalam Kalo adalah mewujudkan masyarakat yang bersatu, makmur dan sejahtera (Tarimana, 1989). Orang Tolaki menggambarkan wujud masyarakat yang bersatu sebagai suatu masyarakat, dimana hubungan antara orang seorang, keluarga dengan keluarga dan golongan dengan golongan senantiasa terjalin suasana yang disebut medudulu (saling bersatu), mete’ alo alo (saling menanam budi), samaturu (saling ikut serta dalam usaha kepentingan bersama), mombeka pona-pona ako (saling harga menghargai), dan mombekamei-meiri’ako (saling kasih mengasihi). Mereka juga menggambarkan wujud masyarakat yang makmur melalui apa yang disebut suasana mondaweako (padi melimpah), kiniku nebanggona (banyak kerbau, ternak melimpah), olo waworaha (banyak kebun, tanaman jangka panjang), tapohiu o epe (banyak areal tanaman sagu), kadu mbinokono (cukup barang-barang, pakaian dan perhiasan), melaika’aha (mempunyai rumah yang besar), ndundu karandu tumotapa rarai (bunyi gong ditengah malam, tawa dan teriakan yang ramai dalam pesta). Sedangkan masyarakat yang sejahtera digambarkan oleh mereka melalui ungkapan-ungkapan yang berbunyi demikian : pohon pisang dan sejuk laksana sejuknya rumpun sagu), metotoro o loho mesuke ndaliawa (suasana hidup yang subur laksana suburnya pohon kedondong dan suasana kehidupan yang kokoh laksana kokohnya rumah yang ditopang oleh batang kayu yang hidup). Demikian nilai-nilai tradisional dalam pola kepemimpinan orang Tolaki yang masih dipegang teguh dan dijalankan hingga kini termasuk pula di dalamnya dalam perilaku-perilaku berpolitik ketika proses pemilihan kepala daerah berlangsung. Berikut kutipan informasi yang dikemukakan oleh informan beretnis Tolaki mengenai pentingnya nilai kepemimpinan orang Tolaki:
18
Lihat juga bagian Tinjauan Teoritis; teori elit politik Weber
64
“Bapak M.N Informan Tokoh Masyarakat etnis Tolaki: kami orang Tolaki menganggap penting pemimpin, karena pemimpin bagi kami itu seperti imam yang memimpin untuk bertindak”. Nilai-nilai kepemimpinan yang dimiliki orang Tolaki berdasarkan sumber adat Kalo, terinternalisasi dalam jiwa para aktor politik menjadi sumber motivasi yang selanjutnya membentuk sikap terhadap “apa yang seharusnya baik” dan “bagaimana mencapainya”. Pemimpin yang ideal bagi orang Tolaki adalah pemimpin yang sesuai dengan ajaran Kalo. Pemimpin yang ideal juga mampu mewujudkan tujuan kepemimpinan yang tertuang dalam Kalo. Hadirnya figur pemimpin non-etnis Tolaki selain membawa pola kepemimpinan berbeda juga dianggap tidak mewakili kesejahteraan masyarakat Tolaki. Oleh karenanya, harapan akan hadirnya pemimpin beretnis Tolaki menjadi satu komoditas politik penting dalam sistem pemilihan berdasarkan suara masyarakat. Nilai kepemimpinan dalam adat Kalo menganggap pemimpin beretnis Tolaki selain mampu membawahi masyarakat beretnis Tolaki, juga mampu menjadi pemimpin bagi masyarakat Sultra secara umum. Berikut penuturan informan bapak KSRN: “Bapak KSRN salah satu tim sukses dari kubu NUSA menyatakan: masyarakat kita adalah masyarakat yang majemuk, sukunya, etnisnya, bahasanya, nilai-nilai budayanya. Oleh karena itu seorang pemimpin yang ideal di lingkungan majemuk seperti ini adalah tipe pemimpin yang dapat mempersatukan kemajemukan itu tanpa menghilangkan nilai budaya serta adat-istiadat yang beranekaragam sebagai ciri khasnya. Nah untuk menyatukan kemajemukan itu langkah pertama yang paling mudah adalah mengangkat isu yang terjadi disetiap lingkungan masyarakat. Isu yang paling dekat dengan masyarakat saat ini adalah kemiskinan, pemerataan, pemerintahan yang bersih dan pelayanan masyarakat termasuk infrastruktur dan yang paling penting adalah ruang pembangunan untuk kebudayaan. Selain bersikap sensitif terhadap isu-isu dalam masyarakat kami juga menggap bahwa pemimpin yang ideal adalah seorang yang mampu memberikan tauladan bagi masyarakat, oleh karenanya kami berupaya menghadirkan sosok dan image pemimpin yang demikian.”
Perbedaan antara “bagaimana sosok pemimpin ideal” yang tertuang dalam ajaran Kalo dengan sosok pemimpin yang selama ini memimpin masyarakat Sultra termasuk juga masyarakat Tolaki menjadi pemicu untuk mewujudkan sosok pemimpin ideal yang tertanam dalam diri orang Tolaki. Pemimpin non-etnis
65
Tolaki tidak mampu mewujudkan kesejahteraan yang merata dalam setiap elemen masyarakat. Pemimpin non-etnis Tolaki hanya membawa dampak kesejahteraan bagi masyarakat etnisnya saja. Selain perbedaan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan di lapangan, nilai kepemimpinan dalam ajaran Kalo juga menjadi pemicu perilaku politik ketika figur politik merasa memiliki modal kepemimpinan seperti apa yang tertuang dalam ajarana Kalo. Kalo sebagai dasar tindakan orang Tolaki mensyaratkan bahwa pemimpin ideal harus mampu menyatukan perbedaan yang dinamis dalam masyarakat, baik hal pemikiran, perbuatan dan perasaan19. Ibu AMN, menyatakan bagaimana pentingnya menjadi pemimpin yang mampu mewadahi tidak saja masyarakat satu golongan tetapi juga masyarakat secara luas. Selain itu, pemimpin juga harus mampu mengakomodir kepentingan dari setiap elemen masyarakat tidak saja kepentingan satu golongan. Berikut penuturan informan: “Ibu Amn (seorang wanita yang menjadi tim sukses kubu NUSA pada masa pemilu 2007): masyarakat pasti membutuhkan perbaikan kehidupan dan mendambakan kesejahteraan. Aspek pembangunan sosial ekonomi juga menjadi sangat penting di samping agenda perbaikan pemerintahan. Saya selalu memberi masukan bahwa kami harus mengangkat isu-isu yang paling dekat dengan masyarakat dan tidak hanya itu, tetapi juga pelaksanaan riilnya diwaktu depan karena masyarakat kita sudah bosan dengan janji jadi semua agenda harus dipikirkan aplikasinya. Kami dalam tim sukses bekerja keras bukan hanya menginginkan kemenangan dari tim kami tetapi sebenarnya yang lebih utama adalah bagaimana kedepan pemimpin yang kami usung mampu menggiring kehidupan masyarakat Sulawesi Tenggara pada umumnya ke arah lebih baik. Saya individu percaya kekuatan pemimpin dibantu dengan tim-timnya yang solid mampu bekerja maksimal.” 6.1.1. Melahirkan Kembali HaluOleo HaloOleo bagi masyarakat Sulawesi Tenggara dikenal sebagai
sosok
pahlawan. Pengakuan terhadap HaloOleo sebagai pahlawan daerah Sulawesi Tenggara dapat dilihat dari penggunaan nama jalan, Universitas negeri dan berbagai penggunaan lainnya20. Bagi masyarakat yang beretnis Tolaki hal ini suatu kebanggaan, sebab HaluOleo diyakini merupakan pahlawan yang beretnis 19
Tulisan W. Patasik belum diterbitkan, sebagai bahan presentasi mengenai rekonsiliasi dalam budaya Tolaki.
20
Lihat juga Effendi, Rustam dalam Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun.
66
Tolaki. Kemampuan HaluOleo yang paling dibanggakan oleh masyarakat Sultra khususnya masyarakat beretnis Tolaki adalah kemampuannya menyatukan masyarakat Sulawesi Tenggara dan menjadi Raja ataupun Sultan di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara. Bagi masyarakat Sultra yang beretnis lainnya, suka ataupun tidak suka mereka harus mengakui keberadaan HaluOleo yang akan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Tercatat HaluOleo pernah menjadi panglima perang di kerajaan Konawe, Mekongga dan Morenene yang merupakan kerajaan beretnis Tolaki, kemudian menjadi Raja ke VII di kerajaan Muna dan terakhir menjadi Sultan Buton VI (Effendi, Rustam, 2004). Keteladanan terhadap sosok HaluOleo yang dianggap mampu menyatukan berbagai keragaman yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara merupakan sebuah harapan sekaligus mimpi yang ingin dicapai oleh para aktor politik beretnis Tolaki. Berikut pandangan aktor politik beretnis Tolaki terhadap sosok HaluOleo: “Suka ataupun tidak suka, masyarakat Sulawesi Tenggara secara umum harus menerima keberadaan HaluOleo sebagai pahlawan pemersatu Sultra. Meskipun banyak yang meragukan apakah Sultan atau Raja yang pernah menjabat di Muna dan Buton adalah HaluOleo, saya fikir banyak bukti yang dapat membenarkan bahkan hasil studi dan seminar nasional tentang HaluOleo yang ditandatangani oleh pemerintah dan pemuka politik dari berbagai kalangan etnis yang ada di Sulawesi Tenggara juga membenarkan hal tersebut. Bagi kami politikus dari etnis Tolaki bukan hal yang tidak mungkin untuk melahirkan kembali sosok HaluOleo di jaman millennium ini meskipun butuh upaya yang tidak sedikit mengingat saat ini masyarakat terlebih politikus juga masih sangat berpegang terhadap etnisnya, artinya masih menganggap etnisnya sebagai etnis paling baik sehingga pemimpin yang paling baik pun harus merupakan pemimpin yang berasal dari etnisnya. Apalagi kebijakan otonomi daerah yang semakin memberi dampak kewenangan full bagi pemerintah daerah sehingga kebanyakan yang terjadi pemimpin dari etnis tertentu berarati menjamin kedudukan anggota-anggota pemerintahan dan aktor politik dari etnis yang sama dan hal ini tidak dapat kita pungkiri masih sering terjadi (informan NRLN).” Secara umum, pada proses pemilihan gubernur tidak begitu nampak perilaku-perilaku politik yang bertujuan untuk melahirkan kembali sosok HaluOleo, namun hal ini mulai dapat disaksikan melalui kegiatan yang dilakukan ketika kubu NUSA dimana aktor politiknya beretnis Tolaki dan mampu
67
mengungguli pasangan yang lain. Saat ini, Gubernur telah menggagas kembali pengusulan HaluOleo sebagai pahlawan Nasional. Penggagasan ini dapat dikaji dalam dua hal; pertama, penggagasan HaluOleo sebagai pahlawan nasioanl disebabkan berbagai jasanya terhadap masyarakat Sultra, kedua penggagasan HaluOleo sebagai pahlawan Nasional juga merupakan upaya mengukuhkan anggapan dalam masyarakat bahwa aktor beretnis Tolaki mampu hadir sebagai pemimpin
sekaligus
pemersatu
masyarakat
Sulawesi
Tenggara
yang
beranekaragam budayanya. Masa kejayaan orang Tolaki yang ditunjukkan dengan kemampuan sosok pahlawan beretnis Tolaki (HaluOleo) menjadi raja di setiap wilayah Sultra dengan berbeda latar belakang, berangsur-angsur menurun ketika memasuki jaman pemerintahan modern terlebih jaman Orde Baru. Pemimpin masyarakat Sultra selalu dimonopoli oleh figur-figur kepulauan, sedangkan figur daratan hanya berada pada posisi kedua. Meraih kembali kejayaan etnis Tolaki dalam kancah politik Sultra menjadi motivasi penting perilaku elit politik beretnis Tolaki dalam mengoptimalisasikan setiap kekuatan politik untuk mencapai tujuan politik tersebut yaitu; melahirkan kembali sosok HaluOleo. Selain menggagas HaluOleo sebagai pahlawan Nasional, pengakuan terhadap kepemimpinan orang Tolaki pada masa sebelumnya ditunjukkan melalui kunjungan terhadap makam leluhur. Dua hari setelah gubernur yang baru telah dilantik, gubernur yang pertamakali dipilih secara langsung oleh masyarakat Sultra dan berasal dari etnis Tolaki tersebut langsung mengunjungi makam Lakidende, raja sekaligus nenek moyang orang Tolaki, didampingi oleh para anggotanya dan para pemuka adat. Tujuan dari prosesi kunjungan makam leluhur serta segala prosesi adatnya ditujukan untuk mengenang jasa dan upaya para leluhur membawa masyarakat Sultra ke arah lebih baik, selain itu juga ditujukan untuk menghormati apa yang telah dilakukan hingga saat ini dan mengambil nilai-nilai keteladanan. Gubernur yang baru menganggap perlu untuk meminta restu untuk memimpin masyarakat Sulawesi Tenggara saat ini dan hal ini dilakukan melalui prosesi kunjungan makam beserta prosesi lainnya yang dibimbing oleh pemuka adat Tolaki.
