BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan investasi merupakan indikator pertumbuhan ekonomi suatu daerah maupun nasional. Investasi yang dilakukan secara tepat akan mendukung meningkatkan perkembangan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan. Tantangan pelaksanaan investasi di daerah didorong melalui kebijakan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah diatur dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengelola urusan pemerintahannya sendiri. Salah satu implikasinya adalah setiap daerah dituntut untuk mampu mengelola keuangan daerahnya secara mandiri. Pada
perekonomian
daerah,
investasi
dapat
menjadi
penggerak
pengembangan produksi sehingga output yang dihasilkan semakin baik. Istilah terminologi ekonomi there is no (economic) growth without investment.1 Pernyataan ini mengandung makna bahwa investasi mempunyai peranan penting untuk pembangunan ekonomi, walaupun investasi bukan satu – satunya komponen dalam pembangunan ekonomi. Investasi mempunyai dua peranan penting dalam menentukan pertumbuhan ekonomi. Pertama, pengaruhnya terhadap permintaan agregat jangka pendek, dalam hal ini akan dianggap sebagai
1
Nurjana Ladjin, 2008, “Analisis Kemandirian Fiskal di Eka Otonomi Daerah (studi Kasus Di Propinsi Sulawesi Tengah),” (Tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu ekonomi dan Studi Pembangunan Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, h. 62
1
2
pendorong peningkatan output serta memberikan kesempatan kerja. Kedua, efeknya terhadap pembentukan kapital. Adanya investasi akan menambah berbagai peralatan, mesin, bangunan dan sebagainya. Tindakan ini akan meningkatkan potensi output dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dalam jangka panjang. 2 Sektor pariwisata merupakan sektor yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan negara. Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (selanjutnya disebut BPS Bali) pada bulan Desember 2015 menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan mancannegara ke Bali mencapai 370, 640 kunjungan atau mengalami peningkatan sebesar 6, 70 persen dibandingkan jumlah kunjungan wisman pada bulan yang sama ditahun sebelumnya 2014 yang tercatat sebanyak 347,370 kunjungan. Begitu pula jika dibandingkan dengan November 2015, jumlah kunjungan wisman pada bulan Desember 2015 naik sebesar 1, 85 persen.3 Bertambahnya tingkat kunjungan wisatawan, berdampak pada permintaan – permintaan berupa jasa pariwisata yang disediakan oleh masyarakat disekitar tempat kunjungan wisata.4 Kondisi yang diuraikan diatas nantinya akan memberikan pengaruh cukup signifikan bagi perekonomian nasional atau dunia secara keseluruhan. Pendapat 2
Marsuki, 2006, Masalah Dan Strategi Menarik Investasi Di Daerah, Makalah disampaikan Pada Seminar Investasi PUKTI di Hotel Quality, Makasar, 15 Juni 2006 3
Badan Pusat Statistik, 2015, Perkembangan Pariwisata Bali Desember 2015, http://bali.bps.go.id/webbeta/website/brs_ind/brsInd-20160201131345.pdf, diakses tanggal 3 Februari 2016. 4
Muljadi A.J., 2012, Kepariwisataan dan Perjalanan, cetakan ke-3, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 6.
3
Parikesit Widiatedja juga mempertegas bahwa kontribusi sektor pariwisata memberikan peningkatan kontribusi untuk roda perekonomian nasional. 5 Beliau menyebutkan didalam bukunya, bahwa sektor pariwisata memiliki potensi yang bernilai ekonomi dengan daya saing yang tinggi, bahwa bahan baku pariwisata tidak akan habis – habis, sedangkan bahan baku usaha – usaha lainnya sangatlah terbatas jumlahnya.6 Berdasarkan pada konsep ekonomi, perkembangan perusahaan yang khususnya bergerak dibidang pariwisata yaitu mencari keuntungan lebih menekan pengeluaran, mengabaikan aspek-aspek lain yang sebenarnya sangat vital bagi perusahaan terkadang diabaikan, misalnya upah karyawan yang murah dijadikan alasan untuk mendirikan perusahaan, hak – hak karyawan perusahaan, sumber daya alam diolah tanpa memperhatikan aspek – aspek lingkungan hidup. Sehingga tanggung jawab ekonomi akan dikatakan berhasil, bilamana perusahaan aspek – asepek diluar dari tanggung jawab ekonomi dan mengedepankan keuntungan yang maksimal bagi perusahaan Tanggung jawab perusahaan tidak hanya tanggung jawab ekonomi saja, dilain sisi tanggung jawab pada aspek sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan segala aspek penunjang berhasilnya perusahaan tersebut. Pengaturan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan secara eksplisit terdapat pada aturan hukum Indonesia, ketika pemerintah memberlakukan Undang – Undang
5
IGN parikesit Widiatedja, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata, kontruksi konsep ragam masalah dan alternative solusi, Udayana University Press, Bali, (Selanjutnya disebut IGN Parikesit Widiatedja I), h. 38 6
IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa Dan Masa Depan Pariwisata Kita, Udayana University Press, Bali, (Selanjutnya disebut IGN Parikesit Widiatedja II), h. 69
4
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Selanjutnya disebut UU PM), Pasal 15 UUPM secara tegas menyebutkan bahwa setiap penanam modal (perseorangan atau perusahaan, berbadan hukum ataupun bukan badan hukum) berkewajiban untuk menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, dan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan Ditegaskan
tanggungjawab
sosial
perusahaan
sebagai
kewajiban
penanaman modal, maka Pasal 15 UUPM telah meletakkan landasan yuridis perubahan paradigma sifat tanggung jawab sosial dari sukarela menjadi kewajiban. Tidak hanya UUPM yang mencantumkan arah tujuan pembangunan nasional dan tanggung jawab sosial. Setingkat dengan UUPM yang terkait dengan bidang usaha jasa pariwisata yakni secara lex specialis, Undang – Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (selanjutnya disebut UU Kepariwisataan) menyatakan dengan tegas adanya kewajiban terhadap pelaku usaha pariwisata melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan berdasarkan pada Pasal 26 UU kepariwisataan. Adapun bagi pelaku usaha pariwisata yang tidak melakukannya, akan mendapatkan penjatuhan sanksi berupa administratif mulai dari teguran hingga penghentian
sementara
Kepariwisataan.
