BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Bovine Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang bersifat kronis disebabkan oleh bakteri. Penyebaran penyakit ini secara global sudah meluas hampir diseluruh dunia. Berdasarkan laporan WHO dan FAO pada tahun 2000 perkembangan Bovine Tuberculosis (BTB) dinegara berkembang sudah mengkhawatirkan walaupun untuk mencari data yang konkrit masih sangat langka. Afrika di 25 negara dilaporkan secara sporadis, dilaporkan hampir 15% dari populasi sapi ditemukan adanya BTB melalui uji. Dari 36 negara di Asia, 16 negara melaporkan secara sporadis. Amerika latin ditemukan secara sporadis di 12 negara dari 34 negara yang ada. Di Indonesia BTB belum diketahui secara jelas, namun tuberculosis pada manusia tercatat lebih kurang 1,5 juta penduduk dan tiap tahun mengalami peningkatan sekitar 200.000 kasus baru. Sehingga Tuberkulosis menjadi masalah yang cukup serius. Menurut OIE, menyebutkan bahwa secara klinis belum pernah dilaporkan adanya BTB di Indonesia (OIE, 2010). Namun demikian pada tahun 1994 pernah dilaporkan adanya 3 kasus BTB di Propinsi Jawa Barat (Akoso, 1996) Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah lumbung ternak sapi di Indonesia Timur. Saat ini populasi sapi di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 1.129.732 Ekor (Data statisttik ternak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013). Jumlah ini akan terus ditingkatkan untuk
1
bisa mencapai swasembada daging pada tahun 2017. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan terus berupaya untuk mempertahankan daerah lumbung ternak sapi diantaranya dengan program 2 (dua) juta ekor sapi pada tahun 2016. Banyak faktor yang akan menjadi rintangan untuk bisa mewujudkan target tersebut, diantaranya adalah kendala penyakit, khususnya penyakit yang berpotensi zoonosis, diantaranya adalah Brucellosis, Anthraks dan Tuberkulosis. Penyakitpenyakit tersebut merupakan penyakit yang tergolong dalam penyakit strategis, yang berdampak sangat luas, selain pada kesehatan masyarakat veteriner, ekonomi, politis dan kebijakan serta perundang-undangan. Sebagai daerah lumbung ternak di Indonesia Timur, Propinsi Sulawesi Selatan dituntut memiliki sebuah strategi yang konprehensif dan terintegrasi dalam pengendalian penyakit hewan. Salah satu yang menjadi fokus adalah pengendalian penyakit hewan strategis, khususnya penyakit yang bersifat zoonosis. Dalam mengaplikasikan kegiatan terintegrasi pada penyakit zoonosis maka pelibatan aspek kesehatan manusia menjadi bagian penting. Untuk itu sudah mulai diinisiasi sebuah kegiatan yang terintegrasi dalam bentuk program “one health”. One health merupakan sebuah pendekatan keterpaduan antara bidang kesehatan hewan dengan kesehatan manusia, dapat direalisasikan dalam bentuk surveylans bersama. Pilihan penyakit untuk uji coba telah dilakukan pada kejadian wabah Anthraks di Kabupaten Maros pada akhir tahun 2013. Penyakit zoonosis lainnya yang endemik di Sulawesi Selatan, seperti Rabies dan Flu burung sudah juga dilakukan keterpaduan dalam penanganannya. Brucellosis menjadi tantangan tersendiri bagi bidang kesehatan, karena pemerintah belum mengembangkan
2
definisi kasus ataupun panduan untuk surveylans dan penanganan kasus pada aspek kesehatan manusia. Bovine Tuberculosis (BTB) atau Tuberculosis pada sapi sebagai salah satu penyakit zoonosis perlu dipertimbangkan untuk disurvey kejadiannya di Sulawesi Selatan, mengingat penyakit ini sebarannya sangat luas. Studi distribusi penyakit ini sudah pernah dilakukan di Kabupaten Enrekang oleh Sartika Juwita dkk pada tahun 2012. Studi ini dilakukan pada sapi perah dan dilaporkan hasil positif sebanyak 2 sampel (3,3%) dari 60 sampel yang diteliti. Gambaran ini menunjukkan bahwa penyakit ini sudah menyebar di Sulawesi Selatan. Untuk itu dibutuhkan surveylans yang lebih luas diseluruh kabupaten di Sulawesi Selatan untuk memberikan keyakinan akan prevalensi dan sebaran penyakit BTB ini. Selanjutnya
dengan
adanya
prevalensi
dan
sebaran
penyakit
akan
dipertimbangkan untuk mengembangkan strategi pengendalian, khususnya memasukkan dalam strategi terpadu ‘One health’.
1.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang dikembangkan adalah: 1) Berapa sebaran kabupaten yang terdeteksi sero positif BTB di Sulawesi Selatan? 2) Seberapa besar seroprevalensi BTB pada sapi yang ada di Sulawesi Selatan? 3) Apa saja faktor risiko BTB di Sulawesi Selatan?
3
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini adalah: 1) Untuk mendapatkan data dasar seroprevalensi BTB pada sapi yang ada di wilayah Sulsel, meliputi 24 kabupaten. Data dasar tentang BTB sangat penting bagi tindak lanjut, seperti pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit zoonosis, khususnya BTB. 2) Memperolah gambaran faktor risiko BTB di Sulawesi Selatan. 1.4. Manfaat Penelitian 1) Mendapatkan data base tentang seroprevalensi dan gambaran faktor risiko Bovine Tuberculocis (BTB) atau Tuberkulosis sapi sebagai gambaran sebaran penyakit ini di Sulawesi Selatan. 2) Adanya referensi untuk pengusulan rencana tambahan dalam pengendalian penyakit zoonosis yang baru muncul (emerging disease) kepada pemerintah kabupaten dan propinsi di Sulsel.
4
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis Kasus tuberkulosis pertama kali dikenal dan ditemukan pada tulang mummi Mesir kuno, kira-kira lebih dari 2000 tahun lalu. (Manual Penyakit Hewan Mamalia, 2012). Secara spesifik Tuberkulosis pada sapi disebabkan oleh bakteri Mycobakterium tuberculosis bovis, yang umumnya disebut dengan M. bovis. Tuberkulosis sapi ini bersifat zoonosis dan merupakan penyakit strategis yang merupakan salah satu penyakit yang masuk dalam perundang-undangan. . Bovine Tubercullosis (BTB), termasuk dalam Mycobacterium tuberculosis Complex (MTC) yang terdiri dari Mycobacterium bovis, M. tuberculosis, M. africanum, M. microti, M. Canetti dan M. Caprae. (Cousins et al, (2003);. Michel et al., (2010) Baik dan Duignan, (2011); Atkins dan Robinson, (2013). (Al-Saqur et al, 2009; OIE, 2009). Penularan BTB bisa terjadi secara horizontal dan vertikal dari induk sapi yang tertular. Penyakit berjalan kronis dan mengakibatkan kerugian sosio ekonomi yang sangat tinggi sekitar 10-25%. Di Amerika Serikat banyak kasus Tuberkulosis pada manusia disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. M. bovis merupakan salah satu Mycobacterium yang dapat menyebabkan Tuberkulosis pada manusia (CDC, 2011), kemudian telah dikembangkan vaksin aktif M.bovis dari Bacillus Calmette and Guerin
5
(BCG) yang merupakan isolat dari M.bovis dan vaksin ini telah banyak digunakan secara luas diseluruh dunia (Elizabetf et al, 1997). Hampir seluruh hewan mammalia rentan dengan M.bovis. Sapi merupakan induk semang utama dari Tuberkulosis sapi. Selain itu kambing dan babi juga merupakan mamalia yang sangat rentan terhadap serangan M.bovis. Seluruh bangsa sapi yang ada di dunia rentan dengan M.bovis, namun demikian sapi dewasa lebih tahan dibandingkan dengan anak sapi. Kejadian pada manusia dan hewan memiliki perbedaan khusus yang belum diketahui. Umumnya
Tuberkulosis
pada
sapi
muncul
lebih
kompleks
yang
mengikutsertakan bermacam interaksi antara inang dan agen penyebabnya (Tarmudji dan Supar, 2008). Menurut Aphis Veterinary Services, (2002) M.bovis dibandingkan dengan M.tuberculosis dan M.avium dapat menginfeksi induk semang atau hospes yang paling luas karena dapat menginfeksi atau menulari hampir seluruh hewan bertulang belakang (vertebrata) yang berdarah panas. BTB mampu menyerang ungulata liar dan menulari spesies carnivora lainnya serta menjadi masalah utama dibeberapa negara bagian afrika. Di Selandia Baru, possum (Tricosurus vulpecia) dan di Eropa khususnya di Inggris bager (Meles meles) sering sebagai reservoir dari M.bovis. Banyak kejadian hewan liar penderita tuberkulosis menjadi penular di lingkungan peternakan khususnya di padang rumput pengembalaan (Cooper, 2002).
6
Di India, berdasarkan penelitian Prasada dkk., (2005) ditemukan 8,7% dari sampel manusia dan 35,7% telah teridentifikasi disebabkan oleh BTB. Penelitian Oloya et al., (2007) di Uganda, dilaporkan bahwa telah diisolasi berbagai Mycobacterium spp dari berbagai sampel organ sapi yang dipotong sebanyak 61 sampel. Gambaran hasilnya ditemukan 37 sampel positif mycobacteria yang terdiri 19 sampel terdeteksi BTB (51,4%) dan 18 sampel terdeteksi mycobacteria lainnya (48,6%).
