1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sejak diberlakukannya Undang-undang (UU) Nomor 52 Tahun 2009
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga maka urusan kependudukan beralih kepada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Memasuki era desentralisasi yang ditandai adanya penyerahan urusan Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) kepada pemerintah daerah pada Januari 2004 , maka program KB Nasional menghadapi tantangan yang cukup berat, baik yang berkaitan dengan kelembagaan, manajemen dan ketenagaan program. Berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Daerah menerima banyak limpahan urusan yang lebih luas untuk menyelenggarakan pemerintahan dan kebijakan pembangunan secara otonom. Keluarga
Berencana
merupakan
salah
satu
urusan
wajib
yang
harus
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Urusan tersebut mempunyai peranan penting dan strategis guna mendukung keberhasilan pembangunan di bidang perekonomian, sosial, budaya serta keamanan. Program KB sangat penting peranannya dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat terwujud melalui kinerja penyelenggaraan urusan KB yang baik yaitu tercapainya total fertility rate
2
(TFR), laju pertumbuhan penduduk yang stabil serta indeks pembangunan manusia yang tinggi. BKKBN sebagai salah satu organisasi pemerintah yang memiliki tujuan mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera, mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan keluarga berkualitas dengan program Keluarga Berencana (KB). Program yang digencarkan sejak tahun 1970 dinilai sukses dan berhasil menurunkan angka kelahiran total/Total Fertility Rate (TFR). Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka TFR tercatat mengalami penurunan sebesar 2,8 pada tahun 1997 menjadi 2,6 pada tahun 2002/2003 meskipun kemudian mengalami stagnansi pada tahun 2007 hingga tahun 2012 sebesar 2,6 sedangkan laju pertumbuhan penduduk (LPP) pada tahun 2012 sebesar 1,49% (BPS, 2013). Implementasi program KB pada saat ini cenderung berat dan stagnan dengan adanya ketimpangan pencapaian program KB antar provinsi yang memberikan bukti adanya permasalahan dalam pelaksanaan program KB di Indonesia. Kemunduran dari aksi program KB tak lain karena adanya perubahan tata pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik. Kebijakan ini membawa implikasi dimana sebagian kewenangan pengelolaan program KB menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota. Maka dari itulah program KB perlu direposisi yakni penempatan dan penataan kembali program unggulan ke posisi semula agar lebih efisien dan efektif, baik secara kelembagaan maupun program. Salah satu persoalan pokok yang dihadapi oleh BKKBN adalah pertumbuhan penduduk dan kesejahteraan yang tidak merata di luar Pulau Jawa.
3
Kesenjangan angka kelahiran, angka kematian bayi, angka harapan hidup ditiap provinsi di Indonesia. Secara keseluruhan kondisi ini tidak menguntungkan. Pertama, secara nasional dengan jumlah penduduk besar jika disertai dengan kualitas yang rendah, maka hanya akan menjadi beban pembangunan. Kedua, disparitas antar provinsi untuk berbagai indikator memperlihatkan kesenjangan pembangunan antar propinsi. Implikasi atas permasalahan tersebut adalah program KB perlu dimaknai lebih luas dari sekedar usaha pengendalian angka kelahiran. Program KB merupakan investasi jangka panjang yang memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup penduduk di Indonesia. Harus ada pemihakan pada daerah tertinggal untuk mencapai kemajuan dalam rangka pemerataan pembangunan. Melihat hal tersebut maka terdapat dua aspek penting yang menjadi tantangan program KB di Indonesia. Pertama adalah permasalahan yang terkait dengan kondisi kependudukan dan KB di Indonesia serta perubahan lingkungan strategis akibat perubahan sosial, ekonomi dan politik, khususnya sejak era reformasi. Kedua, hal ini tidak bersifat independen, tetapi saling terkait, oleh karena itu penyelesaiannya pun perlu dilakukan secara komprehensif (Sukamdi, 2012;11). Bentuk dukungan keberhasilan program KB sangat dipengaruhi oleh kebijakan advokasi serta Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang intensif. Salah satu tujuan dari advokasi adalah untuk memberdayakan masyarakat terhadap jalannya program tertentu. Didalam sebuah organisasi, advokasi adalah sebuah alat. Ia berguna sebagai alat untuk mengubah kebijakan publik. Bertolak
