1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan bidang profesi Public Relations (PR) secara global meningkat pesat, misalnya saja di Amerika Serikat, “Bureau of Labor Statistics”1 telah menandai bahwa profesi PR merupakan salah satu dari tiga industri yang berkembang paling pesat. Pertama adalah industri komputer dan pengolahan data; kedua pelayanan kesehatan; dan ketiga adalah industri PR. Menurut Glen Broom 2, seorang profesor di “School of Communication” di “San Diego State University” yang telah melacak perkembangan public relations, industri ini jumlahnya telah meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Sekarang menurutnya diperkirakan ada 350.000 public relations profesional di Amerika Serikat. Perkembangan bidang profesi PR tersebut juga diindikasikan oleh banyaknya lembaga pendidikan tinggi yang membuka program PR, bahkan di AS sekarang ada sekitar 300 lembaga pendidikan yang membuka jurusan PR baik untuk strata satu (under graduate) maupun magister (graduate). Hampir sebagian besar lulusannya adalah perempuan, yaitu sekitar 70% untuk semua lulusan sarjana.3
1
Sumber : http://www.salon.com/21st/feature/1998/12/cov_03feature2.html, diakses pada tanggal 26 Juli 2011 2 Ibid. 3 Ibid.
1
2
Adanya dominasi perempuan dalam bidang profesi PR juga dikemukakan oleh Elizabeth L. Toth 4 bahwa”women currently comprise at least 70% of the field, and their impact on the profession has been lebelled the ‘feminization’ of public relations”. (Perempuan saat ini paling kurang 70% yang bekerja di bidang profesi PR, dan telah mengakibatkan profesi ini diberikan label ‘feminisasi’ public relations). Di Indonesia, perkembangan bidang profesi dan indusrti PR juga mengalami kemajuan yang cukup pesat, salah satunya diindikasikan oleh banyaknya perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang membuka program dengan konsentrasi PR. Ardianto seperti dikutip Simorangkir 5 mengemukakan bahwa di Indonesia ada sekitar 60 lembaga pendidikan negeri dan swasta yang menawarkan studi PR untuk tingkat Strata Satu (S1). Berkenaan dengan perkembangan profesi PR di Tanah Air, ‘Elizabeth Goenawan Ananto’ 6 - The President of International Public Relations Association (IPRA), mengatakan bahwa “...public relations begins to be acknowledged as a science and a growing profession”. (Public relations mulai diakui sebagai sebuah ilmu dan merupakan profesi yang sedang berkembang). Dalam dunia industri di Indonesia, kebutuhan praktisi PR baik secara individu (individual consultant) maupun secara kelembagaan (lembaga PR) terus meningkat dan bahkan terjadi ledakan kebutuhan. Menurut Dian Noeh Abubakar 4
Elizabeth L. Toth. The Future of Excellence in Public Relations and Communication Management: Challenge for the Next Generation. Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers. 2007 hal: 400 5 Deborah N. Simorangkir. International Journal of Arts and Sciences. 3 (15): 71-89 (2010) Universitas Pelita Harapan, Indonesia. 6 Elvinaro Ardianto. Metode Penelitian untuk Public Relations: Kuantitatif dan Kualitatif. Penerbit Simbiosa Rekatama Media Bandung. 2010 hal: vii
3
