BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya merupakan masalah besar yang harus dihadapi banyak Negara. Negara-negara di benua Amerika, Eropa, serta Asia terutama Indonesia merasakan ancaman yang serius bagi warga negaranya. “Di Indonesia penyalahgunaan narkotika tumbuh dan berkembang menjadi sebuah masalah sosial sejak tahun 1964”1. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menybabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan
dapat
menimbulkan
ketergantungan.
Sedangkan
tentang
penyalahgunaan narkotika menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melanggar hukum. Penyalahgunaan narkotika disebabkan oleh semakin berkembangnya cara-cara peredaran atau pemasaran narkotika itu sendiri, seperti mengedarkan narkotika melalui media sosial. Modus berbasis teknologi ini merupakan cara baru dalam peredaran narkotika. Sebelumnya banyak modus dan cara yang dilakukan untuk memasarkan narkotika di negeri ini. Bahkan ada orang 1
Dadang Hawari,1991, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hlm.1.
1
2
rela bagian tubuhnya disusupi narkoba supaya tidak terdeteksi metal detektor saat pemeriksaan petugas bandara. “Di Indonesia hukum yang mengawasi dan mengendalikan penggunaan serta menanggulangi penyalahgunaan narkotika dan perawatan para korbannya dikenal dengan hukum narkotika”2. Perkembangan kehidupan masyarakat di Indonesia khususnya pulau Bali dan kota Denpasar merupakan ibu kotanya, dimana didalamnya terdapat mobiltas penduduk yang cukup tinggi, serta kuantitas penduduk yang lebih menonjol dari kota-kota lain di Propinsi Bali. Disamping mobilitas penduduk yang cukup tinggi termasuk didalamnya pertambahan penduduk, Bali sebagai daerah tujuan wisata internasional tidak dapat dipungkiri juga sebagai pusat tujuan peredaran gelap narkotika oleh mafia-mafia internasional. Dampak dari tujuan wisata iternasional tersebut juga menyebabkan Kota Denpasar menjadi pusat tumbuhnya tempattempat hiburan malam yang dimana tempat-tempat tersebut merupakan sasaran utama bagi peredaran gelap narkotika. Selain itu karena pertumbuhan penduduk yang tinggi dan mobilitas masyarakat yang tinggi membuat sulitnya masyarakat untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingginya tingkat pengangguran serta kerisis ekonomi yang berkepanjangan yang melanda Negara kita beberapa waktu yang lalu juga berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat di kota Denpasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga menyebabkan masyarakat mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut, salah satunya adalah menjadi kurir atau perantara peredaran narkotika terutama bagi mereka yang tidak 2
Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika dalam hukum pidana (untuk mahasiswa dan praktisi serta penyuluh masalah narkoba). Cet. ke I, Mandar Maju. Jakarta, hlm.4.
3
memiliki keahlian tertentu dan memilih hidup dikota denpasar. Kota Denpasar merupakan wilayah hukum dari
Polresta Denpasar, jika dilihat dari
perkembangan Kota Denpasar maka Polresta Denpasar memiliki intensitas kasus tindak pidana yang cukup tinggi terutama tindak pidana narkotika. Melihat peredaran narkotika yang semakin berkembang di wilayah Kota Denpasar, tentunya membuat masyarakat semakin resah. Dengan demikian para pihak
terkait
terutama
pihak
kepolisian
tentunya
harus
meningkatkan
penanggulangan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dalam penanggulangan terhadap penyalahgunaan dan peredaran narkotika tersebut, salah satunya adalah dilakukannya teknik pembelian terselubung (undercover buy). Tindakan Pembelian Terselubung (undercover buy) diatur dalam Pasal 75 huruf J UndangUndang No. 35 Tahun 2009 Narkotika. Sebagaimana yang dijelaskan dalam petunjuk
lapangan
No.Pol.
Juklap/04/VIII/1983
pembelian
terselubung
(undercover buy) adalah suatu teknik khusus dalam penyelidikan kejahatan narkotika dan precursor narkotika, dimana seorang informan atau anggota polisi (dibawah selubung), bertindak sebagai pembeli dalam suatu transaksi gelap jual beli narkotika, dengan maksud pada saat terjadi hal tersebut si penjual atau perantara atau orang-orang yang berkaitan supply narkotika dan precursor narkotika dapat ditangkap beserta barang bukti apa adanya3. Undercover atau penyamaran serta teknik penyelidikan lainnya di atur dalam Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Teknik pembelian 3
Petunjuk Lapangan No. Pol. Juklap/04/VIII/1983,taktik dan teknik pembelian narkotika dan psikotropika.
