BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Skripsi ini menganalisis tentang gap atau kesenjangan dari kebijakan
Pemerintah yang memungkinkan adanya ruang yang dapat disalahgunakan oleh masyarakat terkait peredaran obat keras yang mengandung hormon prostagladin di masyarakat dan pengggunasalahan obat tersebut sebagai media aborsi ilegal, khususnya di Yogyakarta. Tema ini penting mengingat secara teoritis jarang dibahas dan secara empiris fakta menunjukkan bahwa fenomena penyalahgunaan obat sebagai media aborsi ilegal tersebut sudah lama terjadi. Fakta menunjukkan bahwa 13% perempuan di Indonesia melakukan aborsi dengan menggunakan obat serta 14-16% perempuan di Asia Tenggara meninggal karena melakukan aborsi yang tidak aman1. Obat merupakan salah satu unsur penting dalam pelayanan kesehatan, mulai dari upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan.Obat itu sendiri menurut WHO adalah suatu zat kimia yang dapat mempengaruhi aktivitas fisik dan psikis. Sedangkan menurut Kebijakan Obat Nasional (KONAS), obat merupakan bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau kondisi patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dari rasa sakit dan atau penyakit untuk meningkatkan kesehatan dan kontrasepsi. Oleh karena itu, secara umum
1
Sedgh G and Ball H, Abortion in Indonesia, In Brief, New York: Guttmacher Institute,2008, No. 2.
1
obat dapat dimaknai sebagai zat atau bahan yang digunakan dalam pelayanan kesehatan. Obat telah memberikan manfaat yang besar dalam proses pelayanan kesehatan. Obat telah menurunkan angka kematian dan angka kesakitan dengan cara menurunkan jumlah pasien dan meningkatkan kesehatan. Namun, hal itu terjadi hanya jika obat tersebut aman, berkhasiat dan bermutu serta digunakan dengan benar. Karena obat yang tidak aman, tidak bermutu, tidak berkhasiat dan tidak digunakan dengan benar dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti kegagalan pengobatan atau bahkan kematian. Di sisi lain, walaupun obat yang tersedia aman, berkhasiat dan bermutu, tetapi jika tidak digunakan secara benar maka akan tetap dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Oleh karena itu, pengetahuan yang benar tentang obat dan cara penggunaannya sangat diperlukan. Dengan pengetahuan yang benar, maka masyarakat dapat memperoleh manfaat semaksimal mungkin dari obat yang di konsumsinya serta dapat meminimalkan segala hal bentuk kerugian yang tidak diinginkan dari penggunaan obat tersebut, seperti kerugian kesehatan maupun finansial. Namun dewasa ini, terdapat sebagian kecil masyarakat yang mengetahui tentang obat, menggunakan obat dengan memanfaatkan efek samping yang ditimbulkan
oleh
obat
tersebut.
Hal
tersebut
dikenal
dengan
istilah
penyalahgunaan obat (drug abuse) dan penggunasalahan obat (drug misuse) dimana suatu obat digunakan secara berlebihan tanpa tujuan medis ataupun indikasi tertentu. Penggunaan efek samping dari suatu obat merupakan hal yang irrasional karena obat yang digunakan tersebut dirancang memiliki efek terapi 2
yang besar tetapi memiliki efek samping yang ringan, atau dengan kata lain bahwasuatu obat memang tidak ditujukan untuk memberikan efek dari efek samping tersebut, karena justru efek samping itulah yang berusaha ditekan seminimal mungkin. Penggunaan obat yang berdasarkan pada efek sampingnya merupakan hal yang berbahaya, karena untuk menimbulkan suatu efek samping dari obat diperlukan dosis yang lebih tinggi daripada dosis normal dalam pengobatan. Hal tersebut tentulah beresiko tinggi bagi yang mengkonsumsinya. Sejauh ini setidaknya terdapat tiga golongan obat yang paling sering disalahgunakan2, yaitu golongan analgesik opiate atau narkotik, contohnya adalah morfin. Kedua adalah golongan depressan sistem saraf pusat yang berfungsi untuk mengatasi kecemasan dan gangguan tidur. Ketiga yaitu golongan stimulan sistem saraf pusat.Obat-obat tersebut bekerja pada sistem saraf, dan umumnya menyebabkan ketergantungan atau kecanduan. Selain itu, terdapat pula golongan obat lain yang digunakan dengan memanfaatkan efek sampingnya, yaitu obat yang digunakan bukan berdasarkan indikasi yang resmi dituliskan. Salah satu obat yang sering disalahgunakan dengan memanfaatkan efek sampingnya adalah obat yang memiliki kandungan sejenis hormon prostagladin3. Obat ini biasanya memiliki bentuk fisik berupa tablet berwarna putih segi enam. Dalam dunia medis, obat yang memiliki kandungan hormon prostagladin digunakan untuk membantu penyembuhan luka lambung dan mengurangi gejala yang ditimbulkan. Karena pada dasarnya obat tersebut merupakan obat yang diperuntukkan untuk obat tukak lambung atau obat maag sehingga obat tersebut 2 3
Ikawati, Yulies. 2009. Tinjauan Farmakoterapi Terhadap penyalahgunaan Obat. Wibowo, Yosep Hari.2014.Praktik Penjualan Mengarah Aborsi Ilegal. Harian Tribun Jogja, 27 Maret 2014.
