BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya bagaikan gunung es (ice berg) artinya yang tampak dipermukaan lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak tampak, sehingga dari tahun ke tahun penyalahgunaan atau ketergantungan napza semakin meningkat. Pemerintah menyebutkan angka resmi penyalahgunaan napza 0,065% dari jumlah penduduk 200 juta atau sama dengan 130.000 orang (Hawari, 2006 : 1). Penelitian yang dilakukan oleh Hawari, dkk pada tahun1998 menyebutkan bahwa angka sebenarnya adalah 10 kali lipat dari angka resmi (dark number =10) atau dengan kata lain bila di temukan 1 orang penyalahguna napza artinya ada 10 orang lainnya yang tidak terdata resmi (Hawari, 2006 : 1). Menurut Kepala Pusat Dukungan Pencegahan Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional Brigjen Pol. dr. Eddy Saparwoko Jumlah pengguna napza di Indonesia sekarang ini diperkirakan mencapai sebanyak 3,2 juta orang yang terdiri atas 69% kelompok teratur pakai, dan 31% lainnya merupakan kelompok pecandu dengan proporsi pria sebesar 79% dan perempuan 21%, (TN, 2006). Menurut hasil survei BNN, kelompok teratur pakai terdiri atas pengguna ganja sebesar 71%, shabu 50%, ekstasi 42%, dan obat penenang 22%, sedangkan
1
kelompok pecandu terdiri atas pengguna ganja 75%, heroin/putaw 62%, shabu 57%, ekstasi 34%, dan obat penenang 25% (TN, 2006). Menggunakan napza dapat membuat ketagihan atau kecanduan, karena semakin lama mengkonsumsi napza pengguna akan merasakan suatu kenikmatan. Rasa nikmat yang dirasakan itu, akan mendesak dan menekan keinginan lain. Pengguna napza menjadi tidak ingin melakukan kegiatan lain selain mengkonsumsi napza tersebut. Maka, semakin lama pengguna menjadi kecanduan (adiksi), tidak mau lepas dari rasa nikmat itu. Pengguna tidak mau lepas lagi dari rasa nikmat itu, meski jiwanya terancam sekalipun. Dia tidak mau memikirkan dan melakukan hal lain selain menggunakan napza sehingga individu tersebut tidak mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri (Setiadji, 2006 : 2). Individu yang menjadi pengguna napza tidak lagi mau memperhatikan orang lain. Pikirannya hanya tertuju bagaimana memperoleh napza untuk memenuhi keinginannya. Otak pengguna hanya berpikir bagaimana memperoleh obat dan menikmatinya. Dengan sekuat tenaga, ia akan selalu berusaha bagaimana memperoleh zat adiktif itu dengan cara apa pun. Apabila teus menerus menambah dosis dalam mengkonsumsi napza tersebut maka si pengguna dapat menjadi overdosis (dosis berlebihan) dan dapat menyebabkan kematian. Zat adiktif tersebut bekerja pada pusat penghayatan kenikmatan otak sebagaimana halnya dengan penghayatan makan, stimulasi seksual dan sebagainya. Oleh karena itu bagi yang telah menikmati atau menghayati napza akan muncul hasrat kuat mencari dan memakai zat tersebut untuk menikmati perasaan nyaman
2
lahir batin napza tersebut. Berdasarkan Undang-Undang R.I No. 22/1997 pasal 45 dinyatakan bahwa pecandu napza wajib menjalani pengobatan dan atau perawatan (Alatas & Madiyono, 2006). Untuk keluar dari kehidupaan kelam napza tersebut sangatlah sulit sekali, walaupun ada bantuan dan dorongan dari orang lain atau keluarga untuk sembuh tetapi apabila individu yang menggunakan napza tersebut tetap menjadi pemakai dan tidak ada niat serta berkomitmen untuk sembuh, maka hal itu menjadi suatu yang siasia. Tanpa adanya kemauan dari diri sendiri untuk sembuh maka sukar untuk keluar dari kejamnya zat adiktif tersebut, dan walaupun nantinya indivdu tersebut dikatakan sembuh karena menjalani pengobatan atau terapi dan rehabilitasi, tetapi ia merasa terpaksa dan tidak ada motivasi dari dirinya sendiri untuk keluar dari ketergantungan napza-nya sehingga ia akan kambuh dan kembali menggunakan napza, maka hal itu pun akan menjadi suatu yang sia-sia belaka (Kompas, 2006). Seperti yang dikatakan dr. Sudirman MA Sp.K.J dalam Kompas (2006), pasien ketergantungan napza yang telah sembuh, biasanya 60-70 persen kembali lagi. Mereka yang sudah dinyatakan sembuh, juga sudah menjalani perawatan selang interval waktu sebulan hingga lima tahun kemudian maka dari itu tidak ada garansi mantan penderita itu sehat total, serta tidak akan kembali lagi. Dari mereka yang kambuh ternyata ada tiga faktor utama sebagai penyebab atau pemicunya yaitu, faktor teman 58,36%, faktor ”sugesti” (craving) 23,21% dan faktor frustrasi atau stres 18,43% (Hawari, 2006 : 3).
