Modul ke:
Etika Profesi Public Relations ETIKA DESKRIPTIF & ETIKA NORMATIF , TEORI ETIKA
Fakultas
FIKOM Program Studi
Public Relations www.mercubuana.ac.id
Syerli Haryati, S.S, M.IKom
PENGANTAR • Mempelajari etika, manusia dapat berpikir kritis dan rasional tentang perbuatannya apakah dipandang baik ataupun buruk. • Sikap, perbuatan dan tindakan manusia apakah sudah sesuai dengan sistem nilai, norma atau kaidah moral yang berlaku sehingga dalam kehidupannya, manusia dapat diterima dalam lingkungan sosialnya.
• Bagi praktisi PR memahami etika akan menjadi pedoman dasar bagi sistem nilai PR dalam menjalankan profesinya, sikap dan tindakan yang professional, bertindak selaku individu atau bagian dari kelompok dan masyarakat tertentu. • etika akan membantu praktisi PR dalam mengasah kemampuan akan kesadaran etis, berpikir etis, kepemimpinan yang etis, perilaku yang etis,
Pengertian Etika Deskriptif dan Normatif, Teori-teori Etika Modul-1 Syerli Haryati, SS. M.Ikom 0812-966 2614 Email:
[email protected]
Etika Deskriptif • Etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. • pendekatan yang digunakan untuk memahami etikda dari gambaran (deskripsi) tingkah laku manusia.
• Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau siikap yang mau diambil. • Etika deskriptif merupakan penggambaran dan penelaahan secara utuh dan kritis tentang tingkah laku moral manusia secara universal yang dapat kita temui sehari – hari dalam kehidupan masyarakat.
• Cakupan analisanya berisikan sejumlah indikator indikator fakta actual yang terjadi secara apa adanya terhadap nilai dan perilaku manusia dan merupakan suatu situasi dan realita budaya yang berkembang di masyarakat. • Contoh: Dalam kebudayaan Jawa, pakaian para wanita Jawa mengenakan kemben. Ketika Pemerintah menelurkan UU Pornografi dan Pornoaksi, berpakaian kemben terbuka dianggap sebagai pornoaksi. Etika deskriptif tidak menilai pakaian wanita Jawa dianggap tidak beretika, tetapi melihatnya sebagai fakta yang ada dalam budaya Jawa
Kajian Etika Deskriptif berkaitan dengan: • adat istiadat • kebiasaan masyarakat • anggapan baik dan buruk • tindakan yang tidak boleh dilakukan dan boleh dilakukan oleh individu tertentu dalam kebudayaan dan subkultur tertentu yang terjadi dalam suatu periode sejarah
• Telaah dalam Etika Deskriptif tidak memberikan interpretasi secara tajam dan lugas, namun tidak melukiskan suatu fakta yang sedang terjadi dan berkembang dalam suatu masyarakat tertentu. • Etika Deskriptif hanya membahas dan memberikan analisa penilaiannya atas kejadian tertentu.
• Contoh etika deskriptif didalam mempelajari pandangan moral terhadap kenyataan yang terjadi di Negara Uni Soviet. Kala itu, negara Uni Soviet menganut faham komunis atau ateis dimana masyarakatnya begitu permisif terhadap praktek pengguguran kandungan. • namun disisi lain tontonan yang bersifat pornografi mereka memberlakukan aturan aturan secara ketat.
Etika Normative • Etika normatif adalah etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola peilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. • Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan. Etika normatif akan memberikan pengarahan, penilaian serta himbauan supaya manusia bertindak berdasarkan norma-norma tersebut
• Norma atau kaidah merupakan tata aturan dalam etika, dalam kamus bahasa Indonesia, norma disebut sebagai ukuran untuk menentukan sesuatu
TEORI-TEORI ETIKA Secara Umum, teori etika dibagi dua bagian yaitu: 1. Etika Deontologis (kewajiban) 2. Etika Teleologis (tujuan): a. Egosentrisme (tujuan pribadi) b. Utilitarian (manfaat/kegunaan)
Etika Deontologis • Istilah Deontologis berasal dari kata Yunani, deon, yang berarti kewajiban. • Etika Deontologi menekankan pada aspek kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Suatu tindakan secara hakiki mengandung nilai sendiri apakah baik atau buruk.