– ‘Vice President Weber Shandwick Indonesia’ seperti dilansir KOMPAS.com 7 mengemukakan bahwa ledakan tersebut terjadi seiring lahirnya demokratisasi dalam berbagai bidang sejak tahun 1998 telah membuat korporasi dan orang per orang semakin menyadari akan pentingnya pencitraan diri lewat lembaga yang profesional. PR sebagai suatu profesi yang menuntut standar kompetensi tertentu, sejatinya bisa dijalani oleh laki-laki maupun perempuan yang memiliki kompetensi (kapabilitas) terkait dengan peran, fungsi, dan tugas PR yang cukup strategis, khususnya berkenaan dengan image building dan pengelolaan reputasi perusahaan. Memang dalam praktiknya, bidang profesi PR di Indonesia dijalani oleh perempuan dan laki-laki, dengan kata lain bahwa tidak ada diskriminasi berbasis gender, dimana perempuan dan laki – laki memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi Public Relations Officer (PRO), walaupun pada kenyataannya trend profesi ini menjadi trend profesi perempuan. Tren tersebut juga didukung oleh realitas bahwa di dunia industri, banyak perusahaan atau perekrut praktisi PR masih berkecenderungan memprioritaskan para calon perempuan untuk mengisi posisi PRO, yang salah satu syaratnya harus berpenampilan menarik (cantik). Kecenderungan ini bisa dilihat dari beberapa iklan lowongan kerja khususnya melalui media online yang dilakukan oleh para perekrut praktisi PR (spesialis PR) yang menunjukkan bahwa perempuan masih menjadi preferensi dibandingkan dengan laki-laki. 7
Putu Fajar Arcana. (2010, 31 Oktober). Public Relations Harus Berangkat dari Fakta. Kompas (online). Diakses pada tanggal 26 Juli 2011 dari http://female.kompas.com/read/2010/10/31/12591134/Public.Relations.Harus.Berangkat.dari.Fak ta
4
Fenomena di atas cukup menarik, mengapa banyak perusahaan yang cenderung mensyaratkan calon PRO perempuan ketimbang laki-laki, padahal tanggung jawab seorang praktisi PR (PRO) dalam mendukung kemajuan perusahaan cukup besar dan memerlukan pengetahuan serta standar kompetensi tertentu untuk bisa menjalankan peran, fungsi, serta tugasnya yang tidak hanya terbatas pada peran sebagai komunikator (communicator role) atau sebagai teknisi komunikasi yang hanya melakukan kontak (liaison) dengan publik. Berkenaan dengan keterampilan dan pengetahuan teknis yang perlu dimiliki oleh seorang praktisi PR dikemukakan oleh Dan Lattimore et. al. (2009: 5) 8 berikut ini,“technical knowledge and skills are required for opinion research, public issue analysis, media relations, direct mail, institutional advertising, publications, film/video, productions, special events, speech and presentations”. Yang terkait dengan publikasi misalnya, seorang PRO harus mampu menulis bergaya jurnalistik, menguasai teknologi komunikasi dan informasi (contohnya: bagaimana mengelola website perusahaan). Dengan demikian, profesi PR sejatinya bisa dijalani oleh siapapun yang memiliki kapabilitas untuk menjalankan peran dan fungsi PR tersebut tanpa ada bias gender. Banyaknya iklan lowongan kerja di media yang mengutamakan perempuan juga telah memperkuat stereotip bahwa profesi PR memang lebih cocok bagi kaum perempuan. Padahal, jika kita melihat profesi PR seperti halnya profesi lain, maka profesi ini bisa dijalani oleh laki-laki maupun perempuan
8
Dan Lattimore, et.al. Public Relations: The Profession and the Practice. Third Edition. Mc Graw Hill Companies New York. 2009 hal: 5
5
sepanjang mereka memiliki kompetensi yang memadai dan relevan untuk bidang profesi PR. Berikut ini adalah beberapa fakta atau informasi yang menunjukkan bahwa cukup banyak perusahaan (perekrut) masih mempunyai preferensi untuk memilih perempuan sebagai PRO. Di bawah ini, peneliti menyajikan salah satu contoh iklan online sebagai bukti adanya kecenderungan dari para perusahaan perekrut PRO
lebih
memprioritaskan
perempuan.
