BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pesantren merupakan sistem pendidikan yang sudah berkembang jauh sebelum negeri ini merdeka dan sebelum kerajaan Islam berdiri. Pendidikan yang sering disebut tradisional ini bersama madrasah dan pendidikan swasta nasional lainnya, telah berjasa besar di dalam menumbuhkan masyarakat swadaya dan swasembada masyarakat. Inilah yang di kemudian hari bersama kekuatan sosial lainnya menjadi tulang punggung dan basis perjuangan kemerdekaan1. Pengembangan apapun yang dilakukan dan dijalani oleh pesantren tidak mengubah ciri pokoknya sebagai lembaga pendidikan dalam arti luas, maksudnya tidak semua pesantren menyelenggarakan madrasah, sekolah, dan kursus seperti yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan di luarnya2. Pesantren termasuk lembaga pendidikan Islam yang formal. Pesantren memiliki metode dan model pembelajaran yang sudah permanen. Pesantren sekarang tidak seperti pesantren dalam persepsi cliford geertz tiga puluh tahun lalu, yang dianggap tertutup, esoteris, dan ekslusif. Dewasa ini hampir seluruh
1
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002),
180. 2
M. Dian Nafi Abd A’la dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2007), 21.
1
2
pesantren menyelenggarakan jenis pendidikan formal yaitu madrasah, sekolah umum, dan perguruan tinggi. Sistem pendidikan pesantren didasari, digerakkan, dan diarahkan oleh nilai-niai kehidupan yang bersumber pada ajaran dasar Islam. Ajaran Islam ini menyatu dengan struktur kontekstual atau realitas sosial yang digumuli dalam hidup keseharian. Hal inilah yang mendasari konsep pembangunan dan peran kelembagaaan pesantren3. Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam, dengan menyediakan kurikulum yang berbasis agama. Pesantren diharapkan mampu melahirkan alumni yang kelak diharapkan mampu menjadi figur agamawan yang tangguh dan mampu memainkan dan membiasakan peran propetiknya pada masyarakat secara umum, artinya akselerasi mobilitas vertikal dengan perjanjian materi-materi keagamaan menjadi prioritas untuk tidak mengatakan satu-satunya prioritas dalam pendidikan pesantren4. Sistem pendidikan pesantren secara sederhana dikemukakan oleh Manfred mengutip pendapat Kamala Ghasin, bahwa secara umum tujuan pesantren adalah untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin akhlak dan keagamaan. Kemudian Madjid menyatakan bahwa tujuan pendidikan pesantren berada sekitar terbentuknya manusia yang memiliki kesadaran setinggi-tingginya akan bimbingan agama Islam yang bersifat menyeluruh dan dilengkapi dengan kemajuan setinggi-tingginya untuk mengadakan respons 3 4
Jamaludin Malik, Pemberdayaan Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), 4 Amin Headari, dkk, Masa Depan Pesantren (Jakarta: IRD Press, 2006), 127.
3
terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada5. Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara itu, sebagai suatu komunitas pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fiddin yang mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad SAW sekaligus melestarikan ajaran Islam6. Sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-nilai keIslaman dengan titik berat pada pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri yang belajar pada pesantren tersebut yang diharapkan dapat menjadi orang-orang yang mendalam pengetahuan keIslamannya kemudian, mereka dapat mengajarkannya kepada masyarakat, di mana para santri kembali setelah selesai menamatkan pelajarannya di pesantren, sejatinya penyelenggaraan pendidikan di pesantren memiliki nilai khusus dan lebih,
5 6
dibandingkan pada lembaga-lembaga pendidikan pada
Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam Di Indonesia (Malang: UMM, 256). http://www.pk-syahtera.org/v2/main.php?op=isi dan id : 2948
4
umumnya. Karena pendidikan di pensantren mempunyai orientasi yang lebih dalam menanamkan sistem etika kepada para santri.7 Sistem pendidikan pesantren wajib dipelihara dan dipertahankan keberadaanya karena lembaga ini telah terbukti mampu mencetak para kiai, ulama, astatidz, dan sejenisnya. Lahirnya peraturan pemerintah No. 55 tahun 2007 merupakan peluang sekaligus tantangan. Peluang karena PP tersebut telah mengakomodir keberadaan pendidikan pesantren, sedangkan tantangan yang dihadapi adalah bagaimana pengasuh pesantren dan pengelola poendididkan secara arif dalam merespon pemberlakuan PP tersebut. Pembahasan tentang pendidikan pesantren sangat diminati bagi siapa saja apalagi kalau digabungkan dengan PP No. 55 tahun 2007. Berdasarkam paparan diatas, peneliti merasa perlu mangkaji dan meneliti tentang “EKSISTENSI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PP NO. 55 TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN”.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang peneliti diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana eksistensi sistem pendidikan pesantren sebelum PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan ?
7
81.
Amin Headari, dkk, Pesantren dan Madrasah Diniyah (Jakarta: Diva Pustaka, 2006),
5
2. Bagaimana eksistensi sistem pendidikan pesantren menurut PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan ? 3. Bagaimana implikasi PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan terhadap perkembangan sistem pendidikan pesantren ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam peneliti ini adalah: 1. Untuk menjelaskan eksistensi sistem pendidikan pesantren sebelum PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. 2. Untuk menjelaskan eksistensi sistem pendidikan pesantren menurut PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. 3. Untuk menjelaskan implikasi PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan terhadap perkembangan sistem pendidikan pesantren.
D. Manfaat Kajian Manfaat yang dapat diambil dari kajian ini adalah : 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam menentukan gambaran tentang eksistensi sistem pendidikan di pesantren yang sekaligus dapat memperkaya khazanah pengetahuan dalam bidang pendidikan.
6
2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis secara pribadi khususnya lembaga pendidikan secara umum dan bagi masyarakat luas.
E. Landasan Teori Pendidikan adalah upaya pengembangan potensi atau sumber daya insani telah mampu merealisasikan diri (self realitation), menampilkan diri sebagai pribadi yang utuh (pribadi muslim). Tercapainya self realitation yang utuh
ini
merupakan
tujuan
umum
pendidikan
Islam
yang
proses
pencapaiannya melalui berbagai lingkungan atau masyarakat secara formal, non formal, maupun informal.8 Di sini pesantren merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi. Ia menjadi benteng pertahanan sekaligus pusat penyiaran (dakwah) Islam. Tidak ada data yang pasti tentang awal kehadiran pesantren di nusantara. Baru setelah abad ke -16 diketahui bahwa terdapat ratusan pesantren yang mengajarkan kitab kuning dalam berbagai bidang ilmu agama seperti fiqih, tasawuf, dan akidah. Dalam perkembangannya, pesantren mencatat kemajuan dengan dibukanya pesantren putri dan dilaksanakannya sistem pendidikan madrasah yang mengajarkan pelajaran umum. Eksistensi pesanren menjadi istimewa
8
Abu Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), 63.
7
karena ia menjadi pendidikan alternatif dari pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Pesantren menjadi tempat berlabuhnya umat Islam yang tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah9. Dengan bermodalkan pesantren, para kiai atau ulama telah memainkan peran sosial kulturanya, sehingga lembaga ini mampu memperlihatkan eksistensi dan kebesaran pondok pesantren dalam perjalanan sejarahnya. Bahkan para ahli sosial kebudayaan seperti Geerzt, Hirokoshi, dan Dhofir mengemukakan bahwa para kiai telah memainkan peran menjadi dalang budaya (cultural broker) dan sebagai agen perubahan yang aktif selektif. Mereka juga berpendapat bahwa pesantren dan kiai bukanlah sesuatu yang stagnant (mandzk), tapi berubah sejalan dengan budaya dari luar yang positif dan meninggalkan budaya yang negatif. Pondok pesantren dipandang pula menjadi salah satu lembaga sosial independen alternatif dalam bidang etos ekonomi dan visi moral yang dipimpin kiai bagi suatu perubahan. Dengan berkembangnya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, pesantren menyediakan layanan pendidikan Islam bagi para santrinya mulai dari pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi10. Pesantren atau pondok adalah lembaga yang dapat dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan dan selanjutnya ia dapat merupakan bapak dari pendidikan Islam. Dari segi
9
http://www.pesantren
virtual.com/index.php/seputar-pesantren/1160-masa-depan-
pesantren. 10
http://pesantren kranji.net/situs/index.php?option=com-content dan task=view dan id=53 dan itemid=1.
8
historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keIslaman tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigeneous) sebab lembaga serupa pesantren sebenarnya sudah ada sejak masa Hindu dan Budha. Dalam sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia agaknya tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah menjadi local genius. Di kalangan umat Islam sendiri pesantren telah dianggap sebagai modal institusi keilmuannya yang oleh Martin Van Brusnessen dinilai sebagai salah satu tradisi agung (great tradition). Pesantren
juga
memainkan
hubungan
yang
intraktif
dengan
masyarakat, bahkan pesantren dapat memainkan dirinya sebagai cultural broker, meninjau istilah Clifford Gertz.11 Ini senada dengan komentar Ziemek, sebagaimana dikutip oleh Depag RI pesantren sebagai lembaga pergulatan spiritual pendidikan dan sosialisasi yang kuno dan sangat heterogen menyatakan sejarah pedagogik kehadian dan tujuan pembangunan sekaligus.
F. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan dan jenis kajian Dalam kajian ini digunakan pendekatan filosofis paedagogik dengan berfikir kritis evaluatif dan kontekstual. Peneliti mencoba menganalisis eksistensi sistem pendidikan pesantren PP No. 55 tahun 2007 Sedangkan jenis penelitian dalam kajian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang objek utamanya 11
Fadjar. Malik, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta, Dadjar Dunia, 1999), 8.
9
adalah buku-buku atau sumber kepustakaan lain. Maksudnya, data-data dicari dan ditemukan melalui kajian pustaka dari buku yang relevan dengan pembahasan12. 2. Sumber data Sumber data yang dijadikan bahan-bahan dalam kajian ini merupakan sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan yang dikategorikan sebagai berikut : a. Sumber data primer, merupakan bahan utama atau rujukan utama dalam mengadakan suatu penelitian untuk mengungkapkan dan menganalisis penelitian tersebut. Adapun data primer yang digunakan adalah PP No. 55 Tahun 2007 dan eksistensi sistem pendidikan pesantren. b. Sumber data sekunder, yaitu buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh lain yang berkaitan dengan masalah dalam kajian ini, yaitu : 1) Abdul Munirmuhan, Nalar Spiritual Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacara, 2002. 2) Dian Nafi’, Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2007. 3) Kozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam Di Indonesia. Malang: UMM, 2006. 4) Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Madya, 2004. 12
1994), 23.
Hadari Nawawi, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers,
10
5) Toto Suharto, dkk. Rekonstruksi dan Modernisasi Lembaga Pendidikan Islam. Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2005. 6) Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan LembagaLembaga Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Grassindo, 2001. 7) Jamaluddin Malik, Pemberdayaan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005. 3. Teknik pengumpulan data Dalam skripsi ini peneliti menggunakan tehnik pengumpula data dokumentasi kepustakaan yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, agenda, dan lain-lain. Dalam menggunakan metode dokumentasi ini, peneliti memegang chek-list untuk mencatat variabel yang sudah ditentukan. Apabila terdapat atau muncul variabel yang dicari, maka peneliti tinggal membubuhkan tanda chek atau talldi tempat yang sesuai untuk mencatat hal-hal yang bersifat bebas atau belum ditentukan dalam daftar variabel peneliti dapat mengguakan kalimat bebas.13 4. Analisis data Dalam menganalisa data, penulis menggunakan analisa kualitatif berupa content analisis (analisa isi teks) atau deskripsi anaisis yaitu
13
Suharsimi Arikunto, Posedur Penelitian (yogyakarta:Rineka Cipta, 1992), 200.
11
mengumpulkan dan menyusun data-data kemudian menganalisanya dengan menggunakan pola pikir: a. Deduktif: cara berpikir yang menggunakan analisis yang berpijak pada pengertian-pengertian atau fakta-fakta umum kemudian diteliti yang hasilnya dapat memecahkan masalah-masalah yang khusus. b. Induktif: cara berpikir dengan berpijak pada pengertian-pengertian atau fakta-fakta
khusus yang diteliti yang kemudian hsilnya dapat
memecahkan masalah-masalah yang umum. Induktif dgunakan dalam perumusan pengertian dan kesimpulan.
G. Sistematika Pembahasan Skripsi ini terdiri atas lima bab yang saling berkaitan erat satu dengan yang lain, yaitu: Bab satu adalah pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan gambaran global tentang isi penulisan skripsi ini yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab dua sebagai landasan teori yang berisikan tentang sistem pendidikan pesantren yaitu dunia pesantren, sejarah dan perkembangannya yang meliputi pengertian pesantren, sejarah dan perkembangan pondok pesantren, fungsi pondok pesantren, elemen-elemen pondok pesantren, pengembangan
visi
dan
misi
pendidikan
pesantren,
pengembangan
keterpaduan tujuan dan jenjang pendidikan pondok pesantren, sistem
12
pendidikan pesantren yang meliputi sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren, pengelolaan sistem pendidikan pesantren, pertumbuhan system pendidikan pesantren, kurikulum pesantren. Bab tiga membahas tentang PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yang meliputi latar belakang PP No. 55 Tahun 2007, sejarah munculnya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, dan eksistensi sistem pendidikan pesantren dalam PP No. 55 Tahun 2007. Bab empat merupakan analisa eksistensi sistem pendidikan pesantren dalam PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan meliputi eksistensi sistem pendidikan pesantren sebelum PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, eksistensi sistem pendidikan pesantren menurut PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dan implikasi PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan terhadap perkembangan sistem pendidikan pesantren. Bab lima adalah penutup yang terdiri dari kesimpuan dan saran dari penulis.
