BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang tengah dihadapkan dengan beban ganda masalah gizi
(double burden of malnutrition).
Belum selesai dengan permasalahan gizi buruk, kini Indonesia juga dihadapkan dengan permasalahan gizi lebih. Saat ini telah terjadi ledakan obesitas khususnya di kota-kota besar yang ada di Indonesia (Hadi, 2005). Salah satu provinsi yang turut menyumbang angka gizi lebih di Indonesia adalah Yogyakarta yang tengah mencapai
pertumbuhan
ekonomi
positif
dan
tertinggi
sepanjang
sejarah
perekonomian (BPS, 2014). Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 di Yogyakarta terdapat 10,3% balita mengalami kegemukan, 16,0% anak usia 5-12 tahun mengalami kegemukan, 10,9% remaja usia 13-15 tahun mengalami kegemukan, 9,8% remaja usia 16-18 tahun yang mengalami kegemukan, serta 26,6% orang dewasa mengalami kegemukan (Kemenskes, 2013). Data tersebut membuktikan bahwa gizi lebih dapat terjadi di semua kelompok usia mulai dari balita hingga dewasa. Permasalahan gizi lebih menjadi catatan penting mengingat dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia. Gizi lebih yang ditunjukan dengan kegemukan tersebut secara langsung berhubungan dengan kematian dan berbagai penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, hipertensi, hiperlipidemia, penyakit empedu, dan kanker (Vam 1
Dam dkk., 2006 dalam Mahan dkk., 2008). Gizi lebih juga dapat meningkatkan risiko terjadinya ostheoarthritis, permasalahan infertilitas, dan kesulitan bernapas (National Institutes of Health, 1998). Disebutkan oleh Barasi (2009) bahwa gizi lebih dan diet tidak seimbang dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas akibat penyakit tidak menular terkait gizi (non-related non-communicable disease/ NR-NCD). Saat ini tercatat 40% kematian akibat NR-NCD dan diperkirakan pada tahun 2020 akan melonjak sebesar 77% kematian akibat NR-NCD yang terjadi di negara berkembang,
seperti
Indonesia.
Dampak-dampak
negatif
yang
ditimbulkan
seharusnya dapat ditekan dengan pengendalian terhadap penyebab-penyebab yang memiliki pengaruh besar terhadap kejadian gizi lebih. Status gizi lebih yang terjadi pada seseorang merupakan akibat dari ketidakseimbangan energi. Seseorang yang mengalami gizi lebih memiliki keseimbangan energi positif sehingga kelebihan energi disimpan dalam bentuk lemak yang terakumulasi (Hill dkk., 2000). Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh asupan berlebih (umumnya pada makronutrien) dan rendahnya tingkat aktivitas fisik (Barasi, 2007). Hasil penelitian Mela (1996) menyebutkan bahwa makan secara berlebih dan konsumsi makanan tinggi lemak yang disertai dengan aktivitas fisik yang rendah dapat menyebabkan obesitas.
Selain itu, Labayen dkk. (2013)
menyebutkan bahwa asupan lemak menjadi faktor utama terjadinya timbunan lemak abdominal atau yang disebut obesitas abdominal pada remaja. Kejadian obesitas disebut-sebut berkaitan dengan tingkat kesukaan makanan khususnya makanan tinggi karbohidrat (makanan manis) dan berlemak (Davis, 2007). Bahkan pernyataan tersebut diperkuat oleh Drewnoski dkk. (1992) yang menyebutkan bahwa wanita 2
obes lebih menyukai makanan sumber lemak dan karbohidrat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat kesukaan terhadap makanan tinggi lemak dan karbohidrat berkaitan dengan kejadian obesitas. Kejadian obesitas yang terjadi akibat konsumsi makanan berlebih, salah satunya ditentukan oleh frekuensi konsumsi makanan yang sering. Jika dikaitkan dengan dengan tingkat kesukaan makanan (preferensi makanan), maka terdapat keterkaitan antara frekuensi konsumsi makanan dengan tingkat kesukaan makanan (preferensi makanan). Menurut
Thomson (1998) dan Moskowitz (1983) dalam