68
6.1.2 Masyarakat Tolaki dan Pemilihan Gubernur Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, pemilihan Gubernur Sultra berlangsung dengan sistem pemilihan langsung oleh masyarakat dalam bentuk satu pasangan calon. Pemilihan secara langsung ini melibatkan peran aktif masyarakat dalam menentukan pilihan kepala daerahnya, masyarakat memiliki suara mutlak menetukan pemenang pilkada. Meskipun figur beretnis Tolaki dalam tujuan politiknya membawa identitas etnisnya, hal ini tidak langsung menjadikan optimalisasi kekuatan politik bermain pada ikatan-ikatan solidaritas semata. Pertimbangan atas keberagaman masyarakat Sultra yang tersebar di dua wilayah berbeda dengan etnis yang berbeda pula menjadikan perlunya meninjau kembali keberagaman masyarakat tersebut sebagai pemilik suara. Berikut penuturan KSRN, informan dari kubu NUSA: “…memang banyak teori yang mengatakan basis kekerabatan dan semacamnya berperan dalam peroleh suara, tapi kasus pilgub Sultra ada keunikan. Semua kubu terdapat figur daratan jadi tidak mudah meperoleh suara dari masyarakat daratan, kalau tidak dimobilisasi dengan baik. Selain itu, pemilih dari wilayah kepulauan tidak sedikit jumlahnya, jadi harus menyusun strategi politik yang mampu mewadahi semua kepentingan masyarakat baik daratan maupun kepulauan”. Dalam proses pemilihan, masyarakat memiliki beragam faktor yang akan mendorong masyarakat untuk menentukan pilihannya. Konsep faktor rasional versus emosional Amin (2005) atau faktor ikatan solidaritas tradisional Soetarto dan Shohibuddin (2004) merupakan beragam faktor yang menjadi bahan petimbangan masyarakat dalam memilih. 1.
Faktor-faktor rasional Faktor-faktor rasional pemilih meliputi kemampuan intelektual, wawasan,
penguasaan, pengalaman pribadi, program kerja, visi dan misi. Secara kontekstual, dalam proses pemilihan Gubernur, beragam faktor ini menjadi landasan acuan menyusun aksi-aksi politik para elit politik. Konteks pemilihan kepala daerah Sultra memperlihatkan kecenderungan faktor rasional pemilih dalam menyusun program kerja dan visi misi yang ditawarkan kepada masyarakat.
69
Selain itu, kemampuan, pengalaman serta wawasan yang dimiliki para elit menjadi tawaran menarik yang diberikan. Para elit politik meyodorkan pengalaman-pengalaman pribadi dalam memimpin organisasi, pekerjaan yang sebelumnya digeluti, pengalaman pendidikan atau bahkan menyodorkan pengalaman memimpin seminar-seminar tertentu. Visi dan misi yang ditawarkan juga meliputi isu-isu yang strategis menjadi kebutuhan masyarakat. Hal menarik yang terjadi dalam konteks pemilihan Gubernur Sultra adalah menggunakan faktor-faktor emosional pemilih dengan bentuk-bentuk rasional. Hal ini terlihat pada penggunaan media kelompok pengajian masyarakat sebagai wadah pemberian bantuan atau santunan. Secara emosional, wadah kelompok pengajian merupakan satu bagian religiusitas masyarakat dimana wadah ini membangun keterikatan dan kedekatan terhadap tuhan dan mengandung beragam nilai dalam menjalankan kerukunan sosial. Di lain sisi, pemberian bantuan melalui wadah ini memberikan pesan rasionalitas dimana masyarakat akan selalu mengingat berbagai bentuk bantuan yang diberikan dan menimbang ingatan akan bantuan tersebut dalam menetukan pilihannya. Hal ini terkait dengan adanya rasionalitas pemilih menganai keuntungan yang didapatkan dalam menetukan pilihan. Gambaran lain yang menggambarkan penyatuan dua faktor pilihan masyarakat, faktor rasionalitas dan emosional, terlihat dalam upaya kubu NUSA sebagai fokus kajian dalam membangun pesan terhadap pemilih mengenai keunggulan-keunggulan rasionalitasnya. Kubu NUSA melalui tayangan adzan magrib yang ditayangkan setiap menjelang berbuka puasa dapat dikaji sebagai sebuah upaya membangun figur pemberi perhatian masyarakat, mengerti kebutuhan masyarakat dan memiliki beragam kemampuan dan keahlian seperti mampu menjadi pemimpin dan pembawa pesan keagamaan dimana dalam tayangan ditunjukkan dengan kemampaun memberikan ceramah dan siraman rohani. 2.
Faktor emosional Faktor-faktor emosional masyarakat seperti kedekatan ikatan solidaritas
lokal, tempat tinggal, kelompok etnis, figur
ketokohan, keturunan pasangan
70
calon, latar belakang organisasi keagamaan serta garis ideologis juga menjadi landasan para elit politik dalam melakukan beragam aksi strategis. Baron dan Byrne (2004) menyatakan bahwa emosi memiliki pengaruh langsung maupun tak langsung terhadap ketertarikan. Lebih lanjut dijelaskan keduanya, seseorang akan menyukai orang-orang yang membuat orang merasa baik dan tidak menyukai orang-orang yang membuat seseorang merasa buruk Dalam konteks pemiliahan Gubernur Sultra, NUSA melakukan pendekatan kepada masyarakat sebagai kelompok pemilih dari sudut kedekatan emosionalitas melalui beragam tindakan seperti menghadiri beragam acara-acara kelompok masyarakat, membangun kedekatan terhadap kelompok etnis pemuda, serta membangun figur ketokohan dengan beragam gambar yang memberikan pesan emosional calon “pemimpin gaul” tetapi berwibawa, sensitif terhadap kebutuhan masyarakat dan bergaul dengan semua lapisan masyarakat.
6.2
Optimalisasi Beragam Aspek Strategis Pilkada Kekhasan perilaku politik dari kubu NUSA dengan Nur Alam sebagai
figur penggeraknya adalah kemampuan mengoptimalisasikan beragam aspek strategis untuk mendapatkan kursi pemimpin masyarakat Sultra. Beragam latar belakang masyarakat sebagai pemilih menjadi pertimbangan atas optimalisasi aspek-aspek potensial pilkada. Selain itu, pertimbangan atas sisi rasionalitas serta emosionalitas masyarakat juga menjadi bagian penting dalam optimalisasi aspekaspek strategis. Aspek formal pilkada yaitu partai politik menjadi lebih penting peranannya ketika sistem pemilihan langsung tidak mengakomodir calon perseorangan. Sadar akan pentingnya peranan partai politik dalam pilkada Sultra, Nur Alam sebagai figur politik berupaya masuk dan mendominasi kontrol internal partai. Oleh karenanya, kinerja partai politik dengan jejaring keanggotaannya menjadi sumber kekuatan politik penting dalam pilgub Sultra 2007 lalu bagi kubu NUSA.
6.2.1
Pemanfaatan Kelompok Masyarakat
71
Dalam pola pemilihan umum dimana suara masyarakat menjadi kunci kemenangan pasangan yang maju dalam proses pilkada, setiap aktor politik menyadari pentingnya manarik minat masyarakat agar ikut memilih pasangan tertentu. Meskipun peran dari tim sukses juga menjadi sangat penting dimana kerja tim harus selalu memikirkan strategi yang dibangun dan digunakan untuk menarik massa, namun pada akhirnya suara massa (rakyat) juga lah yang mampu membawa kemenangan. Kelompok masyarakat adalah salah satu ruang politik penting dalam pilkada untuk mendekatkan figur pemimpin dengan masyarakat sebagai aktor pemilih. Pada pemilihan kepala daerah yang berlangsung pada tahun 2007 lalu, disadari para aktor politik suara rakyat memegang peranan paling kunci dalam pola pemilihan langsung oleh rakyat. Oleh karenanya menarik khalayak atau suara rakyat sebanyak-banyaknya merupakan keharusan mutlak untuk memenangkan kursi kepemimpinan. Berbagai jalan diupayakan agar khalayak mampu tertarik kepada pasangan calon yang diusung, salah satunya adalah penggunaan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat karena diyakini kelompok masyarakat ini mampu menjadi jalan dan sekaligus media komunikasi politik berbagai kepentingan politik masa pemilihan. Berbagai organisasi dan kelompok perhimpinan masyarakat ada di tengahtengah masyarakat namun demikian dirasa tidak semua dari perhimpunan tersebut efektif dijadikan media sekaligus alat untuk informasi politik. Kasus dari kubu NUSA yang mengikuti bursa pemilihan kepala daerah memilih dua bentuk kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap paling efektif menjadi media komunikasi politik dalam masyarakat. Kelompok massa tersebut dalam kelompok-kelompok pengajian yang ada hampir di seluruh daerah Sulawesi Tenggara dan kedua adalah perhimpunan pemuda Tolaki atau kelompok Tamalaki yang dianggap akan mampu menjadi media komunikasi politik bagi pemudapemuda beretnis Tolaki yang suaranya juga memegang peranan penting. Berikut kutipan informasi yang diberikan oleh informan KSRN: “Dalam sistem pemilihan dimana pemimpin dipilih langsung oleh rakyat, kunci utama adalah suara dari rakyat. Untuk masuk dalam kehidupan masyarakat kami harus melawati pintu-pintu sebagai jalan pembuka, dan
72
kelompok-kelompok dalam masyarakat sebagai wadah penampung aspirasi maupun tempat berkumpulnya masyarakat salah satu pintu yang efektif untuk masuk ke dalam kehidupan masyarakat. Sulawesi Tenggara bukan daerah dengan satu sistem nilai yang sama, tetapi bahkan setiap wilayah bahkan kecamatan berbeda memiliki ciri nilai budaya berbeda. Oleh karenanya harus banyak metode utnuk membuka pintu masyarakat yang berbeda-beda itu. Pertama kami memilih kelompok pengajian. Mengapa kelompok pengajian?. Kelompok ini kami pilih atas dasar keberagaman nilai budaya dan berarti keberagaman pola fikir pula di masyarakat. Menurut hemat kami di setiap masyarakat baik etnis manapun pasti memiliki kelompok pengajian jika mayoritas masyarakat tersebut adalam masyarakat Muslim, dan masyarakat Sulawesi Tenggara memang mayoritas beragama Muslim. Oleh karenanya kelompok pengajian menjadi pintu yang paling mudah untuk memasuki masyarakat dari etnis manapun. Kedua, kelompok Tamalaki. Kelompok ini kami anggap sebagai wadah para pemuda etnis Tolaki yang paling memiliki ruang politik besar. Anggotanya kebanyakan adalah para mahasiswa beretnis Tolaki yang memiliki pemikiran-pemikiran progresif (Informan Bpk KSRN). Keterangan pemilihan kelompok masyarakat sebagai pintu masuk dalam kehidupan masyarakat yang dikemukakan informan kunci di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Effendi dalam Sitepu (2005)21 bahwa banyak aspek yang dapat ditransformasikan menjadi kekuatan politik baik dari aspek formal maupun aspek informal. Dalam kasus kubu NUSA aspek non-formal berupa kelompok pengajian digunakan menjadi salah satu penghimpunan kekuatan politik dalam hal ini massa pemilihan Gubernur. Kelompok pengajian dalam pemilihan Gubernur 2007 dianggap sangat strategis karena merupakan kelompok masyarakat yang paling banyak jumlahnya dan hampir ada di seluruh wilayah masyarakat manapun dan beretnis apapun. Berikut informasi yang diberikan informan KSRN: “Sebenarnya untuk bersilaturahmi kepada kelompok masyarakat seperti kelompok-kelompok pengajian yang ada dalam masyarakat bukan hanya ketika proses pilkada berlangsung, namun jauh sebelum itu kami sudah mulai mengadakan pertemuan-pertemuan, diundang sebagai pembicara ataupun memberikan sumbangan alakadarnya dengan mengusung nama partai ataupun perorangan (pasangan calon Gubernur) Informan: KSRN.”