3
sering digunakan atau dijumpai dalam dunia kedokteran. Namun karena memiliki kontraindikasi atau efek samping pada kontraksi rahim atau uterus, maka banyak oknum-oknum yang menyalahgunakannya sebagai obat aborsi. Dimana untuk dosis kecil, penggunaan obat tersebut akan menyebabkan efek samping berupa kontraksi rahim sehingga darah akan keluar dari rahim yang biasanya ditandai dengan munculnya bercak-bercak darah. Sedangkan untuk dosis yang lebih besar, obat tersebut dapat menyebabkan keguguran karena menyerang kondisi janin yang masih muda, yaitu janin yang berumur antara 1 sampai 12 minggu4. Tidak mengherankan apabila kemudian obat tersebut menjadi primadona bagi obatobatan sejenis yang digunakan untuk melakukan aborsi secara ilegal. Apabila dikategorikan, maka obat tersebut termasuk dalam peringkat 5 besar golongan obat keras yang marak dicari dan disalahgunakan secara ilegal. Suatu obat-obatan tentunya akan manjur atau berkhasiat apabila dipergunakan sebagaimana mestinya, namun tentunya akan menjadi berbahaya apabila disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Diduga, penggunaan dan peredaran obat yang mengandung hormon prostagladin tersebut melibatkan oknum apoteker dan mengabaikan resep dokter ahli. Dimana pada dasarnya obat yang mengandung hormon prostagladin masuk dalam golongan obat G (Gevaarlijk) yang artinya berbahaya (obat keras). Disebut obat keras karena apabila pemakai tidak memperhatikan aturan pakai, peringatan yang diberikan dan dosis pemakaian maka dapat menimbulkan efek yang berbahaya.
4
Ibid
4
Obat ini hanya dapat diperoleh dengan resep dokter di apotek. Dalam kemasannya pun ditandai dengan lingkaran merah dengan huruf K ditengahnya5. Di Indonesia sendiri, penggolongan obat dibagi menjadi lima berdasarkan Permenkes No.917 tahun 19936. Pertama, obat bebas, yaitu obat yang aman digunakan dalam batas dosis yang dianjurkan dan dapat digunakan tanpa resep dokter di apotek, toko obat dan warung.Obat Bebas dalam kemasannya ditandai dengan lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Kedua, obat bebas terbatas, yaitu disebut juga obat daftar W (berasal dari kata Waarschuwing yang berarti “peringatan”) adalah obat yang juga relatif aman selama pemakaiannya mengikuti aturan pakai yang ada. Pada dasarnya, obat golongan ini masuk dalam golongan obat keras namun masih dapat dibeli bebas tanpa resep dokter dan disertai dengan 6 (enam) tanda peringatan serta memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Obat tersebut hanya boleh dijual dalam bungkusan aslinya dari pabrik atau pembuatnya, b. Pada penyerahanya oleh pembuat atau penjual harus mencantumkan tanda peringatan. Tanda peringatan tersebut berarna hitam, berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut :
5
Permenkes No. 725a/1989tentang Penggolongan Obat Berdasarkan Keamanan Ibid
6
5
Gambar 1.1 Peringatan obat bebas terbatas
Sumber : SK Menkes No 2380 Tahun 1983 Sebagaimana obat bebas, obat ini juga dapat diperoleh tanpa resep dokter di apotek, toko obat atau di warung-warung. Sedangkan tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Ketiga, obat keras dan psikotropika. Obat keras yaitu obat yang jika pemakai tidak memperhatikan dosis, aturan pakai, dan peringatan yang diberikan, dapat menimbulkan efek berbahaya. Sedangkan Psikotropika, yaitu obat keras yang dapat mempengaruhi aktivitas psikis. Kedua jenis obat ini hanya dapat diperoleh dengan resep dokter di apotek. Dalam kemasannya ditandai dengan lingkaran merah dengan huruf K ditengahnya. Keempat, obat narkotika, yaitu kelompok obat yang paling berbahaya karena dapat menimbulkan addiksi (ketergantungan) dan toleransi. Obat ini hanya 6