4
terselubung atau undercover buy berperan dalam proses penyelidikan terhadap tindak pidana narkotika, dimana teknik ini berperan dalam pengintaian terhadap terduga pelaku tindak pidana narkotika dan pengumpulan barang bukti tindak pidana narkotika. Teknik pembelian terselubung dapat dikatakan teknik yang memiliki peran penting dalam pengungkapan tindak pidana narkotika, sabab dalam teknik ini para pelaku tindak pidana narkotika dibuat tidak dapat berkelit atas tindak pidana yang telah dilakukan didepan pengadilan. Dalam upaya penanggulangan terhadap penyalahgunaan dan peredaran narkotika tentunya diperlukan kerjasama antara instansi-instansi lembaga pemerintahan, maka dibentuklah Badan Narkotika Nasional ( BNN ) dimana BNN adalah merupakan suatu lembaga pemerintahan non kementrian Indonesia yang mempunyai
tugas
pemerintahan
di
bidang
pencegahan,
pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. BNN dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan pemaparan singkat tersebut diatas penulis tertarik untuk mengkaji masalah penyalahgunaan, kejahatan narkotika serta penanggulangan terhadap kejahatan narkotika tersebut khususnya wilayah kota Denpasar dengan mengambil judul “PERANAN TEKNIK UNDERCOVER BUY PENGUNGKAPAN
TINDAK
POLRESTA DENPASAR)”
PIDANA
NARKOTIKA
DALAM
(STUDI
DI
5
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah peranan pelaksanaan dari teknik pembelian terselubung di Polresta Denpasar, dan kendala-kendala apa sajakah yang yang timbul dari pelaksanaannya? 2. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh Kepolisian Polresta Denpasar dalam mengatasi kendala- kendala tersebut dan apakah teknik ini dilakukan secara terprogram dan berkelanjutan?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam pembatasan skripsi ini dikhususkan hanya mengenai penungkapan tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui perspektif hukum pidana materiil, hukum pidana formil, dan pelaksanaan hukum yang terdapat pada UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Mengetahui
lebih
lanjut
tentang
teknik
pembelian
terselubung
(Undercover Buy) serta peranannya dalam pengungkapan tindak pidana narkotika di wilayah Polresta Denpasar.
1.4.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khususnya sebagai berikut :
6
1. Untuk mengetahui bagaimanakah peranan pelaksanaan dari teknik pembelian terselubung dalam pengungkapan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Polresta Denpasar. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dialami kepolisian khususnya kepolisian wilayah Polresta Denpasar dalam menjalankan teknik pembelian terselubung tersebut serta upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut.
1.5 Manfaat Penulisan 1.5.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang perkembangan ilmu pengetahuan hukum, dan kesesuaian penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
1.5.2 Manfaat Praktis 1. Bagi penegak hukum agar hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada lembaga- lembaga hukum terkait dengan penyelesaian perkara tindakan pidana penyalahgunaan narkotika dan penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan Narkotika agar mendapatkan efek jera dan kesesuaian sanksi terhadap tindakan yang dilakukan sesuai dengan undang-undang Narkotika, dan yurisprudensi yang berlaku. 2. Bagi masyarakat hasil penelitian ini sebagai acuan didalam pelaksanaan kehidupan yang berbudi dan berakhlak sebagai bangsa Indonesia.
7
1.6 Landasan Teori Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus, dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya menggunakan ketentuan khusus. Disebut dengan tindak pidana khusus, karena tindak pidana narkotika tidak menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai dasar pengaturan, akan tetapi menggunakan UU no 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika 2009). Secara umum hukum acara yang dipergunakan mengacu pada tata cara yang dipergunakan oleh Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), akan tetapi terdapat beberapa pengecualian sebagaimana ditentukan oleh UU Narkotika 2009. Simons mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Rumusan pengertian tindak pidana oleh simons dipandang sebagai rumusan yang lengkap karena akan meliputi : 1. Diancam dengan pidana oleh hukum 2. Bertentangan dengan hukum 3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld) 4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya 4. “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun yang semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan”5. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Narkotika 2009, Narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, 4
Roni Wijayanto, 2012, Asas-asas hukum pidana Indonesia,Bandung,C.V Mandar Maju,
hlm. 160 5
Ummu Alifia, 2007, Apa itu Narkotika dan Napza, Bengawan Ilmu, Semarang, hlm. 1.
