1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masyarakat Tidore adalah salah satu suku bangsa Indonesia yang mendiami
wilayah Maluku Utara. Masyarakat Tidore pada awalnya menempati pulau Tidore, namun sekarang telah menyebar hampir di seluruh wilayah Maluku Utara terutama wilayah Kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Halmahera Timur. Dalam berkomunikasi, masyarakat Tidore menggunakan dua bahasa pengantar yakni bahasa Tidore dan Bahasa Melayu Ternate (BMT). Bahasa Tidore adalah bahasa asli sehingga digunakan untuk berkomunikasi dengan masyarakat setempat dan digunakan pada ritualritual adat. Bahasa Melayu Ternate digunakan ketika berkomunikasi dengan pendatang (bukan masyarakat asli Tidore). Sebelum masuknya agama-agama dunia (Islam, Hindu, Kristn dll), para leluhur masyarakat Tidore telah menganut kepercayaan dinamisme dan animisme. Kini, sebagian besar Masyarakat Tidore beragama Islam, namun pengaruh yang ditinggalkan oleh para leluhur masih melekat dalam kehidupan sampai saat ini. Dapat dikatakan, walaupun telah menganut Agama Islam, mereka masih mempercayai kepercayaan yang digunakan leluhur. Hal ini dapat dilihat pada ritual-ritual adat yang masih melibatkan arwah-arwah para leluhur yang dikenal sebagai jin. Masyarakat Tidore mempercayai bahwa ritual-ritual ini mengandung nilai dan kekuatan di luar kekuatan manusia. Mereka mempercayai adanya kehidupan lain yang memiliki kekuatan gaib di alam berbeda.
2
Ritual-ritual yang sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat tersebut adalah ritual Salai Jin. Salai Jin merupakan salah satu ritual adat masyarakat Tidore yang mengandung kepercayaan kepada makhluk halus (selanjutnya disebut Jin). Jin bagi masyarakat Tidore merupakan makhluk yang memiliki kekuatan magis. Kekuatan magis yang dimiliki Jin membuat masyarakat menggunakannya untuk melakukan hal-hal gaib di luar akal manusia seperti melindungi diri mereka dari bahaya serangan penyakit ataupun meminta pertolongan menyembuhkan penyakit. Untuk dapat berhubungan dengan dunia gaib, masyarakat Tidore menggunakan jasa seorang dukun – disebut sowohi – yang dipercayai memiliki kemampuan berkomunikasi dengan mahluk halus. Dalam ritual Salai Jin, bahasa yang digunakan adalah bahasa Tidore atau bahasa asli. Bahasa asli ini ditemukan pada saat pengucapan mantra oleh dukun. Masyarakat Tidore menyebut mantra tersebut dengan sebutan Bobeto. Selain Bobeto, ritual ini juga menggunakan tarian (salai) oleh orang-orang tertentu dan diiringi bunyi musik tifa dan gong. Bobeto merupakan salah satu jenis tradisi lisan atau biasanya dikembangkan dalam kebudayaan lisan dalam bentuk: pesan – pesan, cerita – cerita atau pun kesaksiankesaksian yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dengan kata lain diwariskan secara turun- temurun melalui mulut ke telinga. Bobeto dalam ritual Salai Jin merupakan bentuk doa yang mengandung magic dan dimanfaatkan sebagai sarana untuk membantu mempermudah dalam meraih sesuatu. Oleh karena itu Bobeto
3
dalam ritual Salai Jin sangatlah menarik dan menantang untuk diteliti khususnya dalam konteks tradisi lisan. Lokasi yang dijadikan penulis sebagai tempat penelitian adalah Kelurahan Gura Bunga, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara. Masyarakat yang menempati wilayah ini berbeda dengan masyarakat Tidore yang menempati wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan semua masyarakat di kelurahan ini mengetahui dan menggunakan ritual Salai Jin
dalam kehidupan sehari-hari sehingga mempermudah penulis dalam
memperoleh data yang alami. Selain sebagai salah satu cara pengobatan, masyarakat Kelurahan Gura Bunga pun menggunakan Ritual Salai Jin sebagai doa atau nazar untuk meminta sesuatu dalam waktu terdesak dan diyakini diperoleh dalam waktu singkat. Dari beberapa keunikan tersebut, sebagai pemilik kebudayaan ritual salai Jin yang masih terbatas pengetahuannya, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh ritual ini untuk menerapkankan teori yang dipelajari dalam ilmu antropologi sekaligus melestarikan salah satu unsur budaya masyarakat dibentuk. B.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka, maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah bentuk Bobeto yang dihadirkan dalam ritual Salai Jin?
2.
Bagaimanakah fungsi Bobeto bagi orang – orang yang terlibat dalam ritual Salai Jin di masyarakat Kelurahan Gura Bunga?
4
3.
Bagaimanakah pandangan hidup dan nilai-nilai yang terkandung dalam Ritual Salai Jin Masyarakat Kelurahan Gura Bunga?
C.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.
Mendeskripsikan bentuk Bobeto yang terkandung dalam ritual Salai Jin pada Masyarakat Kelurahan Gura Bunga.
2.
Mengidentifikasi fungsi Bobeto bagi orang – orang yang terlibat dalam ritual Salai Jin di masyarakat Kelurahan Gura Bunga.
3.
Menafsirkan pandangan hidup dan nilai yang terkandung dalam ritual Salai Jin pada masyarakat Kelurahan Gura Bunga.
D.
Ruang Lingkup Penulisan ini berada pada ruang lingkup etnografi dan tradisi lisan. Dari segi
etnografi, penelitian ini mencoba menganalisis kandungan nilai-nilai budaya yang dilihat dari fungsi ritual Salai Jin. Sedangkan secara tradisi lisan, penelitian ini mendeskripsikan bentuk Bobeto sebagai bagian dari sastra lisan Masyarakat Tidore khususnya masyarakat Kelurahan Gura Bunga.
