BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia terletak dibawah garis khayal khatulistiwa. Garis khatulistiwa merupakan garis khayal yang menjadi orbit semu pergerakan matahari. Setiap wilayah di muka bumi yang dilewati oleh garis khatulistiwa memiliki iklim tropis dan mendapatkan porsi sinar matahari lebih banyak dari wilayah lain. Oleh karena itu negara-negara yang berada di kawasan iklim tropis cenderung lebih subur dibandingkan negara yang berada pada kawasan iklim lain. Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di kawasan iklim tropis sehingga mempunyai kondisi tanah yang subur. Sektor pertanian di Indonesia merupakan salah satu sektor yang dominan dibandingkan sektor lain. Indonesia memiliki luas sawah tahun 2009 sekitar 8,06 juta hektar dan tahun 2010 menyusut menjadi sekitar 8,00 juta hektar (BPS, 2014). Sebagian besar lahan tersebut digunakan sebagai lahan persawahan. Tanaman utama yang dibudidayakan pada lahan tersebut adalah padi. Tabel 1.1. Luas Sawah (Ha) di Indonesia Menurut Pulau Tahun 2007-2013 Pulau
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumatera
2210105
2285057
2347342
2294758
2312657
2281428
2242108
Jawa Bali, NTT, NTB
3247502
3270221
3251007
3253594
3251480
3243389
3231377
434029
436275
455548
462523
464918
474778
500509
Kalimantan
1013427
1011664
1025223
1001763
1068491
1092200
1067187
Sulawesi
894269
925022
932333
933517
939834
974052
994293
Maluku
21817
25091
20171
20929
23178
25331
25552
Papua
34792
38134
36703
35468
35404
36086
51077
7855941
7991464
8068327
8002552
8095962
8127264
8112103
Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia
1
Indonesia pernah menjadi salah satu penghasil beras terbesar didunia. Di tahun 1984 Indonesia pernah mencapai swasembada beras. Bahkan pada era yang sama Indonesia berhasil menjadi negara pengekspor beras terbesar di dunia. Padahal sebelumnya Indonesia adalah salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia (Darwanto,1998). Pemerintah pada saat itu berhasil membangun sektor pertanian secara menyeluruh. Bahan pangan beras diberdayakan secara nasional. Berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan produksi beras baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian (Purwaningsih,2008). Saat ini Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras sebab kebutuhan pangan nasional sangat tinggi yaitu 34,05 juta ton per tahun. Produksi padi nasional tahun 2013 mencapai 71.279.709 ton (belum dikonversi ke beras). Jumlah tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi 237 juta penduduk. Tabel 1.2. Produksi Padi (ton) di Indonesia Menurut Pulau tahun 2007-2013 Pulau
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumatera
12820772
13597019
14696457
15200136
15686847
16012288
16749659
Jawa
30466339
32346997
34880131
36374771
34404557
36526663
37493020
Bali, NTT, NTB
2871750
3169037
3356898
3199153
3516824
3678350
3805456
Kalimantan
4309101
4384490
4392112
4425272
4574149
4703787
4849720
Sulawesi
5478555
6575317
6801668
6994688
7280888
7816804
8007871
Maluku
105663
127425
136128
138510
148898
149957
174280
Papua
109882
125236
135496
136864
144741
168277
29912
Indonesia 57157435 60325925 64398890 Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia
66469394
65756904
69056126
71279709
Berdasarkan tabel 1.2 terlihat bahwa Pulau Jawa menjadi lumbung padi nasional. Tahun 2013 produksi padi di Pulau Jawa mencapai 37.493.020 ton. Pertanian di Pulau Jawa terutama untuk tanaman padi lebih baik dibandingkan dengan daerah lain diluar Jawa. Faktor ekologis menjadi pembeda antara Pulau Jawa dengan pulau lain di Indonesia. Selain itu, tanah di Pulau Jawa sangat cocok untuk berbagai jenis tanaman padi. Tanaman padi mendominasi lahan sawah hampir diseluruh provinsi di Pulau Jawa, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta
2
(produksi padi 2013 = 921.824 ton). Rincian produksi padi menurut provinsi di Indonesia tahun 2007-2013 dapat dilihat pada lampiran 1. Indonesia tidak lepas dari permasalahan dibidang ketahanan pangan meskipun dikenal sebagai negara agraris. Isu tentang ketahanan pangan terus berkembang dari waktu ke waktu. Keadaan ketahanan pangan disetiap wilayah Indonesia tidak sama. Oleh karena itu ketahanan pangan menjadi permasalahan yang selalu menarik untuk dikaji. Bukan hanya di Indonesia tapi juga dinegaranegara lain. Berbagai peristiwa bencana alam sering terjadi di Indonesia. Contoh bencana alam yang terjadi adalah gempabumi, tsunami, banjir, kekeringan, letusan gunungapi, kebakaran hutan, angin puting beliung, tanah longsor, dan lain-lain. Banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari faktor letak wilayah. Indonesia berapa dibawah garis khatulistiwa yang berarti Indonesia berada di wilayah iklim tropis. Pangan dan bencana memiliki keterkaitan. Kejadian bencana alam yang sering terjadi di Indonesia turut mempengaruhi kondisi ketahanan pangan. Bencana alam akan membawa dampak yang luas. Salah satu sektor yang paling sering terkena dampak dari kejadian bencana alam adalah pertanian. Contoh bencana banjir dan kekeringan dapat menyebabkan gagal panen bagi petani karena lahan pertanian beserta tanaman pangan menjadi rusak. Bencana letusan gunungapi merupakan salah satu kejadian bencana yang sering terjadi Indonesia. Indonesia memiliki banyak gunungapi aktif. Hal ini dikarenakan Indonesia masuk dalam “lingkaran asia pasifik” atau lebih dikenal dengan istilah ring of fire yang berarti cincin api (Tondobala, 2011). Secara geologis wilayah Indonesia berada diatas pertemuan tiga lempeng besar. Ketiga lempeng tersebut adalah Lempeng Indo-Australia, Lempeng Asia, dan Lempeng. Pasifik. Jumlah gunungapi aktif di Indonesia mencapai 129 (Sudradjat, 2007). Letak geografi dan geologi yang demikian membuat Indonesia menjadi rawan terhadap bencana alam seperti gempabumi dan letusan gunungapi (Sutikno,2007).
3
Salah satu gunungapi aktif di Indonesia adalah Gunungapi Merapi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Letaknya ada di 7o 32,5’ Lintang Selatan dan 110o 26,5’ Bujur Timur. Gunungapi Merapi memiliki tipe strato dengan kubah lava dan memiliki ketinggian sekitar 2911 meter diatas permukaan air laut atau sekitar 2800 meter dari dataran Yogyakarta (Kusumadinata dkk, 1979). Sampai tahun 2006 Gunungapi Merapi sudah tercatat meletus sebanyak 83 kali. Letusan pada tahun 2010 merupakan letusan ke 84 sejak pencatatan pertama. Selang waktu erupsi Merapi rata-rata terjadi setiap 2-5 tahun sebagai periode pendek dan 5-7 tahun sebagai periode menengah. Merapi pernah mengalami istirahat dalam waktu selama 71 tahun yaitu dari tahun 1587 sampai tahun 1658. 71 tahun merupakan masa istirahat terpanjang yang pernah tercatat dari Gunungapi Merapi (Tim Disaster Management Center Dompet Dhuafa Republika,2011). Erupsi Gunung Merapi pada tanggal 4-5 November 2010 merupakan erupsi terbesar sejak 1872. Tercatat bahwa erupsi besar pernah terjadi pada tahun 1768, 1822, 1872, 1930, 1961, dan 1969 (Wasito dan Wahyunto,2011).
3000
1369
32 100 0
200
386 0
64 6
16 35
3
29 69 0
0
0
3
Sumber : Wasito dan Wahyunto (2011)
Gambar 1.1. Jumlah korban jiwa meninggal akibat erupsi Gunungapi Merapi menurut periode waktu letusan 4
Erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010 tergolong besar dengan indeks letusan VEI 4 dan sifatnya eksplosif dengan mengeluarkan material lebih dari 100 juta m 3 (Subandriyo, 2012). Erupsi tahun 2010 ini merupakan yang terbesar sejak 1872.
