BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Keberadaan aturan hukum adalah karena adanya kebutuhan manusia untuk hidup teratur, aman, tentram, dan damai. Seperti halnya dikemukakan Thomas Hobbes dalam bukunya yang berjudul Leviathan (1651) yang menyatakan bahwa pada awalnya, di dalam keadaan tanpa negara, ada peperangan antara yang seorang dengan yang lain “Bellum omnium conra omnes”, dimana setiap orang memperlihatkan perasaan-perasaannya yang sungguh egoistis. Manusia melawan manusia yang lain karena takut bahwa yang lain akan mendahuluinya, dan akan mendapatkan banyak pujian serta penghormatan dari pada ia sendiri.1 Hanya suatu kekuasaan bersama dapat mengahkiri pertarungan antara satu sama lain, oleh karenanya kekuasaan itu diciptakan dengan suatu perjanjian untuk menaati seseorang atau beberapa orang, meskipun orang tak menyetujui keputusan itu. Meskipun demikian kehidupan masyarakat tidak terlepas dari yang namanya kejahatan. Bahkan tindak pidana dewasa ini cenderung dilakukan dengan sadis tanpa memperhatikan aspek kemanusiaannya, bahkan terhadap anak dibawah umur sekalipun. Contohnya saja belum lama ini, 2 April 2016 masyarakat dikejutkan dengan kasus Yuyun, siswi SMP yang berumur 14
1
Wiratno,et al, 1988, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara Dan Hukum, PT. Pembangunan, Jakarta, hlm.135 - 138
1
2
tahun, warga desa Kasie, Padang Ulak Tanding, Kabupaten rejang Lebong, Bengkulu yang telah diperkosa dan dibunuh dengan sadis oleh 14 pelaku dimana ketujuh pelaku diantaranya adalah dibawah umur2.
Demikian juga
terjadi pada gadis berusia 16 tahun, Priya Puspita Restanti (2013), warga Dusun Medelan, Ngemplak, Sleman, yang tewas diperkosa, dibunuh dan kemudian dibakar jasadnya oleh 6 orang pelaku, dimana sebagian pelaku juga masih dibawah umur.3 Dari contoh kasus tersebut diatas terlihat bahwa masyarakat selalu dihadapkan dengan kejahatan, tak terkecuali anak-anak. Mengutip pandangan Frank Tannebaun bahwa crime is ertenal as eternal as society.4 Penulis sependapat bahwa masalah kejahatan merupakan masalah yang abadi, selama manusia mendiami bumi ini. Berdasarkan Statistik Politik dan Keamanan Daerah Istimewa Yogyakarta 2014, jumlah kejahatan yang dilaporkan di Daerah Istimewa Yogyakarta bersifat fluktuatif. Pada tahun 2012, kejahatan yang dilaporkan sejumlah 6.727 laporan, tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 6.361 laporan dan kenaikan significant terjadi pada tahun 2014 yaitu sejumlah 18.700 laporan.5
2
http://regional.liputan6.com/read/2499720/kronologi-kasus-kematian-yuyun-di-tangan-14-abgbengkulu, diakses pada tanggal 3 Juli 2016 3 http://www.harianjogja.com/baca/2014/06/12/siswi-ditemukan-terbakar-ma-vonis-mati-duapembunuh-pelajar-di-sleman-512865, diakses pada tanggal 30 Januari 2016 4 B. Simandjuntak., 1980, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, hlm.47 5 Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014, Statistik Politik Dan Keamanan Daerah Istimewa Yogyakarta 2014, Katalog BPS : 3305001.34
3