2.2. Diagnosa Diagnosis yang tepat adalah salah satu strategi yang sangat penting untuk melakukan pencegahan dan penularan BTB. Pilihan paling tepat adalah dengan uji serulogis. Beberapa metode serulogis yang sering dipakai untuk mendiagnosa BTB adalah tuberculine yang sampai saat ini masih diterapkan OIE sebagai uji standar dalam perdagangan international meskipun sering terjadi adanya positif palsu. Diagnosa dengan uji tuberkulin akan dapat dilihat dari reaksi hipersensitivitas dengan tipe tertunda (delayed hipersensitivity reaction). Metode uji reaksi polimerase berantai (PCR), ujiproliferasi limfosit (lymphocyte proliferation assay) dan uji gamma interferon assay (IFN-) dapat digunakan.(OIE, 2009). Konfirmasi diagnosa dengan isolasi dan identifikasi organisme, dengan kultur biasanya dapat diambil pada 4-8 minggu, atau dengan PCR dapat diperoleh dalam beberapa hari (The Merck Veterinary Manual, 2011). Diagnosa pada hewan yang telah mati dapat dilakukan dengan pemeriksaan post mortem, pemeriksaan bakteriologi dan
7
histopatologi. Isolasi bakteri dan pemeriksaan preparat mikroskopik serta dilanjutkan dengan identifikasi bakteri yang ditemukan merupakan bagian dari pemeriksaan bakteriologi. (Manual Penyakit Hewan Mamalia, 2012). Dalam kondisi lapangan untuk membedakan infeksi TBC dan BTB sering agak sulit diidentifikasi. Untuk membedakan antara M.tuberculosis dan M.bovis dapat dievaluasi dengan menggunakan PCR dan restriction fragment length polymorphism (RFLP) assay. A.Mirsha, dkk (2005) dalam penelitiannya melakukan ujikorelasi identifikasi M.tuberculosis dan M.bovis dengan PCR-RFLP assay dan Kultur standar techniques, diperoleh hasil 33 isolat diidentifikasi sebagai M. bovis, 7 sebagai M. tuberculosis, dan 15 mycobacteria sebagai nontuberculosis, dimana isolat yang diambil secara makroskopis menunjukkan kesamaan. ELISA merupakan salah satu pengujian
yang dapat digunakan untuk
mendeteksi antibody. ELISA tampaknya yang paling cocok dari tes antibodi-deteksi dan dapat menjadi pelengkap, bukan alternatif, untuk tes berdasarkan imunitas seluler (OIE, 2009).
8
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP
3.1. Kerangka Berpikir Berdasarkan gambaran latar belakang dan kajian pustaka,
maka
pertimbangan kerangka pikir dalam usulan penelitian ini adalah; Bovine Tuberculosis (BTB) merupakan penyakit yang sangat penting dengan sebaran kasus yang cukup luas,
yang perlu dipertimbangkan untuk dideteksi
penyebarannya di Sulawesi Selatan. Buktinya telah dideteksi adanya sero positif pada sapi perah di Kabupaten Enrekang, namun serosurveilans menyeluruh di seluruh kabupaten di Sulsel belum pernah dilakukan. Sulawesi Selatan sebagai salah satu lumbung ternak di Indonesia Timur, tentu juga menjadi barometer dalam pengelolaan layanan kesehatan hewan. Realisasi dari barometer layanan adalah adanya strategi pengendalian penyakit
hewan
strategis, termasuk didalamnya pengendalian penyakit hewan zoonosis yang baru muncul (new emerging disease). Permasalahan mendasar dari distribusi atau mutasi ternak di Indonesia dan Sulawesi Selatan khususnya adalah sulitnya melakukan pengawasan lalu lintas ternak, karena persepsi penerapan aturan masih beragam dalam era otonomi daerah ini. Dengan kondisi seperti itu, potensi penyebaran penyakit hewan antar daerah cukup besar, termasuk penyakit Bovine Tuberculocis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi. 9
Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan maupun kabupaten belum memiliki rencana tindak maupun inisiasi untuk melakukan serosurvey terhadap Bovine Tuberculocis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi. Melalui penelitian ini diharapkan memberikan gambaran tentang sebaran atau status seroepidemiologi terhadap Bovine Tuberculocis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi di Sulawesi Selatan. Penelitian ini akan dilakukan dalam bentuk serosurveilans dengan menggunakan pengujian ELISA Bovine Tuberculocis (BTB) diharapkan dapat memberikan hasil sero positif maupun negatif Bovine Tuberculocis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi. Bila ditemukan sebaran seropositif lebih dari 6 kabupaten dan 24 kabupaten di Sulawesi Selatan, maka peluang untuk merekomendasikan pemerintah propinsi yang dalam hal ini adalah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Sulawesi Selatan untuk membuat sebuah strategi pengendalian penyakit zoonosis yang baru muncul (emerging disease).
10
3.2. Konsep Sulsel sebagai Gudang Ternak di Indonesia Timur menuju swasembada daging di Indonesia Sulsel sebagai Barometer layanan kesehatan hewan di Indonesia Timur Sulsel belum memiliki data tentang serosurveilans BTB
BTB merupakan penyakit penting yang sebarannya cukup luas Deteksi BTB di Kabupaten Enrekang Lalu lintas keluar masuk ternak tidak dapat terkontrol
Serosurveilans dan faktor risiko BTB di Wilayah Sulsel dengan 24 kabupaten Uji ELISA
11
Seropositif Seronegatif
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Penelitian “Observasional study” yang dimaksudkan untuk mengetahui adanya antibodi (seropositif) terhadap Bovine Tubercullosis atau Tuberkulosis pada sapi.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan diseluruh kabupaten di Sulawesi Selatan, sampel akan diambil diseluruh kabupaten yang berjumlah 24 kabupaten. Uji diagnostiknya akan dilakukan di laboratorium bakteriologi dan serologi Balai Besar Veteriner Maros. Penelitian ini telah dilakukan mulai bulan Oktober 2014 sampai April 2015.
4.3. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari Penelitian ini adalah: Sapi
: Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sapi pedaging (dengan segala jenis yang pelihara masyarakat) dan sapi perah (di dua kabupaten; Enrekang dan Sinjai). Jenis
12
kelamin jantan dan atau betina yang berasal dari 24 kabupaten di Sulawesi Selatan. Serum
: Merupakan bagian dari cairan darah yang diperoleh selama
dengan
cara
beberapa
menggunakan
zat
mengendapkan
menit
yang
tidak
bekuan
darah
(anti
koagulan). Sero positif
: Merupakan penghitungan
jumlah sampel
yang postif dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan ELISA. Sero negatif
: Merupakan penghitungan jumlah sampel negatif dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan metode ELISA.
4.4. Penentuan Sumber Data Sumber data yang akan digunakan adalah data populasi ternak sapi yang diperoleh dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Sulawesi Selatan pada 24 kabupaten. Penghitungan jumlah sampel ditentukan berdasarkan detect disease dengan tingkat konfidensi 95% prevalensi dibawah 1%. Rumus yang digunakan untuk perhitungan detect disease (Budiharta dan Suardana, 2007; Thrusfiled, 1986; Cannon and Roe, 1982) sebagai berikut;
13
n = [ 1- ( 1- a)1/D] [N - ( D -1)/2]
n = jumlah sampel yang dibutuhkan N = populasi ternak a = tingkat konfidensi Dugaan Prevalensi
= 1% 0,01
D = 0,01 x Populasi Tabel 1. Data populasi sapi di Sulawesi Selatan tahun 2013 Sapi Potong No Kabupaten/ Kota dan Perah 1 Kab. Selayar 13.358 2 Kab. Bulukumba 62.203 3 Kab. Bantaeng 23.967 4 Kab. Jeneponto 25.490 5 Kab. Takalar 38.131 6 Kab. Gowa 102.399 7 Kab. Sinjai 84.572 8 Kab. Bone 307.437 9 Kab. Maros 69.945 10 Kab. Pangkep 42.474 11 Kab. Barru 62.040 12 Kab. Soppeng 30.250 13 Kab. Wajo 76.943 14 Kab. Sidrap 45.425 15 Kab. Pinrang 23.331 16 Kab. Enrekang 46.333 17 Kab. Tator 6.611 18 Kab. Palopo 2.943 19 Kab. Luwu 18.755 20 Kab. Luwu Utara 23.131 21 Kota Luwu Timur 14.145 22 Kota Makasar 3.259 23 Kota Pare-Pare 4.312 24 Kab. Toraja Utara 278 TOTAL 1.129.732
14
Kebutuhan sampel untuk penelitian ini sebesar 298 sampel, dengan perhitungan sebagai berikut; n = jumlah sampel yang dibutuhkan N = populasi ternak sapi potong untuk tahun 2013 = 1.129.732 ekor a = tingkat konfidensi adalah 95% Dugaan Prevalensi
= 1% 0,01
D = 0,01 x 1.129.732 = 11.297,32 n = [ 1- ( 1- a)1/D] [N - ( D -1)/2] n = [1 (1- 0,95)1/11.297][1.1229.732 – (11.297-1)/2] n = 298 Besaran sampel untuk tiap-tiap kabupaten adalah; Populasi kabupaten x Besaran Sampel n1 = Populasi ternak
15
Tabel 2. Data besasaran sampel di kabupaten/kota Sulawesi Selatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kabupaten/ Kota Kab. Selayar Kab. Bulukumba Kab. Bantaeng Kab. Jeneponto Kab. Takalar Kab. Gowa Kab. Sinjai Kab. Bone Kab. Maros Kab. Pangkep Kab. Barru Kab. Soppeng Kab. Wajo Kab. Sidrap Kab. Pinrang Kab. Enrekang Kab. Tator Kab. Palopo Kab. Luwu Kab. Luwu Utara Kota Luwu Timur Kota Makasar Kota Pare-Pare Kab. Toraja Utara TOTAL
Sapi Potong dan Perah 13.358 62.203 23.967 25.490 38.131 102.399 84.572 307.437 69.945 42.474 62.040 30.250 76.943 45.425 23.331 46.333 6.611 2.943 18.755 23.131 14.145 3.259 4.312 278 1.129.732
Besaran Sampel 4 15 6 7 10 27 23 82 18 11 16 8 20 12 6 12 2 1 5 6 4 1 1 1 298
4.5. Variabel Penelitian Dalam penelitian ini, identifikasi variabel yang akan dilihat adalah; variabel bebas berupa sampel serum sapi yang berasal dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Untuk variabel terikat berupa Titer Antibodi Bovine Tuberculoccis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi dari uji ELISA. Masing-masing variabel yang akan digunakan didefinisikan sebagai berikut;
16
a. Sampel darah sapi diperoleh dari pengambilan sampel di seluruh kabupaten di Sulawesi Selatan dengan memberikan kode sampel untuk seluruh sampel yang serumnya telah ditempatkan pada microtube. b. Titer antibodi Bovine Tuberculoccis diperoleh dari hasil Uji ELISA Bovine Tuberculoccis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi dengan menggunakan AniGen BTB Ab ELISA 2.0 produk Bionote.
