KEMISKINAN – KESENJANGAN: PERBUATAN ATAU PEMBIARAN? Yth Ketua MPR, excellencies para menteri dan duta besar, para cendekia, para pegiat, para pejabat dan para pengusaha. Ibu dan Bapak para undangan serta hadirin yang dimuliakan, Selamat sore Manusia mesti mematahkan semua yang merintangi kemerdekaannya. Ia harus merdeka! Sebuah bangsa pun mesti merdeka berpikir dan berikhtiar (Tan Malaka, Naar de Republiek, 1925) Saya bersyukur ke-hadapan Illahi Rabbi diberikan kesempatan berdiri di hadapan majelis warga Bangsa Indonesia Merdeka yang dihimpun Akademi Jakarta yang sangat berilmu dan bernurani, untuk menyampaikan beberapa pemikiran secara merdeka mengenai pembangunan dan keadaan Bangsa sekarang ini. Hal-hal yang akan saya sampaikan merupakan hasil bentukan keluarga, pendidikan, latihan, dan pengalaman sepanjang hidup saya. Sore hari ini, saya akan berikhtiar meyakinkan Saudara-saudara seBangsa dan seTanah Air untuk membangkitkan kembali semangat kepeloporan, kejuangan, dan pengabdian menuju Republik yang mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Saya ingin mengawali uraian ini dengan sebuah pertanyaan yang mengusik setiap menjelang HUT Proklamasi Kemerdekaan: Apa artinya Merdeka bagi rakyat? Tanggal 17 bulan Agustus yang akan datang Indonesia juga akan mencapai usia 70 tahun. Seperti halnya yang banyak dipikirkan orang, saya tak rela jika HUT Proklamasi Kemerdekaan tercatat sekedar sebagai rangkaian cerita upacara lantas redup, menunggu persiapan peringatan tahun berikutnya. Bagi saya, di usia matang ini kita harus merefleksikan kembali secara jernih perjalanan mewujudkan tujuan perjuangan kemerdekaan.. Tidak hanya sebagai pernyataan bangsa yang berhasil mematahkan belenggu penjajahan fisik melalui pengorbanan besar tetapi juga harus dibumikan sebagai “tidak ada kemiskinan di Indonesia Merdeka”. Apalah artinya "Merdeka" manakala hampir separuh saudara kita masih dijajah kemiskinan? Apakah benar kita sedang menuju Republik apabila sepanjang perjalanan yang kita tuai hanyalah kesenjangan? Bung Karno (1945) telah menyatakan dengan tegas bahwa "Merdeka adalah 'political independence', politieke onafhankelijkheid”. Kemerdekaan perlu kita rebut karena merupakan “jembatan emas”, untuk mengembalikan kehidupan rakyat yang lebih bermartabat dan berbudi luhur. Hakekat Indonesia Merdeka adalah terwujudnya suatu bangsa yang merdeka seratus persen sehingga mampu berpikir dan bertindak menghadapi tantangan seberat apapun guna tetap berdaulat, mandiri, dan berkeperibadian. Bagi saya, cela tak hapus jika masih tersisa seorang sajapun suami yang terpaksa menjual ginjalnya demi menebus biaya pengobatan sang istri; siswa sekolah dasar yang menggantung diri karena tak mampu membeli buku tulis; anak perawan mengorbankan kehormatannya di negeri orang; dan petani lapar yang mengkais-kais sampah di Bantar Gebang. Hina rasanya bila kita hanya bisa menjadi penonton bisu pada saat orang Betawi terpinggirkan dilanda arus deras pembangunan perumahan mewah beserta pasar-pasar modern. Kekuatan uang mereduki kita hanya terpaku melihat Suku Dayak menyabung nyawa mempertahankan sungai dari pencemaran tambang dan perkebunan; masyarakat Bali yang terancam tenggelam akibat investasi berkemas reklamasi; penduduk Banda Neira kekurangan gizi akibat pencurian ikan yang dimodali 1
juragan; atau Suku Anak Dalam menderita kelaparan di hutan yang telah beralih fungsi. Masih banyak lagi jeritan anak negeri yang diredam keserakahan dan pragmatisme sementara warga negara yang telah kehilangan rasa kemanusiaannya. Hadirin yang berbahagia, Saya ingin mengajak Ibu dan Bapak sekalian melihat, atau lebih tepatnya mendengarkan, apa yang ‘dibisikkan’ dan bukan sekedar apa yang ‘diteriakkan’ data yang tersedia. Namun sebelumnya, saya ingin menyampaikan tiga paradoks dari enam paradoks pembangunan yang disampaikan Bob Goudzwaard dan Harry de Lange (1998). Pertama, kemiskinan meningkat tajam di tengah masyarakat yang kaya. Bank Dunia (2013) mencatat sekitar 46% penduduk Indonesia saat ini masih hidup dalam kondisi miskin karena mereka hanya mampu berbelanja sebesar US$ 2 per orang per hari. Disisi lain, Majalah Forbes (2014) melaporkan total nilai 50 orang terkaya mencapai US$102 miliar; terlintas seketika, berapa sebenarnya dana yang diperlukan untuk menutup poverty gap, agar kemiskinan tidak tersisa? Kedua, di tengah-tengah kekayaan yang melimpah, kesempatan mewujudkan kepedulian semakin menciut. Menjelang akhir, tatkala menyadari bahwa pemerataan yang diharapkan dari paradigma Trilogi Pembangunan tidak kunjung terwujud, Presiden Suharto mencoba menagih tanggung-jawab kebangsaan dari para konglomerat-kroninya. Jelmaan The Big Five zaman penjajahan diminta membagi 15% sahamnya kepada lapisan karyawan mereka yang terendah. Ternyata himbauan Bapak Pembangunan menemukan hati yang sudah membeku. Malah, tatkala Pak Harto lengser akibat didesak krisis ekonomi yang dipicu keserakahan kroninya tadi, justeru mereka yang diselamatkan IMF/Bank Dunia; sementara hutangnya dialihkan keatas pundak rakyat, semakin melanggengkan kesenjangan. Konglomerat yang tumbuh-subur dalam pemerintahan otoriter ternyata