kegiatan
usaha
pada
ketentuan Pasal 63
UU
Ketentuan mewajibkan pelaku usaha pariwisata untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan didasari atas prinsip penyelenggaraan kepariwisataan pada kententuan Pasal 5 huruf (a) UU kepariwisataan: Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup
5
dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan. Kebijakan Pemerintah dalam membina pengembangan kepariwisataan nasional yang merupakan faktor potensial dalam usaha pembangunan dan masyarakat Indonesia agar segala kegiatan yang menunjangnya dapat diatur secara menyeluruh dan terkoordinasikan dengan UU Kepariwisataan. Pemerintah Provinsi Bali (selanjutnya disebut Pemprov Bali) di tingkat daerah membuat Peraturan Daerah No. 2 tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali (selanjutnya disebut Perda Kepariwisataan Budaya Bali) yang menjadi landasan yuridis utama pembangunan kepariwisataan Bali. Berkenaan dengan asas dan tujuan penyelenggaraan kepariwisataan di Bali pada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Perda Kepariwisataan Budaya Bali yang juga mengarah pelestariaan kebudayaan Bali, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, telah sesuai dengan kebijakan UU Kepariwisataan. Tingginya investasi yang masuk belum dibarengi regulasi yang kuat, sehingga investor hitam leluasa melenggang di Pulau Dewata ini. Pada forum diskusi Bali Post Viraguna Bagoes Oka berpendapat, investasi yang terjadi di Bali mulai bergeser.7 Sebab, investor yang masuk ke Pulau Dewata ini tidak lagi semata-mata berorientasi pada sektor pariwisata, tetapi sudah menjadi kegiatan bisnis segala macam. Pada awalnya Bali merupakan tujuan pariwisata, tetapi tampaknya ada tiga tujuan pariwisata yang terkenal, sebagai tempat perhelatan 7
Anonim, 2013. Investasi Hitam di Bali (1) aturan lemah, investor hitam leluasa melenggang, Bali Post, Tgl. 10 November 2013, Halaman 1, kolom 6
6
Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE), dan sebagai tempat bisnis properti, keuangan, spekulasi hingga bisnis-bisnis kuliner. Hadirnya perkembangan investasi di Bali khususnya investasi pariwisata memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat Bali, terciptanya lapangan kerja, serta pengurangan angka penggangguran di Bali. Namun di sisi lain, investasi pariwisata juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat Bali. Dampak negatif pada lingkungan hidup nampak pada lahan peruntukan pertanian, setiap tahun mengalami penurunan yang diakibat permintaan lahan non pertanian meningkat, terbukti pada tahun 2014 total lahan sawah di Bali tercata seluas 80.542 Ha, dibandingkan pada tahun 2010 total lahan sawah tercatat 81.908 Ha. Hal ini dimaksudkan bahwa selama kurun waktu 5 (lima) tahun dari 2010 sampai dengan 2014 tercatat alih fungsi lahan sawah sebesar 1.366 Ha. 8 Banyaknya permintaan investor terhadap lahan untuk membuat gedunggedung, hotel-hotel, restaurant, villa bahkan lapangan golf di Bali membuat lahan pertanian semakin habis, tentunya untuk kedepan kebudayaan tradisional Bali yang berkaitan dengan unsur tanah, seperti pura-pura subak yang terdapat disetiap sawah, tanah yang dikeramatkan oleh masyarakat Bali menjadi hilang, dan akibatnya investor-investor akan mulai beralih ke tempat lain. Dampak negatif investasi pariwisata yang telah dipaparkan tersebut harus segera ditanggulangi melalui pengaturan hukum yang mengakomodasi nilai-nilai budaya lokal yang dianut masyarakat dalam usaha pengembangan pariwisata 8
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2014, Luas Lahan Menurut Penggunaannya Di Provinsi Bali, Badan Pusat Provinsi Bali, Bali, h. 12
7
berkelanjutan. Usaha ini salah satunya dengan melakukan pengembangan pariwisata berkelanjutan yang berwawasan budaya. Pariwisata budaya adalah suatu pola pengembangan pariwisata dalam keterkaitan fungsional dengan kebudayaan dan lingkungan secara serasi, selaras, seimbang, sehingga pariwisata dan kebudayaan dapat berkembang secara berkelanjutan. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa pariwisata haruslah mampu mengakomodir kebudayaan setempat, begitu juga sebaliknya, budaya harus dipertahankan untuk kelanjutan perkembangan dan pengembangan pariwisata. Konsep
tanggungjawab
sosial pada
ketentuan
UUPM
dan
UU
Kepariwisataan serta Perda Kepariwisataan Budaya Bali, pada dasarnya tercernin dalam perilaku masyarakat, seperti halnya gotong royong, kegiatan yang tumbuh dari nilai-nilai luhur masyarakat Bali dan patut dipertahankan. Keseimbangan dan keserasian hubungan yang harmonis di Pulau Bali dikenal dengan konsep Tri Hita Karana (Tiga hal untuk mencapai kesejahteraan hidup). Konsep Tri Hita Karana mengandung nilai-nilai universal yang mengekspresikan pola-pola hubungan seimbang dan harmonis. 9
Tampaknya,
jika
dielaborasi dengan prinsip
penyelenggaraan kepariwisataan sejalan dengan nilai – nilai luhur yang terkandung dalam Tri Hita Karana seperti nilai keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan (unsur Parahyangan), antara manusia dengan sesama (unsur Pawongan) dan antara manusia dengan alam lingkungannya (unsur Palemahan).
9
Wayan Windia dan Ratna Komala Dewi, 2011, Analisis Bisnis Berlandaskan Tri Hita Karana, Udayana University Press, Bali, h. 10
8
Nilai kearifan lokal yang akrab dianut masyarakat ini dapat dipergunakan sebagai filterisasi dalam menjaga budaya masyarakat. Konsep ini merupakan sebuah konsep yang didasarkan atas prinsip keselarasan atau keharmonisan hidup yang terdiri atas tiga unsur yang saling terkait satu sama lain. Walaupun didasari atas konsep keagamaan (agama Hindu di Bali), konsep Tri Hita Karana ini telah mendapatkan pengakuan dunia sebagai konsep yang universal. Konsep Tri Hita Karana
tampaknya
sesuai dengan Kode Etik Pariwisata
Dunia
yang
dikembangkan oleh World Tourism Organization (WTO). Kode Etik Pariwisata Dunia diharapkan dapat mengembangkan konsep pariwisata berkelanjutan, dalam hal ini manfaat kegiatan pariwisata terbagi secara merata antara semua sektor masyarakat, dalam ruang lingkup ekonomi internasional yang bebas dan terbuka. Disisi lainnya konsep Tri Hita Karana diharapkan dapat dipadukan dengan penerapan Pasal 5 UU Kepariwisataan tentang Prinsip Penyelenggaraan Kepariwisataan khususnya pada aspek menjunjung tinggi norma agama dan nilai kebudayaan maupun pada ketentuan Pasal 15 UUPM yang berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dengan demikian investasi disektor pariwisata selain dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan perekonomian masyarakat lokal, dan dapat pula memperhatikan aspek lingkungan dan budaya serta menjaga kelestariannya. Hal ini merupakan sebuah koridor ideal penyelenggaraan investasi yang sangat tepat untuk mengantisipasi dampak arus global saat ini yang mengagungkan efesiensi dan produktivitas sebagai dampak dari pemikiran yang dilandaskan pada kegiatan
9
bisnis dengan paradigma
kompetitif. Sehingga Prinsip
penyelenggaraan
kepariwisataan yang berbudaya relevan diterapkan dikalangan dunia bisnis. Berdasarkan pemaparan latar belakang, maka peneliti menyajikan satu karya tulis yang berjudul: Implementasi Prinsip Penyelenggaraan Kepariwisataan Berdasarkan Undang – Undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan Dalam Kegiatan Investasi di Bali 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi prinsip penyelenggaraan kepariwisataan dalam
kegiatan investasi di Bali? 2. Bagaimana bentuk ideal penyelenggaraan investasi pariwisata di Bali?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Adapun setiap karya ilmiah diperlukan adanya suatu pembahasan yang terfokus pada materi yang diuraikan, dalam hal ini menghindari pembahasan yang jauh menyimpang dari pokok permasalahan. 10 Adapun ruang lingkup masalah yang ingin dikemukakan adalah sebatas penerapan praktik prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan pada UU Kepariwisataan pada kegiatan investasi di Bali dan hambatan - hambatan yang mendasari praktik tersebut tidak berjalan berdasarkan
peraturan
yang
telah
mengatur
prinsip
penyelenggaraan
kepariwisataan
10
M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, cetakan ke-1, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 43
10
Selanjutnya, mengenai bentuk ideal penyelenggaraan investasi di bidang usaha pariwisata tersebut, pada prakteknya dihubungkan dengan konsep yang telah menjadi nilai kearifan lokal di Pulau Bali yakni konsep Tri Hita Karana yang menjadi pedoman kehidupan masyarakat adat Bali dikaitkan dengan pelaksanaan investasi pariwisata, sehingga terjadi harmonisasi dengan konsep Tri Hita Karana yang terdapat di Bali, serta faktor yang menjadi hambatan dalam pengimplementasikan di masyarakat. 1.4.