Selang waktu terjadinya kejahatan pada tahun 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah 28 menit 6 detik, artinya setiap 28 menit 6 detik di Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi 1 kasus tindak kejahatan. Kondisi ini lebih cepat dibandingkan pada tahun 2013 yang mencapai 1 jam 21 menit. Kabupaten Bantul mempunyai selang waktu tindak kejahatan tercepat dibandingkan 4 daerah lain di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu 3 jam 24 menit 31 detik. Kemudian disusul Kota Yogyakarta 4 jam 55 menit 37 detik, Sleman 04 jam 45 menit 11 detik, Kulonprogo 10 jam 11 menit 52 detik dan yang terahkir, yang mempunyai selang waktu tindak kejahatan paling lama adalah Kabupaten Gunungkidul yaitu, 28 jam 54 menit 39 detik. Meningkatnya tindak kejahatan di Daerah Istimewa Yogyakarta, memerlukan perhatian kita bersama untuk melakukan upaya preventif ataupun penegakan hukumnya. Apalagi seperti tadi dikemukakan bahwa lingkup kejahatan tidak hanya pada orang dewasa saja melainkan pada anak-anak baik anak sebagai pelaku ataupun anak sebagai korban. Tercatat bahwa dari 1.915 pelaku tindak kejahatan pada tahun 2014, 82 diantaranya adalah anak-anak. 76 pelaku anak laki-laki dan 6 orang anak pelaku perempuan.6 Sedangkan anak sebagai korban kejahatan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2012 sejumlah 2.702 korban, lalu di tahun 2013 mengalami penurunan sejumlah 1.680 korban dan pada tahun 2014 naik
Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, ‘Politik dan Keamanan Daerah Istimewa Yogyakarta 2014, katalog nomor 46.030.001.34, Badan Pusat Statistik DI Yogyakarta, 2014, hlm.33 6
4
menjadi 3.862 anak atau 8,70%.7 Jumlah anak tersebut baik pelaku maupun korban disebut sebagai Anak yang berhadapan degan hukum (ABH). Pasal 1 angka 2 Undang – Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa : “Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.” Anak yang berhadapan dengan hukum merupakan kompetensi dari Peradilan Pidana Anak. Seperti halnya telah disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Definisi anak itu sendiri dalam Ensiklopedi Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa purbetas.8 Tentu saja hal ini sangat menyulitkan untuk mengetahui apakah seorang anak tersebut telah mengalami masa purbetas ataukah belum?, karena masa purbetas masing masing anak itu berbeda. Maka pada pasal 1 angka 1 Undang – Undang No.35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
6
Statistik Kriminal 2015, katalog nomor 4401002, Badan Pusat Statistik Jakarta-Indonesia, 2015, hlm.100-101 8 https://id.wikipedia.org/wiki/Anak, diakses pada tanggal tanggal 26 Februari 2016
5
Abintoro Prakoso berpendapat bahwa tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah 18 ( delapan belas) tahun harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak ( the best interests of the child).9 Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incopax dan tidak dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya. Anak yang melakukan tindak pidana seharusnya dipandang sebagai korban (child perpective as victim) dari beberapa faktor, misalnya kemiskinan, kurangnya perhatian keluarga dan masyarakat, keterbatasan pengetahuan orang tua atas pendidikan anak, serta pengaruh negatif dari lingkungannya. Dalam menangani perkara pidana anak, yang penting baginya bukanlah apakah anak tersebut dapat dihukum atau tidak, namun tindakan yang bagaimanakah yang harus diambil untuk mendidik anak itu. Seperti halnya dikemukakan Jerome Staumphauzer (1986) yang menegaskan bahwa melepaskan pemuda dari masyarakat di mana ia harus belajar beradaptasi, memaparkannya pada banyak hal, dan menggunakan hukuman sebagai satu-satunya asas belajar untuk mengubah perilaku, menurutnya adalah program yang buruk dan tidak dapat dirancang : “a worse social learning program could not be designed: remove the youth from the very society to which he must learn to adapt, expose him to hundreds (yet), and use punishment as the only learning principle to change behaviour”10
