BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Letak geografis Indonesia yang sangat strategis mengakibatkan adanya hubungan dengan daerah-daerah atau bangsa-bangsa lain di luar Indonesia. Kondisi tersebut sangat mendukung perkembangan bangsa Indonesia di segala
bidang.
Perkembangan
tersebut
tentu
tidak
terlepas
dari
perkembangan budaya masyarakat pendukungnya. Masuknya kebudayaan asing juga turut membentuk tradisi yang ada di Indonesia, walaupun bukan merupakan unsur yang utama. Unsur kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia tersebut berbaur dengan kebudayaan asli setempat sehingga terjadi proses yang saling mempengaruhi satu sama lain, atau disebut akulturasi budaya. Salah satu bentuk kebudayaan yang masuk dan berkembang di Indonesia adalah kebudayaan megalitik. Perkembangan kebudayaan ini diyakini oleh para ahli telah ada sejak lama. Menurut R.P. Soejono (1992), Von Heine Geldern membedakan adanya dua gelombang besar kebudayaan yang masuk ke Indonesia. Dua gelombang kebudayaan tersebut adalah megalitik tua sekitar ± 2.500 – 1.500 SM dan megalitik muda sekitar ribuan pertama SM. Kebudayaan megalitik tua dimasukkan ke dalam masa neolitik yang didukung oleh pemakai bahasa Austronesia yang menggunakan alat-alat beliung persegi. Peninggalan megalitik tua antara lain berupa punden berundak, dolmen, limas (piramid berundak), pelinggih, tembok batu, dan jalan batu. Megalitik muda berkembang pada masa perundagian dengan peninggalan antara lain berupa peti kubur batu, dolmen semu, sarkofagus,
1
dan bejana batu. Kedua gelombang tersebut akhirnya bercampur dan tumpang tindih dalam perkembangannya membentuk variasi-variasi lokal. Bahkan dalam tingkat perkembangan selanjutnya bercampur dengan budayabudaya India, Islam dan Eropa yang secara bertahap telah meluaskan pengaruhnya di Kepulauan Indonesia. Unsur-unsur megalitik dengan keanekaragamannya dari berbagai bentuk peradaban masih dapat dipelajari sebagai bagian integral dari budaya yang kini masih hidup di Indonesia (Soejono, 1992: 206). Budaya megalitik yang masuk ke Indonesia tersebar hampir di seluruh wilayah kepulauan, yaitu di Nias, Toraja, Pasemah, Gunung Padang, Minahasa, Purbalingga, Sulawesi Tengah, Sumba, Flores, Purbalingga, Karanganyar dan Bali. Beberapa di antaranya berkembang dalam bentuk kebudayaan yang bersifat lebih besar seperti di Nias, Toraja, Gunung Padang, dan wilayah Pasemah. Budaya megalitik lainnya berkembang dalam skala yang lebih kecil dalam pengertian tinggalan material budayanya, seperti di Purbalingga, Minahasa, serta Karanganyar. Salah satu wilayah yang jarang diamati adalah Pegunungan Muria. Wilayah ini lebih banyak menghasilkan laporan penelitian tentang tinggalan masa pengaruh Islam di Indonesia, yaitu peninggalan makam Sunan Muria serta peninggalan lainnya yang berhubungan dengan salah satu penyebar ajaran agama Islam di Pulau Jawa. Pegunungan Muria terletak di Semenanjung Muria, yaitu sebelah Timur Laut kota Semarang. Daerah ini terbagi menjadi tiga wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Jepara pada bagian Barat - Utara, Kabupaten Pati pada bagian Timur - Tenggara dan Kabupaten Kudus pada bagian Selatan. Lokasinya
2
berada pada koordinat 1100 30’ - 1110 30’ Bujur Timur dan 60 20’ - 60 50’ Lintang Selatan dengan titik tertinggi pada Puncak Saptorenggo dengan ketinggian 1.605 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan klasifikasi Direktorat Vulkanologi, gugusan Gunungapi Muria tidak termasuk gunung api aktif (van Padang 1951; Kusumadinata 1979 dalam Mulyaningsih 2007: 64). Menurut Bemmelen (1970), Gunungapi Muria terletak di luar rangkaian utama gunungapi di Pulau Jawa. Berdasarkan data gaya berat dapat diketahui bahwa pola struktur geologi di selatan Gunungapi Muria dan daerah sekitarnya memperlihatkan arah Timur Laut–Barat Daya. Pola struktur geologi ini merupakan jejak tektonik jaman Kapur - Paleosen yang berbentuk jalur subduksi, akibat interaksi antara Lempeng Hindia - Australia dengan Lempeng Mikrosunda (Sunarto, 2004: 7). Pegunungan Muria memiliki tujuh puncak utama, yaitu Saptorenggo, Rahtawu, Candi Angin, Argopiloso, Abiyoso, Argo Djembangan, dan Tremulus. Berdasarkan survei yang pernah dilakukan oleh penulis pada lereng Puncak Saptorenggo, beberapa peninggalan tradisi megalitik yang ditemukan antara lain adalah menhir, batu pelinggih, punden berundak, dan jalan batu. Sebagian besar batu pelinggih yang ada sampai sekarang masih digunakan oleh pelaku ritual kepercayaan Kejawen di sekitar wilayah Pegunungan Muria dan sekitarnya, terutama saat bulan Suro pada penanggalan Jawa. Setiap batu pelinggih yang ada diberi nama berdasarkan nama tokoh-tokoh pewayangan, di antaranya ialah Pertapaan Eyang Abiyoso, Petilasan
Eyang
Nakulo-Sadewo,
Petilasan
Eyang
Pandhudewanata,
Petilasan Eyang Semar, Petilasan Sang Hyang Wenang pada pundak tertinggi, dan masih ada beberapa lagi. Pada setiap petilasan yang ada dapat
3
terlihat sisa-sisa jalan batu, walaupun hanya pada beberapa bagian. Sisa jalan batu tersebut kemungkinan menunjukkan pola atau arah yang digunakan sebagai rute pemujaan. Perkembangan budaya megalitik sering dikaitkan dengan konsep pemujaan terhadap leluhur atau nenek moyang. Kesimpulan tersebut didapat dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan di berbagai lokasi. Tradisi megalitik dibawa oleh masyarakat yang telah mengenal kehidupan menetap, bercocok tanam, domestikasi hewan, sistem stratifikasi sosial, serta sistem religi. Pada masa prasejarah, religi tidak hanya mempengaruhi kehidupan yang berkaitan dengan upacara adat, misalnya yang berhubungan dengan cara-cara penguburan, tetapi juga memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan religi ini erat hubungannya dengan kepercayaan yang menganggap bahwa arwah nenek moyang atau arwah leluhur sangat menentukan dalam kehidupan manusia. Arwah leluhur harus diperhatikan sebaik mungkin agar zat tertinggi (menurut masyarakat
pendukungnya)
tersebut
senantiasa
merasa
anggapan diperhatikan
sehingga selalu melindungi masyarakat yang ditinggalkannya. Pada masa prasejarah di Indonesia, masyarakat hidup dalam tantangan kondisi alam. Ada yang menetap di pesisir pantai, dan ada pula yang tinggal di daerah pedalaman dengan kondisi lingkungan berupa dataran tinggi. Keadaaan alam yang berbeda-beda melahirkan jenis kebudayaan yang berbeda pula. Perbedaaan kondisi sumberdaya alam walaupun sekecil apapun sudah cukup kuat untuk melahirkan kebudayaan yang bercorak lain, meskipun sedikit banyak masih dapat dijumpai adanya persamaan. Hal tersebut pula yang dijumpai di kawasan Pegunungan Muria. Tinggalan tradisi
4
megalitik yang ada masih digunakan sampai sekarang oleh masyarakat sekitar yang menganut kepercayaan Kejawen. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk mengungkapkan perkembangan konsep religi yang ada pada situs-situs tinggalan tradisi megalitik di wilayah Pegunungan Muria dengan cara pendekatan etnoarkeologi.
B. RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN Sejalan dengan uraian sebelumnya, penelitian ini berusaha untuk memusatkan perhatian kepada aspek spiritual atau religi yang ada pada situssitus tradisi megalitik di Pegunungan Muria melalui pendekatan etnoarkeologi. Dalam penelitian ini permasalahan yang diajukan adalah sebagai berikut: Bagaimanakah kontekstualisasi situs-situs megalitik di Pegunungan Muria dalam sistem religi Kejawen? Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konteks situs-situs tersebut pada masa kini, terutama dalam sistem religi Kejawen. Untuk mencapai tujuan tersebut, dengan sendirinya penulis perlu mengumpulkan data tentang perkembangan religi di kawasan Pegunungan Muria lereng selatan. Caranya adalah dengan melakukan observasi mengikuti cara kerja kajian etnografi terhadap situs, perilaku ritual, serta gagasan-gagasan di balik ritual dan keberadaan situssitus tersebut.
C. KEASLIAN PENELITIAN Kajian mengenai tinggalan tradisi megalitik di seluruh Indonesia memang sudah banyak dilakukan, terlebih mengenai hubungan antara situs
5
megalitik dengan kondisi sumberdaya lingkungan pendukungnya, serta konsep religi yang ada pada situs tersebut. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan antara lain tentang tinggalan tradisi megalitik di Kabupaten Kuningan Jawa Barat oleh Jajang A. Sonjaya pada tahun 1999. Selain itu juga pernah dilakukan penelitian serupa di Situs Gunung Lumpang Cirebon oleh Sudarti Prijono (2001). Selanjutnya Septihandri juga pernah melakukan kajian mengenai aspek arsitektural pada peninggalan tradisi megalitik di kawasan Puncak Gunung Lawu (1992). Oleh karena Indonesia memiliki banyak lokasi tinggalan tradisi megalitik, banyak penelitian mengenai situs-situs tersebut. Beberapa lokasi yang pernah dilaporkan memiliki tinggalan dan diteliti antara lain di Pasemah Sumatra Selatan, Bengkulu, Lampung Utara, Jember, P. Nias, Situbondo, Sumbawa, Bali, Banyumas, Purbalingga, Minahasa, Sulawesi Tengah, serta Gunung Padang Jawa Barat. Penelitian di Pegunungan Muria sendiri pernah beberapa kali dilakukan, seperti kajian tentang geologi dan geomorfologi daerah tersebut, di antaranya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sunarto tahun 2004 yang mengkaji mengenai
perubahan geomorfik
pada
daerah
pesisiran
di
Semenanjung Muria. Selanjutnya Astjario dan Kusnida melakukan penelitian mengenai penafsiran struktur geologi Semenanjung Muria dari data citra satelit pada tahun 2007. Penelitian tentang gunungapi maar di komplek Pegunungan Muria juga pernah dilakukan oleh Sutikno Bronto dan Sri Mulyaningsih yang diterbitkan dalam Jurnal Geologi Tahun 2007. Penelitian mengenai peninggalan purbakala yang pernah dilakukan di Pegunungan Muria antara lain survei kepurbakalaan yang pernah dilakukan oleh Hasan M. Ambary, di seluruh wilayah Kabupaten Kudus. Beberapa
6
temuan yang dilaporkan antara lain masjid-masjid kuno selain masjid Menara, kompleks makam kuno, serta beberapa temuan masa Hindu-Buddha seperti yoni dan arca batu (Ambary, 1977). Selain penelitian tersebut, pernah juga dilakukan penelitian oleh Balai Arkeologi Yogyakarta mengenai tinggalan kepurbakalaan di Pegunungan Muria yang dipimpin oleh Diman Suryanto pada tahun 1988, yang melakukan survei awal untuk mengungkapkan tinggalan masa prasejarah di wilayah tersebut. Dari laporan penelitian tersebut, ditemukan beberapa tinggalan yang diduga merupakan ciri peninggalan tradisi megalitik tersebar di wilayah Kabupaten Kudus dan Jepara. Selain kedua penelitian kepurbakalaan di Pegunungan Muria yang dilakukan di wilayah Kabupaten Kudus, penelitian lainnya lebih banyak menitikberatkan pada kajian masa pengaruh Islam dan kolonial. Adapun kajian mengenai peninggalan situs masa prasejarah yang menekankan pada aspek religi dengan pendekatan etnoarkeologi di lereng selatan Pegunungan Muria wilayah Kab. Kudus belum pernah dilakukan sebelumnya.
