BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah. Mereka termasuk ras atau rumpun bangsa kaukasoid, sebagaimana ras-ras yang mendiami daerah Mediterania, Nordic, Alpine dan Indic (Mufrrodi, 1997:5).
Berdasarkan garis keturunan Ibrahim, bangsa Arab dihubungkan dengan Isma'il; sedangkan beberapa penulis sejarah dan nasab beranggapan bahwa bangsa Arab berasal dari Ya'rab, yang mana keduanya tidak dapat dipastikan dari perspektif sejarah. Dalam sejarah, penyebutan paling awal istilah Arab ditemukan pada manuskrip Assyria dari abad ke-9 SM; yang menurut pendapat kebanyakan peneliti, dalam bahasa Assyria dan beberapa bahasa Semit lainnya artinya adalah "orang-orang gurun (badui)".
Sebagian besar daerah Arab merupakan daerah gersang dan tandus. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara, selalu berpindahpindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti
1
2
yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kelompok (Faruqi, 2003: 48-49).
Masa
sebelum
Islam,
khususnya
kawasan Jazirah Arab,
disebut
masa Jahiliyyah (Qutb, 1981: 11). Julukan semacam ini disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman (badui) yang hidup di daerah padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka berada dalam lingkungan miskin pengetahuan. Situasi yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan, sehingga mengakibatkan mereka sesat, tidak mempunyai nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak-anak, suka berjudi, perkelahian dan peperangan dimana-mana. Suasana semacam ini terus berlangsung hingga Islam datang di tengah-tengah kehidupan mereka.
Islam hadir di tengah masyarakat Arab pada saat usia Muhammad 40 tahun, ketika beliau menerima wahyu Allah Swt untuk pertama kalinya melalui perantara malaikat Jibril sebagai tanda kerasulannya yang disusul kemudian oleh wahyu kedua yang menjadi awal aktivitas dakwah beliau sebagai nabi dan rasul (Hasan, TT: 149). Pada saat itulah, secara tidak langsung keadaan sosial dan politik masyarakat Arab mulai berubah. Islam bukanlah agama iklim, agama ibadah yang konservatif, tetapi merupakan agama kehidupan dengan segala dimensinya. Umat Islam adalah umat yang Allah kehendaki untuk menjadi pengemban risalah agama dan peradaban di dunia (Zaqzuq, 2003: 93). Nabi Muhammad SAW datang dan membawa keyakinan baru yaitu ketauhidan. Tentunya hal tersebut tidak serta-merta dapat dengan mudah diterima
3
bahkan ditolak habis-habisan oleh kaum kafir Quraisy. Setelah Nabi Muhammad wafat perjuangan beliau di lanjutkan oleh sahabat nabi yang dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, sejak saat itulah Islam mulai menunjukkan taringnya, Islam mulai berjaya. Jika masa Rasulullah SAW dianggap sebagai masa penyemaian nilai kebudayaan Islam ke dalam sistem budaya bangsa Arab pada masa itu, dengan meluasnya ajaran Islam yang mempunyai sistem budaya yang berbeda-beda, maka pendidikan Islam masa Khulafaur-Rasyidin ini lebih berkembang lagi dengan pesatnya. Pada masa Khulafaur-Rasyidin Islam berkembang dengan pesat, hampir 2/3 bumi yang kita huni ini dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Hal itu tentunya
tidak
terlepas
dari
para
pejuang
yang sangat
gigih
dalam
mempertahankan dan juga dalam menyebarkan Islam sebagai agama Tauhid yang diridhoi. Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban kearah yang lebih maju. Maka tidak heran para sejarawan mencatat bahwa Islam pada zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin merupakan Islam yang luar biasa pengaruhnya (Zaqzuq, 2003: 94). Adanya berbagai perubahan dan perkembangan tersebut, maka secara tidak langsung berdampak pula pada
kebudayaan dan cara pandang
masyarakatnya, salah satunya ditunjukkan ketika mereka berbahasa. Bangsa Arab memiliki banyak suku bangsa yang berbeda-beda, setiap suku mempunyai style dan karakteristik masing-masing dalam berbahasa. Bahasa dapat menerobos batas jarak dan masa untuk mewujudkan kesatuan budaya dan pikir bangsa Arab, sehingga bahasa dianggap sebagai medium yang cukup penting dalam suatu
4
komunitas karena pada hakikatnya bahasa adalah instrumen sosial, yaitu sebagai bentuk perilaku sosial yang merupakan hasil dari interaksi sosial yang penggunaannya bervariasi menurut konteks sosialnya (Kaplan dan Manners, 1999:200-201). Sebagai instrumen sosial, fungsi bahasa pada suatu komunitas menjadi sangat penting. Hal ini dikarenakan bahasa sangat terkait dengan cara pandang dunia penuturnya, bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk budaya, bahasa merupakan wadah interaksi sosial yang bertujuan untuk mengungkapkan ide, gagasan, maksud, dan tujuan tertentu. Pemilihan katakata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantung pada budaya tempat bahasa itu digunakan, sehingga bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai dua anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sistem merupakan bahasa dan pada sistem yang lain merupakan budaya, maka segala hal yang ada dalam budaya akan tercermin melalui bahasa, begitu juga sebaliknya. Bahasa tidak hanya menggambarkan cara pandang manusia tentang dunia dan konsepnya, tetapi juga membentuk visi tentang realitas.
