HUBUNGAN POLA INTERAKSI DENGAN MOTIF PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN ZAT ADIKTIF (NAPZA) DI KALANGAN REMAJA
QANITA WINDYANGGIVA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) di Kalangan Remaja adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Qanita Windyanggiva NIM I34100042
ABSTRAK QANITA WINDYANGGIVA. Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) di Kalangan Remaja. Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS. Indonesia memiliki histori cukup panjang mengenai persoalan kenakalan anak dan remaja yang kini telah memasuki titik rawan. Salah satu masalah yang mengkhawatirkan adalah kasus penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik individu dan karakteristik keluarga, pola interaksi remaja penyalahguna Napza, menganalisis motif penyalahgunaan Napza, serta menganalisis hubungan pola interaksi dengan motif penyalahgunaan Napza. Penelitian ini menguji dua pola interaksi yang dimiliki penyalahguna Napza, yaitu pola interaksi keluarga dan pola interaksi pertemanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik pola interaksi keluarga maupun pola interaksi pertemanan memiliki hubungan dengan motif penyalahgunaan Napza. Kata kunci: Napza, pola interaksi, motif penyalahgunaan Napza ABSTRACT
QANITA WINDYANGGIVA The Relationship between The Pattern of Interaction with The Motives of Drug Abuse among Adolescents. Supervised by DJUARA P. LUBIS. Indonesia has a fairly long history on the issue of child and adolescent delinquency that has now entered the critical points. One of the worrying problem is the case of drug abuse (narcotics, psychotropic and addictive substances). This study aimed to describe the individual characteristics and family characteristics, patterns of interaction adolescent drug abusers, analyze motives drug abuse, as well as analyzing the interaction patterns of relationship with drug abuse patterns. This study examines two patterns of adolescent drug abusers, there are the family interaction patterns and friendship interaction pattern. The results showed that both family interaction patterns and interaction patterns of friendship has a relationship with drug abuse patterns.
Keywords: drug, patterns of interaction, motifs of drug abuse
HUBUNGAN POLA INTERAKSI DENGAN MOTIF PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN ZAT ADIKTIF (NAPZA) DI KALANGAN REMAJA
QANITA WINDYANGGIVA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
v
Judul Skripsi : Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) Di Kalangan Remaja Nama
: Qanita Windyanggiva
NIM
: I34100042
Disetujui oleh
Dr Ir Djuara P. Lubis, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus :_____________________
PRAKATA
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan anugerah-Nya serta kesempatan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan sebaik-baiknya. Skripsi yang berjudul “Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) di Kalangan Remaja” ini mengupas tentang hubungan pola interaksi yang terjalin di kalangan remaja dengan motif remaja tersebut manyalahgunakan Napza. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Djuara P. Lubis, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian Skripsi ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada Ibu Novarita Dwi Suryani dan Bapak Dwi Windu Suryono selaku orangtua tercinta serta Akhmad Steivano dan Rury Narulita Septari selaku kakak tersayang, yang selalu memberikan saran, masukan, dukungan dan doa yang sangat bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman suka duka dan seperjuangan, Aufa, Chaca, Debby, Echa, Fifi, Jihan, Mutia, Raissa, dan Uty yang telah memberikan dukungan, saran, dan ide-ide sehingga memberikan pencerahan kepada penulis dalam penulisan Skripsi ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Ghulam Halim Furqoni yang selalu menyuguhkan waktunya untuk membantu penulis, Andika Sefri Mulya, Ka Jabbar, Ka Ochi, Eben, Ka Herna, dan Ijal yang selalu memberikan support dalam penulisan Skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada mahasiswa Departemen SKPM seluruh angkatan, khususnya SKPM 47, yang selalu menemani dalam proses perkuliahan selama beberapa tahun ini dan memberikan pelajaran bermakna kepada penulis. Tidak lupa terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman HIMASIERA, khususnya divisi Broadcast, teman-teman UKM MAX!! IPB, dan komunitas Stand Up Indo Bogor yang selalu memberikan semangat kepada penulis. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2014
Qanita Windyanggiva
xi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL x DAFTAR LAMPIRAN xi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 3 Kegunaan Penelitian 4 TINJAUAN PUSTAKA 5 Remaja 5 Perilaku Menyimpang 5 Penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) 6 Pola Interaksi 8 Penyalahgunaan Napza dan Pola Interaksi dalam Keluarga 8 Penyalahgunaan Napza dan Pola Interaksi dalam Lingkungan Pertemanan 9 Motif 12 Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Napza 13 Kerangka Pemikiran 15 15 Hipotesis Penelitian Definisi Operasional 16 PENDEKATAN LAPANGAN 19 Metode Penelitian 19 Lokasi dan Waktu 19 Teknik Pemilihan Responden dan Informan 19 Teknik Pengumpulan Data 20 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 20 GAMBARAN UMUM 23 Profil Rumah Singgah PEKA 23 Program Rumah Singgah PEKA 24 Struktur Organisasi 26 KARAKTERISTIK PENYALAHGUNA NAPZA 27 Usia 29 Jenis Kelamin 29 Tingkat Pendidikan 29 Status Pekerjaan 30 Tingkat Penerimaan 30 Status Pernikahan Orangtua 31 Tingkat Pendidikan Orangtua 31 Tingkat Penerimaan Orangtua 31 POLA INTERAKSI PENYALAHGUNA NAPZA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK INTERNAL 33 Pola Interaksi 34 Pola Interaksi Keluarga 34 Hubungan Karakteristik Individu dan Karakteristik Keluarga dengan Pola Interaksi Keluarga 35 Hubungan Usia dengan Pola Interaksi Keluarga 36 Hubungan Jenis Kelamin dengan Pola Interaksi Keluarga 38 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pola Interaksi Keluarga 38 Hubungan Status Pekerjaan dengan Pola Interaksi Keluarga 40 Hubungan tingkat penerimaan dengan pola interaksi keluarga 40
xii
Hubungan Status Pernikahan Orangtua dengan Pola Interaksi Keluarga 42 Hubungan Tingkat Pendidikan Orangtua dengan Pola Interaksi Keluarga 43 Hubungan Tingkat Penerimaan Orangtua dengan Pola Interaksi Keluarga 45 Pola Interaksi Pertemanan 46 Hubungan Karakteristik Individu dan Karakteristik Keluarga dengan Pola Interaksi Pertemanan 47 Hubungan Usia dengan Pola Interaksi Pertemanan 48 Hubungan Jenis Kelamin dengan Pola Interaksi Pertemanan 49 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pola Interaksi Pertemanan 50 Hubungan Status Pekerjaan dengan Pola Interaksi Pertemanan 51 Hubungan Tingkat Penerimaan dengan Pola Interaksi Pertemanan 52 Hubungan Status Pernikahan Orangtua dengan Pola Interaksi Pertemanan 53 Hubungan Tingkat Pendidikan Orangtua dengan Pola Interaksi Pertemanan 54 Hubungan Tingkat Penerimaan Orangtua dengan Pola Interaksi Pertemanan 56 MOTIF PENYALAHGUNAAN NAPZA DAN HUBUNGANNYA DENGAN POLA INTERAKSI 58 Motif Penyalahgunaan Napza 58 Motif Organismis Penyalahgunaan Napza 58 Motif Sosial Penyalahgunaan Napza 59 Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Napza 60 Hubungan Pola Interaksi Keluarga dengan Motif Organismis Penyalahgunaan Napza 61 Hubungan Pola Interaksi Keluarga dengan Motif Sosial Penyalahgunaan Napza 63 Hubungan Pola Interaksi Pertemanan dengan Motif Organismis Penyalahgunaan Napza 64 Hubungan Pola Interaksi Pertemanan dengan Motif Sosial Penyalahgunaan Napza 66 PENUTUP 68 Simpulan 68 Saran 69 DAFTAR PUSTAKA 70 LAMPIRAN 72 RIWAYAT HIDUP 78
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11
12
13
14
15 16
17 18 19 20
Pola interaksi dan motif penyalahgunaan Napza Kriteria pengukuran korelasi Karakteristik individu dan karakteristik keluarga responden penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase responden menurut pola interaksi keluarga penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Nilai koefisien korelasi dan signifikansi korelasi berdasarkan hasil pengujian korelasi antara karakteristik internal dengan pola interaksi keluarga responden penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut usia responden penyalahguna Napza di di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut jenis kelamin penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat pendidikan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut status pekerjaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat penerimaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut status pernikahan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat pendidikan ayah penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat pendidikan ibu penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat penerimaan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase responden menurut pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Nilai koefisien korelasi dan signifikansi korelasi berdasarkan hasil pengujian korelasi antara karakteristik internal dengan pola interaksi pertemaanan responden penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut usia responden, Penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut jenis kelamin penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat pendidikan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut status pekerjaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
13 21 28 33 34
35 37 37 38 39 41
42
43
44
45 46
47 48 49 50
xi
21 22
23
24
25
26 27 28
29 30 31 32
Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat penerimaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut status pernikahan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat pendidikan ayah penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat pendidikan ibu penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat penerimaan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase responden menurut motif organismis Penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase responden menurut motif sosial, Penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Nilai koefisien korelasi dan signifikansi korelasi berdasarkan hasil pengujian korelasi antara pola interaksi penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase motif organismis menurut pola interaksi keluarga penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase motif sosial menurut pola interaksi keluarga penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase motif organismis menurut pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Jumlah dan persentase motif sosial menurut pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
51 52
53
54
55
57 58 60
61 62 63 65
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5
Jadwal pelaksanaan penelitian Dokumentasi Kegiatan Data output program Harm Reduction Rumah Singgah PEKA Diagram output program Harm Reduction Rumah Singgah PEKA Diagram perkembangan klien berdasarkan WHO-QO
71 72 74 75 76
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang Globalisasi bukan hanya membawa dampak positif, namun juga dampak negatif berupa munculnya masalah-masalah sosial. Berbagai masalah sosial yang melanda masyarakat Indonesia sejak abad 20 hingga saat ini berdampak pada munculnya krisis pada semua aspek kehidupan manusia. Lesile dalam Hurlock (1980) mengemukakan batasan mengenai masalah sosial sebagai suatu kondisi yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sebagian besar warga masyarakat sebagai sesuatu yang tidak diinginkan atau tidak disukai. Nasution dan Nashori (2007) mengkategorikan masalah-masalah sosial ke dalam beberapa kategori, yaitu (a) problema ekonomis berupa kemiskinan dan pengangguran, (b) problema biologis berupa timbulnya berbagai penyakit, (c) problema biopsikologis seperti kegilaan, stres, bunuh diri, dan penyakit saraf, serta (d) problema kebudayaan antara lain perceraian, kejahatan dan kenakalan anak dan remaja. Stark dalam Santrock (2012) membagi masalah sosial menjadi tiga macam, yaitu konflik dan kesenjangan, perilaku menyimpang, serta perkembangan manusia. Sarwono (2002) mengungkapkan perilaku menyimpang (deviation) adalah semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma agama, etika, peraturan sekolah dan keluarga, dan lain-lain), namun jika penyimpangan itu terjadi terhadap norma-norma hukum pidana hal ini dapat disebut sebagai kenakalan (deliquent). Di Indonesia persoalan kenakalan anak dan remaja telah memasuki titik rawan. Selain intensitasnya meningkat, kenakalan anak dan remaja sudah mengarah ke kenakalan yang bersinggungan dengan perbuatan kriminal. Anak dan remaja usia belasan tahun telah terlibat tidak hanya dalam kasus-kasus perkelahian dan minum-minuman keras, tetapi juga kasus pencurian, perampokan, perusakan atau pembakaran, seks bebas, bahkan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif berbahaya atau Napza. Berdasarkan survei bersama Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia tahun 2008, penyalahgunaan Napza di Indonesia menunjukkan tren meningkat. Besaran penyalahgunaan Napza di Indonesia diperkirakan sekitar 3,1 sampai 3,6 juta orang. Bisnis Napza di Indonesia sedang berjalan cepat menuju skala masif. Menurut perkiraan BNN, volume perdagangan (jumlah uang yang dibelanjakan untuk membeli Napza) mencapai Rp 15,4 triliun per tahun. Penelitian ini pun menghasilkan prevalensi penyalahgunaan Napza pada tahun 2005 sebanyak 1,75 persen pengguna Napza dari jumlah penduduk di Indonesia. Prevalensi itu naik menjadi 1,99 persen pada tahun 2008. Hingga pada tahun 2012, diproyeksikan angka sudah mencapai 2,8 persen atau setara dengan 5,8 juta penduduk Indonesia. Kepala polisi daerah Jawa Barat juga mengungkapkan bahwa pada tahun 2008 kasus penyalahgunaan Napza di Jawa Barat meningkat sebesar 173% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 1.400 kasus kini menjadi 3.463 kasus. Pada akhir tahun 2012 lalu, BNN merilis bahwa jumlah pengguna Napza di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. (Sumber: www.bnn.go.id/)
2
Menurut Convention on the Rights of the Child (CRC) yang juga disepakati Indonesia pada tahun 1989, setiap anak berhak mendapatkan informasi kesehatan reproduksi, termasuk HIV/AIDS dan Napza serta dilindungi secara fisik maupun mental. Realita yang terjadi saat ini bertentangan dengan kesepakatan tersebut, karena telah ditemukannya anak usia tujuh tahun yang mengonsumsi Napza jenis inhalan (uap yang dihirup). Anak usia delapan tahun sudah memakai ganja. Kemudian, di usia sepuluh tahun anak-anak menggunakan Napza dari beragam jenis, seperti inhalan, ganja, heroin, morfin, ekstasi, dan sebagainya. Masyarakat di sejumlah kota-kota besar di Indonesia, termasuk Kota Bogor, harus meningkatkan kewaspadaannya terhadap ancaman penyalahgunaan Napza. Berdasarkan data Polisi Resort Kota (Polresta) Bogor pada tahun 2007 penyalahgunaan Napza di Kota Bogor tercatat sebanyak 133 kasus dan meningkat di tahun 2008 menjadi 144 kasus. Adapun jenis penyalahgunaan Napza yang terbesar adalah narkotika jenis heroin/putaw dan cara penggunaannya banyak yang disuntikkan ke dalam intravena. Jumlah pengguna Napza suntik di Kota Bogor, hingga Januari 2009 mencapai 4590 orang. Namun ternyata tidak hanya masyarakat di kota-kota besar yang harus mewaspadai ancaman penyalahgunaan Napza, Badan Narkotika Nasional pada tahun 2008 mencatatat bahwa Napza sudah memasuki wilayah pedesaan sehingga diperlukan upaya penyalahgunaan Napza. Mayoritas para pencandu Napza berusia antara 11 sampai 24 tahun. Artinya usia tersebut ialah usia produktif atau usia pelajar. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus pemakaian Napza oleh pelaku dengan tingkat pendidikan SD hingga tahun 2007 berjumlah 12.305. Penyebaran Napza menjadi semakin mudah karena anak-anak usia SD juga sudah mulai mencoba mengisap rokok. Tidak jarang para pengedar Napza menyusupkan zat-zat adiktif (zat yang menimbulkan efek kecanduan) ke dalam lintingan tembakaunya. Menurut hasil penelitian Siregar (2004), penyalahgunaan Napza di usia produktif atau remaja diduga dipengaruhi oleh karakteristik individu dan lingkungan sekitar, baik itu lingkungan keluarga maupun lingkungan pertemanannya. Jensen dalam Sarwono (2002) menerangkan asal mula kenakalan remaja dengan menggolongkannya ke dalam teori sosiogenik, yaitu teori yang mencoba mencari sumber penyebab kenakalan remaja pada faktor lingkungan keluarga dan masyarakat. Usia relatif muda para pecandu Napza (remaja) yang merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang dan kenakalan ini membuatnya mudah terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya. Pada umumnya remaja-remaja saat ini lebih mengedepankan hubungan pertemanan dibandingkan hubungan dalam keluarga. Hal tersebut kemudian mempengaruhi pola interaksi yang tercipta, baik pola interaksi dengan keluarganya maupun pola interaksi dengan teman sepermainannya. Penelitian Safaria (2007) mengungkapkan bahwa penyalahgunaan Napza yang kini kian marak menyerang remaja merupakan akibat pengaruh negatif teman sebaya. Penelitian dari Emler (2001) dan Armistead, Forehand, Beach, dan Brody (1995) yang dikutip Safaria juga mengungkapkan bahwa peran keluarga, dalam hal ini pola orang tua, menjadi pembentuk harga-diri anak. Pola asuh yang positif cenderung terdapat dalam keluarga yang harmonis. Sehingga ketika remaja berada dalam lingkungan keluarga yang harmonis, mereka cenderung akan mendapatkan banyak hal-hal positif diantaranya, dukungan orang tua, pujian
3
positif, kasih sayang yang memadai dan kedekatan emosional yang positif. Semua dukungan positif tersebut akan membentuk harga diri anak menjadi positif juga. Semakin meningkatnya jumlah penyalahguna Napza melahirkan Rumah Singgah PEKA yang berdiri untuk menyelesaikan segala problematika dari penyalahgunaan Napza, baik mengenai masalah ketergantungan Napza hingga masalah-masalah psikologis dan sosial yang dirasakan penyalahgunanya. Rumah Singgah PEKA Bogor memilih berdiri sebagai rumah rehabilitasi non profit berbasis komunitas anti Napza. Rumah rehabilitasi non profit ditujukan untuk penyalahguna Napza yang ingin sembuh namun tidak memiliki biaya atau berada dalam tingkat ekonomi menengah ke bawah dari berbagai daerah bahkan daerah pelosok negeri ini. Basis komunitas anti Napza membuat siapapun yang masuk ke dalamnya menjadi lebih dekat dan memiliki visi misi yang sama. Berdasarkan uraian di atas, hubungan pola interaksi, baik dalam lingkungan keluarga maupun pertemanan, dengan motif dari penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif khususnya di kalangan remaja dirasa relevan untuk dikaji dalam penelitian ini dengan memilih Rumah Singgah PEKA sebagai tempat dilakukannya studi kasus. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dibangun beberapa masalah penelitian yang dapat dirumuskan oleh pertanyaan-pertanyaan berikut ini: 1. Bagaimana karakteristik individu dan karakteristik keluarga penyalahguna Napza? 2. Bagaimana pola interaksi yang terbentuk pada remaja penyalahguna Napza? 3. Bagaimana hubungan karakteristik individu dan karakteristik keluarga dengan pola interaksi remaja penyalahguna Napza di kalangan remaja? 4. Apa motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja? 5. Bagaimana hubungan pola interaksi dengan motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja? Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan karakteristik individu dan karakteristik keluarga penyalahguna Napza. 2. Mendeskripsikan pola interaksi yang terbentuk pada remaja penyalahguna Napza. 3. Menganalisis hubungan karakteristik individu dan karakteristik keluarga dengan pola interaksi remaja penyalahguna Napza. 4. Menganalisis motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja. 5. Menganalisis hubungan pola interaksi dengan motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja.
