BAB I PENDAHULUAN 1. 1.
Latar belakang masalah Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar
dan kecil, serta masyarakatnya mempunyai beraneka ragam agama, suku bangsa, dan kebudayaan. Selain itu Indonesia juga terkenal akan kekayaan sumber daya alamnya yang terdiri dari sumber daya alam migas (minyak dan gas), serta non migas (karet,tembakau, rempah-rempah) dan banyak lagi sumber kekayaan alam Indonesia. Seluruh kekayaan sumber daya alam tersebut menjadi andalan Indonesia untuk memperoleh devisa bagi Negara, baik itu dibidang import maupun eksport. Namun karena sumber daya alam migas adalah sumber daya alam yang terbatas dan tidak bisa diperbaharui, maka adalah suatu hal yang logis jika pemerintah lebih mengutamakan sektor non migas seperti perkebunan-perkebunan. Perkebunan pertama kali muncul akibat dari perubahan politik kolonial pada pertengahan abad ke-19, dengan munculnya Undang-Undang Pokok Agrarian (UUPA) pada tahun 1870 yang secara resmi berakhirnya tanam paksa di pulau jawa yang mengakibatkan transisi liberalisme yang tak terkendali , orientasi yang menunjukkan kebijaksanaan baru menjadi sumber-sumber alam di nusantara, dan kemudian menarik minat kaum kapitalis Eropa. Selanjutnya perkebunan di pulau jawa berangsur-angsur meluas, akan tetapi karena semakin bertambahnya jumlah penduduk, sumber-sumber tanah semakin sulit diperoleh, mengakibatkan pembukaan lahan baru perkebunan dialihkan keluar pulau jawa yaitu pulau sumatera; yang masih banyak memiliki lahan kosong dan tersedianya petani sebagai pekerja.
Universitas Sumatera Utara
Lahan perkebunan dipulau sumatera pertama kali dibuka adalah sumatera timur yaitu perkebunan tembakau oleh seorang pengusaha Belanda Jacobus Nienhuys, yang menuai kesuksesan di perkebunan pulau sumatera tersebut. Keberhasilan Jacobus mengundang kehadiran pengusaha swasta asing disertai dengan mengaliarnya modal besar ke Sumatera Timur pekerjaannya berkaitan dengan perkebunan dan jumlah mereka terus membengkak sejalan dengan pertumbuhan perkebunan. Tak ada daerah lain di Indonesia , Jawa Tengah pun tidak, yang pertanian
perkebunannya
berkembang
begitu
luas,
begitu
subur,
begitu
menguntungkan (Prof.Clifford Greetz). Pertumbuhan perkebunan yang sangat pesat ini terus merambat ke daerah-daerah lain yang berada dipalau sumatera salah satunya sumatera utara yang merupakan areal perkebunan yang dapat memberi investasi bagi orang Belanda atau para kapitalis Eropa. Perkebunan yang berada di Sumatera terus bertambah dan beraneka ragam salah satunya adalah PTPN II yang memiliki kantor di jalan Tembakau Deli. Perkebunan ini pada awalnya dikelola dan didirikan oleh orang Belanda dengan jenis tanaman tembakau. Setelah diambil alih oleh pemerintah nama perkebunan ini adalah PPN (1960). Seiring dengan waktu yang terus berputar serta semakin berkurangnya penghasilan tanaman tembakau, pihak-pihak perkebunan mengganti jenis tanaman menjadi coklat pada tahun 1977, dan pada tahun 1985-1989 nama perkebunan berubah menjadi PPN BARU. Tahun 1990 nama perkebunan ini menjadi PTP IX, dan akhirnya pada tahun 2000 areal perkebunan Mariendal I berubah menjadi PTP N II sampai sekarang nama tersebut masih di pakai oleh pihak perkebunan.