4.6. Bahan Penelitian Bahan uji ELISA Bovine Tuberculoccis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi, yang dibutuhkan adalah serum sapi dan KIT Bovine Tuberculoccis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi dengan AniGen BTB Ab ELISA 2.0 produk Bionote .
4.7. Instrumen Penelitian Alat yang digunakan untuk pengujian ELISA Bovine Tuberculoccis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi adalah micropipet multichanner dan ELISA Reader.
4.8. Presedur Penelitian Tahapan penelitian ini dengan mengikuti prosedur sebagai berikut; menentukan asal sampel, menghitung besaran sampel yang dibutuhkan, mengambil sampel di lapangan, melakukan labeling atau mengkode sampel, mengumpulkan sampel, memisahkan serum dan menempatkan pada microtube dan kemudian 17
dilanjutkan dengan melakukan pengujian ELISA Bovine Tuberculoccis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi. Disamping itu pemilik ternak diwawancarai dengan menggunakan kuisioner (terlampir). Kuisioner ini merupakan pelengkap untuk melihat gambaran tipe pemelihaaan dan epidemiologi terhadap BTB di Sulawesi Selatan.
4.9. Analisa Data Data yang diperoleh dari hasil uji ELISA Bovine Tuberculoccis (BTB) atau Tuberkulosis Sapi akan disajikan secara deskriptif dengan menjelaskan hasil seropositif dan seronegatif. Analisa data kuisioner juga dilakukan untuk menghubungkan antara hasil seropositif bila ditemukan dengan gambaran epidemiologinya, sebagai pelengkap.
18
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1. Hasil Uji ELISA Bovine Tubekulosis Berdasarkan hasil pengujian ELISA terhadap 298 sampel yang berasal dari 24 kabupaten di Sulawesi Selatan, diperoleh hasil 2 sampel positif. Hasil positif tersebut diperoleh dari kabupaten Bone sebanyak 1 sampel pada sapi Bali dari 82 sampel dan di Kabupaten Enrekang sebanyak 1 sampel pada sapi perah dari 12 sampel. Sampel positif dari kabupaten Bone dengan kode sampel ‘bon76’ berasal dari desa Kalero kecamatan Kajuara pada sapi bali yang berumur 3 tahun. Sedangkan sampel positif dari kabupaten Enrekang dengan kode sampel ‘enr13’ berasal dari desa Tanete, kecamatan Anggeraja pada sapi FH yang berumur 8 tahun. Seluruh sampel dari 22 kabupaten/kota lainnya hasilnya ‘negatif’. Data rinci pada tabel 3. Kedua ternak yang diambil sampelnya semuanya memiliki kandang dan memiliki tempat pakan dan minum, namun penampung feses untuk sampel ‘bon76’ tidak ada, sedangkan untuk sampel ‘enr13’ memiliki penampung feses. Jarak kandang untuk sampel ‘bon76’ kurang dari 5 meter dari rumahnya dan dibersihkan 2 kali seminggu sedangkan jarak kandang untuk sampel ‘enr13’ berada di lahan lain dan setiap hari dibersihkan. Untuk tipe pengembalaan sampel ‘bon76’ pada areal pengembalaan sendiri sedangkan sampel ‘enr13’ tidak digembalakan. Bila dilihat dari berat badan atau performans ternak sampel ‘bon76’ agak kurus namun nampak sehat, sedangkan untuk sampel ‘enr13’ berat badannya normal dan nampak sehat. Untuk aspek pemeliharaan dan pemeliharanya, kedua ternak 19
sampel tersebut dipelihara sendiri, sedangkan kondisi kesehatan pemelihara ternak sampel ‘bon76’ pernah batuk 6 bulan lalu dan pemelihara ternak sampel ‘enr13’ kondisinya sehat. Sementara kesehatan pada lingkungan keluarganya semuanya sehat. Hasil seroprevalensi yang diperoleh; untuk seluruh sapi (sapi potong dan perah) 07% (2/298), sapi potong 0,3% (1/293) dan sapi perah 20% (1/5). Tabel 3. Hasil Uji ELISA No Kabupaten 1
Selayar
2
Bulukumba
3
Bantaeng
4
Jeneponto
5
Kab. Takalar
6
Gowa
7
Sinjai
8
Bone
9
Maros
10
Pangkep
11
Barru
12
Soppeng
13
Wajo
14
Sidrap
15
Pinrang
16
Enrekang
17
Tator
18
Palopo
19
Luwu
20
Luwu Utara
21
Luwu Timur
22
Makasar
23
Pare-Pare
24
Toraja Utara
Total
Hasil Uji Jumlah Sampel ELISA (+) Prevalensi Total Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi potong perah Potong Perah Potong Perah Gabung 4 4 15 15 6 6 7 7 10 10 27 27 23 23 82 82 1 1,2 1,2 18 18 11 11 16 16 8 8 20 20 12 12 6 6 5 7 12 1 20 8,3 2 2 1 1 5 5 6 6 4 4 1 1 1 1 1 1 293 5 298 1 1 0,3 20 0,7
20
Gambar 1. Peta Provinsi Sulawesi Selatan
Gambar 2. Peta Kabupaten Bone
21
Kec. Kajuara
Gambar 3. Peta Kabupaten Enrekang
Kec. Anggeraja
5.2. Hasil Analisis Kuisioner Pemilik Ternak Sampel sebagai faktor risiko Dari hasil pengambilan kuisioner pemilik ternak yang diambil sampelnya memberikan beberapa gambaran, antara lain; kepemilikan kandang, bahwa dari 298 sampel responden yang diambil, 267 yang memiliki kandang, 1 yang kandangnya bergabung dengan spesies lainnya dan 30 yang tidak memiliki kandang. Dari 267 yang
22
dikandangkan 113 beralaskan semen dan 154 kandang yang tidak beralas, sedangkan 1 kandang gabung tidak beralas. Dari 267 yang dikandangkan 146 kandangnya beratap seluruhnya, 86 beratap sebagian dan 35 yang tidak beratap. Jarak kandang dengan rumah dari 267, ada 80 yang jaraknya kurang dari 5 meter, 68 lebih dari 5 meter, 43 yang menempel dengan rumah dan 76 kandangnya ada di lahan lain. Untuk kandang gabung jaraknya menempel dengan rumah. Sedangkan untuk ternak yang tidak dikandang, artinya ternak ditambatkan atau dilepas; dilahan lain 11, menempel dengan rumah 7, 1 jaraknya kurang dari 5 meter, 3 jaraknya lebih dari 5 meter dan 5 yang dilepas. Bila dilihat dari pembersihan kotoran dari 298 responden, ada 108 yang membersihkan 2 kali seminggu, 101 membersihkan setiap hari, 44 yang membersihkan 2 bulanan dan 45 yang tidak membersihkan. Tipe pengembalaan dan waktu pengembalaan cukup bervariasi, untuk pengembalaan pada kebun sendiri sebanyak 50 responden, lahan pengembalaan sendiri 75, kebun tetangga 12, pengembalaan umum 136 dan tidak digembalakan sebesar 25. Sedangkan waktu pengemblaannya yang paling banyak dilakukan pada siang hari saja sebesar 174 responden. Untuk sumber bibit sebagian besar memperolehnya dari ternak sendiri, maksudnya turunan dari ternak sebelumnya, yaitu sebesar 243, dari desa sendiri 20, dari kecamatan lain sebesar 19, dari kabupaten lain 14 dan lain desa dalam 1 kecamatan hanya 2. Bila dilihat dari aspek berat badan atau performans ternaknya ada 177 yang agak kurus, normal 89, kurus sekali 29 dan gemuk hanya 3. Kondisi ternak sebagian besar terlihat sehat yaitu 194, pernah sakit pernafasan dibawah 6 bulan sebesar 3, pernah sakit pernafasan diatas 6 bulan 6, penurunan berat badan secara signifikan 35 dan dalam keadaan sakit sebesar 59
23
dengan berbagai diagnosa. Untuk aspek pemelihara dan kesehatannya, dipelihara sendiri itu ada 193, dipelihara bersama keluarga 63 dan dipelihara orang lain sebesar 42. Dari kesehatan pemeliharnya nampaknya 254 yang sehat, batuk dibawah 6 bulan 30, diduga sakit pernafasan 6, batuk diatas 6 bulan 1, dalam keadaan sakit 7. Untuk kesehatan keluarga dari pemelihara ada 257 yang nampaknya sehat, batuk diatas 6 bulan 19, sedang sakit 12, diduga sakit pernafasan 9 dan batuk dibawah 6 bulan 1. Seluruh informasi tersebut tertera dalam tabel pada lampiran.