4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola interaksi yang terbentuk pada remaja penyalahguna Napza dan melihat hubungan antara pola interaksi dengan motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja. Secara lebih khusus, penelitian ini akan bermanfaat bagi beberapa pihak, yakni: 1. Bagi akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi untuk penelitianpenelitian selanjutnya yang sejenis. Peneliti selanjutnya juga diharapkan dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan dari penelitian ini. 2. Bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk mengetahui pola interaksi yang berkembang di kalangan remaja saat ini dan motif-motif penyalahgunaan Napza pada remaja serta hubungan diantara keduanya. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebuah penilaian masyarakat mengenai kemungkinan penyalahgunaan Napza pada remaja dan motif yang melatarbelakanginya, khususnya pada remaja Bogor sehingga masyarakat dapat menghindari kemungkinan-kemungkinan yang dapat mengarah kepada tindakan penyalahgunaan Napza. 3. Bagi instansi terkait Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan dan pemberi informasi relevan mengenai motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja dan hubungannya dengan pola interaksi yang terbentuk.
5
TINJAUAN PUSTAKA Remaja Istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari bahasa latin “adolescere” (kata bendanya, adolescence yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh menjadi dewasa”. WHO memberikan definisi mengenai remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Secara lengkap definisi remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai ia mencapai kematangan seksual, masa dimana individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identidikasi dari anak-anak menjadi dewasa, serta masa dimana terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Sarwono (2002) menyatakan batasan remaja di Indonesia yang mendekati batasan PBB tentang pemuda yaitu dalam kurun usia 15-24 tahun. Hurlock (1980) membagi periode masa remaja ke dalam tiga bagian, yaitu masa remaja awal pada umur 10 atau 12 tahun sampai 14 tahun, masa remaja tengah umur 13 atau 14 tahun sampai 17 tahun, dan masa remaja akhir pada umur 17-21 tahun. Menurut Santrock (2012), sebagian besar ahli mengklasifikasikan remaja menjadi dua tahapan, yaitu remaja awal dan remaja akhir. Remaja awal merupakan mereka yang tergolong dalam kategori usia 15-19 tahun, sedangkan remaja akhir 20-24 tahun. Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa kanakkanak dan masa dewasa yang mengandung perubahan besar baik fisik, kognitif, dan psikososial yang saling bertautan dalam semua ranah perkembangan. Pada fase ini, remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberikan dampak, baik pada bentuk fisik maupun psikis (Hurlock 1980). Menurut Erick Erickson (2007) yang dikutip oleh Santrock, masa remaja adalah masa terjadinya kritis identitas atau pencarian identitas diri. Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Hurlock (1980) mengemukakan masa storm and stress dialami remaja pada umumnya, dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan psikis yang bervariasi. Perilaku Menyimpang Ilmu psikologi mengenal perilaku-perilaku yang menyimpang dari perilaku normal sebagai gejala dari gangguan mental. Menurut Sarwono (2009), penyimpangan perilaku disebabkan oleh adanya kelainan psikis pada orang-orang yang bersangkutan atau bisa juga disebabkan karena adanya stresor (sumber stres) yang datang dari luar, atau perubahan sosial yang mengubah kriteria normal-tidak normal. Perilaku menyimpang menurut Santrock (2012) salah satunya adalah
6
label kenakalan remaja (juvenille delinquent), yaitu remaja yang melanggar hukum atau terlibat dalam perilaku yang dianggap ilegal. Anggara (2012) mengemukakan jenis perilaku menyimpang terbagi menjadi penyimpangan primer dan sekunder. Penyimpangan primer adalah suatu pelanggaran atau penyimpangan yang bersifat sementara (temporer), sehingga individu yang melakukan penyimpangan tersebut masih dapat diterima oleh kelompok sosialnya, sebab pelanggaran terhadap norma-norma umum tidak berlangsung secara terus-menerus. Sementara penyimpangan sekunder adalah penyimpangan sosial yang nyata dan sering dilakukan sehingga menimbulkan akibat yang cukup parah dan mengganggu orang lain. Merton yang dikutip oleh Anggara (2012) menyebutkan bahwa penyimpangan terjadi melalui struktur sosial. Menurut Merton struktur sosial dapat menghasilkan perilaku yang konformis (sesuai dengan norma) dan sekaligus perilaku yang dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan. Merton berpendapat bahwa struktur sosial menghasilkan tekanan kearah anomie dan perilaku menyimpang karena adanya ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan caracara yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Sarwono (2010), perilaku menyimpang dikatagorikan ke dalam beberapa sektor yaitu DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder), Psikopat, Penyalahgunaan Napza, Gangguan seksual, dan Psikoterapi. Penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) Istilah “Narkotika” berasal dari kata Yunani “narkoosis” yang dikemukakan oleh Bapak Ilmu Kedokteran, Hipokrates, untuk zat-zat yang menimbulkan mati rasa atau rasa lumpuh. Penyalahgunaan Napza dapat menyebabkan ketergantungan dan kecanduan. Ketergantungan menurut Sarwono (2009) adalah jika ambang toleransi orang yang bersangkutan terhadap zat-zat berbahaya tersebut semakin tinggi, sehingga kebutuhan pemakaiannya semakin besar, dan orang tersebut tidak dapat dengan mudah menghentikan pemakaian zat tersebut dengan tiba-tiba, tetapi masih bisa dihentikan dengan cara-cara tertentu atau bertahap. Contohnya seperti ketergantungan pada rokok atau tembakau. Sementara Adiksi adalah jika zat-zat berbahaya mempengaruhi tubuh sedemikian rupa sehingga tanpa zat tersebut tubuh tidak dapat berfungsi normal, bahkan timbul rasa sakit yang luar biasa (sakau). Selain itu alcoholism (kecanduan alkohol juga termasuk dalam penyalahgunaan Napza. Menurut Sarwono (2009) kecanduan alkohol dapat menyebabkan kebangkrutan ekonomi dan sosial, seperti rumah tangga hancur, di PHK, terlibat Kriminal, dan sebagainya. Sarwono (2002) dan Anggara (2012) menyebutkan beberapa nama dan jenis Napza yang populer bagi para penguna Napza, antara lain yaitu: 1. Tembakau Didalam tembakau terdapat racun nikotin keras yang dapat merangsang susunan saraf sehingga menimbulkan ketagihan. Selain nikotin, dalam tembakau juga terdapat tar yaitu zat yang dapat mengakibatkan penyakit kanker paru-paru. 2. Candu/madat atau Opium Candu dan Opium berasal dari tumbuhan Paper somniferum. Tumbuhan ini banyak dijumpai di Rusia, Meksiko, Iran, Turki, Cina, India, dan Afrika