4
dari pengertian tersebut maka pelaksanaan kebijakan advokasi akan melibatkan banyak strategi yang menjadi dasar bagi keberhasilan advokasi. Merancang kebijakan advokasi perlu mempertimbangkan strategi secara matang. Semakin kompleks permasalahan, maka semakin rumit mencari dan menyusun strategi. Kebijakan advokasi yang dilakukan oleh BKKBN kepada stakeholders, mitra kerja maupun masyarakat diarahkan untuk mendapatkan dukungan demi kelancaran jalannya program KB secara jangka pendek maupun jangka panjang. Kebijakan tersebut dilaksanakan oleh seluruh pengelola program KB hingga ditingkat daerah. Kebijakan Advokasi yang dikembangkan harus tepat sasaran dan mendapat dukungan dari pihak yang berkepentingan terutama para stakeholders. Berikut adalah mitra stakeholders BKKBN hingga tahun 2015; Tabel 1. Daftar Nama Stakeholders BKKBN 2015 1. TNI 2. POLRI 3. KEMENKES 4. KEMENDIKNAS 5. KEMENAG 6. KEMENHAN 7. KEMENAKERTRANS 8. KPDT 9. KEMENEG PP & PA, 10. KEMENTERIAN KELAUTAN & PERIKANAN 11. BNN 12. BPOM 13. BPJS KESEHATAN 14. BP4 15. BPS 16. BAZNAS
Stakeholders 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
LPP RRI ANRI LAN LIPI KPAI KPI OJK KORPS BRIMOB FK-UGM, UNS, USU, IAIN Imam Bonjol Padang, UNIMED, UI, ITS, Univ. Terbuka, UNSRI, UNAIR, KOPERTIS WIL.II SUMSEL 26. PT PELNI 27. PT.INDOFARMA 28. PT. BRI Tbk 29. PERUM PEGADAIAN 30. BTPN, BTPN SYARIAH 31. IPDN Sumber : Materi Rapat Koordinasi Nasional Bidang Adpin Bulan Oktober 2015 disampaikan oleh: dr. Abidinsyah Siregar, DHSM., M.Kes ,Deputi Bidang Advokasi, Penggerakkan dan Informasi BKKBN
Pada tabel 1 terlihat bahwa lebih dari 30 stakeholders yang menjadi mitra BKKBN. Sejauh ini hanya TNI, POLRI dan BRI merupakan mitra yang memiliki jejaring kemitraan hingga ke tingkat kecamatan. Diperlukan kesiapan pengelola
5
dan pelaksana program KB untuk lebih dalam menggalang kerjasama dengan organisasi pemerintah lainnya, unsur tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, pimpinan organisasi profesi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan mitra kerja lain untuk melakukan advokasi kepada para pengambil kebijakan publik ditingkat pusat hingga tingkat daerah. Pada era otonomi daerah dan desentralistik seperti saat ini, kegiatan advokasi mutlak dan wajib diperlukan agar program KB menjadi salah satu agenda prioritas pembangunan didaerah. Hal ini penting mengingat keberhasilan atau kegagalan program KB secara nasional sangat tergantung kepada kelangsungan program KB di daerah. Penerimaan informasi mengenai program KB di masyarakat terkadang terkendala dengan berbagai pandangan, persepsi dan mitos. Ada juga persepsi keliru tentang informasi KB yang menyebabkan masyarakat enggan menerima informasi tersebut, maka dari itu fungsi advokasi dapat digunakan untuk mengubah pandangan, persepsi dan menghilangkan mitos tentang KB di masyarakat. Hal lainnya adalah bahwa kebijakan advokasi dapat digunakan untuk mendukung tujuan jangka panjang BKKBN serta beberapa kebijakan dalam jangka pendek. Program KB di Indonesia merupakan tanggung jawab dua organisasi pemerintah yakni Kementrian Kesehatan dan BKKBN. Kedua organisasi tersebut merencanakan dan sebagai pelaksana dalam program KB. Sinkronisasi peluang yang ada untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kerja bersama untuk mempercepat pencapaian target KB. Diharapkan sinkronisasi
6
program antar organisasi pemerintah tersebut semakin kuat sehingga hal yang memperberat kinerja BKKBN dalam mensukseskan program KB dapat terminimalisir. Kebijakan advokasi program KB memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat, meskipun terdapat kebijakan yang mengganjal tetapi terdapat pula kebijakan dari Kementrian Kesehatan yang mendukung program KB yakni dengan memasukkan program KB pada Jampersal dalam pemanfaatan pelayanan perawatan maternal guna meningkatkan penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) (Sukamdi, 2012).
1.2.