Drewnoski dan Hann (1999), frekuensi konsumsi makanan (frequency of food comsumption) dapat diprediksi oleh adanya data tingkat kesukaan makanan (preferensi makanan). Data mengenai frekuensi konsumsi makan seseorang dapat digunakan untuk melihat kebiasaan konsumsi makan sehari-hari yang diketahui dapat berkaitan dengan status gizi yang dimiliki seseorang, termasuk status gizi lebih yang kini dapat terjadi di seluruh kelompok usia. Salah satu kelompok usia yang tidak luput dari status gizi lebih adalah remaja sebagai kelompok usia yang tengah berada dalam fase kehidupan yang rawan (Arisman, 2010). Kelompok remaja sendiri dikelompokan berdasarkan remaja awal, tengah, dan akhir. Kelompok remaja awal (usia 11-14 tahun) cukup menarik perhatian mengingat pada tahap tersebut sedang berlangsung proses adaptasi seorang anak terhadap perubahan seksual dan citra tubuh dari tahap anak-anak menuju tahap remaja (Ingersoll, 1992 dalam Stang dan Story, 2005). Bila dilihat dari tingkat pendidikan, kelompok remaja awal umumnya tengah berada pada bangku sekolah menengah pertama (SMP). Berdasarkan penelitian Hadi (2004) terdapat 3
7,8% siswa SMP di Yogyakarta yang tinggal di perkotaan mengalami obesitas dan 2% siswa SMP di Yogyakarta yang tinggal di pedesaan mengalami obesitas. Tidak menutup kemungkinan jika para remaja yang mengalami gizi lebih tersebut dapat terkena dampak negatif dari kondisi yang dimilikinya. Contoh dampak negatif yang dialami oleh remaja dengan status gizi lebih adalah timbulnya masalah psikososial seperti depresi dan berkurangnya rasa percaya diri dalam pergaulan (Raj dan Kumar, 2010). Remaja-remaja yang mengalami gizi lebih tersebut juga berpeluang lebih besar mengalami gizi lebih saat usia dewasa (Ghuo dan Chumlea, 1999; Freedman dkk., 2009; Freedman dkk., 2005; Freedman dkk., 2001 dalam CDC, 2014) dan memiliki risiko yang cukup besar untuk mengalami masalah kesehatan seperti penyakit jantung, diabetes tipe II, stroke, kanker, dan ostheoarthritis (Office of the Surgeon General, 2010 dalam CDC, 2014). Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disimpulkan pentingnya penelitian terkait preferensi makanan manis dan berlemak yang dikaitkan dengan status gizi lebih pada siswa SMP di Yogyakarta, khususnya di Kota Yogyakarta sebagai ibu kota provinsi dari Daerah Istimewa Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Apakah preferensi makanan manis dan berlemak berpengaruh terhadap kejadian gizi lebih pada remaja SMP di Kota Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan umum Mengetahui hubungan preferensi makanan manis dan berlemak terhadap kejadian gizi lebih pada remaja SMP di Kota Yogyakarta. 4
2.
Tujuan khusus a. Mengetahui preferensi makanan manis dan berlemak pada remaja SMP di Kota Yogyakarta. b. Mengetahui frekuensi konsumsi makanan manis dan berlemak pada remaja remaja SMP di Kota Yogyakarta. c. Mengetahui status gizi remaja SMP di Kota Yogyakarta. d. Mengetahui hubungan preferensi
makanan manis dan berlemak dengan
frekuensi konsumsi makanan manis dan berlemak pada remaja SMP di Kota Yogyakarta. e. Mengetahui hubungan frekuensi konsumsi makanan manis dan berlemak dengan status gizi pada remaja SMP di Kota Yogyakarta. f. Mengetahui hubungan preferensi makan manis dan berlemak dengan status gizi pada remaja SMP di Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1.
Untuk dinas kesehatan dan institusi terkait Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai preferensi makanan dan status gizi pada remaja, sehingga dapat digunakan untuk pengambilan keputusan atau kebijakan yang dapat mendukung terciptanya status gizi baik pada remaja.
2.
Untuk sekolah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pihak sekolah sehingga dapat meningkatkan perannya dalam memberikan edukasi seputar gizi dan kesehatan pada siswa. 5
3.
Untuk peneliti Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan di bidang gizi, khususnya mengenai preferensi makanan dan status gizi pada remaja.
4.
Untuk peneliti selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi untuk melakukan penelitian yang terkait dengan preferensi makanan, status gizi, dan remaja. E. Keaslian Penelitian
1.
