BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,
terjadi penyerahan fungsi dan kewenangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Artinya, Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat yang sesuai peraturan perundangan-undangan lainnya. Kebijakan tersebut lebih diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa efesiensi dan keefektifan penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan. Hal-hal yang menjadi perhatian
adalah aspek hubungan antar
susunan pemerintahan, pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang serta tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan seluasluasnya kepada daerah, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan upaya penyelenggaraan otonomi, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan kepada
1
daerah secara nyata dan bertanggung jawab, harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfataan sumber daya nasional secara adil. Untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan,
maka
diatur
pendanaan
penyelenggaraan
pemerintahan.
Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk mampu dan lebih aktif dalam mengelola sumber-sumber pendanaannya, atau disebut sebagai sumber pendapatan daerah. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dimaksud, sumber pendapatan daerah, terdiri dari sebagai berikut. 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), adalah: a. hasil pajak daerah; b. hasil retribusi daerah; c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; d. lain-lain pendapatan yang sah. 2. Dana perimbangan. 3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Berdasarkan hal di atas, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk semampu mungkin memberdayakan semua sumber daya yang dimiliki guna peningkatan pendapatan asli daerah. Salah satu upaya pemberdayaan sumber daya daerah, antara lain mencari sumber-sumber pendapatan baru ataupun upaya
2
optimalisasi terhadap aset-aset daerah yang belum dikelola secara maksimal, seperti seperti aset tanah dan bangunan. Demming (1993 dalam Akbar dan Lukman, 2010) menjelaskan bahwa konsep manajemen/pengelolaan aset, pertama kali dicetuskan oleh industri privat, dan kesuksesan dari sektor privat ini kemudian mulai dilirik oleh para aparatur pemerintah dan perusahaan-perusahaan publik. Bertovic (2009 dalam Akbar dan Lukman, 2010) merincikan 3 (tiga) faktor utama yang mendorong pemerintah perlu untuk melakukan manajemen aset yang dimilikinya, yakni: 1. karena adanya desentralisasi, pemerintah daerah harus menyediakan sejumlah pelayanan yang terus meningkat dengan sumber daya finansial yang terbatas, 2. aset real property pemerintah daerah seringkali memiliki nilai yang jauh lebih signifikan dibandingkan penerimaan tahunan dari aset terkait. Meskipun banyak aset yang memang tidak dimaksudkan untuk menghasilkan penerimaan, tetap saja ada kemungkinan untuk meningkatkan penerimaan tersebut. Selain itu, pengeluaran yang kecil bisa saja mengindikasikan bahwa adanya kebutuhan untuk meningkatkan pengeluaran untuk keperluan pemeliharaan aset, 3. pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih leluasa dalam mengelola asetnya, sehingga dari pada menaikkan pajak dan retribusi yang merupakan proses politik yang sensitif, akan lebih baik jika aset yang dimiliki dikelola dengan baik supaya mampu ikut menaikan pendapatan daerah. Pengelolaan barang daerah menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 49/2001 (dalam Siregar, 2004: 561) dinyatakan sebagai rangkaian kegiatan dan tindakan terhadap barang daerah yang meliputi perencanaan, penentuan kebutuhan,
penganggaran,
standardisasi
barang,
dan
harga,
pengadaan,
3
penyimpanan, penyaluran, inventarisasi, pengendalian, pemeliharaan, pengamanan, pemanfataan, perubahan status hukum serta penatausahaannya. Implikasi poemanfaatan
dari
dan poengelolaan aset yang tiudak optimal adalah tidak
diperolehnya nilai kemanfaatan yang seimbang dengan nilai intrinsik dan potensi yang terkandung dalam aset itu sendiri. Sektor pelayanan publik pengelolaan aset lebih banyak diterapkan dalam pengelolaan infrastruktur jaringan seperti jalan (roads), rel kereta api (railroads), dan saluran air kotor (drainage). Selain itu, pengelolaan aset juga sudah mulai diterapkan pada aset real property seperti tanah (land), bangunan (buildings), bahkan taman (parks) (Akbar dan Lukman, 2010). Kekayaan negara dalam arti luas dan fleksibel dapat mencakup semua barang serta kekayaan alam, baik bergerak/tidak bergerak ataupun berwujud/tidak berwujud yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BUMN/BUMD yang terbatas pada nilai jumlah penyertaan modal negara. Dalam arti sempit, mengacu pada pasal 2 angka (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, barang milik negara/daerah meliputi barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D, atau yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang-barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud di atas, meliputi barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis, barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak, barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang, dan barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya, dalam pasal 3 Permendagri Nomor 17 Tahun 2007, pengelolaan