7
Selatan. Buahnya memiliki getah dan getah tersebut yang kemudian dihisap dan dijadikan sebagai candu. Narkotika jenis ini dinikmati menggunakan pipa hisapan. 3. Morfin Morfin adalah zat yang didapat dari candu. Morfin ditemukan oleh Setumur berkewarganegaraan Jerman pada tahun 1805. Melalui proses kimia, morfin dijadikan sebagai zat yang berfungsi menenangkan sistem urat saraf. Morfin yang berbentuk tepung licin dan halus keputih-putihan atau kuning ini sangat berbahaya karena dapat melemahkan denyut jantung dan tubuh. 4. LSD (Lusergic Acid Diethylamide) LSD ditemukan oleh dokter berkewarganegaraan Jerman yang bernama Dr. Albert Hoffman. LSD dapat menimbulkan halusinasi atau bayangan dengan berbagai macam khayalan. 5. Alkohol Alkohol apabila diminum pada awalnya menimbulkan perasaan riang gembira dan banyak berbicara, namun lama-kelamaan tingkat kesadaran menjadi menurun dan keseimbangan badan terganggu hingga mabuk. Pemakaian alkohol secara berlebihan dapat menyebabkan kelumpuhan karena radang saraf yang diakibatkan oleh pemakaian alkohol bersifat menimbulkan gangguan susunan saraf. 6. Ganja atau Mariyuana Ganja berasal dari tanaman bernama Canabis sativa. Tumbuhan tersebut banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis dan tergolong tumbuhan semak. Pemakaian ganja dilakukan dengan mengambil daun yang diiris-iris dan dikeringkan seperti tembakau. 7. Shabu shabu Shabu shabu adalah heroin kelas 2 yang dihisap dengan menggunakan suatu alat khusus. 8. Ecstasy/Metamphenis Ecstasy/Metamphenis adalah salah satu jenis Napza dalam bentuk pil yang mengakibatkan kondisi tubuh memburuk dan tekanan darah semakin tinggi. Gejalanya adalah suka bicara, rasa cemas dan gelisah, tak dapat duduk dengan tenang, denyut nadi terasa cepat, kulit panas dan bibir hitam, tak dapat tidur, bernapas dengan cepat, serta tangan dan jari selalu bergetar. 9. Putaw Putau termasuk dalam heroin kelas 5 atau 6 yang merupakan ampas heroin. Pemakaian putaw adalah dengan cara dibakar dan dihisap asapnya. 10. Kokain Kokain berasal dari tumbuhan Erythroxylon coca. Dan termasuk golongan semak dengan ketinggian 2 meter. Serbuk kokain berwarna putih dengan rasa pahit yang berfungsi sebagai obat pembius sehingga sering digunakan pada proses pembedahan (operasi). Merujuk pada penelitian Nasution dan Nashori (2007) ditemukan bahwa kebanyakan anak jalanan mengonsumsi Napza berupa minuman beralkohol untuk membebaskan diri dari rasa kecewa. Sementara zat adiktif yang paling sering dikonsumsi remaja dewasa ini berupa ganja. Hal ini dikarenakan ganja yang paling mudah ditemukan menurut informan anak jalanan. Selain itu, pemilihan ini
8
juga dikarenakan penggunaan ganja yang tidak terlalu berbahaya bagi jiwa dan syaraf pemakai. Pola Interaksi Steward dalam Fisher (1986) menungkapkan bahwa interaksi digunakan untuk menyatakan komunikasi “dua-arah”. Sementara itu, Sarwono (2009) menyebutkan hubungan manusia dengan manusia lainnya, atau hubungan manusia dengan kelompok, atau hubungan kelompok dengan kelompok merupakan interaksi sosial. Interaksi sebagai komunikasi dua arah mempunyai sistem umpan balik yang tetap (built-in system of feed back), yang memungkinkan komunikator mendapat umpan-balik atas pesan yang disampaikan. Bungin yang dikutip oleh Harahap (2008) mengungkapkan proses interaksi terjadi apabila ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan ada penerima (receiver) yang melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan respon balik terhadap pesan dari pengirim. Prosesnya bisa berlangsung dua arah (two-way) maupun proses peredaran atau perputaran arah (cyclical process). Dalam proses interaksi setiap partisipasi memiliki peran ganda, dimana dalam satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu lain bertindak sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya. Menurut Tunner dkk (1982) dalam Fisher (1986) orang-orang yang saling berinteraksi akan mengembangkan aneka ragam hubungan peran yang kemudian memunculkan corak yang tetap dalam interaksi sosial, hal inilah yang kemudian membentuk pola interaksi. Pola interaksi dapat diamati dengan melihat bagaimana interaksi individu di dalam keluarganya maupun di dalam lingkungan pertemanannya. Pola interaksi yang terbentuk pun akan bermacam-macam. Pola interaksi dapat digolongkan ke dalam kategori rendah dan tinggi dilihat dari frekuensi interaksi dan isi interaksi di dalamnya. Frekuensi menyatakan seberapa sering seseorang berinteraksi baik dengan keluarganya maupun dalam lingkungan pertemanannya. Jenis komunikasi pun berpengaruh dalam pola interaksi yang terbagi menjadi komunikasi langsung (tatap muka) dan komunikasi tidak langsung. Penyalahgunaan Napza dan Pola Interaksi dalam Keluarga Interaksi menunjuk pada hubungan yang khas yang terjadi antar anggota. Kekhasan pada fakta manusia menginterpretasi atau mendefinisi tindakan satu sama lain. Anggota keluarga bertindak melalui penggunaan simbol-simbol dengan konsep kunci komunikasi. Kontrol sosial diperoleh melalui kasih sayang dan keserasian antar anggota keluarga. Interaksi keluarga adalah tindakan kolektif dari anggota keluarga. Interaksi keluarga sebagai kelompok primer tentu akan memberikan dampak yang berbeda dengan interaksi keluarga pada keluarga yang dikatagorikan sebagai kelompok sekunder. Dewasa ini, kontrol sosial dalam keluarga menurut hasil penelitian Siregar (2004), Septiart (2002), Sugiharto (2008), dan Mardiah (1999) termasuk dalam kategori rendah. Kurangnya kontrol sosial dari keluarga menyebabkan seseorang lebih bebas memilih kelompok lain di lingkungannya. Kelompok lain ini dapat membawa seseorang kepada hal-hal yang positif, namun tidak sedikit kelompok yang justru membawa kepada hal-hal negatif dan menjerumuskan baik secara sadar maupun tidak.