21
Lihat juga bagian Pendekatan Perilaku Politik
73
Penggunaan kelompok masyarakat yang lain yaitu kelompok pemuda Tolaki atau Tamalaki. Kelompok ini dianggap paling efektif untuk menggalang massa yang berasal dari kalangan pemuda. Kalangan pemuda merupakan salah satu golongan massa yang mampu memberikan sumbangan suara dalam pemilihan pemilu. Di samping itu, dalam kampanye politik para massa dari golongan pemuda paling mudah untuk ikut berpartisipasi. Oleh karenanya kelompok pemuda menjadi penting peranannya dalam proses pemilihan kepala daerah. Saat ini tidak dapat dipungkiri suara pemuda menjadi lebih sering terdengan dalam berbagai kesempatan dan menyuarakan masalah-masalah tertentu. Golongan pemuda dianggap golongan yang paling progresif dan sensitif terhadap masalah-masalah yang kontraversial. Oleh karenanya menggalang golongan pemuda selain dapat menambah kekuatan massa, juga dianggap untuk dapat lebih dekat dari sosok progresif sekaligus menjauhkan dari kecamankecaman politik yang datang dari golongan pemuda itu sendiri. Tamalaki merupakan perkumpulan pemuda dan mahasiswa beretnis Tolaki. Perkumpulan ini sengaja dibentuk oleh para mahasiswa Tolaki untuk mempersatukan mereka dilingkungan wilayah kampus karena kebanyakan dari mereka datang dari daerah luar seperti Unaaha, Wawotobi, Kolaka dan Lasolo. Awalnya, perkumpulan ini lebih mengutamakan kegiatan olahraga seperti mengikuti pertandingan-pertandingan yang diadakan di Sulawesi Tenggara. Namun saat ini, perkumpulan ini menjadi semakin berkembang tidak saja dalam lingkup olah raga tetapi juga banyak menyoroti kinerja pemerintahan ataupun pihak Universitas melalui kegiatan demo dan orasi. Seperti misalnya ketika penelitian ini sedang berlangsung, Tamalaki sedang berorasi di gedung DPRD Sultra mengkritik kinerja DPRD. Informan Bpk. Hrm (pegawai DPRD Sultra) menyatakan bahwa orasi tersebut sudah berlangsung selama 2 hari. Dan mengganggu kinerja anggota dan pegawai DPRD Sultra. Kelompok pemuda dan mahasiswa Tolaki ini terkadang terlibat pertentangan dengan kelompok pemuda yang lain seperti kelompok pemuda dan mahasiswa “pulau” sebutan untuk pemuda dari wilayah kepulauan, dimana kelompok mahasiswa pulau ini mempersatukan para mahasiswa yang berasal dari
74
wilayah kepulauan Sultra seperti Muna dan Buton. Informan Jn (mahasiswa asal Muna) menuturkan: “sudah sering terjadi perkelahian antara anak Tamalaki dengan anak Pulau. Tidak jarang perkelahian ini memakan korban. Kadang karena masalah kecil langsung menjadi masalah besar. Mereka berani karena masingmasing punya kelompok. Perkelahiannya juga tidak main-main, mereka memakai senjata tajam seperti panah yang dibuat sendiri, linggis, samurai dan senjata tajam lainnya”. Selain itu, informan ibu Rml (masyarakat kampus) menyetakan bahwa adu otot bahkan culik-menculik sudah sering terjadi di wilayah kampus melibatkan antara kelompok Tamalaki dengan kelompok anak Pulau. “…sekarang kita tidak pernah tenang! Sedikit-sedikit ribut lagi, baru mereka bawa samurai, celurit, parang panjang, kita takut jadi lari masuk rumah saja. Kemarin ada lagi korban baru dibakar asramanya. Jangankan asrama orang, asrama saya juga mereka rusak padahal saya sudah tidak terima anak Tolaki karena jadi sasaran anak Pulau”. Karena gerakan kelompok Tamalaki ini pun, maka pasangan NUSA menurut informan ibu Rml menggunakan kelompok ini sebagai alat berpolitiknya. Informan menjelaskan bahwa ketika markas Tamalaki masih berada di belakang rumahnya, ia sering melihat N.A datang dan memberi bantuan dana kepada kelompok tersebut. “saya sering melihat N.A datang ke markas Tamalaki. Waktu itu beliau masih belum menjadi Gubernur, masih dalam proses pencalonan. Dari cerita-cerita anak kos, N.A itu sering memberi bantuan dana kepada kelompok Tamalaki” Informan tim sukses kubu NUSA membenarkan penggunaan kelompok Tamalaki dalam proses pilkada. Bpk. Ksrn menyatakan bahwa Tamalaki digunakan untuk menghimpun para pemuda karena pemuda dianggap juga memegang suara penting dalam pemilihan.
6.2.2
Media Massa Media massa saat ini memiliki peranan yang sangat penting kaitannya
dalam menyampaikan informasi kepada khalayak yang dituju. Dalam masa pemilihan Gubernur yang dipilih secara langsung oleh rakyat peranan media
75
massa juga menjadi sangat penting bahkan masyarakat luas terkadang tidak mengetahui latar belakang calon pemimpin tetapi hanya mengetahui rupa ataupun wajahnya dari surat kabar, baliho yang terpajang di berbagai lokasi strategis, spanduk-spanduk ataupun iklan televisi. Dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara 2007 setiap pasangan calon menggunakan media massa sebagai salah satu ruang berpolitiknya. Hal ini dikarenakan media massa dianggap ruang yang efektif selain itu mudah dijumpai oleh masyarakat sehingga pesan politik yang dibawa pun akan mudah sampai kepada sasaran dalam hal ini masyarakat sebagai pemilih. Media massa sebagai media atau ruang untuk berpolitik bermacam-macam jenisnya, namun dalam proses pilkada media massa yang biasanya dipilih adalah surat kabar, televisi, spanduk dan baliho-baliho serta radio. Secara umum media massa yang paling mudah dijumpai dalam memuat berita ataupun terkait dengan proses pilkada adalah media surat kabar, televisi dan baliho-baliho. Pada masa sebelum, sedang dan sesudah pemilihan media surat kabar selalu memuat beritaberita seputar pilkada, televisi lokal maupun nasional menayangkan iklan yang memuat berita-berita politik, sosok pasangan calon, visi misi yang di bawa serta kegiatan-kegiatan sosial pasangan calon kepala daerah dalam lingkungan masyarakat. Untuk kubu NUSA, tercatat lebih banyak menggunakan media massa sebagai salah satu ruang berpolitiknya. Untuk media televisi, kubu ini sampai menggunakan saluran televisi nasional sebagai saluran yang menayangkan pesan pilkadanya dimana saluran nasional dianggap saluran yang cukup komersial. Sedanglan kubu atau pasangan yang lain hanya menggunakan saluran lokal yang ada yaitu saluran Televisi Kendari atau TV Kendari dan saluran TVRI stasiun Kendari atau TVRI Lokal. Berikut informasi dari informan KSRN: “…memang saluran TV nasional lebih komersil dalam hal ini harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menayangkan iklan pilkada, tetapi dalam pemikiran efisien dan efektifitas, saluran TV nasional paling banyak ditonton oleh seluruh masyarakat tidak saja masyarakat dari Sulawesi Tenggara tetapi masyarakat Indonesia secara umum dari wilayah lain pun dapat menyaksikan iklan dan pesan-pesan pilkada yang kami ingin sampaikan, apalagi jika iklan pilkada tersebut ditayangkan pada jam-
76
jam tertentu dimana masyarakat paling banyak beraktivitas di dalam rumah da menyaksikan TV seperti jam-jam tertentu yang selalu menayangkan sinetron yang disukai ibu-ibu (KSRN, Informan dari kubu NUSA)”. Untuk saluran televisi lokal, para kubu ataupun pasangan calon kepala daerah berlomba-lomba menayangkan dirinya meskipun hanya berupa ucapan selamat berbuka puasa saja22. Pesan pilkada yang ditayangkan pada jam berbuka puasa ataupun pesan berbuka yang dilakukan oleh masing-masing calon kepala daerah sebagai ajang pengenalan diri terhadap khalayak merupakan jam atau waktu yang paling tepat mengingat pada waktu berbuka masyarakat paling banyak melihat tayangan televisi lokal untuk menanti bedug dan adzan magrib yang menandai berbukanya masyarakat setempat. Khusus untuk kubu NUSA, penggunaan media televisi lokal menjadi lebih efektif karena saluran televisi lokal yang menayangkan bedug dan adzan magrib berisi liputan kegiatan sosial yang dilakukan calon Gubernur di berbagai daerah dan wilayah di Sulawesi Tenggara. Hal ini semakin menambah poin kedekatan masyarakat dibanding dengan calon kepala daerah yang lain. “…memang kami sengaja merekam seluruh kegiatan-kegiatan sosial dan kemanusiaan yang pernah dilakukan oleh calon Gubernur ke dalam tayangan bedug dan adzan magrib untuk semakin mendekatkan masyarakat dengan sosok calon Gubernur yang kami usung selain itu juga kami ingin menambah simpatik dari berbagai kegiatan sosial dan kemanusiaan tersebut (KSRN)”. Penggunaan media komuikasi lainnya seperti baliho-baliho yang dipajang di berbagai lokasi strategis juga dilakukan oleh masing-masing pasangan calon. Namun dari empat pasangan calon kepala daerah, kubu NUSA merupakan calon yang paling mudah dijumpai baliho-baliho yang menggambarkan sosoknya dengan bermacam-macam karakter yang digambarkan. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan yang merupakan tim sukses dari kubu NUSA menyatakan bahwa penggunaan media baliho juga dinilai 22
Pada saat masa pilkada, khususnya pada bulan ramadhan
77
efektif karena dapat disaksikan oleh masyarakat yang selalu menggunakan sarana umum seperti jalan raya. Selain itu, penggunaan berbagai karakter tertentu dikatakan untuk semakin menambah minat masyarakat untuk mengenal sosok kepala daerah yang di usung sehingga memori ataupun ingtan masyarakat tergadap sosok kepala daerah semakin kuat. Penempatan baliho-baliho yang memuat gambar ataupun sosok kepala daerah juga menjadi sangat penting. Terdapat beberapa lokasi strategis tertentu yang selalu digunakan untuk menempatkan gambar-gambar calon kepala daerah tersebut. Lokasi yang dianggap paling strategis untuk penempatan baliho adalah lokasi-lokasi yang paling sering dilalui oleh masyarakat.
6.2.3
Optimalisasi Peranan Partai Politik Partai politik merupakan wadah politik dalam sistem politik Indonesia.