3
Seseorang yang telah dinyatakan sembuh, setelah menjalani pengobatan dan rehabilitasi berbiaya mahal dan murah, kesembuhannya itu sepenuhnya berada di tangan si pasien sendiri. Tidak ada satu pun pakar maupun rumah sakit handal, mampu memberikan garansi korban itu sudah bebas selamanya. Dengan memahami soal itu, ketika napza telah menyergapnya, berarti dia telah menggadaikan tubuh dan jiwanya kepada bandar, pengecer dan penjual napza. Dia akan terus dikejar kemana pun berada, baik sebelum maupun pasca penyembuhan (Kompas, 2006 : 150). Sudirman menyebutkan, ada banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian pasien yang telah sembuh. Jika faktor yang melingkupi gagal berakomodasi maka dia akan jatuh kembali kepelukan narkotika, pisikotropika dan zat adiktif lainnya bahkan bisa pada tingkat yang lebih parah dari pengobatan sebelumnya. Faktor itu diantaranya kekuatan mentalnya, kondisi lingkungannya serta statusnya di masyarakat. Mantan penderita setelah dikembalikan ke rumah atau lingkungannya akan memulai “pertarungan” kedua yang harus dihadapi. Jika mentalnya lemah, ditunjang masih menganggur dan tidak adanya kesibukan, itu makin mempercepat prosesnya relapse, untuk menggunakan napza kembali (Kompas, 2006 : 151-152). Selain pemberian semangat dan pemberian motivasi dari orang lain atau keluarga untuk sembuh secara total maka harus dimulai dari kemuan individu tersebut, individu harus mempunyai semangat dan kemauan yang bulat untuk tidak lagi memakai napza, karena keputusan tersebut ada di tangan individu sendiri ia harus memilih mana yang terbaik dan mana yang buruk bagi dirinya yang nantinya akan menentukan kehidupannya apakah kehidupan yang ia jalani menjadi bermakna bagi
4
dirinya atau tidak, karena manusia akan terus menerus dihadapkan pada pilihanpilihan. Akan tetapi pilihannya yang pertama haruslah diputuskan sejauh menyangkut apa yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya. Kemudian ia harus mampu menempatkan diri di salah satu pihak, yang baik atau yang buruk, maka setelah ia memilih satu di antara keduanya barulah putusan-putusannya menjadi bermakna. Tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasar ini sebenarnya ia tidak menjalani eksistensi yang ada artinya karena untuk memilih dan membuat keputusan itu, manusia menjadi bebas, bebas tanpa adanya suatu tanggung jawab artinya, ia harus mampu mempertanggung jawabkan dirinya. Justru oleh kesediaan bertanggung jawab ini, maka kebebasannya untuk memilih dan memutuskan menjadi bermakna pula sehingga dapat menemukan ke-eksistensiannya sebagai individu (Hasan, 2005 : 29). Hidup adalah suatu pilihan yang dipilih oleh individu itu sendiri karena manusia hidup dengan mempunyai free will. Free will yang dimiliki suatu individu inilah yang dapat menjadikan dia dapat ber-eksistensi dan menemukan makna hidupnya. Pandangan Kierkegaard yang khas eksistensialis menyatakan, bahwa manusia pada prinsipnya adalah individu dan individu adalah identik dengan kebebasan. Setiap manusia, setiap individu mengkonstitusikan (menciptakan) diri dan dunianya melalui suatu pilihan bebas, yang dipilih dan diputuskan sendiri oleh manusia- individu itu sendiri ( Abidin, 2006 : 147). Seperti yang dikemukakan Kierkegaard dalam Abidin (2006), dalam eksistensinya manusia terus menerus dihadapkan pada keharusan untuk membuat pilihan, dan setiap keputusan memilih selalu berarti tersingkirkan pilihan lain.
