BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Skripsi ini membahas mengenai salah satu peristiwa dalam sejarah Gereja Eropa Abad Pertengahan. Inti dari pembahasannya adalah mengenai inkuisisi Spanyol yang secara tidak langsung mendapat pengaruh dari raja Spanyol. Dalam mengkaji masalah ini, peneliti tidak melihat Inkuisisi dari faktor agama. Heresy (bid’ah) merupakan suatu penyimpangan terhadap keyakinan yang dianut dan agama wajib untuk meluruskannya. Namun yang peneliti lihat dalam masalah ini adalah bagaimana suatu kebijakan politik dilakukan atas nama pemurnian terhadap suatu agama untuk kepentingan sekelompok golongan yang diikuti oleh penyitaan terhadap seluruh harta benda korbannya. Hal ini menandakan bahwa secara tidak langsung inkuisisi tersebut telah mengambil keuntungan secara materil dari korbannya. Disisi lain adalah bagaimana suatu kondisi sosial masyarakat dipengaruhi oleh inkuisisi yang menjadikan Spanyol terbelakang secara budaya dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan Negara-negara Eropa lainnya yang telah memasuki tahap renaissance sejak awal abad ke-16. Inkuisisi sendiri adalah lembaga yang bertugas khusus untuk memerangi heresy (bid’ah) terhadap ajaran Agama Katolik. Lembaga ini berada dibawah otoritas Paus dan berada diseluruh wilayah kekuasaan Katolik Roma. Collier’s Encyclopedia 13 menyatakan bahwa: Inquisition is the ecclesiastical institution organized to detect and punish heretics and other guilty of any offense against Roman Catholic
1
orthodoxy. Although frist organized in the early thirtheenth century to combat the albigensian heresy in the Mediterranean France, the inquisition had its source in many earlier action of the medieval church against heretics and the sworn inquest of the secular courts in England and France to ferret out criminals (Collier’s Encyclopedia, 1963: 28).
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa inkuisisi mulai berdiri sekitar abad ke-13 untuk memerangi kaum bid’ah Albigensian di Perancis, namun seiring dengan perkembangan zaman, inkuisisi tidak hanya khusus memerangi terhadap masalah heresy yang bertentangan dengan doktrin gereja, tapi juga terhadap kejahatan-kejahatan lain seperti pembunuhan, tenung dan wanita tukang sihir. Contoh yang sering dikemukakan adalah peristiwa yang menimpa Galileo (1564-1642) yang mencetuskan teori heliosentris – mendukung teorinya Copernicus – yang mengatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya, hal ini sangat bertentangan dengan pendapat Holy Office (Tahta Suci Vatikan) yang menyatakan bahwa bumi adalah pusat dari alam semesta. Akibat dari teorinya itu Galileo dihadapkan pada Mahkamah Inkuisisi pada tahun 1633 dengan hukuman kurungan rumah dan meninggal pada tahun 1642 di Arcetri, Italia. Walaupun pada tahun 1992 Paus Yohanes Paulus II telah meminta maaf dan merehabilitasi nama Galileo, namun kejadian ini telah menjadi preseden buruk dalam sejarah gereja dalam hubungannya antara Holly Office dengan pihak yang tidak sejalan dengannya.
(http://www.korantempo.com/korantempo/cetak/2009/08/26/Ilmu_
dan_Teknologi/krn.20090826.174885.id.html) [12 desember 2010]. Di Spanyol sendiri, inkuisisi mulai berdiri pada tahun 1478 ketika dikeluarkannya bulla (surat enklisik kepausan) tentang pendirian inkuisisi di Spanyol. Namun berbeda dengan lembaga inkuisisi di kerajaan lain, inkuisisi yang
2
dilakukan di Spanyol langsung dibawah kendali raja. Hal ini berbeda konsep dasar yang dipahami bahwa inkuisisi merupakan ecclesiastical institution (lembaga gerejawi dibawah otoritas Paus). Hal yang sama dikemukakan oleh Lea dalam buku A History of the Inquisition in Spain Volume 1 yang menyatakan bahwa: In Spain, however, the Inquisition represented not only the pope but the king; it practically wielded the two swords--the spiritual and the temporal—(Lea, 1905).