9
Menurut Mc Leod yang dikutip oleh Yuli (1995), pola interaksi dalam keluarga terbagi menjadi empat, yaitu pola interaksi demokratis, pola interaksi protektif, pola interaksi laissez faire, dan pola interaksi otoriter. Pola interaksi demokratis adalah keadaan dimana di dalam pola ini baik anak maupun orang tua mempunyai pengertian yang sama tentang peran yang diharapkan dari masingmasing pihak dalam kehidupan keluarga. Figur orang tua dalam pola interaksi ini menjadi model peran maupun panutan bagi anak. Pola berikutnya adalah pola interaksi protektif, pada pola ini orang tua cenderung melihat anak sebagai pribadi yang harus dilindungi dan tidak dapat berbuat apa-apa tanpa campur tangan orangtuanya. Akibatnya anak menjadi tidak berkembang kemandiriannya dan selalu bergantung pada dukungan orang tua. Pola interaksi laissez faire menunjukkan baik anak maupun orang tua tidak peduli akan apa yang dilakukan masing-masing sejauh kepentingan mereka tidak saling berbenturan. Di mata anak, orang tua semacam ini adalah figur fisik yang melahirkan namun bukan figur psikologis yang memberi kehangatan. Pola interaksi yang terakhir adalah pola interaksi otoriter, dalam pola ini anak dianggap orang tua sebagai pihak yang harus tunduk kepada perintah orang tua. Keterikatan orang tua dan anak tidak didasari rasa hormat atau menghargai tetapi rasa takut karena orang tua dianggap sebagai figur yang menumbuhkan rasa takut bukan rasa aman. Pola interaksi yang digolongkan ke dala empat kategori tersebut kemudian dapat dianalisis dengan menghubungkannya dengan hasil penelitiam Siregar (2004), Septiart (2002), Sugiharto (2008), dan Mardiah (1999). Penelitianpenelitian tersebut menghasilkan kecenderungan pola interaksi keluarga yang tingi terdapat pada jenis pola interaksi keluarga demokratis. Sementara untuk jenis pola interaksi kelurga protektif, laissez faire, dan otoriter yang tinggi memiliki kecenderungan menghasilkan pola interaksi keluarga yang rendah. Hasil penelitian Harahap (2008) menyimpulkan bahwa pola komunikasi dan sistem keluarga sangat mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap penyalahgunaan Napza. Sistem keluarga dewasa ini lebih condong ke dalam keluarga yang enmeshed (kaku), separated (terpisah), disangeged (tercerai berai) sehingga menimbulkan keinginan seseorang mencari tempat dan kelompok baru yang dapat memenuhi kebutuhan dirinya, khususnya kebutuhan psikologis dan sosialnya. Hal ini juga menunjukkan pola komunikasi keluarga yang rendah atau kurang baik dapat memicu penyalahgunaan Napza pada remaja. Siregar (2004) dalam penelitiannya mengungkapkan penyebab penyalahgunaan Napza antara lain adalah sebagai tindakan menentang orang tua. Kondisi sebagian besar keluarga responden penelitian ini dirasa masih kurang mampu mendidik anaknya dengan baik terlihat dari beberapa sifat orang tua responden yang sering bersuara keras, emosi, kurang sabar, dingin dan acuh tak acuh. Hasil penelitian ini merujuk pada keluarga dengan pola interaksi otoriter. Penyalahgunaan Napza dan Pola Interaksi dalam Lingkungan Pertemanan Individu melakukan interaksi dalam lingkungannya yang terwujud melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya seperti interaksi dengan teman sepermainan atau interaksi dalam lingkungan sekolahnya, dan lain-lain. Menurut Asher dan Mc Donald; Bukowski, Motzoi, dan Meyer dalam Santrock (2012), memiliki relasi positif sangatlah penting terutama di masa kanak-kanak pertengahan dan akhir.
10
Memiliki relasi positif di masa kanak-kanak pertengahan dan akhir tidak hanya memberikan hasil yang positif di masa itu tetapi juga terkait dengan relasi yang positif di masa remaja dan dewasa. Relasi positif ini didapat melalui pola interaksi yang positif pula. Namun kenyataannya di era globalisasi saat ini kebanyakan relasi yang terbentuk di dalam interaksi dengan teman sepermainan adalah relasi negatif. Terlihat dari munculnya perkelahian antar siswa, munculnya kelompok pertemanan yang bersama-sama mencoba minuman beralkohol, mengonsumsi obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya. Menurut hasil penelitian Rubin, Bukowski, dan Parker dalam Santrock (2012) semakin bertambah usia seseorang, ukuran kelompoknya menjadi bertambah besar dan pemantauan dari orang dewasa terhadap teman sepermainan berkurang. Seperti yang terlihat dalam penelitian Indiyah (2005) yang menyatakan bahwa kelompok teman bermain dianggap paling penting dibanding apapun. Pembuktian diri pun terjadi dalam kelompok ini. Menurut hasil penelitian Puspitawati (2006), solidaritas sangat dijunjung tinggi oleh kelompok teman bermain. Apapun akan dilakukan demi menjaga kelompok ini dan anggota kelompok biasanya sangat mempertahankan posisinya di dalam kelompok bermainnya. Para ahli perkembangan Wentzel dan Asher dalam Santrock (2012) membedakan lima status kawan sebaya yang dihasilkan dari interaksi dengan teman sepermainannya, yaitu: 1. Anak-anak yang populer (popular children) Merupakan kawan yang sering dipilih sebagai sahabat dan jarang tidak disukai oleh kawan sebayanya. 2. Anak yang rata-rata (avarage children) Anak-anak yang memperoleh angka rata-rata untuk dipilih secara positif maupun negatif oleh kawan-kawannya. 3. Anak yang diabaikan (neglected children) Anak-anak yang jarang dipilih sebagai sahabat namun bukan karena tidak disukai oleh kawan sebayanya. 4. Anak yang ditolak (rejected children) Anak-anak yang dipilih sebagai kawan terbaik atau sahabat oleh seseorang dan secara aktif tidak disukai oleh kawan-kawannya. 5. Anak yang kontroversial Anak yang sering dipilih sebagai kawan terbaik seseorang namun umumnya tidak disukai oleh kawan sebayanya. Seseorang yang populer memiliki sejumlah keterampilan sosial yang membuat mereka disukai seperti dapat memberikan penguatan, mendengarkan secara cermat, membina jalur komunikasi secara terbuka dengan kawan sebaya, bahagia, mengendalikan emosi-emosi negatifnya, bertindak menurut caranya sendiri, memperlihakan antusiasme dan peduli pada orang lain, serta percaya diri tanpa bersikap sombong (Hartup dalam Santrock 2012). Dishion dan Piehler dalam Santrock (2012) mengungkapkan munculnya masalah penyesuaian diri pada seseorang yang ditolak. Pada umumnya anak-anak yang mengalami penolakan akan terlibat dalam kenakalan remaja bahkan hingga putus sekolah. Anak-anak yang mengalami penolakan ini pun kurang berpartisipasi di lingkungannya.
11
Coie dalam Santrock (2012) mengungkapkan alasan mengapa anak yang agresif dan ditolak kawan sebayanya memiliki masalah dalam relasi sosialnya. Pertama, anak yang ditolak dan agresif cenderung lebih impulsif dan memiliki masalah dalam mempertahankan atensi dan akibatnya mereka cenderung mengganggu aktivitas yang sedang berlangsung di kelas dan dalam kegiatan berkelompok. Kedua, anak yang ditolak dan agresif cenderung lebih reaktif secara emosi. Mereka lebih mudah marah dan mungkin lebih sukar tenang sesudahnya, kemudian mereka menjadi lebih mudah marah dan melakukan penyerangan baik secara fisik maupun verbal. Ketiga, anak-anak yang ditolak kurang memiliki keterampilan sosial yang diperlukan untuk berkawan dan mempertahankan relasi yang positif dengan kawan sebaya. Ketiga alasan ini terbukti benar dan diperkuat oleh hasil penelitian Indiyah (2005) yang mengungkapkan bahwa seseorang melakukan penyalahgunaan Napza akibat hubungan dalam lingkungan masyarakatnya kurang harmonis. Hal ini ditunjukkan dengan sikap masyarakat di sekitarnya yang kurang bersahabat. Menurut Hurlock (1980) ketika seseorang memasuki usia remaja, ia akan menghabiskan lebih banyak waktunya bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, sehingga dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui apabila ingin diterima di suatu kelompok maka ia harus melakukan apa yang biasa dilakukan oleh anggota kelompok tersebut, termasuk dalam mencoba mengkonsumsi minuman beralkohol, obat-obatan terlarang atau rokok. Remaja cenderung mengikuti kebiasaan kelompoknya tersebut tanpa mempedulikan perasaan mereka sendiri. Hal ini kemudian memunculkan minat sosial. Minat sosial yang muncul pada remaja bergantung pada kesempatan yang diperoleh remaja tersebut untuk mengembangkan minatnya dalam kelompok. Menurut Berk dalam Ruhidawati (2005), kelompok teman sebaya merupakan bentuk-bentuk kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai uik dan memiliki standar perilaku dengan struktur sosial serta terdapat pemimpin dan yang dipimpin. Bentuk-bentuk teman sebaya menurut Martin dan Stendler dalam Ruhidawati (2005) yaitu: 1. Bentuk Good Kid atau dikenal dengan sebutan remaja kutu buku, remaja yang termasuk kepada kelompok ini adalah remaja yang datang ke sekolah hanya untuk belajar. 2. Bentuk Elite, merupakan bentuk kelompok teman sebaya yang dipimpin oleh orang dewasa. Pada kelompok ini, selain melakukan kegiatan sekolah, remaja juga melakukan kegiatan di luar sekolah. 3. Bentuk Gank, merupakan bentuk kelompok teman sebaya yang dibentuk dan dipimpin oleh remaja itu sendiri, biasanya pada kelompok ini remaja tidak menyenangi aktivitas yang berkaitan dengan sekolah sehingga mereka terkadang melakukan aktivitas yang bertentangan dengan kepentingan umum/sosial. Kelompok pertemanan memiliki peranan yang sangat penting dalam penyesuaian diri remaja dan sebagai persiapan bagi kehidupan di masa yang akan datang, serta berpengaruh pula pada pandangan dan perilaku. Hal ini disebabkan remaja sedang berusaha untuk membebaskan diri dari keluarganya dan tidak tergantung kepada orang tuanya (Drajat dalam Ruhidawati 2005).