5
E.
Manfaat Penelitian
1.
Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan
akademis serta mewujudkan kepedulian sosial budaya dalam bidang kajian tradisi lisan 2.
Secara Praktis Secara praktis penelitian ini juga diharapkan untuk bisa dijadikan sebagai bahan
acuan/informasi untuk para penentu kebijakan dalam hal ini melaksanakan programprogram tentang kebudayaan khususnya bidang tradisi lisan. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam memperkaya khazanah tentang kajian tradisi lisan yang terdapat pada masyarakat Provinsi Maluku Utara dan Khususnya Kota Tidore Kepulauan. F.
Tinjauan Pustaka Sumber kepustakaan tentang ritual pada umumnya dalam masyarakat Tidore,
khususnya ritual Salai Jin, sangat jarang ditemukan. Selama persiapan penelitian lapangan hanya dijumpai sebuah laporan penelitian tentang ritual Salai Jin yang ditulis oleh Marasabessy (2004), berjudul Upacara Ritual Salai Jin dan Praktek Para Dukun: Suatu Kontraversi Warisan Budaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan teknik pengumpulan data lainnya seperti: wawancara, observasi dan pengkajian pustaka yang masih relevan dengan objek kajian. Penelitian ini menemukan bahwa di Kota Tidore Kepulauan masih banyak warga setempat yang mempraktekkan pengobatan tradisional menggunakan kekuatan gaib dimana Sowohi
6
dijadikan sebagai perantara. Marasabessy menyimpulkan bahwa ritual Salai Jin merupakan ciri budaya Masyarakat adat Kota Tidore Kepulauan. Keterbatasan sumber kepustakaan tentang mantra di kalangan masyarakat Tidore mengarahkan penelitian ini untuk menengok kajian sejenis dalam masyarakat lain. Saputra (2009) dalam bukunya Memuja Mantra: Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwani mengkaji tentang tradisi bermantra pada masyarakat etnik Using. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan jenis-jenis mantra, bentuk mantra dan kekuatan yang dipakai oleh dukun dalam mempraktekan mantra tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan struktural dan etnografis. Pendekatan struktural digunakan untuk mengkaji konvensi struktur kelisanan teks mantra, sedangkan etnografi untuk menjelaskan potensialitas mantra dalam masyarakat pemiliknya. Saputra mengelompokkan mantra dalam kehidupan masyarakat etnik Using ke dalam tiga jenis yaitu: mantra jenis santet (untuk pengasihan), sihir (untuk membuat destruksi atau pembunuhan), dan mantra penyembuhan. Sementara itu jenis-jenis magis yang terdapat di dalam mantra dipilahnya menjadi empat macam, yakni magis putih (penyembuhan), kuning dan merah (keduanya termasuk santet), serta hitam (sihir). Kekuatan yang dimanfaatkan oleh dukun dengan cara homeopathic magic (sihir homeopati “pengobatan yang dipercaya bahwa semua penyakit dapat disembuhkan”) dan contagions magic (sihir menular). Ismail dkk (1996) dalam bukunya Fungsi Mantra dalam Masyarakat Banjar mengatakan bahwa mantra Banjar ialah mantra yang diucapkan dalam bahasa Banjar yang menunjukkan pada sifat latennya, yang memerlukan penggalian nilai budaya yang lebih mendalam menyangkut dengan kepercayaan dan kebergunaan. Jumlah mantra
7
yang dapat dikumpulkan sebanyak 83 mantra. Jumlah mantra tersebut merupakan kumpulan dari 8 daerah tingkat II. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh sejumlah mantra Banjar dan dapat mengungkapkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Banjar melalui mantra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dan studi pustaka. Artikel yang ditulis Kastanya dalam Endraswara (2013), ‘Tarian Tradisional Rakyat Maluku,’ juga mengungkapkan makna, bentuk dan fungsi mantra dalam tarian tersebut. Tarian tradisional yang dimaksudkan adalah Bambu Gila, yang berasal dari permainan rakyat Maluku. Tarian ini menurut Kastanya adalah tarian tradisional yang ditarikan para pemuda desa pada acara – acara tertentu. Dahulu para penari akan bergerak dengan lincah mengikuti gerakan bambu gila yang telah dimantrai oleh pawang. Untuk membuat tarian ini menjadi “gila” atau mampu mengendalikan manusia maka dalam tarian ini digunakan kekuatan magis yang berasal dari mantra yang diucapkan oleh pawang mulai dari pengambilan bambu hingga pada proses permainan dan semuanya menggunakan mantra. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan terdahulu, penelitian ini memiliki keunikan tersendiri yang menjadi ciri pembeda yakni penelitian ini menghubungkan teori tradisi lisan dan teori antropologi. Dimana tradisi lisan melihat pada bahasa verbal dan nonverbal untuk melihat bentuk dan isi mantra, sedangkan teori antropologi melihat pada bagian pandangan hidup dan nilai yang terkandung dalam ritual Salai Jin yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Gura Bunga.
8
G.
Landasan Teori Penelitian ini menerapkan perpaduan antara pendekatan tradisi lisan dan
pendekatan antropologi. Sejumlah konsep yang terkait dengan penelitian ini adalah: Konsep Fungsi, konsep Tradisi Lisan, Konsep Ritual, dan konsep Mantra yang diuraikan sebagai berikut: 1.
Konsep Fungsi Dalam bidang antropologi, salah seorang tokoh yang banyak berbicara tentang
fungsi adalah Bronislaw Malinowski. Konsep dasar fungsi yang dikemukakan Malinowski adalah segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Misalnya, kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan naluri manusia untuk tahu. 1 Selanjutya Malinowski membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi yaitu: 1. Fungsi sosial dari suatu adat pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah-laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat. 2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau 1
Koentjananingrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1. Jakarta: UI-Press. Hal, 171.