Bahkan,
jika
dilihat
dari
perbandingannya, hampir 7: 3 (dari sepuluh iklan online 7 perusahaan perekrut PR mensyaratkan perempuan sebagai calon PRO). Indikasi atau kecenderungan tersebut bisa dilihat pada iklan online di bawah ini: Lowongan PR 9 PT. Monex Investindo Futures adalah salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang futures trading. Saat ini kami membutuhkan Public Relations dengan syarat sebagai berikut: Kualifikasi: - Min Pendidikan D3 - Pengalaman di bidangnya min 1 Tahun - Wanita - Berpenampilam menarik - Usia 21-30 Tahun - Memiliki kemampuan interpersonal yang luwes, persuasif & Komunikatif - Mampu melakukan presentasi dan berminat dibidang marketing - Mempunyai relasi yang luas - Mampu berbahasa inggris baik lisan maupun tulisan Fasilitas: - Gaji pokok - Overiding / Insentif - Dan Bonus-bonus lainnya 9
Sumber: http://www.loker.web.id/accounting-finance/lowongan-pr.html, diakses pada tanggal 2 Juli 2011, jam : 11: 22 WIB
6
Bila sesuai dengan kualifikasi di atas, segera kirimkan foto & CV terbaru anda ke: Wisma Kyoei Prince Lt 9 Jl. Jend. Sudirman KAV 3 Jakarta 10220 Attn: Bpk Adi Putra Tel: 021- 5724377 / 021 71300829 Atau via Email:
[email protected] Iklan di atas hanya merupakan salah satu contoh dari sejumlah iklan yang mengindikasikan bahwa perusahaan perekrut PRO berkecenderungan untuk memilih PRO perempuan. Selain iklan di atas, peneliti juga melampirkan iklaniklan lowongan kerja melalui media online yaitu ’website perusahaan’ dan media online lainnya seperti ’JobsDB.com’. (Beberapa contoh iklan online lainnya secara lengkap bisa dilihat pada lampiran hasil penelitian ini). Contoh iklan di atas juga menyiratkan bahwa di kalangan perekrut PRO masih ada stereotip jender (gender streotype) terhadap bidang profesi tersebut. Profesi ini masih sering dikaitkan dengan penampilan fisik perempuan yang menarik yang pada satu sisi orientasi penampilan fisik bisa dianggap perendahan obyektifikasi kaum perempuan. Dalam kerangka ini perempuan dipandang secara dangkal, hanya dari tampilan fisiknya belaka. Larissa Grunig 10, profesor hubungan masyarakat di ‘University of Maryland’ yang mempelajari feminisasi PR, percaya bahwa bagian dari alasan mengapa public relations menjadi suatu bidang yang populer bagi perempuan dikarenakan adanya posisi-posisi manajemen yang bisa diakses - tetapi posisi tersebut bisa diakses hanya karena tidak dianggap penting.
10
Sumber: http://www.salon.com/21st/feature/1998/12/cov_03feature2.html, diakses pada tanggal 01 July 2011, jam 12: 00 WIB
7
Wilcox11 juga mengemukakan bahwa yang menarik dari profesi PR ini adalah feminisasi, dimana 60% praktisi PR di AS adalah perempuan dan 40% adalah laki-laki. Perempuan yang menggeluti profesi PR meningkat terus. Indikasi lain menunjukkan bahwa pada tahun 2003, sekitar 60% dari anggota Public Relations Society of America (PRSA) adalah perempuan, dan International Association of Business Communication (IABC), 65% anggotanya juga perempuan.12 Situs ‘Ragan.com—PR Daily’s sister’—tahun lalu melaporkan bahwa 73% dari 21000 anggota Public Relations Society of America (PRSA) adalah perempuan. Perkiraan lain, dari ketua departemen PR di Universitas ‘Syracuse’, menempatkan persentase perempuan dalam industri di 85%.13 Grunig selanjutnya mengatakan bahwa "banyak perusahaan menganggap bahwa PR sebagai fungsi organisasi yang marjinal, bukan fungsi sentral seperti bidang keuangan (finance) atau pemasaran (marketing). Perusahaan tidak takut untuk memberikan posisi PR tersebut kepada perempuan karena faktor risikonya rendah”. Terkait dengan dominasi perempuan di bidang profesi PR, Kurnia dan Putra dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 14 mengungkapkan bahwa dominasi tersebut ditunjukkan oleh banyaknya jumlah perempuan sebagai 11
Feminization of Public Relations Practice in USA. (2009, 1 April). Indian Public Relations Professionals (Online) diakses pada tanggal 2 Juli 2011 dari http://finance.dir.groups.yahoo.com/group/prpoint/message/3901 12 John P. Simanjuntak, dkk. Public Relations. Penerbit Graha Ilmu Yogyakarta. 2003, hal: 128 13 Michael Sebastian. (2011, 3 Maret). In the PR World, men still earn more than women. Ragan’s PR daily (online). Diakses pada tanggal 2 Juli 2011 dari: http://www.prdaily.com/Main/Articles/In_the_PR_world_men_still_earn_more_than_women_7 411.aspx 14 Novi Kurnia dan I Gusti Ngurah Putra. Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Volume 7 Nomor 3 Maret 2004
8
pimpinan perusahaan kehumasan. Fenomena tersebut diperkuat oleh banyaknya informasi yang disampaikan oleh media yang mengesankan bahwa bidang profesi PR merupakan bidang kerja yang cocok untuk perempuan. Akibatnya, muncul stereotip (stereotype) bahwa pekerjaan PR hanya cocok bagi perempuan. Pengertian ’stereotip’, sebagaimana dijelaskan Sri Sundari Sasongko 15 adalah ‘citra baku’ sebagai pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Misalnya, karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-Kanak; kaum perempuan ramah dianggap genit; kaum laki-laki ramah dianggap perayu. Sedangkan istilah ‘stereotip gender’ 16 (gender streotype) merupakan generalisasi sederhana tentang atribut gender, perbedaan, dan peran individu dan/ atau kelompok. Stereotip bisa positif atau negatif, namun stereotip jarang mengkomunikasikan informasi yang akurat tentang orang lain. Secara tradisional, stereotip peran perempuan adalah menikah dan memiliki anak, mendahulukan kesejahteraan keluarganya sebelum dirinya sendiri; mencintai, berbelas kasih, merawat, memelihara, dan simpatik, dan mencari waktu untuk menjadi seksi dan merasa cantik. Sedangkan stereotip peran laki-laki adalah menjadi penyedia keuangan, tegas, kompetitif, mandiri, berani, dan fokus pada karir; mampu mengelola emosinya, dan selalu memulai seks.