dapat diperoleh dengan resep dokter. Karena berbahaya, dalam peredaran, produksi, dan pemakaiannya narkotika diawasi secara ketat. Obat jenis ini berasal dari tanaman dan bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menurunkan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan bahkan menimbulkan ketergantungan. Dalam kemasannya ditandai dengan lingkaran merah dengan garis tepi berarna merah dan tanda + ditengahnya seperti yang telah diatur berdasarkan SK Menkes No. 2380 tahun 1983 tentang tanda khusus untuk obat bebas dan obat bebas terbatas berikut ini : Gambar 1.2 Penandaan Obat
Penandaan
Penandaan
Obat Bebas
Obat
Penandaan
Bebas Obat Keras
Penandaan Narkotika
Terbatas Sumber : SK Menkes No 2380 Tahun 1983 Maraknya
penyalahgunaan
obat
yang
mengandung
hormon
prostagladinyang dijadikan sebagai obat aborsi ilegal tersebut saat ini menyebabkan keresahan di masyarakat. Harian Antara menyebutkan bahwa aborsi telah dilakukan oleh 2,5 juta perempuan di Indonesia.7 Hal ini disinyalir akibat semakin mudahnya akses terhadap praktik aborsi ilegal yang salah satunya adalah dengan menggunakan obat yang mudah didapat tersebut. Meskipun peraturan
7
Suryanto. 2008. Kasus Aborsi di Indonesia 2,5 Juta Setahun. Harian Antara, 23 Februari 2008.
7
hukum mengenai aborsi sudah sangat jelas, yaitu telah diatur dalam Undangundang Kesehatan No 23 tahun 1992 pasal 15 yang berbunyi 8“ Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu”. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan aborsi secara ilegal tetap dilakukan. Dalam penjelasan UU tersebut pun telah dijelaskan bahwa tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun sebenarnya dilarang, karena bertentangan dengan norma agama, norma susila, dan norma kesopanan. Selain itu, tidak seperti aborsi yang aman dan legal, tindakan aborsi yang tidak aman dan ilegal dapat membahayakan kesehatan serta nyawa orang yang melakukannya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengestimasikan bahwa aborsi yang tidak aman bertanggung jawab terhadap 14% dari kematian ibu di Asia Tenggara9. Dengan demikian, apabila hal tersebut tidak diawasi dengan baik, maka lambat laun akan terjadi degradasi moral di Indonesia pada umumnya dan di Yogyakarta pada khususnya. Penyalahgunaan obat yang mengandung hormon prostagladin juga dilatarbelakangi oleh adanya iklan yang gencar dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Di beberapa titik strategis seperti di tiang traffic light, tiang listrik dan pagar di pinggir jalan serta di media massa, baik koran maupun di situs internet sering dijumpai iklan “obat pelancar haid”. Iklan tersebut juga seakan telah mengakrabi pengguna jalan dan masyarakat di Yogyakarta, seperti di traffic light Jalan Colombo, C Simanjutak dan Taman Siswa. Tempat8
Indonesia. Departemen kesehatan, 2003 HimpunanPeraturan Perundang-undangan Kesehatan: UUNo.23 Tahun 1992. Jakarta. Koperasi SakunderBaMi Husada: p. 10. 9
Badan Kesehatan Dunia (WHO). 2007. Aborsi Tidak Aman: Estimasi Globaldan Regional dari Insiden AborsiTidak Aman dan Kematian yangBerkaitan pada tahun 2003. (UnsafeAbortion: Global and RegionalEstimates of the Incidence of UnsafeAbortion and Associated Mortality in2003), edisi kelima, Geneva:WHO.