24
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Pengujian ELISA Tuberculosis Hasil pengujian ELISA terhadap sampel diperoleh hasil positif sebanyak 2 sampel, dari 298 sampel yang diperiksa. Sampel positip dengan kode ‘enr13’ memiliki nilai rata-rata OD 2,745 dan S/P sebesar 1,193 pada plate 3 (10-04-2015) well F1. Nilai ini cukup tinggi dibandingkan standar yang disyaratkan untuk memvalidasi dengan positif kontrol diatas 1,500 untuk OD dan diatas atau sama dengan 0,5 untuk S/P. Bila dibandingkan dengan positif kontrol, untuk rata-rata nilai OD sebesar 2,259 dan nilai S/P nya 1, ini menunjukkan jauh diatas positif kontrol. Artinya deteksi antibodynya cukup tinggi. Sedangkan untuk sampel dengan kode ‘bon76’ pada plate 5 (09-04-2015) well B1 nilai rata-rata OD-nya sebesar 1,361 dan nilai S/P sebesar 0,516. Bila dibandingkan dengan positif kontrol sebesar 2,557 untuk nilai rata-rata OD dan 1 untuk nilai S/P namun demikian untuk interpretasi hasil positif sesuai dengan standar validasi yang disyaratkan yaitu ≥ 0,5 untuk nilai S/P. Dalam beberapa penelitian terhadap deteksi anti body M.bovis khususnya dalam Bovine Tuberculosis bahwa tidak ada uji yang benar-benar memberikan hasil yang paling baik. Kombinasi tes sangat perlu dilakukan untuk mendiagnosa BTB, karena tidak ada tes tunggal yang mampu mendeteksi semua hewan yang terinfeksi dan juga tidak ada tes yang memiliki sensitivitas dan spesivitas 100% (Neeraja et al, 2014). Demikian juga menurut Marassi 2013, mengatakan bahwa rentang tes yang saat ini 25
tersedia tidak cukup efektif untuk digunakan secara tunggal dan tidak akan mendeteksi semua sapi yang terinfeksi dalam semua tahap infeksi. Oleh karena itu, pendekatan multidisiplin untuk diagnosis dan pengendalian tuberkulosis akan lebih efektif untuk mengidentifikasi semua hewan yang terinfeksi hewan terlepas dari tahap penyakitnya. Prevalensi untuk sapi potong dan sapi perah terjadi perbedaan yang mencolok, sapi potong ditemukan 1 positif dari 293 sampel sehingga prevalensinya sebesar 0,3% untuk sapi perah ditemukan 1 positif dari 5 sampel sehingga prevalensinya menjadi 20%, sedangkan prevalensi keseluruhan untuk sapi perah dan sapi potong menjadi 0,7%. Perbedaan mencolok ini terjadi karena jumlah sampel yang diambil antara sapi perah dengan sapi potong sangat jauh. Dalam beberapa penelitian bahwa ras sapi sapi dapat membedakan prevalensi, Studi yang dilakukan di Afrika mengidentifikasi jenis sapi sebagai faktor risiko untuk tes kulit positif. Pada tahun 1998, sebuah studi crosssectional dilakukan pada 1 813 hewan (494 peternakan intensif) dari Eritrea menyarankan bahwa keturunan diimpor, digunakan untuk meningkatkan industri susu di daerah tropis, mungkin kurang tahan terhadap BTB dibandingkan dengan keturunan sapi potong lokal (Humblet et al, 2004).
6.2. Keterkaitan hasil Pengujian ELISA dengan hasil Kuisioner Temuan Hasil positif pada 2 sampel di Bone kode sampel ‘bon76’ dan Enrekang dengan kode sampel ‘enr13’ dapat dikaitkan dengan beberapa temuan pada pengambilan kuisioner. Terutama yang berhubungan dengan perkandangan, berat badan
26
atau performans ternaknya, kesehatan ternak, kondisi kesehatan pemilihara dan keluarganya serta sumber bibit ternak.
6.2.1. Keterkaitan seropositif dengan Asal bibit Sapi. Asal bibit sapi sangat terkait dengan perpindahan ternak dari satu tempat ke tempat lainnya. Perpindahan ternak ini akan sangat berhubungan dengan penyebaran penyakit dari satu tempat ketempat lainnya. Perpindahan hewan terbukti menjadi faktor risiko penting, dalam sebuah penelitian untuk menganalisa perpindahan ternak antara tahun 1985 dan 2003 di Britania Raya. Gambaran temuan tipe molekul menunjukkan bahwa perpindahan hewan yang sangat bertanggung jawab untuk sebagian besar wabah yang dilaporkan di NE Inggris antara tahun 2002 dan 2004, seperti yang ditunjukkan di 31 kawanan yang mengalami wabah BTB selama periode tersebut (Humblet et al, 2004). Berrian et al. (2012) melakukan penelitian untuk menentukan risiko BTB dengan melihat perpindahan hewan selama tahun 2005. Perbandingan dibuat antara perpindahan hewan dari ternak yang telah dikontrol perpindahannya pada tahap tertentu selama tahun 2005 (hewan positif), dibandingkan dengan hewan yang tidak terinfeksi. Risiko keseluruhan diagnosis BTB selama periode 2 tahun setelah hewan dipindahkan adalah 0,69%, dengan hewan 'terinfeksi' kawanan menjadi 1,91 (1,76-2,07) kali lebih mungkin untuk hasil uji positif dibandingkan dengan hewan dari kawanan yang 'tidak terinfeksi'. Asal bibit kedua sampel positif hasil penelitian berasal dari pengembang biakan sapi yang telah ada sebelumnya yaitu dari induk yang dipelihara sebelumnya. Ada
27
kemungkinan penularan atau paparan M.bovis diperoleh dari induknya. Kedua sapi yang diambil sampelnya tersebut berjenis kelamin betina, artinya peluang penularan akan kembali terjadi pada anak-anak yang dilahirkan, terutama pemularan saat menyusui. Mengkonsumsi air susu sapi yang terinfeksi tuberculosis merupakan cara penularan yang paling efektif. Bacil penyebab tuberculosis yang teremulsi pada lemak susu akan masuk melalui jaringan mukosa yang ada pada saluran cerna (Masniari et al, 2004). Disamping itu penularan secara vertikal dapat terjadi (Tarmudji dan Supar, 2008). Ternak sapi seropositif yang ada di Enrekang dan Bone bila tidak dikontrol perpindahannya, maka besar kemungkinannya bila berpindah ke daerah baru akan menjadi sumber penularan. Asal ternak bibit merupakan salah satu potensi faktor risiko. Seropositif BTB yang berasal dari wilayah kabupaten Enrekang diperoleh dari keseluruhan sapi sebesar 8,3% (1/12) dan khusus untuk sapi perah ras FH sebesar 20% (1/5). Berdasarkan penelitian di wilayah Oromia, Ethiopia dilaporkan; dari 13 koperasi susu, dua memiliki setidaknya satu reaktor BTB positif dan lima memiliki hewan positif brucellosis Prevalensi hewan individu adalah 0,3% (95% CI 0,1% menjadi 1,3%) untuk BTB, 1,7% (95% CI 0,8% menjadi 3,5%) untuk brucellosis dan 8,9% (95% CI 6,8% ke 11,5%) untuk MAC (Mycobacterium avium Compleks) (Tschopp et al, 2013). Bila dibandingkan dengan prevalansi BTB tercatat dalam penelitian lain, 3,85% dilaporkan di Malawi; 1,3% di Tanzania; 1,4% dilaporkan di Uganda, prevalensi ini tampaknya sedikit tinggi dan harus meningkatkan masalah kesehatan masyarakat (Muma et al, 2013). Laporan dari sebuah penelitian di Mozambik hasil di Distrik Govuro, Mozambik 28
