orasi kebudayaan
H.S. Dillon
KemiskinanKesenjangan: Perbuatan atau Pembiaran?
cipta
Akademi jakarta
orasi kebudayaan
H.S. Dillon
KemiskinanKesenjangan: Perbuatan atau Pembiaran?
SAMBUTAN KETUA AKADEMI JAKARTA Assalamualaikum Wr.Wb,
P
eringatan Ulang Tahun ke 60 Konferensi Asia Afrika pada akhir April yang baru lalu telah berlangsung dengan sukses. Sekian banyak Kepala Negara atau setidaknya utusan resmi dari negara-negara Asia-Afrika datang untuk memperingati peristiwa historis ini. Barangkali tidaklah salah kalau dikatakan bahwa dalam sejarah hubungan internasional Konferensi AA ini adalah peristiwa yang terpenting sejak peresmian berdirinya PBB. Di samping merayakan “hari kebangkitan Asia-Afrika” ini, para tamu VIP itu juga datang untuk menghadiri konferensi AA yang membicarakan berbagai tantangan yang kini dihadapi negara-negara di kedua benua ini. Setelah konferensi yang serius diadakan di Jakarta, maka para tamu yang terhormat inipun bersama-sama merayakan peringatan ulang tahun Konferensi AA di kota Bandung, yang memang telah siap sedia menunggu kedatangan mereka. Di kota ini para tamu agung itu bukan saja diajak untuk mengingat dan merenungkan makna serta hasil “dasa sila” yang dihasilkan Konferensi AA, tetapi juga menghidupkan kembali suasana ketika negara-negara Asia Afrika, yang sebagian besar baru saja mengecap kemerdekaan mengikat tali persahabatan. Maka mestikah diherankan kalau kota Bandung bukan saja terhanyut dalam suasana yang membanggakan itu tetapi juga terlarut dalam aneka corak kegembiraan yang kreatif. Bukankah ketika kedatangan mereka pula jumlah pemain angklung yang tampil berhasil memecahkan rekor dunia? ii
Setelah dua hari dalam suasana gegap gempita Bandung akhirnya terbebas juga dari pesta internasional yang membanggakan ini. Tetapi seketika para tamu agung itu telah meninggalkan kota Bandung, Walikota pun harus mengurut dada. Dalam suasana kebanggaan ia menghadapi fakta betapa kebersihan kota dan keindahan taman bunga telah berantakan. Hal ini terjadi bukan karena keteledoran para tamu asing, tetapi akibat keasyikan dan enthusiasme penduduk Bandung dalam menikmati kemeriahan ulang tahun ke 60 Konferensi Asia Afrika ini . Tetapi bagaimanakah kemeriahan perasaan ini bisa ditahan? Bukankah pada hari-hari di akhir bulan April enam puluh tahun yang lalu Bandung telah mulai terkenal di seluruh dunia? Bukankah pula sejak itu nama Bandung abadi tercatat dalam sejarah dunia modern? Maka siapakah yang akan heran kalau “kerusakan akan keindahan” yang telah diusahakan dengan susah payah ini, harus dibayar penduduk Bandung dengan gotong-royong bersama Walikota? Maka ternyatalah betapa kebanggaan harus dibayar dengan keikhlasan kerja. Semua hal ini bukan saja dikisahkan oleh surat kabar dan majalah berita tetapi juga dipertontonkan oleh TV, yang kini jumlahnya entah telah berapa. Tetapi adakah berita yang mengisahkan betapa sekian banyak rencana harus ditunda akibat peristiwa di minggu terakhir di bulan April itu? Entah karena merasa terpaksa, entah karena ingin menjadi bagian dari suasana yang meriah ini, tetapi yang jelas apa yang telah direncanakan itu harus menunggu. Maka bisalah dimaklumi juga kalau penundaan yang tidak masuk berita ini biasanya terjadi di Bandung dan Jakarta. Jadi tidak perlulah diherankan kalau salah iii
seorang yang harus menunda rencana itu ialah seorang ilmuwan yang malah dengan gegap gempita pernah menyampaikan pidato yang berjudul The Spirit of Bandung: Grandiose Nostalgia of Golden Opportunity” dalam konferensi Asia-Africa Forum, The Spirit of Bandung (2005), Toward a Common Future. Tetapi apakah kejadian ini–suatu kebetulan mungkin- harus dianggap sebagai sebuah kesialan? Mungkin juga, tetapi ternyata tidak. Apalah artinya terlambat beberapa hari –atau satu dua minggu- jika ternyata apa yang diinginkan bisa didapatkan lebih baik? Maka kini baiklah saya berbicara terus terang saja dan tidak lagi sok bersastra-sastra. Begini ceritanya. Sebenarnya Akademi Jakarta telah berniat juga mensponsori peringatan ulang tahun saudara Lali atau nama resminya Harbrinderjit Singh Dillon ( H.S. Dillon) pada akhir April yang lalu. Maka persiapan awalpun mulai dilakukan bahkan draft pidato pun telah pula disiapkan, tetapi ternyata -sebagaimana berita–berita koran dan TV menyampaikan-- peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika akan dilaksanakan dengan segala kemeriahan. Jadi apakah kita belagak pilon saja terhadap peristiwa yang membanggakan itu? Maka putusan yang diambil ? Apalagi kalau bukan menjadikan hari ini sebagai pengganti hari yang telah “dihibahkan” untuk Perayaan Ulang tahun Konferensi A.A. Hari inilah ia merayakan Ulang Tahun –nya ke 70 dan hari ini pula Lali merasa leluasa menyampaikan pemikirannya tentang masalah kemiskinan. Tanpa dibebani oleh segala macam protokol atau bahkan jabatan resmi Dr.H.S.Dillon bisa menyampaikan pemikirannya tentang masalah yang sejak masa kuliah sampai umur yang telah sematang sekarang masih terus saja membebani pemikirannya. Ketika masalah kemiskinan yang masih dialami masyarakat bangsa telah dibicarakan ia bukanlah sekadar seorang ilmuwan yang asyik memperhatikan sesuatu yang iv
terhampar di sana—out there—tetapi adalah seorang pelaku dalam usaha mengatasinya. Ia tampil dalam berbagai kapasitas, mulai sebagai peneliti, tenaga LSM sampai sebagai perumus kebijaksanaan pada tingkat tertinggi. Jabatan resminya yang terakhir adalah “utusan khusus Presiden R.I. untuk urusan Kemiskinan”. Jadi sebelum Jokowi jadi Presiden, Lali boleh dikatakan “orangnya Presiden”. Tetapi sebelum ia tampil menyampaikan pemikiran, yang ditempa oleh ilmu dan pengalaman, perlu juga sekedarnya diketahui latar belakang kawan ini. Tetapi izinkanlah saya lebih dulu menyampaikan kesan saya. Seketika kata pertama atau teguran pertama keluar dari mulutnya maka diwaktu itu juga kita tahu -atau setidaknya saya tahu- ia adalah “anak Medan”. Ketika ia telah mulai menegur saya maka saya bukan lagi tahu tentang hal ini, tetapi semakin yakin saja. Meskipun dalam waktu yang singkat, tetapi kunjungan beberapa kali, yang sempat saya lakukan ke kota Medan, dengan gamblang menyatakan hal ini. Kalau saja rencana semula pertemuan ia diadakan pada tanggal 23 April, 2015 maka berarti ketika itulah H.S. Dillon tepat berumur 70 tahun. Tetapi bagaimana sekarang? Ya, tentu saja ia sudah lebih tua dua-tiga minggu dari 70 tahun. Meskipun telah cukup tua juga, tetapi –kalau saja otobiografi saya dibolehkan ikut serta- ia selalu menegur saya dengan panggilan “bang”. Artinya ia mengakui saya lebih tua. Ikhlas atau tidak ia harus panggil saya “abang”, karena ketuaan saya dua kali -saya lebih tua umur dan tidak kurang pentingnya saya lebih dulu selesai sekolah. Kebetulan kami bersekolah di universitas yang sama yaitu Cornell University, salah satu universitas yang masuk Ivy League, universitas elite di wilayah Timur Amerika Serikat, yang terletak di kota kecil, Ithaca,” above Cayuga lake”. Dillon menyelesaikan Ph.D.nya dalam Agri cultural Economics pada tahun 1983 dengan major atau studi utama International Trade and Development. v
Sejak menyelesaikan sekolah ini maka berbagai peran sosial politik telah dijalankannya dan malah sampai sekarangpun ia masih aktif. Dillon bukan saja seorang il muwan, yang telah dipersenjatai dengan segudang ilmu dan pengetahuan, tetapi adalah pula seorang intellektual, yang selalu mempertanyakan keabsahan segala corak ketimpangan sosial. Karena itu bisa pulalah dipahami kalau ia sering juga memainkan peranan sebagai seorang aktivis sosial -mencoba dan berusaha memperbaiki situasi kemasyarakatan yang dianggapnya tidak semestinya demikian. Jika ketiga peranan ini saja belum cukup, Lali pun sering juga dipercaya sebagai eksekutif bahkan kadang-kala juga sebagai penesehat dalam urusan pemerintahan dan bahkan hukum. Dalam keragaman peranan sosial inilah ia pernah menjabat Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Pertanian, ketua Badan koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan sebagainya dan tentu saja yang terakhir Utusan Khusus Presiden untuk Urusan kemiskinan. Iapun pernah juga menjadi anggota Dewan Ekonomi Nasional dan bahkan sebelumnya ia adalah seorang Komisioner dari Komisi Hak Azasi Manusia. Dengan segala subjektivitas saya tentu saja saya tak mungkin lupa dengan kedudukannya sebagai Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola di Indonesia., UNDP. Saya tidak lupa karena –entah apa sebabnya- saya sempat juga diundang untuk menyampaikan pemikiran pada tokoh-tokoh N.U. dan Muhammadyah. Akhirnya, maafkanlah kalau saya sempat juga merasa heran, karena ternyata selama dua tahun (2004-2006) ia adalah Ketua Majelis Wali Amanat, Institut Teknologi Bandung, ITB -padahal sejak muda ia sibuk belajar dan bergiat dalam masalah pertanian. Ia tamatan USU-Medan dan diasah di IPB-Bogor, tetapi yang pasti bukan ITB-Bandung. Tetapi memang harus disadari juga, ketika pengakuan akan keteladanan telah diakui berbagai kemungkinan pun telah tervi
buka lebar. Maka bisalah dimaklumi juga kalau ia pernah juga terpilih sebagai Wakil Presiden dari Masyarakat Ekonomi Pertanian Asia, yang berpusat di Seoul ( 2003-2006). Dengan corak kegiatan dan pengakuan sosial seperti ini -dari pejabat resmi sampai aktivis LSM- maka mestikah diherankan kalau ia tidak bisa membebaskan diri dari keharusan menyampaikan pemikiran secara tertulis? Maka lagi-lagi keragaman peran tampak jelas pula. Ada kalanya ia menampilkan diri sebagai kolumnis –mengatakan sesuatu dengan gaya bahasa agak ringan dan dengan panjang tulisan yang terbatas pula. Peranan ini pernah dimainkannya dalam surat kabar berbahasa Inggris, The Ja karta Post dan bahasa Indonesia Kompas dan Media Indo nesia. Ada kalanya ia tampil dengan artikel akademis dan bahkan buku yang lebih menunjukkan wilayah keahlian akademis. Di samping sekian banyak artikel dalam bahasa Inggris tentang masalah ekonomi pertanian dan kemiskinan ia menerbitkan juga buku Pertanian Membangun Bangsa, diterbitkan oleh Sinar Pustaka. Ternyata telah panjang juga kisah yang telah saya sampaikan, padahal maksud hanya sekadar perkenalan singkat saja. Maka dengan mengucapkan SELAMAT ULANG TAHUN dan diiringi doa SEMOGA PANJANG UMUR dan SENANTIASA AKTIF demi “meningkatkan kemakmuran rakyat“ dan “mencerdaskan kehidupan bangsa” saya mempersilahkan saudara Dr. H.S. Dillon menyampaikan pidato ulang tahunnya.