9
Abintoro Prakoso, 2013, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta, hlm.12 10 Jerome S dalam Marlina, 2012, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm.21
6
Anak yang berhadapan dengan hukum diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang – Undang tersebut memberikan perlakuan khusus terhadap anak-anak yang melakukan suatu tindak pidana, baik dalam hukum acaranya maupun peradilannya. Wagiati Soetodjo menegaskan bahwa perlakuan khusus tersebut diperlukan, mengingat sifat anak dan keadaan psikologisnya dalam beberapa hal tertentu memerlukan perlakuan khusus serta perlindungan yang khusus pula, terutama terhadap tindakan-tindakan yang pada hakekatnya dapat merugikan perkembangan mental maupun jasmani anak.11 Ketentuan tersebut mengacu pada model pendekatan “Restorative justice system”, dimana proses penyelesaian perkara pidana anak bukan semata-mata menghukum anak namun bersifat mendidik dan yang penting adalah mengembalikan kondisi dan memulihkannya sebagaimana sebelum terjadinya tindak pidana.12 Restorative justice dianggap sebagai model pemidanaan modern dan lebih manusiawi bagi model pemidanaan terhadap anak, dimana penanganan anak yang berorientasi pada penghukuman beralih menjadi rekonsiliasi. Dalam pelaksanaanya konsep ini memberikan kesempatan yang lebih besar kepada korban (victim driven) untuk menyampaikan tentang kerugian yang dideritanya, baik materiil maupun moril. Pelaku dalam kesempatan ini
11 12
Wagiati Soetodjo, 2006, hukum Pidana Anak, PT.Refika Aditama, Bandung Op.cit, Abintoro Prakoso, hlm.162
7
juga dapat menyampaikan sebab-sebab dan alasan kenapa dirinya melakukan tindak pidana/perbuatan terlarang yang menyebabkan kerugian pada korban dan masyarakat.13 Pertemuan tatap muka antara korban dan pelaku merupakan sentral yang utama dalam mediasi korban dengan pelaku. Marlina dalam bukunya mengutip pendapat Howard Zehr (1990) yang menyatakan : “Restorative justice sees things differently... Crimes is a violation of people and relationships... It creates obligation to make things right. Justice involves the victim, the offender and the community in a search for solutions which promote repair, reconciliation, and reassurance”14 ( Keadilan restorative melihat hal dengan pandangan yang berbeda... Kejahatan merupakan kekerasan terhadap orang dan hubungan... Keadilan restorative berkewajiban untuk melakukan hal yang benar. Pelaksanaanya melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat dalam mencari solusi yang mengutamakan perbaikan, rekonsiliasi, dan penghiburan ) Dengan konsep restorative justice yang mengedepankan kepentingan bagi anak, diharapkan dapat menghindarkan anak terhadap pengaruh buruk dari sistem hukum yang ada. Kekhususan dari Sistem Peradilan Anak yang lain misalnya adalah bahwa Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasihat hukum dan petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian dinas, kemudian adanya diversi pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan anak di pengadilan, batasan umur, diperiksa oleh Hakim Tunggal, sidang anak dilakukan secara tertutup, hukuman lebih ringan, kehadiran orang tua atau wali atau orang tua asuh serta diakuinya pembimbing kemasyarakatan, dan kehadiran penasehat hukum.
