PENGUATAN LEMBAGA KEAGAMAAN DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF (Kasus di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung)
SUGIANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Penguatan Lembaga Keagamaan Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (Kasus di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustakan di bagian akhir tugas ini.
Bogor, Maret 2008.
Sugianto NRP. I. 354060045
ABSTRACT
SUGIANTO, Strengthening of Religious Institution in Preventing Narcotic and Drugs Misuse. Under direction of DJUARA P.LUBIS and. CAROLINA NITIMIHARDJO Narcotic and drugs misuse issues are the complex problems if they are seen from their causal and consequential factors appeared by them in relation with physical, physicis, economic, spiritual and environmental security factors. This problem impact is seen as a serious issue, therefore it is required for a comprehensive effort and include all community elements. One of effors conducted is related with this problem is a preventive effort. A research was carried out at Subdistrict of Kebonlega which has characteristic as a sensitive area for narcotic and drugs misuse, such presence of public facilities as the Leuwi panjang’s intercity and inter-provincial buses terminal. In other hand, it is located here the Banceuy’s I A Class Special Narcotic and Drug Jail which can provide some contribution on this preventive effort. This research was performed in three phases from social mapping, identification of society developmental program, and society developmental review. Some preventive effort in this research is throughout implementation of religious institutional strengthening conducted by Mesjid Al-Hudda Family Board. This institutional existence as a social force for counteraction power in improving religious values and other social norms. Some instances that must be strengthened by religious institution in this investigation include human resources factor, institutional capacity factor in increasing its ability to develop networks and competency to collect institutional fund. Data collection are performed by making of primary and secondary data inventory. Meanwhile problem and demand analysis for religious institution are carried out with problematic tree analogy. And activities alternative formulation in this research are improvements for individual, institutional, and family institutional capacities. This research obyective is to improve community ability in preventing of narcotic and drugs misuse. Keywords : Narcotic and drugs, and Religious Institution
RINGKASAN SUGIANTO. Penguatan Lembaga Keagamaan Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif (Kasus di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung). Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS dan CAROLINA NITIMIHARDJO. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA) merupakan permasalahan yang kompleks baik dilihat dari faktor penyebabnya maupun dampak yang ditimbulkannya. Penyebabnya merupakan kompleksitas dari berbagai faktor, termasuk fisik, kejiwaan pelaku, serta faktor lingkungan baik makro maupun mikro. Dampak buruk yang ditimbulkannya juga sangat kompleks dan luas, tidak hanya terhadap pelakunya, tetapi juga menimbulkan beban psikologis, sosial, ekonomi bagi orang tua dan keluarga. Permasalahan sosial ini, untuk saat sekarang sudah menembus berbagai lapisan usia dan berbagai lapisan sosial dalam kehidupan masyarakat. Pencegahan penyalahgunaan NAPZA merupakan bagian yang paling penting dari keseluruhan proses upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA, oleh karena mencegah lebih baik daripada mengobati. Pencegahan penyalahgunaan NAPZA memerlukan strategi yang bias mewujudkan adanya penguatan rasa takut, rasa bersalah, dan rasa malu terhadap bahaya penyalahgunaan NAPZA melalui sarana penegakan hukum, agama, pendidikan moral, pengawasan social, dan pengembangan idiologi. Menyadari bahwa permasalahan ini sangat kompleks dan bersifat holistik, maka dipandang perlu adanya upaya yang menyeluruh melibatkan semua elemen masyarakat. Keberadaan lembaga keagamaan Dewan Keluarga Mesjid (DKM) Al-Hudda dipandang sebagai suatu institusi lokal yang keberadaannya sudah melembaga ditengah-tengah kehidupan masyarakat, yang memiliki daya tangkal terhadap pengaruh kehidupan negatif. Penguatan lembaga keagamaan berkolerasi dengan melembaganya nilai-nilai keimanan berdasarkan agama yang dianutnya. Keimanan akan memandu kaidahkaidah dasar kesehatan dan prilaku preventif. Keimanan akan menuntun untuk mewujudkan keseimbangan fisik dan psikis, sehingga dalam melakukan kegiatan selalu dengan proporsional. Melalui penguatan lembaga keagamaan ini diharapkan akan lebih melembaga nilai dan kaidah ajaran agama yang dianutnya. Penilitian dilakukan di Kelurahan Kebonlega yang memiliki nilai strategi dalam dunia usaha karena dilalui jalan utama penghubung dengan darah sekitar wilayah selatan Jawa Barat. Wilayah ini juga berkarakteristik sebagai wilayah penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA. Kondisi tersebut diperkuat adanya sarana sosial berupa terminal bus antar kota-antar propinsi Leuwipanjang yang secara tidak langsung menciptakan satu kondisi perumahan padat kumuh, munculnya sarana penginapan murah yang disinyalir terdapat praktek prostitusi secara terselubung, dan maraknya hiburan malam sebagai areal yang rawan sebagai penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA. Pada sisi lain di wilayah ini terdapat Lembaga Pemasyarakatn Khusus Narkotika Klas II A Banceuy
sebagai lembaga pemerintah yang bertugas membina para narapidana kejahatan NAPZA. Lembaga ini diharapkan memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar dalam rangka upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Satu upaya pencegahan yang diterapkan dalam upaya preventif ini yaitu dengan penguatan lembaga keagamaan Dewan Keluarga Mesjid (DKM) AlHudda. Keberadaan DKM Al-Hudda dianggap sudah melembaga pada masyarakat sekitarnya dan memiliki daya yang kuat untuk menangkal penyalahgunaan NAPZA, atas dasar menguatnya nilai-nilai agama yang dianutnya. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pada proses pengumpulan data, pengkaji menggunakan teknik wawancara mendalam, diskusi kelompok, observasi dan studi dokumentasi. Dalam mengalanisa masalah kajian, pengkaji menggunakan metode Logical Framework Analysis (LFA) dengan alasan metode ini dapat dipergunakan untuk evaluasi dan perencanaan program dalam bentuk kajian aksi pengembangan masyarakat. Kata kunci : Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif dan lembaga keagamaan
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan penelitian, penulisan karya ilmiah, penuyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGUATAN LEMBAGA KEAGAMAAN DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF (Kasus di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung)
SUGIANTO
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tugas Akhir
:
Penguatan Lembaga Keagamaan Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Kasus di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung)
Nama NRP.
: :
SUGIANTO I. 354060045
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Djuara P.Lubis, MS. Ketua
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat,
Dr. Ir. Djuara P.Lubis, MS.
Tanggal Ujian : 27 Maret 2008
Dr. Carolina Nitimihardjo Anggota
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, MS.
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuria-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan tugas akhir pengembangan masyarakat dengan judul: ” Penguatan Lembaga Keagamaan Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif ” di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung. Penulisan ini sebagai tugas akhir bagi mahasiswa Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat pada Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai aplikasi dari materi perkuliahan dan melalui proses Praktek Lapangan I berupa Pemetaan sosial masyarakat dan Praktek Lapangan II berupa Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat. Penulisan tugas akhir ini telah diselesaikan dengan baik atas bantuan dari berbagai pihak, baik dukungan moral maupun material sejak pengkajian sampai penulisan laporan ini. Maka bersama ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Ibu Dr. Carolina Nitimihardjo dan Bapak Dr.Ir Djuara P.Lubis, MS sebagai komisi pembimbing, di sela berbagai kesibukan senantiasa meluangkan waktu telah memberikan barbagai saran dan masukan untuk penyempurnaan kajian. 2. Bapak Ketua Program Studi dan dosen-dosen yang memberi perkuliahan pada Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Jurusan Ilmu Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor sehingga penulis behasil menyelesakan tugas kajian akhir ini 3. Bapak Budi Sarwono, Bc.IP, SH selaku Kepala Kantor Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara (RUPBASAN) Klas I Bandung atas rekomendasi dan dukungannya, sehingga penulis diberikan kesempatan mengikuti pendidikan pascasarjana. 4. Bapak Drs. Momon Setiawan, selaku Sekretaris Kecamatan Bojongloa Kidul yang telah banyak membantu penulis sehingga berhasil menyusun kajian pengengembangan masyarakat. 5. Bapak Kepala Kelurahan Kebonlega beserta jajarannya atas perkenan dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kajian ini dengan baik. 6. Bapak dan ibu tokoh masyarakat Kelurahan Kebonlega, Pekerja Sosial Masyarakat, Pengelola lembaga keagamaan DKM Al-Hudda atas segala bantuan yang tiada terhingga sehingga penulis berhasil menyelesaikan penulisan karya ilmiah kajian pengembangan masyarakat dengan baik dan tepat waktu. 7. Ibunda yang mulia, Istri tercinta Tety Rusyati, dan anak-anakku tersayang Fauzan Adhima dan Fadlan Mahardhika yang selalu memberikan doa, dukungan penuh dari mulai awal perkuliahan sampai terselesaikannya tugas akhir ini.
8. Rekan-rekan Anggkatan IV Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat yang banyak membantu terselesaikannya penulisan kajian. Semoga amal perbuatan baiknya dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, serta semoga kajian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran ilmiah kepada pihak-pihak terkait dan bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Maret 2008 Sugianto
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 9 Oktober 1966 dari pasangan Bapak Rosidi dan Ibu S.Talka. Penulis adalah anak ke empat dari lima bersaudara. Pada tahun 1979 menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri Gegesik Lor. Tahun 1982 menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama Negeri Gegesik. Tahun 1985 menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas PGRI Arjawinangun. Tahun 1997 menyelesaikan pendidikan Tugas Belajar di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. Sejak tahun 1989 hingga tahun 1999, penulis bekerja di Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Sulawesi Utara. Pada Tahun 2000, penulis mulai bekerja di Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara salah satu Unit Pelaksana Teknis Kantor Wilayah Depertemen Hukum dan HAM Jawa Barat. Penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat tahun 2006 dengan beasiswa pendidikan dari Departemen Sosial Republik Indonesia.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................. DAFTAR GAMBAR ........................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .............................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 NAPZA Dan Penyalahgunaan NAPZA ........................... 2.1.2 Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA .......... 2.1.3 Komunitas Yang Beresiko Tinggi Terhadap NAPZA ..... 2.1.4 Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA ............................ 2.1.5 Penguatan Lembaga Keagamaan .................................... 2.1.5 Modal Sosial ................................................................... 2.2 Kerangka Pemikiran ....................................................... III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Kajian ................................................................ 3.2 Tempat Kajian....... ......................................................... 3.3 Waktu dan Tahapan Kajian ........................................... 3.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................ 3.4 Sumber Data dan Cara Menentukannya ........................ 3.5 Pengolahan Data ............................................................ 3.6 Metode Analisis Masalah dan Rancangan Penyusunan Program......................................................................... IV. PETA SOSIAL KELURAHAN KEBONLEGA 4.1. Kondisi Geografis ............................................................ 4.2 Kondisi Demografi ............................................................. 4.3. Sistem Ekonomi ........................................................ ......... 4.4 Pendidikan .......................................................................... 4.5 Gambaran Sosial Budaya dan Struktur Komunitas............. 4.6 Kelembagaan dan Organisasi Sosial .................................. 4.7 Potensi Penguatan Lembaga Keagamaan ........................ .. 4.8 Evaluasi Program Pencegahan Narkoba Berbasis Keluarga. 4.8.1 Program Kegiatan...................................................... 4.8.2 Kepengurusan ........................................................... 4.8.3 Sumber Dana ............................................................ V. PERFORMA LEMBAGA KEAGAMAAN DIKELURAHAN KEBONLEGA 5.1 Profil Lembaga Keagamaan di Keluraham Kebonlega
xi xii xiii 1 6 7 7 8 8 10 15 16 19 27 29 32 32 32 34 35 39 39 40 42 42 44 46 48 48 50 51 53 55 56 57 59 59
5.2.1 Struktur Kepengurusan DKM Al-Hudda................. 5.2.2 Karakteristik Pengurus DKM Al-Hudda................. 5.2 Kapasitas Lembaga DKM Al-Hudda.................................. 5.2.1 Kapasitas Individu Pengelola Lembaga DKM AL-Hudda ..................................................... 5.3 Performa Lembaga Keagamaan DKM Al-Hudda.............. 5.3.1 Manajemen.................................... ........................ 5.3.2 Kepemimpinan ....................................................... 5.3.3 Pengaksesan Sistem Sumber ................................. 5.3.4 Jejaring Sosial........................................................ 5.3.5 Kelengkapan Fisik ................................................ VI. RENCANA STRATEGIS PENGUATAN LEMBAGA KEAGAMAAN 6.1 Analisis Masalah dan Kebutuhan .................................... 6.2. Analisis Tujuan ............................................................... 6.3 Analisis Alternatif Kegiatan ........................................... 6.4 Analisis Pihak Terkait .................................................... 6.5 Potensi Pendukung Program Penguatan Lembaga Keagamaan ..................................................... 6.6 Program Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA......... 6.7 Strategi Penguatan Lembaga Keagamaan........ VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1 Kesimpulan ................................................................... 7.2 Rekomendasi Kebijakan................................................ DAFTAR PUSTAKA ....................................................................
67 68 69 71 72 72 74 75 76 77 79 80 82 83 84 85 86 90 95 95 96 99
DAFTAR TABEL
Halaman
1 2
3 4 5 6 7 8
9 10 11
Jadwal Pelaksanaan (Bulan dan Tahun) Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung.....................................................................................
35
Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Penguatan Lembaga Keagamaan di Kelurahan Kebonlega, Tahun 2007................................................................................ Sumber Data, Tipe dan jumlah subyek Kajian Lembaga Keagamaan di Kelurahan Kebonlega, Tahun 2007..................
39
Penggunaan Luas Lahan dan Persentasinya Di Kelurahan Kebonlega, 2006...................................
42
Jumlah dan Persentasi Penduduk Kelurahan Kebonlega Menurut Mata Pencaharian, Tahun 2007...............................
46
Jumlah dan Persentasi Penduduk Kelurahan Kebonlega Menurut Pendidikan..............................................................
48
Profil Lembaga Keagamaan DKM Al-Hudda, Kerukunan Pemuda Gereja Filadelfia dan Persaudaraan Muda Dharma
65
Nama, Jenis Kelamin, Umur, Pendidikan, dan Lama Bergabung dengan DKM Subyek Kajian Di Kelurahan Kebonlega.............................................................................
68
Jadwal Kegiatan Bidang Pendidikan DKM Al-Hudda Kelurahan Kebonlega, Tahun 2007.......................................... Matrik Alternatif Kegiatan Dalam Penguatan Lembaga Keagamaan.............................................................................
38
70 84
Analisis Pihak Terkait Dalam Penguatan Lembaga Keagamaan.............................................................................
85
Rencana Kegiatan Dalam Rangka Penguatan Lembaga Keagamaan di Kelurahan Kebonlega, 2008...........................
89
13
Materi dan Isi Upaya Pencegahan NAPZA...........................
91
14
Metode, Teknik dan Media Upaya Pencegahan NAPZA.....
92
12
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 2
Bagan Alur Kerangka Pemikiran................................. Klasifikasi Penggunaan Lahan Kelurahan Kebonlega, 2006............................................................................. Piramida Penduduk Kelurahan Kebonlega Tahun 2006...................................................................
44
4
Kepengurusan Kegiatan Pencegahan NAPZA Berbasis Keluarga...............................................................
56
5
Organigram DKM AL-Hudda Kelurahan Kebonleg, Tahun 2007................................................................. Analisis Permasalahan Dalam Rangka Penguatan Lembaga Keagamaan Di Kelurahan Kebonlega....... Analisis Tujuan Dalam Rangka Penguatan Lembaga Keagamaan Di Kelurahan Kebonlega....................... Strategi Penguatan Lembaga Keagamaan di Kelurahan Kebonlega, 2007.....................................
3
6 7 8
30 43
67 81 83 93
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Peta Wilayah Kelurahan Kebonlega, 2006................................. Panduan Wawancara Pengelolah Lembaga Keagamaan................................................................................. Panduan Wawancara Petugas Instansi/Lembaga Terkait/Kelurahan ...................................................................... Pedoman Wawancara Tokoh Agama/Tokoh Masyarakat.......... Panduan Diskusi Kelompok Terarah.......................................... Panduan Diskusi Kelompok Terarah (Perencanaan Partisipatif)................................................................................. Panduan Observasi..................................................................... Panduan Studi Dokumentasi..................................................... Hasil Pertemuan Diskusi Kelompok Perumusan masalah dan Kebutuhan DKM Al-Hudda Dalam Penguatan lembaga......... Kode Instrumen dan Banyaknya Informan.............................................