Tujuan penelitian
1.4.1. Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk pengembangan serta menambah khasanah keilmuan dibidang Hukum Kepariwisataan yang di era global, perkembangan pariwisata di Bali sudah mulai mendapat perhatian khusus di dunia globalisasi. 1.4.2. Tujuan Khusus. Tujuan khusus yang ingin dicapai peneliti, berhubungan dengan tujuan umum diatas seperti: 1. Untuk
mengetahui
penyelenggaraan
dan
mendeskripsikan
kepariwisataan
Bali
yang
praktik
prinsip
dikaitkan
dengan
pelaksanaan investasi pariwisata, serta faktor – faktor yang menghambat. 2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bentuk ideal investasi yang
diinginkan oleh berbagai kepentingan pemangku pariwisata
11
1.5.
Manfaat Penelitian Mengenai manfaat yang diberikan peneliti melalui penelitian terhadap
kedua pokok permasalahan di atas, yaitu: 1.5.1. Manfaat Teoritis. Penelilti mengharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman tentang implementasi prinsip penyelenggaraan pariwisata yang terkait dengan pengaturan kegiatan investasi sehingga terjadi hubungan yang harmonis dengan konsep Tri Hita Karana 1.5.2. Manfaat Praktis. 1. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan memberi kesadaran bagi masyarakat khususnya para pengusaha untuk tetap menjaga dan memperhatikan lingkungan serta budaya Bali sehingga terjalin keharmonisan antara pihak pemangku pariwisata; 2. Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan memberikan masukan untuk lebih
mengintensifkan pelaksanaan
investasi pariwisata
khususnya pada peraturan-peraturan yang masih belum jelas tafsiran pengaturan investasi pariwisata tentang menjunjung tinggi nilai nilai agama dan nilai budaya
1.6.
Orisinalitas Penelitian Berdasarkan hasil kepustakaan yang telah ditelusuri oleh peneliti terkait
dengan antiplagiatism penelitian, peneliti memberikan perbedaan pengkajian dari segi substansi maupun permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian terdahulu.
12
Adapun sumber referensi pada penelitian tesis ini, peneliti menampilkan tesis terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, sehingga dikemudian harinya hasil penelitian tesis ini dapat dipertanggung jawabkan pada tingkat keasliannya seperti: 1. Tahun 2015, tesis karya Ida Ayu Shintyani Brahmisiwi (Mahasiswi program
studi
Magister
Kenotariatan
Udayana)
yang
berjudul
“Pengaturan Investasi Semi Kelola Di Bidang Perdagangan Jasa Akomodasi Wisata.” Pada tesis ini dikemukakan dua rumusan masalah yaitu: a. Bagaimanakah penyelenggaraan bentuk pengembalian investasi (return on investment) dalam investasi semi kelola dibidang perdagangan jasa akomodasi wisata yang sesuai dengan amanat Undang – undang Nomor 25 Tahun 2007? b. Bagaimana
bentuk
pengaturan
yang
diperlukan
dalam
penyelenggaraan investasi semi kelola bidang perdagangan jasa akomodasi wisata? 2. Tahun 2010, tesis karya Nyoman Ayu Kemala Putri (Mahasiswi program studi Magister Ilmu Ekonomi Udayana) yang berjudul Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Dan Investasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Kesenjangan Pendapatan Kabupaten/Kota Di Provinsi Bali. Pada tesis ini dikemukan tiga rumusan masalah yaitu: a. Bagaimanakah tingkat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Bali dari tahun 1988 – 2008?
13
b. Apakah pengeluaran pemerintah, investasi dan otonomi daerah berpengaruh secara simultan terhadap kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 1988 - 2008? c. Bagaimanakah pengaruh pengeluaran pemerintah, investasi dan otonomi daerah secara parsial terhadap kesenjangan pendapatan antar kebupaten/kota di provinsi Bali tahun 1988 – 2008? 3. Tesis 2012, tesis karya Ni Putu Yogi Paramitha Dewi (mahasiswa Program studi Magister Ilmu hukum Udayana) yang berjudul Penerarapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Terhadap PT Yang Bergerak Dalam Bidang Usaha Perhotelan (Studi Pada Hotel Berbentuk PT Di Bali), pada tesis ini dikemukan dua rumusan masalah a. Bagaimana standarisasi pelaksanaan CSR terhadap perusahaan (PT) yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam, khususnya yang bergerak dibidang usaha perhotelan? b. Apa Akibat hukum yang timbul apabila badan usaha perhotelan (PT) tersebut tidak melaksanakan CSR? Menurut pengamatan peneliti, tulisan dan penelitian di atas menampilkan perbedaan pada aspek judul dan rumusan masalah serta menganalisasi dalam membahas rumusan masalah, dalam hal mencegah duplikasi, pertama – tama penulis membatasi objek peneliti yang sebagai mana disebutkan judul dan cakupan permasalahan yang belum pernah dilakukan sebelumnya, mengenai prinsip penyelenggaraan kepariwisataan dalam kegiatan investasi di Bali.