13
Marlina, 2012, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm.24 14 Ibid, hlm.26
8
Disebutkan diatas bahwa salah satu sifat kekhususan peradilan pidana anak adalah pemeriksaan perkara anak dilakukan dalam sidang yang tertutup untuk umum. Hal itu secara tegas dinyatakan di dalam Pasal 54 UndangUndang No. 11 Tahun 2012, bahwa : “hakim memeriksa perkara anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan” Sifat tertutup ini menurut Wagiati Soetodjo dimaksudkan agar tercipta suasana tenang, dan penuh dengan kekeluargaan sehingga anak dapat mengutarakan segala peristiwa dan segala perasaannya secara terbuka dan jujur selama sidang berjalan.15 Namun bagaimanakah dengan pihak korban?, khususnya bagi secondary victim atau korban yang tidak langsung. Setelah persidangan dinyatakan tertutup oleh Hakim apakah hal tersebut juga berlaku begi orangtua korban sebagai korban tidak langsung. Pada sebuah kesempatan penulis telah melakukan wawancara kepada orangtua korban dalam kasus Harju Pambudi, dimana pada tanggal 11 Desember 2012 telah meninggal dunia akibat pelemparan mercon yang dilakukan 4 pelajar asal Bantul, Yogyakarta. Kejadian tersebut berawal ketika salah satu teman dari pelajar Bantul tersebut dianiaya dan dirusak motornya oleh salah satu siswa SMA di Seyegan, Sleman. Oleh karena rasa kesetiakawanan mereka, maka 4 pelajar tersebut berniat balas dendam dengan membawa mercon yang akan digunakan untuk menyerang balik. Namun
15
Op.cit
9
sebelum melemparkan mercon, mereka justru sudah di kejar beberapa pelajar dari SMA tersebut. Pada perjalanannya tidak disangka ada seorang pelajar yang bernama Harju Pambudi siswa SMKN 3 Jetis yang hendak pulang kerumahnya di daerah Dusun Bedilan, Margokaton, Seyegan. Karena mengira Harju Pambudi adalah pelajar dari SMA Seyegan, keempat pelajar tersebut justru kemudian melemparkan mercon ke arah Harju Pambudi, di daerah Dusun Mriyan, Desa Margomulyo, Seyegan Sleman. Sehingga mengenai bagian dadanya yang menyebabkan luka bakar parah sampai pada ahkirnya meninggal dunia. Harju Pambudi adalah pelajar berumur 17 tahun, sedangkan keempat pelaku yang lain ada yang berumur 16 tahun, 17 tahun dan 18 tahun. Sehingga karena korban dan pelaku adalah anak maka hal ini merupakan kompetensi dari peradilan pidana anak. Namun perlu kita ketahui disini bahwa pada saat itu penanganan kasus tersebut masih berpedoman pada Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, karena walaupun Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sudah diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012, namun berlakunya 2 tahun sejak diundangkan yaitu baru pada tahun 2014. Meskipun demikian sidang tertutup umum juga berlaku dan ditegaskan dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang menyatakan bahwa hakim memeriksa perkara anak dalam sidang yang tertutup. Sehingga asas tertutup untuk umum memang menjadi syarat pokok dari pemeriksaan anak.
10
Bapak Rumantyo selaku orangtua dari Harju Pambudi mengatakan bahwa beliau tidak dapat mengikuti persidangan secara langsung, sehingga dari situ beliau yang aktif untuk mencari perkembangan kasus pada anaknya. Beliau mengungkapkan bahwa hukum menjadi kurang adil baginya, karena dirinya sudah kehilangan anak bungsunya, sedangkan pelaku justru mendapatkan pembebasan, juga masih dapat mengikuti ujian negara. Kepada penulis beliau berharap agar hukum dapat secara konkreat memberikan perlidungan kepada anak, hak-hak korban jangan dirampas, titik berat pada perilakunya bukan kepada klasifikasi umurnya, sehingga diharapkan tidak terjadi lagi Harju Harju yang lain. Hal yang sama diungkapkan juga Edy Mustofa, ayahanda dari Alm.Dimas Afrizal Mustofa, pelajar SMU berusia 15 tahun ini telah meninggal dunia akibat penganiayaan oleh sekelompok pelajar yang terjadi di jalan Nambongan, Caturharjo, Sleman pada tanggal 09 Oktober 2014. Edy Mustofa mengungkapkan kekecewaannya karena pihak keluarga, tidak dapat mengikuti jalannya persidangan, walaupun sudah sampai memohon dihadapan hakim. Pihak keluarga hanya ingin mengetahui secara pasti apakah memang para pelaku sudah diadili dengan tepat, adil sesuai dengan fakta yang terjadi ataukah tidak, namun permohonannya untuk mengikuti persidangan tidak dikabulkan oleh Hakim. Sehingga Bapak Edy Mustofa beserta istri hanya bisa menunggu di luar ruangan sidang. Senada dengan Bapak Rumantyo dan Bapak Edy Mustofa, orangtua dari kasus pemerkosaan dan pembunuhan Riya Puspita Restanti yang terjadi di