Partai politik secara formal dapat dilihat pada saat sistem kepartaian didasarkan pada Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 yang menyebutkan bahwa atas usul Badan Pekerja (BP) Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kepada pemerintah, agar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik (Sitepu, 2005). Masuknya partai-partai politik di parlemen menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat dicerminkan dari partisipasi politik oleh partai-partai politik dalam parlemen itu yang dinilai sangat tinggi. Namun demikian, partisipasi rakyat dalam partai politik sempat melemah terutama pada konfigurasi politik Orde Baru. Sistem politik Orde Baru yang bersifat otoriter-birokratik (OB) menghasilkan kebijakan berkaitan dengan kepartaian yang menciptakan sistem kepartaian ”Hegemonis Party Sistem” yang ditujukan pada Golkar. UU No.32 Tahun 2004 Pasal 59 kembali memberikan kewenangan kepada partai politik untuk menentukan bakal calon yang akan duduk di kursi parlemen, begitu pun keputusan calon yang akan menjadi figur pemimpin. Oleh karenanya tidak mengherankan para figur yang menginginkan kursi kepemimpinan mengejar dukungan dari partai politik. Seperti yang dilakukan oleh para figur yang
78
mencalonkan diri sebagai bakal calon Gubernur Sultra namun tidak memiliki partai politik. Di samping itu, figur yang memiliki partai juga tetap melakukan hal serupa. Melihat pentingnya peran partai politik dalam menyediakan kursi calon kepala daerah sekaligus mendukung kemengan melalui kerja sama anggota partai, Nur Alam sebagai figur daratan memasuki PAN sebagai salah satu partai besar di Sultra dan memegang dominasi penting dalam internal PAN. Kubu NUSA yang ”digawangi” oleh Nur Alam, dalam pilkada Sultra mendapat dukungan dari dua partai yaitu PAN yang merupakan partai yang diketuai oleh Nur Alam sendiri serta PBR. Salah satu bentuk kontrol Nur Alam sebagai ketua PAN adalah menginstruksi anggita PAN untuk mensukseskan pilkada 2007. Menghadapi suksesi Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra, Nur Alam sebagai ketua PAN yang terpilih secara aklamasi untuk memimpin partai selama periode 2005-2010 menghimbau jajaran pengurus PAN wilayah, kabupaten/kota, kecamatan sampai tingkat desa agar meningkatkan konsolidasi menghadapi pertarungan politik menuju pilkada 2007. Ketua PAN yang diemban Nur Alam ini menjadi modal dasar untuk menuju kursi Gubernur di bawah payung partai PAN. Selain kedudukan sebagai ketua PAN, soliditas partai juga menjadi aspek penting mendukung kemenangan dalam suksesi Gubernur. Ketua PAN kebupaten Bombana Masyurah Ladami (dikutip dari Suara Karya, 5 Desember 2005) menyatakan: ”Meningkat atau tidaknya perolehan suara dari masyarakat sangat ditentukan kerja keras pengurus dan kader partai. Tanggung jawab pengurus partai dan kader yang tersebar di seluruh wilayah Sultra sangat diharapkan, bukan hanya peran ketua partai”. Soliditas partai menjadi penting sebagai penentu keberhasilan figur yang dicalonkan. Hal ini terlihat ketika jajaran PAN memberikan jalan bagi Nur Alam untuk maju sebagai calon tunggal partai PAN menjadi calon Gubernur Sultra periode 2008-2013. Arbab Paproeka sebagai salah satu petinggi PAN lebih memilih menjadi Caleg DPR-RI di Jakarta agar suara PAN tidak terpecah. Berbeda dengan partai lain, misalnya partai GOLKAR. Calon Gubernur yang merupakan kader GOLKAR dalam pilgub Sultra ada dua figur yaitu Ali Mazi dan
79
Mashur Massie Abunawas. Tidak hanya dalam pilgub, tingkat soliditas rendah partai Golkar diperlihatkan dengan pertarungan jauh sebelum digelarnya suksesi calon Gubernur antara Ali Mazi dan Ridwan Bae yang juga menginkan maju dalam pigub Sultra 2007. Pernyataan-pernyataan Ridwan seputar kader GOLKAR yang maju dalam bursa pencalonan dari pintu GOLKAR, seperti keinginan bertarung melawan Ali Mazi, meskipun dengan membungkus ”mekanisme pemilihan calon Gubernur secara terbuka dan demokratis” di tubuh GOLKAR, dapat dilihat sebagai tingkat soliditas internal partai GOLKAR yang buruk, sebab sebelum pernyataan tersebut dikeluarkan telah ada keputusan melalui Rakerda Muna yang menetapkan bahwa Ali Mazi sebagai calon tunggal. Soliditas pengurus partai dalam hal resuffle dan penggantian anggota juga menjadi penting dalam menghadapi pertarungan politik pilkada Sultra. Partai GOLKAR dengan sistem ”bongkar-pasang” anggotanya menjadikan tingkat soliditas partai yang rendah karena sistem pergantian ini diwarnai dengan kekecewaan anggota yang terlepas dari jabatan pentngnya dalam partai. Berbeda dengan GOLKAR, PAN lebih selektif dalam sistem pergantian anggota. Terdapat beberapa alasan perpindahan dan proses resuffle yang terjadi dalam tubuh internal partai. Selain karena tawaran memperoleh jabatan baru dengan harapan politik yang lebih baik dan lebih mudah, trend pembelotan atau migrasi (perpindahan) pengurus dari partai lama ke partai yang baru, umumnya juga disebabkan: (1) pengurus partai tersebut mengalami situasi yang tidak menyenangkan di lingkungan internal partai lama asalnya, atau (2) pengurus partai tersebut merasa tidak dapat survive atau tidak dapat bersaing dengan pengurus lain dalam melakukan peran-peran politik internal maupun eksternal di partai asalnya. Di pihak lain, proses rekruitment pengurus atau anggota di kalangan partai baru, cenderung bersifat tidak selektif. Selain karena semakin sulitnya mendapatkan calon-calon pengurus/anggota baru yang berkualitas, fenomena rekruitmen pengurus yang tidak selektif juga karena partai-partai baru tersebut lebih memfokuskan diri pada upaya melengkapi prasyarat administrasi pengurus
80
guna meloloskan diri dalam tahap verifikasi syarat administrasi partai baru. Dengan kata lain, upaya meloloskan diri menjadi organisasi peserta pemilu (OPP), menjadi jauh lebih penting bagi parpol-parpol baru ketimbang upaya memperoleh komposisi pengurus/anggota yang lebih berkualitas. Sebagaimana terjadi di daerah lainnya di Indonesia, ramainya trend membentuk dan/atau menjadi pengurus partai politik baru di daerah ini, merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang membawa beberapa dampak positif maupun negatif bagi proses pendidikan politik rakyat. Dampak positif dari trend tersebut, diantaranya adalah23 : (1) tingkat partisipasi politik masyarakat semakin tinggi dengan terbukanya peluang yang cukup besar bagi masyarakat banyak untuk ikut mengaktualisikan peran-peran politiknya lewat partai politik, (2) intensitas dan frekwensi perhimpitan kepentingan antar kelompok di tataran supra-struktur politik yang biasanya cukup meresahkan banyak pihak, dapat semakin berkurang, serta (3) posisi tawar (bargaining power) masyarakat selaku konstituen dalam setiap event kompetisi politik formal, cenderung semakin tinggi dan menjadi lebih kuat dibandingkan dengan posisi tawar partai politik, sehingga prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dalam konteks perebutan kekuasaan, semakin dapat diwujudkan. Kecenderungan ini terutama terjadi oleh sebab, dalam sistem multi-partai, tidak ada lagi partai politik yang menjadi single majority (mayoritas tunggal) dalam sistem kekuasaan politik, sehingga pemerintah tidak lagi bisa dipengaruhi untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat pemilih. Di lain pihak, daya tawar atau kekuatan politik sebuah partai politik, justru sangat ditentukan oleh dukungan rakyat pemilih kepada partai politik itu. Adapun dampak negatif dari trend “gonta-ganti” partai atau trend membentuk dan/atau menjadi pengurus partai politik baru di atas, diantaranya adalah : (1) proses kaderisasi politik di setiap parpol, menjadi stagnan atau tidak berlangsung tuntas, sehingga sangat jarang para aktifis/pengurus parpol saat ini dapat disebut sebagai kader militan partai yang mampu tampil menjadi agen pembawa misi dan platform perjuangan partai, (2) kebanyakan pengurus parpol tidak lagi tertantang, terkondisi atau termotivasi oleh situasi internal partai untuk 23
Dikutip dalam artiker “Mentalitas Opportunis dan Sistem Multi Partai “(Anonimous).
81
membangun kemampuan, kreatifitas politik dan jiwa bertarung sebagai caloncalon pemimpin politik di masa depan. Dengan kata lain, partai politik saat ini tidak lagi berfungsi sebagai “perguruan politik” untuk mendidik para pengurusnya menjadi calon-calon pemimpin handal di kemudian hari. Keadaan demikian terutama karena mobilitas vertikal para pengurus partai yang tidak lagi dapat berlangsung lama dan sistematik. Banyaknya pilihan partai yang ada dengan segenap harapan dan iming-iming jabatan yang lebih mudah diraih dan dinilai lebih menjanjikan, membuat para pengurus partai tidak lagi betah atau bertahan lama untuk membina karir politiknya secara konsisten di sebuah partai, serta (3) oleh karena memiliki komposisi pengurus yang lemah, tidak kreatif dan tidak teruji, maka daya tawar (bargaining power) partai politik terhadap kelompokkelompok penekan (pressure group) di tingkat eksternal partai, utamanya terhadap lembaga eksekutif dan yudikatif, menjadi sangat lemah. Kekuatankekuatan eksternal dengan posisi tawar yang lebih kuat tersebut, bahkan cenderung “mendikte” dinamika internal partai dan anggota parlemen. Pemilihan figur pemimpin juga menjadi penentu siapa saja calon yang terpilih menjadi kandidat pemimpin di bawah payung partai. Seperti yang terjadi dalam tubuh GOLKAR dalam menghadapi pilkada 2002. Hino Biohanis sebagai ketua DPD partai GOLKAR hanya sedikit mendapat dukungan dari anggota partai yang memilih fugur Ali Mazi yang dijagokan menjadi Gubernur Sultra 20022007. Fraksi GOLKAR lebih menginginkan figur muda sebagai sebagai Gubernur yang diwakili oleh Ali Mazi ketimbang memilih figur yang lamban dalam mengambil keputusan sebagai gambaran dari sosok Hino. Serupa dengan fraksi GOLKAR, PAN juga memfilter figur yang akan dicalonkannya seperti figur yang memiliki loyalitas, dedikasi terhadap partai, mau berkorban waktu, tenaga, pikiran dan material demi kemajuan partai. Dominasi satu partai yang hampir mengisi seluruh kursi strategis pemerintahan sbelumnya menjadikan partai PAN sebagai partai pembaharu memiliki tekad untuk mencari figur pemimpin yang berbeda dengan pemimpin di era sebelumnya. Anggota PAN Sultra mengatakan: “Rakyat harus merasa berbeda jika dipimpin oleh kader PAN. Harus ada bedanya dengan pemimpin-pemimpin di masa lalu, yang birokratis, jauh
82
dari rakyat dan minta dilayani. Kader PAN yang memimpin daerah harus merakyat dan melayani rakyat. Jangan sebaliknya merasa menjadi raja sehingga meminta dilayani rakyat”(KSRN). Pentingnya peranan partai politik dalam proses pemilihan kepala daerah maupun presiden menjadikan setiap figur mengejar dan “mengemis” dukungan dari berbegai partai politik. Seperti yang terjadi pada calon Gubernur Mashur Masie yang ikut dalam pilkada dengan “menunggangi” parpol lain karena partainya (Golkar) telah menetapkan Ali Mazi sebagai figur partai. Dalam pencarian atas dukungan partai politik ini, Eka Suaib24 menyatakan bahwa: “Partai politik cenderung berfungsi tidak lebih dari sekedar makelar bagi tokoh-tokoh non-partisan yang mengejar jabatan dan kedudukan politik. Pada sisi lain, parpol belum mampu membangun dirinya sebagai sumber rekruitmen calon pemimpin lokal maupun nasional”. Dalam pernyataan tersebut, Eka juga menambahkan bahwa parpol nyaris berfungsi sebagai institusi ekonomi. Dalam hal ini, partai mencari figur berdasarkan kekuatan pasar. Tokoh yang mempunyai uang lebih berpeluang untuk diusung sebagai calon kepala daerah. Hal ini terlihat dari pernyataan “siapa yang kuat secara ekonomi, terbukti dia lebih mudah mendapatkan pintu partai untuk ikut pilkada”. PKS sebagai salah satu partai alternatif yang menduduki kursi parlemen Sultra, ikut menjadi sasaran figur politik untuk dijadikan basis kekuatan dalam pilkada. PKS Sultra yang sebelumnya telah sukses membawa figurnya bersama beberapa partai koalisi memenangkan Pilwali Kota Kendari, diyakini mampu menjadi basis payung politik dalam pilkada Sultra. Dalam Pilgub Sultra terdapat empat calon Gubernur yang melamar secara administrasi ke kantor PKS Sultra yaitu Yusran Silondae, Mahmud Hamundu, MMA, La Ode Ida dan Nur Alam. Figur PKS juga ditentukan dimana kriteria sebagai calon figur PKS yakni kredibilitas calon, dukungan serta basis massa serta daerah asal calon, kejelasan pintu partai yang digunakan figur serta financial yang dimiliki calon dalam 24
Pengamat politik dari Universitas HaluOleo dalam artikelnya di koran Kompas Kendari, 11 Desember 2008.