13
RANCANGAN DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL…………………..i HALAMAN JUDULii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBINGiii HALAMAN PENGESAHANiv HALAMAN MOTTOv ABSTRAKSvi HALAMAN PERSEMBAHANvii KATA PENGANTARviii DAFTAR ISIix PEDOMAN TRANSLITERASI x BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah1 B. Rumusan Masalah4 C. Tujuan Penelitian5 D. Manfaat Kajian5 E. Landasan Teori6 F. Metodologi Penelitian8 G. Sistematika Pembahasan11
BAB II : SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN A. Dunia Pesantren, Sejarah dan Perkembangannya13
14
1. Pengertian pesantren12 2. Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren15 3. Fungsi Pondok Pesantren18 4. Elemen-elemen Pondok Pesantren19 B. Pengembanagan Visi Dan Misi Pendidikan Pesantren24 C. Pengembangan keterpaduan tujuan dan jenjang pendidikan pondok pesantren 29 D. Sistem Pendidikan Pesantren34 E. Kurikulum Pesantren 53 BAB III: EKSISTENSI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PP NO.55 TAHUN 2007 TENTENG PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN A. Latar Belakang Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 56 B. Sejarah Munculnya PP No. 55 Tahun 2007 58 C. Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan 60 D. Eksisistensi sistem pendidikan pesantren dalam PP no. 55 tahun 2007 67
BAB IV : ANALISA EKSISTENSI SISTEM PENDIDIKAN PESANTRAN DALAM PP NO. 55 TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN
15
A. Analisa Eksistensi Sistem Pendidikan Pesantren Sebelum PP No. 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama Dan Keagamaan..72 B. Analisisa Eksistensi Sistem Pendidikan Pesantren Menurut PP No. 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama Dan Keagamaan…75 C. Analisa Implikasi PP No. 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama
Dan
Keagamaan
Pendidikan Pesantren …82 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan85 B. Saran86 DAFTAR PUSTAKA BIOGRAFI PENULIS
Terhadap
Perkembangan
System
16
BAB II SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN
A. Dunia Pesantren, Sejarah dan Perkembangannya 1. Pengertian Pondok Pesantren Kata "Pondok" dalam bahasa Indonesia mempuanyai arti kamar, gubuk, rumah kecil dengan menekankan kesederhanaan bangunanannya. Pondok juga berasal dari bahasa arab "funduq" yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana atau mengandung arti tempat tinggal yang terbuat dari bambu.14 Secara etimologi (arti bahasa). Kata-kata pesanren berasal dari kata santri.15 Dengan awalan pe dan an yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan asal usul kata santri ada berbagai pendapat sebagai berikut: profesor Jahus berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti "Guru mengaji", sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari kata "shastri" yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau sarjana ahli kitab agama Hindu.
14
Kadang-kadang ikatan kata santri manusia baik
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 61. 15 Kata santri mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti sempit, santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itulah, perkataan pesantren diambil dari perkataan santri yang berarti tempat untuk para santri. Dalam arti luas dan umum, santri adalah bagian-bagian penduduk jiwa yang memeluk Islam secara benar, bersembahyang, pergi ke masjid dan berbagai aktifitas lainnya.
17
dihubungkan dengan suku kata tra' suka menolong. Sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Ada yang berpendapat bahwa kata santri adalah pengambilalihan dari bahasa sansekerta dengan perubahan pengertian, yaitu pengertian santri yang artinya milik huruf. Menurut beberapa ahli, istilah pesantren pada mulanya lebih dikenal di pulau jawa karena pengaruh istilah pendidikan Jawa kuno, yaitu dikenal sistem pendidikan di perguruan dengan kyai dan santri hidup bersama, yaitu suatu hasil pencangkokan kebudayan sebelum Islam.16 Di sisi lain, ada yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, dari kata "cantrik" yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap. 17 Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam dengan seorang atau beberapa santri belajar pada pemimpin pesantren (kyai), dibantu oleh beberapa guru (ulama'/ustadz). Di dalamnya terdapata lima elemen dasar yang tidak terpisahkan, yaitu: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab kuning, santri dan kyai inilah yang disebut sebagai tradisi pesantren. Gus Dur menyebutkannya sebagai kulutr pesantren, yaitu kultur sosio-religius yang merupakan hasil interaksi kehidupan pondok, masjid, santri, ajaran ulama terdahulu yang tertuang dalam kitab klasik dan kehidupan kyai.18
16
Musthofa Syarif, Administrasi Pesantren (Jakarta: Paryu Barkah, 1982), hal. 5. Yasmadi, Modern Pesantren (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 62. 18 Bahtiar Effendy, Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 106. 17
18
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, merupakan sistem pendidikan nasional asli, yang telah lama hidup dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat Indonesia.19 2. Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren Sebelum kemerdekaan, pesantren harus berhadapan dengan sistem pendidikan pesantren modern Belanda dan juga Islam. Khusus untuk kemunculan sistem pendidikan modern Islam dengan dua bentuk kelembagaan, yaitu sekolah-sekolah umum model Belanda dengan diberi muatan pengajaran Islam dan madrasah-madrasah modern yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern. Pesantren meresponnya dengan "menolak sambil mengikuti". Akomodasi ini telah mendukung kontinuitas pesantren sendiri dan juga bermanfaat bagi santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang jelas dan sistem klasikal. Dalam kaitan ini, pesantren Manba'ul Ulum di Surakarta mengambil tempat paling depan tentang bentuk respon pesantren terhadap ekspansi pendidikan Belanda dan pendidikan Islam. Pesantren tersebut memasukkan mata pelajaran umum ke dalam pendidikannya. Hal tersebut diikuti oleh pesantren-pesantren lainnya, seperti pesantren Tebu Ireng, Pesantren Rejoso, Pesantren Modern Gontor, dan lain-lainnya.20
19
Musthofa Syarif, Administrasi Pesantren, 5. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Press, 1999), hal. 180. 20
19
Bahkan ada beberapa pesantren yang memperkenalkan latihan keterampilan dalam sistem pendidikannya. Dalam menghadapi sesuatu perubahan
dan
tantangan
itu.
Pesantren
tidak
tergesa-gesa
mentransformasikan dirinya menjadi pendidikan modern, tetapi pesantren menerima pembaharuan itu hanya dalam skala terbatas, sebatas untuk menjamin pesantren tetap survive.21 Pada masa pasca kemerdekaan, pesantren menhadapi tantangan lebih berat lagi. Khususnya disebabkan ekspansi sistem pendidikan umum dan madrasah modern yang medapat dukungan dari pemerintah. Kaum muslimin pun mendapat banyak pilihan pendidikan dan hal ini berakibat pada kemerosotan pendidikan pesantren. Tetapi, kesulitan ekonomi di Indonesia pada tahun 1950 dan awal 1960-an, membuat pesantren yang amat murah itu kelihatannya menjadi alternatif terbaik bagi banyak kalangan mulsim miskin di banyak wilayah pedesaan Jawa.22 Namun penting dikemukakan, bahwa pesantren besar mengalami pertambahan yang signifikan jumlahnya santri tidak saja berasal dari Jawa, tetapi juga dari luar Jawa. Menurut laporan Depag, pada tahun 1955 terdapat 30.000 pesantren dengan jumlah 1.392.159 santri. Sebagai perbandingan saja pada tahun 1872 diperkirakan pesantren berjumlah 32.000 dengan sekitar 2 juta santri.23
21
Ibid., hal. 101. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, 101. 23 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Penerbit Kalimas, 2001), hal. 104. 22
20
Pada saat yang sama, juga terdapat kecenderungan pesantren untuk melakukan
konsolidasi
kelembagaan,
khususnya
pada
aspek
kepemimpinan dan manajemen. Terjadinya diversifikasi pendidikan yang diselenggarakannya, yang mencakup madrasah dan sekolah umum, kepemimpinan tunggal kyai sudah tidak memadai lagi. Banyak pesantren yang kemudian mengembangkan kelembagaan yayasan (kepemimpinan kolektif).24 Salah satu contohnya adalah pesantren Maskumambang Gresik pada tahun 1958 mengalihkan model kepemimpinan dan tunggal menuju model kepemimpinan kolektif yayasan.25 Pada masa orde baru, pesantren tidak saja berfungsikan ketradisonalannya, seperti transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam, pemeliharaan tradisi Islam, reproduksi ulama, tetapi juga sebagai agen perubahan dan pembangunan masyarakat. Akhirnya, kegiatan-kegiatan seperti penyuluhan kesehatan, pengembangan tekhnologi tepat guna bagi masyarakat
pedesaan,
usaha-usaha
penyelamatan
dan
pelestarian
lingkungan hdiup dan pemberdayaan ekonomi masuk mengisi kegiatan santri di pesantren.26 Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan dan perbahan-perubahan sosial ekonomi sejak awal abad ini mencakup: Pertama : Pembaruan
substansi
pendidikan
memasukkan subjek-subjek umum 24
Ibid., hal. 104. Ibid., hal. 104. 26 Ibid., hal. 105. 25
pesantren
dengan
21
Kedua : Pembaruan teknologi, meliputi kepemimpinan pesantren dan diversifikasi lembaga pendidikan Ketiga
: Pembaruan metodologi, seperti sistem klasikal dan perjenjang.
Keempat : Pembaharuan fungsi, yaitu dengan menambahkan fungsi sosial dan ekonomi, di samping fungsi pendidikan. 3. Fungsi Pondok Pesantren Dimensi fungsional pondok pesantren tidak terlepas dari hakikat dasarnya bahwa pondok pesantren tumbuh berawal dari masyarakat. Oleh karena itu, perkembangan masyarakat sekitarnya tentang pemahaman keagamaan (Islam) lebih jauh mengarah kepada nilai-nilai normatif, edukatif, progresif. Dengan demikian, fungsi pondok pesantren tidak terlepas dari segi normatif, edukatif dan progressif.27 a. Sebagai Lembaga Pendidikan Berawal
dari
bentuk
pengajaran
sederhana,
kemudian
berkembang menjadi lembaga pendidikan secara mengalir yang ditentukan oleh masyarakat. Selain pengertian memberi pelajar secara material dan immaterial, secara material, titik tekannya adalah mampu menghatamkannya sesuai target, tanpa diharapkan pemahaman lebih lanjut tentang pemahaman nisi. Sedangkan secara immaterial yaitu titik letaknnya pada suatu upaya perubahan sikap santri, agar menjadi pribadi yang tangguh dalam kehidupannya.28 b. Sebagai Lembaga Dakwah 27
Muhammad Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan (Jakarta: Prasasti,
2002), 24. 28
Ibid., hal. 36.
22
Di sini, pesantren berusaha menumbuhkan kesadaran beragama atau melaksanakan ajaran-ajaran agama secara konsekuen sebagai pemeluk agama Islam. c. Sebagai Lembaga Sosial Hal ini menunjukkan keterlibatan pesantren dalam menangani masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat (baik masalah duniawi maupun ukhrawi). Dapat disimpulkan
bahwa dewasa ini terdapat 3 bentuk serta
pendidikan dan pengajaran dalam pesantren, yaitu: a. Sistem non klasikal (bandongan atau sorogan) dengan santri mukim di pondok. b. Sama dengan yang pertama, tetapi santri tidak disediakan pondokan di komplek pesantren. c. Pondok pesantren mempunyai santri mukim dan kalong dengan sistem weton maupun sorogan serta menyelenggarakan pendidikan formal.29 4. Elemen-Elemen Pondok Pesantren Suatu lembaga akan berubah menjadi pesantren bila memiliki 5 elemen berikut, yaitu: Pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab kuning, dan kyai. a. Pondok Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional, di mana para siswanya tinggal bersama 29
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, 146-147.
23
dan belajar di bawah lingkungan komplek pesantren, di mana kyai bertempat tinggal. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi tembok untuk mengawasi keluar masuknya santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.30 Pada awal
perkembangannya, pondok bukanlah
sebagai tempat tinggal/asrama santri, tetapi untuk mengikuti pelajaran yang dberikan kyai ataupun sebagai tempat latihan santri agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Para santri di bawah bimbingan kyai bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, tampaknay lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan dengan adanya semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok.31 b. Masjid Masjid adalah pusat kegiatan ibadah dan belajar-mengajar. Biasanya, waktu belajar-mengajar berkaitan dengan waktu shalat jama'ah, baik sebelum maupun sesudahnya. Dalam perkembangannya, sesuai dengan pertambahan jumlah santri, dibangunlah ruanganruangan khusus untuk halqah. Perkembangan terakhir menunjukkan adanya ruangan-ruangan yang berupa kelas-kelas sebagaimana terdapat di madrasah. Namun demikian, masjid tetap digunakan sebagai tempat belajar-mengajar. Sebagian pesantren menggunakan
30 31
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 44. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam hal. 147.
24
masjid sebagai tempat I'tikaf dan melaksanakan latihan-latihan, atau suluk dan dzikir.32 Masjid di pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam yang berpusat pada masjid sejak masjid alquba' pada masa Nabi tetap terpancar dalam sistem pesantren.33 Masjid menurut Nurcholish Masjid sebagian dikutip oleh Dhofir adalah sebagai pranata terpenting masyarakat Islam. Pembangunan masjid adalah modal utama nabi ketika berjuang menciptakan masyarakat beradab.34 c. Santri Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu: 1) Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri yang paling lama tinggal di pesantren biasanya mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari, mereka juga mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah. 35 2) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren yang biasanya tidak menetap dalam pesantren.
32
Ibid., hal. 143. Dhofier Zamakhsyari, Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994),hal. 49. 34 Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hal. 65. 35 Dhofier Zamakhsyari, Pesantren …, hal. 51. 33
25
Mereka bolak-balik (nglaju) dari rumahnya untuk mengikuti pelajarannya di pesantren.36 Yang membedakan antara pesantren besar dan kecil biasanya terletak pada komposisi santri antara kedua kelompok santri tersebut. Bermukim di pesantren besar merupakan suatu keistimewaan bagi seorang santri yang penuh cita-cita. d. Kyai Keberadaan kyai dalam lingkungan pesantren laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas kyai memperlihatkan perannya yang otoriter, disebabkan karena kyailah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, penanggung jawab, dan bahkan sebagai pemilik tunggal. Oleh sebab ketokohan di atas, banyak pesantren yang mundur disebabkan meninggalnya sang kyai. Sementara kyai tidak mempunyai keturunan atau penerus untuk melanjutkan usahanya. Sebagai conoth salah satu unsur dominan di pesantren, kyai mengatur irama perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, kharisma dan ketrampilannya. Sehingga tidak jarang sebuah pesantren tidak memiliki manajemen yang rapi. Kyai berfungsi sebagai sosok model atau teladan yang seluruh perilakunya dicontoh baik bagi para santrinya, keluarga para santri, maupun masyarakat sekitarnya.
36
Haidar Putra Daulay, Historisasi dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hal. 15.