D. RUANG LINGKUP PENELITIAN Untuk mendapatkan hubungan antara situs megalitik dengan konsep religi yang melatarbelakanginya, akan digunakan pendekatan etnoarkeologi. Etnoarkeologi sendiri adalah salah satu kajian dalam disiplin ilmu arkeologi yang mempelajari dan menggunakan data etnografi untuk menangani atau membantu memecahkan masalah-masalah arkeologi. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa etnoarkeologi adalah alat, bukan data. Kajian ini bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara data arkeologi yang
7
ditemukan dengan pola tingkah laku manusia yang menyebabkannya, berdasarkan suatu perbandingan dengan gejala masa kini (Tanudirjo,1987: 4). Lokasi penelitian dibatasi pada kawasan lereng selatan Pegunungan Muria mencakup wilayah Ds. Rahtawu, Kec. Gebog, Kabupaten Kudus. Pemilihan lokasi ini karena banyaknya situs megalitik yang terdapat di wilayah tersebut berdasarkan survei oleh penulis yang pernah dilakukan sebelumnya serta hasil laporan penelitian yang pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 1988. Selain alasan di atas, peninggalan arkeologis yang ditemukan masih sering digunakan oleh masyarakat yang melakukan ritual terutama pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa. Oleh karena itu, lereng selatan Pegunungan Muria dianggap sebagai representatif dari keseluruhan situs dari wilayah ini. Dalam kajian etnoarkeologi, terdapat tolok ukur yang digunakan untuk memperoleh tujuan penelitian. Ada dua tolok ukur yang akan digunakan dalam penelitian yang akan dilakukan di lereng selatan Pegunungan Muria ini, yaitu tolok ukur berdasarkan lingkup penelitiannya dan berdasarkan peran penalarannya. Berdasarkan lingkup penelitiannya berarti penelitian yang akan dilakukan meliputi lingkup strategis atau konstruktif yang bertujuan untuk menentukan model sebagai kerangka acuan untuk proses penelitian arkeologi. Berdasarkan peran dalam penalaran yang digunakan yaitu hasil dari penelitian yang akan dilakukan sebagai interpretasi – eksplanasi, karena data etnografi digunakan sebagai bahan penjelasan dan konstruksi pola tingkah laku yang melatarbelakangi data arkeologis di lokasi tersebut.
8
E. METODE PENELITIAN Sebagai sebuah ilmu, arkeologi memiliki seperangkat metode dan teknik khusus untuk mengumpulkan atau memproduksi dan mereproduksi informasi budaya. Pemilihan metode tersebut disesuaikan dengan permasalahan dan tujuan penelitian (Haryono 1993: 10). Data arkeologi dapat diartikan secara sempit ataupun luas. Pengertian secara sempit meliputi artefak, ekofak dan fitur, sedangkan pengertian data secara luas termasuk konteks (matriks, keletakan, asosiasi, stratigrafi) dan sebaran (dalam satu situs atau antar situs). Data arkeologi adalah suatu hasil dalam perilaku, tetapi perilaku tersebut sudah tidak dapat diamati lagi sehingga perlu ditafsirkan. Dalam menghadapi kondisi yang demikian, arkeologi perlu melihat pada data yang lain. Salah satu data yang dapat membantu memecahkan masalah arkeologi adalah data etnografi. Penggunaan data etnografi dalam arkeologi kemudian dikenal sebagai etnoarkeologi. Penelitian ini bersifat deskriptif mendalam, yaitu memberikan gambaran data arkeologi yang ditemukan berupa artefak, ekofak, fitur serta konteks temuan, baik dalam kerangka waktu, bentuk, maupun keruangan mengikuti cara kerja bidang etnografi. Pengamatan dilakukan terhadap situs, perilaku ritual, serta gagasan-gagasan di balik ritual dan keberadaan situs-situs tersebut. Adapun penalaran yang dipakai adalah induktif, yaitu suatu penalaran untuk mendapatkan data yang mendukung dalam pemecahan suatu masalah. Data tersebut digunakan sebagai penarik kesimpulan melalui analisis dan sintesis. Penalaran ini bergerak dari kajian fakta-fakta atau
9