Melihat hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan masuknya kekuatan non-gereja, maka sistem yuridikasi pada lembaga Inkuisisi ini tidak hanya masalah agama, namun faktor politik juga pasti mempengaruhi terhadap kebijakan yang diambil oleh lembaga ini. Hukum, politik dan kekuasaan merupakan suatu hal yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain, sebagaimana yang dikemukakan oleh Maurice Duverger (1981: 358) dalam buku Sosiologi Politik yang mengatakan bahwa hukum didefinisikan oleh kekuasaan, terdiri dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan politik. Melihat hal tersebut peneliti memiliki ketertarikan untuk mengkaji apakah dengan masuknya otoritas raja dalam inkuisisi menyebabkan institusi tersebut masih memiliki integritas untuk tetap memerangi masalah yang bertentangan dengan doktrin agama, atau politik raja juga mempengaruhi dalam keberadaan inkuisisi tersebut. Terlebih lagi batasan bid’ah dalam konteks ini menjadi kabur karena kuatnya wewenang Inkuisisi dalam hal keduniawian, contohnya adalah kebebasan berpendapat, jauh dari hal-hal yang ”menyerang” agama.
3
Target inkuisisi yang dibahas pada penelitian ini adalah orang Yahudi yang tinggal di wilayah pemerintahan Kristen, bukan di wilayah kekuasaan Islam. Dalam wilayah komunitas Muslim, Martin Gilbert seperti yang dikutip oleh Adian Husaini (2004: 162) dalam buku Tinjauan Historis Konflik Yahudi-KristenIslam menjelaskan toleransi yang dibangun antara Islam dan Yahudi di Spanyol. Masa ini dikenal dengan sebutan “Jewish Golden Age in Spain” yang ditandai dengan masuknya peran Yahudi dalam berbagai bidang sosial kemasyarakatan, pendidikan maupun politik. Yahudi memainkan peran sebagai penyair, sarjana, dokter, pedagang, maupun jabatan perdana menteri. Kekuasaan Islam yang berkuasa di semanajung Iberia sejak abad ke-7 mulai melemah dengan adanya penaklukan kembali wilayah-wilayah islam oleh penguasa Kristen. Proses yang dikenal dengan sebutan reconquesta (penaklukan kembali) ini telah merubah peta politik kekuasaan Islam di semenanjung Iberia sampai kekuasaan Muslim terdesak ke selatan Iberia, wilayah Granada yang kemudian takluk pada tahun 1492. Pada awal abad ke-14 wilayah yang dikuasai oleh Kristen meliputi Castilla, Aragon, Navarre, Leon dan Portugal. Berpindahnya kekuasaan dari otoritas Muslim ke Kristen diwilayah yang telah ditaklukan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Raja Castilla, Santo Ferdinand (1230-1252) menjuluki dirinya sebagai “Raja Tiga Agama”. Namun sikap toleransi dan hidup berdampingan ini terjadi ketika adanya keseimbangan politik dan militer antara ketiga komunitas tersebut. Hal ini terbukti ketika kemajuan Kristen pada saat mengalahkan Muslim di Las Navas de
4
Tolosa pada tahun 1212, perlahan-lahan struktur toleransi tersebut mulai runtuh dan hukum pihak pemenang memapankan dirinya (Kamen, 2008: 3). Dengan runtuhnya toleransi yang telah dibangun selama berabad-abad tersebut menyebabkan kaum minoritas menjadi sasaran penindasan. Mulai tahun 1371 Yahudi menjadi sasaran kebencian ketika Cortes (dewan) Castilla memberlakukan Undang-Undang (UU) anti Yahudi. UU ini sebenarnya pertama kali diusulkan pada Konsili Lateran Keempat di Roma pada tahun 1215. UU ini mengharuskan Yahudi untuk menggunakan lambang tertentu dalam pakaian mereka sebagai identitas bahwa mereka adalah seorang Yahudi. Puncaknya adalah dengan persekusi Yahudi tahun 1391 di Sevilla dan diikuti dengan konversi (perpindahan agama) secara paksa dari Yudaisme ke Nasrani. Kebijakan konversi ini menarik juga untuk dikaji. Cassanova (2003: 118) mengungkapkan bahwa kebijakan ini pada dasarnya adalah untuk menunjukan identitas nasional Spanyol berdasarkan kesatuan keagamaan yaitu agama Katolik sebagai agama resmi. Sasaran kebijkan ini adalah Yahudi dan Muslim. Bagi yang menolak konversi maka mereka dipaksa untuk meninggalkan Spanyol dengan konsekuensi mereka harus meninggalkan harta benda (kekayaan) untuk disita kerajaan, akibatnya kaum konverso muncul dalam skala besar. Persoalan Yahudi yang dijawab dengan kebijakan konversi ini menimbukan masalah baru yang disebut crypto jews (Yahudi tersembunyi). Mereka adalah orang yang telah dibaptis menjadi Nasrani tapi masih melakukan ritual-ritual Yudaisme. Masalah baru ini dipecahkan dengan jalan Inkuisisi, bukan dengan upaya misionaris. Muncul sebuah pertanyaan, mengapa orang-orang Yahudi bersedia dibaptis dan