26
Kewibawaan kyai dan kedalaman ilmunya adalah modal utama bagi berlangsungnya semua wewenang yang dijalankan. Hal ini memudahkan berjalannya semua kebijakan pada masa itu. Ia dikenal sebagai tokoh kunci. Kata-kata dan keputusannya dipegang teguh oleh mereka, terutama oleh para santri. Meskipun demikian, dia lebih bnayk menghabiskan waktunya untuk mendidik santrinya daripada hal-hal lainnya.37 e. Kitab kuning Penggalian khazanah budaya Islam melalui kitab klasik adalah salah satu unsur terpenting dari keberadaan sebuah pesantren dan yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi dan desminasi ilmu-ilmu keIslaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Kitab kuning sebagai satu unsur mutlak dari proses belajar mengajar di pesantren sangat penting dalam membentuk kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan (kualitas kebersamaan) pada diri santri, sekaligus menyangkut pada kecerdasan spiritual. Di antara disiplin keilmuan kitab kuning yang diajarkan di pesantren di antaranya: Nahwu, Shorof, Balaghah, Tauhid, Tiqh, Usuh Fiqh, Qowaid Fiqhiyyah, Tafsir, Hadits, Mustalah Al-Hadits, Tasawuf dan Mantiq.38
37 38
Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hal. 62-64. Ibid., hal. 67-68.
27
B. Pengembangan Visi dan Misi Pendidikan Pesantren Istilah visi dan misi belum populer di kalangan pendidikan pesantren. Apalagi dalam bentuk terdokumentasi bahwa pondok pesantren telah memiliki visi dan misi pendidikannya. Penentuan visi dan misi tidak hanya terbatas pada kehidupan dan kenyataan hdiup di dunia, tetapi harus sampai kepada tatanan kehidupan dunia akhirat, karena itu sumber dan pendekatannya adalah wahyu ilahi yang bersifat theokratis. Visi dan misi pendidikan pondok pesantren, akan berpijak pada filosofi dan nilai dasar yang relevan dan atau ketentuan prinsip-prinsip historis dan kondisi objektif masyarakat muslim sebagai bangsa Indonesia. Posisi dan peran pendidikan pondok pesantren merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional Indonesia. Dalam penempatan visi dan misi pendidikan, baik visi dan misi yang bersifat makro maupun mikri, untuk jangka panjang, menengah dan jangka pendek, harus jelas penetapannya, serta sesuai dengan operasional pelaksanaannya dengan baik. Juga pendidikan harus ditempatkan pada posisi tatanan masyarakat yang serba berubah,. Dan tidak terbatas pada masyarakat lokal, nasional atau regional, tetapi juga harus menjangkau tingkat global yakni masyarakat dunia yang telah menunjukkan sifat saling bergantung antara satu dengan yang lainnya.39 Memperhatikan ayat-ayat al-Qur'an, petunjuk Rasullullah SAW yang terkandung dalam al-Qur'an dan al-sunnah, visi dan misi pendidikan
39
Ibid., hal. 203.
28
nasional
Indonesia,
dan mengamati problematika
yang dihadapi
pendidikan pondok pesantren, serta keunggulan-keunggulan yang ada pada pondok pesantren, maka visi dan misi pendidikan pondok pesantren dapat dirancang sebagai berikut: a. Visi pendidikan pondok pesantren secara makro adalah terwujudnya masyarakat baru yang mendapat ridha dan ampunan serta berkah dari Allah, dengan tatanan kehidupan yang sesuai dengan amanat proklamasi Republik Indonesia melalui proses pendidikan yang berintikan keimanan dan ketakwaan masyarakat baru tersebut memiliki sikap, wawasan dan akhlak tinggi, demokrasi dan menjunjung hak asasi manusia dan berwawasan global Islami. b. Sedangkan visi pendidikan pondok pesantren secara mikro ialah terwujudnya manusia indonesia selaku hamba Allah yang memiliki tanggung jawab tinggi sebagai wakil Allah (khalifah) di muka bumi, untuk memiliki sikap, wawasan dan mengamalkan keimanan dan berakhlak karimah, tumbuh kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak asasi manusia, berwawasan global yang berdasarkan ketentuan serta tidak bertentangan dengan nilai dan norma Islam. Kemudian, untuk mencapai sasaran visi makro dan visi mikro pendidikan pondok pesantren dapat dijabarkan misi pendidikan pondok pesantren yang menjangaku rentang waktu jangka panjang, menengah, dan jangka pendek, sebagai berikut:
29
a. Misi makro pendidikan pondok pesantren jangka panjang, adalah menuju
masyarakat
madani.
Dalam
bidang
pendidikan,
penyelenggaraan organisasi pelaksana pendidikan yang otonom, luwes, adaptif dan fleksibel. Proses pendidikan yang dijalankan bersifat terbuka dan berorientasi kepada keperlukan dan kepentingan bangsa. Pendidikan tidak menyelenggarakan kehidupan masyarakat yang berwawasan global, memiliki komitmen nasional dan bertindak secara lokal, menyelenggarakan lembaga pendidikan agar menjadi pusat peradaban umat muslim. b. Misi makro pendidikan pondok pesantren jangka menengah adalah pemberdayaan
organisasi
maupun
proses
pendidikan
pondok
pesantren, organisasi pelaksana pendidikan dengan cakupan luas dan otonom. Pelaksanaan pendidikan pondok pesantren telah dilaksanakan melalui jenjang kewenangan yang telah terbagi dengan partisipasi masyarakat yang besar. c. Misi makro pendidikan pondok pesantren berjangka pendek adalah untuk mengatasi krisis nasional, terutama dalam mengatasi krisis moral dan akhlak. Pendidikan pondok pesantren dilaksanakan secara efektif dan efisien. Proses pendidikan diusahakan tetap terselenggara secara optimal, dan terbuka, pendidikan pondok pesantren harus menanamkan wawasan keunggulan untuk menghadapi tantangan global. d. Misi mikro pendidikan pondok pesantren jangka panjang ialah pendidikan menghasilkan individu yang mandiri, beriman, dan
30
bertakwa. Kurikulum pondok pesantren dilaksanakan secara terbuka sehingga dapat memenuhi kebutuhan nyata, pendidikan menghasilkan manusia berwawasan keteladan berkomitmen dan berdisiplin tinggi. e. Misi mikro jangka menengah, pemberdayaan individu peserta didik (santri) maupun institusi menyusun dan melaksanakan kurikulum pendidikan pondok pesantren yang bersifat terbuka untuk memenuhi kebutuhan maya maupun nyata dalam berbagai situasi. f. Misi mikro jangka pendek adalah menghasilkan manusia indonesia yang mampu mengantisipasi krisis. Visi dan misi pondok di atas, mengacu kepada visi dan misi pendidikan nasional Indonesia yang direncanakan untuk dilaksanakan segera, selama relevan dan tidak terjadi kontrakdiktif dengan nilai-nilai Islam dan masyarakat Indonesia. Pendidikan pondok dapat memahami untuk mengikuti, demi masa depan umat Islam sendiri agar memiliki martabat di negaranya sendiri, yaitu negara Republik Indonesia. Inilah salah satu alternatif pemikiran terhadap pengembangan pondok pesantren sebagai sistem pendidikan.40 Di era yang serba modern ini, perkembangan masyaraat semakin dinamis sehingga menuntut pemahaman keIslaman yang orisinal sekaligus aktual. Dalam hal ini, sektor pendidikan Islam menjadi alternatif paling efektif untuk menanggapi arus kemajuan tersebut yang kian tak terbendung. Pada awal abad ke 20, Islam di Indonesia telah menjadi agama
40
Ibid., hal. 204-209.
31
rakyat maupun agama resmi para penguasa. Dari segi fisik kiranya aman untuk menyebut tumbuh kembangnya lembaga pendidikan Islam di tanah air hingga sekarang telah sangat memadai. Terbukti dengan jumlah madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah, pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, ma'had ali di seantero pelosok tanah air menunjukkan peningkatan grafik.41 Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang indiginous di tanah air sangat berjasa dalam melahirkan (embrio) generasi handal di setiap kurun. Sehubungan dengan besarnya arti pesantren dalam perjalanan bangsa Indonesia, adalah tidak berlebihan jika menyebut pesantren sebagai bagian historis bangsa Indonesia harus dipertahankan. Pesantren telah mengakar kuat dari masa pra-Islam, yiatu lembaga pendidikan bentuk asrama agama Budha yang disebut mandala atau asrama yang selanjutnya di adaptasi menjadi lembaga pendidikan Islam. Ungkapan senada diutarakan oleh menteri pendidkan nasional saat itu, Ki Hajar Dewantara bahwa pondok pesantren merupakan dasar dan sumber pendidikan nasional karena sesuai dengan semangat dan kepribadian bangsa Indonesia. Sehingga harus dikembangkan serta diberi bimbingan dan bantuan.42 Pengembangan pesantren tidak cukup hanya dengan memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum pesantren. Terlebih sekarang ini sudah banyak pondok pesantren yang membuka sekolah umum. Pada taraf 41
Amin Haedari, Transformasi Pesantren, Pengembangan Aspek Pendidikan Keagamaan dan Sosial, hal. 123. 42 Ibid., hal. 124.
32
tertentu, hal ini boleh jadi merupakan perkembangan yang patut dibanggakan. Karena dengan begitu pesantren tidak tertinggal terlalu jauh dengan sekolah-sekolah umum dalam hal mata pelajaran umum. Malah posisi pesantren harusnya punya nilai lebih disbanding sekolah umum. Para santri yang sekaligus siswa di madrasah (sekolah) di lingkungan pesantren berpeluang lebih banyak untuk mempelajari pelajaran umum dan pelajaran agama sekaligus. Dalam situasi di mana pesantren dari sisi konstitusi sudah menjadi bagian dari sisdiknas, dan pada sisi kurikulum struktur mata pelajaran di pesantren sudah bercampur dengan, maka visi yang perlu dikembangkan adalah, menjadikan pesantren sebagai sebuah sistem yang tetap mampu melahirkan lulusan yang menguasai ilmu-ilmu keislaman secara mendalam sekaligus siap pakai dalalm dunia kerja.43 C. Pengembangan Keterpaduan Tujuan dan Jenjang Pendidikan Pondok Pesantren i.
Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren Memahami tujuan pendidikan pondok pesantren haruslah terlebih dahulu memahami tujaun hidup manusia menurut Islam. Artinya, tujuan pendidikan pondok pesantren harus sejalan dengan tujuan hidup manusia menurut konsep ajaran Islam. Sebab, pendidikan hanyalah cara yang ditempuh agar tujuan hdiup itu dapat dicapai.44
43
Amin Haedari, Transformasi Pesantren, Pengembangan Aspek Pendidikan Keagamaan dan Sosial. (Jakarta:LeKDIS dan Media Nusantara.2006), hal.41-43 44 Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, 209.
33
Perumusan tujuan pendidikan pondok pesantren yang identik dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri dalam merumuskannya harus memiliki keterpaduan yaitu berorientasi kepada hakikat pendidkan yang meliputi beberapa aspek, di antaranya: 1) Tujaun hidup manusia, memiliki misi hidup di dunia dan akhirat, manusia hdiup bukan karena kebutuhan dan sia-sia, ia diciiptakan dengan membawa tujuan dan tugas tertentu. 2) Memperhatikan sifat-sifat dasar (nature) manusia seperti beragama Islam (fitrah) dan kebutuhan individu dan keluarga sebatas kemapuan dan kapasitas ukuran yang ada. 3) Mempertimbangkan tuntutan sosial, masyarakat, baik berupa pelestarian nilai budaya, maupun pemenuhan kebutuhan hdiupnya dalam mengantisipasi perkembangan dan tuntutan perubahan zaman. 45 Secara teoritis akademis, tujuan pendidikan pondok pesantren dan proses pendidikanya, harus memadukan secara komprehensif, mencakup semua aspek nilai dasar, kecerdasan kedewasaan/ kematangan dengan aspek kepribadian yang bulat dan utuh mengacu kepada tuntutan tujuan hidup manusia muslim, dan memperhatikan tujuan makro serta mikro pendidikan nasional Indonesia. Dengan demikian, pendidkan pondok pesantren akan memadukan produk santri
45
106.
Djamaluddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bndung: Pustaka Setia, 1998), hal.
34
untuk memiliki lulusan yang memiliki tiga tipe lulusan sebagaimana yang dikemukakan MM. Billah, yaitu: 1) Religious skill full people, yaitu insan muslim yang akan menjadi tenaga-tenaga terampil ikhlas, cerdas, mandiri, dll yang akan mengisi kebutuhan tenaga kerja di dalam berbagai sektor pembangunan. 2) Religious community leader, yaitu insan Indonesia yang ikhlas, cerdas dan madniri dan akan menjadi penggerak yang dinamis di dalam transformasi sosial bduaya (madani) dan seklaigus menjadi benteng terhadap ekses negatif pembangunan dan mampu membawakan aspirasi masyarakat dan melakuan pengendalian sosial. 3) Religious intelektual, yang mempunyai integritas kukuh serta cakap melakukan analisa ilmiah dan concern terhadap masalahmasalah sosial. Dalam dimensi sosialnya, pondok pesantren dapat menempatkan posisinay sebagai lembaga kegiatan pembelajaran masyarakat yang berfungsi menyampaikan teknologi baru yang cocok buat masyarakat sekitar dan memberikan pelayanan sosial dan keagamaan. ii.
Jenjang Pendidikan Pondok Pesantren Di dalam pendidikan pondok pesantren terdapat sistem pendidikan formal seperti sistem madrasah/sekolah, mulai dari tingkat pendidikan dasar, menengah sampai tingkat pendidikan tinggi. Begitu
35
pula sistem pendidiakn kepesantrenan terdapat tingkat pemula (dasar), menengah, dan takhassus berserta pendidikan ketrampilan yang bervariasi
sesuai
dengan
kondisi
pondok
pesantren
yang
bersangkutan.46 Tujuan pendidikan secara umum tersebut di atas, harus dijadikan acuan kepada setiap tahapan atau jenjang pendidikan yang ada, seperti: 1) Tujuan untuk jenjang pendidikan pondok pesantren tingkat dasar termasuk
untuk
madrasah
ibtidaiyah/sekolah
dasar
tsanawiyah/SLTIP atau diniyah akan meliputi: a) Timbulnya keimanan dan ketakwaan dengan mula belajar alQur'an dan praktik-praktik ibadah secara verbalistik dalam rangka pembiasaan. b) Timbulnya sikap beretika (sopan santun dan beradab) dengan melalui keteladanan dan penanaman motivasi. c) Tumbuh penalaran (mau belajar, ingin tahu, senang membaca, memiliki inovasi, dll). d) Tumbuh kemampuan komunikasi atau sosial e) Tumbuh kesadaran untuk menjaga kesehatan 2) Tujuan untuk jenjang pendidikan tingkat menengah termasuk madrasah 'Aliyah atau SLTA akan meliputi:
46
Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, 214-215.
