BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan
pada
suatu
wilayah
bertujuan
untuk
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ini juga harus disertai dengan pemerataan pada tiap-tiap wilayah yang ada di daerah tersebut. Apabila suatu daerah mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi terdapat ketimpangan antarwilayah yang tinggi pula, tentunya hal ini tidak dapat dikatakan pembangunan daerah tersebut mengalami keberhasilan. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Todaro dan Smith (2011: 17-18) mengenai pandangan ekonomi baru tentang pembangunan, bahwa pembangunan ekonomi harus meliputi upaya-upaya untuk mengurangi atau meniadakan tingkat kemiskinan dan pengangguran, ketimpangan pendapatan, dan juga penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat yang lebih merata. Pembangunan tidak hanya berfokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga menyangkut redistribusi hasil pertumbuhan. Negara-negara berkembang yang mencapai pertumbuhan per kapita yang cukup tinggi pada dekade 1950-an, 1960-an, dan 1970-an menghadapi masalah-masalah seperti ketimpangan yang semakin tidak merata, meluasnya kemiskinan absolut, dan peningkatan pengangguran. Tingkat kehidupan sebagian besar masyarakat umumnya tetap tidak berubah, walaupun target pertumbuhan ekonominya tercapai (Todaro dan Smith, 2011: 17-18).
1
Masalah-masalah seperti tersebut di atas juga terjadi dalam lingkup yang lebih kecil yaitu pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses di mana pemerintah daerah bersama dengan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada, kemudian membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta guna menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan
ekonomi)
dalam
wilayah
tersebut
(Arsyad,
2002:
108).
Pembangunan ekonomi daerah yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi tidak selalu diikuti dengan pemeratan, sehingga menyebabkan ketimpangan. Era otonomi daerah saat ini telah memberikan perubahan kewenangan yang dimiliki pemerintahan daerah di Indonesia dalam mengelola perekonomian daerah dan mengatur pembangunan daerahnya masing-masing. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menandai berlakunya otonomi daerah yang memberikan kewenangan lebih luas kepada daerah untuk menggali potensi daerah secara maksimal. Hal ini diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan
Pemerintah
kewenangan-kewenangan
Daerah
pemerintah
Kabupaten/Kota, daerah
dalam
yang
memperjelas
menggerakkan
roda
pembangunan dan mengatasi berbagai macam permasalahannya. Kota Yogyakarta yang memiliki 14 kecamatan, juga harus dapat memanfaatkan momentum otonomi daerah untuk mewujudkan pembangunan
2
ekonomi daerah. Pembangunan ekonomi daerah tersebut ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat dengan ketimpangan yang semakin menurun demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Kondisi geografis Kota Yogyakarta dengan luas wilayah yang terkecil di Daerah Istimewa Yogyakarta, tentunya memberikan karakteristik yang khas dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah 32,5 km2, yang bahkan banyak kecamatan di wilayah lain yang memiliki luas lebih dari luas Kota Yogyakarta. Dengan jumlah penduduk mencapai 394.012 jiwa pada tahun 2012, maka kepadatan penduduknya mencapai 12.123 jiwa/km2, yang merupakan angka tertinggi dan jauh di atas wilayah-wilayah lain di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini juga berimbas dengan kecilnya luasan tiap kecamatan dan padatnya