5
mengingkari keyakinan terhadap agama mereka yang kemudian mereka harus berhadapan dengan Mahkamah Inkuisisi, serta mengapa otoritas Gereja tidak menggunakan jalan misionaris untuk menghilangkan crypto jews tersebut. Hal lain yang menarik dan patut dikaji juga adalah mengenai praktek penghukuman dalam inkuisisi tersebut. Menurut Kamen (2008: 193) ada tiga bentuk siksaan utama pada inkuisisi yaitu garrucha, toca, dan potro. Garrucha berarti kerekan yang diikatkan ke pinggang tertuduh yang mengangkatnya ke langit-langit ruangan. Kaki tertuduh diikat dengan pemberat besi. Korban diangkat ke atas dan dijatuhkan ke bawah secara mengejutkan dan berulang-ulang. Hal ini bisa menyebabkan otot tangan dan kaki putus. Toca adalah kain linen yang dimasukkan ke mulut tertuduh secara paksa. Kemudian air dituangkan secara pelahan-lahan ke dalam perut tertuduh melalui kain linen tersebut hingga ia merasa tersiksa. Potro adalah bentuk siksaan di mana tubuh tertuduh diikat kuat-kuat ke sebuah tiang. Kemudian para algojo menarik tali yang melilit tubuh korban dari arah berlawanan secara bertahap hingga tali-tali itu menembus daging. Bentuk paling terakhir dari penghukuman inkuisisi ini adalah pelaksanaan Auto de Fe, yaitu eksekusi mati para terdakwa dihadapan sang raja dengan dihadiri ribuan masyarakat dengan suatu upacara yang megah. Pelaksanaan penghukuman disertai dengan penyiksaan kejam merupakan tontonan yang sangat disukai publik pada Abad Pertengahan di Eropa. Ini juga yang mengakibatkan inkuisisi di Spanyol bertahan lama sampai tahun 1834. Hal ini terbukti ketika banyaknya orang yang hadir menyaksikan auto de fe (eksekusi
6
mati) para terdakwa. Dwipayana dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Politik tahun 2001 menyatakan bahwa: Dalam konteks ini, penyiksaaan dan kekerasan didepan publik merupakan teknologi politis atas tubuh yang secara nyata tampil dalam prosedur penghukuman publik yang kejam maupun dalam penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan dari tertuduh. Dengan demikian kekerasan didepan publik telah menjadi ritual politis, dengan menempatkan mekanisme kuasa yang menyentuh tubuh secara kasar dan kejam menjadi model strategi kuasa (Dwipayana, 2001: 24). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa bentuk penghukuman dengan menggunakan metode penyiksaan tujuan utamanya yaitu untuk legitimasi raja terhadap rakyatnya yang melanggar. Hal ini untuk menunjukan bahwa rajalah yang paling berkuasa dan segala hal yang mengancam kekuasaan raja akan disingkirkan. Mengenai periodisasi, peneliti memilih periodisasi dari tahun 1391 – 1492. Tahun 1391 digunakan sebagai awal periodisasi karena pada tahun ini terjadi pembantaian orang-orang Yahudi karena mereka dituduh telah melakukan ritual pemujaan setan dengan mengorbankan anak-anak Kristen. Pada tahun ini juga dikeluarkan suatu keputusan yang mengharuskan Yahudi untuk pindah agama menjadi agama Nasrani yang kemudian pada periode selanjutnya, converso (sebutan bagi Yahudi yang memeluk agama Nasrani) ini merupakan sasaran dari Inkuisisi yang didirikan di Spanyol. Sedangkan tahun 1492 dipilih sebagai akhir dari periodisasi karena pada tahun ini terjadi pengusiran besar-besaran terhadap Yahudi dengan dikeluarkannya Edict of Expulsion of the Jews yang merupakan awal dari diaspora Yahudi di dunia. Berdasarkan uraian diatas peneliti mempunyai keinginan untuk mengkaji lebih lanjut mengenai keberadaan inkuisisi dalam
7
sejarah gereja di Spanyol dengan judul INKUISISI SPANYOL (Persekusi Terhadap Konverso Yahudi Tahun 1391-1492); Tinjauan Sosial-Politik.