36
a) Memiliki keimanan dan ketakwaan dan memiliki kemampuan baca tulis al-Qur'an dan praktik-praktik ibadah yang dengan kesadaran dan keikhlasan sendiri. b) Memiliti etika c) Memilik penalaran yang baik d) Memiliki kemampuan komunikasi atau sosial e) Dapat mengurusi dirinya sendiri dengan baik, dan khusus untuk pendidikan bertanggung jawab terhadap karyanya, kreatif, banyak inisiatif di bidang keterampilan yang digelutinya. 3) Tujuan untuk jenjang pendidikan tingkat tinggi, dalam penguasaan dan pengetahuan dan kehidupan praktek ibadahnya bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi telah memiliki kemampuan untuk menyebarkan kepada masyarakat, sudah dapat dijadikan teladan bagi orang lain dan masyarakatnya. Pengetahuan dan amaliyah akan meliputi: a) Beriman dan bertakwa kepada Allah, dalam segala betuk sikap dan perbuatannya. b) Memiliki sopan santun dan beradab c) Memiliki penalaran yang baik, terutama dalam bidang keahliannya. d) Berkemampuan komunikasi atau sosial e) Memiliki kemampuan berkompetisi secara sehat dan terbuka.
37
f) Dapat mengurusi dirinya sendiri dengan baik.47 Jadi, bagaimanapun pendidikan pondok pesantren tidak lagi mempertentangkan jenis, bentuk, jenjang dan tujuannya, tetapi memadukannya dengan harmonis seimbang sehingga merupakan pendidikan berkelanjutan dan saling mengisi, merupakan suatu sintesa konvergensi atau berintegritas. D. Sistem Pendidikan Pesantren Kata sistem berasal dairi bahasa yunani yaitu systema yang berarti cara, strategi. Dalam bahasa inggris system berarti sistem, susunan, jaringan, cara. Sistem juga diartikan sebagai suatu strategi, cara berfikir atau modal berfikir. Jadi dapat didenifisikan sistem adalah seperangkat komponen atau unsurunsur yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Misalnya mobil adlah suatu sistem yang meliputi komponen-komponen seperti roda, rem, kemudi, mesin dan sebagainya.48 Pengertian sistem bisa diberikan terhadap suatu perangkat atau mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian di mana satu sama lain saling berhubungan dan memperkuat. Dengan demikian, sistem adalah suatu sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Bila digunakan dalam istilah sistem pendidikan pesantren adalah sarana yang berupa perankat organosasi yang
47 48
Ibid., 216. Rama Yuris, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006, 19)
38
diciptakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang berlangsung dalam pondok pesantren.49 Sedangkan unsur-unsur yang saling terkait dalam sistem pendidikan terdiri atas komponen-komponen di antaranya tujuan, anak didik, pendidik, lingkuga dan alat pendidikan. Di dalam pendidikan pondok pesantren terdapat sistem pendidikan formal seperti, sistem madrasah atau sekolah., mulai dari tingkat pendidikan dasar, menengah dan tingkat pendidikan tinggi, begitu pula sistem pendidikan kepesantrenan terdapat tingkat pemula (dasar), menengah dan tahasus beserta pendidikan ketrampilan yang bervariasi.50 Sistem adalah suatu sarana yang diperlukan untuk mencpai tujuan. Pengertian lainnya yang lebih umum dipahami di kalangan awam adalah bahwa sistem itu merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu yang dalam penggunaannya tergantung pada berbagai faktor yang erat hubungannya dengan usaha pecapaian tujuan tersebut bila digunakan dalam lingkunan pesantren, maka yang dimaksud dengan sistem pendididkan adlah sarana berupa perangkat organisasi yang diciptakan untu mencapai tujuan pedidikan yang berlangsung dalam pondok pesantren.51 Pedidikan adalah proses pembentukan diri dan penentuan diri secara etis, kreatif, sistematis dan intensional sesuai dengan hati nurani dibantu dengan
49
M. Arifin, Kapita selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Cet 2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), 257 50 Ahmad Tafsir dkk, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, 214. 51 Jamaludin dan Abdullah Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Putaka Setia, 1998), 144
39
metode dan tehnik ilmiah, diarahkan pada pencapaian tujuan pedidikan tertentu.52 Pondok pesantren adalah termasuk pendidikan khas Indonesia yang tumbuh di tengah-tegah masyarakat serta telah teruji kemandiriannya sejak berdirinya sampai sekarang. Pada awal berdiriny, bentuk pondok pesantren masih sangat sederhana kegiatannya madih diselenggarakan di dalam masjid dengan beberapa orang santri yang kemudian dibangun pondok-pondok sebagai tempat tinggalnya. Pondok pesantren paling tidak mempunyai tiga peran utama, yaitu sebagai lembaga pendidikan islam, lembaga dakwah dan sebagai lembaga pengembangan masyarakat.53 1. Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pondok Pesantren Sejarah perkembangan pesantren pertama kali memiliki pengajaran yang bersifat non-klasikal, yaitu menggunakan metode pengajaran sorogan, bandongan, dan wetonan. i.
Sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat tradisional Pemahaman sistem yang bersifat tradisional adalah lawan dari sistem yang modern. Sistem tradisional adalah berangkat dari pola pengajaran sorogan, bandongan, dan wetonan dalam mengkaji kitabkitab agama yang ditulis oleh para ulama' abad pertengahan dan kitab-
52
Haidar Putra Daulay, Pedidika Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), 133 53 Badri dan Munawaroh, Pergesera Literatur Pesantren Salafiyah (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2007), 3
40
kitab agama yang ditulis oleh para ulama' zaman abad pertengahan dan kitab-kitab itu dikenal dengan istilah "kitab kuning".54 1) Sorogan Adalah cara mengajar per kepala (santri) dari kyai atau badalnya (biasanya santri-santri senior).55 Dipesantren besar, sorogan dilakukan oleh dua atau tiga orang santri saja, yang biasanya terdiri dari keluarga kyai atau santri-santri yang diharapkan kemudian hari menjadi orang alim.56 2) Wetonan Sistem pengajaran dan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan kyai mengajarkan kitab tertentu kepada sekelompok santri, di mana baik kyai maupun santri sama-sama memegang kitab. Kyai membacakan dan menerangkan isi kitab, lalu santri mendengarkan dengan seksama. Pada tingkat weton lebih tinggi, santri terlebih dahulu harus mempelajarinya. Sehingga dengan demikian, santri tinggal mencocokkan pemahamannya dengan kyai. Di sini tidak ada ujian, namun dengan pengajaran secara halaqah ini dapat diketahui kemampuan santri.57 3) Bandongan Sistem pengajaran yang serangkaian dengan sistem sorogan dan wetonan adalah bandongan yang dilakukan saling kait54
Muhammad Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, hal. 29. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 145. 56 Timur Djaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Tinggi Agama (Jakarta: Dermaga, 1982), hal. 54. 57 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 145. 55
41
mengkait dengan yang sebelumnya. Dengan sistem bandongan, seseorang tidak harus menunjukkan bahwa ia mengerti pelajaran yang sedang dihadapi. Para kyai biasanya membaca dan menterjemahkan kata-kata yang mudah. 58 ii.
Sistem pendidikan yang bersifat modern Perkembangan selanjutnya di samping mempertahankan sistem
ketradisionalannya, pesantren juga melakukan suatu inovasi dalam pengembangan dan pengelolaan suatu sistem. Ada dua sistem yang ditetapkan: 2) Sistem klasikal Pola penerapan sistem ini adalah dengan pendirian sekolahsekolah baik kelompok yang mengelola pengajaran agama maupun ilmu umum, kedua disiplin ilmu itu di dalam sistem persekolahan diajarkan berdasarkan kurikulum Depag dan Depdikbud. 3) Sistem kursus-kursus Pola ini ditekankan pada pengembangan keterampilan berbahasa Inggris. Di samping itu, diadakan pula keterampilan tangan yang menjurus pada terbinanya kemampuan psikomotorik seperti kursus menjahit, mengetik, komputer, dan sablon.59 Sebagai
prinsip
yang
seyogyanya
dipertimbangkan
dalam
pengembangan pondok pesantren tersebut di antaranya:60
58
Mahmud, Model Pembelajaran di Pesantren (Solo: Mitra Fajar Indonesia, 2006), 53. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 146. 60 Choirul Fuad Yusuf, Edukasi Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan, 3 59
42
a. Pendekatan keagamaan (al-Islam) dan konstitusi, perlu melandasi usaha
pengembangan
pondok
pesantren.
Oleh
karena
fokus
pengembangan adalah lembaga pendidikan Islam, maka ajaran dan nilai-nilai agama Islam harus dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pengembangan. Pengembangan yang dilakukan harus dilandasi oleh keyakinan dan semangat yang tinggi untuk menuju kondisi dan sistem yang lebih baik, dan akan lebih banyak manfaatnya dari kondisikondisi sebelumnya, pendidikan termasuk pesantren mengalami dan tidak bisa menghindari dari perubahan. Artinya, fenomena perubahan dan melakukan perubahan itu tidak bertentangan dengan nilai dan ajaran Islam, selama perubahan dan pengembangan tersebut tidak paradoks dengan ajaran Islam. Bahkan ajaran Islam mewajibkan melakukan perubahan atau pengembangan untuk mencapai yang lebih baik dan bermanfaat. Jika pengertian belajar itu adalah perubahan dan pengembangan, maka belajar adalah wajib seperti disabdakan Rasullullah SAW: "Mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan (al-hadits)". 61 Di samping itu, terhadap ungkapan yang telah mentradisi di kalangan pondok pesantren, seperti: "Melestarikan nilai-nilai lama yang positif dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih positif". Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang telah lama dan berakar di Indonesia, telah memiliki daya tahan dan daya 61
Tafsir dkk, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Media Transformasi Pengetahuan, 2004), hal. 196.
43
yang
tangguh
sehinga
memiliki
keunggulan-keunggulan.
Jika
pendekatan keagamaan dan konstitusi dalam pengembangan pondok pesantren dijadikan pedoman, maka akan melahirkan keyakinan dan kesadaran yang ikhlas sehingga akan melahirkan sikap dan tindakan keberanian intelektual dan keberanian moral untuk melakukan pengembangan. b. Pendekatan kultural perlu melandasi usaha pengembangan pondok pesantren sebagai sistem pendidikan terpadu. Melalui pendekatan budaya (kultural) akan memungkinkan terjadinya pemberdayaan untuk mendukung proses nilai tambah. Di antara esensi pendidikan adalah belajar, berfikir, dan berubah dengan pendekatan pembelajaran dan berasaskan learning individual, learning society dalam rangka continuing
education
dan
life
long
education.
Sedangkan
demokratisasi pendidikan diperlukan, karena demokratisasi pendidikan berguna untuk mengembangkan optimalisasi segenap potensi sesuai dengan fitrah insani. c. Pengembangan pondok pesantren, harus berlandaskan kepada prinsip menatap, mengantisipasi, dan memaknai masa depan (futuristik). Artinya pondok pesantren dikembangkan sebagai sistem pendidikan terpadu
dengan
memadukan
aktivitas
pendidikannya
untuk
menyiapkan SDM yang akan hidup pada masyarakat masa depan yang memiliki karakteristik berbeda dengan masyarakat kekinian. Dasar pemikiran bahwa pengembangan sistem pendidikan terhadu dilakukan
44
pondok pesantren bertitik tolak dari ungkapan yang telah dihayati dan dipahami oleh kalangan ulama yang disampaikan Ali bin Abi Thalib yang artianya sebagai berikut "Didiklah anak-anakmu dengan pendidikan yang berbeda dengan yang diajarkan padamu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan zaman kamu sekalian". d. Pendayagunaan, pemberdayaan potensi, kemampuan dan kekuatan yang ada serta pemanfaatan momentum (kesempatan) situasi yang sedang berkembang, sehingga terjadi suatu "functional relationship". Antara sistem pendidikan pondok pesantren dan lingkungan keluarga, kebutuhan masyarakat maupun bangsa tingkat nasional sampai regional dan global. Pendidikan adalah esensial bahkan salah satu elemen terpenting dari kehidupan seseorang. Harus diakui bahwa tingkat pendidikan dapat menjadi ukuran tingkat kemampuan berfikir dan bertindak seseorang. Hal ini menandai bahwa pendidikan dalam konteks ini tidak harus diperoleh dari sistem pendidikan formal yang biasanya diselenggarakan oleh suatu lembaga resmi (pemerintah). Melainkan bisa diperoleh dari lembaga-lembaga non formal bahkan dari keluarga atau secara otodidak.62 Pengembangan pondok pesantren sebagai sistem pendidikan berpijak kepada pemanfaatan kondisi dan situasi (momentum) zaman pasca modern atau post modern. 62
Fadjar, A. Malik, Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesantren Upaya Menghadirkan Wacana Pendidikan Alternatif Dalam Bilik-Bilik Pesantren, hal. 116.
45
e. Prinsip reformaasi pendidikan nasional, mulai masalah konseptual, sistem, visi dan misi, kebijakan maupun ke tingkat operasional instruksionalnya. Karena di dalam pondok pesantren terdapat sistem sekolah atau madrasah, maka pasti dan menjadikan keharusan untuk melakukan reformasi pada sekolah dan madrasah yang berada dalam lingkup pesantren. f. Prinsip keseimbangan dan penetapan prioritas yang ketat tapi tidak kaku, sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang ingin dikembangkan. Keseimbangan yang harus diperhatikan adalah perubahan dan pengembangan berkesinambungan dengan kebutuhan dan permasalahan pondok pesantren dan tuntutan masyarakat serta perkembangan baik yang diharapi daerah, bangsa, dan negara. g. Prinsip istiqomah, dalam pemeliharaan tradisi, keaslian, nilai, dan identitas, sistem pondok pesantren perlu mendapat perhatian seksama dari semua komponen. Pengembangan akan mudah dan cepat mencapai sasaran dan target, apabila istiqomah dipertahankan dengan baik.63
2. Pengelolaan Sistem Pendidikan Pesantren a. Pengelolaan Lembaga Pesantren Sudah menjadi common sense bahwa pesantren berstatus kepemilikan kyai, di mana kyai merupakan figur sentral, otoritatif dan
63
Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, 201-202.