Sumber: Gertisser, et.al (2012)
Gambar 1.2. Sejarah Skala Letusan Gunungapi Merapi
Dampak yang ditimbulkan akibat letusan ini menyebabkan kerugian yang sangat besar. Khusus untuk sektor pertanian, secara keseluruhan mengalami kerugian sekitar Rp 5,821 trilyun. Total kerugian pada usaha peternakan diperkirakan mencapai Rp. 88,320 milyar. Angka tersebut dihitung berdasarkan jumlah ternak mati, ternak yang sudah dijual dan akan dijual. Kerugian juga dihitung dari kerusakan kebun pakan ternak dan penurunan produksi susu (Apriyanti dan Ilham, 2011). Letusan gunungapi dapat membahayakan daerah 1020 kilometer disekitarnya. Sebaran abu vulkanik dari letusan gunungapi dapat mencapai ratusan kilometer (Sudradjat, 2007). Bencana erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010 menyebabkan dampak besar bagi manusia berupa kematian, kerusakan lahan, kerusakan infrastruktur dan fasilitas umum (bangunan dan jalan), dan lain sebagainya. Menurut hasil pencatatan BNPB (2010), diketahui 61.154 orang mengungsi, 341 orang tewas, dan 368 orang terluka sehingga harus menjalani rawat inap. Terjangan awan panas dan material jatuhan menyebabkan 3.307 bangunan rumah, sekolah, puskesmas, dan pasar rusak. Penelitian yang dilakukan oleh Any J.dkk (2011) ada sebanyak
5
3245 bangunan di Kecamatan Cangkringan mengalami rusak berat. Banjir lahar juga merendam banyak lahan pertanian. Nilai kerugian akibat erupsi tersebut ditaksir mencapai Rp 4,23 triliun. Menurut Yulianto dkk (2013) disebutkan bahwa erupsi Merapi tahun 2010 membawa dampak kerusakan yang cukup parah terhadap penggunaan lahan. Total kerusakan penggunaan lahan mencapai 1.413,19 Ha. Penggunaan lahan perkebunan terdampak paling luas yaitu mencapai 570,98 Ha. Hutan hanya terdampak sekitar 0,12 Ha. Sementara lahan sawah yang terdampak seluas 92,32 Ha. Berikut adalah tabel dampak erupsi Merapi 2010 terhadap penggunaan lahan di Kabupaten Sleman: Tabel 1.3. Luas Penggunaan Lahan Terdampak Erupsi Merapi 2010 di Kabupaten Sleman No
Penggunaan lahan
Luas (Ha)
1
Permukiman
133,31
2
Sawah
92,32
3
Lahan Kering
235,60
4
Perkebunan
570,98
5
Lahan Kosong
380,86
6
Hutan
0,12 Total
1.413,19
Sumber data: Yulianto, dkk (2013)
Kabupaten Sleman adalah salah satu wilayah yang paling besar terkena dampak erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010. Kabupaten Sleman merupakan penghasil padi terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Adanya letusan Gunungapi Merapi tahun 2010 diduga telah ikut mempengaruhi jumlah produksi padi di Kabupaten Sleman. Menurut data BPS, hasil panen padi total tahun 2009 (sebelum letusan tahun 2010) sebesar 269.404 ton sedangkan tahun 2011 sebesar 232.713 ton. Selisih produksi padi antara tahun 2009 dan 2011 adalah sebesar 36.691 ton.
6
1.2 Perumusan Masalah Penelitian ini difokuskan pada dampak letusan Gunungapi Merapi tahun 2010 terhadap produksi padi di Kabupaten Sleman. Waktu yang diambil adalah sebelum letusan yaitu 2007- 2009, dan sesudah letusan yaitu 2011-2013. Tahun tersebut dipilih untuk membandingkan dua kondisi. Sekaligus untuk melihat seberapa besar pengaruh letusan Gunungapi Merapi tahun 2010 terhadap produksi padi Kabupaten Sleman. Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut: a. Apakah terjadi penurunan produksi padi secara merata di seluruh wilayah Kabupaten Sleman pasca-erupsi Gunungapi Merapi 2010? b. Apakah abu vulkanik Gunungapi Merapi tahun 2010 berdampak terhadap produksi padi di Kabupaten Sleman? Jika berdampak terhadap produksi padi, seberapa besar pengaruhnya? Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan diatas maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “DAMPAK ABU VULKANIK ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 TERHADAP PRODUKSI PADI DI KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: a. Mengetahui perubahan produksi padi di Kabupaten Sleman pascaerupsi Gunungapi Merapi tahun 2010. b. Mengetahui dampak abu vulkanik erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010 terhadap produksi padi di Kabupaten Sleman.
7
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam membuat kebijakan dan dalam proses menanggulangi bencana letusan Gunungapi Merapi untuk bidang pertanian khususnya padi. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan tentang dampak bencana alam terhadap pertanian khususnya abu vulkanik Gunungapi Merapi terhadap produksi padi di Kabupaten Sleman.