Sapir (dalam Chaer, 2003:7) mengatakan bahwa bahasa merupakan petunjuk yang bersifat simbolis terhadap budaya yang berlaku. Dengan kata lain, apabila kita ingin mengetahui kebudayaan dari suatu bangsa/masyarakat dapat dilihat pada penggunaan bahasanya, begitu juga sebaliknya.
Dengan begitu
pentingnya peran bahasa sehingga bahasa menjadi tolak ukur seseorang ketika
5
berbicara, baik secara pribadi maupun di depan khalayak umum. Seperti ketika menyampaikan pidato/khitobah.
Bahasa yang digunakan dalam pidato biasanya bersifat formal dan jelas. Pilihan untuk menggunakan bahasa lugas dengan konsep konkrit merupakan salah satu upaya penyampai pesan dalam menghindari penafsiran-penafsiran ganda. Namun, ketika konsep-konsep konkrit tersebut tidak dapat membangkitkan gambaran yang lebih menarik, variatif, dan mudah diingat dalam pikiran penerima pesan, tantangan yang harus dihadapi adalah mengubahnya menjadi suatu gambaran sederhana yang mudah dipahami dengan melibatkan konsep-konsep abstrak dan pengalaman hidup atau cara pandang di dalamnya.
Seperti bahasa dalam pidato yang disampaikan Khulafaur Rasyidin ketika di angkat menjadi Khalifah. Penggunaan bahasa dalam pidato tersebut sangat beragam, variatif, dan banyak menggunakan bahasa kiasan/figurative. Sehingga sangat menarik sekali untuk di telititi. Pradopo (2005:38) menjelaskan bahwa bahasa figuratif sebenarnya adalah gaya bahasa kiasan, hal lain yang menyatakan suatu hal secara tidak langsung dengan menyamakan suatu hal lain yang sesungguhnya tidak sama atau menyatakan suatu hal dengan hal lain untuk mendapatkan gambaran angan (imaji) yang jelas. Keraf (2009:136) menggunakan istilah membandingkan dan analogi untuk menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain yaitu dengan menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan di antara keduanya.
6
Berdasarkan jenis, bahasa figuratif atau gaya
bahasa
kiasan terbagi
menjadi 8 jenis terdiri dari perbandingan atau perumpamaan (simile), perbandingan epos (epic simile), metafora, metafora yang diperjelas (extended metaphor), alegori, personifikasi, metonimi, dan sinekdoke (Pradopo, 2005: 3841). Sementara Keraf (2009: 136-145) mengembangkannya menjadi 16 jenis terdiri dari persamaan (simile), metafora, metafora yang diperluas (alegori, parabel, dan fabel), personifikasi sinekdoke,
metonimia,
(prosopopoeia),
antonomasia,
hipalase,
alusi, eponim, epitet,
sindiran
(ironi,
sinisme,
dansarkasme), satire, inuendo, antifrasis, dan pun (paronomasia).
Pada penelitian ini mengambil sampel pemakaian varian bahasa kiasan/figuratif yang terdapat dalam naskah pidato Khulafaur-Rasyidin ketika diangkat menjadi Khalifah. Bahasa dalam pidato Khulafaur-Rasyidin dipilih sebagai bahan kajian karena dalam pidato mereka banyak sekali mengandung bahasa kiasan/figurative. Dari keempat khalifah tersebut memiliki ciri khas tersendiri dalam menyampaikan pidatonya, setiap generasi memiliki ciri dan identitas masing-masing. Perbedaan-perbedaan itu bisa dipengaruhi oleh budaya, watak dan lingkungan mereka yang berbeda-beda, bahkan karena perbedaan rezim, kekuasaan, politik, dan pengaruh budaya dapat mengakibatkan setiap generasi memiliki ciri yang membedakan dengan tokoh generasi sebelumnya ataupun sesudahnya.
Fokus penelitian ini yaitu pada analisis metafora dalam pidato Khulafaur Rasyidin. Metafora mendapat perhatian khusus karena dinilai telah menjadi satu
7
keluaran atau sumber untuk melayani pikiran dan perasaan pemakai bahasa berupa motivasi yang kuat dalam menyatakan perasaan, emosi yang mendalam, dan sarana kebahasaan yang bersifat ekspresif. Berikut ini beberapa contoh jenis bahasa kiasan dalam pidato pengangkatan Khulafaur Rasyidin “Sesungguhnya kapal pertama adalah kesulitan”, “Ingatlah bahwa dunia akan dilipat dalam tipu daya”, dll.