penduduk di tiap kecamatan yang ada di wilayah Kota Yogyakarta. Luas area, jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk tiap kecamatan di Kota Yogyakarta tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 1.1. Kota Yogyakarta dan kecamatan-kecamatannya yang memiliki luas area kecil ini berimbas juga pada batas-batas adminsitratif, lingkungan, dan sosial yang menjadi semakin samar. Kondisi seperti ini seharusnya bisa lebih homogen daripada wilayah-wilayah dengan area yang cukup luas. Jumlah penduduk miskin di Kota Yogyakarta pada tahun 2012 mencapai 37.600 jiwa atau sekitar 9,38 persen dari populasi penduduk Kota Yogyakarta. Meskipun ini merupakan angka yang paling kecil di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan kondisi samarnya batas-batas adminsitrasi, lingkungan, dan
3
sosial antarkecamatan, seharusnya bisa lebih homogen lagi kondisinya. Apabila dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta yang persentase penduduk miskinnya sebesar 3,72 persen, angka 9,38 persen ini masih terasa sangat besar. Tabel 1.1 Luas Area, Jumlah, Pertumbuhan, dan Kepadatan Penduduk Kecamatan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Kecamatan Mantrijeron Kraton Mergangsan Umbulharjo Kotagede Gondokusuman Danurejan Pakualaman Gondomanan Ngampilan Wirobrajan Gedongtengen Jetis Tegalharjo Kota Yogyakarta
Luas Area (km2)
Penduduk (orang)
2,61 1,40 2,31 8,12 3,07 3,97 1,10 0,63 1,12 0,82 1,76 0,96 1,72 2,91 32,50
31.695 17.561 29.448 78.831 32.052 45.526 18.433 9.366 13.097 16.402 24.969 17.273 23.570 35.789 394.012
Pertumbuhan Penduduk ( persen) 0,872 0,023 0,037 2,209 2,376 0,020 0,000 0,043 0,031 0,006 0,028 0,017 0,000 1,975 0,885
Kepadatan Penduduk (orang/km2) 12.144 12.544 12.748 9.708 10.440 11.468 16.757 14.867 11.694 20.002 14.187 17.993 13.703 12.299 12.123
Sumber: Kota Yogyakarta Angka 2012 (diolah)
Pembangunan ekonomi suatu daerah dapat dilihat diantaranya melalui pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan antarwilayah di daerah tersebut. Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang diperlukan untuk memacu dan menggerakkan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sedangkan PDRB per kapita dapat digunakan sebagai gambaran rata-rata pendapatan yang dihasilkan oleh setiap penduduk selama satu tahun di suatu wilayah atau daerah. PDRB per kapita pada wilayah-wilayah yang ada dalam suatu daerah dapat digunakan untuk membandingkan ketimpangan yang terjadi pada daerah tersebut. PDRB per kapita ini seharusnya tidak terjadi ketimpangan yang tinggi antarwilayah.
Dalam
konteks
Kota
Yogyakarta,
PDRB
per
kapita
4
kecamatan-kecamatan di Kota Yogyakarta seharusnya tidak terjadi ketimpangan yang tinggi. Gambaran PDRB per kapita per kecamatan di Kota Yogyakarta Tahun 2007-2010 dapat dilihat pada Tabel 1.2 di bawah ini: Tabel 1.2 PDRB Per Kapita Kecamatan di Kota Yogyakarta 2007-2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kecamatan Mantrijeron Kraton Mergangsan Umbulharjo Kotagede Gondokusuman Danurejan Pakualaman Gondomanan Ngampilan Wirobrajan Gedongtengen Jetis Tegalrejo Kota Yogyakarta
PDRB perkapita (dalam ribu rupiah) 2007 2008 2009 6.417,50 6.592,50 6.752,07 5.580,80 5.787,00 5.922,17 6.438,00 6.715,10 6.929,73 13.751,30 14.126,70 14.452,83 6.775,80 6.865,90 6.993,06 14.880,90 15.481,30 15.997,85 18.565,50 19.737,70 20.730,50 4.960,90 5.332,10 5.709,17 25.118,80 26.631,50 27.786,09 5.422,20 5.522,00 5.661,37 9.237,30 9.426,20 9.579,43 9.443,30 10.021,70 10.496,35 12.225,80 12.701,70 13.102,70 6.359,50 6.461,30 6.618,57 10.588,80 10.989,20 11.334.36