Rumusan Masalah Pengembangan kebijakan advokasi merupakan upaya lanjut dari rancangan
kebijakan advokasi dan KIE yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis BKKBN 2015-2019. Pengembangan rencana advokasi sangat penting sebagai acuan bagi BKKBN dalam mengadvokasi pihak yang berkepentingan terutama pada stakeholders, mitra kerja maupun masyarakat. Berhasil atau tidaknya kegiatan tersebut bergantung pada isi strategi dan proses implementasi kebijakan advokasi, lingkungan implementasi yang dijalankan serta adanya dukungan kapasitas sumber daya yang memadai, komunikasi yang baik, disposisi serta struktur birokrasi yang jelas. Pada era otonomi daerah seperti saat ini penyelenggaraan urusan KB merupakan langkah konkrit untuk mengatasi rentang kendali manajemen pelayanan program KB antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
7
khususnya di Kabupaten/Kota. Hal ini tentunya dapat berjalan dengan baik apabila didukung dengan peningkatan kualitas pelayanan pengendalian penduduk dan KB kepada masyarakat, yang diindikasikan dengan adanya keberpihakan ketersediaan infrastruktur, instrumen regulasi yang mendukung penyelenggaraan program, penempatan tenaga penyuluh dan pelayanan KB, rancang bangun program yang tertuang dalam Arah Kebijakan Umum Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis Daerah (Renstrada) yang tergambar dalam Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah-Keluarga Berencana (RKA SKPD-KB). Jika seluruh regulasi tersebut
dapat
disinkronkan
secara
harmonis,
maka
dapat
dipastikan
penyelenggaraan program semakin baik dan akan tersendat jika tidak adanya sinkronisasi dengan regulasi dari pemerintah pusat. Penguatan advokasi tentang program KB pelaksanaanya masih dihadapkan dengan beberapa permasalahan. Masih lemahnya komitmen dan dukungan stakeholders terhadap program KB, yaitu terkait kelembagaan, kebijakan, perencanaan program dan penganggaran. Masih tingginya jumlah anak yang diinginkan dari setiap keluarga, yaitu sekitar 2,7 sampai dengan 2,8 anak atau diatas angka kelahiran total sebesar 2,6 (SDKI 2012), angka ini tidak mengalami penurunan dari tahun 2002 (TFR 2,6; SDKI 2002-2003). Pelaksanaan advokasi belum efektif ditandai dengan pengetahuan tentang KB dan alat kontrasepsi yang sangat tinggi (98% dari pasangan usia subur) namun tidak diikuti dengan perilaku untuk menjadi peserta KB 57,9% (SDKI 2012). Masih terjadinya kesenjangan dalam memperoleh informasi tentang program KB antar tingkat provinsi,
8
perkotaan maupun perdesaan serta muatan dan pesan dalam advokasi belum dipahami secara optimal. Kebijakan advokasi yang dirancang guna mendapatkan dukungan dari para stakeholders, mitra kerja organisasi pemerintah dan masyarakat dalam memperlancar tercapainya program KB menarik untuk diteliti, terutama pada ranah pembuat kebijakan ditingkat pusat. Menggali informasi mengenai implementasi kebijakan advokasi program KB di BKKBN diharapkan dapat memberi gambaran tentang pelaksanaan kebijakan advokasi program KB. Ada baiknya bahwa kebijakan advokasi yang diterapkan di BKKBN mengadopsi atau mengikuti kebijakan advokasi berdasarkan kaidah normatif yang sudah ada yakni berdasarkan kaidah kebijakan advokasi UNFPA serta kebijakan advokasi pedoman umum Valerie Miller dan Jane Covey (2005). Kedua kaidah tersebut dipilih karena UNFPA merupakan badan yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
khusus
untuk
menangani
masalah
pembangunan
dan
kependudukan sehingga dapat dijadikan rujukan disetiap negara termasuk rujukan yang sering dipakai oleh BKKBN, sedangkan penggunaan kaidah Miller dan Covey (2005) karena kaidah tersebut acapkali digunakan dalam penelitian masalah kesehatan dan sosial di Negara berkembang Asia dan Afrika, salah satunya adalah Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa gambaran mengenai implementasi kebijakan advokasi program KB, dengan demikian penelitian ini sebagai alat untuk meneropong jalannya implementasi kebijakan advokasi program KB. Tidak menutup kemungkinan ditemui kendala dalam
9
penerapan jalannya kebijakan advokasi. Pembuat Kebijakan di BKKBN Pusat dipilih sebagai lokus berdasarkan pertimbangan bahwa program dan kebijakan secara nasional diakomodir dan dirumuskan di kantor pusat. Setelah dirumuskan dan disetujui oleh kantor pusat maka kebijakan tersebut diteruskan ke level yang berada dibawahnya (propinsi) hingga ke lini lapangan.
1.3.
Pertanyaan Penelitian 1. Apakah kebijakan advokasi program KB disusun berdasarkan kaidah advokasi UNFPA dan kaidah advokasi Miller dan Covey (2005). 2. Bagaimanakah pelaksanaan jalannya implementasi kebijakan advokasi program KB di BKKBN.
1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui
kesesuaian/ketidaksesuaian
antara
kebijakan
advokasi
program KB di BKKBN dengan kaidah normatif advokasi yang telah ada. 2. Mengetahui pelaksanaan jalannya implementasi kebijakan advokasi program KB di BKKBN.
1.5.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat secara teoritis Penelitian yang dilakukan adalah memahami kontribusi implementasi kebijakan advokasi terhadap proses pengambilan keputusan. Dengan menggunakan teori implementasi kebijakan George C Edwards III (1980)
10
maupun dari Merilee S Grindle (1980) , penelitian
ini mencoba
memahami bentuk implementasi itu sendiri, peran agen pembawa pesan dan bagaimana proses pembuat keputusan hingga proses monitoring dan evaluasi. Dari penelitian ini diharapkan memperkaya kajian implementasi kebijakan yang terjadi di tingkat pusat, terutama dalam konteks desentralisasi. 2. Manfaat secara praktis Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi perumus dan pembuat kebijakan khususnya organisasi BKKBN untuk menentukan kebijakan advokasi dalam program KB agar lebih efektif serta dilakukannya langkah perbaikan untuk meminimalisir kegagalan dari kebijakan.