1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem hukum yang berkembang di Indonesia merupakan sistem hukum yang berasal dari sistem hukum Romawi. Sistem ini dibawa dan selanjutnya ditinggal oleh Pemerintah Kolonial Belanda, kemudian tetap dianut oleh Pemerintah Indonesia. Sistem hukum ini sering disebut sebagai Civil Law. 1 Norma hukum yang mengatur falsafah bangsa dan bernegara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 (UUD 1945). Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
1
Sutarto Eddhi, 2009, Jakarta, Erlangga, hlm. 1
2
ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konsitusi. 2 Oleh karena itu Pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum dan ketatanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. Mahkamah Konstitusi diperlukan karena bangsa Indonesia telah melakukan perubahan-perubahan yang mendasar atas dasar UUD 1945 yaitu mengenai prinsip-prinsip baru dalam ketatanegaraan seperti check and balance. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahakamah Konstitusi (UU MK) berwenang untuk : 1. Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; 2. Memutus
sengketa
kewenangan
lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; 3. Memutus pumbubaran partai politik; 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; 5. memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa 2
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316)
3
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. 3 Pada tanggal 19 September 2013, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nomor: 100/PUU-X/2012 (Putusan MK) yang amar putusannya menyatakan “ Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4729) bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekutan hukum mengikat”. Putusan
tersebut
berdasarkan
permohonan
Martin
Boiliu
(Pemohon) yang dahulu bekerja sebagai Satpam pada PT. Sandhy Putra Makmur (PT SPM). Pemohon bekerja sejak tanggal 15 Mei 2002 sampai dengan tanggal 30 Juni 2009 dan sejak tanggal 2 Juli 2009 Pemohon telah di PHK (pemutusan hubungan kerja). Atas PHK dimaksud pihak PT. SPM tidak/belum membayarkan kepada Pemohon uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 3
Lihat Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 4316)
4
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Repiblik Indonesia Nomor 4729) (Undang-Undang Ketenagakerjaan)
mengenai kewajiban
Pengusaha/Perusahaan membayar uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak dalam hal terjadi PHK. Setelah berjalan 3 (tiga) tahun di PHK, 2 Juli 2009 sampai dengan 11 Juni 2012, Pemohon baru mengajukan tuntutan pembayaran uang pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian hak yang dimulai dari perundingan bipartit dengan pihak PT SPM pada 11 Juni 2012, dilanjutkan dengan mediasi di Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Selatan namun pihak PT SPM tidak pernah datang untuk mengahadirinya. Upah memegang peranan yang penting dan merupakan ciri khas suatu hubungan disebut hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan upah merupakan tujuan utama dari seorang pekerja melakukan pekerjaan pada orang atau badan hukum lain. Karena itulah pemerintah turut serta dalam menangani masalah pegupahan ini melalui berbagai kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. 4 Berdasarkan pertimbangan hukum Hakim Konstitusi, bahwa maksud
dan
tujuan
permohonan
pemohon
adalah
menguji
konstitusionalitas Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Repiblik 4
Lalu Husni, 2005, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm .142.
5
Indonesia Nomor 4729, selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) yang menyatakan “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak” terhadap UUD 1945) khususnya pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 28D ayat (1)
:“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,perlindungan,
kepastian
hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal 28D ayat (2)
: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Pasal 28I ayat (2)
: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat
apapun
diskriminatif
dan
perlindungan
berhak terhadap
atas
dasar
mendapatkan perlakuan
yang
bersifat diskriminatif.” 5
Berdasarkan Putusan MK tersebut menurut hemat penulisa perlu ditinjau lebih lanjut mengenai syarat-syarat suatu Keputusan Tata
5
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUU-X/2012, hlm. 55.
6
Usaha Negara agar menjadi suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang baik. Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) adalah salah satu bentuk kegiatan pemerintah dalam menjalankan peranannya yang tergolong
dalam
perbuatan
hukum
pemerintah.
Pengertian
Beschikking adalah suatu perbuatan hukum publik yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan wewenang yang ada pada organ tersebut, atau didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan alat-alat pemerintahan, pernyataan kehendak alat-alat pemerintahan itu dalam menyelenggarakan hal-hal istimewa dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan perhubungan perhubungan hukum. 6 Dalam sumber lain Beschikking diartikan sebagai suatu keputusan yang diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersifat konkret dan khusus. 7 Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang dan badan hukum perdata. Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Penetapan tertulis 6
Wordpress, Beschikking (keputusan atau Penetapan) Anjar’s Blog, diakses pada tanggal 3 Mei 2014. 7 M. Marwan, Jimmy P., 2009, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, hlm. 105.