12
Merujuk pada penelitian Indiyah (2005) pada umumnya faktor penyebab subjek melakukan penyalahgunaan narkoba cenderung positif disebabkan faktor individu sebagai anggota gang dan identitas remaja. Yaitu, adanya kecenderungan subjek memegang peran dalam kelompok bergaul, kecenderungan subjek berkorban untuk kelompoknya, kecenderungan subjek ingin terpandang dalam kelompoknya, kecenderungan subjek takut dikeluarkan dari anggota kelompok, dan kecenderungan subjek menggunakan narkoba dibenarkan kelompoknya. Hasil penelitian Jaji (2009) mengungkapkan pengaruh teman sebaya terhadap penyalahgunaan Napza, pada umumnya penyalahgunaan ini karena dikenalkan oleh teman, dan mengonsumsinya pun bersama-sama antara 3-5 orang. Perilaku penyalahgunaan Napza pada remaja juga akibat sosialisasi atau interaksi remaja dengan lingkungannya. Motif Motif, atau dalam bahasa Inggris “motive”, berasal dari kata movere atau motion, yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Motif dalam psikologi berarti juga rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu perbuatan (action) atau perilaku (behavior). Menurut Sarwono (2009) motif adalah instansi terakhir bagi terjadinya perilaku. Meskipun ada kebutuhan misalnya, tetapi kebutuhan tersebut tidak menciptakan motif, maka tidak akan terjadi perilaku. Hal ini disebabkan karena motif tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor diri individu, seperti faktor-faktor biologis, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan kebudayaan. Rakhmat (2001) menyebutkan terdapat motif sosiogenis yang sering juga disebut motif sekunder sebagai lawan dari motif primer (motif biologis). Peranan motif sosiogenis dalam membentuk perilaku sosial sangat menentukan, sehingga muncul berbagai klasifikasi dari motif sosiogenis, salah satunya klasifikasi motif sosiogenis menurut Melvin H. Marx. Marx dalam Rakhmat (2001) mengklasifikasi motif sosiogenis menjadi sebagai berikut: 1. Motif-motif Organismis - Motif ingin tahu (curiosity) Motif ini mengacu pada keinginan untuk mengerti, menata, dan menduga. Setiap orang berusaha memahami dan memperoleh arti dari dunianya. Seseorang memerlukan kerangka rujukan (frame of reference) untuk mengevaluasi situasi baru dan mengarahkan tindakan yang sesuai. - Motif kompetensi (competence) Motif ini mengacu kepada keinginan setiap orang untuk membuktikan bahwa ia mampu mengatasi persoalan kehidupan apapun. Perasaan mampu amat bergantung pada perkembangan intelektual, sosial, dan emosional. - Motif prestasi (achievement) Motif ini menjelaskan bahwa seseorang tidak hanya mempertahankan kehidupan, namun juga ingin meningkatkan kualitas kehidupan dan juga ingin memenuhi potensi-potensi dirinya. 2. Motif-motif Sosial - Motif kasih sayang (affiliation) Sanggup mencintai dan dicintai adalah hal essensial bagi pertumbuhhan kepribadian. Seseorang ingin diterima di dalam kelompoknya sebagai
13
-
-
anggota sukarela. Kehangatan persahabatan, ketulusan kasih sayang, penerimaan orang lain yang hangat amat dibutuhkan manusia. Motif kekuasaan (power) Motif ini menjelaskan tentang keinginan seseorang untuk mendominasi orang lain. Keinginan mendominasi ini berkaitan dengan keinginan diakui di lingkungan sosialnya. Motif kebebasan (independence) Motif ini menjelaskan keinginan seseorang untuk lepas dari keadaan dimana dirinya diatur atau keadaan yang mengganggunya. Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Napza
Tabel 1 Pola interaksi dan motif penyalahgunaan Napza No
Peneliti/ Tahun
1
Siregar (2004)
2
Indiyah (2005)
3
Jaji (2009)
4
Nasution dan Nashori (2007)
5
Septiart (2002)
6
Puspitawati (2006)
7 8
Sugiharto (2008) Harahap (2008)
9
Sulistyorini (2008)
10
Mahali (2004)
11
Mardiah (1999)
Pola Interaksi Penyalahguna Napza Lingkungan Keluarga Pertemanan Mudah Otoriter terpengaruh teman individu sebagai Otoriter anggota gang Mudah terpengaruh teman individu sebagai anggota gang individu Laissez sebagai Faire anggota gang Laissez Faire solidaritas dan pertemanan Otoriter Laissez Faire Otoriter Laissez Faire dan Otoriter Laissez Faire dan Otoriter Otoriter
Motif Penyalahgunaan Napza Ingin Tahu
Kompetensi
√
√
Kasih Sayang
Kekuasaan
Kebebasan
√
√
√
√
√
√
√ √ √
Mudah terpengaruh teman
Prestasi
√
√
Mudah terpengaruh teman
√
-
√
√
Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata pola interaksi keluarga yang terbentuk dalam keluarga penyalahguna Napza adalah pola interaksi Otoriter dan Laissez Faire. Pola interaksi keluarga Otoriter dikemukakan dalam penelitian Siregar (2004), Indiyah (2005), dan Mardiah (1999). Berdasarkan hasil penelitian-
14
penelitian tersebut sebagian besar orang tua masih suka bersuara keras, emosi, kurang sabar, dan dingin terhadap anak-anaknya. Berdasarkan hasil penelitian Septiart (2002) pola interaksi keluarga yang ditemukan adalah pola interaksi Laissez Faire. Keluarga cenderung acuh tak acuh dan kurang peduli terhadap anggota keluarga lainnya ditunjukkan dengan orang tua yang tidak menjalankan fungsi kontrol terhadap anak-anaknya. Gabungan pola interaksi Otoriter dan Laissez Faire juga ditemukan dalam penelitian Puspitawati (2006), Harahap (2008), Sulistyorini (2008), dan Mahali (2004). Sementara pola interaksi pertemanan dalam Tabel 1 menunjukkan sebagian besar pola yang terbentuk pada penyalahguna Napza adalah hubungan dalam kelompok yang menyebabkan anggota kelompoknya mudah terpengaruh pada ajakan-ajakan temannya. Individu cenderung merupakan anggota kelompok (gang) yang mengedepankan solidaritas pertemanan. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa rata-rata motif penyalahgunaan Napza adalah motif kasih sayang. Hal ini dikarenakan para pengguna Napza merasakan kesepian dan kurang mendapatkan perhatian dari keluarga serta orang-orang terdekatnya, sehingga Ia akan mencari kelompok baru yang dapat memberikan perhatian serta kasih sayang yang diinginkannya. Namun pada kenyataannya kelompok baru tersebut memiliki kebiasaan-kebiasaan yang negatif, contoh seperti mabuk-mabukan, melakukan pesta narkoba, dll. Seperti yang diungkapkan dalam penelitian Indiyah (2005), seseorang rela melakukan apapun agar dapat diterima dengan baik di dalam kelompoknya dan diakui kehadirannya di dalam kelompok tersebut. Motif ingin tahu dan motif kompetensi juga merupakan motif penyalahgunaan Napza. Motif ingin tahu ditunjukkan melalui hasil penelitian Siregar (2004), Jaji (2009) dan Sulistyorini (2008) yang menyebutkan hampir seluruh responden penelitiannya mengaku bahwa mereka menggunakan obatobatan terlarang pertama-tama akibat rasa ingin tahu dan keinginan untuk mencoba. Sementara motif kompetensi ditunjukkan melalui hasil penelitian Siregar (2004), Puspitawati (2006) dan Sulistyorini (2008) yang menyebutkan penyalahgunaan Napza di kalangan remaja antara lain untuk membuktikan keberanian melakukan tindakan berbahaya sehingga kemudian dapat diakui keberadaannya dan eksistensinya di dalam kelompok tersebut. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Indiyah (2005) seseorang melakukan penyalahgunaan Napza akibat ia memegang peran di dalam kelompok bermainnya. Hal ini menunjukkan adanya motif kekuasaan yang tertanam dalam diri remaja tersebut. Penelitian Nasution dan Nashori (2007) mengungkapkan bahwa ‘minum’ adalah cara yang paling ampuh untuk menghilangkan rasa kecewa anak jalanan. Beberapa informan anak jalanan lain juga menyebutkan penggunaan Napza sebagai salah satu pelarian mereka dari permasalahan yang dihadapi. Hal ini menunjukkan adanya motif kebebasan, yaitu keinginan untuk lepas dari permasalahan yang dihadapi dengan cara-cara yang menurutnya benar tanpa ada aturan dari pihak manapun yang harus ia turuti. begitu pula hasil penelitian Indiyah (2005) dan Mardiah (1999) yang mengungkapkan keadaan keluarga yang otoriter menyebabkan seseorang ingin memiliki kebebasan atas dirinya sendiri dan kemudian justru kebebasan ini melampaui batas hingga terjerat kasus penyalahgunaan Napza.