14
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir. 1.7.1. Landasan Teoritis Seperti yang diketahui untuk membahas permasalahan penelitian maka diperlukan suatu landasan teoritis yang dapat dipergunakan untuk membahas, dan menerangkan suatu gejala secara sistematis. Landasan teoritis adalah upaya untuk mengindentifikasi teori hukum umum / teori khusus, konsep – konsep hukum, asas – asas hukum, aturan hukum norma – norma dan lain – lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas dan menganalisa permasalahan penelitian. Menurut Sudikso Mertokusumo, istilah teori berasal dari kata theoria yang diartikan pandangan atau wawasan. 11 Selanjutnya, pendapat Gijssels di dalam bukunya Sudikno Mertokusumo tentang Teori Hukum, Gijssels mengemukakan istilah teori dalam teori hukum diartikan sebagai kesatuan pandang, pendapat, dan pengertian – pengertian yang berkaitan dengan kenyataan dirumuskan sedemikian, sehingga memungkinkan untuk deskripsikan hipotesis – hipotesis yang dapat dikaji.12 Senada dengan pendapat Gijssels, Otje Salman menguraikan istilah teori terdiri dari serangkaian pemahaman – pemahaman dari suatu kenyataan yang tersusun sistematis, logik, dan konkrit melalui serangkaian pengujian yang telah diterima
kebenarannya
(walaupun sementara)
dan masih membutuhkan
serangkaian pengujian lagi agar pemahaman yang terkait permasalahan diperoleh
11 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, cetakan ke-6, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, h. 4 12
Ibid. h. 5
15
suatu kebulatan.13 Berdasarkan pemahaman istilah teori di atas dapat dikemukan bahwa, landasan teori adalah uraian sistematis tentang teori yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan dan sekaligus menjadi pisau analisis terhadap permasalahan hukum yang diteliti. 14 Konsep (concept) berartikan kata yang merupakan abstraksi yang digeneralisasikan dan gejala – gejala tertentu.15 Selanjutnya, J.J. H Bruggink dalam terjemahan Arief Sidartha yang menguraikan bahwa, “Asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran (kriteria) nilai.”16 Berdasarkan uraian tersebut, peneliti menggunakan beberapa teori, konsep, asas/prinsip yang relevan sebagai pisau
analisis
membahas
penyelenggaraan
permasalahan
kepariwisataan
yang
berdasarkan
UU
terkait
dengan
Kepariwisataan
prinsip dalam
penyelenggaraan investasi di Bali, sebagai berikut: 1.7.1.1. Teori a. Teori Sistem Hukum Sistem hukum sangat mempengaruhi efektifitas hukum dalam tiap - tiap Negara. Pandangan teori sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman yang didasari atas 3 (tiga) elemen yaitu:
13
Otje Salman, 2008, Teori Hukum – Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Jakarta, h. 19 14
Johnny Ibrahim, 2007, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, cetakan ke-3, Bayumedia Publishing, Malang, h. 293-294. 15
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cetakan Ke4, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 47. 16 J. J. H Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, cetakan ke-2, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 123.
16
1. Substansi hukum (Legal Substance) Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannnya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan; 2. Struktur hukum (Legal Stucture) Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang mencakup tahanan lembaga-lemabaga hukum fomal, hubungan antara lembaga-lembaga, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya; 3. Budaya hukum (Legal Culture) Budaya pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.17 Selanjutnya Achmad Ali menambahkan unsur profesionalisme, dan kepemimpinan dalam sistem hukum yang telah dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman yakni: a. Profesionalisme, yang merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok – sosok penegakan hukum b. Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok – sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum18 Pada penelitian ini teori sistem hukum sebagaimana yang diuraikan diatas sangat relevan guna menganalisis dan menjawab rumusan masalah pertama. Berdasarkan elemen substansi hukum, diketahui bahwa pengaturan prinsip – prinsip penyelenggaraan kepariwisataan secara tegas telah diatur didalam ketentuan UU Kepariwisataan dan Perda Kebudayaan Bali, namun dalam kenyataan masih ada menyalahartikan. Elemen struktur hukum mengacu pada
17
Wisnu Basuki, 2001, alih bahasa Lawrence M. Friedman, 2001, American Law: an Introduction, 2nd edition, Tatanusa, Bandung, h. 6 18
Ahcmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, jakarta, h. 204 (Selanjutnyan disebut Ahcmad Ali I)
17
bentuk dan kedudukan pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum.19 Elemen struktur hukum mencakup berbagai macam institusi (lembaga) yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum. Instansi pemerintah yang terkait dalam penelitian ini seperti Dinas Kepariwisataan Prov. Bali. Budaya hukum (legal culture) mencakup nilai – nilai dalam masyarakat yang mendasari hukum yang berlaku.20 Mengenai sistem pada kultur hukum juga dapat
mempengaruhi
tingkat
kesadaran
kalangan
masyarakat
terhadap
penyelenggaraan investasi bahkan sangat mempengaruhi kinerja sistem hukum. Selanjutnya dipergunakan teori kesadaran hukum dikarenakan ketaatan dan ketidaktaatan hukum sangat ditentukan dari keberadaan dan keberhasilan suatu aturan yang diterapkan di lingkungan masyarakat b. Teori Kesadaran Hukum (Legal awareness) Teori selanjutnya yang dipergunakan peneliti untuk menganalisis rumusan masalah pertama dan rumusan masalah kedua yaitu menggunakan teori kesadaran hukum. Adapun beberapa pandangan para sarjana yang dikutip oleh peneliti terkait dengan teori kesadaran hukum yaitu pandangan Achmad Ali terhadap teori kesadaran hukum dibagi menjadi dua macam seperti; kesadaran hukum positif, identik dengan ketaatan hukum dan kesadaran hukum negatif, identik dengan
19
Lawrence M.Friedman, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), M. Khozim, Pentj, Nusa Media, Bandung, h. 15 20
Ibid, h. 18
18
‘ketidaktaatan’.21 Selanjutnya didalam bukunya Achamd Ali tentang Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) menurut pandangan Ali Ewick dan Silbey tentang kesadaran hukum yakni “the term ‘legal consciousness’ is used scientists to refer to the ways in which people make sense of law and legal institutions, that is, the understandings which give meaning to people’s experiences and action”22 Terjemahan bebas peneliti dalam pendapat Ali Ewick dan Silbey diatas menjelaskan bahwa kesadaran hukum, adalah istilah yang digunakan para ilmuwan untuk merujuk pada cara-cara orang memahami lembaga-lembaga hukum dan hukum, yaitu pemahaman yang memberi makna pada pengalaman orang-orang dan tindakan. Kesadaran hukum merupakan suatu proses psikhis yang terdapat dalam diri manusia, yang mungkin timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi, tentang asas kesadaran hukum, ada pada setiap manusia, oleh karena setiap manusia mempunyai rasa keadilan. Salah satu kontribusi pandangan Ewick dan Silbey dikutip oleh Achamd Ali terdapat tiga skema utama yang mengenai hubungan dengan hukum, yaitu: 1. Before the law (dalam makna bahwa individu berdiri sebagai objek dimana hukum beroperasi); 2. Against the law (dalam makna bahwa individu menolak hukum, baik secara formal atau secara informal)