11
Dusun Kringinan, Selomartani, Kalasan pada bulan April 2013 yaitu Rismiyati dan Setyo Hidayat. Menyebutkan juga bahwa mereka berdua hanya bisa menunggu di luar sidang, sehingga merasa kecewa dan sedih luar biasa karena menganggap hukum itu semena-mena terhadap rakyat kecil. Dari keluh kesah orangtua korban tersebut terhadap sistematis pemeriksaan anak dalam peradilan pidana anak yang dinyatakan “tertutup untuk umum”. Penulis menjadi tertarik untuk mengkaji sistem pemeriksaan tertutup yang ditegaskan dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap Orangtua dari anak korban. Sehingga dalam hal ini penulis mengkaji dari perspektif viktimologi. Dalam klasifikasi korban karena orangtua bukan korban yang terluka secara langsung maka disebut sebagai secondary victim. Menurut Pandangan Remer and Ferguson (1995) korban disebut sebagai secondary victim oleh karena korban ini adalah korban tidak langsung dari kejadian tindak pidana tersebut, mereka adalah orang yang mengalami penderitaan kedua setelah korban langsung16. Oleh sebab itu berdasarkan klasifikasi korban tersebut, penulis mengambil judul penulisan “Perlindungan HukumSecondary Victim Dalam Sidang Tertutup Peradilan Pidana Anak”. Dari judul tersebut penulis ingin mengetahui kedudukan secondary victim terhadap jalannya perkara dalam sidang peradilan pidana anak. Penulis berharap dapat mengetahui kepentingan secondary victim untuk mengikuti
16
Ben Bannister, 2013, secondary victims perceptions of justice : implications for Forensic Psychology, Disertasi : The Faculty of Community Services, Education and social Science, Edith Cowan University
12
pemeriksaan peradilan anak secara langsung. Menjadi pokok bahasan penulis kemudian adalah mengenai perlindungan hukum bagi secondary victim itu sendiri dalam sidang tertutup peradilan pidana anak di Indonesia. Semoga penulisan ini dapat menjawab mengenai bagaimana perlindungan hukum dalam sistem peradilan pidana anak itu sendiri bagi secondary victim dan kendala terhadap implementasinya. Diharapkan konsep restoratif justice yang ditawarkan sistem peradilan anak dalam menyelesaikan perkara anak dapat diimplementasikan dengan baik bagi pemulihan bagi korban, pelaku, maupun masyarakat. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan tersebut diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah secondary victim mempunyai kepentingan terhadap jalannya perkara dalam sidang peradilan pidana anak? 2. Bagaimakah perlindungan hukum bagi secondary victim dalam sidang tertutup peradilan pidana anak? 3. Apa sajakah kendala yang terjadi dalam implementasi perlindungan hukum bagi secondary victim dalam sidang perkara anak? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai perlindungan hukum bagi secondary victim dalam sidang tertutup untuk umum. Karena kita ketahui bersama bahwa di dalam Pasal 54 UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem
13
Peradilan Pidana Anak, pemeriksaan perkara anak dinyatakan dalam sidang yang tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan. Adanya regulasi tersebut, kemudian terdapat kajian kritis mengenai representasi secondary victim dalam sistem peradilan anak. Penulis mengkaji mengenai apakah secondary victim mempunyai kepentingan atau tidak terhadap akses peradilan pidana anak. Sehingga perlindungan hukum bagi secondary victim dapat menjadi pengetahuan bagi kita bersama. D. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu : 1. Manfaat Teoritis Penulis berharap penulisan ini dapat memberikan kontribusi pemikiran terhadap perkembangan ilmu viktimologi, khususnya dalam sistem peradilan pidana anak. Sehingga Sistem Peradilan Pidana Anak, dengan sistem restorative justice yang sudah demikian baiknya, mencapai nilai keadilannya, dengan merepresentasi kepentingan korban. 2. Manfaat Praktis a. Penulisan ini bagi penulis bermanfaat untuk mengembangkan daya pikir dan pengetahuan yang lebih mengenai ilmu victimology dalam sistem peradilan pidana anak, dan menambah kemampuan penulis untuk menyusun suatu karya ilmiah.
