BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perumahan dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi dan teratur dengan kata lain berkualitas merupakan hak dasar bagi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 A ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejatera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 menegaskan terwujudnya pembangunan yang merata dan berkeadilan yaitu mengelola kebijakan makro dan mikro ekonomi secara terkoordinasi dan sinergis dengan sasaran pemenuhan kebutuhan pokok sebagai hak dasar rakyat, yaitu menyediakan kebutuhan pangan, sandang dan papan (perumahan) bagi rakyat.3 Secara internal tantangan tersebut dihadapkan pada situasi pertambahan penduduk nasional yang masih relatif tinggi dan rasio penduduk usia produktif yang diperkirakan mencapai tingkat maksimal (sekitar 50% dari
3
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. 1
2
total penduduk) pada periode 2020-2030.4 Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan perumahan hingga tahun 2020 diperkirakan mencapai lebih dari 30 juta unit sehingga kebutuhan rumah per tahun diperkirakan mencapai 1,2 juta unit. Data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tahun 2012, sebanyak 13 juta penduduk Indonesia masih belum memiliki rumah tinggal, dan sebanyak 4 juta rumah tidak layak huni.5 Meningkatnya
pertumbuhan
penduduk
terutama
di
perkotaan,
mengakibatkan meningkat pula kebutuhan dan keinginan masyarakat untuk memiliki rumah sendiri. Kondisi tersebut di atas mengakibatkan pemenuhan papan (perumahan) sebagai kebutuhan dasar rakyat menjadi salah satu arah pencapaian
Rencana
Pembangunan
Jangka
Panjang
Nasional
yaitu
terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan dengan ukuran terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien dan akuntabel untuk mewujudkan kota tanpa pemukiman kumuh.6 Arah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional ini selaras dengan prioritas utama Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
kedua
(2010-2014)
yaitu
penyelenggaraan pembangunan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya yang mandiri mampu membangkitkan potensi pembiayaan 4
http://birokrasi.kompasiana.com/2013/02/15/rumah-layak-mimpi-rakyat kecil-535409.html diakses pada tanggal !5 Mei 2013 pukul 15.29 WIB. 5 Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. 6 Ibid.
3
yang berasal dari masyarakat dan pasar modal, menciptakan lapangan kerja, serta meningkatkan pemerataan dan penyebaran pembangunan.7 Hampir seluruh transaksi pembelian rumah di Indonesia dilakukan dengan melibatkan institusi pembiayaan, terutama bank melalui skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Eksistensi KPR pertama kali dikucurkan oleh PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. yang ditunjuk oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan KPR bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah direalisasikan tanggal 10 Desember 1976 pada Proyek Perumahan Tanah Mas Semarang.8 Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempuyai kelebihan dana (surplus of fund) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of fund). Dengan demikian perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme pembayaran bagi semua sektor perekonomian.9 Bank merupakan industri yang penting dan mempunyai sifat yang khusus, yaitu pertama: sebagai salah satu subsistem industri jasa keuangan, industri perbankan sering dianggap sebagai jantung dan motor penggerak perekonomian suatu negara. Bank dan lembaga pembiayaan mengumpulkan uang dari semua elemen masyarakat dan menginvestasikan simpanan ini
7
Ibid. hlm. 150. Bank BTN Annual Report 2011, hlm. 58. 9 Muhammad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. XV. 8
4
dalam bentuk kredit, sekuritas, dan modal-modal produktif lainnya.10 Kedua: industri yang sangat bertumpu pada kepercayaan (fiduciary) masyarakat yang memiliki uang untuk disimpan. Ketidakpercayaan pada industri perbankan dapat menjadikan industri tersebut ambruk dalam waktu sekejap.11 Pembangunan perumahan yang dibiayai
melalui
fasilitas
KPR
merupakan program dari bank dalam rangka menunjang pembangunan nasional sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Udang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, bahwa perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Perbankan nasional Indonesia mempunyai fungsi dan tujuan dalam kehidupan ekonomi nasional bangsa Indonesia, bahwa penghimpunan dan penyaluran dana dari dan kepada masyarakat tersebut bertujuan menunjang sebagian tugas penyelenggaraan negara, yaitu dalam rangka mewujudkan trilogi nasional dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat banyak. Artinya tujuan yang hendak dicapai oleh perbankan nasional adalah meningkatkan pemerataan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia, bukan segolongan
10
Hikmahanto Juwana, 2002, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, hlm. 3-4. 11 Ibid.