• Filsafat deontologis beranggapan bahwa tugas atau kewajiban moral kita menunjukkan arah tindakan yang benar. • Pendekatan Deontologis ini, syarat sebuah etika adalah adanya motivasi, kemauan baik (good will) dan watak yang kuat dari pelaku.
tiga hal prinsip yang harus dipenuhi dalam etika deontologi: 1. Supaya suatu tindakan punya nilai moral, tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban. 2. Nilai moral dari tindakan tidak tergntung pada tercapainya tujuan tetapi kemauan baik yang mendorong seseorang untuk bertindak seperti itu. Meskipun tujuan tidak tercapai, tindakan tersebut tetap dinilai baik. 3. Kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
• Contoh dari keputusan deontologist adalah kasus Tylenol yang menimpa perusahaan Johnson & Johnson. Tylenol adalah obat sakit kepala yang terkontaminasi racun, oleh karenanya tindakan yang dilakukan oleh perusahaan adalah menarik semua produk Tylenol dari pasar AS karena adanya tindakan sabotase.
Manfaat Tindakan yang berlandaskan filsafat deontologist bagi praktisi PR adalah: 1. Keputusan dibuat berdasarkan apa yang benar dan apa yang salah, bukan siapa yang paling banyak mendapat keuntungan. 2. Pendekatan ini membuat PR dapat memberikan nasihat dalam koalisi dominan (yang terdiri dari manajemen sebagai pengambil keputusan) untuk melakukan tindakan yang benar berdasarkan prinsip moral, bukan berdasarkan biaya, kepentingan perusahaan atau pengeluaran.
3. Dengan pendekatan ini, organisasi dapat menyesuaikan diri secara seimbang dengan khalayaknya. 4. Pendekatan ini dapat merespon perubahan lingkungan, tren atau isu melalui komunikasi yang terbuka.
Etika Teleologis • Etika Teleologis mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu sendiri. Suatu tindakan dinilai baik jika bertujuan mencapai sesuatu yang baik atau jika akibat yang ditimbulkannya baik dan berguna. (Keraf, 1998: 27)
• Contoh: Pitung, tokoh legendaris dalam cerita rakyat Betawi. Ia mencuri /merampas harta orang-orang Belanda untuk diberikan kepada rakyat fakir miskin. Tujuannya mulia, tetapi tindakan mencuri apakah tindakan yang etis? Etis menurut siapa?
Etika Egosentrisme • Suatu landasan etika yang hanya memandang tujuan dan akibat yang ditimbulkan tindakan atau perilakunya menurut apa yang terbaik bagi diri sendiri (individu) secara pribadi. Standar etika yang ditetapkan adalah menurut kacamata pribadi, maka aliran etika ini disebut juga sebagai etika pribadi. (Suranto, 2011:128)
Etika Utilitarianisme • Utilitarianisme (merupakan turunan dari landasan filsafat Teleologi seperti yang dikemukakan oleh Keraf, 1998:27) menitikberatkan utilitas – atau hasil yang diharapkan dari keputusan untuk menentukan apa yang “benar” untuk dilakukan.
• Utlitiarianisme didasarkan pada konsekuensi atau hasil yang diperkirakan dari sebuah keputusan. Konsekuensi dari sebuah keputusan dipakai untuk mengukur kelayakan moral suatu tindakan, sehingga prinsip etikanya didefinisikan berdasarkan konsekuensi atau hasil yang diharapkan . (Cutlip dkk, 2006: 137)
• Persoalan utama dari landasan Utilitarian adalah Bagaimana menilai tujuan atau akibat baik dari suatu tindakan. Tujuan atau akibat itu untuk siapa? Untuk saya pribadi, para pengambil keputusan dan pelaksana keputusan saja atau untuk semua orang? Apakah tujuan itu baik hanya karena baik untuk saya atau memang baik karena berguna bagi banyak orang?
• Dalam perspektif Utilitarian, tujuan yang ingin dicapai adalah memaksimalkan manfaat dari keputusan untuk orang sebanyak-banyaknya dan meminimalkan konsekuensi negative bagi orang lain.
Perspektif Utilitarian ini memiliki kekurangannya (kelemahan) yaitu: 1. Etika Utilitarian dapat dipakai baik sengaja maupun tidak untuk menjustifikasi atau memperkuat status quo dengan hanya melihat kesenangan mayoritas tetapi minoritas tidak senang atau setuju dengan keputusan tersebut.
2. Etika ini lebih mendahulukan mayoritas akan membuat organisasi tidak bisa beradaptasi dengan perubahan yang dilakukan oleh public dan stakeholder lainnya. 3. Konteks PR, dengan pendekatan ini, praktisi PR diharuskan membuat perkiraan secara akurat konsekuensi dari setiap keputusan. Akan tetapi, banyak konsekuensi bisa jadi tak terduga dan karenanya kesalahan mungkin bisa terjadi dalam membuat analisa.
Daftar Pustaka • K. Bertens, Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007 • Rini Darmastuti, Etika PR dan E-PR, Yogyakarta: CV Andi Offset, 2007 • Sony Keraf, Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Jakarta: Kanisius, 1998
Terima Kasih Syerli Haryati, S.S, M.IKom