Kajian tentang metafora semakin menempati posisi penting dalam pengalaman berbahasa, tidak hanya sekedar sebagai cerminan realitas melainkan juga pembentuk realitas. Kemampuan dan kreatifitas dalam menciptakan sesuatu untuk menandai realitas baik itu bersifat abstrak maupun konkrit merupakan hasil dari pemikiran dan tindakan manusia ketika berinteraksi dan berkomunikasi. Penulis ingin menunjukkan bahwa metafora tidak hanya menggambarkan ungkapan-ungkapan kiasan yang digunakan sebagai bumbu penyedap bagi sebuah rangkaian pidato agar terkesan lebih menarik dan elegan, melainkan dapat menyajikan suatu cara alternatif bagi para penyampai pesan untuk membantu meningkatkan kualitas pidatonya. Apapun yang akan dikemukakan terutama konseptualisasi maksud dapat tersampaikan secara singkat dan lebih terarah, unik dengan penekanan yang terlihat, tidak hanya sekedar membuat pidato dengan ala kadarnya, panjang lebar tanpa makna yang jelas, dan tanpa penguatan pesan di dalamnya.
8
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah ranah sumber metafora yang terdapat dalam naskah pidato
Khulafaur Rasyidin? 2. Ranah target apa sajakah yang terdapat pada metafora naskah pidato
Khulafaur Rasyidin?
3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain: 1. Mendeskripsikan macam-macam ranah sumber metafora yang terdapat dalam naskah pidato Khulafaur Rasyidin. 2. Menjelaskan ranah target metafora dalam naskah pidato Khulafaur Rasyidin.
4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tidak hanya secara teoritis namun juga secara praktis yaitu: a. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi dunia penelitian khususnya pada Kajian Timur Tengah, konsentrasi Linguistik, untuk menambah pengetahuan, informasi, pemahaman, ide, atau teori-teori sebelumnya dalam
9
mengkaji metafora di bidang semantik dengan menggunakan pidato sebagai sumber data, dan dapat melengkapi referensi tentang kemetaforisan. b. Manfaat praktis Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi penunjang untuk kepentingan kebahasaan terutama bagi siapapun yang ingin belajar dan lebih memahami metafora. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi pedoman atau acuan
bagi
kajian-kajian
berikutnya
demi
berkembangnya khasanah
kebahasaan yang ada, sebagai bahan perbandingan peneliti lain, serta dapat memberikan
gambaran
atau
cara
alternatif
kepada
para
pemakai
bahasa/penyampai pesan yang akan menuangkan pikiran, dan gagasannya ke dalam bentuk lisan atau tulisan sehingga lebih efektif dan menarik melalui ungkapan-ungkapan metaforis. 5. Objek Penelitian Yang dimaksud objek penelitian, adalah hal yang menjadi sasaran penelitian (Kamus Bahasa Indonesia; 1989: 622). Menurut (Supranto 2000:21) objek penelitian adalah himpunan elemen yang dapat berupa orang, organisasi, atau barang yang akan diteliti. Sehingga objek dalam penelitian ini yaitu berupa : 5.1 Objek Formal Merujuk pada permasalahan penelitian di atas, maka objek formal dalam penelitian ini adalah Penggunaan Kalimat Metafora dalam Pidato KhulafaurRasyidin.
10
5.2 Objek Material Objek material yang merupakan sumber data dalam penelitian ini terdiri dari populasi dan sampel. Populasi objek material penelitian ini terdiri dari empat pidato yang di sampaikan Khulafaur-Rasyidin ketika dingkat menjadi Khalifah. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah ungkapanungkapan metaforis linguistik yang berupa kata-kata atau kalimat dengan menentukan kata kunci sebagai penanda metafora. Penulis menggunakan beberapa pemakai bahasa yang dianggap memiliki metaphorical competence dalam membantu pengidentifikasian data. Kemudian, data dikelompokkan atau diklasifikasikan ke dalam tabel berdasarkan urutan ranah metafora menurut Kövecses (2002). 6. Tinjauan Pustaka Kajian tentang metafora telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dengan objek, fokus, dan konteks yang beragam. Tentunya akan tetap menunjukkan suatu keunikan tersendiri ketika bahasan yang dikaji berhubungan dengan analisis metafora dalam aspek kebahasaan. Para peneliti tersebut antara lain: Wulandari (2014) dalam tesisnya yang berjudul “Pemetaan Metafora dalam Naskah Pidato Nelson Mandela” yang menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat 13 ranah sumber dan 12 ranah sasaran dalam pidato Nelson Mandela. Selain itu terdapat 64 ranah sumber yang paling dominan dalam pidato tersebut adalah ranah sumber bangunan dan kontruksi, sedangkan ranah sasaran terdiri dari
11