berhasil menguasai kembali pemerintahan (state re-capture) pasca-Reformasi yang mati suri. Ketiga, kebutuhan tenaga kerja sangat besar, namun pengangguran terus meningkat. Jumlah pengangguran terbuka 2014 mencapai 7,24 juta orang dan jumlah tersebut relatif tidak berubah selama kurun waktu empat tahun terakhir (BPS, 2015). Lantas apa makna dari pertumbuhan ekonomi selama dasa warsa 2004-2014 yang selalu tercatat di atas 5%/tahun? Kemana larinya nilai tambah ekonomi, sehingga kita tidak mampu menciptakan kesempatan kerja dan berusaha yang bermartabat? Siapakah yang diuntungkan dari pertumbuhan ini? Cui bono? Untuk siapakah sebenarnya pembangunan ? Ketiga paradoks pembangunan tersebut hadir di tengah masyarakat kita karena tipisnya nurani mereka yang telah berhasil mengekstraksi kekayaan alam dan berburu rente melalui kolusi dengan penguasa, untuk berbagi dalam artian yang sebenarnya. Dominannya peran sektor properti, sektor finansial, serta pertambangan dan perkebunan besar dalam perekonomian seakan terpisah dari rakyat, mirip Ekonomi Dualistik zaman penjajahan, karena pelaku dan peraih manfaatnya sangat terkonsentrasi. Memang, lembaga keuangan pro-pasar ADB secara jujur menemu-kenali bahwa ketiga-tiang pendorong pertumbuhan yaitu globalisasi, kemajuan teknologi, dan reformasi pro-pasar justeru semakin memperlebar kesenjangan. Tantangan terbesar kita adalah mentransformasi ekonomi nasional sehingga sektor yang dominan adalah pertanian bernilai-tambah tinggi, agro-industri yang mengolah produksi petani dan industri padat-karya lainnya, serta jasa berbasiskan internet. Kesemuanya ini akan memicu penciptaan kesempatan kerja dan berusaha bernilai-tinggi, berpotensi mengurangi kesenjangan struktural, sekaligus kesenjangan pusat-daerah.
2
Hadirin yang budiman, Sekarang mari kita simak potret besar sektor yang hingga kini masih dihuni oleh sekitar 50% penduduk miskin (BPS, 2014), padahal seharusnya ia yang menjadi landasan pembangunan bangsa. Hasil Sensus Pertanian 2013 mengungkap gejala yang menggelisahkan. Hanya dalam satu dasawarsa telah tergerus prestasi yang dibangun dengan susah-payah dan biaya yang sangat mahal pada awal Orde Baru. Indikasi rapuhnya sektor pertanian yang pertama adalah menurunnya jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) sebanyak 5,096 juta RTUP selama periode 2003-2013; sementara gini rasio kepemilikan lahan semakin meningkat. Oleh karena itu, penurunan jumlah rumah tangga pertanian tersebut patut diduga berkaitan dengan pelepasan lahan, khususnya oleh petani gurem. Inilah gejala kaum tani yang tergusur derita, sehingga terpaksa menyewakan dirinya kepada bangsa asing yang masih belum mampu menghargai kemanusiaan. Pertanda kedua adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yang hanya Rp 34,44 juta/orang/tahun, atau yang terendah dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Ini bukti prima facie bahwa program yang dijuluki pembangunan pertanian belum mampu mendayagunakan anggaran belanja, kelembagaan dan iptek untuk memungkinkan keluarga tani mengakumulasi modal agar dapat naik kelas menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Gejala ketiga adalah rendahnya pendapatan yang diperoleh petani. Selama kurun waktu 2011-2013, BPS mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) hanya sekitar 104. Selain itu, upah riil buruh tani selama kurun waktu 2009-2013 secara konsisten juga mengalami penurunan dari sekitar Rp 30,5 ribu per hari menjadi Rp 27,5 ribu per hari. Kondisi ini menunjukkan terjadinya penurunan daya beli buruhtani dan apabila terus terjadi pembiaran, maka mereka akan semakin terjerumus kedalam kemiskinan struktural. Perkembangan keempat adalah semakin ditinggalkannya usaha pertanian oleh generasi muda. Selama dasawarsa 2003-2013, jumlah petani yang berusia 45 tahun ke atas semakin bertambah; sementara yang berusia 45 tahun ke bawah semakin menurun dan yang lebih memprihatinkan penurunan yang tertinggi terjadi pada kelompok usia 25-34 tahun. Sektor pertanian rakyat dimarjinalkan sehingga kaum tani bukannya bertransformasi menjadi bos-bos kecil tetapi tergusur menjadi tenaga kerja tidak berkeahlian di perkotaan. Potret suram sektor pertanian semakin memiriskan apabila kita sandingkan dengan fakta yang disampaikan Forest Watch Indonesia bahwa sampai dengan tahun 2013, sekitar 44 juta hektar atau 25% luas daratan Indonesia telah dibebani izin pengelolaan lahan dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam, kepada perkebunan dan pertambangan. Fakta ini tidak terlalu memilukan apabila lahan tersebut dikelola jutaan petani dan pengusaha kecil ; namun kenyataannya justru berkebalikan; karena izin-izin tersebut terkonsentrasi ditangan segelintir pengusaha. Kolusi penguasa, baik pusat apalagi daerah, dalam pemberian kuasa penggunaan lahan kepada sementara pengusaha merupakan manifestasi fenomena land grabbing yang sangat besar kontribusinya terhadap semakin kronisnya kemiskinan dan kesenjangan diperdesaan. Fakta-fakta tersebut menegaskan bahwa kemiskinan dan kesenjangan ini bergeming padahal prestasi senantiasa digambarkan gemilang. Tujuh kali berganti rezim, beragam strategi dan rencana pembangunan diformulasikan, trilyunan dikucurkan, ribuan pakar turun tangan mengatasi, namun tetap saja kemiskinan dan kesenjangan dengan leluasanya menggerogoti negeri karena akar masalahnya tidak mau dihadapi. Hadirin yang terhormat, Awalnya saya tidak mampu menjawab lugas pertanyaan mengapa, setelah berpuluh-puluh tahun Indonesia menyatakan kemerdekaannya, cita-cita para pendiri bangsa untuk mewujudkan rakyat