gejala-gejala khusus kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empiris (Tanudirjo, 1988-1989: 34). Berdasarkan metode yang telah diungkapkan di atas, maka tahap-tahap penelitian yang akan dilakukan yaitu: 1. Tahap pengumpulan data. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara survei arkeologi dan observasi lapangan, studi pustaka, serta wawancara etnografi. Survei dalam arkeologi adalah upaya untuk memperoleh data
di
lapangan
tanpa
harus
melakukan
penggalian
atau
memodifikasi lahan tempat ditemukannya data arkeologi. Observasi berarti pengamatan data di lapangan, sehingga konteks temuan data tersebut masih dapat diketahui. Observasi biasanya merupakan kegiatan mengidentifikasikan dan melakukan pencatatan lengkap data yang ada (Piggot 1959, dalam Tanudirdjo 1988-1989: 31). Data kepustakaan yang digunakan merupakan data tertulis yang berhubungan dengan situs yang akan diteliti, baik dari publikasi arkeologis maupun sumber-sumber sejarah atau etnosejarah. Selain itu, data kepustakaan dapat juga berupa gambar, foto dan peta, baik peta rupa bumi maupun peta tematik (Puslitarkenas 2008: 21). Wawancara etnografi juga akan dilakukan kepada para pelaku ritual di Pegunungan Muria. Wawancara cukup efektif dilakukan untuk mengungkap aspek kognitif (pikiran) dan afektif (perasaan) dari informan, apalagi bila wawancara dapat dilakukan secara lebih mendalam (indepth interview) (Spradley, 1979).
10
2. Tahap analisis data. Analisis data dilakukan terhadap hasil survey arkeologi dan observasi lapangan, serta terhadap hasil wawancara etnografi yang telah dilakukan. Analisis yang akan dilakukan meliputi: a) Analisis Artefaktual. Untuk melakukan analisis artefaktual dilakukan pengelompokan situs ke dalam tipe-tipe tertentu berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki masing-masing situs. Pengelompokan situs-situs tersebut kemudian dikaitkan dengan religi yang pernah berkembang. Temuan
pada
masing-masing
situs
juga
akan
dianalisis
berdasarkan aspek fungsional-religi yang melekat pada artefak, ekofak, dan fitur situs tersebut. Data situs-situs tradisi megalitik tersebut nantinya digunakan untuk melihat fungsi artefak tersebut dalam peranannya dalam konsep religi. b) Analisis Simbolis. Analisis ini dilakukan terhadap data arkeologi yang ditemukan di lapangan. Data tinggalan arkelogi yang
didapatkan akan
dideskripsikan
simbolis.
secara
terperinci
secara
Untuk
mengetahui makna keseluruhan situs secara simbolis, diperlukan teori-teori
kajian
arkeologi
simbol
agar
dapat
diketahui
pemaknaannya. Teori tentang simbol tersebut dapat digunakan untuk mengetahui makna keseluruhan yang ada pada situs-situs tradisi megalitik di Pegunungan Muria, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui latar belakang religi situs-situs tersebut.
11
Dalam studi etnoarkeologi terdapat tiga perspektif dalam melakukan analisis, yaitu perspektif yang menekankan pada proses historis dari masa lampau hingga kini (diakronis), masa kini untuk menjelaskan masa lampau (sinkronis), dan perspektif yang
menganalisis
kesinambungan
(Sonjaya, 2008: 21). Perspektif
budaya
(interaksionis)
diakronis, yang menekankan
proses kesinambungan historis terhadap tinggalan arkeologis dipilih untuk menjelaskan perkembangan konsep religi yang melatarbelakangi situs-situs megalitik di Pegunungan Muria. 3. Tahap Sintesis Data Pada tahap ini akan dilakukan sintesis data yang telah dianalisis. Sintesis yang dilakukan pada dasarnya merupakan penafsiran atas data yang telah terolah, sehingga diharapkan dapat memberikan hipotesis tentang perkembangan religi yang melatarbelakangi situssitus tradisi megalitik di Pegunungan Muria. 4. Kesimpulan Penarikan kesimpulan dilakukan setelah mendapatkan hasil sintesis dari data-data yang telah dianalisis. Kesimpulan yang didapatkan diharapkan dapat menjelaskan konsep religi yang menjadi latar belakang situs-situs tradisi megalitik di Pegunungan Muria dilihat dari kajian etnoarkeologi yang telah dilakukan.
12
BAGAN ALUR PENELITIAN
Gambar 1.1 Bagan Alur Penelitian.
13