8
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Dalam UU Narkotika 2009 telah diatur mengenai beberapa jenis narkotika. Beberapa jenis narkotika tersebut adalah sebagai berikut : 1. Ganja, Kokain, Heroin ( Putauw ), Opium (candu) Hashis dan Matadon. 2. Sabhu, Extasy, Magadon, Aphetamine, MDMA, MDA LSD Valium. 3. Zat-zat aditif lainnya adalah Mikol, Obat, Bahan Obat, Jamu, Tembakau, Bahan pengawet Pormalin, Melamin, Pewarna Textil, dan Kosmetika. Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Narkotika 2009 penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalahgunaan narkotika menurut Hari Sasangka adalah “suatu proses gangguan mental adiktif. Pada dasarnya seorang penyalahgunaan narkotika adalah seorang yang mengalami gangguan jiwa (gangguan kepribadian, kecemasan depresi)”6. Kejahatan merupakan suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah dan masyarakat untuk mencari cara-cara untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan dari kejahatan tersebut. Menurut M. H. Elliot: “ Kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat modern atau suatu tingkah laku yang gagal, yang melanggar hukum dan dapat dijatuhi hukuman penjara mati, denda dan seterusnya”7. 6
Hari Sasangka I, op.cit, hlm. 11. H. Hari Saherodji, 1980, Pokok-Pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 15.
7
9
J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan relatif, mengandung variabelitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu 8. Faktor-faktor terjadinya kejahatan terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendorongnya, H. Hari Saherodji mengatakan bahwa terdapat 2 faktor terjadinya kejahatan tersebut yaitu : 1. Faktor intern (faktor yang terdapat pada individual) dapat ditinjau dari : a) Sifat-sifat umum dari individu: umur, sex, kedudukan individu dalam masyarakat, pendidikan individu, masalah reakresi/hiburan individu, dan agama individu. b) Sifat khusus dari individu adalah sifat kejiwaan individu. 2. Faktor ekstern (faktor-faktor yang berada diluar individu). Faktor ini berpangkal tolak dari lingkungan dan dicari hal hal yang mempunyai korelasi dengan kejahatan seperti waktu kejahatan, tempat kejahatan, keadaan keluarga dalam hubungannya dengan kejahatan9. Menurut A.S Alam dan Amir Ilyas, penanggulangan kejahatan terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu upaya Pre-Emtif, Preventif, Refresif10. 1. Pre-Emtif Upaya Pre-Emtif adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan nilai-nilai atau norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasikan dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan
8
J.E Sahetapy dan B mardjono Reksodiputro, 1982, Parados Dalam Kriminologi, Rajawali, Jakarta, hlm. 191. 9 H. Hari Saherodji, op.cit., hlm.35. 10 Alam,A.S dan Amir Ilyas,2010, Pengantar Kriminologi. P.T Pusaka Refleksi, Makasar, hlm.69.
10
untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. 2. Preventif Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya Pre-Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif ini yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan. 3. Refresif Upaya yang dilakuakan pada saat telah terjadi tindak pidana atau kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman. Dalam tindak pidana narkotika berupa
langkah
rehabilitasi.
terdapat
Rehabilitasi
penanggulangan kejahatan merupakan
upaya
untuk
pengobatan/penyembuhan terhadap para pecandu/pengguna narkotika yang telah ketergantungan terhadap zat-zat narkotika, dalam upaya mengembalikan kondisinya seperti seperti sebelum mengkonsumsi atau terlibat dalam penggunaan zat-zat narkotika. Pada UU Narkotika 2009 pada dasarnya mengklasifikasikan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika menjadi dua yaitu pelaku tindak pidana yang bersetatus sebagai pengguna dan bukan pengguna narkotika. Yang dimaksud sebagai pengguna narkotika adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa
11
rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana. Sedangkan untuk pelaku yang bukan sebagai pengguna narkotika diklasifikasika menjadi pemilik, pengolah, pembawa atau pengantar dan pengedar. Pelaku yang bukan sebagai pengguna dapat dikenakan sanksi pidana karena melanggar ketentuan UU Narkotika 2009 dimana hal tersebut sesuai dengan teori pemidanaan. Teori pemidanaan dapat dibagi sebagai berikut : 1. Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan11. 2. Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan12. 3. Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat13.
11
Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta Sinar Grafika,
hlm.105. 12
Ibid. hlm.106. Ibid. hlm.107.