Penelitian Drewnowski dkk. (1992) yang berjudul “Food Preferences in Human Obesity : Carbohydrates Versus Fats” Jenis penelitian dan rancangan penelitian: Penelitian observasional, cross sectional. Ringkasan penelitian : Sebanyak 93 pria obes dan 386 wanita obes diminta menulis 10 makanan favorit mereka termasuk makanan yang paling banyak dikonsumsi. Namun, ternyata subjek tersebut mengisi lebih dari 10 makanan sehingga total keseluruhan makanan yang terkumpul sebanyak 886 untuk pria dan 3638 untuk wanita. Dari informasi tersebut kemudian dapat makananmakanan tersebut dapat diklasifikasikan dan terkumpul 147 kategori makanan. Selanjutnya makanan-makanan tersebut diklasifikasikan kembali menjadi makanan sumber karbohidrat dan sumber lemak. Kesimpulan : Diketahui bahwa wanita obes lebih menyukai makanan sumber karbohidrat atau lemak, sedangkan pria obes lebih menyukai makanan sumber protein atau lemak.
6
Perbedaan : Subjek penelitian adalah orang-orang dengan status gizi obese, sedangkan penelitian yang akan dilakukan subjek penelitian berupa orangorang dengan status gizi kurang atau baik, dan status gizi lebih termasuk gemuk dan obesitas. 2.
Penelitian Rollins dkk. (2011) yang berjudul “Preferences Predict Food Intake from 5 to 11 years, but not in girls with higher weight concerns dietary restraint, and % body fat” Jenis penelitian dan rancangan penelitian : penelitian observasional, longitudinal. Ringkasan penelitian : Sebanyak 197 anak perempuan mengikuti penelitian dari usia 5 tahun hingga 11 tahun. Dalam kurun waktu tersebut dilakukan penggalian data mengenai snack food preference yang dikaitkan dengan prediksi asupan makanan dari tahun ke tahun. Pada penelitian ini juga dilakukan penilaian terhadap berat badan, tinggi badan, weight concern, dietary restraint dan % lemak tubuh. Kesimpulan : Snack food preference dapat memprediksi asupan makanan tetapi akan berkurang pada saat anak perempuan memasuki usia remaja yang dipengaruhi oleh adanya weight concern, dietary restraint, % lemak tubuh, dan indeks massa tubuh. Perbedaan : subjek penelitian berupa anak-anak usia 5-11 tahun, sedangkan subjek penelitian yang akan dilakukan adalah remaja usia 11-14 tahun.
3.
Penetian Mela (1996) yang berjudul “Eating behaviour, food preferences and dietary intake in relation to obesity and body-weight status” 7
Jenis penelitian dan rancangan penelitian : systematic review Ringkasan penelitian: Pada artikel ini dilakukan review terhadap penelitianpenelian yang pernah dilakukan terkait dengan eating behavior, food preference, dan dietary intake terhadap berat badan dan kejadian obesitas. Pada variabel eating behavior dilakukan analisis mendalam terhadap externality, restraint, microstructure of eating, dan pattern of eating. Kemudian pada variabel food pattern dilakukan analisis mendalam pada food preference secara umum, respon sensori secara umum, dan respon sensori pada makanan sumber lemak. Selain itu juga dilakukan analisis mengenai obesitas dan asupan makan sehari-hari. Kesimpulan: Makan berlebih dan konsumsi tinggi lemak dengan aktivitas fisik yang rendah dapat menyebabkan obesitas. Perbedaan : Penelitian yang akan dilakukan dengan menggunakan desain observasional, sedangkan desain penelitian di atas menggunakan desain systematic review. 4.
Penelitian Jones dkk. (2010) yang berjudul “Food knowledge, attitudes and preferences and BMI in children: The Gates head Millennium Study” Jenis penelitian dan rancangan penelitian : penelitian observasional, longitudinal. Ringkasan penelitian: Penelitian ini melibatkan 1029 anak Gateshead, Inggris. Anak-anak tesebut diukur berat dan tinggi badannya untuk dihitung indeks massa tubuhnya. Selain itu mereka diminta mengisi Thinking about Food Questionnaire yang berisi tentantang food knowledge dan food preference. 8
Orang tua dari anak-anak tersebut juga menjadi responden dengan mengisi kuesioner seputar parental food knowledge dan parental food attitudes. Kesimpulan: Ada asosiasi antara parental food knowledge dan food attitude serta child food knowledge dan food preferences. Namun, tidak ada asosiasi antara child food preferences dan food choice, serta child food preferences dan indeks massa tubuh (IMT). Perbedaan : Penelitian di atas mengukur preferensi makanan secara menyeluruh, sedangkan penelitian yang akan dilakukan mengukur preferensi makanan spesifik pada makanan manis dan berlemak. 5.