102 103 106 108 109 110 112 114 115 118
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif atau sering disebut NAPZA, di Indonesia saat ini sangat memperhatinkan berbagai kalangan. Laporan Survey nasional penyalahgunaan NAPZA yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Pranata Pembangunan, Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (2003), antara lain menyebutkan bahwa keprihatinan tersebut berhubungan dengan makin meningkatnya jumlah pelaku penyalahgunaan NAPZA. Jenis NAPZA yang disalahgunakan juga makin beragam dan makin luas distribusinya. Seiring denganhal tersebut, peningkatan kejahatan NAPZA yang ditangani Kepolisian Republik Indonesia juga mengalami peningkatan, baik segi pelakunya maupun jumlah barang yang disita. Indonesia saat ini tidak lagi sekedar daerah transit NAPZA, melainkan sudah menjadi wilayah pemasaran, bahkan sudah menjadi produsen NAPZA dari sindikat internasional, seperti yang ditunjukkan dengan terbongkarnya pabrik NAPZA di daerah Tangerang, Medan dan tempat yang lain (BNN : 2006). Penyalahgunaan NAPZA merupakan permasalahan yang kompleks baik dilihat dari faktor penyebabnya maupun dampak yang ditimbulkannya. Penyebanya merupakan kompleksitas dari berbagai faktor, termasuk faktor fisik, faktor kejiwaan pelaku, tetapi juga menimbulkan beban psikologis, sosial, ekonomi bagi orang tua dan keluarga. Secara umum penyalahgunaan NAPZA bisa menimbulkan kerugian berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan umat manusia. Masalah penyalahgunaan NAPZA untuk saat sekarang sudah menembus berbagai lapisan usia dan berbagai lapisan sosial dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor penyebab, antara lain: (a) faktor individu yang rentan terhadap penyalahgunaan NAPZA, mencakup individu yang kurang mendapat perhatian dariorang tua,
individu-individu
berasal
dari
keluarga yang pecah/pisah cerai, individu yang pola asuh keluarga salah terutama
Minimnya segi penanaman nilai-nilai agama dan nilai sosial masyarakat lainnya, (b) faktor lingkungan, antara lain mencakup lemahnya kontrol sosial masyarakat terhadap penyalahgunaandan peredaran gelap NAPZA sehingga tingkat penyalahgunaan makin bertambah baik segi kuantitas maupun kualitasnya, dan sudah dianggap sebagai gaya hidup yang ngetrend pada komunitas tertentu, dan (c) faktor obat/zat, antara lain mencakup adanya kemudahan dalam mengakses NAPZA dan harganya relatif terjangkau (Depertemen Sosial RI, 2005). Berdasarkan data terakhir yang diperoleh dari Badan Narkotika Nasioanal (BNN), untuk periode Juli 2006 di Indonesia, penyandang masalah ini didominasi oleh golongan usia produktif yaitu umur 16 sampai 29 tahun, yaitu sebanyak 9.848 kasus atau 61,39 persen dari total penyalahgunaan NAPZA sebanyak 16.040 kasus ( Direktorat Informasi IV BNN : 2006). Kondisi ini merupakan ancaman bagi keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia, bila dikaitkan keadaan generasi muda sebagai pewaris cita-cita perjuangan bangsa. Perekonomian nasional dibebani oleh biaya pengobatan rehabilitasi, penegakkan hukum, dan operasi pemberantasan pengedar gelap NAPZA. Pada saat yang bersamaan, masyarakat harus memikul biaya sosial dari dampak penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA dalam bentuk meningkatnya tindak kejahatan dalam kehidupan masyarakat sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi menurunnya produktivitas nasional. Pencegahan penyalahgunaan NAPZA merupakan bagian yang paling penting dari keseluruhan proses upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA, oleh karena mencegah lebih baik daripada mengobati. Pencegahan merupakan suatu upaya membantu individu menghindari memulai atau mencoba menyalahgunakan NAPZA, dengan menjalani cara dan gaya hidup sehat, serta mengubah kondisi kehidupan yang membuat individu mudah terjangkit penyalahgunaan NAPZA. Pencegahan penyalahgunaan NAPZA memerlukan strategi yang bisa mewujudkan adanya penguatan rasa takut, rasa bersalah, rasa malu terhadap bahaya penyalahgunaan NAPZA, melalui sarana penegakan hukum, agama, pendidikan moral, pengawasan sosial, dan pengembangan idiologi. Upaya yang dijadikan kajian penelitian adalah penguatan lembaga keagamaan dengan harapan
akan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA. Menyadari bahwa masalah penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks dan bersifat holistik, maka dipandang perlu adanya upaya yang menyeluruh melibatkan semua eleman masyarakat. Salah satu bentuk upaya tersebut yaitu dalam bentuk kajian melalui penerapan strategi penguatan lembaga keagamaan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam upaya-upaya bersifat preventif. Menguatnya nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat yang digerakkan oleh lembaga keagamaan yang ada secara tidak langsung akan mengurangi penyandang masalah penyalahgunaan NAPZA. Penguatan lembaga merupakan suatu proses peningkatan atau perubahan perilaku, organisasi dan sistem yang ada dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien, serta merupakan suatu strategi untuk meningkatkan daya dukung kelembagaan dalam mengatasi masalah dan kebutuhan yang dihadapi (Sumpeno, 2002). Kelurahan Kebonlega sebagai ibukota Kecamatan Bojongloa Kidul memiliki nilai strategis yaitu selain dilalui Jalan Soekarno-Hatta sebagai jalur ekonomi yang menghubungkan dengan wilayah selatan Jawa Barat, juga memiliki sarana sosial berupa terminal Leuwipanjang yang merupakan terminal bus antar kota antar propinsi. Keberadaan terminal ini menjadikan wilayah Kelurahan Kebonlega menjadi salah satu pintu masuk para pendatang dari luar wilayah Kota Bandung. Kondisi tersebut secara tidak langsung memberikan dampak bagi masyarakat sekitarnya antara lain munculnya perumahan padat dan kumuh, menjamurnya tempat-tempat hiburan malam yang berkaitan dengan maraknya praktek prostitusi, dan penyalahgunaan NAPZA. Salah satu faktor pendukung timbulnya penyalahgunaan NAPZA adalah pengaruh lingkungan sosial buruk yang ditandai oleh keberadaan pemukiman padat dan kumuh serta meningkatnya angka tindak kriminalitas yang memiliki korelasi penyalahgunaan NAPZA. Pada sisi lain, di wilayah ini Kelurahan Kebonlega terdapat Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Klas IIA Banceuy sebagai lembaga yang membina warga binaan pemasyarakatan/narapidana yang terkait dengan tindak kejahatan NAPZA. Keberadaan lembaga pem,asyarakatan ini merupakan salah
satu sistem sumber yang bisa memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar yaitu dengan dipakainya tenaga pengajar agama setempat dari unsur lembaga DKM untuk memberikan pembelajaran para warga binaan pemasyarakatan dalam pembinaan agama yang dianutnya. Pada tugas dan fungsi seksi bimbingan kemasyarakatan di Lapas ini diterangkan bahwa seksi tersebut selain memberikan penyuluhan kepada keluarga warga binaan menjelang bebas, juga ada jenis kegiatan bersifat penyuluhan kepada lembaga sosial yang ada di masyarakat, termasuk lembaga keagamaan sebagai upaya bersifat preventif tersebut kurang berjalan secara optimal. Dengan demikian seksi ini belum memberikan kontribusinya kepada lembaga sosial dan masyarakat pada umumnya. Lembaga keagamaan yang ada di Kelurahan Kebonlega pada umumnya belum dilibatkan secara langsung dalam kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Hal ini secara eksplisit belum diterapkannya program kegiatan dengan masalah tersebut. Kondisi ini berkaitan dengan keterbatasan pengetahuan tentang NAPZA bagi pengelola lembaga keagamaan yang ada. Berdasarkan hasil informasi yang berhasil diidentifikasi oleh pengkaji, secara inplisit upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA masih dalam wujud himbauan untuk menjauhi NAPZA sudah dilaksanakan melalui kotbah dan cerama agama. Satu upaya dalam mewujudkan strategi pencegahan penyalahgunaan NAPZA adalah dengan penguatan kapasitas lembaga-lembaga di masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut idealnya memiliki performa lembaga yang ditopang dengan berbagai kridibilitas bagi segi pelembagaan norma-norma, kapasitas kepemimpinan, keberadaan program, ketersediaan sumberdaya. Keragaan lembaga dipengaruhi juga oleh faktor keluasan jaringan kerja dan kualitas pengurus. Berdasarkan hasil studi dokumentasi dan wawancara yang dilakukan pengkaji di wilayah Kelurahan Kebonlega pada tahun 2003, pernah ada upaya berupa kegiatan anti narkoba berbasis keluarga. Kegaiatan yang dilakukan terkait dalam Program Pencegahan Berbasis Keluarga. Kegiatan ini berlatar belakang dari inisiatip beberapa keluarga yang salah satu atau lebih anggota keluarganya menjadi penyandang masalah penyalahgunaan narkoba yang ingin berbagi pengalaman kepada keluarga-keluarga lain tentang bahaya dari masalah
penyalahgunaan NAPZA. Pada kenyataannya program ini tidak berjalan lama disebabkan oleh berbagai hal terutama berkaitan dengan pengelolanya banyak yang pindah domisili, tidak adanya upaya-upaya dalam kaderisasi dan keterbatasan sebagian masyarakat tentang pengetahuan tentang NAPZA dengan berbagai dampaknya. Pada proses pembangun diperlukan adanya keterlibatan langsung dari berbagai unsur komunitas masyarakat, salah satunya adalah perlunya pelibatan unsur lembaga keagamaan. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa dalam kehidupan yang sarat kompetitif, sarat pancaroba, munculnya berbagai krisis seperti krisis ekonomi, krisis sosial dan krisis kepercayaan yang pada gilirannya munculnya kesenjangan sosial yang berdampak langsung dengan kondisi sosial yang relatif rentan dengan munculnya berbagai permasalahan sosial di masyarakat, termasuk salah satunya adalah masalah penyalahgunaan NAPZA (Kartono, 1996). Eksistensi lembaga keagamaan sebagai salah satu lembaga sosial masyarakat bila diberdayakan bisa menjadi kekuatan sosial yang memiliki kemampuan mengatasi permasalahan sosial dalam kehidupan masyarakat. Lembaga keagamaan yang memiliki kapasitas yang baik dalam menjalankan peran dan fungsinya, dianggap memiliki daya tangkal yang kuat pada upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Hal ini berkaitan dengan melembaganya nilai-nilai agama dan nilai sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut bisa meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencegah masalah penyalahgunaan NAPZA. Menguatnya lembaga keagamaan sangat berkaitan dengan melembaganya nilai-nilai keimanan berdasarkan ajaran agama yang dianutnya. Keimanan akan memandu kaidah-kaidah dasar kesehatan dan perilaku preventif. Keimanan akan menuntun untuk dapat mewujudkan keseimbangan fisik dan psikis. Keimanan juga yang membuat individu melakukan segala sesuatu dengan proporsional. Peranan keimanan dalam bidang kesehatan jiwa adalah kemampuannya untuk meningkatkan dan memperkuat imunitas jiwa. Keimanan dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang kehidupan hingga mampu membuat individu
lebih besar dalam menghadapi kondisi hidup bagaimanapun, serta akan memandang segala dengan baik dan positif (Izzamuddin, 2006). Atas dasar pemikiran tersebut maka perlunya penguatan dan pemberdayaan lembaga keagamaan yang ada sebagai satu upaya preventif yang memiliki daya tangkal terhadap berbagai penyakit masyarakat termasuk masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif yang sudah menjadi masalah besar bagi kehidupan manusia. Dari gambaran latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka pertanyaan pokok kajian ini adalah: “Bagaimana Penguatan Lembaga Keagamaan dalam Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA?”
1.2 Perumusan Masalah Mengembangkan kapasitas sangat berkaitan dengan proses membangun kemandirian dalam pembangunan masyarakat. Kemandirian adalah tingkat kemajuan yang harus dicapai oleh suatu komunitas, sehingga komunitas tersebut dapat membangun dan memelihara kelangsungan hidupnya berdasarkan kekuatannya sendiri (Kartasasmita, 1996). Lembaga keagamaan yang akan dianalisis ini merupakan lembaga yang tumbuh dari masyarakat. Diharapkan dengan dilakukannya kajian terhadap penguatan lembaga keagamaan dapat disusun suatu rencana dan program pembangunan komunitas yang sesuai dengan azas kemandirian, kejujuran, kesetaraan dan keberlanjutan sehingga dapat dijadikan acuan bagi pengembangan lembaga-lembaga sejenis lainnya. Dari gambaran latar belakang dan permasalahan di atas, maka perumusan masalah adalam penelitian ini adalah : a.
Bagaimana performa lembaga keagamaan khususnya yang berkaitan dengan masalah NAPZA di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung?
b.
Bagaimana strategi dan program yang tepat dalam penguatan dan pengembangan lembaga keagamaan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA?
1.3
Tujuan Penelitian Dari latar belakang dan permasalahan di atas, secara umum tujuan kajian ini
adalah mengkaji kapasitas lembaga keagamaan yang dimiliki masyarakat lokal melalui penguatan kapasitasnya di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan kemampuan masyarakat
berkaitan
dengan
pencegahan
penyalahgunaan
NAPZA
di
wilayahnya. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian kajian pengembangan ini secara khusus adalah : a. Mendeskripsikan performa lembaga keagamaan di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung b. Menyusun strategi dan program penguatan lembaga keagamaan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat mencegah penyalahgunaan NAPZA di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini dapat ditinjau dalam perspektif praktis dan
akademis, yaitu: a.
Manfaat praktis, memberikan masukan bagi instansi pemerintah yang terkait serta lembaga swadaya masyarakat untuk merumuskan kebijakan dan program yang aspiratif dan partisipatif, serta memberikan masukan alternatif teknik dan model pemberdayaan masyarakat bagi elemen penggiat pengembangan masyarakat yang peduli terhadap pengembangan masyarakat.
b.
Manfaat akademis, mengkayakan literatur tentang teori dan praktek pengembangan masyarakat model partisipatif dan komprehensif yang dialkukan melalui penguatan lembaga keagamaan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 NAPZA dan Penyalahgunaan NAPZA NAPZA adalah akronim dari kata narkoba, psitropika, dan zat adiktif yang meliputi zat alami atau sintetis, bilamana dikonsumsi menimbulakan perubahan fisik dan psikis serta menimbulkan ketergantungan (Departemen Sosial RI, 1992). Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sinetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Pasal 1, UU No.22 Tahun 1997, tentang Narkotika). Jenis narkotika yang paling banyak disalahgunakan dan diedarkan secara ilegal antara lain meliputi opium, opioda, codein, tabein, heroin, hidromorfin, oksikodon, etorfin, dan metadon (BNN : 2004). Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Pasal 1, UU No.5 Tahun 1997, tentang Psikotropika). Contoh dari psikoytopika adalah amphetamine dan ats (amphetamine tipe stimulan), seperti shabu, ectacy, dan obat penenang. Zat adiktif berasal dari tanaman maupun bukan tanaman, sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menimbulkan ketergantungan. Misalnya nikotin yang terdapat pada tembakau, minuman beralkohol, termasuk inhalan antara lain lem auca aibon, tiner, spirtus, jamur kotoran kerbai dan kecubung (BNN : 2004) Zat psikopat adalah suatu zat yang masuk dalam tubuh, akan merubah fungsi dan struktur organ tubuh, juga berpengaruh pada otak sehingga dapat menimbulkan perubahan sistem kesadaran, sistem pola pikir, sistem perasaan, sistem persepsi panca indera pelaku (BNN : 2004). Penyalahgunaan NAPZA adalah pengguna NAPZA bukan untuk tujuan pengobatan, yang menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis serta menimbulkan ketergantungan tanpa resep dan pengawasan dokter (BNN : 2004).