15
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran ini menjelaskan korelasi antar variabel penelitian. Penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang yang sangat erat kaitannya dengan keadaan di sekitar penyalahguna Napza. Karakteristik responden dapat memperlihatkan keadaan penyalahguna Napza sebelum dan saat pertama kali menggunakan Napza. Karakteristik responden dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu karakteristik individu dan karakteristik keluarga. Karakteristik individu responden penyalahguna Napza terdiri dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan tingkat penerimaan. Sementara itu, karakteristik keluarga responden penyalahguna Napza meliputi status pernikahan orangtua, tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, tingkat penerimaan orangtua, dan usia orangtua. Karakteristik individu dan karakteristik keluarga mempengaruhi pola interaksi yang terbentuk pada diri seseorang, baik pola interaksi di dalam keluarga maupun lingkungan sosial dan pertemanannya. Pola interaksi yang terbentuk kemudian berhubungan dengan munculnya motif-motif pada diri seseorang atas perilakunya. Hubungan antara pola interaksi dengan motif-motif yang terbentuk akan menunjukkan seberapa luas perilaku yang tercipta. Perilaku yang ada dalam diri seseorang tentu berbeda-beda, namun yang perlu diperhatikan adalah terbentuknya perilaku menyimpang, khususnya dalam perilaku penyalahgunaan Napza. KARAKTERISTIK INDIVIDU
Usia Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan Status Pekerjaan Tingkat Penerimaan
MOTIF POLA INTERAKSI Pola Interaksi Keluarga
KARAKTERISTIK KELUARGA
Pola Interaksi Pertemanan
Status Pernikahan Orangtua Tingkat Pendidikan Orangtua Pekerjaan orangtua Tingkat Penerimaan Orangtua Usia Orangtua
Keterangan: : Berhubungan Gambar 1 Kerangka Analisis
Motif Organismis Motif Ingin Tahu Motif Kompetensi Motif Prestasi Motif Sosial Motif Kasih Sayang Motif Kekuasaan Motif Kebebasan
16
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka analisis di atas, maka dapat disimpulkan hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan atara karakteristik individu dan karakteristik keluarga dengan pola interaksi yang terbentuk pada remaja penyalahguna Napza. 2. Terdapat hubungan antara pola interaksi keluarga dengan motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja. 3. Terdapat hubungan antara pola interaksi pertemanan dengan motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja. Definisi Operasional Definisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut: 1. Karakteristik Internal diukur dari a. Usia merupakan lamanya seseorang hidup yang dihitung semenjak ia lahir hingga pertama kali ia menggunakan Napza, diukur dalam satuan tahun. Usia remaja dibagi menjadi dua mengikuti skala ordinal yaitu: 1. Remaja awal (< 15 tahun) 2. Remaja (15 – 19 tahun) 3. Remaja akhir (20-24 tahun) b. Jenis kelamin merupakan status biologis yang tercatat dalam tAnda pengenal. Pernyataan responden tentang jenis kelamin dikategorikan dengan skala nominal, menjadi dua kategori yaitu: 1. Laki-laki 2. Perempuan c. Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh dan telah memperoleh kelulusan saat pertama kali menggunakan Napza. Pernyataan responden berkaitan dengan jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh, dikategorikan dengan skala ordinal ke dalam lima kategori yaitu: 1. Tidak tamat SD; maka diberi skor 1 2. SD/Sederajat; maka diberi skor 2 3. SMP/ Sederajat; maka diberi skor 3 4. SMA/Sederajat; maka diberi skor 4 5. Perguruan Tinggi; maka diberi skor 5 d. Tingkat penerimaan adalah jumlah uang yang diperoleh responden untuk melakukan aktivitas sehari-hari dalam kurun waktu satu bulan saat pertama kali menggunakan Napza, dapat diperoleh dari orang tua dan pekerjaan. Tingkat penerimaan dikategorikan dengan skala ordinal ke dalam tiga kategori yaitu: 1. Rendah (penerimaan per bulan ≤ Rp 250.000,-); maka diberi skor 1 2. Sedang (penerimaan per bulan Rp 250.000,- – Rp 500.000,-); maka diberi skor 2 3. Tinggi (jika penerimaan per bulan > Rp 500.000,-) ; maka diberi skor 3
17
e. Status pernikahan orang tua adalah status pernikahan dari orang tua responden saat pertama kali menggunakan Napza yang diukur mengikuti skala ordinal yaitu: 1. Menikah; diberi skor 2 2. Janda/Duda karena bercerai/pasangan meninggal dunia; diberi skor 1 f. Pendidikan orang tua merupakan jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh oleh orang tua dan telah memperoleh kelulusan saat responden pertama kali menggunakan Napza. Jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh orang tua responden, dikategorikan dengan skala ordinal ke dalam lima kategori yaitu: 1. Tidak tamat SD; maka diberi skor 1 2. SD/Sederajat; maka diberi skor 2 3. SMP/ Sederajat; maka diberi skor 3 4. SMA/Sederajat; maka diberi skor 4 5. Perguruan Tinggi; maka diberi skor 5 g. Pekerjaan orangtua adalah macam usaha yang dilakukan atau dijalankan ayah/ibu yang menjadi sumber penghasilan utama keluarga saat responden pertama kali menggunakan Napza dan diukur menggunakan skala nominal 1. Buruh 4. Swasta 7. Lainnya,…….. 2. Wiraswasta 5. Petani 3. PNS 6. Nelayan h. Tingkat penerimaan orangtua adalah sejumlah uang yang dihasilkan ayah/ibu dari pekerjaannya setiap bulan saat responden pertama kali menggunakan Napza. Tingkat penerimaan orangtua diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori sebagai berikut: 1. Rendah (pendapatan orangtua < Rp 2.000.000,- perbulan); diberi skor 1 2. Sedang (pendapatan orangtua Rp 2.000.000,--Rp 4.000.000,- perbulan); diberi skor 2 3. Tinggi (pendapatan orangtua > Rp 4.000.000,- perbulan); diberi skor 3 i. Usia orangtua adalah lamanya orangtua responden hidup yang dihitung semenjak ia lahir hingga saat pertama kali responden menggunakan Napza diukur dalam satuan tahun. Usia orangtua dibagi menjadi tiga mengikuti skala ordinal yaitu: 1. Usia ≤ 30 tahun, maka diberi skor 1 2. Usia 31 – 40 tahun, maka diberi skor 2 3. Usia > 40 tahun, maka diberi skor 3 2. Pola Interaksi diukur berdasarkan a. Pola interaksi keluarga Pola interaksi keluarga responden adalah penilaian yang diberikan oleh penyalahguna Napza mengenai pola interaksi yang terbentuk di dalam lingkungan keluarganya saat responden pertama kali menggunakan Napza. Indikator pada variabel ini dibagi menjadi 4 kategori dan diukur dengan skala ordinal. Jumlah pertanyaan pada variabel ini adalah 20 pertanyaan. Akumulasi skor menggunakan perhitungan skala Likert dikategorikan menjadi, rendah diberi skor 20-40, sedang diberi skor 41-60, dan tinggi diberi skor 61-80. Pemberian skor pada setiap pertanyaan tergantung pada jenis pertanyaan yang diungkapkan, yaitu pertanyaan negatif dan positif.