46
pusat seluruh kebijakan maupun perubahan, seorang kyai dengan para pembantunya yang biasa disebut khadam,64 merupakan hirarki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui di lingkungan pesantren. Hirarki kekuasaan tersebut lebih ditegaskan di atas kewibawaan moral sang kyai sebagai penyelamat para santrinya dari melangkah ke arah kesesatan. Karenanya kekuasaan ini memiliki perwatakan absolut. Secara umum pesantren memiliki ciri khas, namun tidak sedikit pesantren sekarang ini yang telah mengadakan perubahan dan pembenahan pada aspek kelembagaan baik pada tataran manajemen organisasi, administrasi, sarana dan prasarana pendidikan. Pengelolaan keuangan dan ketenaga pendidikan, hal ini ditandai dengan perubahan gaya kepemimpinan pesantren. Para kyai mulai menyadari betul akan kekurangan pesantren dan mencoba untuk memperbaiki segala aspek yang ada di dalamnya secara terus menerus. Dalam hal ini, ada enam usulan untuk perbaikan pondok pesantren: Pertama, agar pondok pesantren berbadan hukum. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian pondok pesantren untuk badan hukum itu sendiri berupa yayasan atau cukup dinotariskan. Kedua, dalam pondok pesantren diharapkan ada badan pembina, ini berada di
64 Khadam, bahkan juga dapat berupa santri tertentu membantu kyai dalam pekerjaan sehari-hari. Mereka tidak dibayar tetapi kebutuhan mereka selama pendidikan di pesantren dicukupi oleh kyai dan juga tidak jarang, dari mereka itu yang tidak ingin mendapat imbalan apapun, karena hanya ingin ngalap (mendapat) berkah dari kyainya.
47
bawah badan pengawas pondok pesantren. Ketiga, pondok-pondok pesantren diharapkan memiliki madrasah-madrasah, baik ibtidaiyah, tsanawiyah maupun aliyah, bahkan sangat diharapkan pula pondok pesantren mampu mendirikan perguruan tinggi sendiri, tetapi menurut K.H. Mahrus Ali, sekolah-sekolah pesantren tersebut jangan di negrikan. Keempat, pelajaran kitab-kitab kuning dengan cara sorogan harus benar-benar dilakukan dengan baik. Kelima, keterampilan para santri perlu ditingkatkan. Keenam, untuk masa sekarang pada tiap-tiap pesantren diperlukan adanya koperasi.65 b. Pengelolaan Sistem Pendidikannya Meski pada awalnya pesantren merupakan kepemilikan individual kyai/pendiri pesantren, namun seiring dengan tuntutan differensiasi peran dalam pengelolaan pendidikan pesantren harus akomodatif terhadap tuntutan luar. Karena pesantren tidak sekedar berfungsi sebagai sarana transmisi nilai-nilai keIslaman namun juga transmisi pengetahuan yang beragam, dalam sistem pendidikan pesantren yang menganut kerangka modifikasi dan improvisasi. Penyelenggara pendidikan di pesantren adalah menjadi tanggung jawab badan pengurus harian yang berfungsi sebagia lembaga payung dan bekerja untuk mengelola sekaligus menangani kegiatan belajar mengajar di pesantren.
65
Amin Haedari, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal. 9.
48
Sejauh berhubungan dengan pengelolaan pendidikan pesantren kyai atua pendiri pesantren mempunyai hak penuh secara otoritatif dan bertanggung jawab atas perkembangan pesantren. Sementara dalam hal sistem pendidikan pesantren, pesantren memiliki hak konsultatif dengan pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional, penjabarannya sebagai berikut: 1) Pesantren tipe pertama atau menyelenggarakan pendidikan formal dengan sendirinya menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Oleh karenanya, dalam hal kurikulum, akreditasi, supervisi dan ujian mereka di bawah bimbingan Departemen Agama. 2) Pesantren tipe kedua dan ketiga yang menyelenggarakan kurikulum lokal dengan adanya tambahan di beberapa kurikulum umum menjadi bagian integral dalam program wajib belajar 9 tahun yang diselenggarakan Departemen Agama. 3) Pesantren tipe keempat yang masih mempertahankan sistem pendidikan wetonan dan sorogan masuk dalam kategori pendidikan luar sekolah. Tipe ini bisa didorong untuk mengembangkan diri, atau tetap mempertahankan diri dalam bentuk yang ada. Tetapi para santrinya diharuskan masuk dalam pendidikan formal agar mereka dapat memenuhi wajib belajar. Jadi, pesantren tipe ini bukan lagi sebagai lembaga pendidikan utama dalam pendidikan
49
dasar
dan
menengah
tetapi
sebagai
lembaga
pendidikan
pendukung.66 Perkembangan zaman dengan segala tuntutan-tuntutan praktis yang ada di dalamnya telah menyebabkan kesadaran di dunia pesantren untuk mengembangkan eksistensinya dalam wujud pesantren. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi peantren yang sudah mengalami penyadaran sosial dalam sistem pendidikannya menuju ke arah modernisasi, untuk tetap mempertahankan keberadaan madrasahmadrasah sebagai lembaga pendidikan pendukung yang menjadi alternatif.
3. Pertumbuhan Sistem Pendidikan Pesantren Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi. Ia menjadi benteng pertahanan sekaligus pusat penyiaran (dakwah) Islam. Pada awalnya pesantren merupakan tuntutan dari masyarakat, sehingga tidak ada data yang pasti tentang awal kehadiran pesantren di Nusantara.. Baru setelah abad ke-16 diketahui bahwa terdapat ratusan pesantren yang mengajarkan kitab kuning dalam berbagai bidang ilmu agama seperti fiqh, tasawuf, dan akidah. Dalam perkembangannya, pesantren mencatat kemajuan dengan dibukanya pesantren putri dan dilaksanakannya sistem pendidikan madrasah yang mengajarkan pelajaran umum seperti Sejarah, Matematika, dan Ilmu Bumi. Eksistensi pesantren menjadi istimewa karena ia menjadi 66
Ibid., hal. 13.
50
pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Pesantren menjadi tempat berlabuh umat Islam yang tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah. Kini, perkembangan pesantren dengan sistem pendidikannya mampu mensejajarkan dirinya dengan pendidikan pada umumnya. bahkan di pesantren dibuka sekolah umum (selain madrasah) sebagaimana layaknya pendidikan umum lainnya. Kedua model pendidikan (sekolah dan madrasah) sama-sama berkembang di pesantren. Kenyataan ini menjadi asset yang luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan pesantren maupun pendidikan nasional pada masa yang akan datang. Dari sana diharapkan tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat. a. Pesantren dan Negara Eksistensi pesantren tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Ranah kulturan yang digeluti pesantren selama ini menjadi landasan yang sangat berarti bagi eksistensi negara. Perjuangan pesantren baik secara fisik maupun secara kultural tidak bisa dihapus dari catatan sejarah negeri ini. Dan kini generasi santri tersebut mulai memasuki jabatan-jabatan publik (pemerintah) yan dulunya hanya sebatas mimpi. Landasan kultural yang ditanamkan kuat di pesantren diharapkan menjadi guidance dalam implementasi berbagai tugas baik pada ranah sosial, ekonomi, hukum, maupun politik baik di lembaga
51
pemerintahan maupun swasta yang konsisten, transparan dan akuntanbel.
Ini
penting
karena
pesantren
merupakan
kawah
candradimuka bagi munculnya agent of social change. Dan negara sangat berkepentingan atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas. Oleh sebab itu, kepedulian dan perhatian negara bagi perkembangan pesantren sangat diperlukan. Kalau selama pesantren telah menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan warga negara (negara), maka harus ada simbiosis mutualistis antara keduanya. Sudah waktunya negara (pemerintah)
memberikan
perhatian
serius
atas
kelangsungan
pesantren. Kalau selama ini pesantren bisa eksis dengan swadaya, maka eksistensi tersebut akan lebih maksimal apabila didukung oleh negara. Apalagi tantangan ke depan tentu lebih berat karena dinamika sosial juga semakin kompleks. Oleh sebab itu, diperlukan revitalisasi relasi antara pesantren pemerintah yang selama ini berjalan apa adanya. Selama ini sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya ditangani secara maksimal. Beberapa departemen melaksanakan pendidikannya sendiri (kedinasan) sesuai dengan arah dan orientasi departemen masing-masing. Sejatinya pendidikan di sebuah negara berada dalam sebuah sistem terpadu sehingga menghasilkan output yang maksimal bagi kepentingan nasional, bukan hanya kepentingan sektoral.
52
Inilah salah satu problem yang dihadapi sistem pendidikan nasional
saat
ini.
Terpencarnya
penyelenggaraan
pendidikan
menyebabkan banyak masalah. Salah satunya adalah alokasi anggaran yang tidak maksimal. Selama ini pemerintah memandang pendidikan sebagai bagian Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Oleh sebab itu, seluruh anggaran pendidikan dialokasikan untuk Depdiknas. Konsekuensinya pendidikan di bawah departemen lain mendapatkan alokasi dana seadanya. Kenyataan
tersebut
tentu
merupakan
konsekuensi
dari
paradigma struktural yang melihat pendidikan hanya merupakan tanggung jawab Depdiknas. Kita bisa menyaksikan kesenjangan dana yang diterima madrasah (Depag) dengan sekolah umum atau antara perguruan tinggi Islam seperti IAIN/UIN yang di bawah kendali Depag dengan perguruan tinggi umum yang langsung ditangani Depdiknas. Menambah alokasi dana pendidikan pada Depag akan berkonsekuensi pada membengkaknya anggaran pendidikan nasional yang sampai saat ini negara belum mampu memenuhinya sesuai ketentuan konstitusi, yaitu 20 persen dari APBN. Di samping itu, secara
struktural
kerja
pendidikan
yang
dilakukan
beberapa
departemen tidak efektif dan merupakan pemborosan anggaran negara. Oleh sebab itu, pengelolaan pendidikan di bawah satu atap (Depdiknas) akan lebih efektif dan efisien dibandingkan diserahkan pada beberapa departemen.
53
Begitupun
pesantren
dan
madrasah
yang
selama
ini
eksistensinya lebih bersifat swadaya akan lebih maksimal apabila dikelola dengan pendanaan dan pembinaan yang lebih memadai. Apabila saat ini pesantren mulai menyesuaikan diri dengan pendidikan umum dan standar pendidikan nasional, termasuk mendirikan sekolah umum. Berangkat dari realitas tersebut, dengan kesiapan dan penyesuaian yang dilakukan pesantren serta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, maka sudah waktunya pengelolaan pendidikan pesantren dimasukkan di bawah Depdiknas. b. Pesantren Masa Depan Eksistensi pesantren di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap signifikan. Pesantren yang secara histories mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan. Pesantren tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernism yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual. Keberadaan
pesantren
sampai
saat
ini
membuktikan
keberhasilannya menjawab tantangan jaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan
pesantren
ditentukan
oleh
sejauh
mana
pesantren
54
memformulasikan dirinya menjadi pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya. Langkah ke arah tersebut tampaknya telah dilakukan pesantren melalui sikap akomodatifnya terhadap perkembangan teknologi modern dengan tetap menjadikan kajian agama sebagai rujukan segalanya. Kemampuan adaptif pesantren atas perkembangan zaman justru
memperkuat
eksistensinya
sekaligus
menunjukkan
keunggulannya. Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan pesantren menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Dari pesantren sejatinya lahir manusia paripurna yang membawa masyarakat (negara) ini mampu menapaki modernitas tanpa kehilangan akar spiritualitasnya.67 Meskipun
sistem
pendidikan
pada
awalnya
bercorak
tradisional, dalam perkembangan berikut ia lebih bersifat dinamis, adaptif, emansipatif, dan responsif terhadap perkembangan dan kemajuan zaman. Agaknya pesantren tidak membiarkan dirinya dalam ketradisionalan yang berkepanjangan, tetapi lebih pada adaptasi dan adopsi nilai-nilai baru, baik secara langsung maupun tidak langsung, ke dalam sistem pendidikannya. Melihat ini, pesantren dalam bentuknya yang sudah terpoles oleh nilai-nilai baru itu tidak
67
http://amfatwa.com/index.php?dir=pemikiran&file=detail&id=126.