58 metafora dengan ranah yang paling dominan adalah ranah sasaran peristiwa dan aksi. Selain itu konsep metafora yang mendominasi dalam pidato tersebut adalah konsep life is a worthy object dan progress is motion forward. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Arianto (2013). Penelitian Arianto berfokus pada metafora yang ada dalam puisi Imam Syafi’i dalam bahasa Arab. Arianto berfokus pada jenis metafora, bentuk kebahasaan, serta hubungan metafora dalam Diwan Imam Syafi’i dengan budaya Arab. Penelitian Arianto menunjukkan terdapat 7 jenis metafora yang ditemukan dalam puisi yang ditelitinya. Selain itu, ditemukan pula beberapa bentuk kebahsaan berupa kata, frasa, dan klausa. Perbedaan objek antara kedua penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan budaya yang tercermin dari masing-masing puisi. Penelitian terkait metafora di dalam karya sastra juga pernah dilakukan oleh Wulandari (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Kajian Metafora dalam Novel Para Priyayi”. Dalam penelitiannya, Wulandari berfokus mendeskripsikan bentuk dan jenis-jenis metafora dalam novel Priyayi, mendeskripsikan ranah kehidupan masyarakat Jawa yang diungkapkan melalui metafora, serta mendeskripsikan nilai-nilai budaya apa saja yang termuat dari penggunaan metafora dalam novel tersebut. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat 9 bentuk metafora yang terdiri atas satu kalimat yang memiliki kekhasan dalam Novel Priyayi. Jenis metafora yang ditemukan terdapat 4 macam. Ranah kehidupan masyarakat Jawa yang tercermin dalam novel tersebut ditemukan sebanyak 5 macam yakni ranah ekonomi, keluarga, masyarakat, lingkungan alam, dan agama/kepercayaan.
12
Deli Nirmala (2012) dengan disertasinya yang berjudul “Metafora dalam Wacana Surat Pembaca di Surat Kabar Harian Berbahasa Indonesia”: Suatu Tinjauan Linguistik Kognitif”. Penelitian juga dilakukan oleh Yulia Indarti (2008) dalam tesisnya yang berjudul “Metafora Kidung Ludruk” mengulas kiasan metafora dalam ranah semantik kognitif. Kidung yang terdiri dari kidung bedhayan dan kidung lawak dianalisis menggunakan pendekatan semantik kognitif dengan data yang berasal dari satuan lingual yang terdapat di dalamnya. Selanjutnya, M. Imelda Kusumastuty (2011) dengan judul tesisnya “Medan Semantik Metafora Nominatif dalam Lirik Lagu Kla Project dan Bon Jovi serta Kaitannya dengan Sistem Ekologi” mengkaji metafora dengan cara mengidentifikasi
dan
mendeskripsikan
medan
semantik
dari
metafora
nominatif secara komparatif dan kontrastif untuk melihat kaitannya dengan sistem ekologi dan budaya. Penelitian terakhir yakni yang dilakukan oleh Sari (2011) yang meneliti metafora dalam lagu-lagu spiritual negro (The Negro Spirituals). Sari menelaah hubungan antara pebanding dan pembanding yang terdapat pada metafora lagulagu spiritual negro, jenis-jenis metafora berdasarkan klasifikasi medan semantik, dan hubungan metafora pada lagu-lagu spiritual negro dengan budaya (dalam hal ini pengalaman hidup) kaum Black American (BA), serta fungsi metafora. Data yang diambil adalah lagu-lagu spiritual negro yang diciptakan oleh kaum BA pada saat mereka menjadi budak kaum kulit putih Amerika.
13
Adapun penelitian yang khusus membahas metafora dalam naskah pidato Khulafaur Rosyidin baik itu berupa artikel, tesis maupun disertasi belum penulis temukan. Selain dikarenakan oleh kemasyhuran Khulafaur-Rosyidin sebagai pejuang dan penerus syiar Islam setelah nabi Muhammad wafat, penulis juga melihat pidato yang disampaikan lebih bervariasi jangkauan ranah yang dikonseptualisasikan, serta banyak menyiratkan pesan-pesan moral yang dapat menjadi pegangan hidup atau acuan di semua aspek kehidupan dan juga contoh bagi semua kalangan terutama di dunia modern seperti sekarang ini. 7. Landasan Teori 1. Semantik Semantik berasal dari bahasa Yunani semainein yang berarti to signify “memaknai” (Aminuddin, 2011:15). Sebagai cabang ilmu bahasa, semantik mempelajari bagaimana makna disusun dan diungkapkan di dalam bahasa (Wijana, 2010:4). Munculnya unsur makna yang dihubungkan dengan istilah semantik dapat mengarah kepada sebuah teori umum yang menyatakan bahwa semantik adalah ilmu makna atau studi tentang makna. Teori ini dikemukakan oleh beberapa ahli bahasa diantaranya Verhaar (2010:285); Lyons (1995:3); Parera (2004:42); dan Ullman via Sumarsono (2012:1). Ruang lingkup semantik pada
awalnya hanya meliputi makna
kata,
perkembangan, dan perubahannya (Suwandi, 2008:9) atau makna/arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal (Chaer, 2009:3) atau terletak pada pencirian hakikat makna dan hubungannya (Parera, 2004:51). Kajian
14
semantik kemudian berkembang dengan pengalaman
manusia. Pateda
(2010:15)
melibatkan
unsur
menjelaskan
makna dan
bahwa semantik