9
pranata lain untuk mencapai maksudnya seperti yang dikonsepsikan warga masyarakat bersangkutan. 3. Fungsi sosial dari suatu adat pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu. Konsep fungsi yang digunakan dalam kajian ini mengacu pada fungsi sosial dengan tingkat abstraksi pertama dan kedua yang berorientasi pada fungsi mantra yang berkaitan dengan perilaku individu, adat-istiadat, dan pranata sosial budaya yang dikonsepsikan oleh masyarakat setempat. Selanjutnya untuk menarik suatu hubungan antara unsur-unsur yang terkandung dalam suatu kebudayaan. Malinownski mengunakan learning theorynya Dollard yang mengatakan bahwa “proses belajar adalah tidak lain dari pada ulangan reaksi-reaksi sesuatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu kebutuhan naluri dari organisme tadi dapat dipuaskan. Menurut penulis, fungsi Bobeto dalam ritual Salai Jin juga merupakan bagian dari kebutuhan naluri dalam mencari kepuasan terhadap setiap individu baik manusia maupun Jin yang terlibat dalam ritual tersebut. 2.
Tradisi Lisan Menurut Lord (2000: 1) tradisi lisan sebagai sesuatu yang dituturkan dalam
masyarakat. Hal
ini
berarti bahwa unsur kelisanan bagi penutur dan unsur
mendengarkan bagi penonton menjadi kata kuncinya. Tol dan Pudentia
(1995: 2)
10
menambahkan bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, mitos, legenda dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut
hidup dan
kehidupan komunitas pemiliknya tradisi, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, pandangan ini menekankan pemahaman bahwa peneliti tradisi lisan dapat melakukan penelitian tradisi dan masyarakatnya. Pandangan ini yang kemudian menjadi sandaran bagi penulis dalam menganalisis ritual salai jin yang merupakan salah satu cakupan tradisi lisan yang berbentuk upacara ritual yang memilki pengetahuan tradisional yang disampaikan secara lisan. Secara umum tradisi lisan mempunyai empat fungsi penting. Pertama, tradisi lisan berfungsi sebagai sistem proyeksi (cerminan) angan-angan suatu kolektif, misalnya dalam masyarakat Jawa ada kepercayaan bahwa pada suatu masa “akan datang ratu adil”. Kepercayaan itu sebagai cerminan harapan, cita-cita tentang citra pimpinan yang ideal, adil, makmur dan berwibawah. Kedua, tradisi lisan berfungsi sebagai alat legitimasi pranata-pranata kebudayaan. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, ada kepercayaan bahwa “hutan dan pohon yang besar itu ada roh halus sebagai penunggunya, barang siapa yang menebangnya akan diganggu sama makhluk halus tersebut”. Tahayul itu sebenarnya dimaksudkan sebagai sarana agar masyarakat tidak merusak hutan dan pohon sebagai keseimbangan alam, yaitu sebagai penahan air dan penyejuk udara. Ketiga, tradisi lisan berfungsi sebagai sarana pendidikan. Pertunjukan wayang kulit, misalnya, sarat akan nilai kehidupan yang dapat diteladani. Cerita ludruk juga mengandung nilai kepahlawanan dan nilai kehidupan masyarakat kecil. Oleh karena itu wayang kulit dan ludruk digunakan sebagai media pendidikan. Dan Keempat
11
tradisi lisan berfungsi sebagai alat pemaksa atau pengontrol agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya. 2 Adapula beberapa karakteristik kelisanan yang disebutkan Ong (1989: 37-56) antara lain: pertama, aditif, yaitu gaya penuturan yang disesuaikan dengan pendengarnya; kedua, agregatif, yaitu menggunakan ungkapan yang bersifat menyatukan kelompok; ketiga, rendundan, yaitu menggunakan ungkapan yang diulang-ulang dan terasa berlebihan yang tujunannya untuk memudahkan ingatan; keempat, konservatif, yaitu memegang teguh nilai tradisional sebagai cara untuk mempertahankan tradisi lama yang dianggap bernilai tinggi; kelima yaitu dekat dengan dunia kehidupan manusia; keenam, agonostik, yaitu menjaga agar pengetahuan dan tradisi tetap kompetitif dan mampu bersaing dengan tradisi baru; ketuju, empatetis-partisipatori, yaitu belajar atau mengetahui dalam masyarakat tradisi lisan berarti terlibat langsung, menghormati, dan membentuk kesadaran bersama; kedelapan, homestatik, yaitu masyarakat budaya lisan berupaya membangun kesinambungan hidup, dan kesembilan, situasional, yaitu dalam masyarakat budaya lisan konsep-konsep yang berlaku lebih bersifat khas sesuai dengan situasi masyarakat setempat dan kurang abstrak. Setiap tradisi lisan memiliki bentuk dan isi. Unsur bentuk tradisi lisan dapat dikelompokkan ke dalam teks, ko-teks dan konteks. 3 Teks merupakan unsur verbal baik 2 Tradisi llisan sebagian lisan berbentuk campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain: (1) kepercayaan tradisional, (2) permainan rakyat, (3) adat istiadat, (4) upacara, (5) tari rakyat. Tradisi lisan material berbentuk bukan lisan. Genre ini dibedakan atas dua kelompok yaitu; (a) arsitektur rakyat, misalnya rumah adat, (b) kerajinan tangan rakyat, misalnya pakean adat, (c) makanan dan minuman tradisional, (d) obat – obatan tradisional. Dan tradisi lisan bukan materi antara lain; (a) gerak isyarat tradisional, (b) bunyi-bunyi isyarat seperti kerntongan untuk komunikasi (c) musik rakyat (Sukatman 2009; 6-7) 3 Sibarani, 2012. Kearifan Lokal. Hakikat, Peran dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Hlm : 241-242.