55
menampakkan
karakteristiknya
yang asli,
seperti masa
awal
perkembangannya.68 Dalam memahami gejala modernitas yang kian dinamis, pesantren sebagaimana diistilahkan Gus Dur, sub kultur memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga pendidikan agama Islam dan sebagai bagian integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial, kalangan pesantren menempatkan ilmu bukan sebagai ideology yang tertutup, terlebih sebagai lembaga pendidikan. Ilmu-ilmu pesantren dengan meminjam kategorisasinya-Kuntowijoyo,
bersifat
terbuka
dan
dalam
memperlakukan sebuah fakta berangkat dari fakta sosial.69 Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan lembaga sosial yang permanen tumbuh di daerag pedesaan, dalam kedudukannya ini, potret pesantren sebagai sub kuktur dalam artian lembaga yang unik dan terpisah dengan dunia luar, melihat pesantren sedang mengalami perubahan,
pesantren
sebagai
lembaga
tua
telah
mengalami
pembaharuan.70 Dengan visi masyarakat Indonesia baru, misi pendidikan nasional termasuk di dalamnya pendidikan agama dan keagamaan khususya pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional
68
Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo, 2001), 123. 69 Amin Haedari, Masa Depan Pesantren, IRD. Press, 2006, 76. 70 Chabib Thoha, PBM-PAI di Sekolah Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
56
dalam menghadapi setting sosial atau perkembangan lingkungan strategis yang ada. Perkembangan pesantren di masa lampau sangat tidak menguntungkan baik akibat politik pendidikan pemerintah Kolonial Belanda yang diskriminatif maupun kebijakan Pemerintah Indonesia yang belum sepenuhnya menempatkan pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif, menyebabkan pesantren menghadapi kesulitan dan terisolir dari arus modernisasi, upaya masyarakat pesantren. Untuk menghilangkan isolasi tersebut, terlihat mulai dari lahirnya UU No. 21 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menetapkan pesantren sebagai bangsa dari sistem pendidikan nasional. E.Reorintasi Kurikulum Pesantren Pengembangan pesantren tidak cukup hanya dengan memasukkan mata peajaran umum kedalam kurikuum pesantren. Terlebih sekaran ini sudah banyak pondok pesantren yang membuka sekolah umum. Pada taraf tertentu, hal ini boleh jadi merupakan perkembangan yang patut dibanggakan. Karena dengan begitu pesantren tidak tertinggal terlalu jauh dengan sekolah-sekolah umum dalam hal mata pelajaran umu. Malah posisi pesantren harusnya punya niai lebih dibanding sekolah umum. Para santri yang sekalipun siswa dimadrasah (sekolah) dilingkungan pesantren berpeluang lebih banyak untuk mempeajari pelajaran umum dan peajaran agama sekaligus. Dalam situasi dimana pesantrean dari sisi kostitusi sudah menjadi bagian dari Sisdiknas, dan pada sisi kurikulum struktur mata pelajaran di pesantren sudah bercampur dengan kurikulum standar nasional, maka visi yang perlu
57
dikembangakan adalah menjadikan pesantren sebagai system pendidikn yang tetap mampu meahirkan lulusan yang menguasai ilmu-ilmu keislaman secara mendalam, sekaligus siap pakai dalam dunia kerja. Penataan struktur kurikulum pesantren berkait erat dengan cirri khas keilmuan pesantrennya, secara umum struktur kurikulum pesantren dipilih kedalam dua bidang kompetensi, yaitu: (1) Penguasaan suatu bidang ilmu keislaman tertentu secara mendalam dan (2) Penguasaan ketrampilan hidup (lifeskill) yang aplikatif didunia kerja. Untuk itu setidaknya ada dua pertimbangan penting yang perlu diperhatikan yaitu Pertama, Dari sisi keilmuan pesantren harus mampu menonjolkan cirri khas cabang ilmu keislaman yang dikembangkannya (takhasus). Kedua, Dari sisi lifeskill, pesantren membuka kelas (laboratorium) ketrampilan praktis, dimana bentuk-bentuk ketrampilan yang dibuka di pesantren harus dengan lingkungan masyarakatnya. Pemberdayaan segenap poteensi pesantren dilkukan untuk mendukung terwujudnya reorintasi kurikulum pesantren. Potensi pesantren yang dimaksud disini adalah berbagai bentuk kekuatan (fisik atau nonfisik) yang mendukung berlangsungnya proses belajar mengajar disuatu pesantren, baik dari dalam pesantren sendiri (internal) maupun yang datang dari luar (eksternal). Pemberdayaan potensi internal pesantren perlu disinergikan dengan pemberdayaan potensi eksternal pesantren. Ini dimasudkan untuk mendukung terlaksananya program-program pendidikan pesantren. Beberepa hal yang termasuk kedalam kekuatan eksternal adalah: (1) Konsttusi yang mendukung keberadaan pesantren, yaitu : Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang sistem
58
pemerintahan ( otonomi daerah), Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang pertimbangan keuangan antara pusat dan daerah, Undng-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional. (2) Keterlibatan pemerintah daerah (3) Memperluas nerworking dengan lembaga tinggi pendidikan. Kerja sama pondok pesantren dengan dunia perguruan tinggi telah dipelopori oleh departemen agama, dua tahun belakangan ini telah meakukan kerja sama menjaring santri-santri potensial lulusan pesatren untuk dikuliahkan dibeberapa perguruan tinggi dengan beasiswa penuh.71
71
59
BAB III EKSISTENSI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PP NO.55 TAHUN 2007 TENTENG PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN A. Latar Belakang Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 pasal 31 ayat 3, berbunyi "pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka mencerdeskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang". Atas dasar amanat undang-undang 1945 tersebut. Undang-undang No 22 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam penjelasan umum undang-undang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaharuan sistem pendidikan Nasional dalam melaksanakan pembaharuan sistem pendidikan nasional adalah "pelaksanaan Pendidikan agama dan akhlak mulia". Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional pada pasal 37 ayat (1) mewajibkan pendidikan agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus 56
60
disebut pendidikan agama. Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar agama dapat dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran atau kuliah agama. Pendidikan agama dengan demikian sekurang-kurangnya perlu berbentuk mata pelajaran pendidikan agama untuk menghindari kemungkinan peniadaan agama disuatu satuan pendidikan dengan alasan telah dibelajarkan secara terintegrasi. Ketentuan tersebut terutama dalam pada penyelenggaraan pendidikan formal dan pendidikan kesetaraan. Pendidikan
keagamaan
pada
umumnya
diselengarakan
oleh
masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat, pendidikan keagamaan juga berkembang akibat mata pelajaran atau kuliah pendidikan agama yang di nilai menghadapi berbagai keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau diperkumpulan-perkumpulan yang kemudian berkembang menjadi satuan atau program pendidikan keagamaan formal, non formal atau informal. Secara
historis,
keberadaan
pendidikan
keagamaan
berbasis
masyarakat belajar, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan. Dalam kenyataan terdapat kesenjangan sumber daya yang besar antar suatu pendidikan keagamaan. Sebagai komponen sistem pendidikan nasional, pendidikan keagamaan perlu diberi kesempatan untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk pemerintah dan pemerintah daerah. Rancangan peraturan pemerintah daerah tentang pendidikan Agama dan pendidikan keagamaan merupakan
61
kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, katolik, hindu, budha dan khonghucu.72
B. Sejarah Munculnya PP No. 55 Tahun 2007 Munculnya PP No. 55 Tahun 2007 sangat sepihak dan menguntungkan pesantren demikian dikatakan H. Amin Haedari Direktur Pendidikan Diniyah dan pondok pesantren Departemen Agama RI dalam sambutannya dalam pembukaan pertemuan pimpinan pesantren Mu'adalah dan Depag RI di hotel Millenium. Lebih lanjut dia m,enuturkan keberpihakan PP No. 55 Tahun 2007 terhadap dunia pesantren salafiyah yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu diluar kemampuan bidang keagamaan, keahlian tersebut bisa diakui juga dilembaga formal atau lembaga-lembaga lainnya.73 Pendidikan Islam memiliki peran didalam konteks pendidikan nasional. Hanya saja harus pula dimaklumi dan dipahami jika hingga hari ini secara kelembagaan pendidikan Islam kerap menempati posisi kedua dalam banyak situasi, meski disadari betapa pentingnya posisi pendidikan nasional. Namun harus pula diakui hingga saat ini posisi pendiikan Islam belum beranjak dari sekedar sebuah subsistem dari sistem besar pendidikan nasional.74
72 73 74
http://www. Pondok Pesantren.com/content/70. Rizihan, http://www.Suaramerdeka.com/harian/0501/071.
62
Keluarnya peraturan pemerintah (PP No. 55 Tahun 2007) diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi managerial dan proses pendidikan Islam PP tersebut secara eksplisit mengatur bagaimana seharusnya pendidikan keagamaan Islam dan keagamaan lainnya selenggrakan. Undang-undang nomor 22 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 37 ayat (1) mewajibkan pendidikan agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, pendidikan agama pada jenis pendidikan umum kejuruan, akdemik, profesi, vokasi dan khusus disebut "pendidikan agama". Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar dapat dipelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran atau kuliah agama.75 Sedangkan
pendidikan
keagamaan
adalah
lembaga-lembaga
keagamaan yang selama ini berkembang di masyarakat seperti pesantren, diniyah, sekolah minggu buddhis, pabbajja samanera, dan lain-lain.76 Ormas Kristen sebenarnya menolak keberadaan PP. karena pemerintah turut mengatur atau ikut campur tangan. Menurutnya, pendidikan keagamaan adalah pendidikan dari keluarga dan orang tua pribadi dan lebih kental hak asasi manusia. Jadi sudah ada PP-nya, maka sangat diharapkan pemerintah juga memperhatikan sekolah-sekolah swasta yang sudah lama berkecimpung dibidang agama dan keagamaan.pemerintah sekiranya dalam memerhatikan masalah pendidikan agama dan keagamaan sekiranya tidak pilih kasih dan 75 76
PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, 12. Ibid, 12
63
mengenyampingkan LPK swasta. Terwujudnya PP No. 55 tahun 2007 ini merupakan tuntunan dari undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) yang menyatakan bahwa pendidikan agama dan keagamaan perlu diatur dengan peraturan pemerintah. Pemerintah harus mengimplementasikannya sehingga memberi pencerahan bagi lembaga pendidikan keagamaan khususnya yang dikelola oleh swasta.77 Dengan lahirnya PP, kemungkinan akan melahirkan ketentuan guru, yakni adanya pengaturan langsung di lapangan yang akan mengubah ketentuan khususnya pendidikan agama di sekolah.78
C. Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan
1. Pendidikan Agama
Pendidikan merupakan bimbingan atau arahan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.79 Tujuan pendidikan dalam pandangan Al Quran adalah untuk mengembangkan kemampuan inti manusia dengan cara sedemikian rupa sehingga seluruh ilmu pengetahuan yang diperolehnya akan menyatu dengan kepribadian kreatifnya.80
77 78 79
http://www.hariankomentar.com/arsip.arsip2007/nov.20/IkMIM001.html. http://www.reformata.com/index.pht/M=Meweda=Viewdidi=257&print=1. Basuki, Pesantren dan Pendidikan kecakapan hidup(life skill), cendikia 2, Desember
2007, 293. 80
Muhaimin dkk, Modernisasi Pendidikan Islam Menurut Faizlur rahman, Buletin bvna Pesantren, Edisi Mei 1999, 3.
64
Pendidikan pada dasarnya adalah proses rekayasa atau rancangan bangun kepribadian manusia. Menurut pandangan islam manusia sebagai titik central dalam proses pendidikan, memposisikan manusia sebagai ‘abd Allah dan khalifah Allah fi al ardh.
Karrena fungsi manusia sebagai hamba Allah dirasa belum cukup, maka manusia masih dituntut untuk melakukan fungsi khalifah Allah yang di dlaamnya sebetulnya harus tercermin sebagai refleksi dari fungsi sebagai hamba Allah. Dalam peraturan pemerintah pasal 1, yang dimaksud dengan
pendidikan
agama
adalah
pendidikan
yang
memberikan
pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya yang dilaksanakan sekurangkurangnya melalui mata pelajaran atau kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Sasarannya adalah pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.81 Membicarakan tentang pendidikan agama memang telah cukup lama mendapat perhatian dari tokoh dan telah melahirkan banyak pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan agama. Wujud dari upaya tersebut nampak pada munculnya berbagai pemikiran dan kebijakan 81
M. Saerozzi, Politik Pendidikan Agama Dalam Era Pluralisme(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 29.
65
tentang pembinaan terpadu pendidikan agama di sekolah umum, madrasah, pondok pesantren dan lain sebagainya. Namuan saat sekarang ini terjadi penilaian kritis terhadap pelaksanaan pendidikan agam (khususnya di sekolah): a. Islam diajarkan lebih pada hafalan (padahal islam penuh dengan nilainilai yang perlu dipraktekkan). b. Pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dan Tuhan. c. Penalaran dan argumentasi berfikir untuk masalah keagamaan kurang mendapatkan perhatian. d. Penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan. e. Menatap lingkungan untuk kemudia memasukkan nilai-nilai islam sangat kurang mendapatkan perhatian. Ada tiga hal penting yang dikembangkan melalui pendidikan agama yang pada prinsipnya hamper sama dengan pola umum pendidikan sebagai pengembangan potensi yang terpendam dalam diri anak didik, yaitu nilai (value), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Di samping itu dalam pelaksanaan pembelajaran juga dikenal teori Taksonomi Bloom, yaitu tiga ranah proses pembelajaran: ranah kognitif ,dan ranah psikomotorik. Pendidikan Islam berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi, sedangkan pendidikan non islam, orientasinya duniawi semata. Islam sebagai agama yang
66
universal berisi ajaran-ajaran yang dapat membimbing manusia kepada kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
2. Pendidikan Keagamaan Secara kelembagaan, kehadiran lembaga pendidikan keagamaan dilingkungan masyarakat minoritas dilatarbelakangi oleh keinginan kuat dan semangat yang tinggi para tokoh masyarakat yang dipicu oleh kekahawatiran akan melunturnya akidah dikalangan anak-anak, pelajar dan gegerasi muda pada umumnya yang semakin hari semakin memperhatinkan. Lembaga
pendidikan
keagamaan
dilingkungan
masyarakat
minoritas muncul karena kepedulian masyarakat terhadap masa depan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan keagamaan dilingkungan masyarakat minoritas merupakan lembaga-lembaga kecil yang pada awalnya berupa pengajian, mulai pengajian di rumah, mushalla, masjid, kemudian dilembagakan. 82 Pendidikan keagamaan baik yang diselenggarakan oleh madrasah diniyah atau pesantren adalah atas prakarsa masyarakat muslim dalam rangka memajukan generasi penerus umat Islam. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang secara agama kuat dilihat dari latar belakang pendidikan dan organisai keagamaan masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan pondok pesantren , PTAI, PGA, Aliyah ,
82
Wahid Khozin, Pendidikan Keagamaan dan Masyarakat Minoritas,Edukasi Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan.(t.t, t.t. t.t), 76.
67
memiliki keprihatinan yang tinggi terhadap kondisi pendidikan agama generasi penerus, sehingga mereka rela mengabdikan ilmu dan tenaganya dilembaga
pendidikan
keagamaan.
Bentuk
pelayanan
pemdidikan
keagamaan dibagi dalam tiga bentuk TKA/TPA,Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren. Jenis pelayanan pendidikan keagamaan yang diberikan berkisar pad abaca tulis al-quran, belajar sholat, do’a sehari-hari ,fiqih, Aqidahakhlak, Tarikh Islam, Bahasa arab.83 Dalam peraturan
pemerintah pasal satu, yang dimaksud dgan
pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menunntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.84 Jadi,
Pendidikan
keagamaan
adalah
lembaga
yang
mempersiapkan peserta didik untuk bisa menjalankan peranaya sebagai khalifah di bumi, yang mampu mengarahkan mereka ke dalam penguasaan ilmu agama dan mengamalkannya. A. Pendidikan Pesantren Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berisi masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atas secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.