Penyalahgunaan NAPZA merupakan masalah yang kompleks dan terkait dengan berbagai aspek, seperti aspek penegakan hukum, kesehatan, sosial dan yang lainnya. Oleh karena itu, upaya penanggulangan masalah ini bersifat holistik serta melibatkan berbagai pihak. Pada tingkat nasional, berbagai lembaga pemerintah dan organisasi sosial/lembaga swadaya masyarakat telah melaksanakan berbagai program untuk mengatasi penyelahgunaan dan peredaran gelap NAPZA. Leading Sector dari upaya rehabilitasi masalah ini adalah Departemen Sosial RI (UU No.22 : 2006). Berbagai dampak dari penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA dapat diidentifikasi sebagai berikut: a. Dampak fisik. 1. Dampak fisik langsung, berupa gangguan sampai kegagalan fungsi organ tubuh vital seperti; susunan syaraf pusat, jantung, paru-paru, ginjal, saluran pencernaan, organ reproduksi serta menurunnya daya kekebalan tubuh. 2. Dampak fisik tidak langsung, yaitu: sangat beresiko dengan HIV/AIDS dan blood borne lainnya sebagai akibat penggunaan NAPZA dengan sarana jarum suntik yang tidak steril, secara bergilir, serta komplikasu lainnya. b. Dampak Psikis Dampak ini adalah timbulnya gangguan daya ingat dan daya kognisi, gannguan mental, euphoria, insomenia, depresi, cemas, halusunasi paranoid dan agresifitas. c. Dampak sosial dan ekonomi 1. Bagi pelaku, yaitu adanya pengucilan, putus sekolah, putus pekerjaan, kehilangan penghasilan, keluarga pecah, beban biaya ekonomi tinggi, yerlibat tindak kejahatan, dan hancurnya masa depan. 2. Bagi keluarga dan masyarakat, yaitu mincul persepsi sebagai aib keluarga, menjadi beban keluarga, hilangnya harapan orang tua, gangguan ketertiban dan keamanan d.
Dampak spiritual, pelaku semakin jauh dari kehidupan agama, semakin meninggalkan nilai-nilai agama dan nilai moral kehidupan sehingga dapat dikatagorikan pelaku tidak peduli bahkan tidak mengenal agama yang
dianutnya, hingga pada gilirannya akan mudah terjerumus pada dunia kriminalitas dan kejahatan NAPZA.
2.1.2 Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA Masalah penyalahgunaan NAPZA disebabkan oleh faktor individu, faktor lingkungan
keluarga/sosial,
dan
obat/zat.
Penjabarannyta
dapat
dilihat
sebagaimana dijelaskan olegh Departemen Sosial RI (2005) A. Faktor Individu Faktor ini sangat bergantung pada kapasitas individunya terhadap kebaradaan NAPZA. Kondisi ini ditandai: (a) bermula dari rasa ingin tahu/ingin coba-coba, (b) ingin diterima atau masuk dalam kelompok tertentu, (c) ingin menunjukkan kebebasan atau kedewasaan atau ikut trend, (d) ingin memperoleh kenikmatan dari efek obat, (e) ingin menghilangkan rasa sakit dan percaya obat dapat mengatasi segala persoalan, (f) ingin protes terhadap sistem sosial yang berlaku, (g) ingin mendapat perhatian orang tua, dan (h) kurang pemahaman dan penghayatan nilai-nilai agama dan nilai sosial kemasyarakatan lainnya. B. Faktor Lingkungan keluarga/sosial Kialitas sebuah keluarga sangat berkaitan dengan masalah penyalahgunaan NAPZA.
Beberapa
hal
yang
melatar-belakangi
faktor
lingkungankeluarga/sosial yaitu: (a) hubungan orang tua-anak tidak dekat dan tidak terbuka, (b) kurangnya pengawasan orang tua, (c) tempat tinggalnya di lingkungan pengguna NAPZA, (d) sekolah di lingkungan yang rawan penyalahgunaan NAPZA, (e) bergaul dengan para pengedar dan pemakai, (f) kurang kontrol sosial masyarakat terhadap penyalahgunaan NAPZA, (g) gaya hidup yang dianggap ngetrend mengikuti perkenbangan jaman, dan (h) tekanan kelompok sebaya/peer pressure. C. Faktor Obat/Zat Sebagaimana
yang
ada
di
masyarakat,
peredaran
gelap
dan
penyalahgunaan NAPZA senakin hari semakin bertambah dari segi kualitas maupun kuantitasnya yang secara langsung dapat mempengaruhi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Faktor ini sebagai akibat: (a) adanya kemudahan dalam
mengakses
NAPZA,
(b)
zat
yang
digunakan
menimbulkan
ketergantungan bagi pemakai sehingga kehilangan kontrol diri, dan (c) harganya relatif terjangkau. Faktor penyebab penyalahgunaan NAPZAm dapat dilihat dari berbagai perspektif, yaitu: a. Perspektif psikologis Faktor kepribadian dan faktor konstitusi merupakan dua faktor yang menentukan seseorang tergolong beresiko tinggi terhadap penyalahgunaan NAPZA. Faktor lingkungan yang langsung adalah keluarga, seperti adanya keluarga pecah, keluarga tidak harmonis, kurang komunikasi, kurang perhatian dan kasih sayang. Faktor ini berkaitan dengan bentuk pola asuh anak seperti yang dikemukakan Baunmint (1971), meliputi: ” 1. Pola asuh permisif, adalah pola asuh dengan ciri kendali orang tua rendah, orang tua tidak demokratis, tuntutan prestasi rendah, kasih sayang tinggi 2. Pola asuh otatiter, adalah pola asuh dengan ciri kendali orang tua tinggi, tuntutan prestasi tinggi, kasih sayang rendah. 3. Pola asuh otoritatif, adalah pola suh dengan ciri kendali orang tua tinggi, tetapi bersikap demokratis, tuntutan prestasi tinggi, dan kasih sayang tinggi.” Pada penjelasan psikologis ini, hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh lingkungan teman sebaya. Sebagian besar pelaku penyalahgunaan NAPZA adalah remaja dan pemuda. Masa-masa tersebut dalam perspektif ini merupakan masa yang paling rentan terhadap penyalahgunaan NAPZA. Terdapat tujuh predisposisi
III. METODOLOGI KAJIAN
3.1 Metode Kajian Kajian pengembangan masyarakat dilaksanakan sebagai upaya untuk mendeskripsikan kebuthan dan masalah yang dihadapi lembaga keagamaan DKM Al-Hudda. Kebutuhan yang dirasakan oleh lembaga keagamaan ini yaitu kelengkapan sarana fisik, baik yang berkaitan dengan sarana kerja maupun sarana transportasi. Adapun masalah yang dihadapi oleh lembaga keagamaan ini menyangkut sumberdaya manusia terutama yang berkaitan dengan orang pendukung, penyusunan program kerja, penciptaan jejaring sosial, dan penggalangan dana. Kajian ini bersifat deskriptif, sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang kebutuhan yang dibutuhkan dan hambatan yang ditemui dalam melaksanakan program kegiatannya Kajian ini lebih banyak menggunakan pendekatan kualitatif agar diperoleh informasi secara mendalam dan mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat. Melalui pendekatan ini bisa dibangun pemahaman tentang berbagai aspek yang dapat menunjukkan peranan lembaga keagamaan tersebut sebagai kekuatan sosial dalam meningkatkan kemampuannya untuk berpartisipasi menanggulangi permasalahan sosial yang ada secara mandiri berdasarkan kekuatan komunitasnya sendiri, sehingga diperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh dari pola perilaku, tindakan dan interaksi anggota lembaga keagamaan tersebut. Dengan mempertimbangkan aras kajian tersebut, maka tipe kajian ini menggunakan aras kajian subyektif-mikro, yaitu sebagai upaya memahami manajemen lembaga, pola kelakuan, orang pendukung, dan pelengkap fisik, penggalangan dana dan kemitraan kerja yang ada di lembaga keagamaan.
3.2
Tempat dan Waktu Kajian Kajian pengembangan masyarakat dilakukan di Kelurahan Kebonlega,
Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung. Wilayah ini memiliki karakteristik sebagai daerah yang memiliki potensi terhadap penyalahgunaan NAPZA dengan adanya sarana sosial terminal bus antar kota, antar provinsi Leuwipanjang sebagai
30
pintu masuk bagi pendatang dari wilayah bagian Barat. Kondisi ini secara langsung memberikan dampak bagi warga masyarakat seperti munculnya praktek premanisme yang sarat kompetisi di sekitar terminal, tumbuhnya penginapanpenginapan yang disertai dengan praktek prostitusi terselubung. Keberadaan wilayah yang berkarakteristik tersebut merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah sosial termasuk masalah penyalahgunaan NAPZA. Di
wilayah
Kelurahan
Kebonlega
terdapat
tujuh
orang
mantan
penyalahguna NAPZA yang sudah menjalani rehabilitasi dan bisa hidup sesuai harapan di tengah-tengah masyarakat. Dari hasil wawancara, keberadaan mantan pemakai NAPZA tidak gampang diterima oleh masyarakat karena adanya stigma buruk terhadap mantan pemakai NAPZA dan tidak sedikit dari masyarakat menganggap pemakai NAPZA adalah sebuah aib keluarga. Anggapan sebuah aib keluarga menjadikan para penyalahgunaa NAPZA keberadaannya pada umumnya dirahasiakan serta ditutup-tutupi oleh pihak keluarganya. Menurut informasi yang diperoleh Polisi Sektor Bojongloa Kidul, jumlah penyalahguna NAPZA yang masih aktif disinyalir masih banyak di tempat-tempat tertentu. Karena tertutupnya komunitas tersebut menjadikan tidak gampang menjangkau komunitas pemakai NAPZA. Jumlah penyalahguna NAPZA yang berhasil ditangkap dan sudah menjalani proses pembinaan di Lapas Narkotika Banceuy terdapat tujuh orang. Informasi lain yang diperoleh adalah dengan berdirinya terminal bus Leuwihpanjang, jumlah pelaku tindak kejahatan berupa pencopetan, penodongan, penipuan dan pencurian cenderung mengalami peningkatan sekitar 75 persen dari sebelum ada sarana sosial ini. Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi timbulnya tindak kejahatan, polisi sektor Bojongloa Kidul lebih kontinu melalukan patroli di sekitar terminal bus tersebut. Informasi lain yang diperoleh dari pihak ulama setempat, bahwa seorang yang menjadi penyandang masalah merupakan perbuatan dosa yang bisa “menjolimi” diri sendiri dan merupakan perbuatan yang sangat bertentangan dengan prinsip ajaran agama Islam. Hal serupa juga diperoleh dari pihak pendeta di Gereja Filadelfia Musa dan pihak bhiksu dari wihara setempat, bahwa pada
31
dasarnya seorang menjadi penyandang masalah penyalahgunaan NAPZA merupakan perbuatan dosa dan harus dijauhi dari kehidupan sebagai umat beragama. Dari ketiga tokoh agama tersebut, diperoleh informasi yang memiliki persamaan dalam memandang dari sisi latar belakang penyebabnya yaitu dikarenakan melemahnya nilai-nilai kadar keimanan sebagai benteng pertahanan diri sehingga relatif muda tergelincir dalam perbuatan dosa termasuk penyalahgunaan NAPZA. Hal ini tidak bisa ditampik lagi sebagai akibat kehidupan yang penuh pancaroba sehingga banyak terjadi pergeseran nilai-nilai yang ada dikehidupan masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan. Pada sisi yang lain, di Kelurahan Kebonlega terdapat Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Klas II Banceuy sebagai lembaga pemerintah untuk membimbing dan membina para narapidana yang telah melakukan kejahatan NAPZA. Keberadaan lembaga ini, di samping sebagai media pembelajaran, juga diharapkan adanya konstribusi kepada warga masyarakat terutama dalam upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Di wilayah kelurahan ini aspek kehidupan beragamanya relatif beragam yang ditandai adanya berbagai sarana ibadah seperti masjid, gereja, dan wihara. Keberadaan tempat peribadatan tersebut secara langsung berkaitan dengan adanya beberapa lembaga keagamaan yang akan dipergunakan sebagai media untuk meningkatkan
kemampuan
masyarakat
dalam
pencegahan
masalah
penyalahgunaan NAPZA. 3.3 Tahapan Kajian Proses kajian dilaksanakan melalui tiga tahap yaitu: (a) tahap Praktek Lapangan I berupa pemetaan sosial Kelurahan Kebonlega, dilaksanakan selama dua bulan yaitu dari bulan Desember 2006 sampai Januari 2007, (b) tahap Praktek Lapangan II berupa evaluasi program pengembangan masyarakat di Kelurahan Kebonlega, dilaksanakan selama dua bulan yaitu dari bulan Mei sampai Juni 2007, dan (c) tahap Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Kebonlega, dilaksanakan selama empat bulan dari bulan Agustus sampai Desember 2007.
32
Berikut waktu kajian pengembangan masyarakat di Kelurahan Kebonlega Kecamatan Bojongloa Kidul: Tabel 1.Jadwal Pelaksanaan (Bulan dan Tahun) Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung No.
Kegiatan
1.
Pemetaan Sosial (PL I)
2.
Evaluasi Program ( PL II)
3.
Penyusunan Proposal dan Kolokium
4.
Pengumpulan data kajian
5.
Pengolahan, analisis data dan pengolahan laporan KPM
2006 12
2007 1
5
6
8
9
10
11
12
3.4 Teknik Pengumpulan Data Sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan yang lainnya ( Lofland seperti yang dikutip Moleong, 1998). Proses pengumpulan data dilakukan melalui tiga sumber utama yaitu; (a) data primer yang diperoleh dari responden dan informan kunci/key informant, (b) sumber data sekunder dan tertulis seperti laporan dinas, potensi kelurahan, statistik wilayah, dan (c) Observasi lapangan secara langsung. Data primer diperoleh dari responden dan informan, terdiri dari; (a) dari unsur pengelola DKM Al-Hudda antara lain; H. Saeful Anwar sebagai ketua DKM Al-Hudda, Ahmad Rusdi pada seksi kemakmuran mesjid, Ahmad Efendi pada seksi perlengkapan, Insan Kamil pada seksi sosial/humas dan dua anggota yaitu Anton dan Siti, (b) dari unsur pemerintahan setempat; Ahmad Fachrozi, S.Sos selaku Kepala Kelurahan Kebonlega, Kardono selaku sekretaris kelurahan Kebonlega, Nining Astuti sebagai pekerja sosial masyarakat setempat (c) dari unsur tokoh agama; Sulton Aulia selaku iman sholat di mesjid Al-Hudda, Heri Timotheus selaku pendeta geraja filadelfia musa, dan Sidharta Muda Bahana selaku pimpinan wihara.
33
Data Sekunder diperoleh dari laporan-laporan dinas sektoral yang terkait meliputi Dinas Kesehatan Kota Bandung, Dinas Sosial Kota Bandung, Dinas Pendidikan Kota Bandung, Kantor Agama Kota Bandung, Polisi Sektor Bojongloa Kidul, Lapas Banceuy, dan BNK, dokumen-dokumen hasil penelitian dan pengkajian terdahulu dengan program sejenis atau dokumen lainnya. Observasi lapangan dilaksanakan dalam periode tertentu di lokasi penelitian sehingga diperoleh gambaran utuh mengenai masalah yang dikaji. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini meliputi: a. Wawancara Mendalam Wawancara dilakukan untuk memahami pandangan aparat kelurahan Kebonlega, tokoh masyarakat (para pimpinan rumah ibadah, PKK, Ketua RW dan RT) tentang perkembangan Kelurahan Kebonlega. Teknik ini dilakukan dengan maksud diperoleh informasi kapasitas yang dimiliki lembaga tersebut dalam menghadapi permasalahan, hambatan-hambatan yang dihadapi, serta harapan-harapan di masa yang akan datang. Dalam menggunakan teknik wawancara ini, penulis menunjuk individuindividu yang berkenaan dengan aktivitas lembaga keagamaan atau memanfaatkan keberadaan seseorangan memiliki pengetahuan luas mengenai salah satu aspek kehidupan di masyarakat yaitu pimpinan rumah ibadah, yang terdiri dari Imam sholat di masjid, Pendeta di geraja Filadelfia Musa, dan seorang Bhiksu di wihara sebagai informan selama pengkajian. Untuk mempermudah penulis dalam proses pencarian data di Kelurahan Kebonlega, penulis meminta bantuan dan dukungan dari segenap aparat kelurahan Kebonlega dan seorang Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) yang membantu penulis dalam menggali informasi yang dibutuhkan yaitu dalam bentuk data primer maupun data sekunder yang berkaitan dengan kajian ini. Alasan penulis menggunakan informan-informan di atas karena adanya keyakinan bahwa informan tersebut adalah orang yang mengetahui permasalahan atau peristiwa yang sedang terjadi atau pernah terjadi di Kelurahan Kebonlega.
34
b. Diskusi Kelompok Diskusi kelompok dilakukan terhadap pimpinan, pengelola dan anggota lembaga keagamaan, kelompok tokoh masyarakat, dan kelompok lembaga terkait lainnya. Dari diskusi ini diperoleh informasi kondisi lembaga keagamaan beserta permasalahan dan hambatan yang dihadapi, serta harapanharapan di masa yang akan datang. Diskusi kelompok ini dilakukan pada saat membahas dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang ada pada lembaga keagamaan, menyusun alternatif pemecahan masalah yang dibutuhkan dan penyusunan program. c. Pengamatan atau Observasi Observasi menurut Adimihardja dan Hikmat (2004), merupakan metode perolehan informasi yang mengandalkan pengamatan langsung di lapangan, baik yang menyangkut obyek, kejadian, proses hubungan maupun kondisi masyarakat dan lingkungannya yang berkaitan dengan proses dialog. Dalam observasi langsung, penulis ke lokasi penelitian selama beberapa kali sesuai dengan kalender kegiatan hingga data dapat diperoleh selengkap mungkin. Jenis data yang diperoleh adalah data primer. Observasi yang dilakukan penulis adalah mengamati keberadaan DKM Al Hudda dalam kapasitasnya sebagai salah satu kekuatan sosial yang diharapkan mampu memfasilitasi masyarakat dalam mengatasi suatu permasalahan sosial yang ada, sekaligus kelemahan-kelemahan yang dimiliki dari lembaga tersebut. d. Studi Dokumentasi Menurut Yin (2002), penggunaan dokumen yang paling penting adalah mendukung dan menambah bukti dari sumber yang lain. Data ini disebut data kedua, penulis mempelajari dokumen tersebut berupa data numerik dan nonnumerik. Kajian dokumentasi dilakukan dengan menelaah beberapa laporan atau catatan, termasuk dalam bentuk foto dokumentasi dari pihak lain. Kegiatan ini dilakukan dengan menelaah beberapa laporan atau catatan termasuk foto yang relevan dengan masalah pengkajian. Pada akhirnya diperoleh informasi data profil desa (jumlah penduduk, mata pencaharian
35
penduduk, pendidikan, dan lembaga-lembaga termasuk lembaga keagamaan yang ada di kelurahan, potensi-potensi kelurahan, program-program pengembangan masyarakat, dan program kerjasama lintas sektoral yang memiliki korelasi dengan bahasan kajian, seperti Lapas Khusus Narkotika Klas II Banceuy, Dinas Sosial Kota Bandung, Kantor Agama Kota Bandung, Dinas Pendidikan Kota Bandung, Dinas Kesehatan Kota Bandung, Kepolisian Sektor Bojongloa Kidul, BNP/BNK Kota Bandung. Berikut adalah gambaran teknik pengumpulan data berdasarkan sumber dan jenis data yang diperoleh : Tabel 2. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Penguatan Lembaga Keagamaan di Kelurahan Kebonlega, Tahun 2007
Jenis Data
1
Sumber Data
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data P
GD
W
SD
3
4
5
6
Pimpinan, Pengelola dan anggota lembaga keagamaan
f.C
f.B1
f.A1
f.D
f.C
f.B1
f.A1
f.D
Pimpinan, Pengurus, Anggota lembaga keagamaan, tokoh masyarakat, aparat kelurahan
f.A
f.B1 f.B2
f.A1 f.A2 f.A3
f.D
f.A
f.B1 f.B2 f.B3
f.A1 f.A2 f.A3
f.D
f.A
f.B1 f.B2 f.B3
f.A1 f.A2 f.A3
f.D
f.A
f.B1 f.B2 f.B3
f.A1 f.A2 f.A3
f.D
f.A
f.B1 f.B2 FB.3
f.A1 f.A2 f.A3
f.D
2
1. Aktivitas Lembaga Keagamaan a. Pendidikan b. Sosial Kemasyarakatan 2. Performa Lembaga Keagamaan a. Pimpinan
b. Penggalangan dana
c. Manajemen
d. Kelengkapan Fisik
e. Jejaring
36
3
2
1
4
5
6
F.A4
f.D
F.A4
f.D
3. Lembaga Terkait (Lapas, Kantor Agama, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan , BNK/BNP) a. Kemitraan
Pimpinan /Pegawai Instansi terkait
b. Kontribusi
Keterangan W P GD SD
= = = =
f.A1
= Pedoman wawancara anggota Lembaga Keagamaan = Pedoman diskusi kelompok rancangan program (Lamp.9)
f.B2
Wawancara Pengamatan/Observasi Group Disscusion Studi Dokumnetasi
f.A2 = Pedoman Wawancara Pengurus (Lamp.5) f.A3 = Pedoman Wawancara tokoh masyarakat (Lamp.6) f.B1 = Pedoman diskusi kelompok
Identifikasi masalah (lamp.8) f.C. = Pedoman Observasi (Lamp.10) f.D = Pedoman studi dokumentasi (11)
3.5 Sumber Data dan Cara Menentukannya Sumber data dalam kajian ini adalah pimpinan lembaga keagamaan, pengurus lembaga keagamaan, anggota lembaga keagamaan, aparat kelurahan, tokoh masyarakat, stakeholders dari lembaga terkait lainnya. Penetapan informan dilakukan dengan menunjuk orang-orang yang langsung berkenaan dengan kegiatan lembaga keagamaan, seperti pengelola dan pemimpinnya, sebagian dari anggota pada lembaga keagamaan seperti; DKM, Kerukunan Pemuda Gereja Philadelpia Musa, Persaudaraan Muda Dharma.. Penetapan informan lainnya yakni; Lurah Kebonlega, Ketua RW, Ketua RT, Tokoh Masyarakat pengurus lembaga baik formal maupun informal. Penetapan subyek kajian adalah berdasarkan kebutuhan dalam kajian, untuk lebih jelasnya seperti pada tabel berikut :
37
Tabel 3. Sumber Data, Tipe dan jumlah subyek Kajian Lembaga Keagamaan di Kelurahan Kebonlega, Tahun 2007 Sumber Data Dewan (DKM)
Keluarga
Subyek Kajian Masjid
Pimpinan, pengurus dan lembaga keagamaan DKM
Jumlah anggota
5 orang
Kerukukan Remaja Gereja Filadelfia Musa
Pimpinan, pengurus dan anggota
2 orang
Persaudaraan Muda Dharma
Pimpinan, pengurus dan anggota
2 orang
Aparat Pemerintahan lokal
Kepala Kelurahan, Katua RW 001,Ketua RW 011 dan Ketua RW 013
3 orang
Tokoh Agama
H.Sukron sebagai imam mesjid AlHudda, Pendeta Heri Timotheus, dan bhiksu Sidarta Muda Bahana.
3 orang
Jumlah Subyek kajian
15 orang
3.6 Pengolahan Data Pengolahan data kualitatif adalah suatu proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi data dengan cara mengorganisasikan data ke dalam katagori, menjabarkan ke dalam unit-unit, menyusun pola yang muda dipahami. Pengolahan data disesuaikan dengan kebutuhan kajian. Sumber data dalam kajian ini adalah pimpinan lembaga keagamaan, pengurus lembaga keagamaan, anggota lembaga keagamaan, aparat kelurahan, tokoh masyarakat, stakeholders dari lembaga terkait lainnya. Adapun proses pengolahan data melalui tahapan sebagai berikut : 1. Analisis data hasil wawancara yang dilakukan dengan tokoh formal dan informal, pengelola lembaga sehingga dapat diketahui pelaksanaan kerja lembaga. Berdasarkan data primer tersebut dilakukan triangulasi, yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui: a. membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara. b. membandingkan isi wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan c.membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang
38
2. Reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan tranformasi data yang muncul dari catatan tertulis di lapangan berdasarkan keabsahan data sebagai tahap penapsiran data.
3.7 Metode Analisa Masalah dan Penyusunan Rancangan Program Dalam menganalisis masalah kajian ini menggunakan metode Logical Framework Analysis (LFA). Alasan penulis menggunakan metode ini karena dapat dipergunakan untuk evaluasi (analisis) dan untuk perencanaan. Pada sisi lain kajian ini merupakan kajian aksi yang pada akhirnya diharapkan dapat membuat suatu rancangan kegiatan untuk mengatasi permasalahan yang ada dan tahapan pada metode ini untuk mempermudah penulis dalam menganalisis
masalah,
tujuan hingga penyusunan program. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Sumardjo dan Saharuddin (2003) dengan tahapan sebagai berikut : a. Tahap pertama, menganalisis dan mengidentifikasi potensi serta masalah yang dihadapi lembaga sehingga diperoleh faktor pendukung dan penghambat kinerja pada satu kelembagaan. Hasil ini kemudian dikonfirmasikan melalui diskusi kelompok dengan peserta dari responden dan informan yang sebelumnya telah di wawancarai. Dari hasil masukan responden mengenai identifikasi masalah, kemudian oleh penulis dituangkan pada pohon sebabakibat yang menggambarkan masalah inti, penyebab dan akibatnya (Gambar 7). b. Tahap kedua, menganalisis tujuan berdasarkan analisis masalah yang dirumuskan. Kegiatan ini sebagai upaya menemukan prioritas masalah sekaligus sebagai upaya menganalisis diskusi kelompok parsial.Tahap ini dirumuskan setelah peserta diskusi menyepakati masalah inti penyebab dan akibatnya untuk membuat tindakan dalam bentuk pohon tujuan yang menggambarkan tindakan hasil ( Gambar 8). c. Tahap ketiga, menganalisis beberapa alternatif pilihan yang dilengkapi dengan faktor kelebihan dan kekurangan dari masing-masing alternatif yang di
39
tawarkan. Dari hasil masukan peserta diskusi, mengenai alternatif masalah kemudian oleh penulis dituangkan dalam bentuk matrik alternatif kegiatan yang menggambarkan tindakan dan hasil. Dari masukan responden mengenai alternatif
kegiatan
yang
menggambarkan
tindakan
dan
hasil
( Tabel 9). d. Tahap keempat, mengidentifikasi pihak-pihak terkait yang bisa membantu dalam perancangan program dengan tetap menganalisis kekuatan dan kelemahan dari stakeholders yang ada. Tahap ini dilakukan dengan diskusi kelompok, dimana setiap peserta mengidentifikasi stakeholders yang potensial memberikan kontribusi pelaksanaan program dengan menuliskannya pada satu kartu. Kemudian secara bersama-sama mengidentifikasi kekuatan dan keterbatasan masing-masing stakeholders, serta menentukan upaya apa yang harus dilakukan untuk peningkatan peran ( Tabel 10) e. Tahap keenam, Menyusun matrik strategi perencanaan program berdasarkan analisis alternatif dan analisis stakeholders. Dalam proses penyusunan program, terlebih dulu penulis melakukan identifikasi potensi, masalah dan kebutuhan dalam penguatan lembaga keagamaan. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi kuantitas dan kualitas potensi yang dapat digunakan dalam proses peningkatan kemampuan masyarakat melalui penguatan lembaga keagamaan. Dari pertemuan itu, diperoleh rancangan program atau rencana kegiatan dalam rangka penguatan lembaga keagamaan di Kelurahan Kebonlega ( Tabel 11)
IV. PETA SOSIAL KELURAHAN KEBONLEGA
4.1 Kondisi Geografi Kelurahan Kebonlega merupakan satu dari enam kelurahan di wilayah Kecamatan Bojongloa Kidul, Kotamadya Bandung. Wilayah ini berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah kelurahan ini 117,85 Ha, yang terbagi atas 11 Rukun Warga (RW) dan 70 Rukun Tetangga (RT). Secara administrasi Kelurahan Kebonlega berbatasan dengan : a. Sebelah Utara
: Kelurahan Situsaer
b. Sebelah Selatan
: Kelurahan Cibaduyut
c. Sebelah Barat
: Kelurahan Babakan Ciparay
d. Sebelah Timur
: Kelurahan Mekarwangi
Berdasarkan kondisi geografis tersebut, wilayah ini cukup strategis sebagai daerah yang bisa dijadikan alternatif bagi kaum pekerja migran dalam mencari pekerjaan di bidang sektor informal dikarenakan terdapatnya sarana sosial berupa terminal bus Leuwipanjang, kawasan sentra industri sepatu Cibaduyut. Kondisi ini juga secara tidak langsung akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial, termasuk masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA. Penggunaan lahan di wilayah Kelurahan Kebonlega pada saat ini dapat dilihat pada Tabel 4 berikut: Tabel 4. Penggunaan Luas Lahan dan Persentasinya Di Kelurahan Kebonlega, 2006 No
Penggunaan Lahan
Luas (Hektar)
%
1
Perumahan /Pemukiman
85,35
72,42
2
Areal Perdagangan/pertokoan
10,25
8,69
3
Sekolah dan Perkantoran
9,50
8,06
4
Sarana Peribadatan
2,40
2,03
5
Sarana Jalan
9,00
7,63
6
Tanah kebun dan lainnya
1,35
1,14
Jumlah
117,85
100
Sumber : Profil Kelurahan Kebonlega, 2006
43 Berdasarkan tingkat penggunaan lahan tersebut, sebagian besar lahan yang ada di wilayah Kelurahan Kebonlega digunakan untuk perumahan/pemukiman yaitu 85,35 Hektar (72,42%). Kondisi ini seiring dengan pertambahan penduduk di wilayah ini baik melalui proses fertilitas maupun proses migrasi. Untuk lebih jelasnya peruntukan lahan di Kelurahan Kebonlega dapat dilihat pada gambar 2: KLASIFIKASI LAHAN PEMBAGIANPENGGUNAAN PENGGUNAAN LAHAN Perumahan / Pemukiman Areal perdagangan/pertokoan Sekolah/perkantoran Sarana peribadatan Jalan Tanah Kebun dan Lainnya
Gambar 2. Penggunaan Lahan Kelurahan Kebonlega, 2006 Jarak dari pusat pemerintahan kelurahan ke pusat pemerintahan kecamatan 2,5 km. Jarak ke pusat pemerintahan kotamadya 9 kilometer, dan jarak ke pusat pemerintahan propinsi 11 kilometer. Lokasi Kelurahan Kebonlega dilalui jalan protokol yaitu Jalan Soekarno-Hatta. Wilayah ini juga sebagai pintu masuk dari arah Barat, yaitu dengan adanya Terminal Bus Leuwipanjang. Keberadaan sarana terminal ini sangat memberikan peluang bagi usaha ekonomi sektor informal. Kelurahan ini juga merupakan bagian dari areal sektor industri sepatu Cibaduyut. Industri Sepatu Cibaduyut adalah salah satu sektor yang ditawarkan Kota Bandung dalam wisata belanja. Keberadaan terminal bus antar kota dan antar propinsi Leuwipanjang, secara langsung dapat memberikan dampak bagi warga masyarakatnya. Di samping memberi peluang usaha bagi sektor informal, juga memberikan dampak lain berupa munculnya perumahan padat sekitar terminal, maraknya premanisme di areal terminal, maraknya dunia hiburan malam seiring dengan maraknya prakek prostitusi.
Kondisi
ini
secara
langsung
penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA
menjadi
penyebab
timbulnya
44 4.2. Kondisi Demografi Jumlah penduduk Kelurahan Kebonlega pada bulan Nopember 2006 tercatat 18.267 jiwa, terdiri dari 9.231 jiwa (50,54 persen) laki-laki dan 9.036 jiwa (49,46 persen) perempuan. Tingkat kepadatan penduduk sebanyak 16.340 jiwa per kilometer persegi. Sebagaimana pada umumnya penduduk di wilayah perkotaan, penduduk di Kelurahan Kebonlega sangat heterogen dari berbagai budaya dan etnis. Dari jumlah penduduk tersebut jumlah warga negara keturunan sebanyak 728 jiwa (3,98 persen). Piramida penduduk dapat dilihat pada Gambar 3. : Laki-laki
Perempuan > 65 60 - 64 55 - 59 50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 05 - 09 0 - 04
10
9
8
7
6
5
Laki-laki
4
3
2
1
0 (dalam ratusan)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Perempuan
Gambar 3. Piramida Penduduk Kelurahan Kebonlega tahun 2006 Jumlah penduduk pada kelompok umur 15 sampai 44 tahun menempati jumlah terbanyak yaitu 9.181 jiwa (50,25 persen ) dari jumlah penduduk yang ada di Kelurahan Kebonlega. Kondisi tersebut bahwa di wilayah ini memiliki tenaga produktif yang juga merupakan satu pontensi dalam sumberdaya manusia apabila diberdayakan secara optimal. Pada sisi yang lain, golongan usia tersebut termasuk golongan usia yang rawan terhadap penyalahgunaan NAPZA. Kondisi ini juga menandakan bahwa penduduk wilayah ini dalam katagori penduduk muda, artinya usia muda produktif mendominasi dari kalkulasi golongan umur yang lebih tua. Pada kelompok umur di bawah lima tahun menjadi urutan ketiga terbanyak, yaitu
45 9,09 persen dari total penduduk. Penduduk Kelurahan Kebonlega mempunyai jumlah penduduk usia produktif relatif banyak, hal ini dikarenakan wilayah ini dijadikan
satu
alternatif
tujuan
para
pekerja
migran
untuk
mencoba
menggantungkan nasibnya di wilayah ini baik sebagai buruh lepas atau pekerja serabutan, usaha jualan kaki lima. Kebiasaan pekerja sektor ini pada umumnya dilakukan setelah musim tanam telah selesai dimana kurangnya aktivitas yang dilakukan di desanya. Keberadaan pekerja migran terbagi pada wilayah RW 09, RW 11, dan RW 13. Lokasi tersebut dikategorikan sebagai wilayah pemukiman padat dan kumuh. Terdapat kesenjangan yang mencolok antara warga perumahan golongan atas (real estate), terutama di wilayah RW 9 dan RW 10 dengan pemukiman yang padat dan kumuh, tidak layak huni baik segi kesehatan, sosial dan keamanan. Secara tindak langsung kondisi seperti demikian bisa menjadi pemicu timbulya permasalahan sosial berupa semakin melebarnya jarak pemisah antara kaum berekonomi tinggi dengan perumahan padat. Dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat setempat, dapat pengkaji jelaskan bahwa keberadaan etnis keturunan China yang berada di pemukiman masyarakat lokal sudah terjadi proses pembauran dengan warga sekitar, sementara yang memiliki tempat tinggal sekaligus sebagai tempat usaha di sepanjang jalan yang strategis pada umumnya relatif eksklusif dengan warga. Dalam menghadapi berbagai kegiatan yang memerlukan dukungan partisipasi dari masyarakat, pada umumnya warga keturunan relatif lebih memberikan bentuk partisipasinya dalam bentuk dana ataupun materi lainnya. Tingginya usia produktif membawa implikasi pada tingginya angkatan kerja. Kondisi tersebut jika tidak dibarengi dengan upaya-upaya berkaitan dengan penyediaan lapangan kerja, maka akan terjadi penumpukan jumlah angkatan kerja (pengangguran). Situasi seperti ini secara langsung dapat menimbulkan munculnya berbagai konflik sosial sebagai akibat timbulnya pergesekan berbagai kepentingan dalam kehidupan masyarakat. Munculnya berbagai masalah sosial dalam kehidupan masyarakat merupakan satu konsekuensi dari kehidupan di wilayah perkotaan yang heterogen, konsumtif, individualis, dan sarat dengan kompetitif.
46 4.3 Sistem ekonomi Mata pencaharian penduduk Kelurahan Kebonlega sangat beragam sebagaimna gambaran penduduk perkotaan pada umumnya. Sektor jasa dan informal merupakan pilihan sebagian besar penduduk wilayah ini. Pada sektor swasta, umumnya sebagai besar warga masyarakat sebagai pekerja/buruh. Adanya keterbatasan kemampuan dalam mengakses lembaga-lembaga pemberi pelayanan yang sudah terbentuk dalam jejaring sosial (networking), serta rumitnya prosedur dan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi sebagai akibat adanya birokrasi yang berbelit-belit, menyebabkan sebagian besar warga memilih mata pencaharian sebagai pelaku usaha sektor informal, seperti pedagang kecil dengan modal terbatas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:. Tabel 5. Jumlah dan Persentasi Penduduk Kelurahan Kebonlega Menurut Mata Pencaharian Tahun 2007 No
Mata Pencaharian
1
PNS/TNI/POLRI
2
Jumlah (Jiwa)
%
565
5,63
Buruh/Karyawan Swasta
5.920
59,05
3
Pedagang
3.442
34,33
4
Petani ladang
14
0,14
5
Pengrajin
83
0,82
10.024
100
Jumlah Sumber : Profil Kelurahan Kebonlega, 2006
Pihak swasta memberikan kontribusi yang relatif besar dalam penyerapan tenaga kerja terutama sektor jasa dan hiburan. Sebagaimana pada umumnya penduduk di wilayah perkotaan yang ditandai cepatnya pertumbuhan sektor industri dan jasa, menjadikan mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh/karyawan di perusahaan domestik maupun asing. Wilayah ini juga merupakan alternatif bagi pekerja migran untuk memperoleh fasilitas kerja, terutama sejak dioperasionalkannya terminal bus antar kota dan antar propinsi Leuwipanjang. Sebagai gambaran penduduk pendatang yang masuk untuk periode Nopember 2006 saja di Kelurahan Kebonlega tercatat 35 orang, sementara yang pindah sebanyak 19 orang (Mantis Kecamatan Bojongloa Kidul), secara langsung
47 pergerakan penduduk/mobilitas penduduk wilayah ini termasuk tinggi. Rata-rata dalam setiap tahunnya penduduk pendatang yang masuk wilayah ini sebanyak tercatat 365 orang/tahun, sementara yang pindah dari wilayah Kelurahan Kebonlega sebanyak 120 orang/tahun. Usaha mikro kecil dan menengah yang ada di Kelurahan Kebonlega sangat bervariasi dari mulai pengrajin sepatu, tas, konpeksi, pembuat roti, usaha jasa servis motor, jasa servis barang elektronik, jasa tambal ban, sampai pada pembuat makanan lokal. Proses produksi dijalankan sebagai usaha kerajinan rumah tangga. Terdapat pula usaha-usaha tersebut dalam bentuk usaha bersama (UBE) berdasarkan jenis produksi yang sama. Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah banyak menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi ini menurut pengamatan pengkaji, korban PHK tersebut beralih profesi menjadi pelaku usaha sektor informal. Masalah yang sering muncul berkenaan dengan terbatasnya lahan usaha yang tidak jarang di razia petugas penertiban satuan polisi pamong praja. Sebab keberadaan para pedagang kaki lima dianggap mengganggu keindahan kota. Kondisi ini menjadikan satu dilema baik pihak pemerintahan kota, juga sebaliknya bagi pelaku usaha sektor informal berupa pedagang kaki lima. Keberadaan masyarakat di Kelurahan Kebonlega yang merupakan kaum pendatang yang bergerak pada sektor informal pada umumnya berpendidikan relatif rendah, secara langsung bisa memunculkan kondisi yang akrab dengan berbagai keterbatasan yang cenderung menjadi miskin. Sangat beralasan mengapa para pelaku usaha sektor informal memilih lembaga keuangan model rentenir dalam modal usahanya. Dampak klasik dari praktek ini adalah warga masyarakat mulai terbelit dengan bunga pinjaman yang membelit dan berakar. Kondisi ini tidak gampang dalam upaya penanganannya, justru pada sisi yang lain kebijakan pemerintah yang lebih memihak pelaku usaha bermodal besar daripada bermitra kerja dengan pelaku usaha yang modalnya kecil, tidaklah berlebihan justru kondisi diciptakan kemiskinan yang tersetruktur. Hal ini ditandai dengan: beratnya persyaratan yang harus dilengkapi, birokrasi yang berbelit, ketidak-percayaan pihak perbankan kepada sektor informal, juga akibat dari pelaku usaha sektor informal sendiri dalam proses mengakses pelayanan modal tersebut.
48 4.4 Pendidikan Dalam segi pendidikan, untuk ukuran sebuah kelurahan di wilayah perkotaan, pendidikan masyarakat Kelurahan Kebonlega masih rendah, hal ini diakibatkan jumlah penduduk pada golongan tidak tamat SD dan hanya tamat SD masih relatif tinggi yaitu 32,77% dari jumlah komposisi penduduk yang ada. Upaya-upaya yang telah dilaksanakan berupa pembentukan Kelompok Belajar Paket A dan B, khusus bagi Pekerja Anak yang bekerja di Sektor Alas Kaki (PASAK) yang kegiatannya di pusatkan di Kelurahan Cibaduyut. Hasil yang telah dicapai program tersebut adalah adanya peningkatan pendidikan sebagian kecil PASAK yang jumlahnya tidak sedikit. Gambaran mengenai tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut: Tabel 6. Jumlah dan Persentasi Penduduk Kelurahan Kebonlega Menurut Tingkat Pendidikan, Tahun 2006 NO
TINGKAT PENDIDIKAN
JUMLAH
%
1
Belum Sekolah
2.009
10,99
2
Tidak Tamat SD
756
4,18
3
Belum Tamat SD
2.010
11,00
4
Tamat SD
5.223
28,59
5
Tamat SLTP
4.515
24,71
6
Tamat SLTA
2.712
14,84
7
Tamat Akademi/D3
538
2,94
8
Tamat Sarjana/S1
400
2,18
9
Tamat S2
102
0,55
19.267
100
Jumlah
Sumber : Profil Kelurahan Kebonlega, Tahun 2006
4.5 Gambaran Sosial Budaya dan Struktur Komunitas Dalam suatu masyarakat terjadi pelapisan sosial yang disebabkan oleh adanya pembagian kerja dalam masyarakat, konflik sosial dan kepemilikan pribadi (Kolopaking, 2003). Selain itu, proses pelapisan sosial juga dapat disebabkan faktor keahlian seseorang, senioritas, keaslian, hubungan kekerabatan dengan tokoh masyarakat, pengaruh kekuasaan, kepangkatan dan kekayaan.
49 Komunitas di Kelurahan Kebonlega pada umumnya terdiri dari campuran penduduk asli dan kaum pendatang baik yang menjadi penduduk tetap atau yang bersifat sementara. Hal tersebut menyebabkan wilayah ini sangat heterogen baik dari nilai-nilai masyarakat maupun dari pelapisan sosialnya. Kondisi tersebut sangat sulit mengidentifikasi proses pelapisan sosial yang ada di wilayah Kelurahan Kebonlega. Secara sederhana warga masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi di atas rata-rata secara kacamata sosial akan memperoleh kedudukan sosial baik lebih tinggi. Selain itu tingkat pendidikan juga mempengaruhi kedudukan seseorang dalam masyarakat. Stratifikasi sosial pada masyarakat pada umumnya dapat dilihat dari bentuk bangunan rumah, kepemilikan sarana transportasi, serta jenis pekerjaan. Tingginya tingkat heterogenitas dalam suku dan budaya di Kelurahan Kebonlega membentuk struktur secara horizontal yang ditandai dengan kesatuan sosial berdasarkan etnis dan agama. Sedangkan struktur sosial vertikal, ditandai dengan adanya pelapisan sosial yang terbentuk berdasarkan kemampuan ekonomi, atau status sosialnya. Dengan demikian pelapisan sosial yang ada di Kelurahan Kebonlega
pada
kenyataannya
dikaitkan
dengan
kemampuan
secara
materi/ekonomi, yang pada gilirannya terbentuk adanya lapisan sosial atas, lapisan sosial menengah, dan lapisan sosial bawah. Sebagai gambaran jumlah lapisan sosial bawah jumlahnya lebih banyak. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari sekretaris Kelurahan Kebonlega dan hasil olah data yang dilakukan pengkaji bahwa klasifikasi penduduk menurut proporsinya Kelurahan Kebonlega adalah: dua puluh persen untuk lapisan atas, tiga puluh persen untuk lapisan menengah, dan lima puluh persen untuk lapisan bawah. Tradisi dan kebiasaan masyarakat Jawa Barat seperti ririungan sarumpi (nilai-nilai kesetiakawanan sosial dan kegotong royongan) dan hirup sauyunan jeung sabilulungan (hidup saling tolong-menolong dan saling mengasihi) untuk saat sekarang sudah banyak terkikis oleh adanya berbagai pengaruh nilai dan budaya lain, saratnya kehidupan masyarakat kota yang kompetitif sebagai akibat tingginya heterogenitas warga masyarakat Kelurahan Kebonlega. Hal ini bisa dibuktikan dengan dominannya prinsip hidup individualisme dan ekslusif serta
50 segala sesuatu selalu diukur dengan kemampuan finansial ( Suluh Pasundan, 1998) Kehidupan individualistik telah banyak memberi pengaruh menipisnya kualitas dari pada kelembagaan ririungan sarumpi. Kehidupan masyarakat Kelurahan Kebonlega yang heterogen memicu timbulnya sifat memudarnya rasa kesetiakawanan sosial diantara warga masyarakat. Di antara nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan ririungan sarumpi yang banyak mengalami pergeseran, masih terdapat satu nilai etika kesopanan yang masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat Jawa Barat, khususnya warga masyarakat Kota Bandung yaitu kata “ punten “ acapkali terdengar apabila seseorang mau melewati kerumunan orang. Makna yang tersirat kata punten diterjemahkan dengan kata permisi. Nilai tersebut sudah melembaga dalam masyarakat Kota Bandung yang melambangkan bahwa budaya santun masih tetap terjaga.
4.6 Kelembagaan dan Organisasi Sosial Dinamika perkembangan komunitas dan kebudayaannya selalu ada kelembagaan sosial yang bersifat stabil, dan diakui masyarakat. Keberadaan kelembagaan sosial bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, maka kelembagaan tersebut dapat dikatagorikan berdasarkan jenis-jenis kebutuhan pokok, sebagai berikut (Darmawan dan Nasdian, 2003) : a. Kelembagaan kekerabatan/domestik, untuk memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan. Di Kelurahan Kebonlega terdapat Paguyuban Keluarga Perantau Garut (PKPG), Paguyuban Urang Ciamis, dan sejenisnya. b. Kelembagaan ekonomi, untuk memenuhi pencaharian hidup, memproduksi, menimbun, mendistribusi harta benda. Kelurahan Kebonlega kelembagaan ekonomi yang ada Koperasi, Persatuan Pengrajin Sepatu Cibaduyut, dan sejenisnya.. c. Kelembagaan pendidikan, untuk memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan, agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Di Kelurahan Kebonlega telah memiliki kelembagaan pendidikan formal, seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama. Pendidikan informal dilaksanakan di
51 Pondok Pesantren Al-Hudda, Taman Pendidkan Al-Qur’an (TPA) dengan dana swadaya dari masyarakat. d. Kelembagaan keagamaan, untuk memenuhi kebutuhan manusia di dalam hubungannya dengan Tuhan. Di Kelurahan Kebonlega terdapat Pondok Pesantren (Pontren) Al-Hudda, Pontren Sinar Miskin, Pontren Al-Basyariah, Pontren Al-Cojali DKM, IRMA, Majelis Taklim Al-Hidayah, Kerukunan Pemuda Gereja Filadefia Musa, dan Parsaudaraan Muda Dharma. e. Kelembagaan politik, untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan kelompok dalam skala besar atau kehidupan bernegara. Di Kelurahan Kebonlega kelembagaan politik yang disebut juga kelembagaan sektor publik di tingkat lokal mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasinya seperti LPM, PKK, Karang Taruna, Lembaga Keberdayaan Masyarakat Kota (LKMK), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan LSM Cibaduyut Peduli. f. Kelembagaan somatik, untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah manusia. Di Kelurahan Kebonlega kelembagaan Somatik yang ada adalah Puskesmas, Posyandu, Klinik, Pengobatan Alternatif, Bidan dan Dokter Praktek Umum. Keberadaan kelembagaan sosial kemasyarakatan yang ada di wilayah ini dipandang memiliki nilai strategi dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berpatisipasi secara aktif menanggulangi permasalahan sosial termasuk di dalamnya adalah masalah penyalahgunaan NAPZA.
4.7 Potensi Penguatan Lembaga Keagamaan Berdasarkan hasil peta sosial, dapat diketahui bahwa di Kelurahan Kebonlega terdapat berbagai kelembagaan baik yang bersifat formal maupun informal. Lembaga keagamaan yang ada meliputi; 4 buah Pondok Pesantren, 15 DKM, Kerukunan Pemuda Gereja Filadelfia Musa, dan Persaudaraan Muda Dharma. Kondisi tersebut merupakan satu potensi yang bisa diberdayakan berkaitan dengan upaya penguatan lembaga keagamaan, seiring dengan program pemerintahan Kota Bandung yaitu Perwujudan Kota Bandung Sebagai Kota Agamis. Dengan terwujudnya kehidupan masyarakat yang agamis secara langsung
52 diantaranya
bisa
mewujudkan
upaya-upaya
meningkatkan
kemampuan
masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Hasil dari observasi dan wawancara mendalam pada kegiatan Praktek Lapangan I dan II, kondisi lembaga-lembaga yang ada di Kelurahan Kebonlega kurang memiliki performa yang secara langsung mempengaruhi proses pelayanan dan pengelolaan lembaga tersebut. Hal ini disebabkan berbagai faktor, antara lain ; individu-individu pengurus atau pengelola lembaga pindah alamat, kurangnya proses kaderisasi, rendahnya sumberdaya manusia para pengurus, tidak memiliki jaringan mitra kerja, kurangnya kemampuan dalam merencanakan program, terbatasnya kemampuan dalam mengakses sistem sumber dan faktor yang lainnya. Beberapa hal yang melandasi memilih perlunya upaya penguatan lembaga keagamaan antara lain disebabkan melihat kenyataan kehidupan sekarang yang sarat akan kompetitif, sarat pancaroba, disertai berbagai macam krisis yang secara langsung mengakibatkan adanya kesenjangan sosial. Kondisi ini secara langsung mengakibatkan lemahnya kontrol sosial masyarakat. Pada gilirannya kondisi masyarakat seperti demikian sangat rentan terhadap berbagai masalah sosial termasuk di dalamnya masalah penyalahgunaan NAPZA. Dengan keberadaan terminal bus antar kota-antar propinsi Leuwipanjang secara langsung memberikan dampak positif berupa terdapatnya areal bagi usaha pada bidang informal, sewa atau kontrak kamar dan usaha jasa lainnya. Tetapi pada sisi yang lain seiring dengan hal tersebut secara tidak langsung menimbulkan kawasan pemukiman di sekitar terminal menjadi padat. Kondisi penghunian yang padat secara langsung berkaitan dengan meningkatnya angka tindak kriminalitas. Menurut informasi dari Kepolisian Sektor Bojongloa Kidul, setelah berdirinya terminal tersebut jumlah tindak kejahatan berupa penjambretan, pencopetan, penipuan serta pencurian selalu ada peningkatan. Ini sesuatu hal yang waar bila di wilayah tersebut terdapat sarana umum berupa terminal, stasion ataupun pelabuhan. Menurut Badan Narkotika Propinsi, wilayah Kecamatan Kebonlega merupakan salah satu wilayah yang relatif banyak dalam penyalahgunaan NAPZA, di wilayah ini terdapat 13 kasus, 5 kasus diantaranya ada di wilayah Kelurahan Kebonlega. Keberadaan komunitas pengguna NAPZA sangat sulit
53 untuk dijangkau oleh orang yang bukan pemakai. Komunitas tersebut dengan berbagai isyarat dan kode yang susah diartikan orang awam sudah menjadi bagian hidup dari masyarakat pada umumnya. Data yang diperoleh dari BNP tersebut adalah data sudah berkaitan dengan hukum, bisa diambil kesimpulan jumlah tersebut akan lebih banyak bagi mereka-mereka yang belum bersinggungan dengan aparat penegak hukum. Berdasarkan kodisi seperti dijelaskan di atas, maka penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA di wilayah ini bisa dikatagorikan sudah pada tingkat meresahkan warganya. Hal ini seperti yang dikemukakan Pimpinan Pondok Pesantren AL-Hudda, bahwa permasalahan sosial pemakaian NAPZA adalah musuh bersama, bukan saja umat Islam, tetapi umat-umat di luar Islam. Dengan melibatkan semua elemen masyarakat secara bersama-sama akan bisa lebih optimal memerangi Narkoba dari sekarang juga. Pernyataan tersebut setelah santri didiknya ada yang terkena narkoba. Salah satu upaya dalam menghadapi situasi berbagai krisis tersebut adalah dengan cara penanaman nilai-nilai agama berupa peningkatan nilai keimanan terhadap Tuhan yang mampu menangkal berbagai pengaruh termasuk besarnya pengaruh penyalahgunaan NAPZA. Nilai-nilai agama sebagai satu nilai yang mendasar diharapkan mampu mengantisipasi berbagai pengaruh buruk yang bisa merusak sendi-sendi kehidupan manusia. Di Kelurahan Kebonlega juga terdapat Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Klas II Banceuy. Keberadaan lembaga ini diharapkan memberikan kontribusinya kepada masyarakat terutama dalam pola pembelajaran tentang bagaimana dampak serta resiko dari penyalahgunaan NAPZA.
4.8 Evaluasi Program Pencegahan Narkoba Berbasis Keluarga Program yang pernah ada di Kelurahan Kebonlega adalah Program Pencegahan Narkoba Berbasis Keluarga. Program ini pada awalnya sebagai suatu upaya dari kelompok keluarga yang anak/anggota keluarganya menjadi pecandu NAPZA. Kegiatan ini sebagai bentuk kepedulian dari keluarga penyandang masalah untuk berbagi pengalaman tentang beratnya upaya menanggulangi korban penyalahgunaan NAPZA. Berdasarkan hasil wawancara dari tiga keluarga
54 penyandang masalah, berhasil diperoleh informasi bahwa atas dasar inisiatif dari keluarga-keluarga tersebut maka disusunlah sebuah proposal yang berisikan tentang perlunya diadakan pembelajaran kepada masyarakat dalam bentuk penyuluhan di lembaga sekolah yang ada di wilayah Kelurahan Kebonlega. Proposal tersebut ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kota Bandung, Kepolisian Sektor Bojongloa Kidul dan Kecamatan Bojongloa Kidul, serta Badan Narkotika Kota (BNK) Bandung sebagai tembusannya. Usulan proposal tersebut mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait yaitu Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan Kota Bandung, sehingga pada Tahun 2003, kegiatan penyuluhan tentang bahaya NAPZA dilaksanakan di SMP Negeri Bojongloa Kidul. Dampak yang dirasakan dari pengaruh penyalahgunaan NAPZA cukup banyak menyita tenaga, waktu dan tidak sedikit anggaran yang dikeluarkan dari perawatan kesehatan, sampai pada proses terapi dan rehabilitasi, baik yang diselenggarakan lembaga pelayanan yang ada maupun oleh pihak keluarga. Upaya pengobatan ketergantungan NAPZA merupakan upaya yang tidak gampang untuk dilaksanakan tanpa disertai dukungan dan kesungguhan
kerja keras serta
kesabaran yang tinggi terutama bagi pelaku itu sendiri, oleh keluarga dan kerabatnya, serta pihak-pihak terkait dalam merehabilitasi dampak dari penyalahgunaan NAPZA. Tanpa kesemuanya tersebut bentuk upaya apapun tidak akan menghasilkan secara maksimal. Tahun 2004, kegiatan upaya pencegahan narkoba berbasis keluarga mulai dimasukan dalam agenda kerja Kelurahan Kebonlega. Melalui proses dengar pendapat dari berbagai pihak terkait diperoleh satu kesepakatan tentang suatu upaya-upaya dalam wujud pembentukan Keluarga Peduli Bahaya Narkotika. Pembentukan keluarga semacam ini sebagai langkah pembelajaran kepada masyarakat luas tentang bahaya dari dampak buruk dari penyalahgunaan NAPZA melalui keluarga peduli. Pada awalnya program kegiatan dari Keluarga Peduli Bahaya Narkotika disatukan dalam agenda kerja PKK dalam unit kegiatan sadar hukum. Dipergunakannya
kelembagaan
PKK
dalam
upaya
pencegahan
penyalahgunaan NAPZA, karena berargumentasi bahwa peran para ibu dalam kesehariannya lebih dominan dalam pembentukan sikap dan kepribadian anak
55 yang baik dan hal tersebut merupakan satu nilai tersendiri dalam rangka pemberian pendidikan tentang bahaya dari penyalahgunaan NAPZA. Pihak-pihak yang terkait dan memiliki korelasi dalam pembelajaran masyarakat antara lain ; Dinas Kesehatan Kota Bandung, Dinas Pendidikan Kota Bandung, Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Banceuy Bandung, dan beberapa Lembaga Swadaya masyarakat (LSM), seperti Yayasan Rumah Cemara, Yayasan Bahtera, Yayasan Harapan Keluarga, Darrut Tauhid, YPK Batu Penjuru dan Yayasan Insan Kamil. Keberadaan LSM ini sangat membantu dalam proses pendidikan dan pembelajaran pada keluarga dan masyarakat pada umumnya baik berupa berbagai pengenalan dan informasi tentang bahaya NAPZA, pengenalan berbagai jenis terapi dan pengobatan, sampai pada upaya-upaya praktis yang harus dilaksanakan apabila
menjumpai
pelaku
penyalahgunaan
NAPZA,
serta
memberikan
penyuluhan hukum yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA.
4.8.1 Program Kegiatan Program pencegahan narkoba berbasis keluarga, secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Program kegiatan: a.
Pelatihan pengenalan NAPZA dan berbagai dampaknya.
b.
Pelatihan teknik membangun interaksi sosial dalam keluarga.
c.
Pelatihan teknik dan strategi pendidikan pada anak
d.
Pelatihan strategi hidup sehat.
2. Tujuan Pencegahan: a.
Mengembangkan keterampilan hidup, termasuk kesadaran diri, harga diri, pengambilan keputusan yang baik.
b.
Menyebarluaskan informasi benar tentang bahaya NAPZA melalui pendidikan keluarga
c.
Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial dari keluarga, kelompok sebaya dan lingkungan sosial
d.
Membangun kewaspadaan dan ketahanan masyarakat terhadap pengaruh NAPZA.
56 3. Alasan mengutamakan upaya pencegahan: a. Untuk mengembangkan individu yang sehat b. Untuk membantu individu dan keluarga dari dampak NAPZA. c.
Pencegahan memungkinkan individu dan keluarga melibatkan diri dalam kegiatan positif yang jauh dari pengaruh NAPZA.
4.8.2 Kepengurusan Sebagai suatu organisasi pelaksana dalam kegiatan pencegahan narkoba berbasis keluarga, kepengurusannya seperti dijelaskan pada gambar 4 berikut : PENANGGUNG JAWAB LURAH KEBONLEGA
KETUA Ny.Idris Atmawijaya WAKIL KETUA Ny. Danto W
LSM LSM
KELUARGA-KELUARGA DI SETIAP RT
KOORDINATOR LAPANGAN
MASYARAKAT Gambar 4. Kepengurusan Kegiatan Pencegahan NAPZA Berbasis Keluarga Keterangan : : Garis koordinasi dan kerjasama : Garis dukungan secara lansung : Garis UmpanBalik
Keberadaan kepengurusan dalam program tersebut, berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan pengkaji sudah tidak berjalan sama sekali. Hal-hal yang menyebabkannya adalah pengurus inti sudah berpindah tugas dan domisili serta tidak ada upaya proses kaderisasi . Salah satu faktor mengapa upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA belum maksimal disamping keterbatasan pengetahuan tentang NAPZA, juga karena masih adanya stigma buruk masyarakat terhadap penyandang masalah penyalahgunaan NAPZA yang dianggap sebagai aib bagi keluarga.
57 Berdasarkan pengamatan penulis, kegiatan program ini tidak berjalan secara optimal, hal ini dikarenakan: a. Para pengurus dari kelembagaan tersebut pindah tugas / domisili. b. Keterbatasan dalam segi dana sebagai dampak lemahnya dalam proses pengaksesan sistem sumber sebagai akibat terbatasnya sumberdaya manusia. c. Kerbatasan akan koordinasi antar lintas lembaga dan intansi. d. Kurangnya kepedulian warga masyarakat sebagai akibat keterbatasan dalam pengetahuan tentang masalah dan dampak dari penyalahgunaan NAPZA. e. Belum dilibatkannya lembaga keagamaan dalam upaya pencegahan NAPZA Atas dasar uraian tersebut, dapat diambil satu kesimpulan bahwa program pencegahan NAPZA berbasis keluarga tidak bisa melembaga dikarenakan tidak adanya upaya pengkaderan pengelola program tersebut.
4.8.3 Sumber Dana Pelaksanaan program ini dibiayai oleh alokasi dana Kelurahan Kebonlega, juga dari berbagai sumber, yaitu ; alokasi dana rutin Dinas Kesehatan Kota Bandung, alokasi dana rutin Dinas Pendidikan Kota Bandung, serta dana kegiatan pembinaan masyarakat Kepolisian Sektor Bojongloa Kidul. Pada umumnya kegiatan dilaksanakan dalam suatu kerjasama antar lintas instansi seperti pihak Kepolisian Sektor memberikan materi berkaitan dengan segi hukum, Dinas Kesehatan lebih menfokuskan pada dampak fisik berupa beberapa gangguan dari fungsi tubuh, sementara dari Lapas Narkotika memberikan materi dampak yang diakibatkan dari penyalahgunaan NAPZA berupa kurungan/masuk penjara sebagai media pembelajaran bagi pelajar dan masyarakat pada umumnya. Atas kondisi tersebut, penulis berupaya mengkaitkan program tersebut dengan upaya yang akan dilaksanakan melalui penguatan lembaga keagamaan yang ada di wilayah ini. Alasan yang mendasari program preventif penyalahgunaan NAPZA melalui penguatan lembaga keagamaan adalah karena lembaga ini memiliki daya tangkal dalam upaya pencegahan NAPZA dalam bentuk penguatan norma-norma agama yang mengalami kemunduran sebagai
58 akibat beragai fenomena sosial yang di latar belakangi munculnya berbagai krisis, baik ekonomi, krisis sosial, krisis moral yang ada pada kehidupan masyarakat dewasa ini.