Tenggara menunjukkan bahwa BTB sangat lazim di distrik tersebut, dengan tingkat prevalensi keseluruhan 39,6% (Moiane et al, 2014). Bila dibandingkan dengan kejadian seropositif dari hasil penelitian tersebut, maka prosentase kejadian seropositif di wilayah Enrekang cukup tinggi. Tabel 4. Data sampel Kab. Enrekang Kode Sampel enr1 enr2 enr3 enr4 enr5 enr6 enr7 enr8 enr9 enr11 enr12 enr13
Jenis sapi Bali Bali Bali Bali Bali Bali Fh Fh Bali Fh Fh Fh
Sex Jt Bt Jt Bt Jt Jt Bt Bt Bt Bt Bt Bt
Umum 2 4 1 3 2 2 4 5 4 8 6 8
Desa Kalosi Sumillan Sumillan Sumillan Tanete Saruran Lakawan Lakawan Tanete Tanete Lakawan Tanete
Kec Alla Alla Alla Alla anggeraja anggeraja anggeraja anggeraja anggeraja anggeraja anggeraja anggeraja
Kab enrekang enrekang enrekang enrekang enrekang enrekang enrekang enrekang enrekang enrekang enrekang enrekang
Hasil ELISA negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif positif
Tabel 5. Data asal Bibit Sapi Desa Ds lain 1 Kab Kec Kab/Kota sendiri kec lain lain Sendiri Jumlah Bone 9 1 72 82 Enrekang 12 12 Kab Lain 11 1 14 19 159 204 Total 20 2 14 19 243 298 % 6,7 0,7 4,7 6,4 81,5
6.2.2. Keterkaitan seropositif dengan perkandangan Sistem perkandangan sapi di wilayah Sulsel khususnya di Bone dan Enrekang umumnya merupakan sistem perkandangan semi intensive, yang dibuat dengan atap
29
seng atau alang-alang dan berlantai. Jarak kandang untuk sampel ‘bon76’ kurang dari 5 meter dari rumahnya, tidak memiliki penampung feses dan untuk sampel ‘enr13’ kandangnya berada di lahan lain, ada penampung fesesnya. Kebuanya memiliki tempat pakan dan minum. Kandang pada sampel ‘bon76’ dibersihkan 2 kali seminggu dan kandang ‘enr13’ dibersihkan setiap hari. Prevalensi tinggi BTB diamati di hampir semua bidang peternakan skala kecil, dengan sistim kandang dan manajemen yang terbatas, sangat kontras dengan apa yang diamati di peternakan sektor komersial (hanya di wilayah Luido) di Mozambik Tenggara, di mana tidak ada SCITT hewan positif terdeteksi. Sementara pada hewan sektor komersial biasanya diuji untuk BTB akan dikarantina sebelum didistribusikan atau diperdagangkan (Moiane et al 2014). Menurut laporan Indiana State Departement of Health, (2008), kandang dan kebersihannya sangat penting sebagai predisposisi penularan. Penularan BTB ke hewan lain maupun manusia melalui aerosol pada lingkungan yang terkontaminasi M.bovis dan lingkungan penderita
(infected environment). Salah satu cara untuk melakukan
pencegahan dalam penyebaran adalah dengan melakukan pembersihan dan disinfeksi kandang dengan baik. Disinfeksi menggunakan senyawa phenol 2-3%, kresol 2-3% atau ortophenil 1% merupakan disinfektan yang paling efektif untuk membunuh bakteri TBC (Masniari et al 2004). Penularan dapat terjadi pada saat berkumpulnya ternak penderita pada padang pengembalaan. Sapi sampel ‘bon76’ digembalakan pada tanah pengembalaan sendiri dan digembalakan hanya pada siang hari saja, sedangkan untuk sampel sapi ‘enr13’ tidak digembalakan, selalu berada di kandang. Tipe pengembalaan
30
ternak sapi yang seropositif di Enrekang dan Bone, kecil peluangnya untuk menyebar ke ternak lain karena diluar kawanannya. Kandang dalam aspek kebersihan, kepadatan dan jarak kandang dengan perumahan berpotensi sebagai faktor risiko BTB di Bone dan Enrekang.
6.2.3. Keterkaitan seropositif dengan performans dan kesehatan ternak Berat badan pada sampel sapi ‘bon76’ agak kurus dengan kondisinya sehat dan berat badan sampel sapi ‘bon13´ normal, nampak kondisinya sehat. Tanda klinis dari BTB sangatlah sulit dideteksi. Tanda klinis BTB sangat sulit dideteksi karena sifatnya kronis. Pada stadium awal sering terjadi penurunan berat badan secara signifikan. Pada kasus stadium yang lanjut BTB ditandai dengan granuloma nodular atau pembentukan tuberkel dengan kaseosa yang dihasilkan di banyak organ vital terutama di paru-paru, kelenjar getah bening, usus dan ginjal kecuali otot skeletal (Hardstaff et al, 2013; Le Roex et al, 2013). Beberapa penelitian melaporkan korelasi antara kondisi tubuh dan BTB. Pada hewan penelitian kami di daerah Mozambik Tenggara dalam kondisi tubuh yang agak kurus dan kurus atau sangat kurus menunjukkan hasil tes kulit lebih positif daripada hewan dalam kondisi tubuh yang baik, namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (Moiane et al, 2014). Kondisi ternak dan kesehatannya belum dapat dikatakan berpotensi sebagai faktor risiko.
31
6.2.4. Keterkaitan seropositif dengan pemeliharaan dan kesehatan pemelihara Sampel seropositif ditemukan pada peternakan sapi yang dikelola oleh peternak dengan tingkat pendidikan SMA untuk Bone dan S1 untuk Enrekang, relatif akan lebih memudahkan dalam memberikan pengetahuan tuberkulosis. Namun karena pemberian informasi tentang tuberculosis sangat minim oleh petugas pelayan kesehatan, maka pemahaman tentang risiko BTB juga terbatas. Peternak yang mempunyai riwayat kesehatan menderita batuk-batuk lebih dari 6 bulan dan memiliki sarana sanitasi minim, sebaiknya perlu diberikan pemahaman tentang BTB secara komprehensif.
Aspek
pemiliharaan, kedua sapi tersebut dipelihara sendiri oleh pemiliknya. Sedangkan kondisi kesehatan pemeliharanya, untuk sapi sampel ‘bon76’ pernah batuk 6 bulan lalu dan kesehatan dilingkungan keluarganya semuanya nampak sehat. Sedangkan untuk sapi sampel ‘enr13’ kondisi pemeliharnya nampak sehat demikian juga halnya dengan lingkungan keluarganya. Salah satu gejala klinis TBC pada manusia adalah batuk terus menerus. Bila dilihat dari tanda klinis pada ternak dan hasil positif ELISA dari sampel ‘bon76’ ada kemungkinan atau kecurigaan telah terjadi saling menularkan. Namun demikian dibutuhkan pemeriksaan dan pengawasan atau kajian secara mendalam terhadap kondisi kesehatan pemeliharanya serta ternak dan lingkungannya.
6.3. Analisis hasil kuisioner sebagai faktor risiko. Kuisioner yang diambil dari pemilik ternak bertujuan untuk melihat gambaran epidemiologi khususnya faktor risiko yang mempengaruhi dalam penyebaran ataupun terjadinya BTB. Faktor risiko yang dapat dikaitkan terhadap peluang penyebaran
32
maupun kejadian BTB di Sulawwesi Selatan, antara lain tingkat pendidikan, sumber bibit, perkandangan, pengembalaan, pemeliharaan dan kesehatan pemeliharanya.