7
Syarat tertulis dari suatu penetapan tidak ditujukan pada bentuk formulanya, tetapi ditujukan pada isi atau substansi dari keputudan tersebut. Persyaratan tertulis ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam pembuktian apabila terjadi sengketa antara pemerintah dengan rakyatnya sebagai akibat dikeluarkan suatu keputusan. 2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara Yang dimaksud dengan badan atau pejabat tata usaha negara adalah badan atau pejabat di pusat dan daerah yang melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif. 3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara Tindakan hukum tata usaha negara adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tun yang bersumber pada suatu ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban kepada orang lain. 4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku Artinya bahwa keputusan itu harus didasarkan pada kewenangan dari pejabat tun, sedangkan kewenangan pejabat tersebut tentunya bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau dengan
kata
lain
bahwa
keputusan
itu
berfungsi
untuk
melaksanakan peraturan yang bersifat umum. Jadi harus ada peraturan yang menjadi dasarnya. 5. Bersifat konkrit, individual dan final
8
Konkrit artinya objek yang diputuskan dalam ktun tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu atau dapat ditentukan, seperti imb, siup, dll. Individual artinya tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju, jika lebih dari seorang harus disebutkan satu persatu dalam keputusan. Final artinya keputusan tersebut sudah definitif dan karenanya menimbulkan akibat hukum. 6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Akibat hukum dalam hal ini adalah menimbulkan hak dan kewajiban kepada seorang atau badan hukum perdata yang terkena keputusan tersebut. 8 Oleh karena itu, keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tidak termasuk dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Prof. Muchsan, suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dalam hal ini Putusan MK dapat dikatakan baik atau memenuhi syarat sah apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan isi. Syarat materill dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
8
a.
Harus dibuat oleh aparat yang berwenang;
b.
KTUN tidak mengalami kekurangan yuridis;
http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/keputusan_penetapan_all.php. Diakses pada tanggal 30 April 2014.
9
Suatu produk hukum dikatakan mengalami kekurangan yuridis apabila didalam pembuatannya terdapat unsur: 1) Adanya paksaan Paksaan
terjadi
apabila
adanya
perbedaan
antara
kenyataan dengan kehendak, sebagai akibat dari adanya unsur eksternal. 2) Adanya kekhilafan Kekhilafan terjadi apabila adanya perbedaan antara kenyataan dengan kehendak, tetapi tanpa adanya unsur kesengajaan. 3) Adanya penipuan Penipuan
terjadi
apabila
adanya
perbedaan
antara
kenyataan dengan kehendak, sebagai akibat dari tipu muslihat. 4) Adanya penyalahgunaan keadaan Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, atau
seharusnya
mengerti
sebenarnya
ia
harus
mencegahnya. c.
Tujuan ketetapan sama dengan tujuan yang mendasarinya.
2. Syarat formil, yaitu syarat yang berkaitan dengan bentuk. Syarat formil dibagi menjadi 3(tiga), yaitu:
10
a. Bentuk ketetapan harus sama dengn bentuk yang dikehendaki oleh peraturan yang mendasarinya. b. Prosedur harus sama dengan bentuk yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya. c. Syarat khusus yang dikehendaki oleh peraturan dasar harus tercermin dalam keputusan. 9 Dari sisi kekuatan hukum yang dimiliki oleh suatu keputusan tata usaha negara, keputusan tata usaha negara digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu: 1.
Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kekutan hukum yang kekal dan abadi (mutlak). Hal ini berarti apabila telah dikeluarkan suatu ktun, maka kekuatan hukumnya tetap berlaku terus.
2.
Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kekuatan hukum sementara. KTUN ini tegas menunjukkan tenggang waktu dari keputusan tersebut.
Oleh karena itu Keputusan Tata Usaha Negara yang dalam hal ini Putusan MK termasuk dalam KTUN yang memiliki kekuatan hukum yang kekal karena, menurut Mantan Hakim Konstitusi Jimly Asshidiqie, Mahkamah Konstitusi apabila menyatakan suatu UU bertentangan dengan UUD 1945, maka UU itu secara otomatis tidak 9
http://studihukum.blogspot.com/2010/11/keputusan-tata-usaha-negara-2-syarat_20html. Diakses tanggal 3 Mei 2014.
11
mempunyai kekuatan hukum mengikat dan sifat Putusan MK adalah deklaratoir, yaitu menyatakan, karena sifatnya hanya menyatakan, maka otomatis Putusan MK langsung berlaku dan tidak perlu eksekusi. 10 Berdasarkan Putusan MK tersebut, terdapat beberapa metode yang perlu diperhatikan oleh pembuat keputusan yaitu: 11 1. Menurut Leopold Pospisil ada metode Materiele theorie , yaitu a.
Produk hukum dalam suatu negara dapat dikembangkan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu: 1)
Hukum yang dibuat oleh penguasa atau hukum tertulis (authoritarian law);
2) Hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum yang tidak tertulis (common law). b.
Dua kelompok hukum diatas memiliki kelebihan dan kekurangan, tetapi kelebihan dan kekurangan itu berbanding terbalik, seperti yang dibandingkan dibawah ini: 1)
Kelebihan dari hukum yang dibuat oleh penguasa atau hukum tertulis adalah memiliki kepastian hukum dan daya paksa yang tinggi. Sedangkan kekurangannya bersifat statis dan obyektifitas keadilannya sulit terwujud.