VI. RENCANA STRATEGI PENGUATAN LEMBAGA KEAGAMAAN
Penguatan lembaga dapat dirumuskan sebagai perencanaan, penataan, dan bimbingan dari organisasi-organisasi baru atau yang disusun kembali, mencakup (a) mewujudkan perubahan dalam nilai, fungsi, teknologi fisik dan atau sosial, (b) menetapkan, mengembangkan, melindungi hubungan normatif dan pola tindakan baru, dan (c) memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan tersebut (Esman,1971). Penguatan kapasitas lembaga keagamaan merupakan suatu proses perubahan perilaku individu, organisasi/lembaga, dan sistem kemasyarakatan dalam mencapai tujuan yang efektif dan efisien. Pada proses penguatan lembaga terdapat tiga elemen yang mendukung yaitu; (a) meningkatkan kemampuan individu dalam pengetahuan, keterampilan dan sikap, (b) meningkatkan kemampuan kelembagaan organisasi, menajemen dan keuangan serta budaya, dan (c) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam kemandirian, keswadayaan serta mengantisipasi perubahan (Esman, 1971). Atas dasar pemikiran tersebut di atas, hasil proses pemetaan sosial dan hasil evaluasi program pengembangan masyarakat yang telah dilaksanakan di Kelurahan Kebonlega dipergunakan sebagai dasar pijakan untuk upaya penguatan lembaga keagamaan. Pengkaji berupaya mengajak stakeholders terkait yaitu: pengelola dan anggota lembaga keagamaan, pihak tokoh masyarakat, aparat pemerintah setempat untuk mencari faktor penyebab serta faktor akibat hingga perlunya upaya penguatan pada lembaga dan turut memberikan masukan bagaimana alternatif pemecahannya serta membuat program peningkatan kemampuan masyarakat mengantisipasi dan mencegah timbulnya masalah sosial termasuk pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Dalam kajian ini, sesuai dengan prinsip pengembangan masyarakat diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat dengan mengutamakan partisipasi dari bawah bersama-sama dengan masyarakat mengembangkan kesadaran atas potensi, masalah dan kebutuhan
80 masyarakat melalui upaya-upaya penguatan lembaga keagamaan secara partisipatif. Dalam proses menyusun program penguatan lembaga keagamaan, dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
6.1. Analisis Masalah dan Kebutuhan Masalah merupakan suatu kesenjangan antara kondisi yang ideal dengan kondisi yang ada pada saat ini. Kondisi yang ideal bisa berupa kondisi yang diharapkan atau yang diidamkan atau dicita-citakan, bisa juga sesuatu yang sebenarnya bisa dicapai, tetapi karena sesuatu hal ternyata belum diwujudkan (Sumardjo dan Saharudin, 2003). Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan pimpinan, pengelola dan sebagian anggota lembaga keagamaan telah terindentifikasi permasalahanpermasalahan yang dapat dikatagorikan sebagai berikut : 1. Masalah yang berkaitan dengan input yang tidak memadai meliputi: a. Terbatasnya pengetahuan.tentang NAPZA Masih terbatasnya pengetahuan pimpinan, pengelolah dan anggota berkaitan dengan bahaya dari masalah penyalahgunaan NAPZA. Kondisi ini mengakibatkan sikap kurang peduli terhadap masalah penyalahgunaan NAPZA beserta dampaknya. b. Terbatasnya sumberdaya manusia pengelola lembaga keagamaan. Kondisi ini berakibat pada lemahnya manajemen lembaga tersebut hingga pada gilirannya kurang memberikan kontribusinya terhadap masyarakat. c. Keterbatasan waktu dan sosialisasi, kondisi ini berakibat pada kurang maksimalnya
dalam
melaksanakan
program
kegiatannya
lembaga
keagamaan 2. Hal-hal yang berkaitan dengan output, meliputi: a. Terbatasnya kemampuan dalam menyusun program lembaga keagamaan.. b. Terbatasnya kemampuan dalam membangun jejaring sosial. c. Rendahnya kemampuan dalam mengakses sistem sumber
81 d. Belum diakomidirnya program khusus pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Bertitik tolak permasalahan yang didentifikasi tersebut, melalui diskusi kelompok dirumuskan kembali permasalahan yang paling dirasakan responden, sehingga teridentifikasi masalah-masalah yang bermuara pada lemahnya kemampuan masyarakat dalam mencegah masalah penyalahgunaan NAPZA. Selanjutnya penulis berusaha menuangkan pada pohon masalah yang menggambarkan masalah inti, penyebab dan akibatnya seperti yang tergambar pada gambar berikut : AKIBAT RENDAHNYA KEMAMPUAN LEMBAGA KEAGAMAAN DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NAPZA
BELUM DIAKOMIDIR PROGRAM ANTI NAPZA
LEMAH DALAM MENGAKSES SISTEM SUMBER
LEMAHNYA PENYUSUNAN PROGRAM
TERBATAS DALAM HAL JARINGAN SOSIAL
LEMAHNYA LEMBAGA KEAGAMAAN
KETERBATASAN PENGETAHUAN NAPZA
KETERBATASAN SUMBERDAYA MANUSIA
KETERBATASAN WAKTU DAN SOSIALISASI
SEBAB
Gambar 6. Analisis Permasalahan dan Kebutuhan Penguatan Lembaga Keagamaan Di Kelurahan Kebonlega,2007. Dari gambar 6, terlihat bahwa permasalahan yang ada yaitu kurangnya penguatan lembaga keagamaan disebabkan oleh berbagai hal antara lain mencakup; (a) rendahnya pengetahuan tentang bahaya yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan NAPZA. Hal ini dapat dibuktikan dengan pada umumnya belum mengenal berbagai jenis NAPZA yang beredar serta dampak yang ditimbulkan dari masing-masing jenis NAPZA tersebut. Kondisi ini menjadi salah satu sebab mengapa penyalahgunaan NAPZA dalam setiap watunya mengalami peningkatan baik dari sisi pemakai maupun sebagai pengedar gelap
82 NAPZA, (b) rendahnya sumberdaya manusia berkaitan pengetahuan dan pengalaman dalam manajemen kegiatan lembaga keagamaan, (c) lemahnya pemahaman fungsi dan peran lembaga keagamaan, hal ini diakibatkan rasa kurang memiliki sehingga berakibat pada keterbatasan dedikasi dan partisipasi terhadap keberadaan lembaga keagamaan, (d) keterbatasan waktu dan sosialisasi, menyebabkan kurang maksimalnya pelaksanaan kegiatan yang dilaksananakan lembaga keagamaan. Pada sisi yang lain, maraknya penyalahgunaan NAPZA seperti telah diutarakan sebelumnya, merupakan masalah sosial yang kompleks, kondisi ini dilatarbelakangi mulai dari adanya berbagai krisis baik ekonomi, krisis moral, dan krisis kepercayaan yang terjadi dalam kehidupan masayarakat. Diperburuk lagi dengan kondisi kehidupan masyarakat perkotaan yang sarat kompetensi, melembaganya nilai individualisme yang melunturkan nilai-nilai kesetiakawanan sosial, dan lemahnya dalam penegakan hukum. Kondisi tersebut secara langsung mengakibatkan lemahnya pengawasan sosial terutama berkaitan dengan masalah penyalahgunaan NAPZA.
6.2. Analisis Tujuan Tahap ini dilakukan bersama responden untuk menganalisis masalah dan merumuskan tujuan-tujuan yang akan dicapai, menyusun informasi dengan sistematik sehingga bisa menghasilkan sebuah rencana strategi atau kegiatan. Setelah responden menyepakati hal yang berkaitan dengan masalah, penyebab dan akibatnya dalam rangka menentukan tujuan yang menggambarkan suatu aksi. Dari analisis masalah, secara riil lembaga keagamaan menunjukkan adanya kebutuhan berupa perlunya penguatan beberapa variabel sehingga secara langsung dapat meningkatkan kemampuan masyarakat pada umumnya dalam mencegah masalah penyalahgunaan NAPZA. Mengacu pada penjelasan tersebut, selanjutnya mulailah disusun analisis tujuan berupa rancangan tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh masyarakat dalam mengatasi permasalahan yang ada. Penulis berusaha menuangkan dalam bentuk tujuan seperti pada gambar berikut:
83 H A S I L MENINGKATNYA KEMAMPUAN LEMBAGA KEAGAMAAN DALAM PENCEGAHAN NAPZA
DITERAPKANNYA PROGRAM ANTI NAPZA
MENINGKATNYA KEMAMPUAN MENGKASES SISTEM SUMBER
MENINGKATNYA KEMAMPUAN DLM PENYUSUNAN PROGRAM
TERWUJUDNYA JEJARING SOSIAL
MENGUATNYA LEMBAGA KEAGAMAAN
MENINGKATNYA PENGETAHUAN NAPZA
MENINGKATNYA SUMBERDAYA MANUSIA
KETERSEDIAAN WAKTU DAN SOSIALISASI
TINDAKAN
Gambar 7. Analisis Tujuan Penguatan Lembaga Keagamaan Di Kelurahan Kebonlega, 2007. 6.2. Analisis Alternatif Kegiatan Tahap ini dilaksanakan setelah pihak lembaga keagamaan dan masyarakat pada umumnya menentukan sendiri apa permasalahan yang sedang terjadi, dirasakan, potensi-potensi apa yang dimiliki dan kebutuhan-kebutuhan apa yang mendesak. Dari gambar 5, terlihat banyaknya rancangan tindakan yang bisa dilakukan lembaga keagamaan dalam mengatasi permasalahan yang ada. Dari analisis tujuan yang menghasilkan rancangan tindakan sebagai dasar penyusunan kegiatan alternatif yang akan dilakukan dalam upaya penguatan lembaga keagamaan. Dari hasil masukan responden tentang hasil alternatif masalah, kemudian penulis menuangkan hasil tersebut pada diagram alternatif kegiatan yang menggambarkan tindakan dan hasil. Analisis alternatif kegiatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
84 Tabel 10. Matrik Alternatif Kegiatan Dalam Penguatan Lembaga Keagamaan ALTERNATIF KEGIATAN
STRATEGI (PROGRAM)
HASIL YANG DIHARAPKAN
1
2
3
1. PENINGKATAN KAPASITAS INDIVIDU
Peningkatan pengetahuan tentang NAPZA
Meningkatnya pengetahuan, kemampuan, keterampilan, sikap dan moral pengurus dan anggota lembaga dalam: a. teknik berorganisasi yang baik terutama dalam penyusunan program dan bidang administrasi b. tentang berbagai jenis NAPZA dengan berbagai dampaknya c. teknik sosialisasi dan koordinasi d. terwujudnya moral dan sikap yang baik Menguatnya Kapasitas lembaga dengan a.tergalinya sistem sumber sebagai upaya pencarian dana lembaga, b.terwujudnya mitra kerja berupa pendampingan untuk kemandirian dan keberlanjutan , c. Meningkatnya kepemilikan kelengkapan fisik berupa sarana dan prasarana penunjang d. diadopsinya program anti NAPZA dalam program kegiatan lembaga. e. Menguatnya peran lembaga keluarga dalam mengantisipasi melalui penerapan pola asuh keluarga yang baik
Peningkatan kemampuan manajemen organisasi Penguatan Lembaga Keluarga Bimbingan moral dan sikap 2. PENINGKATAN KAPASITAS MANAJEMEN LEMBAGA
Peningkatan upaya pengaksesan sumber Peningkatan menciptakan jejaring sosial Peningkatan penyusunan Program Diterapkannya program anti NAPZA melalui
PENANGGUN G JAWAB
ALOKASI DANA
ASUMSI 5
Pimpinan, pengelola dan semua anggota serta tokoh masyarakat setempat
Lembaga keagamaan DKM AlHudda dan kemitraan dgn lembaga terkait dan pemerintahan setempat
Kapasitas pengurus dan anggota lembaga meningkat dan diharapkan memiliki kemauan dan kemampuan dalam partisipasi dalam menghadapi hambatan dan kendala
Pimpinan, pengurus dan seluruh anggota serta tokoh masyarakat setempat
Lembaga keagamaan DKM AlHudda kemitraan dgn lembaga terkait dan pemerintahan setempat
Menguatnya kapasitas lembaga keagamaan sehingga mampu memberikan kontribusi berupa peningkatan kemampuan masyarakat dalam mencegah permasalahan sosial yang ada
6.4 Analisis Pihak Terkait Analisis dilakukan agar alternatif kegiatan yang telah disusun dapat dijalankan, maka perlu adanya peran dari stakeholders baik formal maupun informal. Tahap ini dilakukan dengan diskusi kelompok, dimana setiap peserta mengidentifikasi stakehorders potensial yang memberikan kontribusi dalam pelaksanaan program. Selanjutnya secara bersama-sama mengidentifikasi kekuatan dan keterbatasan masing-masing stakeholders, serta menentukan upaya apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan peran. Berkaitan dengan hal tersebut, maka disusunlah analisis pihak terkait dalam penguatan lembaga keagamaan sebagaimana tersaji pada Tabel 11 berikut:
85 Tabel 11. Analisis Pihak Terkait Dalam Penguatan Lembaga Keagamaan NO
Peran
Kekuatan
Keterbatasan
Upaya Peningkatan Peran
1.
Pondok Pesantren Al-Hudda
- memiliki kapasitas dalam pendidikan agama dan penanaman nilai-nilai
Memiliki tujuan yang berorientasi akan profit
Meningkatkan kerjasama untuk menguatkan lembaga
2.
Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Banceuy
- Sebagai media pembelajaran bagi masyarakat terhadap kejahatan NAPZA
Kurangnya kontribusi terhadap masyarakat sekitar
Meningkatkan kerjasama dan membangun mitra kerja
3
Karang Taruna
- Memiliki akses dalam
- Rendahnya
Mengikuti penyuluhan sosial tentang NAPZA
kegiatan remaja/pemuda di Kelurahan 4.
Majelis setempat
Taklim
5.
LembagaTerkait (Dinas Kesehatan, Kantor Agama,Dinas Pendidikan, Polsek setempat, BNP/BNK
Pengetahuan ttg NAPZA
Memiliki pengaruh dalam kehidupan beragama dan memiliki jejaring
Terbatasnya pengetahuan tentang bahaya NAPZA
-Memiliki alokasi anggaran untuk penyuluhan NAPZA - Memiliki jejaring yang lebih luas
Kurang Koordinasi antar lintas intansi dan kurang dlm kontribusi
Sosialisasi program pencegahan dan penyelahgunaan NAPZA Meningkatkan sosialisasi program Memilih program yang berpihak pada msyrkt.
6.5 Potensi Pendukung Program Penguatan Lembaga Keagamaan Mengacu pada alternatif kegiatan yang telah tersusun sebelumnya dan dengan mempertimbangkan potensi-potensi yang dimiliki, maka bersama-sama responden yang hadir menentukan kegiatan yang diinginkan dalam penguatan lembaga keagamaan. Potensi-potensi yang dapat diidentifikasi adalah : 1. Secara Human Capital, adanya kemauan dari warga masyarakat untuk mengembangkan atau menguatkan lembaga keagamaan berdasarkan tingginya tingkat kepercayaan (trust) atas dasar kesamaan agama yang dianutnya, sehingga secara langsung dapat meningkatkan partisipasi. 2. Adanya Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Banceuy dapat dijadikan media pembelajaran kepada masyarakat dengan upaya membangun kerjasama sebagai mitra kerja yang dapat memberikan kontribusinya kepada masyarakat sekitarnya.
86 3.
Adanya Pondok Pesantren Al-Hudda sebagai lembaga pendidikan dalam bidang peningkatan nilai agama, aqidah agama yang secara langsung bisa memberikan pembelajaran kepada masyarakat sebagai upaya menangkal timbulnya permasalahan sosial.
4. Dukungan dari aparat kelurahan dan pemerintahan kota berupa penyediaan fasilitas, pendampingan dan pembiayaan.
6.6 Program Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA Program pencegahan NAPZA yang disusun menempatkan lembaga keagamaan sebagai media untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pencegahan NAPZA sebagai tujuan program. Adapun nama rencana strategi yang akan dilaksanakan adalah “Program Penguatan Lembaga Keagamaan Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif “ A. Tujuan 1. Meningkatkan kemampuan masyarakat berupa keterlibatan dan perannya dalam
kegiatan
pencegahan
masalah
penyalahgunaan
Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif. 2. Mengurangi penyandang masalah penyalahgunaan NAPZA baik segi kualitas maupun kuantitas serta mempersempit gerak pengedar gelap NAPZA. B. Sasaran 1. Anggota lembaga keagamaan yang pada umumnya dari unsur generasi muda, diharapkan dengan memiliki pengetahuan tentang bahaya NAPZA dan berbagai dampaknya, juga diharapkan memiliki kemampuan dalam tindakan preventif berupa upaya pencegahan masalah penyalahgunaan NAPZA untuk diri, keluarganya dan masyarakat pada umumnya. 2. Pengelola lembaga keagamaan, disamping memiliki pengetahuan dan keterampilan
dalam
mengelola
lembaga
sehingga
diharapkan
memberdayakan lembaga keagamaan yang dikelolanya. Pada sisi lainnya, dengan memiliki pengetahuan tentang bahaya NAPZA diharapkan akan
87 memberi masukan kepada lembaga keagamaan agar memiliki program khusus pencegahan penyalahgunaan NAPZA. 3. Pihak-pihak terkait di kelurahan Kebonlega, baik pemerintah , swasta dan masyarakat yang dijadikan sistem sumber dalam penguatan lembaga keagamaan sehingga masyarakat memiliki kemampuan dalam pencegahan masalah penyalahgunaan NAPZA. C. Kegiatan-Kegiatan Yang Dilaksanakan Penguatan lembaga keagamaan berupaya untuk meningkatkan kapasitas internal melalui upaya penguatan kapasitas individu, mengoptimalkan kapasitas lembaga berupa upaya peningkatan dalam bidang penggalangan dana, upaya membangun jejaring sebagai mitra kerja, pemenuhan kebutuhan kelengkapan fisik berupa sarana dan prasarana penunjang, serta mengadopsi program khusus berkaitan dengan anti NAPZA. Melalui upaya ini diharapkan keberadaan lembaga keagamaan DKM Al-Hudda dapat menjadi embrio dan alternatif dalam upaya meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pencegahan NAPZA melalui penguatan lembaga keagamaan serupa lainnya. Diharapkan dengan menguatnya lembaga keagamaan, secara langsung akan bisa meningkatkan kemampuan masyarakat dalam upaya pencegahan masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Program penguatan lembaga
keagamaan
di
Kelurahan
Kebonlega
Kecamatan Bojongloa Kidul sebagai berikut: 1)
Pelatihan pengelolaan organisasi dan pelatihan perencanaan partisipatif dengan tujuan meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilan dalam manajemen lembaga dengan pendekatan partisipatif. Adapun bentuk kegiatannya adalah pelatihan tentang administrasi organisasi, teknik membangun jejaring, teknik penggalangan dana, dan studi banding.