6.3.1. Tingkat Pendidikan sebagai faktor risiko Tingkat pendidikan biasanya sangat terkait dengan kapasitas dalam menerima inovasi dan kemampuan untuk mengembangkan wawasan. Dalam sistim pemeliharaan ternak tingkat pendidikan juga akan memberikan pengaruh terhadap penerimaan pengetahuan dalam bidang tata kelola peternakan termasuk penularan penyakit. Dari hasil kuisioner, nampaknya sebagian besar peternak yang menjadi responden 82,3% atau 275 orang telah mengecap dunia pendidikan dan hanya 23 orang (7,7%) tidak bersekolah. Dari 275 responden yang bersekolah ada 101 orang (33,7% dari total responden) yang tamatan SMA. Gambaran tingkat pendidikan ini menunjukkan peternak berpeluang lebih mudah diberikan pemahaman terkait dengan pengetahuan kesehatan hewan. Bugweza et al, (2013), dalam penelitiannya mengatakan bahwa pengetahuan BTB di ekosistem Sarangeti Afrika, juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Tabel 6. Data Tingkat Pendidikan Kab/Kota Bone Enrekang Tab lain Total %
D3
S1
SD
SMA 33
1 1 0,7
3 17 20 6,7
47 80 26,8
33
19 8 74 101 33,9
SMP 30 1 42 73 24,5
Tidak
23 23 7,7
Jumlah 82 12 204 298
6.3.2. Sumber bibit sebagai faktor risiko Sumber bibit sebagai sumber risiko sangat terkait dengan disrtibusi ternak dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Bila dalam distribusi tidak ada pengawasan khususnya dalam pemeriksaan kesehatannya, tentu akan berpeluang akan terjadinya perpindahan penyakit dari satu daerah ke adaerah lainnya. Dalam UU No 16 th 1992 mengamanatkan bahwa setiap ternak keluar daerah harus disertai dengan sertifikat kesehatan hewan (Manual Penyakit Hewan, 2012). Dalam penelitian ini ada 4,7% (14) sumber bibitnya dari kabupaten lain, 6,4% (19) dari kecamatan lain dalam kabupaten, 0,7% (2) dari desa lain dalam kecamatan dan 6,7% (20) dari desa sendiri. Dari gambaran ini ada peluang penyebaran penyakit baik dari kecamatan lain, desa lain dan termasuk dari desa sendiri, sangatlah besar karena dalam sistim distribusi ternak di Sulawesi Selatan untuk dalam kabupaten sendiri tidak ada pengawasan khususnya dalam pemberian surat keterangan kesehatan hewan dari dinas yang berwenang. Berbeda dalam distribusi ternak keluar kabupaten pemberian surat keterangan kesehatan hewan harus disertakan, yang diatur oleh Peraturan Daerah (Perda) masing-masing daerah. Namun demikian dalam pemberian surat keterangan tersebut pemeriksaan dilakukan untuk uji RBT bagi sapi betina dan pemeriksaan fisik. Seperti diketahui bahwa BTB diagnosanya sangatlah komplek dan tanda klinisnya tidak menciri sehingga dibutuhkan pemeriksaan dengan uji yang tepat (Oloya et al, 2007 dan Manual Penyait Menular, 2012). Disamping itu sumber bibit sebagai sumber risiko juga dapat terjadi pada ternak yang bersumber dari ternak sendiri (induk sebelumnya), biasanya banyak
34
terjadi pada hewan betina yang terinfeksi penyakit tertentu (misalnya BTB) dapat menular secara vertikal dari induk ke anaknya (Tarmudji dan Supar, 2008). 6.3.3. Perkandangan sebagai faktor risiko Kandang merupakan salah satu bagian penting dalam sistim pemeliharaan ternak. Namun kandang ternak haruslah memenuhi syarat-syarat yang sangat erat hubungannya dengan kesehatan, produksi dan reproduksi. Tidak adanya kandang dan mengabaikan syarat-syarat kesehatan dalam perkandangan akan menjadi faktor risiko dalam penularan atau penyebaran penyakit. Jarak antar kandang baik sesama spesies maupun spesies yang berbeda, termasuk jarak kandang dengan rumah pemeliharnya, atap kandang, alas kandang, kepadatan dan kebersihan kandang. Adanya atap kandang, alas kandang dan kepadatan kandang sangat terkait dengan kualitas lingkungan. Hasil kuisioner menunjukkan, 267 (89,6%) memiliki kandang, 28 (9,4%) dan 1 (0,3%) memiliki kandang yang digabung antara beberapa spesies. Variasi antara yang beralas dan beratap. Bila dilihat dari waktu membersihkan kandang, ada 45 (15,1%) tidak dibersihkan, 44 (14,8%) dibersihkan 2 bulan sekali, 108 (36,2%) dibersihan 2 kali seminggu, 101 (33,9%) dibersihkan setiap hari.
Kelembaban udara kandang akan
memberikan pengaruh terhadap kenyamanan ternak dan dapat mempengaruhi tingkat respirasi (Panjono dkk, 2009). Sanitasi kandang yang tidak baik akan meningkatkan nilai rata-rata Total Plate Count susu (3,7x107) sehingga akan mempengaruhi kualitas susu, ada (46,88%) tidak memenuhi standar (Galang dkk, 2013). Kita ketahui salah satu cara penularan dari BTB melalui susu yang tidak dikeloka dengan baik. Ternak sapi selama masa pengandangan, jenis kandang, lantai kandang dan ketersediaan saluran
35
kotoran akan memberikan pengaruh terhadap nilai emisi ammonia rate (Avolelis, 2006). Ammonia akan memberikan pengaruh terhadap kualitas udara yang dihirup, sehingga jarak kandang dengan rumah akan memberi pengaruh juga kepada pemilik ternak dan keluarganya. Jarak kandang dengan rumah peternaknya memiliki peluang terhadap penularan kepada pemilik dan penghuni rumah yang lainnya, khususnya untuk penyakit yang bersifat zoonosis. Semakin dekat dengan rumah semakin besar kemungkinan terjadinya penularan. Sebuah studi di Irlandia dilakukan pada tahun 1993 menunjukkan hubungan antara kejadian BTB dan adanya bilik perumahan, yang berhubungan dengan peternakan sapi perah intensif. Bilik perumahan dianggap membuat ternak lebih stres, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap BTB (Humble et al, 2004). Tabel 7. Data Kandang dan alas kandang Kandang Ada Kandang Gabung Alas Tdk Kab/Kota semen dialas Tdk dialas Bone 24 50 Enrekang 6 3 Kab lain 83 101 Jumlah 113 154 % 89,6 0,7
Tidak ada
Total
Kandang 1 7 3 18 1 28 9,4
82 12 204 298
Tabel 8. Data jarak kandang
Kab/Kota Bone
Krg 5m
Ada Kandang lahan lebih menempel lain 5m rmh
kandang gabung menempel rmh
40
3
21
Enrekang
1
6
2
Kab lain
39
67
45
33
Jumlah
80
76
68
43
1
30,0
28,5
25,5
16,1
100,0
%
10
1
Tdk ada kandang lahan lebih menempel lain 5m rmh
Krg 5m 1
1
82
1
1
12
10
1
7
204
2
11
3
7
298
6,7
36,7
10,0
23,3
1
36
Total
6.3.4. Pengembalaan sebagai faktor risiko Padang pengembalaan merupakan tempat bertemunya ternak baik sesama spesies maupun spesies lainnya dalam satu areal. Bertemunya ternak dalam sebuah kawasan perumputan akan memberikan pengaruh yang peluang terhadap transmisi penyakit dari ternak yang sakit ke ternak yang sehat. Disamping padang pengembalaan itu sendiri, waktu pengembalaan juga perlu dipertimbangkan sebagai faktor yang memberikan peluang terhadap penularan penyakit.
Dalam penelitian ini pada
pengembalaan yang biasa dimanfaatkan oleh peternak dikelompokkan menjadi padang pengembalaan umum, pengembalaan milik sendiri, kebun sendiri dan kebun tetangga. Dari hasil kuisioner, nampaknya sebagian peternak digembalakan pada padang pengembalaan umum, yaitu 45,6% (136), 25,2% (75) digembalakan pada lahan sendiri, 16,8% (50) kebun sendiri, 4,0% (12) kebun tetangga dan 8,4% (25) tidak digembalakan. Dalam penelitian Bugweza (2013), bahwa ada perbedaan prevalensi BTB yang relatif tinggi dari sistim peternakan semi nomaden pada padang pengembalaan umum di Maasai.
Tabel 9. Data Tipe pengembalaan Kab/Kota Bone Enrekang Kab.lain Jumlah %
kebun sendiri 12 5 33 50 16,8
padg gbl sendiri 33 1 41 75 25,2
pdg gbl tetangga 8 4 12 4,0
37
tidak digembala 4 6 15 25 8,4
pdg gbl umum 25 111 136 45,6
Total 82 12 204 298
Tabel 10. Data Waktu pengembalaan Kab/kota Bone Enrekang Kab lain Jumlah %
1-3 seminggu
5 5 1,7
3 seminggu sepanjang hari siang tidak 1 8 69 4 5 1 6 12 47 104 36 13 60 174 46 4,4 20,1 58,4 15,4
Total 82 12 204 298
6.3.5. Pemeliharaan dan kesehatan pemelihara sebagai faktor risiko BTB merupakan penyakit zoonosis yang perlu mendapat perhatian, karena penyebarannya yang meluas diseluruh dunia, walaupun data yang akurat untuk itu belum ada. Berdasarkan hasil kuisioner ada 193 (64,8%) yang dipelihara sendiri, 42 (14,1%) yang dipelihara orang lain dan 63 (21,1%) dipelihara bersama keluarga. Dari masing-masing cara pemeliharaannya, beberapa hasil sebagai berikut; dari yang dipelihara sendiri ada 87,6% (169/193) yang sehat, 2,6% (5/193) yang sedang sakit dan yang batuk dibawah 6 bulan ada 9,8% (19/193). Untuk yang dipelihara oleh orang lain ada 76,2% (32/42) yang sehat, 2,4% (1/42) yang sedang sakit, 19% (8/42) yang batuk dibawah 6 bulan dan yang batuk diatas 6 bulan ada 2,4% (1/42). Untuk yang pemeliharaannya bersama keluarga ada 84,1% (53/63) yang sehat, 1,6% (1/63) yang sedang sakit, 4,8% (3/63) yang batuk dibawah 6 bulan dan ada 9,5% (6/63) yang diduga sakit pernafasan. Penularan kepada manusia dilaporkan jarang terjadi di negara maju. Badan Perlindungan Kesehatan Inggris (HPA) pada tahun 2012; menyatakan bahwa dalam 17 tahun 1994-2011 ada 570 kasus manusia yang dilaporkan terjadinya infeksi Mycobacterium bovis, sebagian besar terjadi pada orang yang berusia 45 atau lebih . BTB pada manusia dilaporkan lebih umum di negara berkembang, sebuah studi tahun 38
2006 diperkirakan ada 7.000 kasus BTB tahun di Amerika Latin (Bazian, 2012). Demikian juga studi di Ethiopia menjelaskan, walaupun sampai saat ini masih belum diketahui gambaran yang tepat tentang penularan M.bovis dari hewan ke manusia, khususnya didaerah urban yang memiliki prevalensi BTB yang tinggi, peluang penularan ke manusia sangatlah tinggi karena penanganan susu yang diminum masyarakat sangat rendah (Tschopp, 2013). Tabel 11. Data pemelihara Kab/kota keluarga Bone 23 Enrekang 2 Kab lain 38 Jumlah 63 % 21,1
orang lain 4 38 42 14,1
sendiri 55 10 128 193 64,8
Total 82 12 204 298
Tabel 12. Kondisi Kesehatan pemelihara Kab/kota Bone Enrekang Kab lain Jumlah %
batuk > 6 bl 17 13 30 10,1
diduga pernafasan
6 6 2,0
Sakit 6 1 7 2,3
39
batuk < 6bln 1
1 0,3
sehat 58 12 184 254 85,2
Total 82 12 204 298
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan; bahwa sero prevalensi Bovine Tuberculosis (BTB) di Sulawesi Selatan sebesar 0,7%, di Kabupaten Bone 1,2%, Kabupaten Enrekang 8,3%. Yang berpotensi menjadi faktor risiko adalah asal bibit, perkandangan dan pengembalaan.