4
barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, serta keterbukaan, efesiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai, meliputi: 1) perencanaan kebutuhan dan penganggaran; 2) pengadaan; 3) penerimaan, penyimpanan dan penyaluran; 4) penggunaan; 5) penatausahaan; 6) pemanfaatan; 7) pengamanan dan pemeliharaan; 8) penilaian; 9) penghapusan; 10) pemindahtanganan;
11)
pembinaan,
pengawasan
dan
pengendalian;
12)
pembiayaan; dan 13) tuntutan ganti rugi. Penilaian barang milik negara/daerah dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtangananr, yang mana penilaian berpedoman pada Standar Akuntasi Pemerintah (SAP). Dasar penetapan SAP adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 yang merupakan perwujudan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 sebagai upaya menjamin tertibnya administrasi dan tertibnya pengelolaan barang milik negara/daerah. Pemanfaatan tanah pemerintah daerah untuk kepentingan peningkatan pendapatan daerah dapat melalui berbagai alternatif penggunaan. Sebagai contoh Hong Kong menyewakan tanah publik kepada swasta sebagai sumber pemasukan anggaran pemerintah (Hong, 1996 dalam Wijayanti, 2005). Sebelum menjalin kerja sama dengan pihak swasta perlu dilakukan terlebih dulu analisis penggunaan tertinggi dan terbaik terhadap tanah eks mess Pemda. Definisi penggunaan tertinggi dan terbaik berdasarkan konsep ekonomi menurut Derbes (1981: 167), adalah sebagai proses analisis untuk menemukan penggunaan lahan agar menghasilkan keuntungan terbanyak dengan batasan waktu tertentu. Keuntungan yang disyaratkan dari penggunaan tertinggi dan terbaik harus memungkinkan (probable)
5
sehingga langkah yang ditempuh untuk mendatangkan keuntungan ini harus masuk akal dan fisibel. Supardi, dkk. (2010: 19-22) menyatakan, penilaian merupakan suatu kegiatan atau proses untuk menghasilkan opini nilai. Oleh karena itu, setiap penilai wajib terlebih dahulu mengerti dan memahami tujuan penilian. Selanjutnya, Supardi menunjukkan
beberapa
tujuan
penilaian
dan
faktor-faktor
yang
perlu
dipertimbangkan, antara lain: 1) penentuan nilai pasar terbuka; 2) penilaian untuk tujuan penjualan; 3) penilaian untuk tujuan pembelian; 4) penilaian untuk tujuan penyewaan; 5) penilaian untuk tujuan jaminan mendapatkan pinjaman; 6) penilaian untuk tujuan asuransi; 7) penilaian untuk tujuan penggabungan; 8) penilaian untuk tujuan go public; dan 9) penilaian yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan undang-undang. Salah satu aset yang dimiliki/dikuasai Pemerintahan Kota Yogyakarta adalah Terminal Penumpang Yogyakarta (TPY), terletak di Kelurahan Giwangan, Umbulharjo, Yogyakarta, tepatnya di Jalan Imogiri Timur Km 6, dekat perbatasan antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Bantul. Telah diresmikan pada tanggal 10 Oktober 2004, yang pada awalnya, pembangunan dan pengelolaannya dikuasakan kepada PT. Perwita Karya. Namun, terhitung sejak 10 Maret 2009, seluruh fisik bangunan dan sarana penunjangnya serta pengelolaan Terminal Penumpang Yoyakarta sudah beralih kepada Pemerintah Kota Yogyakarta. Pengambilalihan pengelolaan terminal tersebut ditandai dengan penandatanganan Akta Notaris Pembatalan Akta Perjanjian Kerjasama Nomor 02 Tahun 2002 tertanggal 9 September 2002, dan Akta Perubahan Nomor 37 Tahun 2004 tanggal 26 Juni 2009.
6
Terminal Penumpang Yogyakarta dibangun untuk menggantikan Terminal Umbulharjo, yang merupakan salah satu terminal bus terbesar di Indonesia dengan status tipe A dan berfungsi sebagai tempat singgah bus dari seluruh kota besar di Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, dengan rata-rata jumlah penumpang yang dilayani sarana itu berkisar 20.000 per hari, sedangkan jumlah bus yang melaluinya, berdatangan maupun bertujuan ke provinsi lain, mencapai 850 buah. Morlok (1984: 269) menyatakan, terminal adalah titik di mana penumpang dan barang masuk dan keluar dari sistem. Terminal ini bukan saja merupakan komponen fungsional utama dari sistem, tetapi juga merupakan sarana yang memerlukan biaya yang besar dan titik di mana kongesti (kemacetan) mungkin terjadi. Pengambilalihan
hak
pengelolaan
terminal
oleh
Pemerintah
Kota
Yogyakarta, menunjukkan bahwa telah terjadi penyimpangan terhadap sebuah harapan, atau dengan kata lain, tidak tercapainya tujuan usaha. Hal ini diperkuat dengan masih terdapatnya sejumlah unit kios yang hingga saat ini tidak berfungsi sebagaimana tujuannya atau belum tersewakan, terutama kios-kios yang terletak pada bangunan lantai 2 terminal. Oleh karena itu, sudah selayaknya Pemerintah Kota Yogyakarta mulai memikirkan rancangan baru mengenai pengembangan bisnis Terminal Penumpang Yogyakarta (TPY) yang disesuaikan dengan situasi pasar di masa mendatang, sebagai upaya mengoptimalisasikan aset dan sumber pendapatan daerah.
1.2 Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya antara lain, dapat
7
digambarkan dalam Tabel 1.1.
No. 1.
