BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu dampak adanya otonomi daerah di Indonesia adalah terjadinya reformasi dalam keuangan negara. Sejak disahkannya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 1999 yang menggantikan UU Nomor 32 Tahun 1956 mengenai keuangan negara dan daerah, pemerintah telah berupaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan pemerintah selama ini. Menurut Andie Megantara,dkk dalam Taufeni Taufik (2009) mengatakan bahwa kelemahan yang mulai diatasi pemerintah saat itu adalah kelemahan di bidang perencanaan dan penganggaran, kelemahan di bidang perbendaharaan dan kelemahan di bidang pemeriksaan/audit. Kelemahan-kelemahan tersebut kemudian mulai berkurang dengan adanya pengajuan 3 paket RUU dari tim XIV kepada DPR pada tanggal 29 September 2000. Undang-Undang tersebut antara lain: UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No.15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Tiga paket undang-undang tersebut kemudian menjadi cikal bakal lahirnya pengembangan dan perbaikan atas keberlangsungan pelaporan keuangan pemerintah di Indonesia. Salah satu undang-undang terbaru terkait dengan pengelolaan pemerintah adalah UU No 6 tahun 2014 tentang Desa. Undangundang tersebut bertujuan untuk memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah desa, termasuk di dalamnya pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.
1 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
Dengan demikian desa dapat mewujudkan pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien. Disamping itu diharapkan dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan desa yang baik, yang memiliki tiga pilar utama yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipatif. Pada pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa menyatakan bahwa salah satu sumber pendapatan desa berasal dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Menurut undang-undang tersebut terdapat aturan bahwa setiap desa akan mendapat alokasi dana yang jumlahnya bisa mencapai Rp.1 miliar per desa berdasarkan geografis, jumlah penduduk, dan angka kematian. Dalam dua tahun mendatang, estimasi jatah anggaran tersebut akan meningkat menjadi Rp1,4 miliar per desa. Dana itu nantinya akan langsung disalurkan ke seluruh desa di Indonesia melalui kabupaten. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 247/PMK.07/2015, pengalokasian dana desa dimulai dari APBN yang kemudian ditransfer ke daerah & dana desa. Berikutnya dana desa yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan kepada Bupati/Walikota dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Umum Kas Negara (RKUN) ke Rekening Umum Kas Daerah (RKUD), untuk selanjutnya dipindahbukukan dari RKUD ke Rekening Kas Daerah (RKD) oleh Kabupaten/Kota dan akan dialokasikan ke seluruh Kepala Desa. Pengalokasian dana desa ini selalu mendapat pengawasan oleh Badan Pengawasan Desa (BPD) untuk menghindari kasus-kasus pidana yang dilakukan oleh aparatur desa. Selain menerima alokasi APBN, pemerintah desa juga mendapat alokasi dana yang bersumber dari APBD kabupaten/kota berupa dana bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah. Setidaknya, desa mendapat bagian sebesar 10 persen dari APBD. Selain itu sumber pendapatan pemerintah desa juga berasal dari
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD kabupaten/kota, pendapatan asli desa yang terdiri dari hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain serta hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga dan pendapatan lain yang sah. Sesuai dengan laporan keuangan desa kabupaten tangerang bahwa dana desa yang diterima setiap desa pada tahun 2015 belum mencapai Rp1,4 miliar karena Pemerintah Kabupaten Tangerang masih meragukan untuk mengeluarkan dana desa sebesar Rp1,4 miliar secara langsung melainkan dikeluarkan secara bertahap hingga tiap desa memperoleh Rp1,4 miliar yang didasarkan dengan mempertimbangkan
kemampuan
APBN
dan
fiskal
nasional,
serta
mempertimbangkan kesiapan kabupaten tangerang dalam melakukan pembinaan, pengawasan, serta kesiapan desa dalam melaksanakan pembangunan desa. Menurut Marwan Jafar (2015) dana desa sebesar Rp1,4 miliar masih belum dapat dikeluarkan seluruhnya karena masing-masing desa harus dapat menunjukkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMdes) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPdes) yang terdapat pada Peraturan Menteri Dalam Negri UU No. 66 Tahun 2007. Alokasi APBN yang cukup tinggi tersebut akan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan desa. Dengan semakin meningkatnya penerimaan desa yang berasal dari APBN, maka pemerintah desa akan semakin dituntut untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance), salah satunya dengan cara memenuhi unsur pertanggung jawaban atau akuntabilitas. Akuntabilitas merupakan prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses penganggaran keuangan mulai dari proses perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk mengetahui anggaran tersebut tetapi juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya peningkatan keuangan desa yang bersumber dari APBN, maka perlu dilakukan kajian mengenai akuntabilitas pemerintah desa dalam menyajikan pelaporannya.. Menurut Abdurrokhman (2014), terbitnya undang-undang desa juga merupakan tantangan bagi pemerintahan desa beserta segenap stakeholder untuk bisa mengolah sumber dana dan peluang yang besar itu, karena tidak secara otomatis dengan dana yang besar akan langsung terwujud kesejahteraan apabila tidak mampu mengelola secara baik. Pembangunan desa yang efektif dan efisien membutuhkan perencanaan yang matang dengan memperhitungkan