Wassalamulaikum.
Taufik Abdullah Ketua AKADEMI JAKARTA vii
viii
RESUME ORASI
HS Dillon
merupakan salah satu tokoh nasional yang sebagian besar perjalanan karier dan kiprahnya secara konsisten menyuarakan dan mendorong setiap rezim pemerintahan untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada rakyat miskin. Dalam pandangan seorang HS Dillon di Negara Indonesia yang kaya raya ini tidak sepatutnya masih banyak terdapat rakyat miskin dan kesenjangan yang semakin meningkat. Untuk itu, dalam usianya yang menginjak 70 tahun, HS Dillon ingin membangkitkan kembali semangat kepeloporan, kejuangan, dan pengabdian demi membangun Republik yang mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apalah artinya “Merdeka” manakala hampir separuh saudara kita masih berada dalam cengkeraman kemiskinan? Apalah artinya Republik apabila yang dituai hanyalah kesenjangan? Ada banyak aspek yang sangat menarik dan sangat perlu untuk disuarakan kembali dalam orasi budaya ini. Tiga paradoks pembangunan yang disampaikan pada bagian awal orasi sangatlah menggambarkan kondisi di Indonesia. Pertama, kemiskinan meningkat tajam di te ngah masyarakat yang kaya. Kedua, di tengah-tengah ke ix
kayaan yang melimpah, kita mempunyai kesempatan yang semakin kecil untuk mewujudkan kepedulian. Ketiga, ke butuhan tenaga kerja sangat besar, namun pengangguran terus meningkat. Ketiga paradoks pembangunan tersebut hadir di tengah masyarakat kita karena tipisnya (untuk tidak dikatakan tidak ada) nurani para konglomerat yang telah mengekstraksi kekayaan alam dan potensi ekonomi negeri tercinta ini, untuk berbagi dalam artian yang sebenarnya. Sektor pertanian yang telah dibangun sejak awal Orde baru dengan susah payah dan menelan biaya yang sangat besar; hanya perlu satu dekade menuju ke ambang keterpurukan. Hal ini diindikasikan oleh penurunan jumlah rumah tangga petani (yang berarti sektor pertanian sudah tidak menarik lagi), produktivitas tenaga kerja yang relatif rendah, tingkat pendapatan yang masih jauh dari memadai untuk menjadi sejahtera, dan menyisakan generasi tua untuk tetap bergelut di usaha pertanian. Potret buram sektor pertanian semakin diperburuk oleh fenomena land grabbing oleh segelintir konglomerat. Mengapa pembangunan yang sudah dilakukan oleh berbagai rezim pemerintahan tak kuasa mengangkat harkat hidup rakyat miskin? Karena kita telah terperangkap dalam paham pembangunan kolonialisme yang ekstraktif dan feodal. Sulitnya bangsa Indonesia melepas pengaruh kolonialisme merupakan buah keberhasilan Hindia Belanda yang dalam kurun waktu yang sangat panjang mampu menciptakan strata masyarakat, yaitu rakyat jelata, kaum pedagang/pengusaha, dan priyayi (pekerja pemerintahan). Penciptaan strata tersebut dimaksudkan agar rakyat jelata tetap dijadikan “koeli” yang melayani para pedagang/pengusaha dan kaum priyayi. Fakta bahwa paham kolonialisme telah sedemikian dalam merasuk ke individu anak bangsa, maka sejak awal kemerdekaan Indonesia Bung Karno tiada bosanx
nya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk melakukan revolusi yang digelorakan dengan istilah “Menjebol dan Membangun”. Menurut Bung Karno, esensi revolusi adalah menghancurkan nilai-nilai, kebiasaan, dan praktek sistim kolonialisme dan imperialisme di lapangan ekonomi, politik, dan sosial-budaya dan segala bentuk “L’exploitation de l’homme par l’homme”. Ada empat fakta besar yang mengindikasikan Indonesia tidak mampu menjadi negara besar dan berdaulat secara penuh. Pertama, selama satu dekade terakhir (2003-2013) nilai impor pangan kita melonjak 346%, yaitu dari sekitar 3,34 milyar US$ (2003) menjadi 14,9 milyar US$ (2013). Kondisi ini menjadikan kita saat ini menghadapi fenomena “todongan pistol” masalah pangan jilid 2 yang lebih kompleks. Kedua, pengurasan sumberdaya perdesaan semakin masif dilakukan dan ironisnya hanya setetes dua tetes saja yang kembali ke perdesaan. Ketiga, kesenjangan pendapatan dan penguasaan lahan semakin meningkat dan menggelisahkan, yang diindikasikan dari nilai indeks gini masing-masing sebesar 0,41 dan 0,72. Keempat, pembangunan Indonesia sejak Orde Baru hingga saat ini bias ke wilayah barat Indonesia. Hal ini diindikasikan dari kontribusi PDRB Pulau Jawa terhadap PDB nasional yang masih sekitar 57,39%, sementara Pulau Sumatera sekitar 23,16%. Carut marut pembangunan yang semakin menjauh dari masyarakat miskin dan semakin memperdalam jurang kesenjangan; utamanya disebabkan karena kita (sadar atau tidak sadar) telah terjebak dalam sociology of ignorance (pembiaran). Ada tiga sikap “pembiaran” yang umum dilakukan, yaitu acuh pada saat melihat kekeliruan atau kejahatan; acuh karena kita terlibat konspirasi jahat; dan acuh karena keilmuan kita telah terbeli. Dampak dari sikap “pembiaran” ini sungguh dahsyat mempengaruhi perilaku masyarakat yang semakin menjauh dari ada xi
ketimuran. Untuk itu, perlu disebarluaskan postulat baru mengenai keadilan. Postulat baru menekankan bahwa dunia, masyarakat dan manusia secara inheren dimulai dalam kesetaraan. Setiap manusia, meski berbeda-beda secara individual, namun secara esensial setara. Postulat baru mengenai keadilan menjadi landasan untuk melaksanakan paradigma pembangunan yang berkeadilan (growth through equity). Esensi utama dari pembangunan yang berkeadilan adalah masyarakat miskin diupayakan untuk menerima manfaat yang lebih besar (dibandingkan dengan masyarakat kaya) dari adanya pembangunan dan investasi publik yang dilakukan oleh pemerintah. Paradigma pembangunan yang berkeadilan akan semakin kokoh manakala didukung dengan paradigma people driven (berkerakyatan). Mazhab pembangunan ini mengutamakan kemanusiaan yang menganjurkan agar semua kebijakan yang disusun, kelembagaan yang dibangun, teknologi yang dirakit maupun diambil-alih, ditentukan oleh komposisi kebutuhan dan kemampuan rakyat, kesemuanya bermuara pada pemulihan harkat dan martabat seluruh rakyat. Atas dasar dua paradigma tersebut ada 3 saran pemikiran besar yang ditujukan untuk pemerintahan Jokowi-JK. Pertama, pemerintah harus segera merealisasikan reforma agraria yang telah dijanjikan. Kedua, buatlah disain besar pembangunan ekonomi nasional secara jelas dan komprehensif. Ketiga, menggugah rasa nasionalisme dan keutuhan nusantara dari Sabang hingga Merauke. l
xii
KemiskinanKesenjangan: Perbuatan atau Pembiaran? Yth Excellencies, para cendekia, para pegiat, para pejabat dan para pengusaha. Ibu dan Bapak para undangan serta hadirin yang dimuliakan, Selamat sore.