Universitas Sumatera Utara
Areal lahan PTPN II sangat luas dan terbagi menjadi beberapa dareah seperti: Marindal, Selambo, Cemara Asri, di Langkat, Batang Kuis, Seintis dan bahkan masih banyak lagi areal HGU PTPN II di Sumatera Utara. Areal lahan perkebunan PTPN II khususnya Marendal I memiliki luas 1710 hektar, sehingga memerlukan banyak tenaga kerja, dimana para pekerja banyak didatangkan dari pulau Jawa dan lain sebagainnya. Para pekerja difasilitasi rumah pondok dan gaji yang bisa dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun dengan jaman semakin canggih dan kebutuhan hidup terus bertambah, semakin lemahnya nilai rupiah ( krisis moneter) mengakibatkan kemerosotan hasil perkebunan (1997),serta banyaknya pekerja atau buruh yang di PHK. Sehingga pada tahun 2000 mulai terjadi penggarapan lahan perkebunan yang dilakukan oleh oknumoknum tertentu yang sebagian besar masyarkat (buruh, pihak pengembang), hingga sekarang masih terjadi sengketa tanah. penyerobotan areal HGU PTPN II semakin marak hingga mengakibatkan produksi PTPN II mengalami kerugian yang cukup besar. Dengan digarapnya lahan seluas 14000 hektar oleh pihak pengembang seperti di kawasan lahan PTPN II. Lahan PTPN II yang ada di Marindal kini sudah dikuasai para penggarap dengan menjadikan lahan PTPN II menjadi lahan pertanian masyarakat, membangun rumah-rumah mewah dimana di areal lahan tersebut juga pemiliknya ada kalangan pejabat Pemprovsu dan Pemko Medan. Sejarah tanah di Indonesia adalah sejarah konflik yang melibatkan individu, masyarakat, korporasi, dan negara/pemerintah. Sejak masa kolonial Belanda konflik atas tanah sudah mulai terjadi. Di masa kemerdekaan konflik pertanahan di kawasan perkebunan, pertanian, kawasan pertambangan, dan di kota-kota besar mulai
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan wajahnya. Bahkan Era Orde Baru boleh dikatakan menjadi lahan subur bagi persemaian konflik atas tanah dan sumber daya alam. Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat dualisme, yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah di satu pihak dikuasai oleh hukum Eropa, dan dilain pihak dikuasai oleh hukum adat. Untuk menghilangkan dualisme tersebut maka dibuatlah suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertanahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Pertanahan/Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 (Azam, 2003. http://library.usu.ac.id, diakses 15 Januari 2007). Salah satu penyebab maraknya konflik pertanahan akhir-akhir ini adalah tidak jelasnya legalitas dan legitimasi sistem penguasaan tanah (land tenure). Persoalan sistem penguasaan tanah di Indonesia saat ini sarat dengan ambiguitas yang cukup banyak menimbulkan konflik. Ada dua Undang-Undang Pokok di Indonesia yang memiliki wewenang untuk mengatur sistem penguasaan tanah yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang wewenang pelaksanaannya dipegang oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK), yang wewenang pelaksanaannya ada ditangan Departemen Kehutanan. Secara sepintas kedua Undang-Undang yang mengatur masalah pertanahan ini berjalan seiring. UUPA mengatur masalah pertanahan di non-kawasan hutan, sedangkan UUPK mengatur masalah pertanahan di kawasan hutan. Kalau
penyerobotan
lahan
HGU
PTPN
II
tak
bisa
diselesaikan
pemerintah/Gubsu, maka jangan salahkan puluhan ribu buruh yang ada di PTPN II akan mengambil alih lahan tersebut. Sebab, sebagai buruh mereka juga berhak untuk
Universitas Sumatera Utara
menghidupi anak dan isterinya. Pemerintah dinilai plin-plan terhadap HGU PTPN II yang kini digarap “mafia tanah”. Sekar dan FSBSI mendesak agar Gubsu, Badan Pertanahan Nasional, Kapolda dan Direksi PTPN II dapat duduk bersama menyelesaikan HGU PTPN II yang kini diserobot penggarap secara hukum. Pertemuan duduk satu meja ini gunanya untuk menghindari konflik pertumpahan darah antara buruh dan masyarakat. Dalam setiap sengketa pertanahan selalu ada tiga pihak yang terlibat yaitu kegiatan komersil, kekuatan kelembangaan/ pemerintah, dan kekuatan massa khususnya warga yang secara sosial ekonomi rentan. Masalah tanah merupakan masalah yang sangat penting di Indonesia. Sengketa atas tanah merupakan salah satu konflik yang sering terjadi, karena keberadaan tanah merupakan sebagai alat produksi. Jadi siapa yang menguasai tanah terutama yang terletak di daerah strategis memiliki kemungkinan untuk memperoleh laba yang melimpah. Oleh karena itu tanah menjadi rebutan berbagai orang dan kelompok ( Budiman, 1996: 11).