2010 8.567,40 8.145,20 9.056,00 15.893,40 7.759,60 20.849,90 27.343,00 7.394,90 36.177,10 7.466,70 12.723,30 13.221,40 18.150,30 8.365,80 14.167,76
Sumber: BPS DIY (diolah)
Sebagaimana terlihat pada Tabel 1.2 di atas, Kecamatan Gondomanan memiliki PDRB per kapita tertinggi dan terus meningkat pada periode tahun 2007-2010, sebaliknya Kecamatan Ngampilan memiliki PDRB per kapita yang terendah pada periode yang sama. Perbedaan PDRB per kapita kecamatan yang tertinggi dan terendah ini hampir mencapai lima kali lipat. Hal tersebut tentu saja akan berdampak pada perbedaan kesejahteraan antarkecamatan yang pada akhirnya dapat menyebabkan ketimpangan antardaerah (kecamatan) menjadi semakin besar. Perbedaan yang demikian besar ini menunjukkan kemungkinan adanya ketidakmerataan pelaksanaan pembangunan selama ini, sehingga perlu dilakukan evaluasi pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan di Kota
5
Yogyakarta. Terlebih lagi ketimpangan ekonomi, yang merupakan salah satu bagian dari ketimpangan horizontal, merupakan pemicu munculnya konflik sosial di masyarakat (Stewart, 2010), sehingga dalam luasan yang kecil seperti Kota Yogyakarta sekalipun, ketimpangan tetap relevan untuk diteliti.
1.2 Keaslian Penelitian Penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti tedahulu. Beberapa diantaranya dapat dilihat di bawah ini: No 1.
Peneliti/ Tahun Sinamora (2007)
2.
Mapa dkk. (2013)
3.
Sutarno (2002)
4.
Reddy dan Bantilan (2012)
Topik dan Alat Analisis
Kesimpulan
1. Topik: Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan AntarKecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara tahun 1994-2005. 2. Alat Analisis: Tipologi Klaassen, Indeks Williamson, dan Indeks Entropy Theil.
Tingkat ketimpangan PDRB per kapita antarkecamatan Kabupaten Tapanuli Utara rata-rata 0,3286 (Indeks Williamson) dan 0,0331 (Indeks Entropy Theil), nilainya cenderung naik selama periode penelitian. Hipotesis Kuznets tidak berlaku, sedangkan Indeks Entropy Theil dan PDRB per kapita berkorelasi positif signifikan. Dimensi geografis berpengaruh terhadap pertumbuhan pendapatan provinsi. Adanya ketergantungan ekonomi secara spasial yang positif antarprovinsi di Filipina.
1. Topik: Analisis Spasial Pertumbuhan Pendapatan di Filipina tahun 1988-2009. 2. Alat Analisis: Spatial dependence, Indeks Moran dan Intra-Country Growth Model. 1. Topik: Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan PDRB Per Kapita Antarkecamatan di Kabupaten Banyumas Tahun 1993-200. 2. Alat Analisis: Tipologi Klaassen, Indeks Williamson, Indeks Entropy Theil, Korelasi Pearson.
1. Topik: Ketimpangan Regional di Wilayah Andhra Pradesh India. 2. Alat Analisis: Deskripsi Data.
Dari analisis Indeks Entropy Theil dan Williamson dapat disimpulkan bahwa ketimpangan meningkat. Dari korelasi pearson antara pertumbuhan dengan Indeks Williamson dan Entropy Theil dapat disimpulkan bahwa hipotesis kuznets berlaku di Kabupaten Banyumas. Meskipun terdapat pusat kegiatan besar di wilayah perkotaan tetapi dampaknya sangat terbatas terhadap daerah-daerah sekitar. Diperlukan intervensi pemerintah berupa kebijakan guna mengurangi ketimpangan antardaerah.
6
No 5.
6.
7.
8.
Peneliti/ Tahun Sutherland dan Yao (2011) Pose dan Ezcurra (2009)
Topik dan Alat Analisis
Kesimpulan
1. Topik: Ketimpangan Pendapatan di China Selama 30 Tahun. 2. Alat Analisis: Indeks Gini. 1. Topik: Hubungan Desentralisasi Fiskal dan Politik dan Evolusi Ketimpangan AntarDaerah. 2. Alat Analisis: Regressi Data Panel.
Pertumbuhan ekonomi selama 30 tahun meningkatkan kesenjangan pendapatan secara signifikan. Desentralisasi pada negara maju telah mengurangi ketimpangan antardaerah, tetapi pada negara berkembang justru ketimpangan antardaerah cenderung meningkat. Ketimpangan antardistrik di Benggala Barat mengalami kenaikan, yang kemungkinan disebabkan perbedaan infrastruktur fisik.
Raychaudhur 1. Topik: Investigasi Ketimpangan dan Haldar Antardistrik di Bengali Barat (2009) Tahun 1991-2005. 2. Alat Analisis: Indeks Theil, Indeks Gini, Indeks Atkinson, Indeks Hoover, Indeks Couler. Marpaung 1. Topik: Pertumbuhan Ekonomi dan (2012) Ketimpangan Antarkecamatan Di Kabupaten Bangka Tahun 20002010. 2. Alat Analisis: Tipologi Klaassen, Indeks Williamson, Indeks Entropy Theil, Analisis Regresi, dan Korelasi Pearson.
Ketimpangan antarkecamatan kecil atau merata. Hipotesis Kuznets tidak berlaku di Kabupaten Bangka selama periode penelitian.
Secara umum, hal-hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah: 1. lokasi dan waktu penelitian, yang mana penelitian ini dilakukan di Kota Yogyakarta dengan periode penelitian tahun 2003-2012; 2. penggunaan Indeks Entropy Theil, meskipun banyak dipakai pada penelitian terdahulu, tetapi tidak semuanya menghitung Indeks Entropy Theil Between Group dan Within Group yang mana pada penelitian ini juga diperhitungkan.
1.3 Rumusan Masalah Ketimpangan merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindari karena sangat sulit untuk mewujudkan pemerataan sempurna. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah perkembangan ketimpangan itu sendiri, karena apabila terus meningkat tentunya akan mengganggu keberhasilan perekonomian. Lingkup
7
kecamatan dalam suatu kabupaten/kota tentunya juga terdapat ketimpangan. Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah yang cukup kecil dengan batas administratif, lingkungan dan sosial yang cukup samar, sehingga menarik diteliti kondisi dan perkembangan pola pertumbuhan ekonomi dan tingkat ketimpangan pada wilayah yang terlihat menyatu dan homogen ini, dari tahun ke tahun.
1.4 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dari penelitian ini adalah: 1. bagaimanakah pola pertumbuhan ekonomi antarkecamatan yang ada di Kota Yogyakarta dan perkembangannya periode tahun 2003-2012? 2. bagaimanakah perkembangan tingkat ketimpangan antarkecamatan yang ada di Kota Yogyakarta periode tahun 2003-2012?
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. mengidentifikasi pola pertumbuhan ekonomi kecamatan-kecamatan di Kota Yogyakarta dan perkembangannya periode tahun 2003-2012; 2. menganalisis ketimpangan PDRB per kapita antarkecamatan di Kota Yogyakarta periode tahun 2003-2012.
1.6 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. diharapkan dapat menambah wawasan bagi yang membacanya; 2. sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya, terutama pada topik penelitian yang sama;
8
3. diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah Kota Yogyakarta dalam perencanaan pembangunanan daerah.
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam lima bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II adalah landasan teori/kajian pustaka yang berisi teori, kajian terhadap penelitian terdahulu, dan kerangka penelitian. Bab III berjudul metoda penelitian, terdiri atas desain penelitian, metoda pengumpulan data, definisi operasional, dan metoda analisis data. Bab IV menjelaskan analisis yang di dalamnya terdapat deskripsi data dan pembahasan. Bab V yang memuat simpulan dan saran, dijabarkan menjadi simpulan, implikasi, keterbatasan, saran.
9