21
Ibid, h. 298
22
Achmad Ali I, op.cit, h. 298
19
3. With the law (dengan makna bahwa individu berhubungan dengan hukum secara instrumental, mengikuti aturan main sistem hukum dan menggunakan hukum untuk memperoleh apa yang dibutuhkannya). 23 Selengkapnya Paul Scholten mengatakan: Met den term rechtsbewustzijn meent men niet het rechtsoordeel over eenig concreet geval, doch het in ieder mensch levend bewustzijn van wat recht is of behoort te zijn, een bepaalde categorie van ons geestesleven, waardoor wij met onmiddellijke evidentie los van positieve instellingen scheiding maken tusschen recht en onrecht, gelijk we dat doen tusschen waar en onwaar, goed en kwaad, schoon en leelijk. 24 Pandangan Scholten di atas pada intinya menguraikan bahwa istilah kesadaran hukum, tidak dipandangnya sebagai penilaian hukum mengenai suatu kejadian konkrit, melainkan suatu kesadaran yang hidup pada manusia mengenai apa yang hukum, atau apa yang seharusnya hukum. Kesadaran hukum masuk kategori tertentu dari kehidupan kejiwaan, yang menyebabkan kita dengan evidensi melepaskan diri dari lembaga-lembaga
hukum positif,
dalam
membedakan antara hukum dan bukan hukum, seperti kita membedakan antara benar dan tidak benar, baik dan buruk, cantik dan jelek. Pandangan dari pendapat ahli hukum yang telah diuraikan diatas mengenai kesadaran hukum, memberikan pengertian - pengertian suatu rumusan bahwa sumber satu-satunya hukum dan kekuatan mengikatnya adalah kesadaran hukum.25 Sehingga teori kesadaran hukum sangat relevan dipergunakan dalam
23
Ibid, h.340
24
Andi Nuzul, 2009, “Kesadaran Hukum: Landasan Memperbaiki Sistem Hukum”, http://andinuzul.wordpress.com, diakses pada tanggal 20 mei 2015 25 Soerjono Soekanto, 2009, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 167, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I).
20
rumusan masalah pertama dan rumusan masalah kedua dalam penelitian ini, kesadaran hukum sangat diperlukan untuk mengoptimalisasikan penegakan hukum terhadap penyelenggaraan investasi pariwisata. c. Teori law as a tool of social engineering Pada konteks keseimbangan penerapan di masyarakat, hukum pada dasarnya dapat melakukan dua fungsi, pertama sebagai sarana kontrol sosial, yang bertugas menjaga masyarakat agar tetap dapat berada di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya.26 Menurut fungsi ini, hukum hanya mempertahankan saja apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima di dalam masyarakat atau hukum sebagai penjaga status quo. Kedua, hukum sebagai sarana “rekayasa sosial”, yang berfungsi untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Jadi hukum digunakan untuk menimbulkan suatu perubahan sosial yang nyata.27 Fungsi hukum sebagai law as a tool of social engineering (rekayasa sosial) seperti dikemukakan oleh Roscoe Pound yang terkenal sebagai salah satu pendukung aliran Sociological Jurisprudence.28 Hukum dijadikan instrumen untuk mengarahkan masyarakat menuju kepada tujuan yang diinginkan sebagaimana amanat dalam undang-undang, bahkan kalau perlu, menghilangkan
26
Soerjono Soekanto, 1973, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhatara, Jakarta (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), h. 58 27
Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I), h. 117. 28
Darji Darmodiharjo, Sidarta, 2002, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.131
21
kebiasaan masyarakat yang dipandang negatif. Jadi dalam teorinya ini, hukum dipergunakan sebagai alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat. Hari Chand mengutip pendapatnya Roscoe Pound di dalam buku beliau Modern Jurisprudence yakni “A Lawyer should be able to mould the clay of law to duit the porpose in hand. In the process of interpretation, a lawyer has to make adjustments in the law to suit the need of the society. The purpose of social engineering is to enable the lawyer to think in terms of changing or moulding the law.”29 Konsep Social engineering yang dikutip oleh Hari Chand, menurut terjemahan bebas peneliti, bahwa Pound menyarankan para praktisi hukum (khususnya pengacara) hendaknya mampu mencampur kekakuan hukum untuk menyesuaikan pada tujuannya. Pada proses penafsirannya, pengacara harus membuat penyesuaian-penyesuaian aturan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tujuan social engineering yaitu untuk mengupayakan pengacara berfikir berpedoman pada perubahan atau penyesuaian hukum. Titik tolak utama Pound pada konsep social engineering adalah interest balancing, dan karenanya yang terpent/ing adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Hukum dan masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. 30 Doktrin ini disebutkan bahwa hukum harus dikembangkan sesuai dengan perubahan-perubahan nilai sosial,
29
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, Percetakan Turbo, Kuala Lumpur, h. 198
30
Bernard L. Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publising, Yogyakarta, h. 161
22
untuk itu sebaiknya diadakan rumusan-rumusan kepentingan yang ada dalam masyarakat yaitu kepentingan pribadi, masyarakat dan umum.31 “Personal liberty is an individual interest but it is also a social interest because society is also interested in giving liberty to the individual. In other words, Pound wants us to look at every interest from the point of view of the society. In case of conflict, we look at the conflicting interest from the point of view of the individual, of the state and of the society. Thus, Pound says, we can balance them”32 Terjemahan bebas peneliti pada pendapat Pound di atas yakni kemerdekaan seseorang merupakan kepentingan individu, tetapi juga kepentingan sosial karena masyarakat juga tertarik memberikan kebebasan bagi suatu individu. Pound ingin melihat setiap kepentingan dari sudut pandang sosial. Pada kasus konflik, kita melihat pada konflik kepentingan dari sudut pandang individu, negara
dan
masyarakat.
Karenanya
Pound
menyatakan
harus
dapat
menyeimbangkan masyarakat. Berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, penerapan dari ketentuan prinsip – prinsip penyelenggaraan kepariwisataan dalam UU Kepariwisataan terhadap kegiatan investasi di Bali, tidak selamanya pelaksanaannya berjalan sesuai dengan yang telah ditentukan dalam undangundang tersebut. Kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap ketentuan hukum yang sudah berlaku juga merupakan faktor penyebab bagaimana hukum yang ada dapat berfungsi dengan baik. Seorang investor menanam modal di bidang usaha pariwisata seringkali tidak memperdulikan ketentuan hukum yang sudah berlaku,
31 Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, 1992, Dasar-Dasar Filsafat, Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta, h. 68. 32
Hari Chand, loc.cit.