5
orang atau perseorangan saja.12 Fasilitas KPR adalah salah satu bentuk dari kredit consumer yang dikenal pula dengan nama "housing loan". Fasilitas ini untuk konsumen yang memerlukan papan, digunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau rumah tangga, tidak ditujukan untuk yang bersifat komersial dan tidak memiliki pertambahan nilai barang dan jasa di masyarakat.13 Pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah kedua (2010-2014) telah mencanangkan program Gerakan Nasional Pembangunan Sejuta Rumah, hal ini berarti setiap tahunnya Pemerintah mengalokasikan ± 700.000 unit rumah per tahun melalui sektor perbankan yang menyediakan fasilitas KPR 14. Program ini merupakan kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah kesatu (2005-2009) yang secara faktual dan data historis kapasitas perbankan dalam mendukung program dimaksud melalui KPR hanyalah sebesar 70.000-75.000 unit per tahun.15 Ketidakmampuan pencapaian program disebabkan antara lain oleh: 1. Ketidaksesuaian (mismatcht) kebutuhan perumahan dan kemampuan masyarakat yang disebabkan karena keputusan pengadaan perumahan
12
Djoni S. Gazali dan Racmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 141. 13 Johanes Ibrahim, 2004, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif Dalam Perjanjian Kredit Bank (Perspektif) Hukum dan Ekonomi, Mandar Maju, Bandung, hlm. 229. 14 http://sesmen.kemenpera.go.id/digilib/ diakses tanggal 12 Oktober 2012, pukul 12.00 WIB. 15 http://www.depdagri.go.id diakses tanggal 28 Oktober 2012, pukul 14.00 WIB.
6
masih sangat kuat didorong oleh pemerintah dan jalur birokrasi yang panjang mengakibatkan harga rumah sulit terjangkau oleh masyarakat. 2. Adanya risiko bagi bank penyedia KPR dalam hal mencari sumber dana pihak ketiga dalam jumlah besar yang digunakan untuk membiayai pembangunan rumah sesuai dengan permohonan kredit rumah yang diajukan oleh masyarakat sebagai konsumen pembeli rumah, risiko tersebut antara lain: a. Maturity gap, karakter umum pembiayaan perumahan adalah berjangka panjang yakni antara 5 (lima) sampai dengan 20 (dua puluh) tahun, akan tetapi didanai oleh sumber pendanaan yang relatif lebih pendek yakni berjangka waktu maksimal 1 (satu) tahun berbentuk giro, tabungan,
dan
deposito.
Kondisi
ini
menimbulkan
dampak
meningkatnya risiko likuiditas yaitu permasalahan kesenjangan jangka waktu antara dana yang telah dihimpun dan dana yang akan disalurkan melalui KPR (maturity mismatch problem). b. Repricing gap, adanya kesenjangan antara waktu perubahan tingkat suku bunga antara sumber dan penggunaan dana, hal ini disebabkan deposito berjangka waktu satu bulan di-repricing setiap 1 (satu) bulan sedangkan KPR pada umumnya di-repricing setiap 6 (enam) bulan. Dengan demikian, apabila bank terlalu banyak memberikan KPR akan terjadi kesenjangan antara sumber dan penggunaan dana (mismatch). Sehingga perbankan menerapkan prinsip kehati-hatian dengan melakukan
7
upaya pengendalian penyaluran kredit melalui perlambatan pertumbuhan penyaluran KPR. Salah satu alternatif cara pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat yang dapat dilaksanakan dalam jangka panjang yaitu dengan mengadopsi sistem pembiayaan perumahan (housing finance system) yang tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1970-1980-an berupa Secondary Mortgage Facility (SMF) dan Secondary Mortgage Market (SMM). Mortgage backed securities adalah pengelompokan dan pengemasan ulang hipotik rumah untuk dijual kembali sebagai efek yang dapat diperjualbelikan oleh pemberi pinjaman dengan kata lain kumpulan KPR yang digunakan sebagai collateral (jaminan) atas penerbitan sekuritas di pasar sekunder berupa Secondary Mortgage Facility (SMF). Dalam Secondary Mortgage Facility (SMF) biasanya ada peran dan kebijakan pemerintah sedangkan dalam Secondary Mortgage Market (SMM) pemerintah tidak lagi turut campur tangan, melainkan murni swasta. SMF atau Lembaga Pembiayaan Sekunder Perumahan merupakan fasilitas pembiayaan yang diselenggarakan secara khusus untuk diberikan kepada institusi pembiayaan (perbankan) dalam rangka penyaluran kredit melalui skema KPR untuk jangka menegah dan panjang guna pembiayaan perumahan. Eksistensi SMF diikuti pendirian Secondary Mortgage Company atau Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan sebagai lembaga keuangan yang didirikan khusus untuk menghimpun dana jangka panjang kemudian