1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Bencana Bencana adalah suatu rangkaian kejadian yang membawa dampak besar terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. Bencana membawa dampak berupa kerusakan lingkungan fisik, sarana dan prasaranan kehidupan, penderitaan bagi manusia, kerugian harta benda. Bencana juga dapat mengganggu tata kehidupan dan penghidupan masyarakat (Sudibyakto,2011). Menurut Center for Research on the Epidemiology of Disaster (2010) menyatakan bahwa bencana adalah situasi atau peristiwa yang tak terduga dan terjadi secara tiba-tiba yang dapat menyebabkan kerusakan besar, kehancuran dan penderitaan manusia. Bencana terjadi pada kapasitas wilayah lokal atau internasional. Setiap kejadian bencana memerlukan adanya bantuan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Susanto (2006) mendefinisikan bencana sebagai peristiwa langka dan bersifat ekstrim yang terjadi pada lingkungan alam dan lingkungan manusia yang menimbulkan gangguan pada kehidupan manusia, baik aktivitas maupun 8
kerugian harta benda. Masih dalam Susanto (2006), menurut BAKORNAS PBP bencana diartikan sebagai peristiwa yang diakibatkan oleh aktivitas manusia atau alam. Bencana terjadi secara tiba-tiba dan perlahan namun dapat menimbulkan kerugian berupa kehilangan nyawa manusia, harta benda, dan kerusakan lingkungan. Kejadian bencana terjadi diluar kemampuan dan sumberdaya manusia untuk menanggulanginya. Menurut BAKORNAS PBP juga menerangkan bahwa ada empat faktor utama yang dapat menyebabkan terjaidnya bencana: 1. Kurangnya pemahaman manusia terhadap karakteristik bahaya (hazard). 2. Aktivitas manusia yang menyebabkan degradasi sumberdaya alam. 3. Kurangnya informasi atau peringatan dini tentang kejadian bencana sehingga tidak ada antisipasi dan persiapan saat terjadi bencana. 4. Ketidakmampuan masyarakat dalam menghadapi bencana. Menurut Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa “Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.” Lebih jauh dalam Undang-undang nomor 24 tahun 2007 membagi bencana menjadi tiga macam, yaitu bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Pasal 1 ayat (2) menerangkan bahwa “Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.”
9
1.5.2 Padi dan Produksi Padi Padi (Oryza Sativa) merupakan sejenis tanaman rumput berumpun yang sudah dibudidayakan sejak lama. Tanaman padi dikenal sebagai tanaman kuno yang telah ditanam di Asia dan Afrika bagian barat. Padi diduga berasal dari daerah Benggala Utara. Padi awalanya berupa tanaman liar. Padi dapat tumbuh di daerah tropis/subtropis atau daerah yang beriklim panas dengan curah tutupan
200
mm/bulan
atau
1500-2000
mm/tahun.
Tanaman
padi
membutuhkan sinar matahari secara langsung agar dapat tumbuh optimal (Suparyono dan Setyono A,1994). Kondisi fisik wilayah tersebut sangat sesuai di Indonesia, sehingga tanaman padi sangat cocok dibudidayakan di Indonesia. Tanaman padi cukup mudah dibudidayakan. Terlebih lagi, Indobesia memiliki tanah yang subur karena memiliki banyak gunungapi (Sosroprawiro,1958). Padi harus dikonversi menjadi beras terlebih dahulu sebelum diolah sebagai makanan pokok. Saat ini masyarakat di Indonesia sangat bergantung pada beras/padi sebagai makanan pokok. Akibatnya kebutuhan terhadap beras/padi sangat tinggi sebab jumlah penduduk Indonesia sangat banyak, yaitu sekitar 237 juta pada tahun 2010. Masyarakat Indonesia menganggap bahwa jika belum makan nasi (beras yang dimasak) berarti belum makan. Beras menjadi sumber utama karbohidrat bagi masyarakat Indonesia. Indonesia merupakan negara agraris namun nyatanya belum mampu memproduksi beras yang cukup untuk konsumsi lokal. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 mencapai sekitar 237 juta jiwa. Jumlah tersebut terbilang sangat banyak sehingga kebutuhan pangan terutama beras juga sangat tinggi. Salah satu alasan mengapa beras menjadi makanan pokok di Indonesia adalah kandungan nilai gizi pada beras yang cukup tinggi. Beras mengandung karbohidrat sekitar 360 kalori, protein sebesar 6,8 gram, kalsium 6 gram, dan zat besi sebesar 0,8 gram (Astawan, 2004). Produksi padi di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Kenaikan produksi beras terjadi karena adanya upaya khusus. Upaya khusus
10
untuk meningkatkan produksi beras nasional antara lain melalui ekstensifikasi dan intesifikasi. Ekstensifikasi adalah usaha peningkatan hasil pertanian dengan cara memperluas lahan pertanian. Biasanya dilakukan dengan membatat hutan untuk membuka lahan pertanian baru. Intensifikasi adalah usaha peningkatan hasil pertanian dengan berbagai cara seperti menanam bibit unggul, pemupukan, pengairan dengan baik, pemberantasan hama dan penyakit tanaman, dan lain-lain (Purwaningsih,2008). Meskipun produksi beras nasional mengalami kenaikan namun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang juga terus naik setiap tahun. Rata-rata konsumsi beras di Indonesia sebesar 130 kilogram per kapita per tahun. Rata-rata konsumsi beras dunia sebesar 60 kilogram perkapita per tahun. Itu artinya rata-rata konsumsi beras Indonesia dua kali lebih besar dari rata-rata konsumsi beras dunia. Luas lahan panen padi di Indonesia hanya 13, 5 juta hektar dengan produktivitas sekitar 6 ton per hektar (Suswono,2013).