83
memenangkan pertarungan. Meskipun pada akhirnya, partai ini memilih kubu AZIMAD sebagai figur yang akan dipayungi oleh PKS. Jaringan politik kubu NUSA dapat dilihat melalui partai yang menaunginya dalam pibgub Sultra yaitu PAN. Semua kader PAN di setiap kabupaten dan Kota menjadi ujung tombak figur Nur Alam dalam upaya menarik simpatisan masyarakat setempat. Seperti misalnya ketua DPC PAN Kabupaten Buton, Samsu Umar Samiun yang menjadi ujung tombak kampanye pasangan NUSA di kota Bau-Bau. Di kota Bau-Bau, Umar dibantu Arbab Paproeka (sekertaris PAN) serta Drs. Djabar Hibali maju sebagai juru kampanye NUSA. Hal ini juga seperti yang terjadi di Kabupaten Bombana oleh ketua PAN kabupaten Bombana Masyurah Ladami. Berbeda dengan kubu NUSA yang mengandalkan jaringan partai lokal, kubu AZIMAD lebih memilih mengandalkan jaringan partai nasional dengan mendatangkan orang-orang pusat seperti Rully Chairul Tandjung, Aksa Mahmud, Tadjuddin Noer Said serta anggota partai pusat lainnya untuk mengembalikan citranya sebagai pemimpin partai daerah lepas dari perkara HGB Hilton. Namun demikian, strategi partai politik ini dinilai tidak efektif karena tidak menyentuh rakyat bawah serta rakyat tidak mengenal sosok pusat yang dianggap tidak ada kaitannya dengan masyarakat daerah. Selain itu, soliditas partai Golkar terlihat rendah ketika anggota partai daerah tidak memainkan peran strategisnya di daerah ketika Ali Mazi sebagai ketua partai terlibat masalah di pusat dan harus menetap sementara waktu di Jakarta. Koordinasi dengan anggota partai di daerah menjadi kurang dan anggota partai terlihat diam tanpa aksi selain menunggu Ali Mazi kembali. 6.2.4 Optimalisasi Peranan Figur Politik Peranan figur aktor politik dalam kancah politik lokal maupun nasional tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu hal penting, bahkan dapat dikatakan paling penting dalam sistem politik Indonesia saat ini. Pentingnya figur aktor politik bagi pilihan masyarakat menjadikan perilaku untuk mewujudkan pencitraan positif terhadap sosok figur menjadi marak dilakukan ketika proses pilkada berlangsung. Bahkan jauh sebelum pilkada digelar, figur yang
84
memastikan akan ikut dalam arena politik tersebut berupaya sedini mungkin membangun pencitraan dan figur positif di tengah masyarakat. Bagi kubu NUSA, Nur Alam sebagai calon Gubernur telah memulai ”unjuk kebolehan” disaat suksesi Walikota Kendari 2001 digelar. Figur pengusaha-politikus muda yang berani melawan tokoh senior Sultra terlihat pada diri Nur Alam. Meskipun pada akhirnya kalah bertarung, jiwa kepemimpinan Nur Alam mulai terlihat pada waktu itu. Figur Nur Alam Sebagai motor penggerak tim NUSA juga telah terlihat ketika beliau masih menjabat sebagai wakil DPRD Sultra. Beliau sering mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang, dari aksi-aksi kritis ini Nur Alam digambarkan sebagai sosok politik yang kritis, jujur dan tidak mudah termakan ajakan aktor lain untuk melakukan tindakan menyimpang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat Sultra. Informan KSND menuturkan bahwa sosok Nur Alam dikenal sebagai figur yang berani, kritis tetapi sensitif terhadap kepentingan masyarakat. Kemampuan Nur Alam mengelola figur politiknya menjadi sebuah pencitraan positif di masyarakat dan menjadi penilaian masyarakat dalam menetukan keputusan politiknya. Berikut penuturan informan KSND: ”bercermin dari kesuksesan SBY dalam mengolah figur politiknya pada pemilu 2004 lalu, Nur Alam mencoba hal yang sama. Pada dasarnya masyarakat kita memang menjadikan figur ketokohan sebagai salah satu pertimbangan politiknya. Makanya kemampuan figur politik untuk mengelola figur apa yang ideal dalam masyarakat menjadi penting. Seperti yang dilakukan oleh Nur Alam, beliau membaca figur seperti apa saja yang diinginkan masyarakat”. Krasner dalam Gibbs (1982) mengemukakan bagaimana memodifikasi tingkah laku manusia menjadi satu hal yang mampu merubah nilai yang ada sehingga merubah sikap terhadap sesuatu. Lanjut dikemukakan oleh Krasner, modifikasi tingkah laku dalam bidang politik seperti melempar propaganda melalui media massa untuk mempengaruhi masyarakat. Masyarakat terkadang tidak menyadari bahwa ia sedang berada dalam kontrol sosial melalui pengaruhpengaruh propaganda tersebut. Pembentukan figur politik melalui beragam media
85
massa menjadi salah satu bentuk kontrol sosial yang diberikan oleh figur politik untuk menyentuh sisi psikologis masyarakat. Selain menyajikan figur yang diharapkan masyarakat, melalui media massa, masyarakat tanpa sadar dipaksa untuk menerima bagaimana figur yang seharusnya menjadi pilihan mereka. Nur Alam sebagai aktor politik memanfaatkan sisi psikologis masyarakat ini untuk menarik suara dari masyarakat. Selain melalui media massa, terdapat upaya lain oleh Nur Alam sebagai aktor politik untuk membentuk figur politiknya. Pada awal pemerintahan Ali Mazi, Nur Alam telah menunjukkan aksi kritisnya ketika kebijakan Gubernur baru akan mengubah lambang atau logo daerah Sultra. Menurut Nur Alam, logo daerah Sultra yaitu binatang Anoa dikatakan merupakan lambang yang sangat mudah untuk memperkenalkan provinsi ini di mata daerah lain, sebab Anoa merupakan satwa khas Sultra. Selain itu, Nur Alam lebih tertarik untuk melihat aksi pembenahan dan pembangunan Gubernur baru yang telah menjajikan peningkatam iklim investasi Sultra senilai 52 triliun dalam waktu lima tahun yang dimuat dalam visi dan misi gubernur baru saat itu. Kritik Nur Alam ini dapat lebih lanjut dikaji dalam peranannya pula sebagai bagian dari pengusaha yang ada di daerah Sultra. Berbagai cara dilakukan aktor politik yang memastikan akan ikut dalam pesta demokrasi lokal seperti pilkada Sultra. Nur Alam sebagai aktor politik telah memulai pembentukan dan pengenalan figur dalam masyarakat lokal jauh sebelum dilangsungkannya pilkada Sultra. Menyangkut aksi pengenalan kepada masyarakat Nur Alam menyatakan25: ” Satu hal yang saya lakukan dan tidak dilakukan oleh calon lain adalah sejak tiga tahun lalu, saya memang keliling di 1997 Desa. Baik yang sulit dijangkau maupun yang mudah. Semua desa itu saya datangi untuk menyelami dan memahami kehidupan dan keadaan masyarakatnya. Ini saya lakukan secara sistematis selama tiga tahun. Kebetulan tugas saya juga sebagai wakil ketua DPRD. Kemudian, tentu saya harus sanggup memperjuangkan isu-isu populis seperti yang saya kemukakan (sekolah dan kesehatan gratis) sesuai dengan fakta yang dibutuhkan oleh masyarakat.
25
Kendari Ekspres, Kamis 14 Februari 2008
86
Aksi keliling desa Nur Alam untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat juga dikemukakan oleh informan KSND. Sebagai wartawan, dirinya sering diajak oleh Nur Alam untuk ikut dalam aksi keliling desa tersebut. Berikut penuturan informan: ” Saya juga sering diajak beliau (Nur Alam) untuk ikut dalam rombongan keliling kampung. Waktu itu beliau masih menjadi anggota dewan. Dilapangan beliau juga sering berdiskusi dan tukar pikiran dengan warga”. Membangun figur bagi kubu NUSA tidak saja dilakukan kepada masyarakat sebagai pemilih, namun figur pemimpin yang menghormati pihak lain tidak terkecuali lawan politik juga berupaya ditunjukkan oleh kubu ini. Terkait hal ini, informan menuturkan: ”biarlah masyarakat yang akan melihat dan membandingkan, mana figur yang layak menjadi pemimpin dan mana figur yang hanya mengejar kepentingannya (KSRN, tim suskses NUSA) ”. Hal ini dikemukakan untuk menggambarkan NUSA yang selalu menghargai sikap calon pemimpin lain. Hal ini terlihat ketika kampanye perdana digelar oleh KPU Sultra. Pasangan Nur Alam dan Saleh Lasata dengan dukungan simpatisannya menyampaikan orasi dan yel-yelnya dengan terlebih dulu menyapa pasangan lain yang menjadi lawan politiknya. Berikut kutipan sapaan Nur Alam dalam kampanye perdana: ”Yang saya hormati, guru saya H. Mahmud Hamundu, yang saya cintai kakanda saya H. Mashur Massie Abunawas dan yang saya sayangi saudara saya Ali Mazi26”. Figur jauh dari kesan serakah terhadap jatah fasilitas pemerintahan, juga berusaha ditunjukkan oleh Nur Alam dengan mengembalikan asset daerah yang dipakainya saat menjabat Wakil Ketua DPRD periode 2004-2009 kepada pemerintah daerah yang diwakili Sekretaris DPRD Sultra Drs. Iskandar. Penyerahan asset daerah tersebut setelah Nur Alam menyatakan mengundurkan diri secara resmi sebagai unsur pimpinan DPRD Sultra sejak 31 Juli 2007. Asset yang diserahkan tersebut yakni dua unit mobil Ford Everest dan Kijang Krista. 26
Dikutip dari Kendari Ekspres, Rabu, 14 November 2007.