3
yang makmur dan sejahtera belum juga terwujud. Setelah melakukan pencermatan sepanjang perjalanan karier saya, jawaban atas pertanyaan tersebut sangatlah sederhana, yaitu kita telah terperangkap dalam paham pembangunan feodal dan kolonialis yang ekstraktif. Kita boleh berkilah bahwa setiap rezim pemerintahan mempunyai desain pembangunan yang disesuaikan dengan kondisi saat itu; namun diakui ataupun tidak, penerima manfaat terbesar tetaplah segelintir yang berada di sekitar pusat kekuasaan. Sulitnya bangsa Indonesia meninggalkan perangai kolonialisme merupakan bukti keberhasilan Hindia Belanda menciptakan strata masyarakat, yaitu rakyat jelata, kaum pedagang/pengusaha, dan priyayi (pekerja pemerintahan). Penciptaan strata tersebut dimaksudkan agar rakyat jelata tetap dijadikan “koeli” yang melayani para pedagang/pengusaha dan kaum priyayi. Melalui pembedaan strata masyarakat tersebut, pemerintah Hindia Belanda berhasil mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, diindikasikan oleh besarnya ekspor komoditas perkebunan, seperti pala, cengkeh, karet, gula, dan lain sebagainya. Namun pertumbuhan ekonomi pemerintah Hindia Belanda yang tinggi tersebut dibangun diatas penderitaan rakyat, sebagaimana dicerminkan oleh kemiskinan yang kian menyebar dan kesenjangan sosial yang semakin meningkat. Kezaliman penguasa seperti inilah yang mendorong para pejuang angkat senjata merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Menyadari bahwa paham kolonialisme telah sedemikian merasuk kedalam sanubari individu anak bangsa, maka sejak awal kemerdekaan Proklamator tiada bosannya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk melancarkan revolusi yang digelorakan dengan istilah “Menjebol-Membangun, Menjebol lagi-Membangun lagi”. Menurut Bung Karno, esensi revolusi adalah menghancurkan nilai-nilai, kebiasaan, dan praktek sistem kolonialisme dan imperialisme di lapangan ekonomi, politik, dan sosial-budaya dan segala bentuk “L’exploitation de l’homme par l’homme”. Oleh karena itu diperlukan penjebolan lembaga ekstraktif berulang sampai terbentuknya kelembagaan representatif yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun hingga menjelang tujuh dasawarsa pasca proklamasi kemerdekaan, ajakan mengobarkan revolusi mental tersebut masih belum berhasil menggetarkan nurani elit. Disadari ataupun tidak, pengaruh paham kolonialisme masih menyelinap kedalam kebijakan pembangunan hingga saat ini. Dalam kalimat lain, yang hendak saya katakan adalah bahwa kendati bentuk dan kadarnya berbeda, tetapi yang khususnya berkaitan dengan strata masyarakat, desain pembangunan kita masih berorientasi ekstraktif dan hanya menguntungkan segelintir. Mendapatkan rente dengan begitu mudah, tidak ada insentif bagi pengusaha untuk melakukan inovasi agar komoditas ditingkatkan menjadi produk, yang peningkatan nilai-tambahnya juga turut dinikmati rakyat. Ketergantungan menahun kepada produksi dan ekspor komoditaslah yang mengakibatkan perekonomian nasional diombang-ambingkan perekonomian global. Hadirin yang berbahagia, Buah dari desain pembangunan yang masih ekstraktif dan feodalistis adalah tidak mampunya kita menjadikan Indonesia sebuah negara besar yang mandiri dan berdaulat seratus persen. Dalam kesempatan yang singkat ini, saya akan mengemukakan empat fakta besar yang menarik. Pertama, selama satu dekade terakhir (2003-2013) nilai impor pangan kita melonjak 346%. Kondisi ini disinyalir berkaitan dengan penurunan luas lahan pertanian dari 31,2 juta ha menjadi 26 juta ha selama dasawarsa yang sama. Terkait dengan pangan, kita saat ini sedang menghadapi ancaman “todongan pistol” generasi kedua yang lebih rumit dibandingkan pada saat Proklamator mewantiwanti pada peletakan batu pertama pembangunan kampus Fakultas Pertanian UI di Bogor. Mengapa? Karena dahulu hanya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan yang 4
sepenuhnya dapat diproduksi di dalam negeri. Namun saat ini, kita sudah terperangkap dalam ketergantungan pada pangan impor. Pada ahun 1971 impor gandum kita hanya 120 ribu ton sementara saat ini sudah hampir mencapai 7 juta ton dan menjadi pangan hingga kepelosok Negeri! Kedaulatan Bangsa tergadai: apakah ini sekedar pembiaran atau memang tergolong perbuatan menciptakan negara koelie onder de naties? Kedua, pengurasan sumberdaya perdesaan semakin masif dilakukan dan ironisnya hanya setetes dua tetes saja yang kembali ke perdesaan. Sebagai contoh, BRI -yang mulanya Bank Tani Nelayandengan tugasi utama memfasilitasi akumulasi modal pada usaha pertanian dan para nelayan, kini capaian laba bersihnya saat ini mencapai Rp 24,3 trilyun. Kendati laba tersebut sebagian diperoleh dari Simpanan Pedesaan, ternyata BRI