1.5.3 Produksi Pangan Aspek produksi pangan merupakan hal penting dalam penyediaan bahan pangan. Produksi pangan berkaitan dengan kuantitas pangan yang dihasilkan dalam periode waktu tertentu. Produksi pangan terutama padi sebagai bahan pangan pokok menjadi salah satu prioritas program pemerintah dalam pembangunan pertanian (Widodo S, 2011; dalam Yuwono T, 2011). Produksi pangan selalu ditingkatkan sebab kebutuhan pangan penduduk terus bertambah. Peningkatan produksi pangan di Indonesia dilakukan dengan beberapa cara, yaitu diversifikasi pangan, intensifikasi, dan ekstensifikasi. Produksi dan produktivitas pertanian sangat dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan (Harini R dkk, 2012). Perubahan penggunaan lahan akibat konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian sangat intensif terjadi di
11
Indonesia.
Perubahan
penggunaan
lahan
juga
akan
memepengaruhi
keseimbangan lingkungan. Menurut Indradewa (2011) dalam Yuwono (2011), ada beberapa faktor produksi utama dalam pembangunan pertanian adalah ketersediaan lahan, penyusutan lahan, pengembangan lahan, dan pengembangan lahan gambut sejuta hektar. Menurut Mahananto dkk (2009), faktor yang berpengaruh terhadap produksi padi adalah luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida, pengalaman petani dalam berusahatani, jarak rumah dengan lahan garapan, dan sistem irigasi. Selain aspek produksi, ada juga aspek distribusi pangan. Distribusi pangan berkaitan dengan pemerataan dan persebaran bahan pangan disuatu wilayah. Distribusi pangan yang merata akan mempermudah masyarakat untuk memperoleh pangan. Sebaliknya jika bahan pangan hanya terakumulasi di suatu wilayah maka di wilayah lain akan kesulitan memperoleh bahan pangan. Jumlah pangan yang surplus belum menjamin ketahanan pangan disuatu wilayah. Selain cukup dari segi jumlah, bahan pangan juga harus terdistribusi dengan baik. Oleh karena itu aspek distribusi pangan menjadi sangat penting dan perlu diperhatikan. Distribusi pangan adalah bagian dari akses pangan didalam konsep ketahanan pangan. Distribusi pangan bukan hanya terkait dengan aspek fisik wilayah saja, namun juga aspek sosial masyarakat (Mahela dan Susanto, 2006). Distribusi pangan dapat terganggu akibat beberapa faktor, salah satunya akibat bencana. Bencana yang merusak fasilitas jalan dapat mengganggu aksesibilitas suatu wilayah. Selain bencana, juga karena kerusuhan dan konflik sosial dan politik. Keadaan wilayah yang tidak kondusif atau aman dapat menghambat distribusi pangan.
1.5.4 Bencana dan Produksi Pangan Bencana alam terjadi secara mendadak dan tiba-tiba. Bencana alam dapat menimbulkan dampak kerusakan yang besar pada kehidupan sosial manusia,
12
perekonomian, kesehatan, mata pencaharian penduduk, dan pertanian. Dampak tersebut sebagai konsekuensi yang ditimbulkan oleh setiap kejadian bencana alam (Sivakumar, 2005). Sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang paling rentan terhadap kejadian bencana alam. Alasannya sektor pertanian sangat tergantung pada kondisi lingkungan fisik yang mudah berubah (Musah, et al.,2013). Pangan dan bencana saling berkaitan. Kejadian bencana akan merusak ekologi dan kondisi lingkungan. Salah satu kerusakan lingkungan akibat bencana adalah kerusakan lahan pertanian penghasil bahan pangan. Apabila tanaman pangan rusak maka suplai bahan pangan di suatu wilayah akan berkurang. Akibatnya terjadi krisis pangan sebab ketersediaan bahan pangan akan menyusut tajam pada saat terjadi bencana. Krisis pangan akan terjadi pada lokasi kejadia bencana dan lokasi pengungsian. Lokasi pengungsian menjadi tempat tinggal sementara bagi para korban bencana dan butuh bahan pangan secepatnya (Sudiman, 2001). Ada beberapa contoh kasus kejadian bencana yang berpengaruh terhadap kondisi ketersediaan pangan disuatu wilayah. Contoh bencana banjir di Ghana bagian utara yang merupakan daerah basis pertanian dan bencana letusan Gunung Tambora di Indonesia yang mengakibatkan bencana lanjutan