Manusia mesti mematahkan semua yang merintangi kemerdekaannya. Ia harus merdeka! Sebuah bangsa pun mesti merdeka berpikir dan berikhtiar (Tan Malaka, Naar de Republiek, 1925)
S
aya bersyukur ke-hadapan Illahi Rabbi karena telah diberikan kesempatan berdiri di hadapan majelis warga Bangsa Indonesia Merdeka yang dihimpun Akademi Jakarta yang sangat berilmu dan bernurani, untuk menyampaikan beberapa pemikiran saya mengenai pembangunan dan keadaan Bangsa sekarang ini. Hal-hal yang akan saya 1
Orasi Kebudayaan: H.S. Dillon
sampaikan merupakan hasil bentukkan keluarga, sekolah, pendidikan, latihan, dan pengalaman sepanjang hidup saya. Sore hari ini, saya akan berikhtiar meyakinkan Saudara-saudara seBangsa dan seTanah Air untuk membangkitkan kembali semangat kepeloporan, kejuangan, dan pengabdian menuju Republik yang mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Saya ingin mengawali uraian ini dengan sebuah pertanyaan yang mengusik setiap menjelang HUT Proklamasi Kemerdekaan: Apa artinya Merdeka bagi rakyat? Tanggal 17 bulan Agustus yang akan datang Indonesia juga akan mencapai usia 70 tahun. Seperti halnya yang banyak dipikirkan orang, saya tak rela jika HUT Proklamasi Kemerdekaan tercatat sekedar sebagai rangkaian cerita peringatan lantas redup, menunggu persiapan peringatan tahun berikutnya. Bagi saya, di usia matang ini kita bersama harus merefleksikan kembali secara jernih perjalanan mewujudkan tujuan perjuangan kemerdekaan, terutama terwujudnya “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Tidak hanya sebagai pernyataan bangsa yang berhasil mematahkan belenggu penjajahan fisik dengan pengorbanan besar tetapi juga harus dibumikan sebagai “tidak ada kemiskinan di Indonesia Merdeka”. Apalah artinya “Merdeka” manakala hampir separuh saudara kita masih berada dalam cengkeraman kemiskinan? Apakah kita memang sedang menuju Republik apabila sepanjang perjalanan yang kita tuai hanyalah kesenjangan? Bung Karno (1945) telah menyatakan dengan tegas bahwa “Merdeka adalah ‘political independence’, politieke onafhankelijkheid”. Kemerdekaan perlu kita rebut karena merupakan “jembatan emas”, untuk mengembalikan dan memperbaiki kehidupan rakyat yang lebih bermartabat dan berbudi luhur. Hakekat Indonesia Merdeka adalah terwujudnya suatu bangsa yang merdeka seratus persen sehingga mampu berpikir dan bertindak menghadapi tan2
Kemiskinan-Kesenjangan: perbuatan atau pembiaran?
tangan seberat apapun guna menghapus kemiskinan dan kesenjangan dari Nusantara. Bagi saya, cela tak hapus jika masih tersisa seorang sajapun suami yang terpaksa menjual ginjalnya demi menebus biaya pengobatan sang istri; siswa sekolah dasar yang menggantung diri karena tak mampu membeli buku tulis; anak perawan mengorbankan kehormatannya di negeri orang; dan petani lapar yang mengkais-kais sampah di Bantar Gebang. Hina rasanya bila kita hanya bisa menjadi penonton bisu pada saat orang Betawi terpinggirkan dilanda arus deras pembangunan perumahan mewah beserta pasar-pasar modern. Kekuatan uang menjadikan kita hanya mampu terpaku melihat Suku Dayak menyabung nyawa mempertahankan sungai dari pencemaran tambang dan perkebunan; masyarakat Bali yang terancam tenggelam akibat investasi berkemas reklamasi; penduduk Banda Neira kekurangan gizi akibat pencurian ikan yang dimodali juragan; atau Suku Anak Dalam menderita kelaparan di hutan yang telah beralih fungsi. Masih banyak lagi jeritan anak negeri yang diredam keserakahan dan pragmatisme sementara warga negara yang telah kehilangan rasa kemanusiaannya. Hadirin yang berbahagia, Saya ingin mengajak Ibu dan Bapak sekalian melihat, atau lebih tepatnya mendengarkan, apa yang ‘dibisikkan’ dan bukan sekedar apa yang ‘diteriakkan’ data yang tersedia. Namun sebelumnya, saya ingin menyampaikan tiga paradoks dari enam paradoks pembangunan yang disampaikan Bob Goudzwaard dan Harry de Lange (1998). Pertama, kemiskinan meningkat tajam di tengah masya rakat yang kaya. Bank Dunia (2013) mencatat sekitar 46% penduduk Indonesia saat ini masih hidup dalam kondisi miskin karena mereka hanya mampu berbelanja sebesar US$ 2 per orang per hari. Disisi lain, Majalah Forbes 3
Orasi Kebudayaan: H.S. Dillon
(2014) melaporkan total nilai 50 orang terkaya di Indonesia mencapai US$102 miliar; terlintas seketika, berapa sebenarnya dana yang diperlukan untuk menutup poverty gap, agar kemiskinan tidak tersisa? Kedua, di tengah-tengah kekayaan yang melimpah, kesempatan mewujudkan kepedulian semakin menciut. Menjelang akhir, tatkala menyadari bahwa pemerataan yang diharapkan dari paradigma Trilogi Pembangunan tidak kunjung terwujud, Presiden Suharto mencoba menagih tanggung-jawab kebangsaan dari para konglomeratkroninya. Jelmaan The Big Five zaman penjajahan diminta membagi 15% sahamnya kepada lapisan karyawan mereka yang terendah. Ternyata himbauan Bapak Pembangunan menemukan hati yang sudah membeku. Malah, tatkala Pak Harto lengser akibat didesak krisis ekonomi yang dipicu keserakahan kroninya tadi, justeru mereka yang diselamatkan IMF/Bank Dunia; sementara hutang nya dialihkan keatas pundak rakyat, semakin melanggengkan kesenjangan. Konglomerat yang tumbuh-subur dalam pemerintahan otoriter ternyata berhasil menguasai kembali pemerintahan (state re-capture) pasca-Reformasi yang mati suri. Ketiga, kebutuhan tenaga kerja sangat besar, namun pengangguran terus meningkat. Jumlah pengangguran terbuka 2014 mencapai 7,24 juta orang dan jumlah tersebut relatif tidak berubah selama kurun waktu empat tahun terakhir (BPS, 2015). Lantas apa makna dari pertumbuhan ekonomi selama dasa warsa 2004-2014 yang selalu tercatat di atas 5%/tahun? Kemana larinya nilai tambah ekonomi, sehingga kita tidak mampu menyediakan kesempatan kerja dan berusaha yang bermartabat? Siapakah yang diuntungkan dari pertumbuhan ini? Untuk siapakah sebenarnya pembangunan nasional? Ketiga paradoks pembangunan tersebut hadir di tengah masyarakat kita karena tipisnya nurani para kong4
Kemiskinan-Kesenjangan: perbuatan atau pembiaran?
lomerat yang telah berhasil mengekstraksi kekayaan alam dan berburu rente melalui kolusi dengan penguasa, untuk berbagi dalam artian yang sebenarnya. Besarnya peran sektor properti, sektor finansial, serta pertambangan dan perkebunan besar dalam perekonomian seakan terpisah dari rakyat, karena pelaku dan peraih manfaatnya sangat terkonsentrasi. Memang, lembaga keuangan pro-pasar ADB secara jujur menemu-kenali bahwa tiga pendorong pertumbuhan yaitu globalisasi, kemajuan teknologi, dan reformasi pro-pasar justeru semakin memperlebar kesenjangan. Tantangan terbesar kita adalah mentransformasi ekonomi nasional sehingga sektor yang dominan adalah pertanian bernilai-tambah tinggi, agro-industri yang mengolah produksi petani dan industri padat-karya lainnya, serta jasa berbasiskan internet. Kesemuanya ini akan memicu penciptaan kesempatan kerja dan berusaha bernilai-tinggi, akan mengurangi kesenjangan struktural, dan juga kesenjangan pusat-daerah. Hadirin yang budiman, Sekarang mari kita simak potret besar sektor yang hingga kini masih dihuni oleh sekitar 50% penduduk miskin (BPS, 2014), padahal seharusnya ia yang menjadi landasan pembangunan bangsa. Hasil Sensus Pertanian 2013 mengungkap gejala yang menggelisahkan. Hanya dalam satu dasawarsa telah tergerus prestasi yang dibangun dengan susah-payah dan biaya yang sangat mahal pada awal Orde Baru. Indikasi rapuhnya sektor pertanian yang pertama adalah menurunnya jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) sebanyak 5,096 juta RTUP selama periode 2003-2013; sementara gini rasio kepemilikan lahan semakin meningkat. Oleh karena itu, penurunan jumlah rumah tangga pertanian tersebut patut diduga berkaitan dengan pelepasan lahan, khususnya oleh petani gurem. 5
Orasi Kebudayaan: H.S. Dillon
Inilah gejala kaum tani yang tergusur derita, sehingga terpaksa menyewakan dirinya kepada bangsa asing yang belum mampu menghargai kemanusiaan. Pertanda kedua adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yang hanya Rp 34,44 juta/ orang/tahun, atau yang terendah dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Sebagai perbandingan, produktivitas tenaga kerja sektor pertanian kurang dari seperempatnya sektor industri pengolahan dan kurang dari seperduapuluhnya sektor pertambangan dan penggalian. Ini bukti prima facie bahwa program yang dijuluki pembangunan pertanian belum mampu mendayagunakan anggaran belanja, kelembagaan dan iptek untuk memungkinkan kaum tani mengakumulasi modal agar dapat naik kelas menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Gejala ketiga adalah rendahnya pendapatan yang diperoleh petani. Selama kurun waktu 2011-2013, BPS mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) hanya sekitar 104. Artinya, surplus pendapatan yang diperoleh petani sangatlah kecil. Selain itu, upah riil buruh tani selama kurun waktu 2009-2013 secara konsisten juga mengalami penurunan dari sekitar Rp 30,5 ribu per hari menjadi Rp 27,5 ribu per hari. Kondisi ini menunjukkan terjadinya penurunan daya beli buruh-tani dan apabila terus terjadi pembiaran maka mereka akan semakin terjerumus kedalam kemiskinan struktural. Terkesan kuat bahwa penguasa dan pengusaha membiarkan kaum tani semakin miskin agar armada buruh dan pembantu rumah-tangga murah terus tersedia untuk melayani kepentingan elit. Perkembangan keempat adalah semakin ditinggalkannya usaha pertanian oleh generasi muda. Selama dasawarsa 2003-2013, jumlah petani yang berusia 45 tahun ke atas semakin bertambah; sementara yang berusia 45 tahun ke bawah semakin menurun dan yang lebih memprihatinkan penurunan yang tertinggi terjadi pada kelompok 6
Kemiskinan-Kesenjangan: perbuatan atau pembiaran?