83
Ibid. Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. 84
68
Pesantren
menyelenggarakan
pendidikan
degan
tujuan
menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan pengetahuan dan ketrampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (MU) dan atu menjadi muslim yang memiliki ketrampilan atau keahlian untuk membangun kehidupan yang Islam di masyarakat. Pendidikan diniyah formal adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan. Pendidikan keagamaan Islam berbentuk diniyah dan pesantren. Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmuIlmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTS/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat dan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat dan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat. Untuk dapat diterima menjadi peserta didik pendidikan diniyah dasar seorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun. Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (tahun) dapat diterima sebagai peserta didik pendidik diniyah
69
dasar. Untuk dapat diterima peserta didik pendidik diniyah menengah pertama seseorang harus berijazah pendidikan dasar atau yang sederajat. Untuk dapat diterima peserta didik pendidik diniyah menengah atas seseorang harus berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat. Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar. Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam serta seni dan budaya. Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, fokasi, dan profesi berbentuk universitas, institute, atau sekolah tinggi. Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap program studi pada perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia. Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah dan atau pendidikan tinggi. Peserta didik atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya dibidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran atau kuliah pendidikan agama disemua
70
jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. D. Eksisistensi sistem pendidikan pesantren dalam PP no. 55 tahun 2007 Pesantren tumbuh dan berkembang sebagai basis pencerahan bagi masyarakat di sekitarnya. Meski mulanya pesantren memosisikan diri sebagai pusat penyebaran islam melalui pola-pola pengajaran sadanya, tetapi dalam perkembangannya, modernisasi telah banyak merubah wajah pesantren. Ini disebabkan karena, pondok pesantren telah mengadopsi unsur-unsur pendidikan modern. Dalam konteks peningkatan mutu pendidikan, tentunya menurunnya semangat kemandirian dan watak kesederhanaan pesantren akan mengancam eksistensinya ke depan. Perlu diinsafi, bahwa pesantren hidup dan menghidupi dirinya atas dudukungan masyarakat. Apa jadinya, bila hal itu tidak lagi terjadi di pesantren? Kita jangan mengandaikan kondisi pesantren sekarang ini sama seperti yang seperti pesantren dulu. Baiklah, anggap saja kita sepakat, bahwa perbedaan salaf-khalaf yang sekarang memilah-milah pesantren tidak menjadi persoalan. Kita anggap kedua-duanya mempunyai sisi positif dan sekaligus sisi negatifnya masing-masing. Kenyataannya sekarang adalah, pesantren sudah lama nersentuhan dengan modernitas dan globalisasi. Bahkan di antarra ekses langsung yang dirasakan pesantren adalah, secara kelembagaan sudah
71
banyak berbentuk lembaga berbadan hokum yang ditandai dengan pendirian madrasah, sekolah umum atau sekolah kejuruan.85 Dengan memperhatikan perubahan pesantren tersebut, tentunya penguatan partisipasi masyarakat tidak bisa dilakukan dengan cara-cara tradisional, sebagaimana dulu di zaman kolonial di mana kyai, santri dan masyarakat bersama-sama memnbentuk satu kekuatan dalam mengusir penjajah. Mereka bersam-sama berjuang tanpa pamrih, penuh keikhlasan dan menganggap apa yang mereka lakukan semata-mata ibadah kepada Yang Maha Kuasa. Tentu saja nilai-nilai luhur harus tetap dipertahankan, namun juga jangan sampai “nilai-nilai” tersebut dijadikan alibi untuk memungkiri relitas yang bergerak tanpa kendali, bahkan mengancam eksistensi pesantren. Rekayasa
social termasuk dalam rangka penguatan
partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat, haeus mempertimbangkan realitas sosio-ekonomi, transformasi cultural dan boleh jadi fragmentasi politik masyarakatnya. Sebagai bagian yang tidk terpisakan dari Sistem Pendidikan Nasional, madrasah telah berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan keislman, membentuk moral bangsa dan mencetak kader pimpinan bangsa. Dalam hal ini, madrasah merupakan lembaga yang multi-fungfional, yaitu sebagai lembaga pengajaran ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan loral dan dakwah candradimuka kepemimpinan. Sebagai satuan keagamaan (islam), madrasah secara legal formal telah diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang 85
Amin Haidari, Transformasi Pesantren, Pengembangan aspek pendidikan keagamaan dan social(Jakarta Lekdis dan Media Nusantara 2006), 49
72
System Pendidikan Nasional maupun Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 yang ditindaklanjuti dengan SK Mendikbud No. 0487 dan 0489 tahun 1992 dan No. 054 tahun 1993 serta SK Menag No. 368, 369 dan 370 tahun 1993, yang menyebutkan madrasah sebagai sekolah umum berciri khas keagamaan islam. Dengan adanya PP ini madrasah lebih tepat disebut “sekolah umum plus”. Kenyataanya bahwa beban kurikulum yang berat bagi madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai
cirri
khas.
Konsekwensiya,
ia
mendapat
beban
tambahan:
mempertahankan materi esensial keislamannya, sekaligus memberikan kurikulum sekolah umum yang setingakt secara penuh. Kurikulum pesantren dalam arti tafaqquh fi al-din sangat variatif dan tidak bisa disamakan satu sama lain. Setiap pesantren memiliki bidang spesialisasi khusus, tergantung keahlian masing-masing pengasuh. Hampir semua pesantren menyelenggarakan pengajian kitab kuning atau studi terhadap literature islam klasik, dan menjadikan kitab-kitab ini sebagai standar kurikulum. Pondok pesantren yang sejak awal sebagai pendidikan keagamaan harus dipertegas sebagai pendidikan keagamaan. Kalau pontren diformalkan bukan berarti pontren harus mendirikan MI, MTs dan MA. Pontren bisa saja menjadi formal kalau memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan. Kalau pontren mendirikan MI sampai MA, bukan berarti lembaga-lembaga tersebut sebagai lembaga keagamaan, tetapi lembaga pendidikan umum yang
73
mengajarkan keagamaan. Memang akan ada dunia formal tetapi formatnya seperti madrasah formal yang di dalamnya ada ketentuan-ketentuan formal yang berlaku dengan kurikulum 70 % agama dan 30 % umum untuk memenuhi wajardiknas. Contohnya seperti MAPK, itulah gambaran dunia formal di tingkat ulya. Sedangkan untuk level ula dan wustho masih sedang dirumuskan. Sekarang masih diadakan kajian mengenai pengembangan dunia formal. Dulu telah diakomodir bagaimana pendidikan keagamaan menjadi formal kalau memenuhi persyaratan. Diantaranya adalah terstruktur atau berjenjang
dari
1-12.
Seluruh
Indonesia
baru
23
pesantren
yang
terakreditasi.kalau sudah diakreditasi harus jelas administrasinya, jam pelajaranya, guru-gurunya harus S-1 dan lain-lain. Dan guru yang tidak mempunyai ijazah formal bisa diakui kalau mengikuti tes kompetensi. Jangankan yang tidak punya ijazah, yang punya ijazah sekalipun sekarang harus mengikuti tes kompetensi.86 Pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama ingin selalu meningkatkan kualitas pontren agar selalu berada pada posisi terdepan. Karena pesantren telah ikut andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun diakui bahwa masyarakat di lingkungan pesantren, cukup cepat berkembangannya. Dulu sewaktu pesantren didirikan, masyarakat sekitarnya masih terbelakang. Dan sekarang alamnya beda, masyarakat mulai maju dalam segala aspek. Untuk itu, bagaimana pesantren harus merespon perkembangan 86
Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
74
yang terjdi di sekitarnya. Untuk merespon perkembangan zaman, lulusan pesantren yang mengeluarkan ijazah formal telah diterima di beberapa perguruan tinggi umum. Untuk meningkatkan kualitas SDM Madin dan pesantren, kami punya program untuk mengkuliah guru-guru yang belum S-1. Kami juga sedang merumuskan konversi matakuliah. Artinya bagi guru-guru madrasah diniyah dan pesantren yang belum S-1,Padahal dia bagus dalam suatu bidang studi, maka ketika melanjutkan kuliah, nilai matakuliah tersebut dikonversi dan yang bersangkutan tidak harus mengikuti mata kuliah tersebut.
75
BAB IV ANALISA EKSISTENSI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PP. NO. 55 TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN
A. Analisa Eksistensi Sistem Pendidikan Pesantren Sebelum PP No 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang keberadaannya sudah dikenal sejak abad 19 dan telah mengakar kuat di masyarakat muslim Indonesia. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dipimpin dan dikelola langsung oleh kyai yang memiliki visi dan penentu arah kebijakan dalam melaksanakan proses pembelajaran dan pencapaian yang hendak dihasilkan oleh santri-santri. Dalam pendidikannya tidak mengenal lama belajar dalam waktu tertentu untuk menempuh proses belajarnya. Begitu juga tidak dikenal jenjang pendidikan berdasarkan peringkat kelas tertentu, karena pesantren bukan lembaga pendidikan klasikal, dalam sistem pengajiaannya dikenal istilah sorogan, wetonan dan bandongan yang dilakukan langsung oleh kyai dengan santri-santrinya dalam mengkaji kitab yang ditentukan oleh kyai.87 Kecenderungan sebagian masyarakat Indonesia, penyelenggaraan pendidikan yang tidak sepenuhnya ikut aturan sekolah dan madrasah 87
Badri, Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyah (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2007), 1.
72
76
bersumbu dari aset pendidikan yang besar maknanya dalam memajukan mutu pendidikan dengan caranya sendiri, dengan kadar kompetensi lulusan yang mereka bangun sendiri, yang mana mencoloknya sistem pendidikan pesantren dengan mengandalkan tradisi membaca tanpa mengiringnya dengan tradisi tulis, yang membuat pesantren jarang sekali memuncul penulis, hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa ketidak dinamisan sistem pendidikan pondok pesantren sangat terkait erat dengan minimnya forum-forum diskusi atau pembahasan yang mengulas secara mendalam berbagai masalah yang mereka hadapi, baik yang berkaitan dengan masalah sistem pendidikan pesantren maupun masalah kepesantrenan dengan seluruh ruang lingkupnya.88 Di pesantren-pesantren tempo dulu kegiatan belajar-mengajar seperti ini bisa berlangsung tanpa penjenjangan kelas dan kurikulum yang kekal. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pengajaran untuk para santri dengan berbagai macam materi disampaikan dengan berbagai metode pembelajaran yang digunakan didasarkan pada dua pendekatan berikut: 1. Pemberian pengajaran dengan struktur, metode, dan literatur tradisional ini berupa pemberian pengajaran dengan sistem halaqoh (lingkaran) dalam bentuk metode sorogan atau bendongan maupun yang lainnya. Ciri utama dan pengajaran ini adalah pengajarannya menekankan pada penangkapan harfiyah atas suatu teks (kitab) tertentu.
88
Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (Jakarta: Departemen RI, 2005), 98.
77
2. Pemeliharaan
tata
nilai tertentu
yang menekankan
pada fungsi
pengutamaan beribadah sebagai bentuk pengabdian dan memuliakan guru sebagai jalan untuk memperoleh ilmu agama yang hakiki. Sebagai suatu lemabaga pendidikan Islam, pondok pesantren dan sudut historis-kultural dapat dikatakan training center yang otomatis menjadi kultural center. Islam yang disahkan dan dilembagakan oleh masyarakat, setidak-tidaknya oleh masyarakat Islam sendiri yang secara de fakto tidak dapat diabaikan oleh pemerintah, sistem pendidikan pondok pesantren selalu diselenggarakan dalam bentuk asrama atau kompleks asrama sehingga santri mendapatkan pendidikan dalam situs lingkungan sosial keagamaan yang kuat dengan ilmu pengetahuan agama yang dilengkapi dengan atau tanpa ilmu pengetahuan umum. Ilmu pengetahuan agama yang diajarkan itu sangat bergantung pada kegemaran atau keahlian kyai yang bersangkutan.89 Reaksi yang terjadi dalam perkembangannya Iebih lanjut (setelah merdeka), pondok pesantren di samping memberikan pelajaran ilmu agama, juga ilmu pengetahuan umum dengan sistem madrasah atau sekolah. Ilmu pengetahuan umum hanya sekedar pelengkap. Jadi sistem pengajian masih tetap diberikan kepada mereka yang menghendaki pada waktu sesudah sekolah, akan tetapi dalam perkembangannya sistem kependidikannya, pondok itu juga ada yang hanya mendidik santri-santrinya dengan sistem madrasah (klasikal) dengan mendisiplin belajar serta praktik ibadah.90
89
Djamaludin, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 101. Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam Edisi Refisi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 231. 90
78
Berdasarkan pembaruan dan perkembangan kritis di atas pendidikan pesantren harus lebih memantapkan perencanaan untuk memperbarui mutu pendidikan pesantren agar menjadi lebih baik sebagaimana yang telah diinginkan oleh pemerintah dalam PP. No. 55 Tahun 2007.
B. Analisa Eksistensi Sistem Pendidikan Pesantren Menurut PP No 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Wacana yang berkembang dalam dinamika pemikiran dan pengalaman praktis alumni pesantren tampaknya menegaskan bahwa pesantren merupakan bagian dan infrastruktur masyarakat yang secara makro telah berperan menyadarkan komunitas masyarakat untuk mempunyai idealisme, kemampuan intelektual, dan perilaku mulia, guna menata dan membangun karakter bangsa yang paripurna. Ini dapat dilihat dari peran strategi pesantren yang dikembangkan dalam kultur internal pendidikan pesantren, misalnya saja, lewat diskursus intelektual Islam klasik pesantren juga rajin dan berusaha membentuk
perilaku-perilaku masyarakatnya agar lebih menekankan,
terutama etika-moral dalam kehidupannya. Memang hal ini telah teruji dan mampu bertahan mengangkat pesantren menjadi sebuah “bengkel” moral, spiritual, dan pusat pengkajian dan pengembangan Islam klasik yang pernah mencapai keemasan dalam peradaban dunia. Eksistensi ini sekaligus
79
memberikan signifikasi yang strategis bagi pesantren dalam proses kebangsaan.91 Nurcholis Madjid mendiskripsikan bahwa pertama, pesantren berhak dan lebih berguna mempertahankan fungsi pokoknya, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama dan morfologi sebagai alat untuk dapat membaca dan memahami kitab-kitab kuning yang ditulis dalam bahasa arab (fiqh, aqidah, tasawuf, tafsir, hadits, bahasa arab). Tetapi masih diperlukan suatu tinjauan, sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan kepada setiap pribadi merupakan jawaban yang komperhensif atas persoalan makna hidup dan pandangan hidup Islam. Kedua, pesantren harus tanggap terhadap tuntutan hidup anak didiknya untuk kehidupannya kelak di masyarakat, karena pada kenyataannya, kehidupan di masyarakat tidak cukup berbekal pengetahuan agama saja tetapi harus dibekali dengan pengetahuan lain dan keterampilan.92 Dengan demikian, tujuan pesantren hendaknya direformasikan untuk membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran pesantren dan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan respon terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tututan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Sebagai lembaga yang identik dengan makna keislaman sekaligus mengandung makna keaslian Indonesia, pesantren dengan kyainya telah memainkan peran-peran strategis di bidang dakwah keagamaan, pendidikan,
91 Suwandi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,. 2009), 117. 92 Badri, Pergeseran Lileratur Pesantren Salafiyah (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2007), 1.