segenap potensi yang dimiliki, tim kerja yang profesional, pola pelaksanaan pembangunan yang tepat, pengawasan yang mampu menghindari kebocoran dan penyimpangan, serta adanya sistem pelaporan dan evaluasi yang transparan dan akuntabel. Apabila lima hal tersebut tidak bisa diwujudkan maka potensi sumber dana dan kewenangan yang besar tersebut akan menjadi sia-sia bahkan bisa menjadi bencana. Untuk mewujudkan semua ini dibutuhkan sumber daya manusia terutama perangkat desa yang professional dari segi pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan sesuai tugas yang didapatkannya. Herry (2014) menambahkan dalam penelitiannya bahwa secara politis undang-undang ini memberikan pelimpahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah desa. Selanjutnya pemerintah desa mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan administrasi dan operasional
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
pemerintahan desa, dalam rangka peningkatan efektivitas pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan secara ekonomi, undang-undang ini memberikan kewenangan bagi pemerintah desa untuk mengelola keuangan daerah dan mencari sumber-sumber pendapatan desa yang sah. Hal ini memberikan dua dampak sekaligus, yaitu pemerintah desa harus melakukan efisiensi anggaran dan harus aktif mencari sumber-sumber pendapatan alternatif. Sebagai daerah administratif, desa memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan pengelolaan keuangan desa. Hal ini tentu saja berimplikasi pada kemampuan pemerintah desa sebagai pelaksana kewenangan otonom dan sumber keuangan potensial yang harus ditemukan. Penyelenggaraan pemerintahan memerlukan sumber daya manusia yang cukup antisipatif dan inisiatif. Pemerintah desa harus antisipatif terhadap segala masalah, baik yang sudah eksis maupun secara potensial akan membebani desa. Masalah-masalah ini muncul sebagai akibat dari kekurangmampuan perangkat desa untuk melakukan identifikasi masalah-masalah yang dihadapi. Hal ini berhubungan dengan pemerintahan yang inisiatif. Masalah-masalah yang dimaksudkan Herry (2014) tersebut tidak lepas dari potensi kecurangan yang dilakukan oleh aparatur desa. Dengan semakin bertambahnya pendapatan desa yang berasal dari APBN, maka kemungkinan terjadinya fraud akan lebih besar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Donald Cressey, 2010 menemukan bahwa penyebab terjadinya Fraud dipengaruhi oleh tiga faktor pemicu, yaitu: Pressure (Tekanan), Rationalization (Rasionalisasi) dan Opportunity (Kesempatan). Kompetensi sumber daya manusia yang tidak memadai dan lemahnya sistem pengawasan dan pengendalian intern pemerintah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
desa, akan memberikan Opportunity (Kesempatan) bagi aparatur desa untuk melakukan kecurangan dalam pengelolaan keuangan desa. Salah satu fraud oleh aparatur desa menurut Iko (2016) yaitu kasus korupsi Alokasi Dana Desa (ADD) dan tanah bengkok yang dilakukan Kepala Desa Sukorejo di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Sejak awal hingga akhir tahun 2011 berjumlah sekitar Rp. 2 juta. Dan Kades Sukorejo ini juga menawarkan tanah bendo milik desa kepada orang lain tanpa persetujuan BPD yang seharusnya dilakukan melalui mekanisme lelang. Hasil dari penyewaan tanah ini dipergunakan untuk kepentingan pribadi, dimana tanah tersebut menghasilkan Rp. 62 juta yang tidak jelas pertanggungjawaban. Iko (2016) juga menjelaskan kasus lain adalah kasus PT. BPN (Badan Pertanahan Nasional) oleh Kepala Desa Jambe, Kabupaten Tangerang melakukan fraud dimana Kades Jambe memiliki tanggung jawab dalam mengelola keuangan desa. Bahwa pada tahun 2008, dalam salah satu program dari BPN untuk memberikan sertifikasi tanah gratis bagi masyarakat yang disebut dengan PRONA, dana desa tersebut berasal dari APBN. Kades Jambe ini secara sepihak menarik dana dari masyarakat untuk pelayanan tersebut hingga terkumpul dana sebesar Rp 288.500.000,-. Dan dari uang administrasi tersebut kades ini juga tidak menyetorkan ke kas desa yang menyebabkan kerugian sebesar Rp. 37 juta. Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin melakukan kajian lebih lanjut dengan mengambil judul “Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia dan Penerapan Sistem Pengendalian Intern Terhadap Akuntabilitas Keuangan Pemerintah Desa untuk Mendukung UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah kompetensi sumber daya manusia berpengaruh signifikan terhadap akuntabilitas keuangan pemerintah desa? 2. Apakah penerapan sistem pengendalian intern berpengaruh signifikan terhadap akuntabilitas keuangan pemerintah desa? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini memiliki tujuan utama yaitu: 1. Untuk menguji secara empiris pengaruh kompetensi sumber daya manusia terhadap akuntabilitas keuangan pemerintah desa 2. Untuk menguji secara empiris pengaruh penerapan
sistem
pengendalian intern terhadap akuntabilitas keuangan pemerintah desa. D. Kontribusi Penelitian Kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Bagi Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pengelolaan keuangan desa sejak berlakunya UU nomor 6 tahun 2014 serta
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
kendala-kendala yang dihadapi pihak-pihak yang berkepentingan terkait dengan pelaporan keuangan desa. 2. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai pelaksanaan pengelolaan keuangan desa untuk mewujudkan kelola pemerintahan desa yang transparatif, akuntabel serta partisipatif. 3. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman serta pengayaan ilmu akuntansi terutama dalam akuntansi sektor pedesaan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/