Penelitian Marti, C.K. (2001) yang berjudul “The Association of Food Cravings and Preferences with Food Intake” Jenis penelitian dan rancangan penelitian : penelitian observasional, cross sectional. Ringkasan penelitian : Sebanyak 162 orang dewasa diminta mengisi food craving inventory (FCI) yang bertujuan untuk mengukur tingkat craving seseorang. Selain itu responden juga diminta mengisi food preference questionnaire (FPQ) sebagai pengukur tingkat kesukaan terhadap makanan, serta the three factor eating questionnaire (TFEQ) sebagai pengukur dieatary restraint, disinhibition (variabel psikologi), dan perceived hunger seseorang. Kesimpulan :
Terdapat korelasi yang tidak terlalu signifikan antara food
cravings dan hedonic rating pada preferensi makanan dengan asupan makanan yang menandakan bahwa orang tidak mengkonsumsi makanan yang mereka ingingkan dan mereka sukai dalam jumlah yang banyak. Selain itu, 9
disimpulkan food craving sangat menyerupai dengan
hunger (rasa lapar).
Kemudian disimpulkan pula tidak terdapat asosiasi antara dietary restraint dengan linear cumulative food intake. Perbedaan : Penelitian tersebut menggunakan subjek berupa orang dewasa sedangkan penelitian yang akan dilangsungkan menggunakan subjek remaja. Selain itu juga terdapat perbedaan pada variabel yang diikutsertakan dalam penelitian. Penelitian tersebut menguji keterkaitan food cravings dan eating behavior, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan tidak dilakukan pengujian keterkaitan variabel tersebut terhadap preferensi makanan. 6.
Penelitian Weaver, M.R. (1998) yang berjudul “Food Preferences of Men and Women Determined by Questionnare and Feeding” Jenis penelitian : penelitian observasional, cross sectional. Ringkasan penelitian : Sebanya 110 pria dan 54 wanita diminta melengkapi food preference questionnaire yang terdiri dari 54 jenis makanan dan 9 hedonic scale yang menyatakan tingkat kesukaan responden terhadap daftar makanan tersebut. Pada food preference questionnaire
responden juga
diminta menyertakan frekuensi konsumsi dari 54 jenis makanan yang ditampilkan. Dua minggu kemudian responden dihadapkan dengan 12 jenis makanan dan diminta memberi nilai pada makanan-makanan itu dengan menggunakan skala hedonic yang sama. Kesimpulan : Tingkat kesukaan terhadap makanan lebih besar pada wanita dibandingkan pada pria. Selain itu juga hubungan yang signifikan antara tingkat kesukaan terhadap makanan dengan frekuensi konsumsi makanan. 10
Perbedaan
:
Penelitian
tersebut
menyertakan
preferensi
makanan
berdasarkan jenis kelamin, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan tidak menyertakan preferensi makanan berdasarkan jenis kelamin. Pada penelitian
tersebut
terdapat
pengujian
dengan
menggunakan
feeding
(pemberian makanan sampel), sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan tidak menggunakan feeding (pemberian makanan sampel). 7.
Penelitian Jonnalagadda dkk. (2004) yang berjudul “Food Preferences, Dieting Behaviors, and Body Image Perception of Elite Figure Skaters” Jenis penelitian dan rancangan penelitian : penelitian observasional, cross sectional. Ringkasan penelitian : Sebanyak 23 atlet pria papan luncur dan 26 atlet wanita papan luncur diminta mengisi food preference checklist, kuesioner terkait demografi, dieting behavior, persepsi mengenai citra tubuh, dan menjalani food record selama 3 hari. Pada atlet pria tercatat memiliki pilihan yang tinggi pada serealia, buah, daging, produduk olahan susu, serta makanan manis dan berlemak. Sedangkan pada atlet wanita tercatat memiliki pilhan yang tinggi pada serealia dan buah saja. Sebanyak 30% atlet wanita merasa kelebihan berat dan mengindikasikan pemilihan makanan untuk merampingkan bentuk badan. Kesimpulan : Masing-masing atlet baik pria dan wanita memiliki pemilihan makanan yang tinggi terhadap jenis makanan tertentu serta sama-sama berkonsentrasi pada berat badan dan citra tubuhnya.
11
Perbedaan : Penelitian di atas dilakukan pada atlet dan tidak mengukur asosiasi atau kausabilitas antara preferensi makanan dengan status gizi, penelitian yang akan dilakukan menggunakan subjek berupa remaja usia 1114 tahun dan mengukur asosiasinya dengan status gizi.
12