merupakan ilmu yang mempelajari kemaknaan di dalam bahasa sebagaimana apa adanya (das sein) dan terbatas pada pengalaman manusia, sehingga secara ontologis masalah yang dikaji semantik dibatasi hanya pada persoalan yang terdapat di dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia. Sementara Leech menguraikan batas lingkup pengalaman manusia dengan lebih rinci yaitu dimulai dari pikiran, kognisi, konsep, hingga pengalaman. Leech (1974: ix) memandang semantik sebagai “the centre of the study of the human mind-thought processes, cognition, conceptualization – all these are intricately bound up with the way in which we classify and convey our experience of the world through language”. Sesuatu yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami tersebut dapat dimasukkan ke dalam entitas dunia nyata seperti yang dilakukan oleh Morris yaitu dengan menekankan kajian semantik pada hubungan yang terjalin antara tanda-tanda dengan entitas di dunia nyata yang ditunjuk (melalui Rahyono,2012:19). Hubungan antara makna dan sistem kognisi manusia berupa pikiran dapat menjadi penguat bagi pemakai bahasa dalam membentuk sebuah konsep baru seperti yang diilustrasikan oleh Ogden & Richards (1923:10-11). Kridalaksana (2011:216) mengungkapkan definisi semantik sedikit agak berbeda dan lebih khusus yaitu semantik adalah bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan struktur makna suatu wicara, seperti pendapat Parker (1986:29): “Semantics is part of grammar proper,
15
the study ofthe internal structure of language”. Tidak hanya makna yang harus diperhatikan namun juga strukturnya. Menelaah lambang-lambang atau tandatanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, serta pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat juga merupakan bagian dari kajian semantik (Suwandi, 2008:9). Pemaknaan memegang peranan penting bagi kajian semantik karena pemaknaan merupakan proses akhir suatu komunikasi (aktivitas berbahasa) untuk mendapatkan kejelasan dan kebenaran dalam menangkap informasi makna akan sesuatu hal agar kelangsungan komunikasi tetap terjaga tanpa menimbulkan kesalahpahaman. Salah satu cara untuk meminimalisir kesalahan yang terjadi adalah dengan menggunakan gaya bahasa kiasan metafora yaitu dengan menambahkan makna dengan nilai rasa lain pada makna dasarnya sehingga terkesan lebih kreatif, efektif, dan menarik. Semantik menjadi payung analisis metafora karena semantik tidak hanya dapat dihubungkan dengan psikologi, logika, dan filsafat, tetapi juga dengan ilmu politik (Pateda, 2010: 14) seperti sumber data penelitian ini. 2. Metafora Metafora telah menjadi bahan kajian yang penting sejak zaman kuno seperti yang dilakukan oleh Aristoteles dan Quintilian, dan telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan hingga sekarang. Sebagai bentuk bahasa yang khas dan bisa juga dianggap aneh karena relasi katanya melampaui batas relasi bahasa secara literal yang telah disepakati bersama dalam
16
komunikasi sehari-hari, metafora menimbulkan perbedaan pendapat beberapa ahli
linguistik antara
lain
mengenai
definisi
metafora
dan
penerapan
maknanya. Pertama, metafora dapat berarti membawa perubahan makna, sesuai dengan asal katanya yaitu dari bahasa Yunani: meta dan pherein. Meta “atas” adalah prefiks yang biasa dipakai untuk menggambarkan perubahan (di atas atau sesuatu yang melebihi dari standarnya) dan pherein “diangkat” adalah memindahkan. Sementara, Searle memiliki definisi yang berbeda dengan menegaskan bahwa pada dasarnya metafora itu adalah makna maksud bukan semata-mata hanya perubahan makna. Makna maksud dipahami sebagai makna yang tersirat dari pembicara/penyampai pesan
yang
memiliki maksud
lain
ketika
mengujarkan satu kata atau kalimat (melalui Parera, 2004:132). Kedua, tidak jauh berbeda dengan permasalahan diatas, silang pendapat terjadi ketika Cruse (1986:42) dan Taylor (2003:132) mengindikasikan bahwa metafora mengalami penyimpangan penerapan makna kepada suatu referen yang lain, sedangkan sebagian ahli bahasa menolak. Penjelasan teoritis dikemukakan Keraf (2010:139) dan Verhaar (dalam Wijana, 2008:48-49) sebagai bahan kajian. Menurut Keraf, penyimpangan
makna
hanya dapat
terjadi dalam
ungkapan dengan metafora yang masih hidup, sedangkan untuk metafora yang mati tidak lagi dirasa adanya perubahan makna. Menyimpang menurut Verhaar berarti bahwa makna tidak bersifat semena atau arbitrer, tetapi berdasarkan atas kesamaan tertentu seperti kesamaan sifat, bentuk,fungsi, tempat,
17
atau kombinasi di antaranya. Misal: pemakaian kata lintah – lintahdarat, kata daun – daun pintu, kata punggung - punggung bukit, dan kata kaki –kaki meja. Struktur dasar metafora sangat sederhana terdiri dari dua hal yaitu sesuatu yang sedang dibicarakan (yang dibandingkan) dan sesuatu yang dipakai sebagai bandingan. Jika dua hal tersebut saling berdekatan, metafora akan muncul namun mutu ekspresifnya tidak ada sama sekali. Sebaliknya, jika jarak antara dua hal tersebut cukup jauh, metafora akan makin efektif (Sumarsono, 2012:265266). Metafora tidak selalu harus menduduki fungsi predikat, namun juga dapat menduduki fungsi lain seperti subyek atau obyek sehingga dapat berdiri
sendiri
sebagai
kata (Keraf, 2010:139).
Kövecses
(2002:vii)
mendefinisikan metafora sebagai gaya bahasa kiasan yang membandingkan satu hal dengan hal lain, misal: He is a lion (manusia dibandingkan dengan seekor singa). Keraf (2010:139) menggunakan semacam analogi yang membandingkan dua hal tersebut secara langsung, tetapi dalam bentuk singkat seperti buaya darat, buah hati, atau cindera mata. Keraf juga sependapat dengan Pradopo (2005:40) yang menyatakan bahwa metafora itu mempersamakan dua hal yang sesungguhnya tidak sama tanpa mempergunakan kata pembanding yaitu seperti, bak, bagai, bagaikan dan sebagainya. Contoh: darikarya Subagio Sastrowardojo yang berbunyi: “Bumi ini perempuan jalang” (Bumi dibandingkan dengan sosok seorang perempuan yang memiliki sikap kurang baik).
18
Secara umum, metafora adalah kesamaan antar makna dan merupakan penggunaan
bahasa secara non-literal yang di dalamnya mengandung
perbandingan. Tergolong ke dalam bahasa kiasan (majas) seperti perbandingan, metafora lebih dikenal dengan pengkajian bahasa puisi dan bahasa sastra. Namun seiring perkembangannya, penggunaan metafora juga terdapat dalam bahasa keseharian. Lakoff dan Johnson (1980:3) mengambil contoh dari bahasa retorika yang memuat aturan-aturan dalam bahasa politik yang baik dan benar. Walaupun termasuk seni kuno yang mengajarkan tentang bagaimana berbicara secara elegandan persuasif, namun Thomas dan Wareing (2007:68) menegaskan bahwa bahasa retorika masih tetap dijadikan acuan oleh para politisi hingga sekarang
dengan mempelajari
kebiasaan-kebiasaan
tertentu
yang
bisa
memperkuat dampak yang ditimbulkan oleh ucapan atau tulisan mereka. Perbedaan mendasar yang terlihat antara metafora dalam karya sastra dengan metafora dalam bahasa keseharian adalah jika yang pertama umumnya bersifat perseorangan, yang kedua berhubungan dengan motivasi sosial. Metafora tidak hanya sekedar persoalan bahasa, namun juga sejauh mana peran dan pengaruh metafora terhadap pemakai bahasa dalam berbicara, memahami, berpikir, dan
bertindak. Dengan
kata
lain, metafora
adalah
pemahaman dan pengalaman akan sejenis hal yang dimaksudkan untuk perihal yang lain (Wijana, 2008:50). Fromkin (1993:151) mengartikan metafora dengan definisi yang lebih sederhana yaitu: “Interpretations of sentences are calledmetaphor”. Namun menginterpretasi dan memahami metafora melalui
19
ungkapan-ungkapan metaforis linguistik yaitu ungkapan yang mengandung makna kiasan bukan merupakan hal yang mudah karena pemakai bahasa harus memahami kedua makna sekaligus yaitu makna literal dan makna yang menggambarkan realitas dunia, kemudian pemakai bahasa juga dituntut untuk mencari relevansinya. Seorang pemakai bahasa/penyampai pesan harus memiliki methaporical competence (kemampuan metaforis) dalam mencari persamaan makna antar katasecara kontekstual. Menurut Keraf (2010:139), konteks diperlukan dalam kajian metafora karena konteks berperan sebagai pembatas makna. Konteks berhubungan dengan kata. Semakin tinggi frekuensi pemakaian sebuah kata, semakin banyak juga konteks yang cenderung dijalinnya atau semakin banyak kecenderungan bagi kata (Poedjosoedarmo,
itu
untuk
2001:111).