5
Bahkan menolak untuk membuat pilihan pun merupakan pilihan. Manusia selalu berhadapan dengan imperative untuk menetapkan pilihan, ini atau itu. Eksistensi yang sejati menjadi tugas bagi setiap manusia karena eksistensi yang demikian itu disertai tanggung jawab, eksistensi yang sejati memungkinkan individu memilih dan mengambil keputusan serta bertindak atas tanggung jawabnya sendiri. Begitu pun dengan seorang pengguna napza, ia memilih untuk hidup sebagai seorang pengguna napza, namun dalam hal ini ia tidak sebenar-benarnya hidup dalam dunia penghayatannya, dunia makna hidup yang sebenarnya. Individu tersebut berada pada dunia makna yang semu karena lari dari realita hidupnya sendiri dan manusia tersebut tidak dapat mempertanggung jawabkan kehidupan yang telah ia pilih. Sehubungan dengan itu individu tesrsebut belum dapat menemukan makna hidup yang sebenarnya yaitu makna hidup yang sejati. Narkotika, psikotropika dan zat adiktif lah yang menjadikan suatu kebahagiaan yang semu yang malahan membuat kekosongan dalam hidup, zat tersebut membuat kehidupan yang sebenarnya menjadi hancur. Namun individu tersebut bisa terbebas dari kehidupan semunya dan kembali menemukan makna hidupnya yang sejati, tergantung ia memilih untuk fight atau flight berjuang untuk keluar dari kehidupan semunya atau menyerah dan tetap hidup dalam kesemuan. Kierkegaard dalam Tjaya (2004), meyatakan bahwa Individu haruslah terjun sendiri ke atas panggung menyelami eksistensinya sebagai manusia karena ia adalah seorang pelaku, dan mengalami suka duka, kegembiraan serta kepahitan menjalani kehidupan sebagai manusia. Ia pun berbicara mengenai kecemasan (anxiety) yang
6
sering melanda hidup manusia, tegangan antara hidup dalam waktu dan kerinduan akan keabadian, pencarian makna dan kepenuhan hidup, dan cara-cara manusia menjalani kehidupannya. Karena menurut Kierkegaard ada orang yang hanya hidup dari hasrat spontannya saja (wilayah estetis), ada pula yang memperhitungkan kategori baik dan jahat dalam hidupnya (wilayah etis), dan ada pula yang menjadikan relasi dengan yang abadi atau yang transenden sebagai kunci dalam menjalani kehidupan ini (wilayah religious). Wilayah-wilayah eksistensi ini memiliki nilai-nilai dan dinamikanya sendiri-sendiri. Berdasarkan dari fenomena yang sebagaimana telah dikemukakan diatas, peneliti ingin mengetahui tentang bagaimana seorang mantan pengguna napza yang telah menjalani tahap rehabilitasi memaknakan hidupnya dengan menggunakan pendekatan eksistensial yang di tinjau dari teori tiga wilayah eksistensi manusia Søren Aabye Kierkegaard. B. Fokus Penelitian Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada teori tiga wilayah eksistensi manusia dari Kierkegaard. Menurut Kierkegaard, eksistensi manusia menampilkan tiga wilayah yaitu, wilayah estetis, wilayah etis, dan wilayah religious. Wilayah pertama terutama ditandai oleh keterlibatan manusia pada hal ihwal yang dapat dinikmati oleh dirinya termasuk kebutuhan dasar manusia, wilayah kedua mengandung kesadaran berlakunya nilai susila dalam berbagai perilakunya, wilayah ketiga ditandai oleh penghayatan manusia sebagai subjek yang terjalin dalam dialog
7
dengan Tuhan (Hasan, 2001 : 126). Ketiga cara bereksistensi itu masing-masing lebih dari sekedar suatu “tahap pada jalan hidup”, karena masing-masing adalah dunia yang utuh dan menyeluruh, lengkap dengan cita-cita, motivasi, dan bentuk perilakunya sendiri, masing-masing adalah pandangan dunia yang lengkap. Kerangka acuan itu masing-masing dapat dipilih sukarela oleh individu tersebut. Begitupun dengan seorang mantan pengguna napza, karena disini pada akhirnya ia diharuskan memilih jalan hidup yang akan ia jalani untuk menemukan makna hidup dan bereksistensi dengan utuh, bukanlah hidup pada suatu ke semuan belaka. Hal ini tergantung pada apakah ia memilih untuk fight atau flight berjuang untuk keluar dari kehidupan semunya atau menyerah dan tetap hidup dalam kesemuan, karena keputusan tersebut secara mutlak ada pada individu tersebut dalam menjalankan kehidupan. Realitas dari luar dirinya boleh mempunyai kekuatan yang memaksa individu atau mempunyai pengaruh besar atas individu itu, tetapi sumber keputuasan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, terletak pada diri individu itu sendiri. Menurut pendapat Kierkegaard, yang dibutuhkan dalam hidup ini adalah suatu passion, suatu antusiasme, suatu gairah, suatu semangat dan keyakinan pribadi, yang dilandasi oleh kehendak bebas dan afeksi. Dibutuhkan suatu greget tertentu dalam setiap sikap dan perbuatan kita (Abidin, 2006 : 148). Menurut Kierkegaard manusia adalah sebagai penanggung eksistensinya, hidup bukanlah sekedar sesuatu sebagaimana kita pikirkan, melainkan sebagaimana kita hayati. Makin mendalam penghayatan kita perihal kehidupan, makin
8
bermaknalah kehidupan. Eksistensi yang sejati memungkinkan individu memilih dan mengambil keputusan serta bertindak atas tanggung jawabnya sendiri (Hasan, 2005 : 28).