berupa kelaparan masal akibat kekurangan bahan pangan. Frederick et al (2010) dalam Musah et al. (2013) menjelaskan lebih jauh tentang pengaruh bencana banjir terhadap pertanian dan pangan di Distrik Tolon/Kumbungu di wilayah Ghana bagian utara. Banjir di wilayah utara Ghana tahun 2010 menyebabkan 70.500 hektar lahan pertanian rusak dan mengakibatkan kehilangan produksi sekitar 144.000 Metric Ton (MTs) tanaman pangan. Tanaman pangan tersebut termasuk kacang jagung, sorgum, millet, tanah, yam, singkong dan beras. Kejadian ini telah mengakibatkan kekurangan pangan akut pada masyarakat yang terkena dampak. Diperkirakan 50.000 orang di wilayah utara Ghana mengalami kerawanan pangan dan beresiko kekurangan gizi selama minimal 15 bulan setelah panen awal Oktober 2008. Bulan Agustus 2007 terjadi banjir yang telah menelan enam
13
korban jiwa, 1300 rumah tangga kehilangan tempat tinggal, lebih dari 3000 hektar lahan pertanian rusak, dan banjir menimbulkan adanya penyakit seperti diare, kollera, dan malaria. Bencana erupsi Gunungapi Tambora di Pulau Sumbawa, Indonesia tahun 1815 merupakan letusan gunungapi terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Dampak yang ditimbulkan sangat besar dan luas. Dikatakan berdampak besar karena saat itu terjadi perubahan ekologi dan gangguan kondisi sosial ekonomi yang signifikan khususnya di Indonesia. Dikatakan berdampak sangat luas karena efek abu vulkanik Gunung Tambora menyebar ke banyak negara lain. Bahkan pada saat itu terjadi perubahan iklim global yang mengakibatkan banyak lahan pertanian yang gagal panen berkepanjangan. Dampak selanjutnya adalah terjadi bencana kelaparan dimana – mana karena ketersediaan bahan pangan sangat sedikit. Pascaerupsi Gunung Tambora tahun 1815 terjadi bencana kelaparan hebat dibanyak negara di dunia (Boers, B.J., 2014). Letusan Gunung Tambora yang sangat dahsyat mampu memberi pengaruh yang luar biasa besar bagi ketahanan pangan dunia pada tahun 1815. Contoh lain kejadian erupsi gunungapi yang berdampak besar terhadap sektor pertanian adalah letusan Gunungapi Pinatubo tahun 1991 di Filipina. Letusan Gunung Pinatuboo saat itu membawa dampak yang sangat luas dan mempengaruhi hampir semua sektor. Salah satu yang terdampak parah adalah sektor pertanian. Letusan Gunung Pinatubo tahun 1991 menghasilkan sekitar 20 juta ton sulfur diokasida yang berhamburan ke atmosfer. Abu vulkanik tersebar ke berbagai negara sekitar dan menutupi langit sehingga siang tampak gelap. Letusan ini telah menyebabkan suhu di Bumi turun sementara sekitar 1oF dari tahun 1991 sampai 1993. Oleh karena dahsyatnya, letusan Gunung Pinatubo tahun 1991 dianggap sebagai salah satu letusan terbesar didunia (Guzman, ____). Perubahan temperatur bumi turut mempengaruhi kondisi iklim global. Akibatnya banyak petani yang kehilangan pekerjaan sebab saat itu sektor pertanian menjadi lemah. Banyak lahan pertanian yang rusak dan butuh waktu lama untuk dapat kembali pulih. Aliran lahar merusak lahan pertanian, lahan
14
hutan, Daerah Aliran Sungai, dan mengganggu keseimbangan sistem sungai. Luas lahan pertanian yang terkena dampak letusan adalah sekitar 96.200 hektar. Akibatnya produksi pangan di Fillipina khususnya di Pulau Luzon turun drastis (Guzman, ____). Sama hal nya dengan letusan Gunung Pinatubo di Fillipina, letusan Gunung Ruapehu tahun 1995 di Pulau Utara Selandia Baru juga membawa dampak besar bagi sektor pangan. Letusan tahun 1995 menyebabkan banyak tanaman pangan rusak khususnya kebun sayur. Abu vulkanik menyebar seluas 250 km dari lokasi gunung yang mengakibatkan kerusakan yang cukup parah bagi tanaman pangan (Neild, O'Flahery, Hedley, & Underwood, 1998). Empat contoh diatas menggambarkan bahwa kejadian bencana akan mempengaruhi kondisi pangan suatu wilayah. Bencana secara tidak langsung telah menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan dunia. Oleh karena itu dalam setiap kejadian bencana, salah satu bantuan utama yang dikirimkan adalah bahan pangan.