usia 25-34 tahun. Sektor pertanian rakyat dimarjinalkan sehingga kaum tani bukannya bertransformasi menjadi bos-bos kecil tetapi tergusur menjadi tenaga kerja tidak berkeahlian di perkotaan. Potret suram sektor pertanian semakin memiriskan apabila kita sandingkan dengan fakta yang disampaikan Forest Watch Indonesia bahwa sampai dengan tahun 2013, sekitar 44 juta hektar atau 25% luas daratan Indonesia telah dibebani izin pengelolaan lahan dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam, perkebunan kelapa sawit, dan juga pertambangan. Fakta ini tidak terlalu memilukan apabila lahan tersebut dikelola jutaan petani dan pengusaha kecil Indonesia; namun kenyataannya justru berkebalikan; karena izin-izin tersebut terkonsentrasi ditangan segelintir pengusaha. Kolusi penguasa, baik pusat apalagi daerah, dalam pemberian kuasa penggunaan lahan kepada sementara pengusaha merupakan manifestasi fenomena land grabbing yang sangat besar kontribusinya terhadap semakin kronisnya kemiskinan dan kesenjangan diperdesaan. Fakta-fakta tersebut menegaskan bahwa kemiskinan dan kesenjangan ini bergeming padahal prestasi senantiasa digambarkan gemilang. Tujuh kali berganti rezim, beragam strategi dan rencana pembangunan diformulasikan, trilyunan dikucurkan, ribuan pakar turun tangan mengatasi, namun tetap saja kemiskinan dan kesenjangan dengan leluasanya menggerogoti negeri karena akar masalahnya tidak mau dihadapi. Hadirin yang terhormat, Awalnya saya tidak mampu menjawab lugas pertanyaan mengapa, setelah berpuluh-puluh tahun Indonesia menyatakan kemerdekaannya, cita-cita para pendiri bangsa untuk mewujudkan rakyat yang makmur dan sejahtera belum juga terwujud. Setelah melakukan pencermatan se7
Orasi Kebudayaan: H.S. Dillon
panjang perjalanan karier saya, jawaban atas pertanyaan tersebut sangatlah sederhana, yaitu kita telah terperangkap dalam paham pembangunan feodal dan kolonialis yang ekstraktif. Kita boleh berkilah bahwa setiap rezim pemerintahan mempunyai desain pembangunan yang disesuaikan dengan kondisi saat itu; namun diakui ataupun tidak, penerima manfaat terbesar tetaplah segelintir penguasa dan pengusaha yang berada di sekitar pusat kekuasaan. Sulitnya bangsa Indonesia meninggalkan perangai kolonialisme merupakan bukti keberhasilan Hindia Belanda menciptakan strata masyarakat, yaitu rakyat jelata, kaum pedagang/pengusaha, dan priyayi (pekerja pemerintahan). Penciptaan strata tersebut dimaksudkan agar rakyat jelata tetap dijadikan “koeli” yang melayani para pedagang/pengusaha dan kaum priyayi. Melalui pembedaan strata masyarakat tersebut, pemerintah Hindia Belanda berhasil mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, sebagaimana diindikasikan oleh besarnya ekspor komoditas perkebunan, seperti pala, cengkeh, karet, gula, dan lain sebagainya. Namun pertumbuhan ekonomi pemerintah Hindia Belanda yang tinggi tersebut dibangun diatas penderitaan rakyat, sebagaimana dicerminkan oleh kemiskinan yang kian menyebar dan kesenjangan sosial yang semakin meningkat. Kezaliman penguasa seperti inilah yang mendorong para pejuang angkat senjata merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Menyadari bahwa paham kolonialisme telah sedemikian merasuk kedalam sanubari individu anak bangsa, maka sejak awal kemerdekaan Indonesia Bung Karno tiada bosannya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk menlancarkan revolusi yang digelorakan dengan istilah “Menjebol-Membangun, Menjebol lagi-Membangun lagi”. Menurut Bung Karno, esensi revolusi adalah menghancurkan nilai-nilai, kebiasaan, dan praktek sistem kolo8
Kemiskinan-Kesenjangan: perbuatan atau pembiaran?
nialisme dan imperialisme di lapangan ekonomi, politik, dan sosial-budaya dan segala bentuk “L’exploitation de l’homme par l’homme”. Oleh karena itu diperlukan penjebolan lembaga ekstraktif berulang sampai terbentuknya kelembagaan representatif yang menmperjuangkan kepentingan rakyat. Namun hingga menjelang tujuh dasawarsa setelah proklamasi kemerdekaan, ajakan mengobarkan revolusi mental tersebut masih belum berhasil menggetarkan nurani elit. Disadari atau tidak, pengaruh paham kolonialisme masih menyelinap kedalam kebijakan pembangunan Indonesia hingga saat ini. Dalam kalimat lain, yang hendak saya katakan adalah bahwa kendati bentuk dan kadarnya berbeda, tetapi yang khususnya berkaitan dengan strata masyarakat, desain pembangunan kita masih berorientasi ekstraktif dan hanya menguntungkan segelintir penguasa dan pengusaha. Mendapatkan rente dengan begitu mudah, tidak ada insentif bagi pengusaha untuk melakukan inovasi agar komoditas ditingkatkan menjadi produk. Sehingga peningkatan nilai-tambahnya juga turut dinikmati rakyat. Ketergantungan kepada produksi dan ekspor komoditaslah yang mengakibatkan perekonomian nasional diombang-ambingkan perekonomian global. Hadirin yang berbahagia, Buah dari disain pembangunan yang masih ekstraktif dan feodalistis adalah kita tidak mampu menjadikan bangsa Indonesia sebagai negara besar yang mandiri dan berdaulat seratus persen. Dalam kesempatan yang singkat ini, saya akan mengemukakan empat fakta besar yang menarik. Pertama, selama satu dekade terakhir (2003-2013) nilai impor pangan kita melonjak 346%. Kondisi ini disinyalir berkaitan dengan penurunan luas lahan pertanian dari 31,2 juta ha menjadi 26 juta ha selama dasawarsa yang sama. Terkait dengan pangan, kita saat ini sedang meng9
Orasi Kebudayaan: H.S. Dillon
hadapi ancaman “todongan pistol” generasi kedua yang lebih rumit dibandingkan pada saat Proklamator mewanti-wanti pada peletakan batu pertama pembangunan kampus Fakultas Pertanian UI di Bogor. Mengapa? Karena dahulu hanya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan yang sepenuhnya dapat diproduksi di dalam negeri. Namun saat ini, kita sudah terperangkap dalam ketergantungan pada pangan impor. Pada ahun 1971 impor gandum kita hanya 120 ribu ton sementara saat ini sudah hampir mencapai 7 juta ton dan menjadi pangan hingga kepelosok Negeri! Kedaulatan Bangsa tergadai: apakah ini hanya pembiaran atau memang tergolong perbuatan menciptakan negara een koelie onder de naties? Kedua, pengurasan sumberdaya perdesaan semakin masif dilakukan dan ironisnya hanya setetes dua tetes saja yang kembali ke perdesaan. Sebagai contoh, BRI -yang mulanya Bank Tani Nelayan- dengan tugasi utama memfasilitasi akumulasi modal pada usaha pertanian dan para nelayan, kini capaian laba bersihnya saat ini mencapai Rp 24,3 trilyun. Kendati laba tersebut sebagian diperoleh dari Simpanan Pedesaan, ternyata BRI lebih banyak membantu akumulasi modal diluar pertanian dan perdesaan. Kondisi asimetri ekonomi perdesaan seperti inilah --- dibenarkan ekonom arus-utama pragmatis yang mengagungkan laba, yang menjadikan kemiskinan sulit dihapuskan dan kesenjangan bahkan semakin melebar. Ketiga, kesenjangan pendapatan dan penguasaan lahan semakin meningkat dan menggelisahkan, yang diindikasikan dari nilai indeks gini masing-masing sebesar 0,41 dan 0,72. Ketimpangan penguasaan lahan yang sedemikian tinggi adalah karena 11 juta ha perkebunan kelapa sawit dikuasai oleh korporasi, sementara perkebunan rakyat hanya 20 persennya. Selain itu, areal hutan tanaman industri dan hak penguasaan hutan mencapai lebih dari 40 juta ha, sementara hutan rakyat kurang dari 1 juta ha. 10
Kemiskinan-Kesenjangan: perbuatan atau pembiaran?