lebih banyak membantu akumulasi modal diluar pertanian dan perdesaan. Kondisi asimetri ekonomi perdesaan seperti inilah --- dibenarkan ekonom arus-utama pragmatis yang mengagungkan kredit mengejar laba, yang mengakibatkan kemiskinan sulit dihapuskan dan kesenjangan bahkan semakin melebar. Ketiga, kesenjangan pendapatan dan penguasaan lahan semakin meningkat dan menggelisahkan, diindikasikan dari nilai indeks gini masing-masing sebesar 0,41 dan 0,72. Ketimpangan penguasaan lahan yang sedemikian tinggi adalah karena 11 juta ha perkebunan kelapa sawit dikuasai oleh korporasi, sementara perkebunan rakyat hanya 20 persennya. Selain itu, areal hutan tanaman industri dan hak penguasaan hutan mencapai lebih dari 40 juta ha, sementara hutan rakyat kurang dari 1 juta ha. Kembali dada disesak pertanyaan: siapa sebenarnya pemilik Negeri ? Keempat, pembangunan Indonesia sejak Orde Baru hingga saat ini bias ke Wilayah Barat Indonesia. Hal ini terlihat dari kontribusi PDRB Pulau Jawa terhadap PDB nasional yang masih sekitar 57,39%, sementara Pulau Sumatera sekitar 23,16%. Namun ironisnya, walaupun pembangunan bias ke Wilayah Barat Indonesia, jumlah penduduk miskin paling banyak justru berada di Jawa dan Sumatera yang mencapai 21,2 juta orang atau sekitar 76% dari total penduduk miskin Indonesia. Ini menandakan pemiskinan dan pelanggengan kesenjangan yang berlapis: spatial sekaligus struktural. Padahal, pada awal Orde Baru, upaya mengejar swasembada beras semata berhasil meningkatkan pendapatan petani kecil dan upah riil buruh tani. Ternyata peningkatan daya beli ini mampu memicu roda perekonomian pedesaan, menciptakan kesempatan kerja dan berusaha yang baru secara masif. Dunia belum pernah menyaksikan laju penurunan kemiskinan di perdesaan yang begitu cepat. Prestasi inilah yang mengantarkan Presiden Soeharto berbagi mimbar dengan Presiden Perancis, Francois Mitterand, di Roma. Sayangnya, saat ini sistem penyuluhan pertanian sudah jauh menurun efektifitasnya di lapangan – tidak ada lagi kiat maupun kekuatan meyakinkan petani bahwa bibit unggul yang baru dihasilkan Kementerian Pertanian akan meningkatkan produktivitas dan pendapatannya. Hadirin yang dimuliakan, Diam tidak selalu berarti emas. Diam pada saat melihat kekeliruan atau kezaliman berarti pembiaran; diam karena kita terlibat konspirasi jahat berarti kejahatan; dan diam karena keilmuan kita terbeli berarti pengkhianatan. Ketiga makna diam tersebut tercakup dalam pengertian tentang sociology of ignorance yang sudah lama melanda negeri kita. Akibatnya sungguh menyesakkan dada karena perilaku masyarakat kita jauh dari keluhuran budi yang diagungkan peradaban Timur. Pembiaran yang terlalu lama terhadap perilaku korup telah meyakinkan sementara masyarakat bahwa perbuatan nista tersebut merupakan keniscayaan. Bahkan dengan piawainya, sebagian koruptor dapat menjelma sebagai pahlawan tatkala dikorbankan oleh para sekutunya. Kita perlu tekankan disini bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap rakyat yang paling jahat – corruption is stealing from the poor! 5
Perlawanan masyarakat Gunung Kendeng terhadap pembangunan pabrik semen yang dikhawatirkan akan merusak sumber air merupakan contoh lain dari adanya pembiaran karena sebagian dari kita telah menggadaikan diri kepada kepentingan. Harapan Sukinah terhadap pemimpin daerah dan pemimpin negara yang dia pilih untuk membantu menyelesaikan masalah ini ternyata membuahkan hasil yang mengecewakan. Sangat pantas mereka pada akhirnya putus asa karena Pemerintah yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan konflik yang telah berlangsung lama ternyata tiada rela menghadapi korporasi besar. Kasus nenek Asyani merupakan contoh sirnanya sikap kesetiakawanan dan kebersamaan di dalam komunitas. Keberadaan masyarakat miskin di sekitar hutan seakan-akan sudah dianggap takdir yang harus diterima dan dijalani. Kalaupun benar nenek Asyani mengambil sesuatu yang bukan haknya secara legal, sangat diyakini hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan kehidupan yang ruanggeraknya semakin dipersempit oleh pemburu rente. Melihat ketiga contoh di atas, saya menawarkan postulat baru mengenai keadilan. Postulat baru menekankan bahwa dunia, masyarakat dan manusia secara inheren dimulai dalam kesetaraan. Setiap manusia, meski berbeda-beda secara individual, namun secara esensial adalah setara. Dunia, relasi dan praktik sosial yang datang kemudianlah yang membuat manusia terbelah-belah dalam partisi-partisi, hingga menghasilkan masyarakat yang timpang, relasi dominasi dan ketaksetaraan. Dalam postulat baru, tugas politik dan ekonomi adalah merobohkan partisi-partisi social-ekonomi itu untuk mengembalikan lagi kesetaraan sebagai keadilan. Dengan jalan pikiran itu, anda barangkali akan menuduh saya tengah bermimpi. Namun demikian, menurut saya, dalam soal yang sepenting ini, kita memang mesti memulai dari posisi yang paling lugas dan jelas. There are many ways of being human, but each society makes a choice of the way it prefers or tolerates. Ada banyak cara untuk menjadi manusia, namun setiap masyarakat menyediakan pilihan-pilihan yang bisa diacu atau