87
Selain itu, Nur Alam juga menyerahkan laptop dan televisi kepunyaan Pemda Sultra. Nur Alam juga merupakan sosok pemimpin yang mampu memberikan jawaban dan solusi bagi setiap masalah dan pertanyaan politik yang datang kepadanya. Sikap tenang Nur Alam dalam menghadapi emosi massa terlihat dalam tindakan Gubernur menghadapi massa pada awal pemerintahannya. Massa dari Koalisi Masyarakat Buton Utara Bersatu (KMBUB) yang menuntut atas kebijakan pejabat sementara Buton Utara. Dalam menjawab tuntutan massa, Nur Alam yang baru dilantik langsung memberikan penjelasan secara detil mengenai tuntutan tersebut. Hal serupa juga terlihat ketika Nur Alam menghadapi massa yang mengaku sebagai perwakilan masyarakat Muna yang menuntut atas kebijakan Nur Alam mengenai APBD yang dibagikan pada setiap Kabupaten dan Kota. Pemilihan figur pendamping Gubernur yakni calon Wakil Gubernur juga merupakan satu strategi yang harus diyakini sebagai penarik massa. Seperti yang terlihat pada pipres tahun 2004, SBY sebagai figur TNI yang tegas dalam mengambil keputusan dan beretnis Jawa, memilih JK sebagai wakilnya yang dinilai strategis untuk mengimbanginya. JK dinilai mampu menarik simpatisan dari wilayah Timur Indonesia karena beretnis Bugis. Selain itu, JK yang berlatar belakang pengusaha handal dinilai mampu menyeimbangi sikap tegas dan otoriter yang dilekatkan pada TNI dengan sikap yang lebih sosialis. Kubu NUSA pun demikian. Pemilihan atas Saleh Lasata sebagai calon wakil Gubernur yang mendampingi Nur Alam dinilai strategis karena latar belakang etnis kepulauan yaitu Muna sehingga mampu menyeimbangi Nur Alam yang beretnis Tolaki (daratan). Selain itu, Saleh Lasata yang merupakan mantan Bupati Muna dinilai sebagai pasangan tepat untuk menarik simpatisan asal kepulauan karena figurnya yang tidak asing lagi bagi masyarakat wilayah kepulauan. Berbeda dengan pasangan AZIMAD. Ali Mazi dinilai salah memilih pasangan politik yakni Abd. Samad karena figur ketokohannya tidak mampu mewakili masyarakat Tolaki secara luas. Abd. Samad secara ketokohan belum
88
sampai pada masyarakat Kolaka apalagi Kolaka Utara. Jika harus menarik simpatisan dari masyarakat Tolaki bukan berarti harus mengambil pasangan dari etnis Tolaki, kalaupun harus dilakukan harus yang memiliki figur ketokohan yang kapabel. Berbeda dengan Nur Alam yang mampu memasuki sisi humanis komunitas masyarakat Bugis-Makassar. Secara menyeluruh, gambaran figur politik Nur Alam terlihat pada perjalanan politiknya yang menggambarkan perjuangan. Diawali dengan menjadi sekretaris DPW PAN Sultra kemudian menjabat sebagai Ketua PAN Sultra, juga menjadi Wakil Ketua DPRD Sultra dan gagal menjadi Walikota Kendari, membuat Nur Alam menjadi figur yang pantang menyerah dalam kancah politik. Berbeda dengan keberadaan Ali Mazi sebagai Gubernur Sultra 2002-2007. Secara mengejutkan Ali Mazi yang sebelumnya berdomisili di Jakarta, tiba-tiba datang merebut suara dewan untuk memilihnya menjadi Gubernur mengalahkan Hino Biohanis yang merupakan tokoh senior dan Adel Berty. Meskipun dengan tudingan money politic kekuatan Ali Mazi tidak terkalahkan. Cukup masuk ke dalam partai yang memiliki fraksi di DPRD Sultra dan menjalankan lobi politik serta komitmen politik, maka jadilah Ali Mazi sebagai Gubernur Sultra. Berikut kutipan dari informan H.S: ”Sepak terjang Ali Mazi dalam merebut kursi Gubernur Sultra periode 2002 lalu kurang mendapatkan simpatik karena perjalanan politiknya di Sultra belum banyak pada waktu itu sampai akhirnya dia menjadi Gubernur mengalahkan figur-figur yang lebih dikenal dalam peta politik Sultra. Apalagi kemenangannya dituding karena adanya money politic. Berbeda dengan Nur Alam. Dia bermain dalam peta politik lokal, jadi ketika pemilihan dilangsungkan dengan masyarakat lokal sebagai pemilihnya, basis kekuatannya juga sudah ada”. 6.3
Kemenangan Gubernur Sultra Periode 2008-2013 Serta Signifikansi Etnis Tolaki dalam Pemenangan Kubu NUSA Dasar perilaku manusia adalah adanya motivasi dan tujuan (M. Sherif dan
C.W. Sherif). Perilaku para aktor beretnis Tolaki pun demikian, memiliki sumber sebagai dasar-dasar bertindak dan memiliki tujuan-tujuan sebagai harapan atas beragam tindakan yang dilakukan. Melalui beragam motif dan tujuan, perilaku
89
dilakukan dengan menggunakan beragam kekuatan politik (dalam konteks pemilihan Gubernur Sultra). Telah dijelaskan sebelumnya mengenai beragam aksi-aksi politik dengan menggunakan ruang dan kekuatan politik untuk mencapai hasil yang diinginkan yaitu keluar sebagai pemenang dalam proses pemilihan kepala daerah Sultra periode selanjutnya. Beragam aksi yang dilakukan selalu mempertimbangkan faktor rasional dan emosional pemilih sebagai dasar pemilih untuk menentukan pilihannya. Selain itu menggalang kekuatan dari tim juga dilakukan sebagai sumber kekuatan bertindak menghadapi masyarakat sebagai bagian paling penting, pasangan calon lain sebagai kelompok saingan politik serta menghadapi berbagai sistem dan pola pemilihan. Pada akhirnya kursi Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013 merupakan hasil akhir yang ingin dicapai dan juga diikuti oleh serangkaian harapan lain yang selanjutnya ingin diwujudkan dalam masa pemilihan kepala daerah. Pertanyaan kritis yang timbul dari pencapaian ini adalah: apakah aktor politik dalam hal ini Nur Alam yang menggawangi kubu NUSA masih konsisten terhadap tujuan politik yang ingi diraih ataukah kemenangan dalam pilgub Sultra melarutkannya ke dalam situasi pesta kemenangan dan melupakan tujuan politiknya. Jika kembali pada tujuan politik yang sebelumnya ditetapkan, maka kemenangan dalam pilkada 2007 merupakan sebuah kesempatan bagi para aktor politik beretnis Tolaki untuk menunjukkan kemampuan politiknya khususnya dalam mengatur kehidupan masyarakat dan pembangunan Sultra serta memegang peran-peran strategis di Sultra. Hal paling pokok ketika membicarakan kesempatan memimpin ini adalah bagaimana bentuk aksi politik langsung yang dilakukan para elit politik untuk melanggengkan kedudukan strategis yang diraih serta memperluas jaringan politik dalam upaya mendukung kelangsungan kedudukan strategis yang dicapai. Revitalisasi organisasi pemerintahan merupakan satu bentuk upaya langsung pemerintahan baru untuk me-refresh anggota birokrasi sebagai upaya mewujugkan profesionalisme pelayanan masyarakat. Revitalisasi ini juga terjadi
90
ketika Gubernur baru mulai menjabat dan melakukan kegiatan pemerintahannya. Lebih lanjut, revitalisasi organisasi pemerintahan dapat diartikan sebagai upaya menempatkan kawan-kawan politik ke dalam peran-peran strategis terkait upaya melanggengkan tujuan politik yang telah diraih. Hal yang sama juga terjadi pada Nur Alam ketika berhasil menjabat sebagai orang nomor satu di Sultra. Berdasarkan hasil penelitian, revitalisasi pemerintahan ini langsung dilakukan Gubernur dengan mengganti para pejabat strategis yang dipandang layak dan tidak layak untuk memberikan pelayanan secara profesional terhadap masyarakat. Informan Bapak YHY memberikan informasi mengenai kondisi dan situasi politik pasca terpilihnya gubernur baru. Informasi yang diberikan tersebut menyangkut pelantikan pejabat tinggi pemerintahan daerah Sultra. Berikut kutipan langsung informasi bapak YHY: “Beberapa hari setelah gubernur baru ditetapkan dan dilantik, jajaran pejabat tinggi langsung mrngalami perombakan. Sebagai contoh, ketua lingkungan hidup Sulawesi tenggara bapak Edi yang juga merupakan orang ring satu bapak N.A (informan memberikan istilah: pemegang tas hitam bapak N.A), langsung dilantik sebagai kepala biro.” Selanjutnya bapak Yahya juga memberikan contoh lain yaitu pejabat kabupaten kolaka yang juga merupakan tim sukses dari bapak Nur Alam, tanpa mengikuti prosedur yang seharusnya berlaku dimana pejabat yang akan dilantik dari kabupaten pindah ke Provinsi tingkat I harus memiliki surat pindah. Namun demikian, pelantikan pejabat tersebut tidak melalui prosedur dan langsung dilantik begitu saja sebagai bentuk kebijakan baru dari gubernur. Sampai saat ini, kebijakan baru tersebut belum ada yang mampu melawan atau memberi keberatan. Selain sebagai anggota tim sukses, kebanyakan pula dari pejabat baru yang dilantik tersebut adalah golongan Nur Alam sendiri yaitu pejabat beretnis Tolaki atau juga etnis campuran Tolaki-bugis sekaligus teman satu partai beliau. Informan bapak A.J juga membenarkan informasi yang diberikan oleh bapak YHY sebelumnya. Pejabat Dinas Pendapatan Daerah Tingkat II Kolaka yaitu bapak M. Ali Nur merupakan teman satu partai Nur Alam sekalugus tokoh politik sesama etnis Tolaki. Dalam pilgub Sultra 2007 lalu, M. Ali Nur yang juga mantan Camat Ladongi mendukung suksesi Nur Alam sebagai Gubernur Sultra
91
periode 2008-2013. Latar belakangnya sebagai mantan Camat Ladongi mampu memberikan signifikansi terhadap perolehan suara di kecamatan Ladongi dan kecamatan sekitarnya. Kubu NUSA hampir seratus persen memperoleh kemenangan di sana. Begitu Nur Alam dilantik menjadi Gubernur, M. Ali Nur juga serta-merta dipindah tugaskan dari Kadispenda tingkat II Kolaka menjadi Kadispenda Tingkat I, bukan hanya itu, M. Ali Nur juga ditetapkan sebagai pejabat sementara Bupati Kolaka ketika terjadi kekosongan jabatan di sana. Berikut penuturan oleh bapak A.J: “…tentu saja politik balas budi itu ada. Seperti yang terjadi pada M. Ali Nur, yang sekarang menjabat sebagai Kadispenda tingkat I. dengan modalnya sebagai mantan Camat Ladongi, beliau mendukung sepenuhnya suksesi Nur Alam. Perolehan suara Nur Alam di Ladongi dan sekitarnya ternyata hampir seratus persen menang. Kemudian Nur Alam menarik beliau untuk duduk di Dispenda tingkat I. perhatian Nur Alam terhadap “orangnya” ini juga ditunjukkan ketika ada kekosongan jabatan Bupati di Kolaka. M. Ali Nur ditempatkan menjadi pejabat sementara”. Revitalisasi
pemerintahan
dan
juga
kebijakan
yang
dilakukan
pemerintahan baru menjadikan para pihak yang merasa telah memberi dukungan meminta bagian atas kemenangan yang diperjuangkan bersama. Revitalisasi pemerintahan yang dilakukan oleh Nur Alam sebagai aktor politik tidak terlepas dari beragam nilai yang menjadi acuannya dalam bertindak. Nilai sebagai dasar perilaku manusia, terdiri dari dua aspek yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah seperangkat nilai yang “seharusnya dilakukan” dan “seharusnya tidak dilakukan”. Sedangkan nilai aktual adalah nilai yang baik dilakukan dan tidak dilakukan dalam konteks menghadapi masalah tertentu. Seperti nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam Kalo, harus mampu mewadahi semua aspek kepentingan lapisan masyarakat. Namun demikian, Nur Alam dalam menghadapi konteks pelanggengan kedudukannya dan kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra, lebih didasarkan atas nilai aktual. Masyarakat etnis lainnya melihat perilaku revitalisasi organisasi pemerintahan
ini
mengedepankan
kepentingan
orang-orang
Tolaki
dan
meminggirkan peranan etnis lainnya yang juga ikut memperjuangkan kemenangan Nur Alam. Kalaupun Nur Alam menempatkan etnis lainnya dalam posisi penting
92
pemerintahan, hal ini dinilai hanya sekedar untuk mendukung keamanan kedudukan Nur Alam sebagai orang nomor satu di Sultra. Seperti menempatkan orang-orang partainya (PAN) pada posisi strategis di daerah, seperti penempatan Ridwan Zakaria yang merupakan kader PAN sebagai pejabat sementara Bupati Buton Utara. Reaksi terhadap kebijakan revitalisasi kabinet Nur Alam yang dinilai meminggirkan elit beretnis lain terlihat dari kekecewaan Kadis Pendidikan Nasional Muna (Kadiknas) yang mengatakan menyesal telah mendukung Gubernur Sultra, Nur Alam27. Menjawab kekecewaan tersebut Gubernur balik mempertanyaakan dukungan apa yang dimaksud, apakah dukungan terhadap program kerja, ataukah dukungan pribadi dalam pilgub Sultra 2007. Gubernur menjelaskan bahwa jika dukungan yang dimaksud adalah program kerja, maka hal tersebut wajib dilaksanakan bagi semua aparat pemerintahan Sultra. Namun, jika yang dimaksud adalah dukungan pribadi, maka hal tersebut tidak diatur dalam kelembagaan formal tetapi hanya hak masing-masing orang menetukan siapa yang dipilihnya. Tuntutan terhadap pembagian hasil perjuangan bersama dalam pilkada juga terjadi pada Bupati Muna, Ridwan Bae. Merasa telah mengerahkan masyarakat untuk mendukung penuh Nur Alam pada pilkada 2007, Ridwan kecewa terhadap kebijakan pemerintah yang mengurangi jatah bantuan dana kepada pemerintah kabupaten Muna. Kekecewaan ini juga terlihat dengan mengerahkan massa pendemo dari sekelompok masyarakat Muna. Selain proses revitalisasi anggota pemerintahan, saat ini pemilihan anggota DPRD Sultra diwarnai dengan hadirnya wajah-wajah baru. Yang menjadi perhatian adalah, para anggota tim sukses dari kubu NUSA berupaya untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPRD tersebut. Sampai akhir penelitian ini dilaksanakan, belum ada hasil pemilihan anggota DPRD tersebut sehingga tidak dapat dikaji apakah terjadi politik balas budi di antara anggota tim sukses yang berupaya menjadi calon legislatif. 27
Dikutip dari Kendari Pos, 16 Desember 2008.