1.2 RUMUSAN DAN PEMBATASAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu : “Mengapa raja mempunyai otoritas terhadap Inkuisisi di Spanyol?” Agar pengkajian terhadap masalah utama lebih mendalam dan terarah, peneliti membatasi masalah dengan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana keadaan sosial masyarakat Yahudi Spanyol pada awal abad ke-14? 2. Mengapa Yahudi menjadi sasaran dalam Inkuisisi Spanyol? 3. Bagaimana kewenangan Raja dalam lembaga Inkuisisi Spanyol? 4. Mengapa bentuk penghukuman Inkuisisi menggunakan bentuk penyiksaan tubuh? 5. Bagaimana dampak sosial dan politik dari Inkuisisi Spanyol?
1.3 TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan keadaan masyarakat Yahudi Spanyol pada awal abad ke-14. 2. Mengungkapkan penyebab Yahudi menjadi sasaran dalam Inkuisisi Spanyol.
8
3. Mengungkapkan dampak dari adanya politik Raja dalam lembaga Inkuisisi Spanyol. 4. Mengungkapkan penyebab bentuk penghukuman Inkuisisi yang menyentuh aspek penyiksaan terhadap tubuh. 5. Mendeskripsikan dampak sosial dan politik dari Inkuisisi Spanyol.
1.4 MANFAAT PENELITIAN Dengan mengkaji pembahasan mengenai Inkuisisi di Spanyol tahun 13911492 terdapat beberapa manfaat yang dirasakan peneliti, diantaranya: 1. memperkaya penulisan
sejarah khususnya Sejarah Gereja dalam
masyarakat Eropa. 2. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan penelitian sejarah mengenai hubungan politik, hukum dan kekuasaan (raja). 3. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan penelitian sejarah mengenai bentuk penghukuman di Eropa Abad Pertengahan. 4. Mengajarkan tentang toleransi dan perbedaan diantara golongan masyarakat.
1.5 PENJELASAN JUDUL Pembahasan yang dikaji dalam skripsi ini yaitu mengenai Inkuisisi Spanyol (Persekusi Terhadap Konverso Yahudi Tahun 1391-1492); Tinjauan Sosial-Politik. Adapun penjelasan beberapa istilah yang terdapat dalam judul tersebut antara lain:
9
1. Inkuisisi Inkuisisi adalah sebuah lembaga yang berada dibawah kepausan yang bertujuan untuk memerangi heresy (bidah) atau penyimpangan terhadap ajaran agama katolik. (Hasley, 1963: 24). Pertama kali didirikan pada abad ke-13 di Prancis. Di Spanyol sendiri inkuisisi didirikan pada tahun 1478 dengan dikeluarkannya surat enklisik kepausan oleh Sixtus IV. 2. Spanyol Spanyol adalah sebuah Negara yang berada di dataran Eropa. Pada abad ke-14 wilayah Spanyol (biasa disebut dengan Iberian Peninsula) meliputi Castilla, Aragon, Navarre, Leon dan Portugal. Tidak termasuk Granada yang sampai akhir abad ke-15 masih dikuasai oleh kekuasaan Islam. (http://en.wikipedia.org/wiki/iberian_peninsula.htm) [12 November 2010] 3. Persekusi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid-3 dijelaskan bahwa persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah atau ditumpas. (KBBI, 2002: 863). 4. Konverso Secara harfiah, konverso diambil dari kata converse yang berarti berpindah. Dalam konteks pembahasan dalam skripsi ini, konverso adalah orang yang berpindah agama dari Yudaisme menjadi Nasrani.