bisa diterima secara khas. Artinya, mengenai apa dan bagaimana wajah dan tingkat dignitas kita, dapat dideterminasi oleh kita sendiri. Kita yang mesti merencanakan dan mencanangkan cita-cita dan kehendak terbaik yang mau kita bangun untuk masyarakat kita. Dalam kerangka itu, apa salahnya meletakkan postulat yang diujung untuk menangani masalah yang paling penting dalam kehidupan kita bersama. Hadirin sekalian, Secara etis, penanggulangan kemiskinan Indonesia sudah sejak lama dijalankan dengan penghampiran keliru. Paradigma serta kebijakan yang tumbuh, setidaknya sejak Orde Baru hingga kini, diselenggarakan dengan basis pembiaran terhadap orang miskin. Apa maksudnya? Apa pula buktinya? Kita ketahui bahwa Pemerintahan Suharto memulai “Orde Baru” dengan memberikan peran utama dalam proses produksi kepada para pemilik modal. Struktur kelembagaan yang didominasi oleh militer dan para terpelajar, lebih memfokuskan pada stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Mereka meyakini bahwa keberhasilan pembangunan suatu bangsa, ditentukan oleh peningkatan laju pertumbuhan ekonominya, hingga dari situ diharapkan menghasilkan Trickle Down Effect yang pada gilirannya akan dapat mensejahterakan dan membawa kemajuan bagi rakyat. Petumbuhan dan Trickle Down Effect mengandaikan beberapa kondisi: Pertama, bahwa aktor ekonomi mesti dimulai dari mereka yang bermodal besar. Kedua, bahwa untuk terjadinya efek menetes, maka penggelembungan mesti terjadi terlebih dahulu di wilayah yang dimiliki oleh para pemilik modal besar itu. 6
Ketiga, selama penggelembungan dilakukan, efek menetes tidak dapat terjadi, distribusi tidak dimungkinkan. Keempat, untuk mendapatkan manfaat pembangunan, orang miskin mesti menunggu hingga penggelembungan kekayaan ekonomi menghasilkan efek yang diharapkan. Ringkasnya, selama orang kaya belum bertambah kaya, selama itu pula orang miskin mesti tetap dibiarkan miskin. Pun, sekiranya orang kaya bertambah kaya, tidak dengan serta merta orang miskin berubah menjadi kaya. Cara pandang ini sedari awal berpijak pada asumsi yang keliru karena telah berpihak kepada kaum pemodal. Bahwa kemajuan orang miskin dan seluruh kehidupannya hanya dianggap sebagai akibat atau efek samping saja dari dunia orang kaya. Di sini, orang miskin dipandang semata-mata sebagai recipient atau penerima yang pasif. Dimensi kepasifan ini pula, yang pada ujungnya menjadi mekanisme penghalang bagi kemungkinan perubahan sosial yang lebih otentik, sehingga dengan itu jurang kaya-miskin tetap dipertahankan. Sebuah teori pembangunan atau kebijakan nasional yang dimaksudkan untuk mewujukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebaiknya tidak dimulai dengan bias ideologi dan identifikasi aktor serta prioritas yang keliru. Malangnya, cara kita memandang orang miskin, hingga kini masih belum berubah banyak. Meski pranata politik kita telah banyak berubah dari era otoritarian, namun pandangan dan ideologi pembangunan kita, dalam hal yang prinsipil masih terus terbelenggu dalam paradigma pertumbuhan dan efek menetes, sehingga pada akhirnya terperangkap dalam postulat yang salah mengenai pembangunan. Selama elit masih menganggap perlunya kehadiran rakyat sebagai permanent underclass, maka kemiskinan dan kesenjangan akan sangat sulit dihapuskan di negeri yang kita cintai ini. Kita memang sudah tidak lagi mengerahkan mesin kekerasan untuk memompa justifikasi terhadap pembangunan. Dengan berkembangnya pengakuan terhadap hak asasi manusia, justifikasi politik keamanan terhadap pembangunan juga dilakukan secara lebih hati-hati untuk mencegah korban manusia, sebagaimana yang biasa terjadi di masa lalu. Selain itu, selama periode sepuluh tahun terakhir, memang ada slogan baru mengenai pembangunan dengan menekankan pada prioritas dan ide-ide: pro-growth, pro-job, pro–poor, pro-environment. Namun demikian, ungkapan pro-poor dan ideal equality di sini masih diposisikan sebagai sequences yang terlepas dan terpisah dari paradigma pembangunan secara keseluruhan. Pro-poor lebih merupakan keterangan yang ditempelkan pada paradigma pembangunan lama growth with equity, yang masih menekankan pertumbuhan yang bias para pemodal besar. Pembangunan tetap masih dioperasikan dalam asumsi pertumbuhan dengan efek menetes ke bawah. Kenyataan ini secara gamblang, juga kelihatan dari bagaimana setiap pemimpin, birokrat dan teknokrat kita jauh lebih banyak mengunjungi dan berunding dengan para investor besar dan konglomerat ketimbang mengadakan diskursus setara dengan UKM dan koperasi. Kelestarian postulat lama mengenai keadilan yang keliru ini, terus meresap hingga sekarang. Di masa kini, bekerjanya pandangan lama ini terlihat dari orientasi pembangunan yang menekankan proyek-proyek infrastruktur besar. Proyek-proyek infrastruktur besar merupakan pisau bermata ganda: di satu sisi ia memang berpotensi memberikan keleluasan dan ruang mobilitas serta memperkuat denyut ekonomi. Namun di saat yang sama ia juga dengan mudah bisa menyingkirkan kaum miskin dari tanah, kebudayaan serta tradisi leluhurnya. Disinilah dapat dilihat bahwa kemiskinan-kesenjangan merupakan akibat perbuatan sekaligus pembiaran.