1.5. Penelitian Sejenis Winto Kurniawan (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Proyeksi Ketersediaan beras di Kabupaten Sleman tahun 2015”. Tujuan penenlitian tersebut adlaah untuk Mengetahui ketersediaan pangan beras di Kabupaten Sleman tahun 2015. Winto Kurniawan menggunakan metode Analisis Deskriptif Kuantitatif dan metode pertumbuhan geometris untuk menghitung proyeksi penduduk dan produksi pangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa di kabupaten Sleman tahun 2015 mengalami surplus pangan sebesar 851,98 ton. Meski demikian namun ada 6 kecamatan yang tidka mampu mencukupi beras dari produksi diwilayahnya sendiri. Wawan Arijal (2013) melakukan penelitian yang berjudul “Ketersediaan Beras dan Akses Pangan Dalam Kajian Ketahanan Pangan di Kabupaten Gunungkidul tahun 2013”. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui Ketahanan Pangan berdasarkan ketersediaan dan akses pangan serta pola keruangan ketahanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul
15
tahun 2013. Metode yang digunakan adalah analisis data sekunder dan data diolah dengan metode Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA). Hasilnya adalah ketahanan pangan di Gunungkidul berdasarkan ketersediaan dan akses menghasilkan kondisi yang berbeda-beda. Berdasarkan ketersediaan ada 5 kecamatan yang sangat tahan pangan dan 1 rentan. Berdasarkan akses, ada 3 kecamatan yang cukup rentan pangan, 12 agak rentan, dan 3 rentan pangan. Ikha Prasetiyani (2013) meneliti tentang “Strategi Ketahanan Pangan Indonesia dimasa Mendatang”. Proyeksi yang diambil adalah tahun 19802010 dan 2015-2040. Tujuan penenlitiannya adalah untuk mengetahui dan mengidentifikasi
dinamika
penduduk
dna
proyeksinya,
kebutuhan,
ketersediaan, dan ketercukupan pangan di Indonesia tahun 1980-2040, serta membuat grand strategi terkait kondisi ketahanan pangan. Metode yang digunakan adalah Statistik deskriptif menggunakan data sekunder, dan perhitungan proyeksi dengan rumus eksponensial dan aritmatik. Hasil penelitian tersebut adalah kebutuhan pangan di Indonesia tahun 1980-2040 terus mengalami peningkatan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Ketersediaan dan kebutuhan pangan di Indonesia didominasi oleh provinsiprovinsi di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Barat menjadi yang paling tinggi. Kebutuhan pangan beras yang rendah didominasi oleh Indonesia bagian timur seperti Provinsi Papua Barat dan Maluku. Untuk lebih jelasnya perbedaan penelitian ini dengan penelitian lain dapat dilihat pada tabel 1.4.
16
Tabel 1.4. Penelitian Yang Sudah Dilakukan Sebelumnya
Peneliti
Lokasi
Judul
Tujuan
Metode
Hasil yang dicapai
Penelitian Winto Kurniawan
Kabupaten
Proyeksi
Mengetahui
Analisis
Kabupaten
(2010)
Sleman,
Ketersediaan beras
ketersediaan beras
Deskriptif
memenuhi kebutuhan pangan
Daerah
di Kabupaten
kabupaten Sleman
Kuantitatif,
beras pada tahun 2015.
Istimewa
Sleman tahun 2015
tahun 2015.
metode
Yogyakarta
Mengetahui ketersediaan beras
pertumbuhan geometris
Sleman
Ketersediaan
mampu
pangan
beras
menurut keamatan bervariasi (ada surplus dan defisit)
menurut kecamatan tahun 2015. Wawan Arijal
Kabupaten
(2013)
Ketersediaan Beras
Mengetahui
Analisis data
Ketahanan
Gunungkidul, dan Akses Pangan
Ketahanan Pangan
sekunder
Gunungkidul
Daerah
Dalam Kajian
berdasarkan
Istimewa
Ketahanan Pangan
ketersediaan dan
Yogyakarta
di Kabupaten
akses pangan serta
17
Data diolah dengan metode Food Security
ketersediaan
pangan
di
berdasarkan dan
akses
menghasilkan
kondisi
yang
berbeda-beda.