12
berupa bahasa yang tersusun ketat seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif. Ko-teks adalah keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik, dan unsur material lainnya; sedangkan konteks mensyaratkan bahwa tradisi lisan harus memiliki peristiwa tradisi lisan. Konteks itu berupa kondisi yang berkenaan dengan budaya, situasi sosial dan ideologi. Isi tradisi lisan berupa nilai atau norma yang dikristalisasi dari makna, maksud, peran dan fungsi. Nilai atau norma yang dapat digunakan menata kehidupan sosial itu disebut dengan kearifan lokal. Dengan menggunakan konsep tradisi lisan ini penulis akan mengungkapkan bentuk dan isi dari tradisi lisan Bobeto dalam ritual Salai Jin. Memanfaatkan tradisi lisan sebagai warisan budaya suatu komunitas baik bentuk maupun kandungan tradisi lisan di dalamnya sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi generasi berikutnya untuk membangun karakter dan identitas dalam rangka terciptanya kedamaian dan kesejahteraan suatu masyarakat. Ritual Salai Jin dibentuk oleh tradisi lisan verbal mantra- bobeto dan tradisi lisan non verbal yakni: tarian, musik dan elemen pendukung lainnya seperti pakaian, sarana dan prasarana pendukung yang memberikan makna ritual ini secara utuh. Jadi, untuk dapat menemukan nilai dan makna yang terkandung dalam konteks tradisi lisan, maka penulis tidak hanya membatasi data pada bobeto tetapi keseluruhan komponen yang mendukung ritual Salai Jin. Hal ini dilakukan agar nilai-nilai, norma dan pandangan hidup yang terkandung dalam ritual sebagai cermin budaya masyarakat tidak disalahtafsirkan.
13
3.
Mantra Mantra adalah karya sastra lisan berjenis dan berunsur puitis, berisi kata-kata
berupa jampi-jampi yang mengandung makna kekuatan gaib, misalnya, dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka dan sebagainya. Isi mantra dapat mengandung bujukan, kutukan atau tantangan yang ditujukan kepada lawannya untuk mencapai suatu maksud, melalui kekuatan-kekuatan yang ada di dalam maupun di belakangnya, diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain 4. Bobeto yang dilafalkan dalam ritual Salai Jin diyakini memiliki kekuatan gaib, sebab setiap bobeto yang dilafalkan oleh Sowohi dipercayai akan mengeluarkan efek sesuai dengan keinginan mereka. Selain itu, bobeto yang dilafalkan mengandung unsur puitis. Isi dari mantra tersebut juga bermacam-macam tergantung niat atau bentuk ritual apa yang dilakukan, misalnya ritual yang dilakukan adalah syukuran karena telah menyembuhkan anggota masyarakat dari penyakit yang dideritanya, sehingga, bobeto yang digunakan adalah bobeto pengobatan. Menurut Yelle (2003:11) jika kita ingin mengenal apa itu mantra dan bagaimana mantra itu bekerja maka, kita mulai dengan mengamati karakteristik formal mantra terlebih dulu. Ia menjelaskan bahwa mantra adalah suatu pengucapan yang berulang, bahkan berkali-kali. Struktur internal sebuah mantra sering menunjukkan berbagai bentuk pengulangan atau perangkat puitis mirip dengan yang ditemukan dalam mantra, nyanyian dan ritual pada budaya lainya. Perangkat ini meliputi aliterasi (pengulangan
4 Nurhadi, Wiyatmi, Sugi Iswalono, Maman Suryaman, Yeni Artantri. 2012. Prosiding, Sastra, Kultur dan Subkultur. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni UNY. Hlm: 146.
14
bunyi konsonan dalam baris- baris karya) terutama dari iramanya, dan kosa-kata tampaknya tidak masuk akal lainnya, direduplikasikan atau kata-katanya berulangulang. 5 Mantra merupakan media manusia untuk berhubungan dengan kekuatan yang gaib. Namun tidak setiap orang dapat berhubungan dengan kekuatan gaib itu. Seseorang yang memerlukan bantuan dari kekuatan gaib meminta pertolongan seorang dukun atau pawang. Dukun dan pawang inilah yang nantinya akan berhubungan dengan kekuatan gaib dengan cara membacakan (melafalkan) mantra tertentu sesuai dengan maksud dan tuuan yang ingin dicapai.6 4.
Ritual Ritual adalah suatu bentuk upacara atau perayaan (celebration) yang berhubungan
dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci. Pengalaman itu mencakup segala sesuatu yang dibuat atau dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan yang “tertinggi” dan hubungan atau perumpamaan itu bukan sesuatu yang sifatnya biasa atau umum, tetapi sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa sehingga manusia membuat suatu cara yang pantas guna melaksanakan pertemuan itu yang dimunculkan dalam bentuk ritual tersebut.7 5 Robert A. Yelle. 2002. Explaining Mantras: Ritual, rhetoric, and the dream of a natural language in hindu tantra. New York: Routledge. Hlm: 11 6 Bakar, Jamil. Mursal Esten, Agustar Surin, Busri. 1981. Sastra Lisan Munangkabau: Pepatah, Pantun dan Mantra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm: 10 7 Hadi, Y. Sumandiyo. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Pustaka. Hlm: 31.