13
12
Pengertian dari Pidana adalah “hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan unsure terpenting dalam hukum pidana”14. Pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman, hukuman adalah suatu pengertian umum dan lebih luas, yaitu sebagai suatu sanksi yang tidak mengenakan yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. “Pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkenaan dengan sanksi dalam hukum pidana. Walaupun ada juga persamaannya dengan pengertian umum, yaitu sebagai suatu sanksi yang berupa tindakan yang menderitakan atau suatu nestapa” 15. Selanjutnya, mengenai pengertian Hukum Pidana itu sendiri adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara (Indonesia). Hukum Pidana yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut16. Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan perbuatan pidana. Jenisjenis pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana pencabutan hak-hak tertentu, perampasan baran-barang 14
C.S.T. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, 2010, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.5 15 Darji Darmodiharjo & Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, , hlm. 73 16 Moeljatno,2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 1
13
tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan.
Tujuan dari sanksi pidana menurut Bemmelen adalah “untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki dan untuk kejahatan tertentu membinasakan” 17. Secara eksplisit bentuk-bentuk sanksi pidana tercantum dalam pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk sanksi pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Dibawah ini adalah bentuk-bentuk pidana baik yang termasuk pidana pokok maupun pidana tambahan yaitu: 1. Pidana Pokok a. Pidana mati b. Pidana Penjara c. Pidana Kurungan d. Pidana Tutupan e. Pidana Denda 2. Pidana Tambahan a. Pencabutan Hak-Hak Tertentu b. Perampasan Barang Tertentu c. Pengumuman Putusan Hakim Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan 17
J.M van Bemmelen, 1987, Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum), Terjemahan Hasnan, Bina Cipta, Bandung, hlm. 128
14
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. “Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati “18. Terkait dengan pihak pengguna narkotika yang disebut juga dengan pecandu narkotika, terhadap mereka seringkali terjadi stigmatisasi dari masyarakat dari masyarakat seperti seorang penjahat. “Dengan adanya UU Narkotika 2009 sebagaimana sudah menjadi tujuan dari Undang-Undang tersebut, para penyalahguna dan pecandu narkotika dijamin untuk medapatkan rehabilitasi medis dan sosial”19. Kebijakan penanggulangan kejahatan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak bias lepas dari tujuan Negara untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Sebagai warga Negara berkewajiban untuk memberikan perhatian pelayanan pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Disisi lain pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat khususnya yang berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Kebikan penanggulangan tindak pidana narkotika merupakan kebijakan hukum positif yang pada hakikatnya bukanlah semata-mata pelaksanaan undang-undang yang dapat dilakukan secara yuridis normative dansistematik, dogmatic. “Di samping pendekatan yuridis normatif, 18
Sujono AR. Dan Bony Daniel, 2011 Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 59. 19 Ibid, hlm. 66.
15
kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis factual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya”20. Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu jalur “penal” (hukum pidana) dan jalur “non-penal” (bukan/di luar hukum pidana). Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitik beratkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi. Mengingat upaya non-penal lebih bersifat akan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada masalahmasalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Kedua cara di atas dapat dijadikan acuan dan diterapkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum secara langsung apabila tingkat kriminalitas di masyarakat terus meningkat21.
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum empiris, dalam penelitian hukum empiris, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang diamati dalam kehidupan nyata. “Peter Mahmud Marzuki, menyatakan penelitian 20 21
Moeljatno,op.cit hlm.22 Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm 2
16
hukum empiris adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan, wawancara, ataupun penyebaran kuisioner”22. Penelitian hukum empiris beranjak dari adanya kesenjangan antara teori dan realita, kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum, dan atau adanya situasi ketidaktauan yang dikaji untuk pemenuhan system akademik. “Penelitian hukum empiris atau sosiologis lebih menitik beratkan pada penelitian data primer yaitu wawancara”23.
1.7.2 Jenis Pendekatan Pendekatan yang digunakan mengenai masalah yang dibahas adalah Pendekatan kasus (the case approach) ini sesuai dengan proses pengumpulan data. Adapun jenis-jenis pendekatan lainnya adalah, pendekatan perundangundangan (The Statute Approach) yang peneliti lakukan ini berdasarkan aturanaturan dan teori-teori yang berkaitan dengan kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika, yang diatur sesuai dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pendekatan Fakta (The Fact Approach) Pendekatan ini di gunakan dalam pengumpulan data di lapangan sebagai bukti konkrit atas kasus yang terkait didalam penulisan skripsi ini.