23
terutama penanam modal asing, mereka beranggapan bahwa mereka sudah menanamkan modalnya tentu harus ada timbal balik, terlebih keuntungan yang diperolehnya haruslah lebih besar. Hal tersebut mencerminkan kurangnya kesadaran dan kepatuhan masyarakat terutama pengusaha pariwisata terhadap hukum sehingga penerapan hukum tidak terlaksana dengan baik. Teori law as a tool of social engineering yang dikemukakan oleh Roscoe Pound sangat relevan dipergunakan untuk membedah rumusan masalah kedua tentang menentukan bentuk ideal penyelenggaraan investasi di Bali. Fungsi hukum dijadikan suatu instrumen untuk mengontrol dan merekayasa masyarakat ke arah yang lebih baik kedepan dan setiap kegiatan yang dilaksanakan diwajibkan berpedoman dengan kearifan lokal. Disamping teori hukum yang dipergunakan peneliti, adapun asas/prinsip yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Prinsip – prinsip penyelenggaraan kepariwisataan; b) investasi 1.7.1.2.
Asas
a) Prinsip Penyelenggaraan Kepariwisataan Pada
umumnya,
pandangan
masyarakat
mengenai
kepariwisataan
berkaitan dengan orang-orang yang sedang mengunjungi tempat-tempat tertentu untuk keperluan hiburan dan rekreasi. Padahal, pariwisata tidak hanya berkaitan dengan hal tersebut. Namun, lebih dari itu pariwisata merupakan suatu fenomena kompleks yang memerlukan penetapan pemahaman yang jelas. Adapun ketentuan prinsip
penyelenggaraan
pariwisata
yang
telah
dituangkan
pada
UU
Kepariwisataan yang mengharapkan terciptanya iklim yang kondusif dalam
24
pembangunan kepariwisataan yang bersifat menyeluruh demi kesejahteraan umum. Prinsip penyelenggaraan kepariwisataan itu sendiri diatur dalam Pasal 5 UU Kepariwisataan yang menyebutkan bahwa Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip: a. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan; b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal; c. memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas; d. memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup; e. memberdayakan masyarakat setempat; f. menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antarpemangku kepentingan; g. mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia b) Investasi Asas mempunyai dua pengertian, yakni sebagai dasar, alas, pondamen disatu pihak, dan dipihak lain juga dimaksudkan sebagai kebenaran yang menjadi pokok dasar untuk tumpuan berpikir atau berpendapat. UU PM ternyata mencantumkan sejumlah asas dalam undang-undang penanaman modal. Pendapat Hendrik Budi Untung didalam karya tulis Lusiana yakni Usaha Penanaman Modal di Indonesia, menguraikan bahwa tampaknya pembentuk undang-undang berupaya untuk menangkap nilai-nilai yang hidup dalam tatanan pergaulan masyarakat baik di tingkat nasional atau di tingkat internasional,
berbagai
nilai
yang
dianggap
telah
menjadi
universal
25
diakomodasikan ke dalam hukum nasional. Di era globalisasi ini peranan tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik dalam memberikan pelayanan yang baik sudah menjadi acuan berbagai pihak dalam member pelayanan publik atau dalam menjalankan aktivitas bisnis. Prinsip yang terkandung dalam tatanan pemerintah dan tata kelola perusahaan yang baik salah satu diantaranya adalah kepastian hukum; demikian juga halnya dalam undang-undang penanaman modal pun dicantumkan sejumlah asas.33 Asas penanaman modal ‘menginspirasi’
pembentukan pasal-pasal
sehingga pasal-pasal mencerminkan keberadaan asas hukum yang bersifat abstrak normative. Lebih lanjut, asas penanaman modal yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) UUPM adalah: Asas kepastian hukum, asas terbukaan, asas akuntabilitas, asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, asas kebersamaan, asas efisiensi berkeadialan, asas berkelanjutan, asas berwawasan lingkungan, asas kemandirian, asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Disamping peneliti menggunakan teori hukum, dan asas – asas hukum, Penelitian ini juga mempergunakan konsep – konsep yang relevan dalam membahas permasalahan, seperti: konsep kepastian hukum, konsep Tri Hita Karana, konsep investasi.
33
Lusiana, 2012, Usaha Penanaman Modal Di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 43
26
1.7.1.3. Konsep a) Kepastian Hukum Kepastian hukum merupakan syarat yang wajib dipenuhi dalam penegakan hukum, dalam hal kepastian hukum yang dimaksud adalah perlindungan hukum terhadap tindak sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. 34 Kepastian hukum itu sendiri tidak hanya mempersoalkan hubungan hukum antara warga negara dan negara, karena sebagai sebuah nilai, esensi dari kepastian hukum adalah masalah perlindungan terhadap warga negara dari tindakan kesewenang-wenangan. Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut: 1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accessible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara; 2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya; 3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan arena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut; 4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan 5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. 35 Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum akan tercapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian
34
E. Fernando M. Manullang. 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat Dan Antinomi Nilai, Buku Kompas, Jakarta, h. 92 35
Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Regka Aditama, Bandung, h. 85
27
hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. 36 Kepastian hukum yang seperti inilah dimaksud dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainty) yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum. b) Investasi Pengertian investasi perlu lebih dipahami dan diberikan batasan yang jelas terhadap pengertian investasi. Hal tersebut bertujuan agar persepsi dan pemahaman tentang investasi menjadi lebih jernih guna menghindari adanya arti negatif terhadap keberadaan investasi khususnya modal asing. Adapun jenis kegiatan investasi pada dasarnya dapat diklarifikasi atas dua kategori besar yaitu, investasi langsung (direct investment) atau penanaman modal jangka panjang, dan investasi tidak langsung (indirect investment atau penanaman modal tidak langsung (protofolio investment).37 Masing-masing jenis investasi ini akan dijelaskan pada bab selanjutnya. Pada konstitusional, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 telah menentukan bahwa perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Berkaitan dengan mencapai sasaran tersebut, pemerintah memberikan prioritas dan arah kebijakan pembangunan salah satunya adalah peningkatan investasi dan ekspor nonmigas. Arah kebijakan investasi selayaknya mendasari ekonomi kerakyatan berdasarkan asas kekeluargaan dan berlandaskan demokrasi ekonomi untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
36
37
Ibid Lusiana, op.cit, h. 40
28
rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dengan prinsip kebersamaan, efisien berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Tujuan investasi tersebut ialah mempercepat laju pembangunan di negara tersebut. c) Tri Hita Karana Konsep ini merupakan sebuah konsep yang didasarkan atas prinsip keselarasan atau keharmonisan hidup yang terdiri atas tiga unsur yang saling terkait satu sama lain. Ketiga unsur itu adalah, parhyangan yang mengacu pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi), pawongan yaitu keharmonisan hubungan dengan sesama manusia, palemahan yaitu keharmonisan hubungan dengan lingkungan, alam sekitar. Makna keseimbangan dalam konteks budaya Bali dapat dipahami dari beberapa konsep, yaitu 1. Konsep sekala niskala (nyata-tidak nyata). Niskala, berhubungan dengan kenyakinan (srada) dan kesetian kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekala berkaitan dengan semangat saling menyayangi dan melayani antara sesama manusia dan lingkungan alamnya 2. Konsep rwa-bhineda (penghargaan terhadap setiap perbedaan). Kehidupan adanya pengakuan, penghargaan dan perhormatan terhadap perbedaan dalam dinamika kehidupan masyarakat. 3. Konsep tatwam asi. Konsep yang mencirikan adanya pengakuan bahwa adanya empati, rasa kasih sayang, dan saling menghargai antara sesama manusia 4. Konsep Luan teben (sacral-peofan) Konsep ini berkaitan dengan cara mencari harmoni dalam tata ruang (palemahan) 5. Desa Kala Patra, Desa Mawacara dan adat mawacara mengisyaratkan pengakuan adanya keragaman yang ada dan berlaku di dalam kehidupan masyarakat Bali. Desa, kala dan adat bersifat amat dinamis, fleksibel, dan otonomi sesuai ruang dan waktu, sehingga kepadanya mendapat keleluasaan dalam bertindak dan mengambil keputusan. 6. Konsep tri semaya (tiga dimensi cermin kehidupan). Konsep yang mencerminkan bahwa pengakuan dari tiga dimensi dari proses kehidupan
29
manusia, yakni adanya atita (masa lampau), anagata (masa depan) dan wartawana (masa kini) 7. Konsep catur purusa arta (empat tujuan hidup), panca serada (lima keyakinan) dan sad kertih (enam upaya penunjang kesejahteraan). 38 Semua konsep ini adalah untuk mencari keseimbangan, dan keberlanjutan, karena menyangkut keyakinan tentang tujuan hidup yang tidak semata-mata untuk mencari keuntungan (benefit). 1.7.2. Kerangka Berpikir Pada tesis ini, teoritical framework dapat disajikan dalam gambar berikut ini: Gambar 1 Kerangka Berpikir INVESTASI
BISNIS
IMPLEMENTASI PRINSIP PENYELENGGARAAN KEPARIWISATAAN DALAM KEGIATAN INVESTASI DI BALI
Teori Sistem Hukum Teori Kesadaran Hukum Konsep Kepastian Hukum
PARIWISATA Teori law as a tool
BALI
of social engineering
PARIWISATA
BENTUK IDEAL PENYELENGGARAAN INVESTASI PARIWISATA DI BALI
Teori Kesadaran Hukum Konsep Tri Hita Karana Konsep investasi
38
Wayan Windia dan Ratna Komala Dewi, op.cit, h. 8
30
1.8. Metode Penelitian Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologi dan sistematis. Metodologi berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah sedangkan sistematis berarti sesuai pedoman/aturan penelitian yang berlaku untuk karya ilmiah.39 Terry Hutchinson mengemukakan pendapatnya tentang pengertian penelitian hukum dalam bukunya yang berjudul Researching and Writing in Law yakni “legal research is a relatively new phenomenon. It has become more important as the number of University Law Schools has increased, and a new breed of career academic has replaced the practitioners who previously taught those entering the profession.”40 Secara bebas dapat diterjemahkan bahwa pendapat Terry Hutchinson, penelitian hukum merupakan penomena yang relatif baru. Penelitian hukum menjadi penting sejak sejumlah jurusan bidang hukum semakin intensif dan bermunculan karir akademis yang baru telah menggantikan para praktisi yang sebelumnya mendidik mereka memasuki profesi tersebut. Pemahaman selanjutnya dapat dilihat dari uraian pendapat Morris L. Choen dan Kent C. Olsen yaitu: “legal research is an essential component of legal practice. It is process of finding the law that governs an activity and
39
Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h. 4
40
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing In Law , Law Book CO Pyrmon
NSW, h. 7
31
materials that explain or analyze that law.”41 Terjemahan bebas peneliti, pada intinya penelitian ialah komponen penting dari praktik hukum. Proses ini dari menemukan hukum yang mengatur aktivitas dan bahan – bahan yang menguraikan atau menganalisa hukum tersebut. Oleh karena itu mengadakan penelitian terlebih dahulu harus dipahami tentang metode. Metode adalah alat untuk mencari jawaban dari suatu permasalahan, oleh karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu apa yang dicari.42 Kepercayaan dan kebenaran suatu penelitian ilmiah harus disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. 1.8.1. Jenis Penelitian Soetandyo Wignyosoebroto mengemukakan ada lima konsep hukum, sebagaimana yang dikutip oleh Setiono, konsep hukum tersebut yaitu: 1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal. 2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan 3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto dan tersistematis sebagai judge made law. 4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik. 5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka. 43
41
Morris L. Chen and Kent C. Olsen, 2000, Legal Research in a Nutshell, West Group, Amerika, h. 1 42 Setiono, 2001, Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung, h. 1 43
Ibid, h. 3
32
Penelitian dalam penulisan tesis ini dilakukan dengan mengikuti pendapat Soetandyo Wignyosoebroto tentang 5 (lima) konsep hukum yang berlaku pada saat ini dan sesuai dengan konsep hukum keempat yaitu hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik. Ada dua jenis penelitian yang dikemukaan oleh Soerjono Soekanto, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis. 44 Penelitian mengenai implementasi prinsip penyelenggaraan kepariwisataan berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan terkait penyelenggaraan investasi di Bali adalah penelitian hukum emperis dengan jenis yuridis sosiologis yang berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan) menggunakan data sekunder sebagai data awal untuk kemudian dilanjutkan dengan data lapangan. Ini berarti penelitian yuridis tetap bertumpu premis normatif dalam hal ini definisi operasionalnya dapat diambil dari peraturan perundang-undangan, tetapi bukan mengkaji sistem norma yang ada dalam suatu peraturan, melainkan mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika norma tersebut bekerja di masyarakat (law in action).45 Dalam konsep emperis hukum adalah fakta yang dapat dikonstatasi atau diamati dan bebas nilai.46
44
Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III), h. 147 45
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Emperis, Pustaka Belajar, Yogyakarta, h.47 46
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
h. 81
33
1.8.1.
Sifat Penelitian.