15
16
Ibid. Gender Stereotypes. (2011, 7 Juli). CliffsNotes (Online). Diakses pada tanggal 7 Juli 2011 dari: http://www.cliffsnotes.com/study_guide/topicArticleId-26957,articleId-26896.html
9
Menurut hemat peneliti, adanya stereotip tersebut bisa juga merugikan laki-laki, karena bukan tidak mungkin kaum laki-laki akan menghindari bidang profesi PR, walaupun menginginkannya. Hanya karena takut dianggap kurang pantas oleh masyarakat karena dianggap bidang profesi PR adalah bidangnya perempuan, dengan demikian laki-laki enggan untuk menggeluti profesi ini. Berdasarkan fakta-fakta di atas, apakah bidang kerja atau profesi PR harus dijalani oleh perempuan? Sosok yang selalu harus bisa tampil cantik dengan tubuh tinggi semampai dan pandai serta selalu luwes melobi ke sana-sini? Terkait dengan pertanyaan tersebut, Kepala Kantor Komunikasi dan Humas Universitas Indonesia (UI) Visnu Juwono mempunyai pendapat yang berbeda, dia mengatakan bahwa perempuan lebih mendominasi pekerjaan tersebut adalah suatu kenyataan atau fakta. “Tetapi, itu bukan berarti dunia PR hanya khusus perempuan”. Dan menurut dia, tidak seharusnya ada bias gender dalam profesi ini, karena PR merupakan profesi yang umum. Visnu memperkuat bukti ucapannya tersebut dengan mengambil beberapa contoh posisi laki-laki yang memegang peranan penting dan terbilang khusus untuk menangani pekerjaan PR. Dia memberikan contoh beberapa the best practise di Amerika Serikat dan Indonesia, misalnya, pekerjaan PR paling strategis justeru dipegang oleh laki-laki. Contohnya adalah sekretaris presiden Amerika Serikat--Barrack Obama, juru bicara Presiden RI SBY, dan juga di era Presiden Gus Dur, penasihat dan corong publikasinya dipegang Wimar Witoelar. Artinya, hanya sebagian besar saja dipegang oleh perempuan, sedangkan banyak posisi strategis tetap didominasi pria.