Ada
5
Gunungkidul tahun
pola keruangan
and
kecamatan yang sangat tahan
2013
ketahanan pangan
Vulnerability
pangan
dan
1
rentan.
menurut kecamatan Atlas (FSVA)
Berdasarkan
akses,
ada
3
di
kecamatan yang cukup rentan
Kab.Gunungkidul
pangan, 12 agak rentan, dan 3 rentan pangan.
Ikha Prasetiyani (2013)
Indonesia
Strategi Ketahanan
Mengetahui dan
Statistik
Kebutuhan
pangan
Pangan Indonesia
Mengidentifikasi
deskriptif
Indonesia
dimasa Mendatang
dinamika
menggunakan
terus mengalami peningkatan
penduduk dna
data sekunder,
seiring bertambahnya jumlah
proyeksinya,
dan perhitungan
penduduk. Ketersediaan dan
kebutuhan,
proyeksi dengan
kebutuhan pangan di Indonesia
ketersediaan, dan
rumus
didominasi
ketercukupan
eksponensial
provinsi
pangan di
dan aritmatik.
Provinsi Jawa Barat menjadi
tahun
oleh di
di
1980-2040
provinsi-
Pulau
Jawa.
Indonesia tahun
yang paling tinggi. Kebutuhan
1980-2040, serta
pangan beras yang rendah
membuat grand
didominasi
18
oleh
Indonesia
strategi terkait
bagian timur seperti provinsi
kondisi ketahanan
Papuan Barat dan Maluku.
pangan. Yusuf Amri
Kabupaten
Produksi Padi
Mengetahui
Deskriptif
Terjadi penurunan produksi
(2015)
Sleman,
Sebelum dan
perubahan
Kuantitatif
padi
Daerah
Sesudah Erupsi
produksi padi di
menggunakan
12,46% (32943,19 ton). Ada
Istimewa
Gunungapi Merapi
Kab.Sleman
data sekunder
12
Yogyakarta
tahun 2010 di
pascaerupsi
turun,
Kabupaten Sleman,
G.Merapi 2010
Penurunan
Daerah Istimewa Yogyakarta
Mengetahui dampak abu vulkanik erupsi G.Merapi 2010 terhadap produksi padi di Kab.Sleman
19
tahun
2011
kecamatan 4
naik,
sebesar
produksinya 1
tetap.
terendah
adalah
360,32 ton di Kecamatan Mlati dan penurunan terbesar adalah 6508,95 ton di Kecamatan Ngaglik.
Abu
vulkanik
G.Merapi
2010
berdampak
pada penurunan produksi padi tahun 2011 di Kab.Sleman.
1.6 Kerangka Penelitian Kejadian bencana erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010 telah membawa pengaruh terhadap kondisi FAO ketahanan pangan di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut (2006) kondisi ketahanan pangan di suatu wilayah dapat dilihat dari 4 aspek, yaitu Ketersediaan pangan, Akses Pangan, Penyerapan Pangan, dan stabilitas. Penelitian ini fokus pada kondisi ketahanan pangan di Kabupaten Sleman dilihat dari aspek ketersediaan pangan, khususnya beras sebagai bahan pangan pokok. Erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010 berpengaruh terhadap kondisi pertanian di Kabupaten Sleman. Luas lahan sawah produktif untuk tanaman padi mengalami kerusakan akibat terjangan material piroklastik. Luas panen padi menurun dan luas lahan sawah berkurang. Efeknya adalah berkurangnya jumlah produksi dan cadangan padi di Kabupaten Sleman setelah terjadi erupsi tahun 2010. Perlu dilihat bagaimana distribusi padi/beras di Kabupaten Sleman tahun 2009 dan 2011. Apakah produksi beras di Sleman merata disemua wilayah atau hanya berada pada daerah yang terdampak erupsi. Mengingat bahwa Sleman merupakan produsen padi/beras terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan sebagian beras dari Kabupaten Sleman didistribusikan ke daerah lain. Produksi padi di Kabupaten Sleman tahun 2011 (pascaerupsi) mengalami penurunan dibanding tahun 2009 (praerupsi). Diduga ada pengaruh langsung abu vulkanik erupsi Merapi 2010 terhadap produksi padi di Kabupaten Sleman. Oleh karena itu perlu diteliti lebih dalam lagi apakah ada pengaruh abu vulkanik hasil erupsi Merapi tahun 2010 terhadap produksi padi di kabupaten Sleman ditinjau dari faktor produksinya dan seberapa besar pengaruhnya.
20
Abu Vulkanik Gunungapi Merapi 2010
Sektor Pertanian di Kab. Sleman
Luas sawah
Luas Panen
Produksi Padi
Produktivitas lahan
Faktor Hama dan Penyakit tanaman
Dampak
Gambar 1.3. Kerangka Teori Penelitian
21