Sifat Penelitian hukum emperis dapat dibedakan menjadi penelitian bersifat eksploratif, penelitian bersifat deskriptif, dan penelitian bersifat eksplanatoris. Adapun Penelitian ini akan digunakan penelitian yang bersifat deskriptif, penelitian ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.47 1.8.2. Data dan Sumber Data Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari mayarakat dan dari bahan pustaka, selanjutn ada dua jenis data, yaitu: data primer (primary data atau basic data) dan data sekunder (secundary data).48 Data Primer adalah data yang diperoleh dari penelitian di lapangan, yaitu baik dari responden maupun informan di lingkungan masyakarat.49 Pada penelitian ini, data primer yang digunakan adalah data yang didapat dari instansi Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Badan Penanaman Modal dan Perizinan Propinsi Bali, Perhimpunan Hotel dan Restaurant Indonesia wilayah prov. Bali. Disamping itu, peneliti juga mengambil data lapangan di dua Kabupaten (Badung, dan Gianyar) serta satu Kotamadya yakni Denpasar. Data
47
Amiruddin dan Zainal Asikin, ibid, h. 25
48
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III) h. 12 49 Mukti Fajar dan Yulianto Achamd, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, h. 156
34
Sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dari data-data yang telah terdokumentasikan dalam bentuk bahan – bahan hukum. Bahan hukum tersebut terdiri dari: 1. Bahan Hukum Primer, yakni bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
umum,
terdiri
atas
peraturan
perundang-undangan,
yurisprudensi, peraturan dasar yang mempunyai hukum mengikat, perjanjian internasional. Menurut Pandangan Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer ini bersifat otoritatif artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.50
Adapun bahan hukum primer
berasal dari peraturan perundang – undangan yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain : a. Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 b. Undang – undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. c. Undang – undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal d. Undang – undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. e. Peraturan
Menteri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
Nomor
:
PM.85/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Perjalanan f. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali
50
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h.
144 - 154.
35
g. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 1 Tahun 2010 tentang Usaha Perjalanan Wisata 2. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer,51 dapat berupa hasil penelitian, buku – buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar (koran), brosur, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang dimuat dalam media massa dan di internet. Terkait penelitian ini, digunakan sumber dari kepustakaan seperti buku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media cetak atau internet yang berkaitan dengan permasalahan peneliti, yaitu mengenai prinsip penyelenggaraan kepariwisataan yang berkaitan dengan penyelenggaraann investasi pariwisata. 3. Bahan Hukum Tersier menurut Peter Mahmud Marzuki adalah berupa bahan non hukum, yang digunakan untuk menjelaskan bahan hukum primer ataupun bahan hukum sekunder.
52
Misalnya kamus, ensiklopedi,
dan lain – lain 1.8.3. Teknik Pengumpulan Data. Pada
penelitian
hukum
empiris
dikenal
teknik-teknik
untuk
mengumpulkan data, yaitu studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran quisioner/angket. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah Teknik Studi Dokumen dan Teknik Wawancara.
51
Soerjono Soekanto III, op.cit, h. 251-262
52
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 202.
36
Teknik Studi Dokumen, yaitu mengumpulkan dokumen dan data – data yang diperlukan
dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah secara intens
sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktiaan suatu kejadian.53 Studi dokumen merupakan langkah awal untuk penelitian hukum baik dari kajian normatif maupun kajian empiris, dikarenakan penelitian hukum bertolak dari ketentuan premis normatif.54 Untuk menunjang penulisan penelitian ini pengumpulan bahan-bahan hukum diperoleh melalui : 1. Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. 2. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan bahan hukum yang bersumber dari buku-buku, rancangan undang-undang, jurnal nasional maupun asing, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang terkait dengan permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian empiris kualitatif. Melaksanakan teknik wawancara berarti melakukan
interaksi
komunikasi
atau
percakapan
antara
pewawancara
(interviewer) dan terwawancara (interviewee) dengan maksud menghimpun
53
Djam’an Satori dan Aan Komariah, 2014, Metodologi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, h. 149 54 Amiruddin dan HAL. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ed. 14, PT Raja grafindo Persada, Jakarta, h. 68
37
informasi dari interviewee.55
Menurut pendapat Djam’an Satori dan Aan
Komariah, wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi dan digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau Tanya jawab.56 Djam’an satori dan Aan Komariah mengutip pendapat Esteberg, ada tiga jenis teknik wawancara dalam penelitian kualitatif yaitu a. Wawancara terstruktur (standardized interview) adalah wawancara dengan menggunakan sejumlah pertanyaan yang tersandar secara baku; b. Tidak terstruktur (unstandardized interview) adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya; c. Semi tersruktur (semistructure interview) adalah wawancara yang menggunakan petunjuk umum (pokok – pokok pertanyaan), namun dalam pelaksanaan interviewer bebas mengajukan pertanyaan dari pokok pertanyaan yang dirumuskan. 57 Pada kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban maupun data yang diperlukan yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. 1.8.4. Teknik Penentuan Sampel penelitian. Pengambilan sampel merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian yang representative (mewakili) dari suatu populasi. Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan karakter yang sama. Di dalam Encyclopedia of Educational Evaluation dijelaskan: Á population is a set (or collection) of all 55
Djam’an Satori dan Aan Komariah, op.cit., h.129
56
Ibid, h. 130
57
Ibid, h. 133 - 137
38
elements possessing one or more attributes of interest. Jadi populasi adalah seluruh obyek, seluruh individu, seluruh gejala atau seluruh kejadian termasuk waktu, tempat, gejala-gejala, pola sikap, tingkah laku yang mempunyai ciri atau karakter yang sama dan merupakan unit satuan yang diteliti.58 Sedangkan sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.59 Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah Kegiatan Investasi Pariwisata Bali dan sampel dalam penelitian ini adalah Kegiatan Investasi Pariwisata yang berada di sekitar Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar. Penentuan lokasi sampel penelitian ini didasarkan pada rekapitulasi data perkembangan investasi Penanaman modal asing (PMA) / Penanaman modal dalam negeri (PMDN) di provinsi Bali 2014 yang menunjukkan bahwa Badung menempati urutan pertama sebanyak Rp 1,658 triliun (PMDN), 80,7 juta US$ (PMA), diikuti urutan kedua kota Denpasar sebanyak Rp 1,016 triliun (PMDN), 15, 4 juta US$ (PMA), kemudian unutk urutan ketiga di Gianyar sebesar Rp 430,4 triiun (PMA), 9,411 juta US$ (PMA) Secara garis besar teknik sampling dari populasi dibedakan atas dua cara, yaitu Probabilitas Sampling atau Random Sampling dan Nonprobabilitas
58
Bahder Johan Nasution, op.cit., h. 145.
59
Sugiyono, 2000, Statistika Untuk Penelitian, CV Alfabeta, Bandung, h. 56
39
Sampling atau Non-random sampling. Teknik Pengambilan sampel atas populasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik Non Probability Sampling. Dalam hal ini tidak ada ketentuan yang pasti berapa sampel yang harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya. Dan bentuk Teknik Non Probability Sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling, dimana penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama populasinya. 1.8.5. Pengolahan dan Analisa Data. Penelitian ilmu hukum aspek empiris dikenal model-model analisis seperti: Analisis Data Kualitatif dan Analisis Data Kuantitatif. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Data Kualitatif. Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Dari data yang berhasil dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis deskriftif kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya dengan mempertautkan antara data primer dengan data sekunder. Setelah itu, data tersebut disajikan secara deskriftif analisis dengan menguraikannya secara sistematis dan komprehensif, sehingga dapat menjawab permasalahan.