7
Dalam model pendekatan yang lama, mobilisasi sumber daya pembangunan dilakukan melalui mekanisme institution-led atau dimonopoli secara top-down oleh institusi-instusi representasif dan broker baik yang berasal dari negara maupun yang berasal dari sektor privat. Kita perlu membalik secara radikal logika lama tersebut dengan menekankan bahwa sumber daya pada dasarnya adalah milik rakyat. Oleh karena itu, mobilisasi dan penggunaan sumber daya sepenuhnya mesti menjadi tanggung jawab rakyat dan berbasis pada tipe-tipe kebutuhan rakyat yang variatif. Dalam pandangan ini negara diposisikan sebagai fasilitator yang bekerja sebagai pendidik yang menolong rakyat untuk memahami persoalan-persoalannya sendiri dan menjawab dengan kemampuan dan caranya sendiri. Pendekatan ini memang mensyaratkan tumbuhnya partisipasi yang kokoh dan dewasa dalam demokrasi kita. Di sinilah, untuk menggerakkan diri dalam partisipasi, rakyat juga perlu mendidik dirinya. Di titik inilah, hadirin sekalian, demokrasi kita menemukan padanan dalam pranata sosialnya. Supaya rakyat mampu memobilisasi sumber daya secara benar, ia mesti ditopang dengan partisipasi yang otentik. Singkatnya, apabila kita menerima demokrasi sebagai prinsip penyelenggaraa kepolitikan, maka sudah selayaknya kita mencari cara baru untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi kita. Bagaimana bentuk cara baru tersebut? Hadirin yang Mulia, Upaya menemukan jawabannya, sebaiknya kita awali dengan menelusuri pernyataan Amartya Sen mengenai penanggulangan kemiskinan. Amartya Sen menyatakan bahwa kemiskinan dapat teratasi jika pembangunan dilandaskan pada memanusiakan manusia. Manusia tidak dianggap sebagai obyek pembangunan, tetapi di setiap lapisan masyarakat, manusia merupakan subyek dari pembangunan itu sendiri. Kunci dari semua aspek pembangunan manusia dan pengembangan ekonomi adalah pendidikan dasar, kesehatan, dan penyebarluasan peluang ekonomi. Ketiga hal itu dapat diraih melalui kebebasan nyata yang dapat dinikmati rakyat. Peran pemerintah adalah mengkondisikan kebijakan sosial, ekonomi, dan politik yang mendukung kebebasan itu, seperti adanya jaminan atas hak-hak sipil dan politik, kebebasan mengikuti diskusi publik, dan terlibat dalam pengawasan serta penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Pengabaian terhadap penyediaan fasilitas publik adalah bentuk tirani terhadap kebebasan yang mengerdilkan manusia dan dapat berujung pada minimnya produktivitas dan terjadinya proses pemiskinan. Pesan peraih Nobel ekonomi 1998 tersebut saya terjemahkan dalam frasa singkat, yaitu pembangunan yang berkeadilan sedari awal (growth through equity). Esensi utama dari pembangunan yang berkeadilan adalah masyarakat miskin diupayakan untuk menerima manfaat yang lebih besar (dibandingkan dengan masyarakat kaya) dari adanya pembangunan dan investasi publik yang dilakukan pemerintah. Benar, hal ini tidak mudah diimplementasikan, karena hingga saat ini fenomena yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia adalah penerima manfaat terbesar dari pembangunan infrastruktur dan investasi publik adalah masyarakat kaya; sementara masyarakat miskin tetap menjadi penonton glamour masyarakat kaya yang semakin kaya. Lantas model pembangunan yang seperti apa, yang dapat memberikan manfaat dan kesempatan yang lebih besar terhadap masyarakat miskin? Seperti “mengangkat batang terendam” maka pembangunan yang berkeadilan harus dilakukan agar pertumbuhan yang kita kejar tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang tetapi membawa kemaslahatan bagi setiap rakyat, betapapun tidak berdayanya dia, melalui people-driven development.
8
Paradigma people driven tidak bermaksud menafikan pendekatan market driven maupun technology driven, kendati kedua pendekatan itu telah terasa semakin menjauhi tujuan utama dari pembangunan ekonomi itu sendiri, yaitu mewujudkan keadilan sosial. Mazhab pembangunan ini mengutamakan kemanusiaan yang menganjurkan agar semua kebijakan yang disusun, kelembagaan yang dibangun, teknologi yang dirakit maupun diambil-alih, ditentukan oleh komposisi kebutuhan dan kemampuan rakyat yang berkembang secara dinamis, kesemuanya bermuara pada pemulihan harkat dan martabat seluruh rakyat. Paradigma ini berlandaskan pada sumberdaya yang dimiliki dan atau dikuasai rakyat banyak, baik sumberdaya alam, sumberdaya teknologi (indigenous technologies), kearifan lokal (local wisdom), budaya ekonomi lokal (local culture, social capital) dan menempatkan organisasi ekonomi rakyat sebagai pelaku utama pembangunan. Pengembangan ekonomi kerakyatan dan jaringannya dilakukan dengan menghibridisasi budaya lokal dengan budaya korporasi modern dalam konteks kemitraan yang lebih membumi, yang saya namakan sebagai Private-Public-People Partnership (4P) yang merupakan pelurusan dari pola Public, Private Partnership (PPP). Kerangka 4P yang saya usulkan menyediakan penguatan keberpihakan pada kebijakan yang representatif terhadap ketahanan usaha kerakyatan, dipadukan dengan penguasaan teknologi mutakhir perusahaan dengan jejaring lokal, regional, maupun global sehingga menjamin kelanggengan investasi dan usaha semua pihak. Kerangka 4P menyediakan platform untuk mengembangkan kemitraan yang bermanfaat dan praktis antara masyarakat, swasta dan LSM, organisasi profesi, media dan akademisi, untuk merekonstruksi jenis pembangunan infrastruktur publik tertentu (Zhang dan Kumaraswamy, 2006). Kekuatan swasta, BUMN dan Koperasi diiikat dalam kesepakatan berlandaskan jiwa gotong royong untuk meningkatkan daya saing dalam proses penciptaan co-prosperity. Mengapa diawali oleh privat? Karena pengusaha baik yang menggunakan modalnya sendiri akan berikhtiar keras agar kemitraan tersebut berhasil sehingga dia dapat memperoleh laba. Selanjutnya, apabila pemerintah pada berbagai tingkatan tidak diikut-sertakan, maka dikhawatirkan bahwa kebijakan dan peraturan yang dihasilkan akan saling-silang. Sementara itu, hanya melalui diskursus setara dengan rakyat setempat sedari awal akan terwujud sustainability yang sesungguhnya yaitu masyarakat yang mampu menciptakan kesempatan kerja dan berusaha yang bermartabat secara mandiri. Saudara-saudaraku yang saya sayangi, Agar tidak dituduh bahwa kita hanya memuaskan diri membahas masalah normatif semata, saya akan mengemukakan beberapa saran untuk membantu pemerintah menjabarkan postulat, paradigma maupun konsep yang baru saja kita telusuri. Tetapi, sebelum memulai menyampaikan kebenaran kepada penguasa, atau, speaking truth to power, ada baiknya manakala kita berupaya meresapi wejangan leluhur kita; Hendaklah berjasa, kepada yang sebangsa Hendaklah jadi kepala, buang perangai yang cela Hendaklah memegang amanat, buanglah khianat Raja Ali Haji, 1847; penggalan Gurindam XII, Pasal 11 Agar dapat menjadikannya pegangan moral dalam meningkatkan kadar pengabdian kita kepada Bangsa maupun menunaikan tanggung-jawab kita kepada Sang Khalik.