Peneliti Al-Abdallah, et.al. (2012)
2.
Damanik (2011)
3.
Isnuroso (2010) Panangian (2009)
4.
5.
Marina (2009)
6.
Sumiani, et.al. (2007)
7.
Hantziagelis (2004)
8.
Malizia (1992)
Tabel 1.1 Peneliti, Metode, dan Hasil Metoda Hasil Analisis regresi sederhana Ada hubungan yang signifikan secara dan analisis regresi statistik antara lokasi, permintaan, harga bertahap. dan pesaing dan kelayakan pendirian usaha kecil. Estimasi ini dapat dijadikan dasar Pendekatan pendapatan (income approach) dengan negosiasi bagi hasil BOT/BGS atas aset negara/daerah. metode hotel valuation formula – ten years DCF dan pendekatan biaya (cost approach). Depreciated Replacement Memperoleh nilai wajar aset publik Cost (DRC). bendung dan irigasi. Regresi. Rasio tanah terhadap bangunan, luas bangunan dan jarak ke pintu tol secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap tingkat sewa. Regresi. Letak lantai ruang kantor dan lokasi bangunan kantor berpengaruh signifikan terhadap harga sewa ruang kantor, sedangkan luas unit ruang kantor yang disewakan, tidak berpengaruh signifikan terhadap sewa ruang kantor. Life Cycle Assessment Proses dampak yang terkait dengan (LCA). perkebunan adalah penggunaan on-site energi (terutama solar) dan produksi pupuk buatan. Penggunaan pestisida menyumbang dampak. Untuk transportasi satu-satunya dampak adalah dari pembakaran solar dan di pabrik boiler adalah kontributor yang signifikan sole-positif melalui produksi listrik dan negatif oleh emisi dari boiler. Mengungkap tren dan perubahan Data Envelopment Analysis efisiensi yang terjadi di bandara. (DEA). Mengidentifikasi faktor-faktor dan dampak yang dapat digunakan sebagai acuan untuk proyek bandara lain dan perencanaan pembangunan. Perubahan perilaku bandara disebabkan oleh development terminal. Studi Kepustakaan.
Memodifikasi dan memperluas taksonomi dasar Graaskamp tentang Dasar-dasar Pembangunan Real Estate. Mengembangkan kerangka kerja studi kelayakan untuk memahami bagaimana analisis pasar dan penelitian kelayakan dilakukan. Kerangka tersebut berfokus pada konteks kelembagaan dan perilaku yang mengelilingi analisis kelayakan.
8
Mengacu pada beberapa penelitian sebelumnya, penelitian ini merupakan replikasi penelitian terdahulu. Perbedaannya antara lain adalah objek, dan lokasi, dan tujuan penelitian. Hal yang kemungkinan sama dengan beberapa penelitian sebelumnya adalah penggunaan metode pada penilaian dan tujuan penelitian, khususnya untuk pengembangan suatu usaha.
1.3 Rumusan Masalah Pengambilalihan
tanggung
jawab
pengelolaan
Terminal
Penumpang
Yogyakarta dari PT. Perwita Karya oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, diduga keberadaan usaha ini tidak menguntungkan dari aspek bisnis, atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Yogyakarta perlu melakukan evaluasi kembali, yang mengarah kepada pembenahan managemen serta kemungkinan upaya pengembangan usaha.
1.4 Pertanyaan Penelitian Rumusan masalah menunjukkan belum optimalnya pengelolaan aset pada Terminal Penumpang Yogyakarta. Pertanyaan dari penelitian ini adalah: “rencana usaha apa yang dapat dikembangkan pada TPY terkait dengan kondisi pasar/lingkungan bisnis selanjutnya, setelah hak pengelolaannya diambilalih oleh Pemerintah Kota Yogyakarta”.
1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka rencana pengembangan usaha dimaksud harus layak dari sisi bisnis. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis rencana investasi baru pada Terminal Penumpang Yogyakarta
9
pascapengambilalihan hak pengelola oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, sebagai upaya optimalisasi aset dan sumber-sumber pendapatan daerah.
1.6 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat sebagai berikut ini. 1. Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan demi keberlanjutan pengelolaan usaha Terminal Penumpang Yogyakarta. 2. Masyarakat sebagai pemakai jasa publik, agar dapat memperbandingkan antara tingkat pelayanan yang diperoleh dengan nilai sebuah investasi. 3. Bidang ilmu pengetahuan terutama dalam ilmu penilaian properti khususnya menyangkut property public.
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah: Bab I Pendahulan, mencakup penjelasan tentang latar belakang, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II menguraikan Landasan Teori/Kajian Pustaka, mencakup landasan teori, kajian terhadap penelitian terdahulu, dan model penelitian/kerangka penelitian. Bab III Metode Penelitian, yang menjelaskan tentang desain penelitian, metode pengumpulan data, metode penyampelan, defenisi operasional, instrumentasi penelitian, dan metode analisis data. Bab IV berisikan Analisis Data dan Pembahasan, mencakup deskripsi data pembahasan, sedangkan Bab V berisikan Simpulan dan Saran, yang memaparkan tentang simpulan, implikasi, keterbatasan, dan saran.
10