8
tempat tersebut telah menjadi sarana iklan yang efektif dan strategis karena setiap pengguna jalan yang terkena lampu merah pasti akan memperhatikan traffic light sehingga secara tidak langsung pengguna jalan tersebut juga akan melihat iklan “obat pelancar haid” tersebut. Iklan tersebut pun bukan iklan yang mewah atau mahal, dan tentu saja bukanlah iklan yang resmi (ilegal). Karena iklan tersebut hanyalah sebuah pamlet liar yang dicetak oleh mesin fotokopi dengan format warna hitam-putih. Iklan tersebut juga sangat sederhana dimana hanya terdapat satu kalimat beserta nomor telepon yang dapat dihubungi oleh konsumen. Fenomena iklan “obat pelancar haid” tersebut sebenarnya sudah lama terjadi. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa sebenarnya iklan tersebut adalah iklan obat untuk aborsi atau pengguguran kandungan. Dengan kata lain bahwa iklan tersebut telah digunakan sebagai kamuflase atau kedok praktik aborsi ilegal. Karena berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 368 Tahun 1994 tentang pedoman Periklanan Makanan dan Minuman, iklan tentang obat aborsi bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama. Oleh karenanya oknum-oknum terkait menggunakan iklan “obat pelancar haid” sebagai kamuflase atau kedok sehingga dapat terhindar dari jerat hukum. Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Tribun Jogja pun telah terungkap bahwa iklan tersebut mengarah pada upaya dan praktik aborsi10. Hal tersebut tentunya sangat memprihatinkan di tengah pro-kontra tindakan aborsi di Indonesia. Bahkan dewasa ini, iklan yang berkedok “obat pelancar haid” tidak hanya dapat dijumpai di traffic light maupun koran semata. Namun dengan 10
Wibowo, Yosep Hari.2014.Praktik Penjualan Mengarah Aborsi Ilegal. Harian Tribun Jogja, 27 Maret 2014.
9
semakin canggihnya teknologi, iklan tersebut dapat dijumpai di media sosial seperti twitter, instagram, maupun website-website yang semakin menjamur dari hari ke hari. Dalam kasus tersebut, tentunya peran stakeholders terkait sangat diperlukan. Salah satu pihak yang berwenang dalam hal ini adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan. BPOM sebagai suatu instansi yang mengawasi tentang obat, kosmetik dan makanan memiliki wewenang untuk menguasai, mengatur, mengawasi persediaan, pembuatan, penyimpanan, pemakaian dan peredaran obat seharusnya dapat mencegah atau bahkan
menghentikan
penyalahgunaan obat
yang
mengandung
hormon
prostagladin tersebut. Pemberian sanksi yang tegas bagi oknum apoteker atau apotek, bidan maupun pihak-pihak lain yang memperjualbelikan obat tersebut tanpa disertai dengan resep dokter ahli perlu dilakukan dengan cara memberikan surat peringatan, mencabut izin usaha atau bahkkan melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib, yaitu kepolisian sehingga memberikan efek jera bagi oknum pelaku tersebut. Dengan demikian praktik-praktik penyalahgunaan obat sebagai media aborsi ilegal dapat diminimalisir. Hal tersebut tentuya sedikit banyak telah turut serta mencegah adanya praktik-praktik aborsi ilegal di Indonesia pada umumnya dan di Yogyakarta pada khususnya. Namun sejauh ini, tidak terdengar gaung atau tindakan nyata dari stakeholders terkait, khususnya BPOM Yogyakarta dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dalam rangka meminimalisir penyalahgunaan obat yang mengandung hormon prostagladin sebagai media aborsi ilegal tersebut. Baik berupa teguran, 10
sanksi maupun pidana bagi oknum pelaku peredaran ilegal dan penyalahgunaan obat tersebut. Dengan absennya BPOM dan Dinas Kesehatan tersebut tentunya tidak ada efek jera bagi oknum pelaku sehingga dikhawatirkan penyalahgunaan obat tersebut semakin marak dilakukan. Oleh karena itu, perlu adanya identifikasi bagaimana kebijakan dan sistem pengawasan yang dilakukan oleh BPOM dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta pada khususnya dalam mengawasi obat secara umum, dan obat yang mengandung hormon prostagladin secara khususnya dan apakah terdapat ruang yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan obat tersebut oleh masyarakat luas sebagai media aborsi ilegal, khususnya di Yogyakarta. 1.2
Critical Review Penelitian tentang fungsi pengawasan BPOM Yogyakarta dan Dinas
Kesehatan Kota Yogyakarta dalam mengawasi peredaran dan penyalahgunaan obat keras yang mengandung hormon prostagladin yang digunakan sebagai obat aborsi ilegal secara umum adalah membahas mengenai pengawasan stakeholders terkait, khususnya BPOM dan Dinas Kesehatan dalam rangka meminimalisir penyalahgunaan obat yang mengandung hormon prostagladin sebagai media aborsi ilegal. Dalam penelitian ini, peneliti telah memperbandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang pengawasan BPOM dan Dinas Kesehatan dalam meminimalisir penyalahgunaan obat sebagai media aborsi ilegal. Adapun penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya diuraikan sebagai berikut, Pertama adalah penelitian yang ditulis oleh David Agustinus Purba (2013) dengan judul “Pelaksanaan Fungsi Balai Besar 11