8
disalurkan kepada institusi pembiayaan (perbankan) yang mengalami kesenjangan sumber pendanaan (funding mismatch). Realisasi terobosan tersebut dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 132/KMK.014/1998 tentang Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan yang di dalamnya mengatur tentang bidang usaha, tata cara pendirian dan perijinan, sumber dana, prinsip kehati-hatian (prudential regulation), pembina dan pengawas sekaligus sanksi. Ketentuan tersebut dalam implementasinya tidak berjalan karena tidak diikuti dengan realisasi pembentukan lembaga SMF. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan jo. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan telah memberikan payung hukum yang lebih jelas dan kuat bagi pembentukan lembaga Pembiayaan Sekunder Perumahan atau Secondary Mortgage Facility, Pasal 1 ayat (11) menyebutkan Pembiayaan Sekunder Perumahan adalah “Penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada Kreditur Asal dengan melakukan sekuritisasi”. Pembiayaan Sekunder Perumahan bertujuan memberikan fasilitas pembiayaan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kesinambungan pembiayaan perumahan yang terjangkau oleh masyarakat. Bank BTN sebagai bank yang memiliki core business pada pembiayaan KPR telah berhasil melaksanakan Sekuritisasi KPR yang pertama dilakukan
9
oleh industri perbankan di Indonesia. Pernyataan efektif dari BAPEPAM pada tanggal 29 Januari 2009 dan dilanjutkan penawaran umum pasar perdana pada tanggal 3 Pebruari 2009, maka telah dicatatkan residential mortgage backed securities di Bursa Efek Indonesia dengan nama Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Danareksa SMF 01 KPR BTN yang sampai dengan semester II-2012 telah mencapai total Rp 1.950.000.000.000,- (satu trilyun sembilan ratus lima puluh milyar rupiah) sebagai Efek Beragun Aset (EBA) hasil transaksi sekuritisasi yang portofolionya terdiri dari aset keuangan yang timbul dari adanya piutang yang sudah ada maupun piutang yang akan timbul dikemudian hari sebagai kumpulan tagihan KPR terpilih (eligible pool of asset).16 Dalam proses sekuritisasi KPR, piutang KPR dan beserta dengan Hak Tanggungan yang melekat padanya dijual oleh bank secara cessie kepada Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan melalui mekanisme perjanjian Kredit Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA). Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan selanjutnya menjual piutang KPR beserta Hak Tanggungan tersebut kepada investor dalam bentuk saham, obligasi, atau surat berharga jangka pendek. Ketika terjadi peralihan Perjanjian Kredit, Hak Tanggungan sebagai perjanjian accessoir turut beralih, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan: “Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrograsi, pewarisan atau sebab-sebab lain, Hak 16
Sekuritisasi KPR Bank BTN Transaksi Pertama di Indonesia, PT. Bank Tabungan Negara (Persero), Divisi Treasury, hlm. 25.
10
Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditur yang baru.” Peralihan ini wajib didaftarkan. Kantor Pertanahan mencatat peralihan itu pada buku tanah Hak Tanggungan dan buku tanah hak katas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan itu pada sertifikat Hak Tanggungan dan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 16 (3) UU Hak Tanggungan). Beralihnya Hak Tanggungan itu mengikat/berlaku pada pihak ketiga setelah pedaftaran dilakukan.17
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah: 1. Bagaimana kedudukan PT Bank Tabungan Negara Tbk. selaku Kreditur Asal (Originator) terhadap agunan yang dijaminkan oleh Debitur dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) setelah terjadi pengalihan piutang KPR beserta hak jaminannya kepada perusahaan pembiayaan sekunder perumahan? 2. Bagaimana upaya penyelesaian wanprestasi oleh Debitur dalam pemberian Kredit Pemilikan Rumah di PT Bank Tabungan Negara Tbk.?