9
Bagaimana pemerintah dapat memulai menapak kejalan yang benar? Pertama-tama, agar tidak terbilang khianat, para pemimpin, mulai dari yang tertinggi harus mampu melintasi segala kepentingan, keluarga, suku, kelompok maupun agama, dan menyatukan diri dengan kepentingan Bangsa. Mantapkan kelembagaan agar mindset birokrasi, termasuk pejabat di daerah, mengalami revolusi dan mulai mengutamakan kepentingan rakyat. Sudah saatnya merampingkan birokrasi, mulai dari pusat. Hukum korupsi-didorong-keserakahan sementara memberikan jaminan kehidupan yang layak kepada pegawai negeri yang tersisa setelah perampingan. Kelola BUMN melalui kendali corporate governance yang baik, bukan birokrasi otoriter seperti selama ini. Kedua, tinggalkan keangkuhan penguasa; selenggarakan diskursus setara dengan rakyat agar dapat lebih menjiwai hambatan yang mereka rasakan, bukan yang kita perkirakan. Tuntut tanggung jawab yang lebih besar dari pejabat daerah, yang menghabiskan sekitar 70 persen anggaran untuk dirinya sendiri. Laksanakan e-governance hingga ke unit pemerintahan yang paling rendah, sehingga kontribusi setiap PNS dapat terekam secara akurat. Ketiga, komunikasikanlah strategi pembangunan memanusiakan-manusia dengan bahasa rakyat, agar timbul rasa aman dari perlakuan semena-mena penguasa maupun kelompok masyarakat, dan terpupuk harapan untuk masa depan yang lebih baik. Bentangkan apa yang ingin dicapai hingga 2019 kendati perkembangan ekonomi global kurang menguntungkan, termasuk langkah-langkah positip yang telah ditempuh –seperti pengurangan subidi BBM, dan temui-kenali prakarsa mana yang merupakan landasan untuk pembangunan pasca-2019, agar perubahan strategi pembangunan ‘people-driven development’ menjadi lebih jelas. Keempat, dalam urutan yang tepat, upayakan agar rakyat sudah memiliki kemampuan mendaya-gunakan segala infrastruktur yang kelak dibangun pemerintah. Kelima, jalankan strategi redistributif mulai dari kebijakan makro fiskal moneter, yang menyertakan setiap warga negara dalam meraih manfaat pembangunan (ekonomi inklusif ) hingga ke Reforma Agraria, yang memberikan akses lahan, saprodi, teknologi, kredit, penyuluhan, dan kepastian pasar, sehingga akumulasi kapital terjadi di tingkat keluarga petani dan nelayan kecil Sedari awal saya berkeyakinan bahwa reforma agraria merupakan kebijakan utama yang dapat membantu menanggulangi kemiskinan secara lebih berarti sekaligus meletakkan landasan untuk melangkah maju mengurangi kesenjangan. Kedepan, alokasi lahan yang memadai kepada petani akan menurunkan kemiskinan secara berarti, meningkatkan produksi pangan dan berpotensi membebaskan bangsa dari ketergantungan impor pangan-utama. Apakah ini hanyalah sekedar khayalan seorang pemimpi, atau memang feasible? Sebenarnya hal ini telah dibuktikan almarhum Ir Rahman Rangkuty, yang bersama puluhan alumni FP USU menjadi pionir pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat di Aek Nabara. Akan tetapi, seperti biasa, kita kurang menghargai karya anak Bangsa kita sendiri. Oleh karena itu, kita terpaksa sepintas menelusuri keberhasilan Tiongkok menurunkan jumlah penduduk miskin melalui land right reform. Meninggalkan usaha pertanian kolektif yang kurang menghargai prestasi individual, melalui pola kontrak lahan individu, PDB sektor pertanian meningkat sebesar 88,3% antara tahun 1978 dan 1989. Yang paling penting, kebijakan reforma agraria tersebut berhasil menurunkan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan US$1,25 per hari dari sekitar 84% pada 1981 menjadi 16% pada 2005. Di Taiwan reforma agraria dilaksanakan melalui perencanaan yang matang, berkesinambungan, secara damai. Diawali dengan program pengurangan sewa tanah, melalui pelepasan tanah pertanian milik pemerintah, program “tanah untuk petani penggarap”, program penyeimbangan hak tanah, dan akhirnya konsolidasi tanah pertanian dan perkotaan.