93
Rush dan Althoff (1983) mengemukakan bahwa sosialisasi politik negara berkembang seperti Indonesia lebih memiliki relasi terhadap sistem-sistem lokal. Soetarto dan Shohibuddin (2004) pun mengemukakan bahwa ikatan solidaritas lokal dapat menjadi basis legitimasi baru dalam sistem politik Indonesia. Konteks pemilihan Gubernur Sultra pun memungkinkan hal tersebut terjadi. Masyarakat Sultra yang terbagi dalam dua wilayah persebaran meliputi wilayah daratan dan wilayah kepulauan dengan etnis dominan pada masing-masing wilayah memungkinkan perolehan suara berdasarkan basis etnisitas. Namun demikian, kekhasan pilkada Sultra adalah dari keempat pasangan calon kepala daerah selalu menghadirkan pertautan antara dua figur dari daratan dan kepulauan. Terlebih figur daratan dengan etnis tolaki sebagai etnis dominan sekaligus etnis yang menjadi fokus kajian selalu ada dalam setiap pasangan calon kepala daerah, baik sebagai calon Gubernur ataukah hanya sebagai Wakil Gubernur. Hal ini kemudian menjadikan suara dari masyarakat etnis Tolaki sendiri pun akan terpecah-pecah seperti yang terjadi di Kelurahan Lepo-Lepo. Meskipun pada akhirnya kubu NUSA menjadi pemengan disana dengan adanya kedekatan emosional warga dan lokasi tempat tinggal, namun perolehan suara yang didapat tidak berbeda jauh malah terpaut beberapa angka dari pasangan AZIMAD dengan Abd. Samad sebagai figur yang memiliki kedekatan dengan masyarakat. Etnis Tolaki menjadi signifikan peranannya dalam pemenangan kubu NUSA ketika Nur Alam sebagai figur Tolaki mampu mengoptimalisasikan jejaring timnya yang beretnis Tolaki sebagai elit yang bergerak ke massa akar rumput khususnya pada masyarakat daratan. Seperti pada kasus masyarakat Ladongi dengan M. Ali Nur sebagai mantan Camat Ladongi. Figur-figur lokal yang dikenal oleh masyarakat tingkat lokal (dalam cakupan desa, kelurahan hingga kecamatan) menjadi ujung tombak NUSA untuk mendapatkan suara masyarakat di tingkat mikro seperti kelurahan. Optimalisasi figur lokal ini membedakan antara strategi politik Nur Alam sebagai etnis Tolaki dengan figur beretnis Tolaki lainnya. Sadar akan rentannya perpecahan suara masyarakat etnis Tolaki, Nur Alam menggunakan figur-figur lokal sebagai kekuatan politiknya. Berbeda dengan pasangan lain hanya mengandalkan figur beretnis Tolaki yang
94
belum tentu pengaruh ketokohannya mampu masuk ke seluruh masyarakat daratan. Dengan demikian, jaringan etnis Tolaki tingkat lokal dengan figur elit politik di tingkat lokal sebagai ujung tombak penyambung sosialisasi antara kubu NUSA dengan masyarakat akar rumput menjadi signifikan peranannya dalam pemenangan kubu NUSA.
6.4
Ikhtisar Bab ini menjelaskan mengenai berbagai manuver-manuver politik yang
dilakukan oleh aktor politk beretnis Tolaki sebagai upaya mewujudkan tujuan politik yang ingin dicapai. Perilaku politik yang ditunjukkan melalui serangkaian manuver politik, yang tidak terlepas dari konteks masyarakat Sultra sebagai pemilih. Pertimbangan atas kondisi masyarakat Sultra yang terbagi-bagi ke dalam berbagai etnis dan tersebar di setiap wilayah Sultra baik daratan maupun kepulauan, mengharuskan elit beretnis Tolaki menggunakan berbagai media politik yaitu aspek astrategis sebagai kekuatan politik dalam sistem pemilihan langsung. Untuk mampu membahas mengenai kompleksitas masalah perilaku politik, peneliti bersandar pada konsep Weber mengenai perilaki politik sebagai obyek kajian sosiologi. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam melihat aspek-aspek apa saja yang terkandung dalam perilaku politik. Weber menjelaskan bahwa setiap perilaku dan tindakan sosial didasari oleh motivasi psikologis serta nilai yang ada dalam diri seseorang. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa etnis Tolaki dalam pilgub Sultra 2007 pun serupa dengan konsep Weber tersebut, memiliki serangkaian nilai dan motivasi psikologis sebagai dasar tindakannya. Secara umum terdapat dua dasar perilaku politik etnis Tolaki yaitu motivasi pentingnya kepemimpinan yang tertuang dalam upaya melahirkan kembali sosok HaluOleo yang dianggap sebagai sosok pemimpin ideal seluruh masyarakat Sultra serta motivasi atas peran dan kedudukan strategis etnis Tolaki dalam kancah politik Sultra. Selain itu, sisi rasionalitas dan emosionalitas masyarakat sebagai
95
dasar pemilihan masyarakat menjadi bahan pertimbangan dalam prilaku politik aktor beretnis Tolaki. Nilai-nilai kepemimpinan ideal bagi etnis Tolaki adalah seperangkat nilai kepemimpinan yang tertuang dalam kalo, simbol sekaligus seperangkat nilai serta aturan yang mengatur kehidupan sosial masyarakat Tolaki. Bagi orang Tolaki, HaluOleo merupakan sosok pemimpin ideal yang tidak saja mampu memimpin masyarakat etnis Tolaki namun secara umum mampu memimpin masyarakat Sultra dengan beragam latar belakang etnis. Oleh karenanya, ajang pilgub Sultra merupakan momentum tepat untuk mewujudkan pola kepemimpinan ideal HaluOleo. Hal ini juga berarti mencakup upaya mendudukkan elit Tolaki pada posisi dan peran strategis di Sultra. Perilaku politik etnis Tolaki yang diwakili oleh perilaku politik kubu NUSA sebagai obyek kajian untuk dapat mewujudkan cita-cita politiknya dapat dilihat melalui penggunaan media massa serta kelompok-kelompok masyarakat dalam pemilihan Gubernur 2007. Pentingnya peranan media massa dianggap memiliki kekuatan yang efektif untuk menggalang suara dari masyarakat dari etnis manapun. Namun demikian, keberagaman latar belakang masyarakat merupakan dasar pertimbangan dari penggunaan media massa tersebut. Kubu NUSA juga menggunakan kelompok-kelompok masyarakat sebagai media berpolitiknya dan menyampaikan pesan politiknya. Penggunaan kelompok pengajian serta kelompok pemuda Tolaki di dasarkan atas dua hal yaitu, kelompok pengajian akan selalu ada di setiap masyarakat degan latar belakang etnis apapun, sebab mayoritas masyarakat Sultra beragama Islam, dan kelompok pemuda etnis Tolaki merupakan wadah efektif untuk menghimpun suara dari para pemuda yang tidak sedikit jumlahnya. Kesadaran atas pentingnya peranan partai politik sebagai lembaga yang memiliki wewenang siapa bakal calon yang diloloskan oleh partai, menjadikan perilaku politik figur Tolaki untuk dapat masuk ke dalam partai politik dan menjadi bagian penting di dalamnya. Nur Alam sebagai individu politik mengambil posisi penting di dalam PAN dan berupaya melakukan kontrol terhadap kebijakan PAN. Hal ini terlihat ketika Nur Alam keluar sebagai calon
96
tunggal partai PAN dalam ajang pilgub Sultra serta upayanya untuk mengoptimalisasi jaringan partai politik baik di tingkat Desa hingga Provinsi. Penggunaan figur elit di tingkat lokal yang merupakan anggota partai politik baik dari etnis Tolaki maupun etnis lainnya sebagai ujung tombak Nur Alam di tingkat mikro (masyarakat desa), merupakan strategi jitu untuk menghimpun suara masyarakat akar rumput. Hal inilah yang menjadi salah satu kekhasan perilaku politik Nur Alam. Jika Nur Alam mengandalkan figur-figur lokal untuk bergerak di akar rumput, maka kubu AZIMAD lebih memilih mendatangkan orang partai tingkat pusat. Hal ini tidak efektif karena figur-figur partai tersebut tidak mampu menyentuh sisi psikologis masyarakat akar rumput. Pencitraan terhadap figur politik juga merupakan salah satu upaya yang dilakukan Nur Alam dalam kaitannya mengambil simpati masyarakat. Melalui beragam aksi serta upaya pencitraan positif, Nur Alam memasuki sisi psikologis masyarakat dengan menggambarkan pemimpin ideal seperti apa yang menjadi pilihan masyarakat. Setelah mendapatkan kemenangan dalam pilgub Sultra, Nur Alam sebagai individu
politik
kemudian
menampakkan
identitas
etnis
Tolaki
yang
terinternalisasi dalam dirinya. Hal ini diwujudkan melalui serangkaian ritual Mosehe yang dilakukan Nur Alam untuk meminta restu kepada para leluhur dalam memimpin masyarakat Sultra kedepan. Selain itu, Nur Alam menggagas kembali sosok HaluOleo sebagai pahlawan beretnis Tolaki untuk dikukuhkan sebagai
pahlawan
nasional.