10
5. Yahudi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 1153), menjelaskan bahwa Yahudi adalah bangsa yang berasal dari Israil (Palestina). Menurut Ensiklopedi Agama dan Filsafat Buku ke-6 (2001: 431), Yahudi berasal dari kata Yahuda, yaitu putera ke empat dari Ya’kub. Segenap keturunan nabi Ya’kub itu dikenal sebagai keturunan Bani Israil. Dari nama ini dinamakan sebuah bangsa yang sekarang dinamakan Yahudi. 6. Kurun waktu 1391-1492 Tahun 1391 digunakan sebagai awal periodisasi karena pada tahun ini terjadi pembantaian orang-orang Yahudi karena mereka dituduh telah melakukan ritual pemujaan setan dengan mengorbankan anak-anak Kristen. Pada tahun ini juga dikeluarkan suatu keputusan yang mengharuskan Yahudi untuk pindah agama menjadi agama Kristen yang kemudian pada periode selanjutnya, converso (sebutan bagi Yahudi yang memeluk agama Kristen) ini merupakan sasaran dari Inkuisisi yang didirikan di Spanyol. Sedangkan tahun 1492 dipilih sebagai akhir dari periodisasi karena pada tahun ini terjadi pengusiran besar-besaran terhadap Yahudi dengan dikeluarkannya Edict of Expulsion of the Jews yang merupakan awal dari diaspora Yahudi di dunia. 7. Tinjauan Sosial Politik Tinjauan
sosial-politik
digunakan
peneliti
untuk
menganalisis
permasalahan dalam skripsi ini. Dalam konteks inkuisisi ini, peneliti tidak
11
melihat dari sudut agama, namun dilihat dari faktor sosial dan politik yang mempengaruhi inkuisisi tersebut.
1.6 METODE DAN TEKNIK PENELITIAN Metode adalah suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penyidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang diteliti (Sjamsuddin, 2007: 13). Metode yang digunakan dalam mengkaji skripsi ini adalah metode historis atau sejarah. Sjamsuddin (2007: 14) mengartikan metode sejarah sebagai suatu cara bagaimana mengetahui sejarah. Skripsi ini menggunakan metode historis karena permasalahan yang diangkat adalah permasalahan sejarah. Sjamsuddin (2007: 89) mengungkapkan enam langkah yang harus dilakukan dalam melakukan penelitian sejarah yaitu. 1. Memilih judul atau topik yang sesuai. 2. Mengusut semua eviden (bukti) yang relevan dengan topik. 3. Membuat catatan yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung. 4. Mengevaluasi
secara
kritis
semua evidensi
yang telah
berhasil
dikumpulkan (kritik sumber). 5. Menyusun hasil penelitian ke dalam pola yang benar atau sistematika tertentu. 6. Menyajikan dan mengkomunikasikannya kepada pembaca dalam suatu cara yang menarik perhatian, sehingga dapat dimengerti.
12
Dari keenam langkah tersebut, tahapan memilih topik, menyusun semua bukti-bukti sejarah dan membuat catatan termasuk pada tahap heuristik, sedangkan mengevaluasi semua bukti-bukti sejarah termasuk tahap kritik dan terakhir menyusun hasil penelitian serta mengkajinya termasuk tahap historiografi (Sjamsuddin, 2007: 155). Keempat tahapan ini diuraikan sebagai berikut: 1. Heuristik (Pengumpulan Sumber-sumber Sejarah) Ini merupakan tahap awal dengan mencari dan mengumpulkan sumbersumber sejarah yang relevan dengan masalah atau judul yang akan dikaji. Peneliti berusaha mengumpulkan sumber-sumber sejarah, baik sumber primer maupun sumber sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini. Dalam mencari sumber-sumber ini peneliti mendatangi berbagai perpustakaan, seperti perpustakaan UPI; perpustakaan Asia-Afrika; dan perpustakaan UNPAR. Selain dari pepustakaan, peneliti pun mencari buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang dikaji, seperti membeli buku di Gramedia, Gunung Agung, Rumah Buku, pusat buku Palasari dan Dewi Sartika. Selain itu peneliti juga melekukan penelusuran di internet dan mendapatkan beberapa buku electronic book (e-book) dari LIBRO (The Library of Iberian Resources Online), sebuah divisi penelitian khusus tentang Spanyol di Universitas Central Arkansas. 2. Kritik Ekternal dan Internal (menilai sumber sejarah) Pada tahap ini peneliti mulai melakukan seleksi dan penilaian terhadap sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh. Kritik yang dilakukan ini meliputi dua aspek yaitu aspek eksternal yang digunakan untuk menilai