Kembali dada disesak pertanyaan: siapa sebenarnya pemilik Negeri ini? Keempat, pembangunan Indonesia sejak Orde Baru hingga saat ini bias ke Wilayah Barat Indonesia. Hal ini diindikasikan dari kontribusi PDRB Pulau Jawa terhadap PDB nasional yang masih sekitar 57,39%, sementara Pulau Sumatera sekitar 23,16%. Namun ironisnya, walaupun pembangunan bias ke Wilayah Barat Indonesia, jumlah penduduk miskin paling banyak justru berada di Jawa dan Sumatera yang mencapai 21,2 juta orang atau sekitar 76% dari total penduduk miskin Indonesia. Ini menandakan pemiskinan dan pelanggengan kesenjangan yang berlapis: spatial sekaligus struktural. Padahal, pada awal Orde Baru, upaya mengejar swasembada beras semata berhasil meningkatkan pendapatan petani kecil dan upah riil buruh tani. Ternyata peningkatan daya beli ini mampu memicu roda perekonomian pedesaan, menciptakan kesempatan kerja dan berusaha yang baru secara masif. Dunia belum pernah menyaksikan laju penurunan kemiskinan di pedesaan yang begitu cepat. Prestasi inilah yang mengantarkan Presiden Soeharto berbagi mimbar dengan Presiden Perancis, Francois Mitterand, di Roma. Sayangnya, saat ini sistem penyuluhan pertanian sudah jauh menurun efektifitasnya di lapangan – tidak ada lagi demonstration plot yang dapat meyakinkan petani bahwa bibit unggul yang baru dihasilkan Kementerian Pertanian akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Hadirin yang dimuliakan, Diam tidak selalu berarti emas. Diam pada saat melihat kekeliruan atau kezaliman berarti pembiaran; diam karena kita terlibat konspirasi jahat berarti kejahatan; dan diam karena keilmuan kita terbeli berarti pengkhianatan. Ketiga makna diam tersebut tercakup dalam pengertian 11
Orasi Kebudayaan: H.S. Dillon
tentang sociology of ignorance yang sudah lama melanda negeri kita. Akibatnya sungguh menyesakkan dada karena perilaku masyarakat kita jauh dari keluhuran budi yang diagungkan bangsa timur. Pembiaran yang terlalu lama terhadap perilaku korup telah meyakinkan sementara masyarakat bahwa perbuatan nista tersebut merupakan keniscayaan. Bahkan dengan piawainya, sebagian koruptor dapat menjelma sebagai pahlawan tatkala dikorbankan oleh para sekutunya. Kita perlu tekankan disini bahwa korupsi adalah perbuatan yang paling jahat terhadap rakyat – corruption is stealing from the poor! Perlawanan masyarakat Gunung Kendeng terhadap pembangunan pabrik semen yang dikhawatirkan akan merusak sumber air merupakan contoh lain dari adanya pembiaran karena sebagian dari kita telah menggadaikan diri kepada korporasi. Harapan Sukinah terhadap pemimpin daerah dan pemimpin negara yang dia pilih untuk membantu menyelesaikan masalah ini ternyata membuahkan hasil yang mengecewakan. Bahkan Sukinah dan kawan-kawannya merasa telah dikhianati. Sangat pantas mereka pada akhirnya putus asa karena Pemerintah yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan konflik yang telah berlangsung lama ternyata tiada mau menghadapi korporasi besar. Kasus nenek Asyani merupakan contoh sirnanya sikap kesetiakawanan dan kebersamaan di dalam komunitas. Keberadaan masyarakat miskin di sekitar hutan seakan-akan sudah dianggap takdir yang harus diterima dan dijalani. Kalaupun benar nenek Asyani mengambil sesuatu yang bukan haknya secara legal, sangat diyakini hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan kehidupan yang ruang-geraknya semakin dipersempit oleh pemburu rente. Melihat ketiga contoh di atas, saya menawarkan postulat baru mengenai keadilan. Postulat baru mene12
Kemiskinan-Kesenjangan: perbuatan atau pembiaran?
kankan bahwa dunia, masyarakat dan manusia secara inheren dimulai dalam kesetaraan. Setiap manusia, meski berbeda-beda secara individual, namun secara esensial adalah setara. Dunia, relasi dan praktik sosial yang datang kemudianlah yang membuat manusia terbelah-belah dalam partisi-partisi, hingga menghasilkan masyarakat yang timpang, relasi dominasi dan ketaksetaraan. Dalam postulat baru, tugas politik dan ekonomi adalah merobohkan partisi-partisi sosial, ekonomi itu untuk mengembalikan lagi kesetaraan sebagai keadilan. Dengan jalan pikiran itu, anda barangkali akan menuduh saya tengah bermimpi. Namun demikian, menurut saya, dalam soal yang sepenting ini, kita memang mesti memulai dari posisi yang paling lugas dan jelas. There are many ways of being human, but each society makes a choice of the way it prefers or tolerates. Ada banyak cara untuk menjadi manusia, namun setiap masyarakat menyediakan pilihan-pilihan yang bisa diacu atau bisa diterima secara khas. Artinya, mengenai apa dan bagaimana wajah dan tingkat dignitas kita, dapat dideterminasi oleh kita sendiri. Kita yang mesti merencanakan dan mencanangkan cita-cita dan kehendak terbaik yang mau kita bangun untuk masyarakat kita. Dalam kerangka itu, apa salahnya meletakkan postulat yang diujung untuk masalah yang paling penting dalam kehidupan kita bersama. Hadirin sekalian, Secara etis, penanggulangan kemiskinan Indonesia sudah sejak lama dijalankan dengan penghampiran keliru. Paradigma serta kebijakan yang tumbuh, setidaknya sejak Orde Baru hingga kini, diselenggarakan dengan basis pembiaran terhadap orang miskin. Apa maksudnya? Apa pula buktinya? Kita ketahui bahwa Pemerintahan Suharto memulai “Orde Baru” dengan memberikan peran utama dalam pro13
Orasi Kebudayaan: H.S. Dillon
ses produksi kepada para pemilik modal. Struktur kelembagaan yang didominasi oleh militer dan para terpelajar, lebih memfokuskan pada stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Mereka meyakini bahwa keberhasilan pembangunan suatu bangsa, ditentukan oleh peningkatan laju pertumbuhan ekonominya, hingga dari situ diharapkan menghasilkan Trickle Down Effect yang pada gilirannya akan dapat mensejahterakan dan membawa kemajuan bagi rakyat. Petumbuhan dan Trickle Down Effect mengandaikan beberapa kondisi: Pertama, bahwa aktor ekonomi mesti dimulai dari mereka yang bermodal besar. Kedua, bahwa untuk terjadinya efek menetes, maka penggelembungan mesti terjadi terlebih dahulu di wilayah yang dimiliki oleh para pemilik modal besar itu. Ketiga, selama penggelembungan dilakukan, efek menetes tidak dapat terjadi, distribusi tidak dimungkinkan. Keempat, untuk mendapatkan manfaat pembangunan, orang miskin mesti menunggu hingga penggelembungan kekayaan ekonomi menghasilkan efek yang diharapkan. Ringkasnya, selama orang kaya belum bertambah kaya, selama itu pula orang miskin mesti tetap dibiarkan miskin. Pun, sekiranya orang kaya bertambah kaya, tidak dengan serta merta orang miskin berubah menjadi kaya. Cara pandang ini sedari awal berpijak pada asumsi yang keliru karena telah berpihak kepada kaum pemodal. Bahwa kemajuan orang miskin dan seluruh kehidupannya hanya dianggap sebagai akibat atau efek samping saja dari dunia orang kaya. Di sini, orang miskin dipandang semata-mata sebagai recipient atau penerima yang pasif. Dimensi kepasifan ini pula, yang pada ujungnya menjadi mekanisme penghalang bagi kemungkinan perubahan sosial yang lebih otentik, sehingga dengan itu jurang kaya-miskin tetap dipertahankan. Sebuah teori pembangunan atau kebijakan nasional yang dimaksudkan untuk mewujukan keadilan sosial bagi 14
Kemiskinan-Kesenjangan: perbuatan atau pembiaran?