1.7.3 Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian ini menempatkan hukum sebagai gejala sosial, dalam hal ini hukum dipandang secara awam. Karena didalam penelitian ini menekankan pada peranan teknik yang dipergunakan pihak yang berwajib dalam 22
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Cet. ke I, hlm. 35. Amiruddin dan Zaenal Asikin ,2004 Pengantar Metode Penelitian Hukum,Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.13. 23
17
pengungkapan tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran narkotika. Oleh karena itu sasaran penelitian ini adalah mengetahui peranan teknik pembelian terselubung dalam pengungkapan tindak pidana narkotika di wilayah kota Denpasar serta kendala-kendala yang ditemui oleh penyidik kesatuan narkotika Polresta Denpasar dalam pelaksanaan teknik tersebut, maka pendekatan utama yang digunakan ialah melalui pendekatan emperis.
1.7.4 Sumber Data Hukum Sumber data didalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian ini merupakan penelitian empiris, maka data pokok yang harus digunakan ialah data primer. Untuk menunjang dan memperkuat data primer tersebut, maka penulis menggunakan data sekunder berupa literature kepustakaan untuk melengkapi data primer tersebut. 1. Sumber Bahan Hukum Primer Sumber Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan secara hierarki dan data-data yang diperoleh dari Polresta Denpasar. Data primer diperoleh melalui bahan yang mendasari dan berkaitan dengan penulisan ini yaitu : 1) Buku-buku ilmu hukum; 2) Jurnal ilmu hukum; 3) Laporan penelitian ilmu hukum; 4) Internet dan bahan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas.
18
2. Sumber Bahan Hukum Sekunder Sumber Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan secara umum mengenai bahan hukum primer, hal ini bisa berupa : 1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier berupa: 1) Kamus / leksikon 2) Ensiklopedia 3) Dan lain sebagainya
1.7.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengumpulan data primer dalam penelitan ini adalah teknik wawancara. Untuk mendapatkan data lapangan digunakan teknik wawancara / interview, “teknik wawancara merupakan proses Tanya jawab antara dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik, yang satu dapat melihat yang lain dapat mendengarkan dengan telinganya sendiri”24. “Dengan kemajuan teknologi dimungkinkan
pula suatu wawancara yang
dilakukan melalui hubungan telepon, akan tetapi cara ini sangat jarang dilakukan 24
Sutrisno Hadi, 1984, Methodologi Research, Gajah Mada University, Yogyakarta, hlm.
192.
19
karena reaksi-reaksi seseorang lebih sukar ditangkap dibandingkan bila kita berhadapan langsung dengan orang yang kita wawancarai”25. Teknik pelaksanaan wawancara dibagi dalam dua penggolongan besar yaitu: 1) Wawancara berencana (berpatokan). Di mana sebelum dilakukan wawancara telah dipersiapkan suatu daftar pertanyaan (kuesioner) yang lengkap dan teratur. Biasanya pewawancara hanya membacakan pertanyaan yang telah disusun dan pokok pembicaraan tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan. 2) Wawancara tidak berencana (tidak berpatokan). Dalam wawancara tidak berarti bahwa peneliti tidak mempersiapkan dulu pertanyaan yang akan diajukan tetapi peneliti tidak terlampau terikat pada aturan-aturan yang ketat. Ini dilakukan dalam penelitian yang bersifat kualitatif. Alat yang digunakan adalaha pedoman wawancara yang memuat pokok- pokok yang ditanyakan. Pedoman wawancara ini diperlukan untuk menghindari keadaan kehabisan pertanyaan26. Dalam hal ini penulis akan melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait dengan yang dibahas. Data yang diperoleh dengan penelitian langsung terhadap obyek penelitian, dalam hal ini obyek penelitian adalah Polresta Denpasar.
1.7.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Analisa hasil penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data di analisis dan apa manfaat data yang terkumpul untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah. Analisis data yang digunakan adalah analisa deskripsi yang diawali dengan mengelompokkan data dan informasi yang sama menurut sub aspek dan selanjutnya melakukan 25
Burhan Ashshofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, cet. ke VI, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm.95. 26 Ibid, hlm.96.
20
interprestasi untuk member makna terhadap tiap sub aspek dan hubungannya satu sama lain. Kemudian setelah itu dilakukan analisis atau iterprestasi keseluruhan aspek untuk memahami makna hubungan antara aspek yang satu dengan aspek yang lain dan dengan keseluruhan aspek menjadi pokok permasalahan penelitian yang dilakukan secara induktif sehingga memberikan gambaran hasil secara utuh.