1. 2.
Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis mencoba
merumuskan permasalahan untuk mempermudah penulis dalam melakukan penelitian nantinya, yaitu: 1. Bagaimana sejarah konflik peralihan fungsi lahan PTPN II menjadi lahan pertanian masyarakat ? 2. Bagaimana penyelesaian konflik tanah antara PTPN II dengan penggarap di desa Marindal I ?
Universitas Sumatera Utara
1. 3.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: -
Untuk mengetahui latar belakang terjadinya proses peralihan lahan PTPN II menjadi lahan pertanian masyarakat.
-
Untuk mengetahi faktor- faktor apa yang menyebabkan terjadinya proses peralihan.
1. 4.
Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:
1. 4. 1. Manfaat Teoritis - Hasil yang diperoleh diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah yang akurat. - Memberi sumbangan pemikiran bagi kalangan akademis. 1. 4. 2. Manfaat Praktis - Menigkatkan kemampuan penulis melalaui penelitian ini - Memberikan wawasan kepada penulis tentang proses peralihan fungsi lahan - Diharapkan menjadi sumbangan kepustakaan.
1. 5. Defenisi Konsep Defenisi konsep dimaksudkan untuk mempermudah pengertian terhadap fenomena yang ada sehingga dapat dijadikan panduan. Berikut ini adalah beberapa konsep penting dalam penelitian ini:
Universitas Sumatera Utara
-
Sejarah, dalam penelitian ini pengertian sejarah yang dipakai adalah runtutan perubahan atau peristiwa dalam perkembangan sesuatu atau rangkaian tindakan yang terjadi di masa lampau.
-
Konflik tanah, adalah perbedaan kepentingan antara berbagai pihak, baik individu maupun kelompok yang memiliki tujuan atau maksud yang tidak sejalan terhadap satuan bidang tanah/wilayah daratan tertentu sehingga menimbulkan perselisihan dan benturan-benturan. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan konflik tanah adalah perbedaan kepentingan atau perselisihan antara warga desa marindal I dengan pihak pengembang, antar warga marindal I.
-
PTPN II merupakan perusahaan perkebunan swasta asing sebagai peninggalan pada masa kolonial yang berangsur-angsur mengalami pengalihan hingga sampai di ambil alih oleh negara sebagai proses nasionalisasi yang di lakukan oleh negara.
-
Resolusi konflik, adalah upaya-upaya untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan-hubungan baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan (penyelesaian konflik), tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya (Fisher, 2001:7-8). Dalam penelitian ini yang dimaksudkan sebagai resolusi konflik adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh warga dan pihak pengelola maupun oleh LSM untuk menyelesaikan
Universitas Sumatera Utara
konflik dan mencapai kesepakatan yang bisa diterima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. -
Sistem penguasaan tanah (land tenure) adalah seperangkat unsur yang terdiri atas berbagai subjek (pelaku) dan objek (benda) yang satu sama lain saling berhubungan dan mempengaruhi berbagai hak-hak kepemilikan, penguasaan, dan akses terhadap tanah/wilayah daratan tertentu (Galudra, 2006. www.worldagroforestry.org, diakses 22 Maret 2008).
Universitas Sumatera Utara