seluruh rakyat sebaiknya tidak dimulai dengan bias ideologi dan identifikasi aktor serta prioritas yang keliru. Inilah yang pada bagian muka saya sebut sebagai kesalahan dalam postulat lama tentang keadilan itu. Malangnya, cara kita memandang orang miskin, hingga kini masih belum berubah banyak. Meski pranata politik kita telah banyak berubah dari era otoritarian, namun pandangan dan ideologi pembangunan kita, dalam hal yang prinsipil masih terus terbelenggu dalam paradigma pertumbuhan dan efek menetes, sehingga pada akhirnya terperangkap dalam postulat yang salah mengenai pembangunan. Selama elit masih menganggap perlunya kehadiran rakyat sebagai permanent underclass, maka kemiskinan dan kesenjangan akan sangat sulit dihapuskan di negeri yang kita cintai ini. Kita memang sudah tidak lagi mengerahkan mesin kekerasan untuk memompa justifikasi terhadap pembangunan. Dengan berkembangnya pengakuan terhadap hak asasi manusia, justifikasi politik keamanan terhadap pembangunan juga dilakukan secara lebih hati-hati untuk mencegah korban manusia, sebagaimana yang biasa terjadi di masa lalu. Selain itu, selama periode sepuluh tahun terakhir, memang ada slogan baru mengenai pembangunan dengan menekankan pada prioritas dan ide-ide: pro-growth, pro-job, pro–poor, pro-environment. Namun demikian, ungkapan pro-poor dan ideal equality di sini masih diposisikan sebagai sequences yang terlepas dan terpisah dari paradigma pembangunan secara keseluruhan. Pro-poor lebih merupakan keterangan yang ditempelkan pada paradigma pembangunan lama growth with equity, yang masih menekankan pertumbuhan yang bias para pemodal besar. Pembangunan tetap masih dioperasikan dalam asumsi pertumbuhan dengan efek menetes ke bawah. Kenyataan ini secara gamblang, juga kelihatan dari bagaimana setiap pemimpin, birokrat 15
Orasi Kebudayaan: H.S. Dillon
dan teknokrat kita jauh lebih banyak mengunjungi dan berunding dengan para investor besar dan konglomerat ketimbang mengadakan diskursus setara dengan UKM dan koperasi. Kelestarian postulat lama mengenai keadilan yang keliru ini, terus meresap hingga sekarang. Di masa kini, bekerjanya pandangan lama ini terlihat dari orientasi pembangunan yang menekankan proyek-proyek infrastruktur besar. Proyek-proyek infrastruktur besar memiliki pisau bermata ganda: di satu sisi ia memang berpotensi memberikan keleluasan dan ruang mobilitas serta memperkuat denyut ekonomi. Namun di saat yang sama ia juga dengan mudah bisa menyingkirkan kaum miskin dari tanah, kebudayaan serta tradisi leluhurnya. Disinilah dapat dilihat bahwa kemiskinan-kesenjangan merupakan akibat perbuatan sekaligus pembiaran. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi kita harus dimulai dari suatu postulat baru mengenai keadilan yakni: bahwa pada dasarnya setiap orang berhak atas kebahagiaan dan kemaslahatan yang sama. Berbagai mekanisme sosial, ekonomi, politik, serta kebudayaan yang membentuk partisi-partisi sosial mesti dirobohkan. Pembangunan mesti dimulai untuk memenuhi apa yang hilang atau apa yang telah tercuri dari si miskin, bukan justru untuk memperbesar kekayaan si pencurinya. Dalam model pendekatan yang lama, mobilisasi sumber daya pembangunan dilakukan melalui mekanisme institution-led atau dimonopoli secara top-down oleh institusi-instusi representasif dan broker baik yang berasal dari negara maupun yang berasal dari sektor privat. Kita perlu membalik secara radikal logika lama tersebut dengan menekankan bahwa sumber daya pada dasarnya adalah milik rakyat. Oleh karena itu, mobilisasi dan penggunaan sumber daya sepenuhnya mesti menjadi tanggung jawab rakyat dan berbasis pada tipe-tipe kebutuhan rak16
Kemiskinan-Kesenjangan: perbuatan atau pembiaran?
yat yang variatif. Dalam pandangan ini negara diposisikan sebagai fasilitator yang bekerja sebagai pendidik yang menolong rakyat untuk memahami persoalan-persoalannya sendiri dan menjawab dengan kemampuan dan caranya sendiri. Pendekatan ini memang mensyaratkan tumbuhnya partisipasi yang kokoh dan dewasa dalam demokrasi kita. Di sinilah, untuk menggerakkan diri dalam partisipasi, rakyat juga perlu mendidik dirinya. Di titik inilah, hadirin sekalian, demokrasi kita menemukan padanan dalam pranata sosialnya. Supaya rakyat mampu memobilisasi sumber daya secara benar, ia mesti ditopang dengan partisipasi yang otentik. Singkatnya, apabila kita menerima demokrasi sebagai prinsip penyelenggaraa kepolitikan, maka sudah selayaknya kita mencari cara baru untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi kita. Bagaimana bentuk cara baru tersebut? Hadirin yang mulia, Upaya menemukan jawabannya, sebaiknya kita awali dengan menelusuri pernyataan Amartya Sen mengenai penanggulangan kemiskinan. Amartya Sen menyatakan bahwa kemiskinan dapat teratasi jika pembangunan dilandaskan pada memanusiakan manusia. Manusia tidak dianggap sebagai obyek pembangunan, tetapi di setiap lapisan masyarakat, manusia adalah subyek dari pembangunan itu sendiri. Kunci dari semua aspek pembangunan manusia dan pengembangan ekonomi adalah pendidikan dasar, kesehatan, dan penyebarluasan peluang ekonomi. Ketiga hal itu dapat diraih melalui kebebasan nyata yang dapat dinikmati rakyat. Peran pemerintah adalah mengkondisikan kebijakan sosial, ekonomi, dan politik yang mendukung kebebasan itu, seperti adanya jaminan atas hak-hak sipil dan politik, kebebasan mengikuti diskusi publik, dan terlibat dalam pengawasan serta penyediaan fasilitas pendidikan 17
Orasi Kebudayaan: H.S. Dillon
dan kesehatan. Pengabaian terhadap penyediaan fasilitas publik adalah bentuk tirani terhadap kebebasan yang mengerdilkan manusia dan dapat berujung pada minimnya produktivitas dan terjadinya proses pemiskinan. Pesan peraih Nobel ekonomi 1998 tersebut saya terjemahkan dalam frasa singkat, yaitu pembangunan yang berkeadilan sedari awal (growth through equity). Esensi utama dari pembangunan yang berkeadilan adalah masyarakat miskin diupayakan untuk menerima manfaat yang lebih besar (dibandingkan dengan masyarakat kaya) dari adanya pembangunan dan investasi publik yang dilakukan oleh pemerintah. Benar, hal ini tidak mudah diimplementasikan, karena hingga saat ini fenomena yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia adalah penerima manfaat terbesar dari pembangunan infrastruktur dan investasi publik adalah masyarakat kaya; sementara masyarakat miskin tetap menjadi penonton glamour masyarakat kaya yang semakin kaya. Lantas model pembangunan yang seperti apa, yang dapat memberikan manfaat dan kesempatan yang lebih besar terhadap masyarakat miskin? Seperti “mengangkat batang terendam” maka pembangunan yang berkeadilan harus dilakukan agar pertumbuhan yang kita kejar tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang tetapi membawa kemaslahatan bagi setiap rakyat, betapapun tidak berdayanya dia, melalui people-driven development. Paradigma people driven tidak bermaksud menafikan pendekatan market driven maupun technology driven, kendati kedua pendekatan itu telah terasa semakin menjauhi tujuan utama dari pembangunan ekonomi itu sendiri, yaitu mewujudkan keadilan sosial. Mazhab pembangunan ini mengutamakan kemanusiaan yang menganjurkan agar semua kebijakan yang disusun, kelembagaan yang dibangun, teknologi yang dirakit maupun diambil-alih, ditentukan oleh komposisi kebutuhan dan kemampuan rakyat 18
Kemiskinan-Kesenjangan: perbuatan atau pembiaran?
yang berkembang secara dinamis, kesemuanya bermuara pada pemulihan harkat dan martabat seluruh rakyat. Paradigma ini berlandaskan pada sumberdaya yang dimiliki dan atau dikuasai rakyat banyak, baik sumberdaya alam, sumberdaya teknologi (indigenous technologies), kearifan lokal (local wisdom), budaya ekonomi lokal (local culture, social capital) dan menempatkan organisasi ekonomi rakyat sebagai pelaku utama pembangunan. Pengembangan ekonomi kerakyatan dan jaringannya dilakukan dengan menghibridisasi budaya lokal dengan budaya korporasi modern dalam konteks kemitraan yang lebih membumi, yang saya namakan sebagai Private-Public-People Partnership (4P) yang merupakan pelurusan dari pola Public, Private, Partnership (PPP). Kerangka 4P yang saya usulkan menyediakan penguatan keberpihakan pada kebijakan yang representatif terhadap ketahanan usaha kerakyatan, dipadukan dengan penguasaan teknologi mutakhir perusahaan dengan jejaring lokal, regional, maupun global sehingga menjamin kelanggengan investasi dan usaha semua pihak. Kerangka 4P menyediakan platform untuk mengembangkan kemitraan yang bermanfaat dan praktis antara masyarakat, swasta dan LSM, organisasi profesi, media dan akademisi, untuk merekonstruksi jenis pembangunan infrastruktur publik tertentu (Zhang dan Kumaraswamy, 2006). Kekuatan swasta, BUMN dan Koperasi diiikat dalam kesepakatan berlandaskan jiwa gotong royong untuk meningkatkan daya saing dalam proses penciptaan co-prosperity. Inti pengembangan konsep 4P ini adalah keadilan bersama semua pihak untuk mengambil manfaat dan keuntungan sumberdaya beserta nilai ekonominya, yang sebenarnya telahpun dijalankan pada kemitraan PIR-BUN oleh perusahaan inti dengan corporate governance yang baik. Ada empat prasyarat utama untuk mengimplementasikan konsep 4P. Pertama, rencana pembangunan harus saling melengkapi dengan membangun suatu ke19
Orasi Kebudayaan: H.S. Dillon
utuhan strategi melalui koordinasi dan sinkronisasi antar rencana program yang praktis dan efektif. Kedua, rencana pembangunan lebih terfokus pada target sasaran yang sama sehingga komplementaritas pembangunan tersebut menciptakan kekuatan yang mampu membangun kemandirian rakyat. Ketiga, ‘diskursus setara’ antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dari mulai tahap perencanaan, agar para pelaksana didaerah memiliki “sense of ownership” terhadap rencana pembangunan tersebut. Hal ini harus disokong pula oleh kepemimpinan yang kuat di daerah sehingga solidaritas antar berbagai komponen bangsa semakin tergalang. Keempat, upaya untuk menggerakkan sektor riil dalam rangka menciptakan lapangan kerja dan ekonomi pedesaan harus berjalan dengan mengintegrasikan kebijakan ekonomi nasional secara utuh, seperti kebijakan moneter, fiskal dan non fiskal. Mengapa diawali oleh privat? Karena pengusaha baik yang menggunakan modalnya sendiri akan berikhtiar keras agar kemitraan tersebut berhasil sehingga dia dapat memperoleh laba. Selanjutnya, apabila pemerintah pada berbagai tingkatan tidak diikut-sertakan, maka dikhawatirkan bahwa kebijakan dan peraturan yang dihasilkan akan saling-silang. Sementara itu, hanya melalui diskursus setara dengan rakyat setempat sedari awal akan terwujud sustainability yang sesungguhnya yaitu masyarakat yang mampu menciptakan kesempatan kerja dan berusaha yang bermartabat secara mandiri. Saudara-saudaraku yang saya hormati, Agar tidak dituduh bahwa kita hanya memuaskan diri membahas masalah normatif semata, saya akan mengemukakan beberapa saran untuk membantu pemerintah menjabarkan postulat, paradigma maupun konsep yang baru saja kita telusuri. Tetapi, sebelum memulai menyampaikan kebenaran kepada penguasa, atau, speaking truth 20
Kemiskinan-Kesenjangan: perbuatan atau pembiaran?