C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran dan pengamatan penulis dalam studi pustaka di lingkungan Universitas Gadjah Mada berkaitan dengan penelitian tentang SECONDARY 17
MORTGAGE
FACILITY
SEBAGAI
ALTERNATIF
Mariam Darus Badrulzaman, 2004, Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung, hlm. 89.
11
PEMBIAYAAN
DALAM
RANGKA
SEKURITISASI
KREDIT
PEMILIKAN RUMAH (STUDI DI PT BANK TABUNGAN NEGARA TBK.), maka penulis menemukan penelitian yang hampir serupa sebelumnya, yaitu: 1. Tesis karya Ilawati, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Tahun 2009, dengan judul: Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah pada PT Bank Mandiri Tbk. Cabang Pekan Baru, dengan rumusan masalah: (1) Bagaimanakah prosedur perjanjian kredit pemilikan rumah pada PT Bank Mandiri Tbk. Cabang Pekan Baru? (2) Bagaimanakah pelaksanaan over kredit batas perjanjian kredit pemilikan rumah pada PT Bank Mandiri Tbk. Cabang Pekan Baru? (3) Kendala-kendala apa sajakah yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi atas rumah yang telah dilakukan over kredit atas perjanjian kredit pemilikan rumah pada PT Bank Mandiri Tbk. Cabang Pekan Baru?18 2. Tesis karya Budhiman Dwi Santosa, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Tahun 2011, dengan judul: Eksekusi terhadap Kredit Macet Pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di PT Bank Tabungan Negara (Persero) Kantor Cabang Yogyakarta, dengan rumusan masalah: (1) Bagaimanakah eksekusi terhadap kredit macet pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di PT Bank Tabungan Negara (Persero) Kantor Cabang Yogyakarta? (2) Hambatan-hambatan apasajakah yang dihadapi dalam
18
Ilawati, 2009, Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah pada PT Bank Mandiri Tbk. Cabang Pekan Baru, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12
eksekusi terhadap kredit macet pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan upaya apa yang dilakukan oleh PT Bank Tabungan Negara (Persero) Kantor Cabang Yogyakarta?19 Walaupun sebelumnya pernah ada penelitian yang hampir serupa, namun dari segi substansi dan spesifikasi terdapat perbedaan. Kedua penelitian diatas menyoroti hanya pada pelaksanaan dan upaya penanggulanan kredit macet dalam perjanjian kredit pemilikan rumah antara bank dengan nasabah debitur tanpa menyinggung peranan dan kedudukan lembaga pembiayaan sekunder perumahan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa penilitian oleh penulis ini belum pernah dilakukan, namun demikian bila di kemudian hari ditemukan bahwa penelitian ini pernah diteliti oleh peneliti lain sebelumnya, maka diharapkan penelitian ini dapat saling melengkapi penelitian lainnya.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru bagi pengembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan hukum perbankan, hukum pembiayaan dan hukum jaminan, khususnya yang berkaitan dengan Secondary Mortgage Facility sebagai alternatif pembiayaan kredit pemilikan rumah. 19
Budhiman Dwi Santosa, 2011, Eksekusi terhadap Kredit Macet Pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di PT Bank Tabungan Negara (Persero) Kantor Cabang Yogyakarta, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
13
2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembaca, khususnya dunia perbankan yang berhubungan langsung dengan penerapan dan manfaat Secondary Mortgage Facility dan bagi pengambil kebijakan terkait agar dapat mengimplementasikan lembaga pembiayaan perumahan dengan sebaik-baiknya bagi dunia perbankan, pemerintah, dan masyarakat.
E. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji dan menganalisis kedudukan PT Bank Tabungan Negara Tbk. selaku Kreditur Asal (Originator) terhadap agunan yang dijaminkan oleh Debitur dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) setelah terjadi pengalihan piutang KPR beserta hak jaminannya kepada perusahaan pembiayaan sekunder perumahan. 2. Mengetahui upaya penyelesaian wanprestasi dalam dalam pemberian Kredit Pemilikan Rumah di PT Bank Tabungan Negara Tbk.