13
otentitas dan integritas dari sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh. Aspek internal digunakan untuk melihat dan menguji dari dalam mengenai reliabilitas dan kredibilitas isi dan sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh. Dari proses kritik ini sumber-sumber sejarah selanjutnya di sebut fakta-fakta sejarah. 3. Interpretasi (menafsirkan sumber sejarah). Pada tahap ini, peneliti memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah yang diperoleh dari hasil kritik eksternal maupun internal. Faktafakta dihubungkan, disusun dan dianalisis sehingga diperoleh penjelasan yang sesuai dengan pokok permasalahan. Dalam tahap ini, peneliti mengerahkan seluruh kemampuan intelektual dalam membuat deskripsi, analisis kritis serta seleksi dari fakta-fakta tentang inkuisisi di Spanyol ini sehingga akan menghasilkan bentuk penulisan sejarah yang utuh. 4. Historiografi,
merupakan
langkah
terkahir
dalam
penulisan
ini.
Historiografi merupakan proses penyusunan seluruh hasil penelitian ke dalam bentuk tulisan. Dalam hal ini peneliti menyajikan hasil temuannya pada tiga tahap yang dilakukan sebelumnya dengan cara menyususn dalam suatu tulisan yang jelas dengan bahasa yang sederhana dan menggunakan tata bahasa penulisan yang baik dan benar. TEKNIK PENELITIAN Peneliti menggunakan teknik studi literatur atau studi kepustakaan dalam penulisan skripsi ini. Studi literatur digunakan untuk mengumpulkan fakta-fakta dengan mempelajari buku-buku, artikel, atau jurnal yang relavan dengan
14
permasalahan yang peneliti kaji. Sumber-sumber yang telah terkumpul, selanjutnya peneliti kaji dan pelajari sesuai dengan langkah-langkah dalam penelitian sejarah seperti yang telah diuraikan di atas.
1.7 SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika dari hasil penelitian akan disusun ke dalam lima bab yang terdiri dari: BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas menganai latar belakang masalah yang didalamnya termuat mengenai alasan dan pentingnya penelitian mengenai inkuisisi di Spanyol. Pada bab ini juga membahas menganai perumusan dan pembatasan masalah yang disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan untuk memudahkan peneliti mengkaji dan mengarahkan pembahasan, tujuan penelitian, metode dan teknik penelitian, serta sistematika penelitian. BAB II TINJUAN PUSTAKA Bab ini merupakan tinjauan kepustakaan dan kajian teoritis dari berbagai referensi yang berhubungan dengan masalah inkuisisi di Spanyol tahun 1391-1492. Peneliti mereview untuk mengetahui sejauhmana pembahasan karya-karya tersebut sehingga penelitian ini dapat melengkapi apa yang belum ada dari buku-buku tersebut.
15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini membahas langkah-langkah, metode dan teknik penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam mencari sumber-sumber, cara pengolahan sumber, analisis dan cara penulisannya. Semua prosedur dalam penelitian akan di bahas pada bab ini. BAB IV PEMBAHASAN Bab ini merupakan isi utama dari tulisan sebagai jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai keadaan masyarakat Yahudi Spanyol pada awal abad ke-14 dan pola hubungan politik antara paus sebagai pemimpin agama dengan raja-raja daerah, khususnya raja Spanyol dan hubungannya dengan kewenangan dalam inkuisisi. Pada bab ini juga akan di bahas mengenai awal terjadinya inkuisisi dalam perspektif sosial politik serta makna dibalik penghukuman inkuisisi tersebut. BAB V KESIMPULAN Bab ini mengemukakan kesimpulan yang merupakan jawaban dan analisis peneliti terhadap masalah-masalah secara keseluruhan. Hasil temuan akhir ini merupakan pandangan dan interpretasi peneliti tentang inti pembahasan penulisan.
16