10
http://www.google.com/#q=apakah+putusan+mk+termasuk+ktun+jimly+hukum+online. Diakses pada tanggal 3 Mei 2014. 11 http://studihukum.blogspot.com/2010/11/keputusan-tata-usaha-negara-2-syarat_20html. Diakses pada tanggal 3 Mei 2014
12
2) Kelebihan dari hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum yang tidak tertulis adalah bersifat dinamis dan obyektifitas keadilannya dapat terwujud. Sedangkan kekurangnnya adalah memiliki kepastian hukum serta daya paksa yang rendah. c.
Dari teori ini dapat disimpulkan bahwa produk hukum yang baik adalah produk hukum yang materinya sebanyak mungkin diambil dari hukum yang tidak tertulis, tetapi wadahnya hukum tertulis.
2. Menurut Rick Dikerson, ada metode Formelle theorie, yaitu: a. Tuntas mengatur permasalahannya; b. Sedikit mungkin memuat delegative van wetgeving; c. Hindari memuat ketentuan yang bersifat elastis. 3. Menurut Jeremi Bantam, ada metode Filosofische theorie, yaitu: a.
Berlaku secara filosofis: Produk hukum harus mencerminkan falsafah hidup bangsa indonesia yaitu Pancasila.
b.
Berlaku secara sosiologis: Mencerminkan kesadaran hukum masyarakat.
c.
Berlaku secara yuridis: Hukum diibaratkan sebagai tombak yang memiliki dua ujujng runcing, yaitu adil dan benar. Adil adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Benar adalah kecocokan antara peraturan
13
dan perbuatan. Apabila adil dan benar bertemu, maka disebut dengan damai. Dengan adanya Putusan MK tersebut berarti Pasal 96 UndangUndang
Nomor
13
Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan
Inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2). Putusan MK tersebut memberikan angin segar bagi para pekerja untuk menuntut haknya sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan, karena sesuai dengan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyatakan “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Oleh karena itu seharusnya para pemberi kerja/pengusaha dalam hal ini harus lebih menghargai para pekerja terlebih lagi hal tersebut adalah perintah dari Undang-Undang Ketenagakerjaan. Senada dengan hal tersebut diatas pada bagian menimbang Undang-Undang Ketenagakerjaan pada huruf b, c, dan d sudah sangat jelas bahwa dalam pelaksanaaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan
14
keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dan perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Merujuk pada kasus Martin tersebut penting kiranya kita mengingat bahwa upah merupakan hak mutlak dari pekerja dan adalah merupakan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan upah tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, hubungan kerja terdiri dari 3 unsur yang bersifat absolut yaitu pekerjaan, upah dan perintah. Meskipun hubungan kerja telah berakhir tetapi selama upah belum dibayarkan maka pekerja memiliki hak untuk menagih upah tersebut dan diperlukan suatu kepastian hukum yang mengatur tata cara pemenuhan upah tersebut agar dalam praktiknya tidak terjadi kebingungan. Ditambah lagi Putusan MK tersebut telah merubah ketentuan daluwarsa sehingga praktik pemenuhan upah yang selama ini dilakukan oleh pemberi kerja dan pekerja perlu diadakan penyesuaian agar dapat melindungi hak-hak semua pihak yang terlibat. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, perlu kiranya dilakukan penelitian terhadap permasalahan yang ada melalui tulisan hukum yang berjudul “Dampak Proses Penuntutan Pembayaran Upah Terhadap Pemenuhan Hak Pekerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan
15
Kerja (PHK) (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUU-X/2012)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah dampak proses penuntutan hak atas pembayaran upah sebagai akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) ? 2. Bagaimanakah kekuatan memaksa dari hak menuntut pembayaran upah oleh pekerja terhadap pengusaha ? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai penulis dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dampak proses penuntutan hak atas pembayaran upah sebagai akibat pemutusan hubungan kerja. 2. Untuk mengetahui kekuatan memaksa dari hak menuntut pembayaran upah oleh pekerja terhadap pengusaha. 3. Untuk menganalisis data dan informasi yang lengkap serta akurat tentang obyek yang diteliti. D.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Kampus Jakarta, dan penelusuran melalui internet, belum pernah ada
16
dilakukan penelitian mengenai “Dampak Proses Penuntutan Pembayaran Upah Terhadap Pemenuhan Hak Pekerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUUX/2012)”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penelitian ini memenuhi kaedah keaslian penelitian.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat, baik secara teoritis maupun praktis: a. Manfaat teoritis, yaitu memberi masukan dan perluasan khasanah ilmu hukum, pada umumnya, dan hukum ketenagakerjaan, pada khususnya. b. Manfaat praktis, yaitu diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembentuk undang-undang, penegak hukum, praktisi hukum, tenaga kerja, dan pelaku usaha untuk menyelesaikan permasalahan mengenai dampak proses penuntutan pembayaran upah terhadap pemenuhan hak pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja.