BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pengembangan wilayah juga harus memperhatikan pembangunan ekonomi
daerah untuk dapat memacu pengembangan wilayah tersebut. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999). Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi suatu daerah beberapa negara di Asean sudah menerapkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau juga salah satunya adalah kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Perdagangan bebas dan Pelabuhan Bebas merupakan suatu bentuk perjanjian internasional yang dianggap dapat memberikan landasan dan harapan baru bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang diarahkan dalam rangka percepatan pengentasan dan penghapusan kemiskinan, terutama bagi negara berkembang dan miskin, termasuk salah satu adalah bangsa Indonesia (Hidayat dan Agus, 2010).
1
Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas adalah wilayah dimana ada beberapa hambatan perdagangan seperti tarif dan kuota dihapuskan dan mempermudah urusan birokrasi dengan harapan menarik bisnis baru dan investasi asing. Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dapat didefinisikan sebagai sebuah kawasan dengan batas-batas fisik yang jelas sehingga berakses terbatas di dalam wilayah suatu negara, yang dikecualikan dari peraturan pabean setempat. Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas berfungsi sebagai sarana perdagangan bebas, bongkar muat dan penyimpanan barang, serta manufacturing, dengan atau tanpa pagar pembatas di sekeliling wilayah, dengan akses terbatas yang dijaga petugas bea cukai.
Gambar 1.1 Peta Administrasi KSN Kawasan Bebas Sabang Sumber: RPI2JM 5 Kawasan Strategis Nasional
2
Konsep perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebenarnya merupakan penerapan konsep perdagangan internasional negara-negara yang terlibat dalam perekonomian terbuka. Menurut Mankiw (2007), sebagian perekonomian dunia adalah perekonomian terbuka, yaitu mengekspor barang dan jasa ke luar negeri, mengimpor barang dan jasa dari luar negeri, serta meminjam dan memberi pinjaman pada pasar modal dunia. Asumsinya, suatu negara baik negara maju maupun negara berkembang dipastikan memiliki hubungan internasional satu sama lain sehingga menciptakan peluang untuk melakukan perekonomian secara terbuka. Pada awalnya Pelabuhan Bebas Sabang ditetapkan pada tahun 1970 dengan turunnya Undang-undang No 4 Tahun 1970 tentang Penetapan Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Pelabuhan bebas Sabang pada era tahun 1970 an merupakan era keemasan yang sangat bergeliat dalam hal aktifitas pelabuhan. Namun masa keemasan Pelabuhan Bebas Sabang tidak berlangsung lama. Pelabuhan Bebas Sabang ditutup pada tahun 1985 dengan keluarnya UU No 10 Tahun 1985 tentang Penutupan Pelabuhan Bebas Sabang.
Gambar 1.2 Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang Tahun 1970-1985 Sumber: Laporan Tahunan KPBPB Sabang Tahun 1980 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang ditetapkan kembali yang ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2000
3
tentang Kawasan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, yang meliputi meliputi Kota Sabang (Pulau Weh, Pulau Klah, Pulau Rubiah, Pulau Seulako, Pulau Rondo), Pulau Breuh, Pulau Nasi dan Pulau Teunom serta pulau-pulau kecil di sekitarnya yang terdapat di dalam batas-batas koordinat tertentu yang ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu. Letak Kawasan Sabang yang strategis karena berada pada jalur lalu lintas pelayaran (International Shipping Line) dan penerbangan internasional menjadikan posisinya begitu sentral sebagai pintu gerbang arus masuk investasi, barang dan jasa dari dalam dan luar negeri. Didukung juga dengan pembangunan Terusan Kra (Canal Kra) di Thailand yang hampir selesai, telah memposisikan Sabang sebagai Buffer Zone bagi kapal-kapal container atau kapal-kapal kargo lainnya yang melalui Selat Malaka dan Samudera Hindia (Masterplan Kawasan Sabang 2007-2021). Dalam
aplikasi
perdagangan
bebas,
tujuan
terpentingnya
adalah
menurunkan hambatan (tarif atau non tarif) yang masuk dan keluar dari Sabang sehingga produktifitas bisnis dalam kawasan Sabang meningkat, sebagaimana asumsi yang dibangun oleh Mankiw (2007). Oleh karena itu, setidaknya ada tiga peraturan penting yang menjadi kunci penting bagi keberhasilan aplikasi perdagangan bebas tersebut yaitu (1) dalam produksi komoditi untuk konsumsi lokal, pembelian komponen impor dari luar kawasan diberi kemudahan mekanisme pembayarannya; (2) proses produksi yang komponennya diimpor dan produksinya diekspor dibebaskan dari tarif; dan (3) mekanisme pajak hendaknya lebih dikenakan terhadap barang produk yang diimpor dibanding barang yang dibuat di dalam kawasan.
4
Kawasan Perdagangan Bebas dan Perdagangan Bebas direncanakan untuk jangka waktu 70 tahun yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian Kawasan Sabang. Namun keberadaan Pelabuhan Bebas Sabang selama 14 tahun sejak ditetapkan tahun 2000 belum memberikan kontribusi sosial dan perekonomian nasional bahkan regional. Minimnya kegiatan kepelabuhanan yang diakibatkan rendahnya jumlah kedatangan kapal, selain itu sektor industri dan perdagangan yang ada di Kota Sabang masih berskala industri rumahan. Kondisi ini yang menyebabkan interaksi perekonomian tersendat akibat masih kecilnya volume transaksi barang yang keluar (ekspor) dan hanya bertumpu pada volume barang yang masuk (impor). Buruknya kinerja pelabuhan bebas ini lebih disebabkan lambatnya realisasi pengembangan pelabuhan yang dilatarbelakangin oleh ragam issue kepentingan, mulai politik, keamanan, hingga dukungan kebijakan. Patton dan Savicky (1986) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan sama penting dengan kebijakan itu sendiri sehingga kegagalan implementasi dianggap sama dengan kegagalan kebijakan. Berkenaan dengan policy failures dalam konteks pengawasan dan evaluasi kebijakan. Kegagalan kebijakan dikelompokkan menjadi 2, yaitu (1) program failures di mana kebijakan tidak dapat diimplementasikan sesuai dengan disain, dan (2) theory failures di mana kebijakan dapat diimplementasikan sesuai dengan disain tetapi tidak memberikan hasil yang diharapkan. Dalam perjalanannya sejak ditetapkan kembali pada tahun 2000, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang mengalami banyak hambatan baik
5
pada tahapan implementasi kebijakan hingga pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan, hingga saat ini belum mampu memberikan hasil nyata dari pengembangan Kawasan Bebas Sabang. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai: “Evaluasi Kebijakan Penetapan Kembali Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas” 1.2
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian yaitu bagaimana output dan proses kebijakan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengevaluasi kebijakan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang. 2. Menjelaskan proses pelaksanaan kebijakan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang. 1.4
Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat
antara lain: 1.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas terhadap dan sebagai tambahan referensi bagi penelitian ilmiah lainnya terkait dengan topik penelitian ini.
6
2.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan rekomendasi bagi Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, khususya Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) terkait pelaksanaan kebijakan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, serta menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan penetapan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dimasa yang akan datang.
1.5
Keaslian Penelitian Penelitian ini asli karena topik mengenai evaluasi output dan proses
kebijakan penetapan kembali kawasan pelabuhan bebas sabang dengan fokus dan lokus yang sama belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun penelitian yang bertemakan tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas beberapa kali pernah dilakukan meskipun dengan fokus dan lokus yang berbeda, seperti yang pernah dilakukan oleh Syahputra (2005) meneliti tentang faktor-faktor penghambat pengelolaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang: Studi pada Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS). Tujuan dari penelitiannya mengetahui implementasi penyelenggaraan tugas di Badan Pengusahaan Kawasan Sabang dan Mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin menjadi penghambat pelaksanaan kebijakan Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang. Metode penelitian yang digunakan dengan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pemikiran logis, induktif,
deduktif,
analogis
dan
komparatif.
Temuan
hasil
penelitian
mengemukakan bahwa pengelolaan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Sabang masih banyak mengalami kelemahan baik dari sisi perencanaan dimana tahap konsolidasi belum tercapai. Demikian juga dalam masalah pengorganisasian,
7
pengarahan, maupun dalam sisi pengawasan. Kemampuan manajerial BPKS masih cukup lemah baik dalam penyusunan rencana kerja, proses komunikasi, maupun dalam pelaksanaan tugas. Hambatan-hambatan
dalam pengelolaan baik dari
kebijakan politik, kemampuan manajerial maupun dari aspek hubungan kelembagaan ini berakibat pada tidak berjalannya pengelolaan kawasan bebas sabang. Tidak berjalannya pengelolaan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sabang ditunjukkan dengan kecilnya kontribusi kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sabang dalam peningkatan pendapatan daerah. Kurniawan (2007) meneliti tentang analisa pelaksanaan Asean-China Free Trade Agreement dengan Peraturan Pemerintah No 46 tahun 2007 tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apa dan bagaimana penerapan kebijakan ASEAN – China Free Trade Agreement (ACFTA) di wilayah yang merupakan zona perdagangan bebas khususnya di Pulau Batam sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk menanggulangi dampak penerapan kebijakan ACFTA. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis empiris dengan pendekatan perbandingan hukum dan pendekatan peraturan perundang - undangan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan Kerangka Kerja ACFTA diwilayah Zona Perdagangan bebas tidak menimbulkan dampak pada industri lokal di P. Batam. Industri P. Batam memiliki orientasi ekspor dalam memasarkan produk yang dihasilkan, sehingga memiliki standar internasional agar dapat diterima di negara tujuan ekspor dan dapat bersaing dengan produk luar negeri. Pemerintah Pusat
8
melalui Keppres ataupun PP, berdasarkan kisah sukses P. Batam, hendaknya wilayah yang berdekatan dengan perbatasan ditentukan sebagai wilayah beorientasi ekspor produk yang paling dibutuhkan. Bagi wilayah yang tertinggal dalam bidang industri dikembangkan sebagai industri penyokong bahan baku disamping tetap mengembangkan industri yang ada sebelumnya tanpa melupakan ketersediaan Sumber Daya Alam. Novia (2007) meneliti mengenai efektifitas pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2007 tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Bintan terhadap investasi di Bintan, Kepulauan Riau. Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif kualitatif yang fokus pada isi dan implikasi kebijakan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektifitas PP No 47 tahun 2007 terhadap investasi dan juga untuk mengetahui faktof-faktor yang menghambat efektifitas PP No 47 tahun 2007 terhadap investasi.
9