C. Rumusan Masalah Berdasarkan fokus penelitian di atas maka muncul rumusan masalah yang harus di jawab yaitu : Bagaimana seorang mantan pengguna napza
yang telah menjalani tahap
rehabilitasi memaknakan hidupnya?
D. Tujuan Penelitian Mengetahui bagaimana seorang mantan pengguna napza yang telah menjalani tahap rehabilitasi memaknakan hidupnya? E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini bermanfaat dalam rangka : •
Memperluas wawasan pembaca tentang psikologi fenomenologis dan eksistensialisme sebagai ilmu yang mengkaji tentang kemurnian dalam melihat suatu fenomena yang ada di sekitar kita.
9
•
Memahami ilmu psikologi khususnya psikologi klinis dan ilmu psikologi fenomenologis – eksistensial sebagai suatu ilmu yang saling berkaitan satu sama lainnya.
2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis bermanfaat : •
Memberikan motivasi kepada mantan pengguna napza untuk semangat dalam menjalankan kehidupannya.
•
Memberikan pesan kepada pembaca bahwa sebagai individu, kitalah yang memegang ke-eksistensian, dan kitalah yang dapat menghayati dan memaknai kehidupan itu sendiri.
•
Merupakan model upaya aplikasi ilmu psikologi klinis dan psikologi fenomenologi dan eksistensial yang saling berhubungan dalam memecahkan suatu permasalahan psikologis.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna adalah data sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu nilai dibalik data yang tampak. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif tidak menekankan pada generalisasi, tetapi lebih menekankan pada makna. Penelitian dilakukan pada obyek yang alamiah. Obyek yang alamiah adalah obyek yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi
10
oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika pada obyek tersebut Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, dimana mengkhususkan pada subyek yang mengalami fenomena yang diteliti (Sugiyono, 2007).
Untuk mengungkap tentang kebermaknaan hidup didalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis eksistensial. Analisis eksistensial adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk mengungkap eksistensi individu secara utuh dan menyeluruh (Abidin, 2007 : 3).
Sedangkan dalam analisis eksistensial harus menggunakan sebuah metode yaitu metode fenomenologi, suatu metode pemikiran a way of looking at thing dengan bahasa sebagai salah satu alatnya. Yang khas dari fenomenologi adalah bahwa gejala yang hendak diselidiki itu haruslah berupa gejala yang murni atau asli yaitu (zu den sachen selst) “kembali pada realitasnya sendiri”. Sebelum menjadi psikolog (ahli jiwa) kita harus menjadi seorang fenomenolog, supaya ketika kita akan membuat hipotesa, teori, dan hitungan sang psikolog mengetahui apa yang sebetulnya dihitung dan diterangkan tersebut (Brouwer, 1983 : 3).
Husserl mengatakan bahwa kita bisa sampai pada gejala murni dan asli, jika kita menggunakan suatu prosedur yang disebut reduksi atau einklamerung (menyimpan dalam tanda kurung). Yang dimaksud dengan menyimpan dalam tanda
11
kurung yaitu tidak mengikut sertakan hal-hal yang tidak esensial dalam proses pengamatan yang kita lakukan (Zainal, 2007).
G. Subyek dan Lokasi Penelitian
Subyek penelitian ini adalah seorang mantan pengguna napza yang telah menjalani tahap rehabilitasi. Untuk mengetahui data individu yang pernah melakukan rehabilitasi peneliti mencarinya ke sebuah lembaga yang bergerak di bidang penanggulangan napza, yaitu peneliti memilih yayasan insan hamdani rumah cemara Bandung sebagai lokasi penelitian karena yayasan insan hamdani rumah cemara Bandung adalah lembaga yang selain bergerak di bidang penanggulangan HIV/AIDS lembaga tersebut juga bergerak pada bidang penanggulangan napza.
12