to power, ada baiknya manakala kita ingat kembali wejangan leluhur kita; Hendaklah berjasa, kepada yang sebangsa Hendaklah jadi kepala, buang perangai yang cela Hendaklah memegang amanat, buanglah khianat Raja Ali Haji, 1847; penggalan Gurindam XII, Pasal 11 Agar dapat menjadikannya pegangan moral dalam meningkatkan kadar pengabdian kita kepada Bangsa maupun menunaikan tanggung-jawab kita kepada Sang Khalik. Bagaimana pemerintah dapat memulai menapak kejalan yang benar? Pertama-tama, agar tidak terbilang khianat, para pemimpin, mulai dari yang tertinggi harus mampu melintasi segala kepentingan kelompok, keluarga, suku, maupun agama, dan menyatukan diri dengan kepentingan Bangsa. Mantapkan kelembagaan agar mindset birokrasi, termasuk pejabat di daerah, mengalami revolusi dan mulai mengutamakan kepentingan rakyat. Sudah saatnya merampingkan birokrasi, mulai dari pusat. Hukum korupsi didorong keserakahan sementara memberikan jaminan kehidupan yang layak kepada pegawai negeri yang tersisa setelah perampingan. Kelola BUMN melalui kendali corporate governance yang baik, bukan birokrasi otoriter seperti selama ini Kedua, tinggalkan keangkuhan penguasa; selenggarakan diskursus setara dengan rakyat agar dapat lebih menjiwai hambatan yang mereka rasakan, bukan yang kita perkirakan. Tuntut tanggung jawab yang lebih besar dari pejabat daerah, yang menghabiskan sekitar 70 persen anggaran untuk dirinya sendiri. Laksanakan e-governance hingga ke unit pemerintahan yang paling rendah, sehingga kontribusi setiap PNS dapat terekam secara akurat. Ketiga, komunikasikanlah strategi pembangunan memanusiakan-manusia dengan bahasa rakyat, 21
Orasi Kebudayaan: H.S. Dillon
agar timbul rasa aman dari perlakuan semena-mena penguasa maupun kelompok masyarakat, dan terpupuk harapan untuk masa depan yang lebih baik. Bentangkan apa yang ingin dicapai hingga 2019 kendati perkembangan ekonomi global kurang menguntungkan, termasuk langkah-langkah positip yang telah ditempuh –seperti pengurangan subidi BBM, dan temui-kenali prakarsa mana yang merupakan landasan untuk pembangunan pasca-2019, agar perubahan strategi pembangunan ‘people-driven development’ menjadi lebih jelas. Keempat, dalam urutan yang tepat, upayakan agar rakyat sudah memiliki kemampuan mendaya-gunakan segala infrastruktur yang kelak dibangun pemerintah. Kelima, jalankan strategi redistributif mulai dari kebijakan makro fiskal moneter, yang menyertakan setiap warga negara dalam meraih manfaat pembangunan (ekonomi inklusif ) hingga ke Reforma Agraria, yang memberikan akses lahan, saprodi, teknologi, kredit, penyuluhan, dan kepastian pasar, sehingga akumulasi kapital terjadi di tingkat keluarga petani dan nelayan kecil Sedari awal saya berkeyakinan bahwa reforma agra ria merupakan kebijakan utama yang dapat membantu menanggulangi kemiskinan secara lebih berarti sekaligus meletakkan landasan untuk melangkah maju mengurangi kesenjangan. Kedepan, alokasi lahan yang memadai kepada petani akan menurunkan kemiskinan secara berarti, meningkatkan produksi pangan dan berpotensi membebaskan bangsa dari ketergantungan impor pangan-utama. Apakah ini hanyalah sekedar khayalan seorang pemimpi, atau memang feasible? Sebenarnya hal ini telah dibuktikan almarhum Ir Rahman Rangkuty, yang bersama puluhan alumni FP USU menjadi pionir pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat di Aek Nabara. Akan tetapi, seperti biasa, kita kurang menghargai karya anak Bangsa kita sendiri. Oleh ka22
Kemiskinan-Kesenjangan: perbuatan atau pembiaran?
rena itu, kita terpaksa sepintas menelusuri keberhasilan Tiongkok menurunkan jumlah penduduk miskin melalui land right reform. Meninggalkan usaha pertanian kolektif yang kurang menghargai prestasi individual, melalui pola kontrak lahan individu, PDB sektor pertanian meningkat sebesar 88,3% antara tahun 1978 dan 1989. Yang paling penting, kebijakan reforma agraria tersebut berhasil menurunkan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan US$1,25 per hari dari sekitar 84% pada 1981 menjadi 16% pada 2005. Di Taiwan reforma agraria dilaksanakan melalui perencanaan yang matang, berkesinambungan, dan damai. Diawali dengan program pengurangan sewa tanah, melalui pelepasan tanah pertanian milik pemerintah, program “tanah untuk petani penggarap”, program penyeimbangan hak tanah, dan akhirnya konsolidasi tanah pertanian dan perkotaan. Hasilnya, jumlah tenaga kerja di bidang pertanian yang pada awal reforma agraria di atas 35% dari jumlah total tenaga kerja, satu dasawarsa lalu tinggal 8%, yang berarti bahwa transformasi struktural telah memungkinkan 27 % petani naik-kelas. Memang, terbukti bahwa semua Negara Asia yang berhasil meraih teknologi tinggi tanpa kehilangan jati dirinya, telah mendahulukan membangun landasan sektor pertanian dan perdesaan yang kokoh. Disinilah kita didesak untuk merefleksikan kembali local wisdom leluhur kita mengenai sequencing pembangunan yang baik. Di pedesaan Jawa, hanya ‘kuli kenceng’- yaitu yang akan mengajak tetangganya turut serta dalam memanen sehingga mendapat ‘bawon’, perlu didengar suaranya dalam musyawarah desa. Hal ini agak mirip dengan konsepsi awal demokrasi di Athena dimana hanya pemilik tanah yang boleh memilih. Bermodalkan aset, petani memiliki suara. Dengan suara, dia akan men23
Orasi Kebudayaan: H.S. Dillon
dapatkan akses. Dengan akses, dia dapat lebih baik menghasilkan pendapatan. Jelas terlihat bahwa bahwa urutan pembangunan yang berkelanjutan adalah Asset – Voice – Access – Income. Selanjutnya, belajar dari negara-negara lain yang berhasil maupun yang gagal dalam melaksanakan reforma agraria, maka setidaknya ada lima prasyarat utama yang harus dipenuhi untuk mendukung implementasi di negeri kita. Pertama, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan penetapan landasan hukum yang kuat, transparan, dan operasional. Landasan hukum yang kuat sangat diperlukan untuk menghadapi pengaruh tuan tanah terhadap Pemerintah. Dengan dijaganya transparency, kita dapat meningkatkan genuine participation sehingga kita dapat bersama-sama memastikan accountability sistem yang dibangun. Kedua, penetapan kebijakan ekonomi makro dan penyediaan infrastruktur yang memadai untuk pengembangan usaha pertanian. Ketiga, pengalaman dan keterampilan individu/rumah tangga yang memperoleh pembagian lahan dalam melaksanakan usahatani sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan reforma agraria. Keempat, pemberian kompensasi yang memadai terhadap individu/rumah tangga yang terkena dampak pembatasan kepemilikan lahan, sehingga pengurangan kepemilikan lahan tidak berdampak negatif terhadap kesejahteraan mereka. Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan sudah membuktikan hal ini dan berhasil. Kelima, administrasi kepemilikan lahan harus dilaksanakan secara tertib dan akurat, sehingga sertifikat kepemilikan lahan dapat segera diproses dan dimiliki oleh masyarakat yang berhak. Lima prasyarat di atas tidaklah terlalu sulit untuk diterapkan pemerintah. Reforma agraria harus menjadi agenda utama pemerintahan karena memang sudah terlalu terlambat. Penundaan kembali pelaksanaan reforma 24
agraria akan semakin mempersulit pelaksanaan di lapangan karena selain lahan yang tersisa hanyalah lahan kurang subur dan bermasalah; biaya yang diperlukan pun akan semakin mahal karena para tuan tanah akan semakin memperkuat hak kepemilikan lahannya. Untuk itu, perlu segera dibentuk Panitia Reforma Agraria untuk mewujudkan reforma agraria yang benar-benar berpihak kepada rakyat miskin. Mulai dengan lahan yang dikuasai Negara, berikan kompensasi yang adil kepada pengusaha yang terkena dampak Reforma Agraria. Alangkah baiknya manakala pemerintah visioner benar mempergunakan momen Reforma Agraria untuk memindahkan pertanian bernilai-rendah, termasuk gula dan padi, keluar Jawa. Komposisi dan opportunity cost sumber-daya serta infrastruktur menuntut bahwa usaha di Pulau Jawa harus sekaligus padat karya, padat-modal, dan padat-teknologi, ditopang oleh sistem pengelolaan air yang sesuai. Tentunya hal ini harus dilakukan bertahap, selaras dengan meningkatnya kemampuan manusia tani kita yang ditempa melalui pendidikan, pelatihan, dan pendampingan yang berkesinambungan. Hadirin yang berbahagia dan dimuliakan, Khusus berkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan, pertama-tama harus ditetapkan satu lembaga yang bertanggung-jawab, agar tidak lagi terfragmentasi seperti selama ini. Kemudian disusun tahapan pembangunan yang dipastikan akan dapat lebih banyak dinikmati oleh masyarakat miskin, dengan antisipasi hijrahnya kemiskinan ke perkotaaan. Oleh karena itu sebaiknya dimulai dengan menempatkan manusia tani sebagai aktor utama dalam memperkokoh pembangunan ekonomi perdesaan. Dilanjutkan dengan pembangunan jaringan sosial dan infrastruktur fisik yang meluas, seperti memperbaiki dan meningkat-