15
Ritual adalah agama dalam tindakan, berupa drama penghidupan kembali peristiwa jaman mitis, yaitu anggapan kebenaran tentang awal segala sesuatu. Ritual merupakan pengulangan peristiwa, ketika Tuhan menjadikan alam beserta isinya, yang dinarasikan menjadi mitos, seperti genesis. Ritual seperti misa dalam katholik, drama exodus passover pada orang Yahudi, semedi yoga pada orang Hindu-Buddha dan Jawa menjadi potret lukisan penghidupan kembali jaman mistis itu. Ritual keagamaan merupakan sikap penghormatan kepada Daya Hidup Asali, disampaikan dengan tingkah laku tertentu dengan ungkapan nurani melalui doa atau mantra sebagai pertanda pengakuan terhadap yang Maha Suci itu. Ritual dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu: Pertama, tindakan magic, yang berkaitan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis. Kedua, tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini. Ketiga, ritual konstitutif yang mengungkapkan atau yang mengubah hubungan sosial dengan pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini kemudian upacara-upacara menjadi khas. Keempat, ritual faktitif yang meningkatkan produktifitas dan kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahtraan materi suatu kelompok. 8
8 Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta. Kanisius. Hlm: 175.
16
5.
Hubungan Antara Ritual Dengan Tradisi Lisan Wujud dari tradisi lisan terbagi menjadi: 1. Tradisi berkesusastraan lisan seperti menggunakan bahasa rakyat, tradisi
penyebutan ungkapan tradisional, tradisi bercerita rakyat, melantunkan nyanyian rakyat dan menambatkan gelar kebangsawan. 2. Tradisi pertunjukan dan permainan rakyat seperti kepercayaan rakyat, teater rakyat, permainan rakyat, tari rakyat adat istiadat upacara atau ritual dan pesta rakyat. 3. Tradisi teknologi tradisional seperti kerajinan tangan rakyat, ketrampilan perhiasan adat, ketrampilan menjahit pakaian, pengolahan makanan dan minuman rakyat dan peramuan obat –obatan tradisional. 4. Tradisi pelambangan atau simbolisme seperti tradisi gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunilasi rakyat. 5. Tradisi musik rakyat seperti tradisi mempertunjukkan permainan gendang, seruling dan alat – alat musik lainnya. Kepercayaan pada sesuatu yang disakralan membuatnya diperlakukan secara khusus. Dalam antropologi 9 upacara ritual dikenal dengan istilah ritus. Ritus dilakukan dengan tujuan yang berbeda, misalnya: (a) untuk mendapatkan berkah atau rezeki dari suatu pekerjaan seperti upacara sakral ketika turun ke sawah, (b) untuk menolak bahala dan juga untuk mengobati penyakit seperti yang dilakukan orang Tidore. Pengobatan
9 Bustaniddin Agus. 2007. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: Persada.. Hlm: 96-97.
17
dilakukan dengan menggunakan kekuatan gaib dan dikerjakan oleh Sowohi atau Shaman. H.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi, dimana penulis melakukan
penelitian lapangan dan melakukan kontak langsung dengan masyarakat Gura Bunga. adapun data yang digunakan adalah data kualitatif dimana data lapangan dideskripsikan sesuai fakta, dengan penggambaran yang sistematis. Menurut Ahimsa-Putra (2009: 18) data kualitatif tidak berupa angka tetapi berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan, dari sesuatu atau gejala, atau pernyataan mengenai hubunganhubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu ini bisa berupa pola- pola perilaku, atau gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, bisa juga peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat. Sesuai dengan tujuan penelitian, metode ini diharapkan mampu mendeskripsikan bentuk dan fungsi Ritual Salai Jin secara jelas sesuai hasil temuan dalam kehidupan Masyarakat Gura Bunga. Pendekatan etnografi digunakan untuk mendeskripsikan bentuk dan fungsi bobeto sebagai bagian dari kebudayaan Masyarakat Tidore melalui Ritual Salai Jin yang dilakukan oleh Sowohi masyarakat Kelurahan Gura Bunga, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara. 1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Masyarakat Tidore pada umumnya mengetahui adanya ritual Salai Jin namun,
tidak semua masyarakatnya mengetahui cara, fungsi dan kegunaan dari ritual tersebut. Untuk dapat mengetahui bentuk dan fungsi ritual ini secara terperinci, penulis terlebih
18
dahulu melakukan penelitian awal di beberapa wilayah untuk memperoleh gambaran di mana saja masyarakat yang masih sering melakukan ritual ini. Dari penelitian awal diperoleh gambaran kelurahan-kelurahan yang masih melaksanakan ritual Salai Jin yaitu: (a) Kelurahan Gura Bunga yang berada tepat di kaki gunung Kie Matubu. Kelurahan ini jarak sekitar 15 km dari pusat kota Tidore yaitu Soa-Sio dan Kelurahan Tomalou. (b) Kelurahan Soa-Sio yang berada di pusat kota Tidore, (c) Kelurahan Tomalou terlatak di Tidore Selatan, (d) Kelurahan Rum yang terletak di Tidore Utara. Observasi awal juga menemukan bahwa masyarakat yang paling sering melakukan ritual Salai Jin dengan kuantitas adalah masyarakat yang berada di Kelurahan Gura Bunga. Selain itu, pemimpin tertinggi ritual tersebut merupakan salah satu masyarakat Kelurahan Gura Bunga, sehingga dapat dikatakan bahwa ritual Salai Jin berpusat di Kelurahan Gura Bunga. Oleh karenanya, ditetapkan pusat penelitian ini di Kelurahan Gura Bunga dengan pertimbangan sebagai berikut: Pertama, merupakan daerah yang pola kehidupannya masih tradisional baik dari segi kepercayaan yaitu mempercayai dunia Papa se tete atau Kornono (dunia kosmologi) maupun pranata sosial yang belum terkontaminasi dengan masyarakat modern. Kedua, masyarakat masih tergolong homogen dan tidak mudah menyerap kebudayaan luar walaupun daerah ini merupakan salah satu tempat wisata di Kota Tidore Kepulauan.