2)
Penyuluhan dan bimbingan sosial tentang penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain. Adapun bentuk kegiatannya adalah2 penyuluhan
tatap
muka
berupa
ceramah
dan
diskusi
dengan
mengintegrasikan informasi tentang bahaya NAPZA ke dalam kegiatan :
88 penyuluhan dan bimbingan sosial berupa pendidikan agama, moral dan hukum. 3)
Peningkatan
keterlibatan
keluarga
dalam
kegiatan
pencegahan
penyalahgunaan NAPZA. Adapun bentuk kegiatannya adalah pelatihan dan bimbingan Pola asuh keluarga yang baik dan pelatihan orang tua sebagai konselor. Berdasarkan hal tersebut di atas, rincian rencana program kegiatan dalam rangka penguatan lembaga keagamaan dapat dilihat pada Tabel 12 berikut :
89
90 D. Situasi Pendukung Pelaksanaan Program Dalam penyusunan program kerja untuk penguatan lembaga keagamaan perlu memperhatikan situasi-situasi tertentu yang dapat dijadikan pendorong, sehingga rancangan program yang telah disusun dapat direalisasikan dan disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai. Berdasarkan uraian dari bab sebelumnya, dapat diketahui situasi pendukung pelaksanaan program sebagai berikut: 1. Terbangunnya kesadaran pimpinan, pengelola dan anggota lembaga keagamaan tentang pentingnya pengaplikasian doktrin berupa normanorma dalam hal ini norma agama dalam mengelola lembaganya. 2. Terbangunnya kesadaran pimpinan, pengelola dan anggota lembaga keagamaan tentang pentingnya membangun jejaring sosial terhadap lembaga yang ruang lingkunya lebih besar dan luas. 3. Lembaga-lembaga lain yang ada telah memberikan kontribusinya kepada warga masyarakat.
6.7 Strategi penguatan Lembaga Keagamaan Strategi penguatan lembaga keagamaan dalam rangka meningkatkan kemampuan
masyarakat
dalam
pencegahan
penyalahgunaan
Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif yang digunakan adalah metode pembelajaran partisipatif dengan memberikan suasana belajar secara aktif melalui pembahasan kasus, role playing, simulasi dan pemecahan masalah. Penerapan strategi ini perlu ditunjang dengan bahan peragaan menganai bahasan yang akan dilatihkan serta tinjauan lapangan sebagai bahan perbandingan, kemudian membuat laporan menganai hasil peninjauan lapangan tersebut untuk didiskusikan. Pada kegiatan pemberdayaan lembaga keluarga bekerja sama dengan PKK setempat, Departemen Agama Kota Bandung berkaitan dengan penyuluhan dan pendidikan tentang pola asuh keluarga yang baik yang bisa menangkal permasalahan penyalahgunaan NAPZA. Dalam menerapkan strategi pencegahan yang disusun dan digunakan perlu disesuaikan dengan siapa pesertanya, apa tujuannya, dana yang tersedia dan waktu
91 yang diperlukan. Materi dan isi materi dalam upaya pencegahan sebagaimana pada Tabel 13 berikut : Tabel 13. Materi dan Isi Upaya Pencegahan NAPZA MATERI
ISI MATERI
1
Situasi masalah penyalahgunaan NAPZA
Keadaan dan perkembangan penyalahgunaan NAPZA di Indonesia
2
Penyalahgunaan Narkotika, psikotropika dan zat adiktif
A.faktor penyebab 1) faktor kepribadian 2) faktor pendorong 3) faktor pencetus B. akibat buruk pemyalahgunaan NAPZA 1) Fisik 2) Kesehatan 3) Jiwa/mental 4) Sosial 5) Kepatuhan pada hukum C. Pengaruh penyalahgunaan NAPZA terhadap orang tua, keluarga, dan masyarakat D. Pengaruh masalah penyalahgunaan NAPZA terhadap kondisi sosial, ekonomi dan keamanan
3.
Jenis-jenis bahan NAPZA yang disalah gunakan
A. Narkotika B. Psikotropika C. Zat-zat adiktif lain
4.
Gejala-gejala klinis keracunan
A. Gejala keracunan masing-masing jenis dan lepas ketergantungan NAPZA B. Gejala ketergantungan withdrawak Syndrome(putus zat) masing-masing jenis NAPZA
5
Kebijaksanaan dan program
a. b. c.
Kebijaksanaan umum Kebik\jaksanaan khusus Program-program Penerangan dan pencegahan Penegakkan hukum terhadap produsen, distributor dan konsumen ilegal
6.
Peran aktif masyarakat penanggulangan
a.
memberikan pengetahuan dan menggugah kesadaran masyarakat tentang masalah penyalahgunaan NAPZA. Memberikan kemampuan teknis kepada orang untuk berpatisipasi Mendorong orang untuk berpartisipasi fungsi-fungsi dan bidang-bidang kegiatan dimana masyarakat bisa berpatisipasi
dalam
b. c.
masalah
92 Tabel 14. Metode, Teknik dan Media Upaya Pencegahan NAPZA Metode
Teknik
Media
1
Penyuluhan
a. Ceramah dan tanya jawab b. Temu wicara c. Sarasehan d. Seminar e. Pameran f. Pawai
Papan tulis, OHP, Slide, Film, poster, leatflet dan makalah
2
Bimbingan sosial
a. wawancara b. Konseling
Gambar, leatflet dan booklet
3
Pendidikan
a. Seminar b. Pelatihan c. Diskusi d. Simulasi e. Integrasi ke dalam kurikulum sekolah
Makalah, booklets, dan buku
Strategi penguatan lembaga keagamaan dalam rangka meningkatkan kemampuan
masyarakat
dalam
pencegahan
penyalahgunaan
Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif dapat dilakukan dengan cara: 1. Secara langsung, berupa: a. Penguatan Human Capital, mendorong pembentukan forum kerukunan lintas agama sebagai wadah untuk membangun kerekatan dan kerjasama antar agama dalam menanggulangi penyalahgunaan NAPZA. b. Penguatan Capital Sosial, mendorong tim negosiasi dan kerjasama kepada lembaga-lembaga yang ada dengan harapan adanya kontribusinya terhadap masyarakat disekitarnya. c. Pemberdayaan Kelembagaan Keluarga, mendorong berdayanya lembaga PKK di kelurahan dengan mengadakan Klinik Kosultasi Keluarga sebagai media konsultasi keluarga-keluarga terutama yang memiliki masalah dalam kehidupan berumah tangga. d. Penguatan Pengawasan Sosial, dihidupkan kembali sistem keamanaan lingkungan dengan melakukan ronda malam secara bergilir, termasuk meningkatkan wilayahnya.
kewaspadaan
terhadap
peredaran
gelap
NAPZA
di
93 2. Secara tidak langsung, berupa peningkatan komitmen Pemerintah Kota Bandung dalam memberdayakan masyarakat melalui kelembagaan keagamaan seiring dengan program Bandung Sebagai Kota Agamis. Idealnya program tersebut direalisasikan pada pembinaan lembaga keagamaan yang ada terutama dalam bidang pengadaan fasilitas fisik, karena berdasarkan observasi penulis pada umumnya lembaga keagamaan minim akan fasilitas fisik. Berkaitan dengan upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA, Pemerintah Kota Bandung harus mampu memberdayakan Badan Narkotika Propinsi dan Badan Narkotika Kota Bandung yang masih minim dalam kontribusinya terhadap masalah penyalahgunaan NAPZA. Strategi pelaksanaan kegiatan penguatan lembaga keagamaan dapat dilihat pada gambar 9 berikut:
Tidak Langsung
Pemkot Bandung (BNK)
Pencegahan Penyalahgu naan NAPZA
Langsung
Lembaga Keagamaan
Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Keagamaan
A. Penguatan Human Capital B. Penguatan Capital Social C. Pemberdayaan Kelembagaan Keluarga D. Penguatan Pengawasan Sosial
Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA
Gambar 9. Strategi Penguatan Lembaga Keagamaan di Kelurahan Kebonlega, 2007 Untuk melaksanakan kegiatan yang telah disusun bersama lembaga keagamaan DKM Al-Hudda dan untuk menjaga kesinambungannya, perlu disusun strategi penguatan lembaga keagamaan dalam penguatan norma-norma, pemberdayaan pimpinan, melengkapai fasilitas fisik, membangun jaringan kerja
94 yang luas, menyusun program yang
baik. Dengan kondisi seperti tersebut
diharapkan akan meninkatkan kemampuan masyarakat dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA. Peranan Pemerintahan Kota Bandung antara lain; (a) menekankan keberfungsian lembaga Badan Narkotika Kota Bandung dalam distribusinya kepada masyarakat berkaitan dengan tugasnya, (b) menfasilitasi lembaga keagamaan dalam melaksanakan kegiatan dengan lembaga-lembaga serupa yang tingkatnya lebih besar dan luas, (c) memberi bantuan dalam melengkapi fasilitas fisik sebagai upaya perwujudan Kota Bandung Agamis.
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
7.1. Kesimpulan a. Performa lembaga keagamaan belum optimal memberikan kontribusinya kepada masyarakat dalam menangani permasalahan sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat keterbatasan sumberdaya manusia, dan adanya pengaruh globalisasi masuknya nilai-nilai individualisme, sistem kompetensi dalam setiap segmen kehidupan, juga akibat berbagai krisis yang terjadi. b. Permasalahan di lembaga keagamaan antara lain adalah lemahnya kapasitas pemimpin, lemahnya dalam penyusunan program, melemahnya norma-norma,
lemahnya
dalam
membangun
jaringan
kerja,
dan
terbatasnya fasilitas yang dimiliki. c. Kurangnya dukungan pemerintah daerah, kurangnya kontribusi dari lembaga terkait, serta kurangnya koordinasi antar lembaga dalam menjalankan suatu program atau kegiatan d. Diperlukan strategi dan program penguatan lembaga keagamaan dengan maksud untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA dengan cara: (1) Secara langsung yaitu mendorong peningkatan pengetahuan tentang NAPZA dan berdampaknya dalam bentuk penyuluhan dan bimbingan sosial menyangkut bimbingan agama, moral dan hukum (2) Secara tidak langsung, dilakukan dengan cara mendorong pemerintah kota untuk melakukan upaya-upaya memberdayakan lembaga keagamaan sebagai solusi pencegahan penyalahgunaan NAPZA sebagai wujud realisasi dari Bandung Kota Agamis
7.2. Rekomendasi Kebijakan Untuk mendukung terlaksananya program yang telah disusun tersebut, perlu adanya rekomendasi kebijakan terhadap:
96 a. Pemerintah Kota Bandung, agar dapat menyusun kebijakan berupa peraturan/keputusan berupa penguatan peran lembaga keagamaan sebagai media upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA sebagai tindak lanjut dari Program Perwujudan Bandung Sebagai Kota Agamis, menfungsikan lembaga Badan Narkotika Kota dalam memberikan kontribusinya kepada masyarakat, serta mendukung program yang telah disusun bersama masyarakat. b. Pemerintahan Kelurahan, agar dapat : (a) Mendukung rancangan kegiatan yang disusun masyarakat melalui APB Kelurahan, (b) meningkatkan fungsi Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebagai wadah dalam pembinaan keluarga,
DAFTAR PUSTAKA Abbot, John. 1996. Sharing The City : Community Participation in Urban Management. Erthscan Publiication Ltd, London. Adi, Isbandi Rukminto. 2001. Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan Interaksi Komunitas. Jakarta. Lembaga Penerbit FE.UI. ......................2002. Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Lembaga Penerbit FE.UI. Jakarta. Achlis. 1983. Bimbingan Sosial Kelompok. Kopma STKS. Bandung Adimihardja, Kusnaka & Hikmat. 2003. Participatory Research Appraisal : Pengabdian dan Pemberdayaan. Humaniora. Bandung. Ancok, Djamudin. 2005. Investasi Sosial. La Tofi Enterprise. Jakarta. Bamberger, Michael. 1989. Community Participation in Project Management. Asian and Pasific Development Centre. Malaysia. BNN. 2004. Komunikasi Penyuluhan Pencegahan Narkoba. Pollytech Press. Jakarta. Bricker, Jenkins Marry dkk. 1991. Feminist Social Work Practice In Clinical Setting. Sage Publication. New Delhi. Chamsya Bactiar.2003. Pembangunan Kesejahteraan Sosial Dalam Perspekstif Lembaga Keagamaan.Departemen Sosial RI.Jakarta Carry, Lee J. 1970. Community Development As a Proces. Univercity of Missouri Press. Colombia. Cendekia, Ilham. 2002. Metode Fasilitasi Pembuatan Keputusan Partisipatif. PETTIRO. Jakarta. Cohen, Bruce J. 1997. Sosiologi Suatu Pengantar. Reneka Cipta. Jakarta. Darmajanti. 2002. Kehidupan Berorganisasi sebagai Modal Sosial Komunitas, Artikel Jurnal Masyarakat No.11 Tahun 2002, hal.62-88. Jakarta. Departemen Sosial RI, 2005. Metode Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA. Tat Twan Asih Press. Jakarta. Departemen Sosial RI. 1996. Pola Dasar Pembangunan Kesejahteraan Sosial Tat Twan Asih. Jakarta..
98 Dharmawan dan Nasdian.2003.Sosiologi Perkembangan Komunitas.Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian IPB.Bpgor Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga. 2002. Standarisasi Bimbingan Kesejahteraan Sosial Keluarga. Departemen Sosial RI. Jakarta. Dunham, Arthur. 1970. The New Community Organization. Thomas Y.Crowell Company. New York. Dubois, Brenda & Milley , Kelia Kongrud. 1992. Social Work An Empowering Profession. Allyn and Ba. Boston. Eaton, Joseph W. 1977. Intitution Building and Development : From Concept to Application. Pitburgh Pennylvania. Esman P.1971.Pembangunan Lembaga Keagamaan dalam Perspektif Tantangan di Era Globalisasi. SalmanAl-Farissi Press. Bandung Fukuyama, Francis. 2002. The Great Disruption and Trust. Penerbit Qalam. Yogjakarta. Hidayat. 1986. Peran Sektor Informal dalam Perekonomian Kota.LPM Unpad. Bandung. Ife, Jim. 1995. Community Development : Creating Community Alternatives, Analysis and Practice. Pearson Education. Australia. Israel, Alturo. 1992. Pengembangan Kelembagaan Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia. Iskandar, Jusman. 1993. Strategi Dasar Membangun Kekuatan Masyarakat. Kopma STKS. Bandung. Irwanto. 1998. Focus Group Discussion (FGD) : Sebuah Pengantar Praktis. UKI Atmajaya. Jakarta. IzzamuddinTaufik.2006.Perspektif Lembaga Dunia.Penerbit Qalam. Yogjakarta
Keagamaan
dalamGlobalisasi
Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. PT Pustaka. Jakarta. Kartono, Kartini. 1996. Patologi Sosial : Sebagai Sebuah Pengantar. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Kayam Umar.1987. Eksistensi Mesjid dan Berbagai Fungsinya Dalam, Masyarakat. Penerbit Qalam. Yogjakarta
99 Marliyantoro, 2002. Konsep dan Relevansi Modal Sosial (Artikel jurnal). Yogjakarta. Mikkelsen, Britha. 1999. Metoda Penelitian Participatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Moleong, Lexy J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya. Bandung. Nasdian, Tonny Fredian. 2003. Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial. Pascasarjana IPB. Bogor.. Nasdian, Tonny dan, Lala M. Kolopaking. 2003. Pengembangan Masyarakat. Pascasarjana. Bogor. Nurdin, M. Fadil. 2000. Faktor-Faktor Strategik Dalam Pembangunan Masyarakat : Pembangunan dan Dinamika Masyarakat Malaysia. Publication & Distributor. Kuala Lumpur. Patilima, Hamid. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Alfabeta. Bandung. Prijono, Onny S & Pranarka, dkk. 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi. CSIS. Jakarta. Rita.at.al,2001. Pengantar Psikologi Sosial, Alfabeta. Bandung Rubin dkk.1992. Eksistensi Modal Sosial dalam Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Rustanto, Bambang, dkk. 2005. Menuju Indikator Kesejahteraan Keluarga : Suatu Tujuan Konseptual. Departemen Sosial RI. Jakarta. Schwandt, Thomas A. 2001. Dictiory of Qualitative Inquiry. Sage Publication. Calofornia. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta. Bandung. Suharto, Edi.1997. Pembangunan, Kebijakan dan Pekerjaan Sosial : Spectrum Pemikiran. LSP STKS. Bandung. Sulistiati, dkk. 2006. Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial : Konsepsi dan Strategi. Depertemen Sosial RI. Jakarta. Susilawati, dkk. 2006. Diskusi Kelompok Terfokus : Manual Praktek Teknologi Pengembangan Masyarakat. LSP STKS. Bandung. Syahyuti, 2003. Berbagai Tinjauan dan Aspek dalam Penguatan Kapasitas Kelembagaan. Alfabeta. Bandung
100
Tetrawaty. 1989. Hubungan Antara Family Relationship dengan Teknologi Sosial Remaja dan Siswa. Qalam. Yogjakarta. Undang-Undang RI Tentang Psikotropika Nomor 5 Tahun 1997 Undang-Undang RI Tentang Narkotika Nomor 22 Tahun 1977.
100