Orasi Kebudayaan: H.S. Dillon
kan sarana pendidikan dasar, mendirikan sekolah kejuruan dan memberlakukan wajib belajar pendidikan menengah dan atas, serta memberdayakan pelayanan keluarga berencana, program peningkatan pangan dan gizi, serta pelayanan kesehatan yang menjangkau dan terjangkau. Kesemua prakarsa ini perlu dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga membentuk “tangga” bagi rakyat miskin untuk keluar dari kenestapaan. Saran pemikiran yang terakhir yang saya anggap penting dan sangat menentukan keberadaan bangsa Indonesia di masa yang akan datang, yaitu menggugah rasa nasionalisme dan keutuhan Nusantara dari Sabang hingga Merauke. Sangat saya khawatirkan bahwa dalam dua hingga tiga dasawarsa kita akan semakin kehilangan jati diri sebagai bangsa, manakala kelas menengah konsumtif kita dengan sadar dan suka hati menjadi pasaran empuk berbagai komoditi, produk, jasa maupun ideologi dari negara lain. Masalah daya saing mestinya bukanlah masalah yang rumit dan bahkan dapat dikatakan sangat mudah diatasi asalkan kita mampu merakit system insentif yang mendorong tebentuknya kelas menengah produktif yang berkomitmen untuk menghasilkan barang, produk, dan jasa yang berkelas dunia. Para sahabat yang bijaksana, Demikianlah pokok-pokok pikiran yang saya sampaikan dalam Forum Akademi Jakarta yang sangat terpelajar ini. Tentunya kita tidak ingin terus menikmati kemerdekaan hasil perjuangan dan pengorbanan generasi pendiri semata, tetapi kitapun bertekad dicatat sejarah sebagai generasi dengan kecerdasan kehidupan yang rela mewakafkan dirinya untuk mentransformasi pernyataan menjadi ke nyataan Merdeka. Mampu melepaskan diri dari perangkap perbuatan dan pembiaran kemiskinan agar keadilan sosial dapat dienyam oleh seluruh rakyat Indonesia. 26
Kemiskinan-Kesenjangan: perbuatan atau pembiaran?
Apa pelajaran yang dapat kita petik dari uraian tadi? Ternyata perbuatan dan pembiaran kemiskinan–kesenjangan merupakan buah keserakahan dan pragmatisme yang telah menyesatkan kita. Marilah kita, sebagai Bangsa yang tahu mensyukuri, bangkit memperbaharui tekad dalam kesetaraan untuk mengerahkan segala dana dan daya memerangi kemiskinan-kesenjangan, menapak kembali ke jalan yang benar. Naar de Republik.
Merdeka!
27
H.S. Dillon (HSD),
anak Medan yang lahir dalam keluarga Sikh pada tanggal 23 April 1945 tetap setia pada komitmennya memperjuangkan hak rakyat kecil kendati menghadapi pelbagai tantangan tatkala menapakkan jejaknya memperjuangkan petani dan buruh-tani, menegakkan Hak Asasi Manusia, melawan korupsi, meningkatkan keberpihakan BUMN Perkebunan, menyusun strategi penanggulangan kemiskinan, maupun mengadvokasi transformasi birokrasi perguruan tinggi menjadi meritokrasi yang membumi. Passion atau keberpihakannya sejak usia muda kepada rakyat kecil mendorongnya memilih jurusan sosialekonomi pada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dan dan di awal karirnya menerima tawaran menjadi Sekretaris Rural Dynamics Study, Departemen Pertanian yang mendalami dampak modernisasi atas kesejahteraan warga perdesaan. Kepemimpinannya sudah mulai tumbuh dari Medan, tatkala terpilih sebagai Ketua Senat FP-USU dan Ketua Cabang Mahasiswa Pancasila. Pada saat bersamaan HSD juga menjabat Danyon-IV Resimen Mahasiswa Bukit Barisan. Kepemimpinan ini muncul kembali tatkala menjadi President AgEcon Graduate Students, Cornell University. 28
Jiwa kepeloporannya terlihat ketika turut mendirikan dan kemudian memimpin Asian Society of Agricultural Economists (Seoul). Ini merupakan kelanjutan dari diutusnya HSD untuk mewakili Indonesia di International Association of Agricultural Economists (Illinois), serta kepemimpinannya di Perhimpunan Ekonomi Pertanian. Kepeloporannya ini mencuat kembali tatkala sebagai anggota pimpinan KOMNASHAM, HSD menghimpun perwakilan petani dari seluruh Tanah Air, untuk menggalang persatuan memperjuangkan haknya. Juga sewaktu turut mendirikan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian, sebagai Executive Director Partnership for Governance Reform in Indonesia, HSD berhasil meyakinkan NU dan Muhammadiyah untuk menggalang kekuatan bersama menggusur politik busuk. Untuk meraih tujuan yang sama HSD memfasilitasi kelahiran dan langkah-langkah awal Komisi Pemberantasan Korupsi. Visinya yang jauh kedepan mendorongnya untuk mengajak sesama ekonom pertanian untuk mendirikan Centre For Agricultural Policy Studies (Jakarta) untuk dapat mewarnai penyusunan kebijakan pembangunan pertanian. Timbul lagi tatkala sebagai Ketua Majelis Wali Amanat Institut Teknologi Bandung mendorong transfor29
masi tata pemerintahan (governance) perguruan tinggi. Di Departemen Pertanian, sebagai Ketua Tim Restrukturisasi BUMN Perkebunan, HSD mengkonsolidasikan 26 PTP menjadi 9 PTPN yang lebih berdaya-guna dan diarahkan untuk turut meningkatkan produktivitas para petani-pekebun disekitarnya. Tatkala diangkat Presiden RI sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, HSD menyusun strategi tangga keluar dari kemiskinan melalui diskursus setara dengan rakyat yang terpinggirkan. Kepakarannya diakui ketika menjadi anggota Consultative Committee Common Fund for Commodities (Amsterdam). Maupun sewaktu melaksanakan amanah Presiden RI selaku Ketua GNB untuk melakukan lobby di Roma guna memenangkan pencalonan Dr. Jacques Diouf dari Senegal sebagai Director General FAO. Juga pada saat diangkat sebagai anggota Dewan Ekonomi Nasional, dan sebagai anggota Komite Ekonomi Nasional lebih dari satu dasawarsa kemudian. Di arena internasional, HSD dipilih sebagai anggota International Policy Council for Food and Agricultural Trade (Washington, DC). Kepakarannya menjadi pertimbangan utama HSD dijadikan Utusan Khusus Presiden RI untuk Penanggulangan Kemiskinan. Hingga kini, HSD masih dipercayakan menjabat Co-chair, Advisory Board, The Nature Conservancy (Jakarta). l
30
S
etelah 70 tahun merdeka dari penjajahan kolonial, kemiskinan masih membelenggu rakyat Indonesia dalam jumlah besar. Setiap langkah maju justeru menuai kesenjangan yang kian meningkat. Ini menjelaskan bahwa kita sudah salah memilih jalan. Kelembagaan ekstraktif warisan feodal kolonial belum berhasil dijebol, sehingga pola akumulasi kapital tetap tidak berpihak pada rakyat kecil. Mengapa sampai demikian? Ternyata semangat persatuan merebut kemerdekaan fisik telah tergusur ‘keserakahan dan pragmatisme’ sementara penguasa dalam semua matra kehidupan Bangsa. Sociology of ignorance. Apa yang dibutuhkan agar dapat kembali ke jalan yang benar? Postulat baru: kesetaraan, Paradigma baru: People-driven Development, Kemitraan baru: Private-Public-People Partnership. Bagaimana pemerintah dapat memulainya? Agar tidak khianat, pemimpin harus mampu melintasi segala kepentingan kelompok, keluarga, suku, maupun agama, dan menyatukan diri dengan kepentingan Bangsa. Komunikasikan strategi dengan bahasa rakyat, agar timbul rasa aman dari perlakuan semena-mena penguasa maupun kelompok masyarakat sehingga terpupuk harapan untuk masa depan yang lebih baik. Jalankan strategi redistributif mulai dari kebijakan makro fiskal moneter, yang menyertakan setiap warga negara dalam meraih manfaat pembangunan (ekonomi inklusif ) hingga ke Reforma Agraria, yang memberikan lahan, saprodi, teknologi, kredit, penyuluhan, dan kepastian pasar, sehingga akumulasi kapital terjadi di tingkat keluarga petani dan nelayan kecil Orasi kebudayaan ini mengajak kita keluar dari perangkap kemapanan, melancarkan mujahaddat an nafs dan memperbaharui tekad melintasi segala sekat perbedaan untuk melanjutkan kembali perang memerdekakan rakyat. Orasi ini juga merupakan ajakan untuk bangkit merapatkan barisan menggusur perbuat an-pembiaran kemiskinan-kesenjangan dan kembali menuju ke Republik.