80
dan peran-peran sosial lainnya. Keterlibatan lembaga pesantren dalam program-program wajar Diknas, pelayanan kesehatan, jaringan informasi, pertanian, pembudayaan ekonomi masyarakat, dll, Maka menunjukkan pesantren cukup responsif dan dipercaya masyarakat dan pemerintah untuk mengisi peran-peran tersebut. Pesantren dituntut untuk memfungsikan dirinya sebagai institusi pendidikan penyeimbang bahkan terintegritasi antara penguasaan ilmu-ilmu agama (tafaqqah fiddin) dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, hampir 70% pendidikan formal baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah.93 Dalam dasawarsa terakhir pesantren telah mengalami perubahan yang sangat signifikan sesuai dengan perubahan lingkungan strategi yang terjadi baik pada tingkat lokal nasional maupun global. Perubahan ditandai dengan semakin beragamnya orientasi dan kebutuhan jenis pendidikan karena pendidikan pada dasarnya selalu memiliki hubungan tingkat balik dengan sistem yang ada di luarnya.94 Regulasi pendidikan dapat bertujuan untuk mengakomodir tuntutan pengakuan terhadap model-model pendidikan yang selama mi sudah berjalan di masyarakat secara formal. Dengan karakter dan citarasa pesantren seperti dijelaskan, orang pesantren suka mengkategorikan diri mereka sebagai sebuah sistem dalam paradigma pembudayaan pendidikan pesantren sesungguhnya harus dimaknai pembudayaan kepada satuan pendidikan atau program pendidikan yang terdapat didalamnya, jika pesantren diambil dan sisi 93 94
Choirul Fuad Yusuf, Edukasi Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan, Ibid.,
81
pendidikannya saja maka satuan atau program pendidikan di pesantren dapat dibagi menjadi dua: Pertama, Satuan atau program pendidikan yang sudah ikut aturan pemerintah, misalnya pesantren menyelenggarakan SD, MI, SMA atau Perguruan Tinggi Umum; Kedua, Satuan atau program pendidikan yang selama mi tidak mengikuti aturan maupun kunikulum negara, misalnya madrasah diniyah, kuliyatul muallimin, diniyah salafiyah, majelis taklim, dll. Majelis Taklim meskipun sebenarnya merupakan dakwah kemasyarakatan yang sering diselenggarakan pesantren, namun dalam UU Sisdiknas dimasukkan ke dalam salah satu bentuk pendidikan, yaitu pendidikan nonformal.95 Dunia pesantren telah berhasil mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu. Dunia pendidikan pesantren tidak saja responsife terhadap perubahan sistem yang ada di luarnya, tetapi ia juga mampu mempertahankan nilai, karakter, dan tradisi pendidikan yang dianutnya. Sistem pendidikan pesantren menempati posisi strategis dalam pembangunan budaya bangsa melalui pendidikan pesantren, proses sosialisasi nilai-nilai budaya dan tradisi masyarakat yang bersumber dari ajaran dapat berlangsung secara terus-menerus yang pada gilirannya akan menjadi fondasi bangunan, karakter, dan jati diri bangsa pada saat berhadapan dengan budaya luar. Dengan pendidikan pesantren yang modern potensi seseorang dapat dikembangkan secara optimal melalui pengajaran sains dan teknologi, berbagai keterampilan hidup dan nilai-nilai modrenitas. 95
Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (Jakarta: Departemen RI, 2005), 76.
82
Dengan munculnya PP No. 55 Tahun 2007 sangatlah berpihak dan menguntungkan pesantren karena dalam PP itu mengatur guru atau ustadz dari pesantren salafiyah yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu diluar kemampuan bidang keagamaan, keahlian tersebut bisa diakui juga di lembaga formal atau lembaga-lembaga lainnya. Dalam
menghadapi
perubahan
zaman,
perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi, para kyai yang memimpin pesantren memiliki pandangan dan sikap yang berbeda., bergantung pada latar belakang pendidikan yang diperolehnya atau pada kondisi sosial dan geografis di mana mereka tinggal. Ada sebagian kyai yang mengadopsi sistem pendidikan modern dan menyesuaikan dengan kondisi dan lingkungan pesantren; dan ada pula sejumlah kyai yang bertahan dengan sistem yang sudah berjalan selama ini. Namun pada prinsipnya pandangan mereka hampir dikatakan sama, bahwa sistem pendidikan di pesantren tetap menggunakan kitab-kitab kuning dan tidak keluar dan paham Ahius Sunnah wal Jamaah.96 Seiring dengan kemjuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pesantren telah mengalami pergeseran atau perubahan pada beberapa aspek. Adapun indikator-indikator pergeseran itu antara lain: 1. Kyai bukan lagi merupakan satu-satunya sumber belajar, dengan semakin beraneka ragam sumber-sumber belajar baru, dan semakin tingginya dinamika komunikasi antara sistem pendidikan pesantren dengan sistem yang lain. Dengan demikian, santri dapat belajar dan banyak sumber.
96
Badri, Pergeseran Lileratur Pesantren Salafiyah, 12.
83
Sejak tahun-tahun terakhir ini banyak buku-buku pembaharuan pemikiran dalarn Islam yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh para cendekiawan maupun terjemahan dan buku-buku yang ditulis oleh sarjana-sarjana muslim luar negeri. Hal ini merupakan sumber belajar baru bagi mereka. Meskipun demikian, kedudukan kyai di pesantren masih tetap merupakan tokoh kunci dan menentukan corak pesantren, dan kyai menyadari hal itu, oleh karena itu ia merestui santrinya belajar apa saja asal tetap pada aqidah-syari’ah agama dan berpegang pada moral agama dalam hidup sehari-hari. 2. Dewasa ini hampir separuh pesantren menyelenggarakan jenis pendidikan formal, yaitu madrasah, sekolah umum dan perguruan tinggi. 3. Seiring dengan pergeseran-pergeseran tersebut, santri membutuhkan ijazah dan penguasaan bidang keahlian atau keterampilan yang jelas, dalam era modern tidak cukup hanya berbekal dengan moral yang baik saja, tetapi perlu dilengkapi dengan keahlian atau keterampilan yang relevan. 4. Sehubungan
dengan
hal
tersebut,
di
kalangan
santri
terdapat
kecenderungan yang semakin kuat untuk mempelajari sains dan teknologi pada lembaga-lembaga pendidikan formal, baik di madrasah maupun sekolah umum. 5. Tantangan dan tuntutan yang dihadapi pesantren menimbulkan terjadinya pergeseran atau transformasi, balk pada tingkat peranan kyai, sistem
84
klasikal atau madrasah sistem dan metode belajar atau pada sumber belajar yang terdiri dan kitab-kitab kuning.97 Dalam PP. No. 55 Tahun 2007 disebutkan bahwa pendidikan pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi serta pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan pengetahuan dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama islam (muttafaqqih fiddin)dan menjadi muslim yang memiliki keterampilan atau keahlian untuk membangun kehidupan yang islam di masyarakat. Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam masih harus terus dikembangkan, karena diakui bahwa pesantren adalah satusatunya lembaga pendidikan keagamaan terdepan yang telah melahirkan kader-kader ulama dan tokoh masyarakat. Keberadaan pesantren sebagai pusat kaderisasi ulama di negeri ini harus terus dipertahankan bahkan ditingkatkan, sejalan arus perubahan zaman yang begitu cepat. Pesantren dituntut untuk mampu melakukan berbagai inovasi agar dapat melahirkan sosok ulama yang mampu berkomunikasi dengan zamannya, artinya pesantren harus terbuka terhadap berbagai perkembangan yang kian cepat perputarannya, begitu juga eksistensi pesantren menjadi istimewa karena ia menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dan pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial
97
Ibid., 13-14.
85
(Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Pesantren menjadi tempat berlabuh umat Islam yang tersingkir.
C. Analisa Implikasi PP No 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Terhadap Perkembangan Sistem Pendidikan Pesantren Dalam pendidikan yang disesuaikan dengan PP No. 55 Tahun 2007 membawa pengaruh terhadap perkembangan pesantren yang mana pendidikan yang akan diberikan disesuaikan dengan perkembangan zaman, selain itu juga sangat berpihak dan menguntungkan pesantren. Dewasa mi kita telah melihat dan merasakan perubahan yang dahsyat baiki bagi orang tua maupun munid tentang pendidikan pesantren karena sebagai lembaga pendidikan, sistem dan metodologi pengajarannya yang diterapkan di pesantren sangat unik dan semakin han semakin banyak peminatnya karena dalam pendidikannya membawa dampak yang sangat tinggi untuk masa depan dengan adanya pendidikan diniyah (Madrasah) yang sudah di formalkan. Pondok pesantren termasuk pendidikan khas Indonesia yang tumbuh berkembang ditengah-tengah masyarakat serta telah teruji kemandiriannya sejak berdirinya sampai sekarang. Pada awalnya, bentuk pendidikan pesantren masih sangat sederhana. Setelah itu dalam perkembangannya, pesantren menjelma sebagai lembaga sosial yang memberikan warna khas bagi perkembangan masyarakat sekitarnya. Perannya pun berubah menjadi agen
86
pembaharuan dan agen pembangunan masyarakat sekalipun demikian apapun usaha yang dilakukan pesantren tetap saja yang menjadi khiftah berdirinya dan tujuan utamanya yaitu tafaqqih fiddin.98 Perkembangan dunia telah melahirkan suatu kemajuan zaman yang modern. Perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosiao-kultural seringkali membentur pada aneka kemampuan dan berakibat pada keharusan untuk mengadakan usaha kintekstualisasi bangtinan-bangunan sosio-kultural dengan dinamika modernisasi, tak terkecuali dengan sistem pendidikan pesantren, karena itu sistem pendidikan pesantren harus selalu melakukan upaya rekonstruksi pemahaman tentang ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survive. Secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah, kini perkembangan
pesantren
dengan
sistem
pendidikannya
mampu
menyejajarkan diri dengan pendidikan pada umumnya, bahkan di pesantren sudah dibuka sekolah umum (selain madrasah) sebagaimana layaknya pendidikan umum lainnya. Kedua model pendidikan (Sekolah dan Madrasah) sama-sama berkembang di pesantren. Kenyataan mi menjadi asset yang luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan pesantren maupun pendidikan nasional pada masa yang akan datang, dan ini diharapkan tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat. Pandangan mereka tentang pendidikan pesantren sebenarnya sama halnya dengan sekolah-sekolah pada umumnya hanya saja karena pendidikan
98
Badri, Pergeseran Lileratur Pesantren Salafiyah, 3.
87
pesantren mutu pendidikannya lebih terjamin maka mereka lebih tertarik untuk masuk ke dalamnya, posisi sekolah pada saat ini sebenarnya juga masih banyak peminatnya hanya saja mungkin dalam sekolah hanya terdapat 10% ilmu agamanya. Jika dibandingkan dengan madrasah diniyah sangatlah jauh mutunya. Hal ini sebagaimana yang teratur dalam PP. No. 55 tahun 2007. Dengan demikian kita bisa melihat sebagimana kemajuan pendidikan di pesantren tanpa harus bersekolah di sekolah umum karena ijazahnya dapat digunakan untuk mendaftarkan dalam jenjang yang lebih tinggi.
88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Eksistensi sistem pendidikan pesantren sebelum PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yaitu pesantren memperbarui mutu pendidikannya dengan melakukan suatu inovasi dalam pengembangan dan pengelolaan suatu sistem, karena dalam pendidikannya tidak mengenal lama belajar dalam waktu tertentu untuk menempuh proses belajarnya dan masih menggunakan sistem sorogan, wetonan dan gandongan sehingga dengan semakin berkembangnya zaman, pendidikan pesantren memperbarui perkembangannya dengan sistem klasikal. 2. Eksistensi sistem pendidikan pesantren menurut PP No 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan semakin terangkai dengan baik. Adanya madrasah diniyah, sumber belajar pendidikan dan sarana prasarana semakin baik. Begitu pula kurikulumnya sudah ditetapkan serta mengatur guru atau ustadz dari pesantren yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu diluar kemampuan dibidang keagamaan, keahlian tersebut dapat diakui juga di lembaga formal atau lembagalembaga lainnya. 3. Implikasi PP No 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan terhadap perkembangan pendidikan pesantren adalah kini pemerintah sudah mampu mensejajarkan diri dengan pendidikan pada
85
89
umumnya yaitu dengan hanya menggunakan ijazah pendidikan madrasah diniyah dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi contohnya STAIN, IAIN tanpa mengikuti pendidikan umum lainnya.
B. Saran Sebaiknya
keberadaan
pesantren
sebagai
lembaga
pendidikan
keagamaan Islam masih harus dikembangkan karena diakui bahwa pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan keagamaan terdepan yang telah melahirkan kader-kader ulama dan tokoh masyarakat. Begitu juga hebdaknya mengikuti prosedur dan perintah untuk menerapkan program PP No 55 tahun 2007.
90
DAFTAR PUSTAKA
A’la M. Dian Nafi Abd. Dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2007. Ahmadi, Abu. Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Aditya Media, 1992. Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Arifin, Muzayyin. Kapita Selekta Pendidikan Islam Edisi Refisi. Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Arikunto, Suharsimi. Posedur Penelitian. Yogyakarta: Rineka Cipta, 1992. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Raja Grafindo Press, 1999. Badri. Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyah. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2007. Daulay, Haidar Putra. Historisasi dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1994. Djaelani, Timur. Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Tinggi Agama. Jakarta: Dermaga, 1982. Djamaludin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998. Effendy, Bahtiar. Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam. Jakarta: Paramadina, 1998. Fathoni, Muhammad Kholid. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen RI, 2005. Ghazali, Muhammad Bahri. Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Prasasti, 2002. Haedari, Amin. Masa Depan Pesantren. Jakarta: IRD Press, 2006. . Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jakarta: Diva Pustaka, 2006.
91
. Amin. Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jakarta: Diva Pustaka, 2006. Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Press, 1999. Khozin. Jejak-Jejak Pendidikan Islam Di Indonesia. Malang: UMM, 256. Mahmud. Model Pembelajaran di Pesantren. Solo: Mitra Fajar Indonesia, 2006. Malik, Fadjar. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta, Dadjar Dunia, 1999. . Fadjar. Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesantren Upaya Menghadirkan Wacana Pendidikan Alternatif Dalam Bilik-Bilik Pesantren. BAndung: Pustaka Setia, 1998. Malik, Jamaludin. Pemberdayaan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005. Masdar, Umaruddin. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Mulkhan, Abdul Munir. Nalar Spiritual Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. Nata, Abuddin. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo, 2001. Nawawi, Hadari. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers, 1994. PP. No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan agama dan Pendidikan keagamaan, 12-13 Suwandi. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,. 2009. Syarif, Musthofa. Administrasi Pesantren. Jakarta: Paryu Barkah, 1982. Tafsir dkk. Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Media Transformasi Pengetahuan, 2004. Thoha, Chabib. PBM-PAI di Sekolah Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Yasmadi. Modern Pesantren. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
92
Zamakhsyari, Dhofier. Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994. http://amfatwa.com/index.php?dir=pemikiran&file=detail&id=126. http://pesantren kranji.net/situs/index.php?option=com-content dan task=view dan id=53 dan itemid=1. http://www.hariankomentar.com/arsip.arsip2007/nov.20/IkMIM001.html. http://www.pesantren.virtual.com/index.php/seputar-pesantren/1160-masa-depanpesantren. http://www. Pondok Pesantren.com/content/70. http://www.pk-syahtera.org/v2/main.php?op=isi dan id : 2948 http://www.reformata.com/index.pht/M=Meweda=Viewdidi=257&print=1. http://www.Suaramerdeka.com/harian/0501/071.