Ketiga, masyarakat masih
menjalankan dan menerapkan adat istiadat sebagai panutan dalam kehidupannya. Keempat, Ritual Salai Jin berpusat di kelurahan ini. artinya setiap ritual Salai Jin yang dilakukan oleh kelurahan lain haruslah sepengetahuan Sowohi Kelurahan Gura Bunga. Penelitian lapangan dilakukan pada tanggal 12 September sampai 29 November 2014. Observasi ini dilakukan dengan dua tahapan yakni: pada tanggal 12 September
19
sampai 20 September penulis melakukan observasi awal untuk mengetahui adanya ritual Salai Jin dan daerah mana yang masih melakukan ritual dan memegang teguh nilai-nilai dari ritual ini. Hal ini dilakukan karena tidaklah dipungkiri bahwa persebaran agama maupun ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi yang semakin berkembang perlahanlahan telah mengikis tradisi adat yang diwariskan para leluhur. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti pada saat melakukan observasi yaitu: wawancara, catatan lapangan, tinjauan pustaka dan melakukan observasi partisipan (terlibat dalam ritual Salai Jin sebagai penonton). Pada tanggal 28 September sampai 29 November, pada observasi yang kedua ini, penulis melakukan kontak langsung lebih lama dengan cara menetap di salah satu rumah masyarakat. Hal ini dilakukan agar penulis mengetahui dengan baik pandangan hidup masyarakat dan juga dapat terlibat sebagai partisipan dalam ritual Salai Jin agar data yang diperoleh utuh, alami dan aktual. 2.
Teknik Pengumpulan Data Setiap penelitian yang dilakukan langsung di lapangan memiliki kesulitan atau
kendala tersendiri. Kendala yang paling menonjol dalam penelitian ini adalah bobeto yang memiliki nilai kesakralan dan jika diberitahukan kepada orang lain dipercayai dapat mengurangi kekuatan atau penyimpangan fungsi dari bobeto tersebut. Akibatnya, narasumber sulit untuk bekerja sama. Untuk mengatasi hambatan tersebut, selain bersandar pada informasi lisan narasumber, penulis juga mengandalkan data bobeto yang pernah terdokumentasi dalam penelitian Marasabessy (2014). Adapun teknik
20
pengumpulan data yang dilakukan di lapangan adalah: wawancara, partisipan tak langsung, studi dokumen yang dijabarkan sebagai berikut: 1.
Wawancara Dalam penelitian ini, wawancara merupakan proses pencarian yang mendalam
tentang diri subjek. Pewawancara bebas bertanya tentang masa lalu untuk menentukan latar belakang masalah dan tentang masa kini dengan tujuan lebih memahami, menginterpretasikan dan menggunakannya dalam memprediksi masa depan. Wawancara yang demikian dapat membantu peneliti memahami masalah dalam konteks yang lebih luas yang menyangkut aspek – aspek sosial budaya dan lingkungannya . Menurut Spradley (2007) ketika kita mempelajari wawancara etnografis sebagi peristiwa percakapan, maka kita akan menemukan banyak ciri yang sama dengan ciriciri percakapan persahabatan. Dalam kenyataan, seorang etnografer berpengalaman seringkali mengumpulkan banyak data melalui pengamatan terlibat dan percakapan sambil
lalu
seperti
layaknya
mewawancarai orang-orang tanpa
percakapan
persahabatan.
Etnografer
mungkin
kesadaran orang-orang itu dengan cara sekedar
melakukan percakapan biasa, tetapi di dalam percakapan itu etnografer memasukkan beberapa pertanyaan etnografis. Wawancara dapat dilakukan dengan individu tertentu untuk mendapatkan data atau informasi tentang masalah yang berhubungan dengan satu subjek tertentu atau orang lain. Individu partisipan wawancara ini sering disebut informan, yaitu orang yang memiliki keahlian atau pemahaman terbaik mengenai suatu hal yang ingin diketahui. Sebaliknya, wawancara dapat dilakukan dengan individu
21
tertentu untuk mendapatkan data atau informasi tentang dirinya sendiri, seperti pendirian, pandangan, persepsi, sikap atau perilaku. Data wawancara menyangkut topik yang berkaitan dengan ritual Salai Jin dan pandangan masyarakat. Wawancara juga meliputi mekanisme pelaksanaan ritual tersebut baik itu, dari mana asal-usul Jin, ritual apa saja yang melibatkan Jin, apa tujuan ritual Salai Jin, apa kegunaan dan fungsi mantra dalam ritual tersebut. Informan penelitian ini adalah pemilik budaya seperti, Sowohi (pimpinan tertinggi dalam ritual Salai Jin), kelompok yang melakukan Ritual Salai Jin, pemuda sebagai pewaris budaya tersebut, dan tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap memahami kondisi substansi yang diteliti. Adapun masyarakat yang dijadikan narasumber dalam penelitan ritual Salai Jin adalah orang-orang yang mengetahui dengan mendalam ritual Salai Jin baik dari segi prosesi maupun tuturan mantra serta fungsi dan manfaatnya sehingga nara sumber yang tepat adalah mereka yang menjadi Sowohi. Seperti paparan sebelumnya, bahwa data (dalam hal ini bobeto) dianggap sakral maka dari 10 Sowohi yang dijadikan nara sumber hanya 3 yang dapat bekerja sama memberikan informasi. Selain Sowohi yang dijadikan sebagai narasumber penulis juga melakukan wawancara terhadap beberapa informn yang mengetahui substasi penelitian yaitu: a) Abdullah Husain (57 tahun), selaku Sowohi Marga Mahifa yang bertempat tinggal di Kelurahan Gura Bunga. Abdullah bekerja sebagai Lurah di Kelurahan Gura Bunga. Saat melakukan wawancara, peneliti sempat mendapat peringatan bahwa bobeto terbagi menjadi dua bagian, yaitu bobeto yang bisa diceritakan atau diberitahukan dan bobeto yang tidak boleh diketahui. “Di sini di Tidore ini ada yang namanya Kornono
22
dan Sita-Sita (siang dan mala atau sareat dan hakekat)”. Kornono artinya malam yang dipresepsikan masyarakat sebagai suatu hal yang tidak bisa diketahui orang lain, sedangkan sita-sita artinya siang yang dipresepsikan sebagai suatu hal yang bisa diketahui orang lain. b) Amin Faruk (61 Tahun), dari Kelurahan Soa-Sio. Selain sebagai Sowohi, beliau juga berprofesi sebagai Sekretaris Kesultanan Tidore. Sebagai sekretaris Kesultanan Tidore, Amin mengetahui dengan baik pemakaian bobeto dalam ritual Salai Jin sehingga sangat membantu penulis memperoleh data yang dibutuhkan. Menurut informan, perkembangan ilmu pengetahuan banyak mempengaruhi budaya masyarakat, sehingga tidak semua Sowohi mengingat dengan baik bobeto. Selain itu ritual bobeto juga sudah jarang dilakukan dikarenakan masyarakat telah menganut agama samawi (Islam dll), kecuali di Kelurahan Gura Bunga yang menjadi pusat Ritual Salai Jin. Selanjutnya informan mengatakan kesakralan bobeto tidak menjadikannya untuk tidak dapat
diberitahukan
kepada
orang lain,
melainkan
dikarenakan
keterbatasan
pengetahuan dari Sowohi yang menjadi alasan untuk memberikan data bobeto yang utuh. c) Salim Togubu (56 tahun), Sowohi Togubu di Kelurahan Tomalou. Selain berprofesi sebagai Sowohi, informan bekerja sebagai petani. Dalam wawancara dengan informan, penulis menanyakan pertanyaan yang sama seperti Sowohi lainnya yang ada di Kelurahan Gura Bunga. Hal ini dilakukan untuk melihat kesamaan bobeto dalam ritual Salai Jin. Dari beberapa informasi yang disampaikan informan kepada penulis, bobeto ternyata memiliki kesamaan dengan yang digunakan Sowohi yang ada di Gura Bunga itu sendiri. seperti bobeto yang berhubungan dengan pengobatan, menjaga diri dan pemanggilan Jin.
23
d) Om Idham (54 tahun), sebagai Kapita pada sowohi Mahifa. Fungsinya dalam ritual salai jin adalah untuk melakukan tarian setelah dirasuki oleh jin. Kapita seperti yang dijelaskan pada bab tiga. Idham adalah seorang anggota dalam marga mahifa yang kesehariannya sebagai seorang petani. e) Om Saha (55 tahun), sebagai tokoh masyarakat dan anggota komunitas dalam ritual salai jin pada Kelurahan Gura Bunga Kota Tidore Kepulauan. Om saha sebagai petani. Dalam wawancara dengan informan, penulis juga menanyakan tentang sistem kepercayaan masyarakat Gura Bunga terhadap dunia gaib yang selama ini diyakini mampu menyembuhkan sakit yang dideritanya. f) Om Badar (55 tahun), sebagai tokoh masyarakat dan anggota komunitas dalam ritual salai jin pada Kelurahan Gura Bunga Kota Tidore Kepulauan. Om saha sebagai petani. Dalam wawancara dengan informan, penulis juga menanyakan tentang sistem kepercayaan masyarakat Gura Bunga terhadap dunia gaib sebagai sumber kepercayaannya. g) Saleha (43 tahun), sebagai anggota komunitas salai jin yang juga sebagaiibu rumah tangga di Kelurahan Gura Bunga. Disini penulis menanyakan tentang tempat dan batas-batas wilayah yang menjadi daerah kesakralan yang diyakini tempat tinggal para jin. h) Wahab Abdullah (56 tahun), sebagai tokoh agama juga sebagai anggota dalam ritual salai jin di Kelurahan Gura Bunga. Dalam wawancara, penulis menanyakan tentang hubungan kepercayaan manusia dengan alam gaib dan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT).
24
2.