Sistem
resuffle
organisasi
pemerintahan
memperlihatkan pula bagaimana Nur Alam mengedepankan figur daratan pada posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Figur kepulauan yang menjadi pendukung Nur Alam diletakkan pada posisi strategis dalam upaya menjamin posisi Nur Alam sebagai pemimpin Sultra dimasa-masa akan datang. Hal ini kemudian menjadi sumber kekecewaan bagi pendukung Nur Alam dari etnis lainnya yang merasa telah mengerahkan massa dan kekuatan politiknya. Kemampuan menuangkan strategi dengan melihat perbedaan latar belakang masyarakat merupakan salah satu perilaku yang mendukung kemenangan kubu NUSA tersebut. Selain itu, optimalisasi sosialisasi politik juga
97
menjadi sumber kekuatan dalam upaya memperkenalkan figur pemimpin dan menggalang suara dari masyarakat. Seluruh aspek politik strategis meliputi aspek ikatan primordial etnis Tolaki, kekuatan jaringan partai politik serta kekuatan figur calon Gubernur dan wakilnya diyakini menjadi basis kekuatan yang mendukung tercapainya kemenangan kubu NUSA. Konteks pemilihan Gubernur Sultra dengan menghadirkan figur beretnis Tolaki dari setiap kubu pasangan, menyebabkan tidak efisiennya jaringan etnisitas saja sebagai basis kekuatan politik sebab suara masyarakat begitu pula elit politik akan terbagi-bagi ke dalam kubu-kubu tertentu. Namun demikian, primordial tetap teroptimalisasi ketika Nur Alam mampu menggerakkan figur politik lokal sebagai agen sosialisasi untuk menyentuh sisi psikologis masyarakat tingkat mikro. Oleh karenanya, yang membedakan antara Nur Alam dengan figur Tolaki lainnya adalah kemampuan menggerakkan figur lokal yang lebih memiliki kedekatan emosional masyarakat dibanding dengan figur Nur Alam sendiri sebagai calon Gubernur. Akhirnya, bab ini dimaksudkan untuk membahas dan menjawab dua pertanyaan penelitian, yaitu mengenai perilaku politik elit beretnis Tolaki dan juga signifikasi etnis Tolaki terhadap pemenangan kubu NUSA yang dilekatkan dengan identitas etnis Tolaki. Penjabaran di atas telah menjawab dengan baik dua pertanyaan penelitian sekaligus, sehingga tujuan kedua dan ketiga dari penelitian telah dicapai. Melalui penjabaran yang telah dipaparkan, pada bab selanjutnya akan dilakukan penarikan kesimpulan terkait tiga tujuan peelitian yang ingin dicapai.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
98
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sehubungan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Penjabaran kesimpulan tersebut adalah: 1. Dalam sejarah perjalanan peta politik Sultra, etnis Tolaki sebagai etnis daratan Sultra tergolong ”inferior” dibandingkan dengan etnis kepulauan Sultra. Hal ini terlihat ketika figur beretnis Tolaki hanya mampu menduduki posisi pendamping pemimpin utama seperti sebagai Wakil Gubernur. Di sisi lain, etnis kepulauan selalu mendominasi kekuasaan politik dan birokrasi di Sultra. Etnis Tolaki hanya satu kali menjabat sebagai Gubernur Sultra yaitu pada periode 1978-1982 oleh Drs. Abdullah Silondae, sedangkan periode lainnya, hanya sebagai Wakil Gubernur Sultra. Sistem pemilihan Gubernur melalui dewan legislatif, dengan komposisi dominasi kontrol lebih dipegang oleh etnis kepulauan, semakin menutup peluang etnis Tolaki sebagai etnis daratan muncul sebagai figur pemimpin utama. 2. Menghadapi dikotomis wilayah daratan versus kepulauan, pemilihan Gubernur Sultra periode 2008-2013 dengan sistem pemilihan yang telah berubah yaitu pemilihan langsung oleh masyarakat adalah ajang untuk membuktikan kemampuan bahwa etnis Tolaki mampu hadir sebagai orang ”nomor satu” Sultra dan memungkinkan untuk mendominasi kontrol terhadap segi kehidupan sosial politik Sultra. 3. Perilaku politik etnis Tolaki didasari oleh motif-motif yang terinternalisasi dalam diri individu aktor beretnis Tolaki. Nilai kepemimpinan yang diatur dalam Kalosara, pedoman hidup orang Tolaki yang menjadi modal dasar jiwa kepemimpinan orang Tolaki serta sejarah perjalanan peta politik Sultra dimana etnis Tolaki tidak mendominasi merupakan dua motif dasar perilaku politik etnis Tolaki. Motif ini kemudian membentuk tujuan politik berupa perubahan atas posisi dan peran etnis Tolaki dalam peta politik Sultra. Pemilihan Gubernur Sultra 2007 merupakan sebuah momentum untuk mewujudkan tujuan politik etnis Tolaki. Beragam aksi dilakukan untuk mewujudkan tujuan politik etnis Tolaki melalui pengoptimalisasian
99
aspek-aspek strategis dalam pilkada. Media massa, kelompok-kelompok masyarakat, partai politik serta pencitraan figur politik adalah aspek-aspek strategis yang digunakan oleh etnis Tolaki dalam pilkada 2007. Pengoptimalisasian beragam aspek strategis ini selain untuk menggalang suara masyarakat juga ditujukan untuk memperoleh peran-peran dan posisi strategis dalam peta politik Sultra. 4. Menghadapi situasi politik pilkada dimana figur etnis Tolaki selalu ada dalam setiap pasangan calon, kubu NUSA dengan Nur Alam sebagai figur utamanya, mengoptimalisasikan figur – figur lokal di tingkat mikro untuk mendapatkan suara dari masyarakat khususnya masyarakat wilayah daratan. Hal ini lebih memberikan esensi terhadap peranan etnis Tolaki dalam pemenangan kubu NUSA. Jadi dalam menentukan pilihan politik, masyarakat tidak hanya didasari oleh faktor kesamaan etnis saja tetapi lebih dikarenakan hadirnya figur lokal yang menyentuh sisi psikologis dan kedekatan emosional masyarakat. Hal ini menujukkan konsep primordial sebagai basis legitimasi baru dalam masyarakat yang dikemukakan oleh Soetarto dan Shohibuddin (2004) harus diletakkan pada konteks kondisi sosial politik yang berlaku dalam masyarakat. 5. Motivasi perilaku politik, bentuk perilaku politik melalui optimalisasi aspek strategis Pilkada serta tujuan perubahan peranan dalam peta politik Sultra adalah serangkaian tindakan sosial yang ditunjukkan oleh etnis Tolaki. Hal tersebut menujukkan berlakunya teori Weber mengenai tindakan sosial sebagai obyek sosiologi yang memiliki tiga aspek penting yaitu motif sebagai landasan berperilaku, wujud perilaku serta tujuan perilaku.
7.2 Saran
100
Berdasarkan perjalanan penelitian yang dilakukan, dalam kesempatan ini peneliti memberikan beberapa saran yang menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait: 1. Terkait dengan proses penelitian, pemerintah sedianya memikirkan ketersediaan data yang menyangkut etnisitas di Indonesia secara umum dan di Sultra secara khusus, untuk kepentingan akademisi dan penelitian sosial yang tentunya memberikan dampak positif bagi pembangunan masyarakat atau secara lebih jauh bagi pengambilan kebijakan yang terkait dengan masyarakat. 2. Penelitian mengenai proses pilkada dan juga pilpres merupakan topik yang menarik dan semakin banyak dilakukan akhir-akhir ini. Keterkaitan antara kehidupan masyarakat dari berbagai segi termasuk segi etnisitasnya merupakan hal yang tidak kalah menarik untuk dikaji. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber rujukan dalam penelitian tersebut. 3. Penelitian ini lebih memfokuskan pada satu etnis saja yaitu etnis Tolaki dalam pilgub Sultra, di lain sisi kekhasan perilaku politik etnis lainnya di Sultra secara khusus, dan Indonesia secara umum juga menarik untuk dikaji. Peneliti menyarankan atas pengkajian etnisitas yang ada di Indonesia saat ini sebagai bahan pembanding dengan kajian perilaku politik etnis Tolaki yang dilakukan peneliti.
101
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Muryanto. 2005. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Problem, Implikasi Politik dan Solusinya. Jurnal Ilmu Politik POLITEIA Vol. 1 No.1 Juni 2005. Babbie, Earl. 2004. The Practice of Social Research. United State of America: Wadsworth. Badan Pusat Statistik. Sulawesi Tenggara dalam Angka 2007. Kendari: BPS. Baron, Robert dan Donn Byrne. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Borgatta, E.F dan Borgatta, M.L. (eds). Encyclopedia Of Sociology. Volume 2. New York: MacMillan Publishius Company. Bottomore, T.B. 1983. Sosiologi Politik. PT. Bina Aksara. Bottomore, T.B. 1984. Kelompok Elite dan Masyarakat dalam Sartono Kartodirjo (ed) Kepemimpinan Dalam Dinamika Sosial. Jakarta: LP3ES. Brown, David. 1994. The State And Ethnic Politics in SouthEast Asia. London and NewYork: Routledge. Dharmawan, A.H.2006. Pembaharuan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan. Bogor: Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Bekerjasama dengan UNDP. Evers, Hans-Dieter dan Tilman Schiel. 1992. Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan Tentang Negara, Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarata: Yayasan Obor Indonesia. Harahap, Husnul Isa. 2005. Partisipasi Politik Masyarakat Kota Binjai (Studi Analisis Terhadap Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Langsung Tahun 2004 Tahap I). Jurnal Ilmu Politik POLITEIA Vol. 1 No.1 Juni 2005. Harrison and Samuel P. Huntington. 2000. Culture Matters, How Values Shape Human Progress. New York: Basic Books. Healey. 1945. Race, Ethnicity, Gender and Class, The Sociology of Group Conflict and Change. Londong: Sage Publication. Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Laeyendecker, L. 1983. Tata, Perubahan, Dan Ketimpangan; Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT. Gramedia. Rachim, M. Djufri. 2008. Face Of Lokal Democrazy (Problematika Pilkada, KPU dan Pemilu, Perilaku Politik, Wjah Miring DPRD). Kendari: KOMUNIKA. 2007.Mengenal Cagub Sultra 2008-2013 Seri 1. Kendari Komunika. 2007. Mengenal Cagub Sultra 2008-2013 Seri 2. Kendari Komunika. 2007. Mengenal Cagub Sultra 2008-2013 Seri 3. Kendari Komunika. 2007. Mengenal Cagub Sultra 2008-2013 Seri 4. Kendari Komunika.
102
Rush, Michael dan Philliph Althoff. 1983. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: CV. Rajawali. Sarwono, S. W. 1999. Psikologi Sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Sitepu, P. Anthonius. 2005. Transformasi Kekuatan-Kekuatan Politik dalam Konfigurasi Politik Sistem Politik Indonesia. Jurnal Ilmu Politik POLITEIA Vol. 1 No.1 Juni 2005. Soetarto, E. dan Moh. Shohibuddin. Pemilu DPD dan Ikatan Solidaritas Lokal di Sulawesi Tengah: Sebuah Penilaian Awal. Mimbar Sosek: Jurnal SosialEkonomi Pertanian.Volume 17, Nomor.2. Agustus 2004. Stone dan Rutledge Dennis. 2003. Race and Ethnicity, Comparative and Theoritical Approaches. Blackwell Publishing. Suryatna, Undang. 2007. Hubungan Karateristik Pemilih dan Terpaan Informasi Kampanye Politik dengan Perilaku Memilih (Kasus pemilihan bupati dan wakil bupati cianjur tahun 2006). Thesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Poitr Sztompka. 1994. The Sociology of Social Change. Oxford: Blackwell Publishers. Tamburaka, Rustam. 2004. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun. Jakarta: CV. Himep. Tarimana, Abdurrauf. 1989. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
103