10
Sementara Ita Nursanty - Manajer PR Prasasta menjelaskan kepada KOMPAS.com 17 bahwa: “Boleh jadi, ada persepsi yang selama ini telah salah kaprah di masyarakat, padahal belum ada penelitian di Indonesia yang menyatakan bahwa dunia PR lebih membutuhkan perempuan ketimbang laki-laki, meskipun tidak dipungkiri bahwa selama ini pekerjaan tersebut memang lebih dominan dipegang oleh perempuan”. Salah satu lembaga yang banyak mempekerjakan PRO perempuan adalah bidang industri pendidikan khususnya penyedia layanan Pendidikan Tinggi Swasta (PTS). Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada PRO perempuan yang bekerja di bidang industri pendidikan terutama Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta. Mengapa peneliti memilih PRO perempuan yang bekerja pada bidang industri pendidikan khususnya Pendidikan Tinggi? Karena di bidang ini tengah terjadi persaingan yang sangat ketat baik di antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Untuk menghadapi persaingan yang semakin kompetitif tersebut, maka peran PR yang maksimal di Perguruan Tinggi sangat dibutuhkan untuk membangun citra dan merebut dukungan publik secara luas. Terkait dengan pentingnya peran PR di Perguruan Tinggi diungkapkan oleh Mr. Simon Giverin 18 – Perwakilan “British Council” dalam sebuah seminar di ITB bahwa isu public relations - marketing dan promosi haruslah disadari oleh
17
PR Hanya Untuk Wanita? Ya, tidak lah. (2010, 28 Mei). KOMPAS.com (online). Diakses pada tanggal 20 Juli 2011 dari: http://nasional.kompas.com/read/2010/05/28/17210326/ 18 Sumber: http://www.itb.ac.id/news/186.xhtml, (diakses pada tanggal 12 Juli 2012)
11
setiap perguruan tinggi sebagai suatu kebutuhan dan keharusan bila institusiinstitusi ini ingin mengembangkan dirinya. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Giverin di atas, Istadi 19 - Staf Ahli PR4 Universitas Diponegoro (Undip) dalam sebuah training Public Relations di Undip menyampaikan yang intinya bahwa sebuah universitas atau perguruan tinggi baik negeri maupun swasta perlu dibangun melalui Public Relation (PR). Sama halnya dengan sebuah perusahaan atau institusi bisnis lainnya, PR menjadi ujung tombak sebuah pencitraan di mata publik. Dari paparan di atas, terlihat jelas bahwa industri pendidikan khususnya Pendidikan Tinggi membutuhkan praktisi PR yang profesional dan handal. PRO di perguruan tinggi mempunyai peran dan fungsi yang sangat strategis karena PR merupakan ujung tombak dalam membagun citra perguruan tinggi di tengah persaingan yang semakin ketat. Oleh karena itu, peneliti memfokuskan penelitiannya pada PRO perempuan yang bekerja di bidang industri Pendidikan Tinggi khususnya di lima Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jakarta.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perspektif PRO perempuan mengenai peran, fungsi, dan tugasnya di lembaga (organisasi) dimana PRO bekerja?
19
Sumber: http://tekim.undip.ac.id/staf/istadi, (diakses pada tanggal 12 Juli 2012)
12
2. Apakah ada pembentukkan stereotip gender dalam bidang profesi PR di lembaga (organisasi) yang bersangkutan? 3. Adakah pertentangan antara profesi PR dengan ’gender perempuan’ (peran gender) dari para PRO perempuan? 4. Apa alasan atau motivasi PRO perempuan untuk memilih bidang profesi PR?
1.2. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui perspektif PRO perempuan mengenai peran, fungsi, dan tugasnya di lembaga (organisasi) dimana PRO bekerja. 2. Untuk mengetahui ada tidaknya pembentukan stereotip gender di lembaga (organisasi) yang bersangkutan. 3. Untuk mengetahui ada tidaknya pertentangan antara profesi PR dengan peran gender dari para PRO perempuan. 4. Untuk mengetahui alasan (motivasi) para PRO perempuan memilih bidang profesi PR.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademis Hasil pengembangan
penelitian ilmu
ini
diharapakan
komunikasi
bidang
bisa
berkontribusi
kehumasan
khususnya
terhadap tentang
13
“Perspektif Public Relations Officer (PRO) Perempuan Mengenai Profesi Public Relations (PR)”.
1.4.2. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi sumbangan pemikiran dan masukan bagi lembaga (organisasi) perekrut PRO perempuan bahwasannya profesi PR sama halnya dengan profesi lain yang menuntut standar kompetensi tertentu yaitu pengetahuan dan keterampilan teknis untuk bisa menjalankan peran, fungsi, dan tugasnya yang strategis dalam rangka membangun hubungan baik yang mutualistik antara lembaga dengan publiknya. Dalam rekrutmen PRO tidak hanya mengutamakan penampilan fisik belaka, namun harus benar-benar mempertimbangkan aspek pengetahuan dan keterampilan teknis bagi para calon PRO yang akan direkrut, sehingga PRO akan mampu melaksanakan peran, fungsi, dan tugasnya secara efektif. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan bagi para calon praktisi PR bahwasannya untuk bisa menjalankan peran, fungsi, dan tugas PR dengan baik sesuai dengan teori yang dikemukakan para ahli, maka para calon PRO harus mengikuti pendidikan yang relevan untuk bidang profesi PR (kehumasan), sehingga peran teknisi (technician role) dan peran manajerial (managerial role) keduanya bisa dijalankan secara efektif.