7.2. Saran Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini: 1.
Penelitian ini merupakan penelitian awal tentang Bovine Tuberculosis, di Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Bone dan Enrekang sehingga masih dibutuhkan penelitan lebih lanjut.
2.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, khususnya Kabupaten Bone dan Enrekang perlu mengembangkan strategi pengendalian pada ternak sapi yang ditemukan seropositif.
40
DAFTAR PUSTAKA Al-Saqur, I.M, Al-Thwani, A.N, Al-Attar, I.M. 2009. Detection of Mycobacterium spp in cows milk using conventional methods and PCR. Iraqi Journal of Veterinary Science, vol 23, supplement II (259-262). (http://www.vetmedmosul.org/ijvs), Anonim. 2010. Merck Veterinary Manual Tenth Edition, Merck & Co Inc Rahway. New Jersey USA, (1318-1321). Aphis Veterinary Service. 2011. Guidance Biologic Regulation and Guidance; VB Manuals Tuberculosis and Brucellosis Progrgam of Future. Avolelis, B. K, 2006. Impact of Animal Housing Systems on Ammonia Emission Rates. Journal of Environmental Studies, ISO Abbrev. Title: Pol. J. Environ.Stud. Vol.15. No.5 (2006). 739-745. Bazian, 2012; NHS Choices: Analizes Of Bovine Tuberculosis case on Animal to Human Transmission. www.nhs.uk/news/2013/07july/pages/concerns - raisedabout-bovine-TB-infected-meat.aspx. Bugwesa, Z. K., Mbugi, E. V., Karimuribo, E. D., Keyyu, J. D., Kendall, S., Gibson S Kibiki, Peter Godfrey-Faussett, Anita L Michel, Rudovick R Kazwala, Paul van Helden and Mecky I Matee, 2013; Prevalence and risk factors for infection of bovine tuberculosis in indigenous cattle in the Serengeti ecosystem, Tanzania. BMC Veterinary Research 2013, 9:267. Cooper, R., Karolemeas, K., Ricardo de la Rua-Domenech, , Anthony V. Goodchild, Richard S. Clifton-Hadley, Andrew J. K. Conlan, Andrew P. Mitchell, R. Glyn Hewinson, Christl A. Donnelly, James L. N. Wood, Trevelyan J. McKinley mail Published: August 21. 2012.“Estimation of the Relative Sensitivity of the Comparative Tuberculin Skin Test in Tuberculous Cattle Herds Subjected to Depopulation, DOI: 10.1371/ journal. pone.0043217. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Sulawesi Selatan. 2013. Data Populasi Ternak Tahun 2012. EFSA Panel on Animal Health and Welfare (AHAW) 2012; Scientific Opinion on the use of a gamma interferon test for the diagnosis of bovine tuberculosis. EFSA Journal 2012:10(12): 2975.
41
Elizabeth, A. Talbot, Diana L Williams, and Richard Frothingham. 1997. PCR Identification of Mycobacterium bovis BCG. Journal of Clinical Microbiology Vol. 35 No. 3 p566-569, Elise, A. Lamont, João Ribeiro-Lima, Wade Ray Waters, Tyler Thacker, and Srinand Sreevatsan. 2014; Mannosylated lipoarabinomannan in serum as abiomarker candidate for subclinical bovinetuberculosis. BMC Research Notes 2014.7:559. Folitse, R.D., Boi-Kikimoto, B.B., Emikpe, B.O., Atawalna, J., 2014; The prevalence of Bovine tuberculosis and Brucellosis in cattle from selected herds in Dormaa and Kintampo Districts, Brong Ahafo region, Ghana. iMedPub Journals. Vol. 5 No. 2:1, 2014. doi: 10.3823/280. Galang Kharis Pradana, Ambarwati, Astirka Friski. 2013; Pengaruh Higienitas Dan Sanitasi Sapi Perah Terhadap Kualitas Susu Secara Mikrobiologis Di Peternakan Sapi Di Desa Butuh Kecamatan Mojosongo Boyolali. Naskah Publikasi Universitas Muhamadyah Surakarta, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan. Humblet Marie-France, Boschiroli Maria Laura, Saegerman Claude. 2004. Classification of worldwide bovine tuberculosis risk factors in cattle: a stratified approach. National Center for Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine 8600 Rockville Pike, Bethesda MD, 20894 USA. Ignacio García-Bocanegra, Bernat Pérez de Val, Antonio Arenas-Montes, Jorge Paniagua, Mariana Boadella, Christian Gortázar, Antonio Arenas, 2012; Seroprevalence and Risk Factors Associated to Mycobacterium bovis in Wild Artiodactyl Species from Southern Spain, 2006–2010. Research Article. DOI: 10.1371/journal.pone.0034908. Konyha, L.D., Hirnes, E.M. and Thoen, C.O. 1980. Bovine Tyuberculosis In CRE Handbook Series Zoonoses. Section A , Vol 11: 109-139. Stoenener H, Kaplan W, Torten T Edition, CRE Press, Inc. Boca Raton, Florida, Masniari Poeloengan, Iyep Komala dan Susan M Noor. 2004; Bahaya penanganan Tuberculisis. Dalam Lokakarya Penyakit Zoonosis, Balai Penelitian Veteriner Bogor. Marassi, C.D., Medeiros, L., Figueiredo, D., Fonseca, L.S., Duarte, R., Paschoalin,V., Walter, M.R. Oelemann and Walter Lilenbaum. 2013; A multidisciplinary approach to diagnose naturally occurring bovine tuberculosis in Brazil. Tesquisa 42
Veerinaria Brasileira. Vol. 33. No.1. Rio de Janeiro. Jan 2013. ISSN 0100-736x. 10.1590/ SO100-736x2013000100004. Mishra, A. , Singhal1,A., Chauhan, D. S., Katoch, V. M., K. Srivastava, S. S. Thakral, S. S. Bharadwaj, V. Sreenivas and H. K. Prasad. 2005. Direct Detection and Identification of Mycobacterium tuberculosis and Mycobacterium bovis in Bovine Samples by a Novel Nested PCR Assay: Correlation with Conventional Techniques. Moiane, I., Machado, A., Santos, N., Nhambir, A., Inlamea, O., Hattendorf, J., Källenius, G., Zinsstag, J., Correia-Neves, M.; 2014; Prevalence of Bovine Tuberculosis and Risk Factor Assessment in Cattle in Rural Livestock Areas of Govuro District in the Southeast of Mozambique. Researcg Article DOI: 10.1371/ journal.pone.0091527 More, S. J. , Good Margaret , 2015; Understanding and managing bTB risk: Perspectives from Ireland. Veterinary Microbiology (Impact Factor: 2.73). 02/2015; 176(3-4). DOI: 10.1016/j.vetmic.2015.01.026 Muma, J.B., Syakalima, M., Munyeme, M., Zulu, V.C., Simuunza, M., Kurata, M. 2013. Bovine Tuberculosis and Brucellosis in Traditionally Managed Livestock in Selected Districts of Southern Province of Zambia. Veterinary Medicine International. Article ID 730367, 7 pages. Neeraja, D., Veeregowda, B.M., Sobha Rani, M., Rathnamma, D., Bhaskaran, R., Leena, G., Somshekhar S.H., Saminathan M., Dhama K. and Chakraborty S. 2014; Comparison of Single Intradermal Test, Gamma Interferon Assay and Indirect ELISA for the Diagnosis of Tuberculosis in a Dairy Farm.Asian Journal of Animal and Veterinary Advances 9(9): 593-598, 2014. ISSN 1683-9919/ DOI: 10.3923/ajava. 2014.593.598 Neill, S.D., Hanna, J., O’Brien, J.J., McCracken, R.M. 1988. Excretion of Mycobacterium bovis by experimentally infected cattle. Vet. Rec. 1988, Sep 24; 123 (13); 340-3. OIE. 2009. Bovine Tuberculosis. OIE Terrestrial Manual. www.oie.int/ disease_cards/ Bovine_TB_EN. pdf. Version Adopted by The World Assembly of Delegates of The OIE in May 2009. Panjono, Budi Prasetyo Widyobroto, Bambang Suhartanto, Dan Endang Baliarto, 2009; Pengaruh Penjemuran Terhadap Kenyamanan Dan Kinerja Produksi Sapi
43
Peranakan Ongole. Journal.ugm.ac.id/ buletinpeternakan/ article/view/129. ISSN:2407-876x. Prasada, H.K., Singhala, A., Mishraa, A., Shaha, N.P., Katochb, V.M., Thakralc S.S., Singhc, D.V., Chumberd, S., Bald, S., Aggarwale, S., Padmaf, M.V., Kumarg, S., Singh, M.K., Acharya, S.K.. 2005; Bovine tuberculosis in India : Potential basis for zoonosis. ELSEVIER Journal. 1472-9792. Doi.10.1066/ J.tube.2005.08.005. Sam, A., Strain, J., McNair, J., Stanley, W. J., McDowell. 2012; Bovine tuberculosis: A review of diagnostic tests for M.bovis infection in cattle. Bacteriology Branch Veterinary Sciences Division Agri-Food and Biosciences Institute. www.dardni.gov.uk/ afbi-literature-review-tb-review-diagnostic-testsbadgers.pdf Sartika Juwita, Hatta, M, Muslimin, L, Nadif, A. .2012. The Analysis of Distribution of Mycobacterium bovis wiyh Conventional Technique Polymerase Chain Reaction (PCR) and Geographical Information System (GIS) in Dairy Cow Catle in Enrekcang Regency, Subdit Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012); Manual Penyakit Hewan Mamalia, Tarmudji dan Supar. 2008. Tuberkulosis pada Sapi, Suatu Penyakit Zoonosis; Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No 30, Bogor 16114. Wartazoa, Vol.18 No.4 Th 2008. Thrusfield, M. 1988; Veterinary Epidemiology. Departement of Animal Royal (Dick) School of Veterinary Studies University of Edinburg. Halley Court Jordan Hill. Oxford OX2-8EJ. SF780.9.748.1986. 636.089’4. 86-11758. ISBN 0-7506-1496 Tschopp Rea, Hathendoury Jan, Roth Felix, Choudhousy Adnan, Aseffa Abraham, Shaw Alexandra, Zinsstag, 2013; Cost Estimate of Bovine Tuberculosis to Ethiopia. BMC. Veterinary Research 2013.9: 163.doi: 10.1186/1746 – 6148 – 9–163. Wati Sitohang, Wirsal Hasan, Devi Nuraini Santi, 2013; Hubungan Jarak Kandang Dan Pengolahan Limbah Ternak Babi Serta Kepadatan Lalat Dalam Rumah Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Desa Sabulan Kecamatan Sitiotio Kabupaten Samosir. Jurnal.usu.ac.id/ index.php/ article.3289-8342-1-PB.pdf.