14
b. Bagi legislator penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan kajian atau pertimbangan dalam hal perancangan UndangUndang agar produk hukum yang dibuat juga merepresentasi kepentingan korban, khususnya secondary victim. c. Penulisan ini bagi masyarakat diharapkan dapat menambah wawasan dan pemahaman mengenai secondary victim itu sendiri dan perlindungan hukumnya. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum maupun di Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, tidak ditemukan karya ilmiah mengenai secondary victim dalam sistem peradilan anak. Namun, penulis menemukan beberapa karya ilmiah mengenai tindak pidana dalam perspektif viktimologi yang berbeda dari penelitian yang akan penulis lakukan. Karya Ilmiah tersebut adalah sebagai berikut : 1. Dekriminalisasi Aborsi Bagi Korban Perkosaan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Ditinjau Dari Viktimologi, Penulis oleh Piramitha Angelina, Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Tahun 2015.17 Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui, menganalisis, dan menjelaskan mengenai dampak yang ditimbulkan dari dekriminalisasi aborsi bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan, maupun anak yang
17
Piramitha Angelina, 2015, “Dekriminalisasi Aborsi Bagi Korban Perkosaan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Ditinjau Dari Viktimologi”, Magister lmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
15
ada di dalam kandungannya, ditinjau dari hak asasi manusia dan kepentingan korban. Pada ahkirnya terdapat 2 pandangan mengenai dekriminalisasi aborsi bagi korban perkosaan, yaitu kaum pro choice yang berpendapat bahwa hal tersebut berdampak positif karena menjamin perlindungan hukum terhadap hak kesehatan reproduksi perempuan. Sedangkan bagi kaum pro life, hal tersebut justru menempatkan anak sebagai korban, sehingga berdampak negatif terhadap perlindungan hukum bagi hak hidup anak, bahkan sejak di dalam kandungan. Kesimpulannya adalah dekriminalisasi aborsi adalah bentuk pelanggaran terhadap kewajiban dasar manusia yaitu melindungi hak asasi orang lain, termasuk hak hidup anak yang ada dalam kandungan. 2. Perlindungan
Hukum
Terhadap Anak Sebagai
Korban Pedofilia
Berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Ditulis oleh Ade Oktavianisa Andriyanti, Mahasiswi S1 Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2015.18 Dalam penulisannya permasalahan yang dibahas adalah mengenai bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban pedofilia dan kendala dalam pemberian perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban pedofilia?. Anak korban atau anak saksi tindak pidana pedofilia termasuk ke dalam anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu adanya perlindungan hukum yang khusus demi pemulihan yang
18
Ade Oktavianisa Andriyanti, 2015, “ Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Pedofilia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”, S1 Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
16
berdampak pada tumbuh kembangnya di masa yang akan datang. Kesimpulan dari penulisan tersebut adalah bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih banyak cakupannya terhadap perlindungan anak sebagai pelaku, bukan sebagai korban tindak pidana. Kedua penulisan tersebut berbeda dari apa yang akan penulis kaji, karena penulis dalam hal ini mengambil Judul Perlindungan Hukum Secondary Victim Dalam Sidang Tertutup Peradilan Pidana Anak, dimana pokok permasalahannya adalah perlindungan hukum bagi secondary victim. Kedua penulisan tersebut diatas mengkaji mengenai kepentingan dari primary victim terkhusus pada korban pedofilia dan aborsi. Adapun diluar negri pernah diteliti dengan judul Secondary Victim Perceptions Of Justice : Implications for Forensic Psychology, Ditulis oleh Ben Bannister, Student of Doctor of Psychology (Forensic), The Faculty of Community Services, Education and Social Sciences Edith Cowan University, Australia. Namun penelitian tersebut juga berbeda karena menyangkut mengenai forensik.