memiliki
arti/makna
Ungkapan-ungkapan
yang berbeda
metaforis
merupakan ungkapan yang berada dalam konteks karena
linguistik
konteks
dapat
memperkuat alasan atau menjadi penentu keberadaan sebuah kata bermakna metaforis atau tidak. Lakoff
dan
metafora,manusia kehidupannya dari
Johnson dapat
(1980:193)
memahami
yang sulit
untuk
segala
menekankan yang
bahwa
terjadi
melalui
di
dijelaskan sekalipun seperti
dalam yang
tergambar dalam kutipan pendapatnya: “Metaphor is one of our most important
tools
for
trying
tocomprehend partially what cannot be
comprehended totally: our feelings, moral practices, and spiritual awareness”. Secara keseluruhan, metafora memang bukan merupakan bahasa biasa. Metafora
20
telah berjasa untuk menciptakan istilah-istilah baru dalam khasanah kebahasaan, dapat memberikan wawasan baru bagi pemakai bahasa, serta dapat mempengaruhi struktur konseptual manusia. 2.1. Jenis-Jenis Metafora Berdasarkan Medan Semantik Haley (1980: 139-154) dan Lunsford (1980: 155) membedakan jenis metafora berdasarkan medan semantiknya. Medan semantik merupakan bagian tertentu dari leksikon yang didefenisikan dengan istilah atau konsep umum. Haley dan Lunsford membedakan metafora berdasarkan medan semantik menjadi sembilan kelompok, yaitu: 1. Metafora ke-ada-an (being), yaitu metafora yang meliputi hal-hal yang abstrak, seperti kebenaran dan kasih sayang. 2. Metafora kosmos (cosmos), yaitu metafora yang meliputi benda-benda kosmos, seperti matahari dan bulan. 3. Metafora tenaga (energy), yaitu metafora dengan medan semantik hal-hal yang memiliki kekuatan, seperti angin, cahaya, api, dengan prediksi dapat bergerak. 4. Metafora substansi (substance), yaitu metafora yang meliputi semacam gas dengan prediksi dapat memberi kelembaban, bau, tekanan, dan sebagainya. 5. Metafora permukaan bumi (terrestrial), yaitu metafora yang meliputi halhal yang terikat atau terbentang di permukaan bumi, seperti sungai, laut, gunung, dan sebagainya. Selain itu, juga meliputi hal-hal yang
21
berhubungan dengan gravitasi, yaitu metafora yang berhubungan dengan segala hal yang jatuh karena gravitasi bumi. 6. Metafora benda mati (object), yaitu metafora yang meliputi benda-benda yang tidak bernyawa seperti meja, buku, kursi, gelas, dan sebagainya. 7. Metafora kehidupan atau tumbuhan (living), metafora yang memiliki prediksi dapat tumbuh. Pada umumnya, metafora kehidupan merupakan metafora yang berhubungan dengan seluruh jenis tumbuh-tumbuhan atau flora seperti daun, sagu, bunga, dan lain sebagainya. 8. Metafora binatang (animate), yaitu metafora yang berhubungan dengan makhluk organisme yang dapat berjalan, berlari, terbang, dan lain sebagainya seperti kuda, kucing, burung, dan harimau. 9. Metafora manusia (human), yaitu metafora yang berhubungan dengan makhluk yang dapat berpikir dan mempunyai akal.
3. Studi Etnolinguistik Studi etnolinguistik dapat pula disamakan atau disebut dengan studi linguistik antropologis (Kridalaksana, 2008:59). Disamping itu, Kridalaksana (2008: 59) menjelaskan bahwa etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan yang belum mempunyai tulisan. Namun demikian, definisi tersebut pada perkembangannya meluas karena studi etnolinguistik tidak hanya dilakukan pada bahasa suku bangsa saja yang belum mengenal tulisan. Tetapi, juga dapat dilakukan pada suku bangsa yang sudah mengenal tulisan. Oleh karena itu, studi etnolinguistik pada suku yang
22
telah mengenal tulisan ini dipusatkan pada hubungan yang terjalin antara bahasa dengan kebudayaan suku bangsa tersebut. Studi linguistik antropologis merupakan hasil perpaduan antara studi antropologi dan studi linguistik. Kedua disiplin ilmu ini berpadu menjadi studi linguistik antropologi, karena keduanya dapat memahami makna bahasa dalam suatu masyarakat itu tidak bisa dilepaskan dari budaya masyarakat setempat, hal ini karena keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Duranti (1997: 2) mengemukakan bahwa istilah etnolinguistik banyak dipergunakan di Eropa, sedangkan di Amerika lebih sering menggunakan istilah linguistik antropologis atau
antropologi
linguistis. Berdasarkan
makna
kata
pembentuknya, yaitu etnos yang berarti bangsa dan linguistics yang berarti ilmu bahasa. Jadi, etnolinguistik adalah studi tentang bahasa pada suku bangsa tertentu yang belum mengenal tulisan. Foley (1997:1) mengatakan bahwa linguistik antropologi adalah bagian dari linguistik yang memperhatikan kedudukan bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Salah satu aspek etnolinguistik yang menonjol adalah relativitas bahasa. relativitas bahasa adalah sebuah bagian dari aliran filsafat yang menyatakan bahwa pengalaman dalam ketertarikan manusia akan budaya memegang peranan yang penting dan menentukan fungsi kognitif (Foley, 1997: 169). Wilhelm Von Humboldt berhipotesis bahwa pola unik setiap bahasa menjadikan pandangan yang berbeda mengenai dunia (Keesing, 1989: 87).