Pengamatan Terlibat Ketika pertama kali penulis melakukan kunjungan ke lokasi penelitian yaitu
Kelurahan Gura Bunga Kota Tidore Kepulauan. penulis disambut dengan ramah oleh para staf
Lurah dan Lurah termasuk tokoh masyarakat. Disana penulis sempat
ditawarkan untuk menginap di beberapa tempat selama penulis melakukan penelitian, hanya saja tawaran tersebut ditolak oleh penulis karena penulis memiliki sanak keluarga yang sebelumnya telah menawarkan untuk tinggal bersama mereka di kelurahan Fola Rora bertepatan di sebelah Kelurahan Gura Bunga. Pada hari pertama waktu penulis melakukan kunjungan dengan memperkenalkan diri serta tujuan dari penelitian tersebut, penulis mendapatkan respon yang baik dari masyarakat serta Sowohi dan anggota dalam komunitas tersebut. Keesokan harinya, penulis mengunjungi rumah Lurah karena penulis mendapatkan informasi dari warga bahwa Lurah Gura Bunga adalah seorang Sowohi (pimpinan ritual Salai Jin) di Kelurahan Gura Bunga. Dari situ kemudian penulis melakukan wawanara dengan Lurah Gura Bunga Abdullah (57 tahun). Abdullah banyak memberikan data tentang Salai Jin termasuk beberapa Bobeto diantaranya. Hanya saja untuk mendapatkan Bobeto tersebut penulis harus berusaha keras menggali dan membuka wacana yang mendekati ke arah pelafalan atau memancing agar informan mau melafalkan Bobeto tersebut. Memang harus diakui bahwa untuk mendapatkat data tentang Bobeto dalam ritual Salai Jin tidaklah mudah. Bobeto dalam ritual Salai jin menurut orang Tidore adalah sesuatu yang sifatnya suci atau sakral sehingga untuk mempublikasikan Bobeto tersebut tidak diperbolehkan. Memang secara umum Bobeto dalam ritual salai Jin juga
25
tidak bisa dimiliki oleh orang lain, sebab Bobeto diwariskan berdasarkan garis keturunan Sowohi dan Jin. Secara garis besar, data yang dibutuhkan penulis ternyata masih sangat kurang karena banyaknya kesulitan dan kendala. Salah satunya adalah tidak boleh di publikasinya Bobeto tersebut. Kendala berikutnya adalah waktu untuk wawancara dengan Sowohi sangat terbatas sehingga sebagian data wawancara harus dilewati. Selebihnya data didukung dengan pengamatan dalam prosesi ritual Salai Jin. Karena data yang didapatkan penulis sangat kurang, maka penulis meneruskan pencarian ke informan lainnya. Kali ini penulis bertemu dengan seorang Sowohi yaitu Salim Togubu (56 Tahun) yang bertempat tinggal di Kelurahan Tomalou. Dari hasil penelitian tentang Bobeto dalam ritual Sali jin ternyata peneliti menemukan ada kesamaan dalam Bobeto tersebut. Disini kemudian, penulis mengumpulkan semua data baik itu data yang dihasilkan dari wawancara, observasi, partisipasi dan data dari dokumen lainnya seperti buku dan sebagainya. Pada hari-hari berikutnya penulis kembali ke Kelurahan Gura Bunga untuk melakukan wawancara dengan beberapa anggota masyarakat yang terlibat dalam ritual Salai Jin. Penulis melakukan wawancara terkait dengan prosesi ritual salai jin dari awal hingga akhir. Selanjutnya penulis juga ikut menyaksikan dalam prosesi ritual tesebut. Wawancara terkait dengan ritual Salai Jin penulis melakukan wawncara sekitar 5 anggota masyarakat diantaranya: Abdullah Husain (57 Tahun) selaku Lurah sekaligus Sowohi Mahifa dalam komunitas tersebut, Om Idham selaku Kapita (54 Tahun), Om Saha (55 Tahun) selaku anggota dalam komunitas Salai Jin, Om Badar (55 Tahun) anggota dan Saleha (43 Tahun) anggota.
26
Data-data yang terkait dengan sistem sosial dan sistem kepercayaan serta pandangan masyarakat terhadap dunia gaib didapatkan dari hasil wawancara dengan anggota masyarakat dan juga Sowohi serta tokoh-tokoh agama dan tokoh adat seperti Abdullah Husain selaku Sowohi sekaligus tokoh adat pada masyarakat Gura Bunga. Om Wahab Abdullah (56 Thanun) selaku tokoh agama pada masyarakat gura Bunga. 3.
Analisis Data Setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul, maka tahapan selanjutnya adalah
mengolah dan menganalisa data tersebut untuk menjawab rumusan penelitian yang telah diajukan sebelumnya. Analisis data dalam penelitian ini dimungkinkan dengan beberapa langkah yakni: 1. Data yang telah direkam akan ditranskripsikan atau dipindahkan dari bentuk rekaman ke bentuk tulisan. 2. Transkripsi isi bobeto dari rekaman ke tuliasan dan mentranslate dari bahasa daerah kedalam bahasa Indonesia 3. Menganalisis ritual salai jin sebagai sebuah bentuk tradisi lisan sesai yang dipaparkan dalam landasan teori diatas. 4. Menganalisis fungsi yang ada pada Bobeto dalam ritual salai jin. 5. Mendeskripsikan pandangan hidup dan nilai-nilai yang terkandung dalam ritual slai jin. 4.
Studi Dokumentasi Studi dokumen sangatlah penting bagi penulis, karena dengan membaca dokumen-
dokumen tertulis berupa, laporan hasil penelitian maupun buku dan sumber lainnya yang dianggap relevan dengan ritual Salai Jin dapat melengkapi data yang diberikan oleh para
27
nara sumber. Data yang penulis dapatkan dari buku dan beberapa sumber tersebut, setelah dikonfirmasikan ternyata mempunyai kemiripan dengan bobeto yang digunakan pada ritual salai Jin pada umumnya. I.
Sistematika Penyajian Bab 1, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan teoritis, konsep – konsep yang digunakan, metode penelitian, lokasi penelitian, sistematika penyajian tesis dan teknik pengumpullan data, yang terdiri dari pengamatan, wawancara, penentuan informan, dan studi dokumentasi. Bab 2, mendeskripsikan masyarakat Tidore secara umum. Pada bab ini diuraikan sejarah tentang Tidore, adat istiadat, sistem sosial dan masyrakatnya, dan sistem kepercayaannya, serta stratifikasi sosial dan kekuasaan dan. Bab 3, berisi pengertian dari Salai Jin, tujuan, dan bagaimana cara pelafalan Bobeto yang dilakukan oleh Sowohi. Bab 4, berisi Bobeto dalam ritual Salai Jin sebagai bagian dari tradisi lisan, dan fungsi Bobeto dalam ritual Salai Jin. Serta apa keguanaan Bobeto, ada berapa kategori Bobeto dalam ritual Salai Jin, dalam ritual Salai Jin dilafaskan Bobeto apa saja dan apakah Bobeto bisa gagal ataukah sesalu saja berhasil, semuanya akan dijelaskan dalam bab ini. Bab 5, dipaparkan pandangan hidup masyarakat Gura Bunga sebagai dasar kepercayaan dalam kehidupan bersama. Bab 6, penutup, pada bab ini akan disimpulkan hasil penelitian berupa kesimpulan dari peneliti yang perlu untuk dipertimbangkan berdasarkan hasil penelitian.