44
Widiarsa Putra, P.G., Kerta Besung, N., Mahatmi, H. 2013. Deteksi Antibodi Mycobacterium tuberculosa bovis pada Sapi di Wilayah Kabupaten Buleleng, Bangli dan Karang Asem Provinsi Bali, Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013. Vol.1. No. 1:1-6.
45
LAMPIRAN 1 1. METODE KERJA ANIGEN BTB Ab ELISA 2.0 a. Prinsip test Anigen BTB Ab ELISA merupakan direct ELISA untuk mendeteksi kualitatif dari antibodi Mycobacterium bovis dalam serum. Anigen BTB Ab ELISA berisi mikroplate, yang mana mikroplate tersebut telah dilapisi dengan antigen BTB yang murni dalam setiap lubangnya. Untuk testing plate ELISA yang dilapisi dengan antigen diinkubasi dengan campuran yang sama dengan serum dan konjugat (1:100 pengenceran dalam larutan pengencer konjugat) untuk 60 menit pada suhu 370C. Selama diinkubasi, antibodi M bovis yang ada dalam sampel akan mengikat antigen pre-coated M.bovis yang dimurnikan didalam lubang dan kunjugat. Dalam inkubasi ini, semua material yang terikat akan terpisah (dihapus) melalui aspirasi dan pencucian sebelum ditambahkan larutan substrat. Aktivitas sisa enzim ditemukan di dalam lubang plate sehingga akan berbanding lurus dengan konsentrasi konjugat dalam specimen dan dibuktikan melalui inkubasi phase padat dengan larutan substrat. Reaksi ini akan dihentikan oleh penambahan larutan penghenti dan pembacaan colorimetrik akan nampak melalui penggunaan spektrofotometer dalam 450nm dengan referensi panjang gelombang pada 620nm. Antigen M.bovis yang terseleksi khusus digunakan sebagai bahan penangkap didalam tes. Anigen BTB Ab ELISA ini menungkinkan untuk mengidentifikasi antibody M.bovis dalam specimen, dengan tingkat akurasi yang tinggi. b. Material yang tersedia
46
1) Mikroplate yang dilapisi BTB Ag murni: 5 plate (96 lubang/plate) dikonfigurasikan dalam duabelas 1x8 strip. 2) Serum kontrol negatif standar: 1 vial (2,5 ml/vial) dari serum sapi yang normal yang mendapat perlakuan dengan kalsium. Ditambahkan dengan asam sodium (0,01%) sebagai pengawet. 3) Serum kontrol positif standar: 1 vial (2,5 ml/vial) dari serum sapi anti-BTB postif kuat yang mendapat perlakukan dengan calsium. Ditambahkan asam sodium (0,01%) sebagai pengawet. 4) Larutan pencuci (konsentasi 10x): 1 botol (250ml/botol) dari PBS-tween 20. Pengawet: Thimorosal (0,01%). Catatan: sebelum digunakan, ambil satu botol, dan diisi dengan 1.000 ml air suling. Agar tidak larut, larutan dalam botol dihambat melarutnya dengan menempatkan pada suhu 370C untuk beberpa menit. 5) Konjugat enzim: 1 botol (40 ml/botol) dari antigen-HRP M.bovis, posfat buffered saline. Pengawet: proclin (0,06%). 6) Substrat (siap pakai): 1 botol (60 ml/botol) dari tetramethyl-benzidine dengan citrat posfat buffer yang berisi H2O2. 7) Larutan Penghenti (stopping solution): 1 botol (80ml/botol) dari asam 1 N sulfuric. Siap untuk digunakan. 8) Sealer perekat plate: 10 EA
c. Koleksi Spesimen dan Penyimpanan
47
1) Sentrifius seluruh darah untuk mendapatkan serum. 2) Jika spesimen tidak segera diuji, maka seluruh spesimen ditempatkan dalam refrigator
pada
suhu
2 0C
baik
untuk
selama
3
hari,
pembekuan
direkomendasikan. Seluruh spesimen harus ditempatkan pada suhu kamar sebelum digunakan. 3) Spesimen yang mengandung endapan dapat menghasilkan hasil tes tidak konsisten. Spesimen tersebut harus diklarifikasi sebelum pengujian.
d. Persiapan Reagen 1) Menyiapkan seluruh reagen pada temperatur kamar (180-250C) sebelum digunakan 2) Larutan pencuci (konsentrasi 10x): Larutan pencuci terkonsentrasi, harus diencerkan 1:9 dengan air suling sebelum digunakan. (contoh: tambahkan 100ml larutan pencuci untuk 900 ml air suling) dan campurkan dengan baik. Jika muncul gumpalan-gumpalan Kristal, maka dapat dilarutkan kembali dengan memanaskan botol pada suhu 370C untuk beberapa menit.
e. Prosedur Tes 1) Menyiapkan lubang strip untuk negatif control sebanyak 3 lubang, serum positif kontrol 3 lubang dan masing-masing untuk setiap lubang sampel. 2) Tambahkan 50 µl masing-masing untuk primer positif, serum negative control 3 lubang dan 50 µl sampel untuk masing-masing lubang.
48
3) Tambahkan 50 µl antigen HRP dari M.bovis untuk masing-masing lubang. 4) Tutup mikroplate dengan sealer perekat plate dan campur dengan baik menggunakan mixer getar, mencampur merupakan hal yang sangat penting untuk memperoleh hasil yang reproduksibel. 5) Inkubasi plate dengan suhu 370C selama 60 menit. 6) Cuci lubang plate sebanyak 6 kali dengan 350 µl dengan larutan pencuci yang telah dicampur. Keringkan/aspirasi seluruh cairan dari lubang plate. 7) Tambahkan 100 µl larutan substrat yang dicampur (siap pakai) untuk masingmasing lubang. 8) Inkubasi lubang plate selama 15 menit pada suhu kamar (18-250C) 9) Tambanhkan 100 µl larutan penghenti (stoping solution) untuk masing-masing lubang 10) Membaca absorbansi dari lubang plate dengan bikromati spectrophotometer dengan 450 nm dengan referensi panjang gelombang 620nm. Pembacaan harus dilakukan 1 jam setelah uji selesai dengan komplit.
f. Interpretasi Tes 1) Validasi tes
Nilai OD standar kontrol serum negatif harus di bawah 0.150
Nilai OD standar kontrol serum positif harus di atas 1.500
49
Jika salah satu dari nilai OD ini tidak sampai pada range-nya, Anigen BTB Ab ELISA harus dianggap tidak layak/baik dan sampel harus diuji ulang
2) S/P (sampel OD – Rata2 OD dari Serum negative kontrol) S/P = (rata2 OD dari serum positif control – rata2 OD serum negative kontrol)
3) Interpretasi dari serum Setelah mengkalkulasi nilai S/P, nilai posotif dan negatif harus dideterminasi berdasarkan kriteria, sebagai berikut:
Positif : S/P sampel ≥ 0.5
Negatif: S/P sampel < 0.5
50