23
Hipotesis tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh seorang ahli antropologi bernama Edward Sapir. Ia menyatakan bahwa dunia di mana masyarakat yang berbeda tinggal adalah dunia yang berbeda. Pola-pola bahasa sangat penting dalam membentuk berbagai dunia budaya yang berbeda. Steinberg (2001: 245) menyatakan bahwa ada empat formulasi mengenai hubungan antara bahasa, pikiran, dan budaya. Pertama, adalah ucapan
yang
merupakan hal yang esensial bagi pikiran. Kedua, bahasa merupakan hal yang esensial bagi pikiran. Ketiga, bahasa menentukan atau membentuk persepsi kita tentang alam. Keempat, adalah bahasa menentukan atau membentuk pandangan dunia
kita. Oleh
karena itu, peneliti dalam penelitian ini, akan
mencoba untuk mengemukakan keterkaitan antara bahasa, budaya, dan pikiran atau pandangan tentang dunia.
8. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomen yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret paparan seperti apa adanya (Sudaryanto, 1988: 62) dan didasarkan pada data-data yang lengkap secara tipikal (bukan berdasarkan jumlah). Menurut Santana K.(2007:30), kerangka tulisan kualitatif menyampaikan data berupa perkataan orangatau kutipan, berbagai teks, atau wacana lain.
24
Materinya mengeksplorasi pemaknaan ketika orang-orang, misalnya, melakukan tindakan komunikasi dan menginterpretasikannya kepada konteks yang luas. Sesuai dengan perspektif yang dipakai, penelitian kualitatif berusaha memahami makna dari fenomenafenomena, peristiwa, dan kaitannya dengan orang-orang atau masyarakat yangditeliti dalam konteks kehidupan dalam situasi
yang
sebenarnya
(Subroto,1992:6). Metode yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu: analisis data dan penyajian hasil. Seperti dijelaskan di bawah ini: a. Analisis Data Data yang terkumpul dianalisa berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian dengan
melihat klasifikasi yang ada sehingga dapat menunjukkan
bentuk dan konseptualisasi yang mengindikasikan adanya sistem konsep yang terdiri dari konsep ranah target dan konsep ranah sumber. Elemen kesamaan atau kemiripan pada pemetaan metafora dianalisa berdasarkan
hubungan
yang
tergambar dari kedua entitas yang ada dan didukung oleh analisis komponen makna. Teknik analisis makna ini merupakan satu usaha untuk mengelompokkan, membedakan, dan menghubungkan masing-masing hakikat makna (Parera, 2004:51). Konsep metafora yang terbentuk diperoleh dengan mengelompokkan ungkapan-ungkapan metaforis linguistik berdasarkan teori metafora konseptual Lakoff dan Johnson (1980) dan Kövecses (2002), dianalisis secara berurutan sesuai dengan tingkat kemunculan konsep atau dominasi konsep. Konsep yang
25
memiliki jumlah ungkapan paling banyak adalah yang paling dominan. Setelah itu, data dianalisa dengan menguraikannya belakang
Khulafaur
Rosyidin
dalam
berdasarkan perjuangannya
kejadian dan latar sehingga
dapat
menggambarkan suatu keadaan dimana penerima pesan atau pembaca dapat merasakan dan mengetahui secara jelas. b. Penyajian Data Penelitian ini disajikan secara deskriptif dalam dua macam bentuk tulisan yaitu informal dan formal. Tulisan informal menggunakan kata-kata biasa dan tulisan
formal
menggunakan
tanda
dan
lambang-lambang
(Sudaryanto,
1993:144). 9. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini akan disajikan dalam empat bab : Bab I mengenai pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang penelitian berisi pemaparan hal ihwal pemikiran peneliti terkait dengan topik yang ada; rumusan masalah; tujuan penelitian; manfaat penelitian; tinjauan pustaka yang mengemukakan hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan kajian metafora; landasan teoriyang menjelaskan tentang teori-teori pendukung yang relevan dengan penelitian dan materi yang dikaji dalam penelitian demi memudahkan peneliti lain dalam pengajuan penelitian lanjutan; serta metode penelitian yang menjelaskan tentang metode yang digunakan, teknik pengolahan data secara terperinci, dan penyajian data. Bab II berisi uraian dari rumusan masalah pertama yang telah disusun untuk memenuhi tujuan penelitian yaitu
26
mengenai jenis ranah sumber metafora yang terdapat dalam naskah pidato Khulafaur Rosyidin berdasarkan kategori medan semantik Haley. Bab III berisi uraian rumusan masalah yang ketiga yaitu mengenai ranah target metafora dalam naskah pidato pidato Khulafaur Rasyidin. Bab IV berisi kesimpulan dan saran yang menjelaskan tentang kesimpulan dari analisis data yang telah dilakukan dalam bab sebelumnya serta saran bagi penelitian selanjutnya.