10
Hasilnya, jumlah tenaga kerja di bidang pertanian yang pada awal reforma agraria di atas 35% dari jumlah total tenaga kerja, satu dasawarsa lalu tinggal 8%, yang berarti bahwa transformasi struktural telah memungkinkan 27 % petani naik-kelas. Memang, terbukti bahwa semua Negara Asia yang berhasil meraih teknologi tinggi tanpa kehilangan jati dirinya, telah mendahulukan membangun landasan sector pertanian dan perdesaan yang kokoh. Kini, kita didesak untuk merefleksikan kembali local wisdom leluhur kita mengenai sequencing pembangunan yang baik. Di pedesaan Jawa, hanya ‘kuli kenceng’- yaitu yang akan mengajak tetangganya turut serta dalam memanen sehingga mendapat ‘bawon’, perlu didengar suaranya dalam musyawarah desa. Hal ini agak mirip dengan konsepsi awal demokrasi di Athena dimana hanya pemilik tanah yang boleh memilih. Bermodalkan asset, petani memiliki suara. Dengan suara, dia akan mendapatkan akses. Dengan akses, dia dapat lebih mudah meraih pendapatan. Jelas terlihat bahwa urutan pembangunan yang berkelanjutan adalah Asset – Voice – Access – Income. Selanjutnya, belajar dari negara-negara lain yang berhasil maupun yang gagal dalam melaksanakan reforma agraria, maka setidaknya ada lima prasyarat utama yang harus dipenuhi untuk mendukung implementasi di negeri kita. Pertama, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan penetapan landasan hukum yang kuat, transparan, dan operasional. Dengan dijaganya transparency, kita dapat meningkatkan genuine participation sehingga kita dapat bersama-sama memastikan accountability sistem yang dibangun. Kedua, penetapan kebijakan ekonomi makro dan penyediaan infrastruktur yang memadai untuk pengembangan usaha pertanian. Ketiga, pengalaman dan keterampilan individu/rumah tangga yang memperoleh pembagian lahan dalam melaksanakan usahatani sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan reforma agraria. Keempat, pemberian kompensasi yang memadai terhadap individu/rumah tangga yang terkena dampak pembatasan kepemilikan lahan, sehingga pengurangan kepemilikan lahan tidak berdampak negatif terhadap kesejahteraan mereka. Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan sudah membuktikan keberhasilan cara ini . Kelima, administrasi kepemilikan lahan harus dilaksanakan secara tertib dan akurat, sehingga sertifikat kepemilikan lahan dapat segera diproses dan dimiliki oleh masyarakat yang berhak. Alangkah baiknya manakala pemerintah visioner mempergunakan momen Reforma Agraria untuk memindahkan pertanian bernilai-rendah, termasuk gula dan padi, keluar Jawa. Komposisi dan opportunity cost sumber-daya serta infrastruktur menuntut bahwa usaha di Pulau Jawa harus sekaligus padat karya, padat-modal, dan padat-teknologi, ditopang oleh sistem pengelolaan air yang sesuai. Tentunya hal ini harus dilakukan bertahap, selaras dengan meningkatnya kemampuan manusia tani kita yang ditempa melalui pendidikan, pelatihan, dan pendampingan yang berkesinambungan. Hadirin yang berbahagia dan dimuliakan, Khusus berkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan, pertama-tama harus ditetapkan sebuah lembaga yang bertanggung-jawab, agar tidak lagi terfragmentasi seperti selama ini. Kemudian disusun tahapan pembangunan yang dipastikan akan dapat lebih banyak dinikmati oleh masyarakat miskin, dengan antisipasi hijrahnya kemiskinan ke perkotaaan. Oleh karena itu sebaiknya dimulai dengan menempatkan manusia tani sebagai aktor utama dalam memperkokoh pembangunan ekonomi perdesaan. Dilanjutkan dengan pembangunan jaringan sosial dan infrastruktur fisik yang meluas, seperti memperbaiki dan meningkatkan sarana pendidikan dasar, mendirikan sekolah kejuruan dan memberlakukan wajib belajar pendidikan menengah dan atas, serta memberdayakan pelayanan keluarga berencana, program peningkatan pangan dan gizi, serta pelayanan kesehatan yang menjangkau dan terjangkau.
11
Kesemua prakarsa ini perlu dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga membentuk “tangga” bagi rakyat miskin untuk keluar dari kenestapaan. Saran pemikiran yang terakhir yang saya anggap penting dan sangat menentukan keberadaan bangsa di masa yang akan datang, yaitu menggugah rasa nasionalisme dan keutuhan Nusantara dari Sabang hingga Merauke. Sangat saya khawatirkan bahwa dalam dua hingga tiga dasawarsa kita akan semakin kehilangan jati diri sebagai bangsa, manakala kelas menengah konsumtif kita dengan sadar dan suka rela menjadi pasaran empuk berbagai komoditi, produk, jasa maupun ideology dari negara lain. Masalah daya saing mestinya bukanlah masalah yang rumit dan bahkan dapat dikatakan sangat mudah diatasi asalkan kita mampu merakit system insentif yang mendorong tebentuknya kelas menengah produktif yang berkomitmen untuk menghasilkan barang, produk, dan jasa yang berkelas dunia. Para sahabat yang bijaksana, Demikianlah pokok-pokok pikiran yang saya sampaikan dalam Forum Akademi Jakarta yang sangat terpelajar ini. Tentunya kita tidak ingin terus menikmati kemerdekaan hasil perjuangan dan pengorbanan generasi pendiri semata, tetapi kitapun bertekad dicatat sejarah sebagai generasi dengan kecerdasan kehidupan yang rela mewakafkan dirinya untuk mentransformasi pernyataan menjadi kenyataan Merdeka. Mampu melepaskan diri dari perangkap perbuatan dan pembiaran kemiskinan agar keadilan sosial dapat dienyam oleh seluruh rakyat Indonesia. Apa pelajaran yang dapat kita petik dari uraian panjang tadi? Ternyata perbuatan dan pembiaran kemiskinan–kesenjangan merupakan buah keserakahan dan pragmatisme yang telah menyesatkan kita. Oleh karena itu, kita harus berani melancarkan mujahaddat an Nafs. Marilah kita, sebagai Bangsa yang tahu mensyukuri, bangkit memperbaharui tekad dalam kesetaraan untuk mengerahkan segala dana dan daya memerangi kemiskinan-kesenjangan, menapak kembali ke jalan yang benar. Naar de Republik. Merdeka! .
12