18
Tidak Pernah diberi skor 1 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 4 untuk pertanyaan negatif Jarang diberi skor 2 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 3 untuk pertanyaan negatif Sering diberi skor 3 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 2 untuk pertanyaan negatif Selalu diberi skor 4 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 1 untuk pertanyaan negatif b. Pola interaksi pertemanan Pola interaksi pertemanan responden adalah penilaian yang diberikan oleh penyalahguna Napza mengenai pola interaksi yang terbentuk di dalam lingkungan pertemanannya saat responden pertama kali menggunakan Napza. Indikator pada variabel ini dibagi menjadi 4 kategori. Diukur dengan skala ordinal. Jumlah pertanyaan pada variabel ini adalah 18 pertanyaan. Akumulasi skor menggunakan perhitungan skala Likert dikategorikan menjadi, rendah diberi skor 18-36, sedang diberi skor 37-54, dan tinggi diberi skor 55-72. Pemberian skor pada setiap pertanyaan tergantung pada jenis pertanyaan yang diungkapkan, yaitu pertanyaan negatif dan positif. Tidak pernah diberi skor 1 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 4 untuk pertanyaan negatif Jarang diberi skor 2 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 3 untuk pertanyaan negatif Sering diberi skor 3 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 2 untuk pertanyaan negatif Selalu diberi skor 4 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 1 untuk pertanyaan negatif 3. Motif Penyalahgunaan Napza a. Motif Organismis Motif organismis diukur berdasarkan motif ingin tahu, motif kompetensi, dan motif prestasi. Indikator pada variabel ini dibagi menjadi 2 kategori. Diukur dengan skala ordinal. Jumlah pertanyaan pada variabel ini adalah 5 pertanyaan. Akumulasi skor menggunakan perhitungan skala Likert dikategorikan menjadi, rendah diberi skor 5-6, sedang diberi skor 7-8, dan tinggi diberi skor 9-10. Skor untuk masing-masing pertanyaan adalah sebagai berikut: Ya diberi skor 2 Tidak diberi skor 1 b. Motif Sosial Motif sosial diukur berdasarkan motif kasih saying, motif kekuasaan, dan motif kebebasan. Indikator pada variabel ini dibagi menjadi 2 kategori. Diukur dengan skala ordinal. Jumlah pertanyaan pada variabel ini adalah 5 pertanyaan. Akumulasi skor menggunakan perhitungan skala Likert dikategorikan menjadi, rendah diberi skor 5-6, sedang diberi skor 7-8, dan tinggi diberi skor 9-10. Skor untuk masing-masing pertanyaan adalah sebagai berikut: Ya diberi skor 2 Tidak diberi skor 1
PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung data kualitatif untuk memperkaya analisis. Data kualitatif didapat melalui wawancara mendalam dengan informan dan observasi. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survai kepada responden dengan pemberian kuisioner. Menurut Singarimbun dan Effendi (2008), penelitian survai adalah penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data primer. Pendekatan kuantitatif dan kualitatif dikombinasikan dalam upaya memperkaya data agar lebih memahami fenomena sosial yang diteliti. Apabila informasi kuantitatif yang diperoleh dalam bentuk tabel lalu ditambahkan dengan informasi kualitatif, maka gambaran tentang fenomena sosial yang disajikan dalam tabel tersebut menjadi semakin jelas dan semakin hidup, dan nuansa-nuansa fenomena sosial dapat ditampilkan. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Rumah Singgah PEKA Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja sesuai dengan kebutuhan penelitian. Lokasi penelitian ini dipilih dengan alasan bahwa Rumah Singgah PEKA merupakan salah satu organisasi non profit yang melayani para penyalahguna Napza untuk keluar dan sembuh dari kecanduannya, khususnya para pecandu dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Rumah Singgah PEKA didirikan untuk membantu memberikan layanan yang sesuai kepada mereka yang paling membutuhkan. Di Rumah Singgah PEKA juga dapat ditemukan berbagai macam karakteristik pecandu Napza sehingga dirasa sangat sesuai dengan kebutuhan penelitian. Selain itu Rumah Singgah PEKA juga memiliki staf ahli yang dapat membantu proses pengumpulan data. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2013 sampai dengan Januari 2014. Kegiatan dalam penelitian ini meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal skripsi, pengambilan data lapang, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi. Teknik Pemilihan Responden dan Informan Populasi penelitian ini adalah seluruh klien dan mantan klien Rumah Singgah PEKA. Sampel pada penelitian ini merupakan responden yang dipilih berdasarkan teknik accidental sampling. Teknik tersebut dipilih karena populasi dalam penelitian ini tidak diketahui secara pasti. Teknik ini mengambil sampel yang sedang berada di lokasi penelitian pada saat penelitian dilakukan dengan unit analisisnya adalah individu. Pemilihan klien dan mantan klien Rumah Singgah PEKA didasarkan karena klien dan mantan klien Rumah Singgah PEKA pernah menjadi penyalahguna Napza. Pengambilan sampel dilakukan pada hari kerja dan hari libur dan tempat pengambilan sampel tersebut menyebar pada setiap kegiatan
20
Rumah Singgah PEKA wilayah Bogor. Informan dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang bekerja atau terlibat dalam proses komunikasi dan penyembuhan klien Rumah Singgah PEKA. Jumlah klien Rumah Singgah PEKA yang diperoleh dari data sekunder Rumah Singgah PEKA sebanyak kurang lebih 300 orang dengan jumlah sampel yang diambil sebanyak 50 responden. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui kuisioner dan wawancara dengan pihak Rumah Singgah PEKA. Kuisioner tersebut dimaksudkan sebagai suatu daftar pertanyaan untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden serta ditujukan untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian. Selain wawancara terstruktur menggunakan kuisioner, pengumpulan data penelitian ini juga menggunakan wawancara mendalam dengan para responden dan pihak Rumah Singgah PEKA untuk mengkaji lebih dalam motif yang melatarbelakangi penyalahgunaan Napza dan pola-pola interaksi yang terbentuk di kalangan penyalahguna Napza. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dokumen Rumah Singgah PEKA, serta berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini, yaitu buku, jurnal penelitian, skripsi, dan internet. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Penelitian mengenai hubungan pola interaksi dengan motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja merupakan penelitian survai dengan tujuan explanatory. Data kuantitatif berupa data primer yang terlebih dahulu diolah dan ditabulasikan. Data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 2.0 agar lebih cepat, tepat, dan hasil pemrosesan data pun lebih terpercaya. Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antar dua variabel yang berskala ordinal dan tidak menentukan prasyarat data terdistribusi normal. Korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel bebas dan variabel terikat yang berskala ordinal. Rumus Rank Spearman sebagai berikut:
Keterangan: rs = Nilai Koefisien Rank Spearman = jumlah selisih antara peringkat bagi x dan y d n = jumlah data/sampel
21
Koefisien korelasi Rank Spearman (rxy) menunjukkan kuat tidaknya antara indikator x terhadap variabel X dengan indikator y terhadap variabel Y maupun variabel X terhadap variabel Y sehingga digunakan batasan koefisien korelasi untuk mengkategorikan nilai r. kriteria pengukuran dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kriteria pengukuran korelasi Kisaran Kriteria 0 – 0.249 Menunjukkan tidak adanya hubungan atau lemah sekali 0.250 – 0.499 Menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah 0.500 – 0.749 Menunjukkan hubungan yang erat atau tinggi 0.750 – 1 Menunjukkan hubungan yang sangat erat atau sangat kuat sekali dan dapat diandalkan Sumber: Tarigan (2010)
Selain menggunakan uji korelasi Rank Spearman, variabel pada penelitian ini juga akan diuji menggunakan uji korelasi Chi-Square untuk melihat hubungan nyata antar variabel dengan data berbentuk nominal, yaitu jenis kelamin dan jenis pekerjaan. Adapun rumus Chi-Square sebagai berikut:
23
GAMBARAN UMUM Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Singgah PEKA yang terletak di Sindang Barang Jero, Bogor. Rumah Singgah PEKA merupakan unit rehabilitasi berbasis komunitas di bidang penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif berbahaya lainnya. Lebih jelasnya gambaran umum mengenai lokasi penelitian dapat dijabarkan menjadi profil singkat Rumah Singgah PEKA, program Rumah Singgah PEKA, dan Struktur Organisasi Rumah Singgah PEKA. Profil Rumah Singgah PEKA Rumah Singgah PEKA adalah sebuah perkumpulan komunitas pemulihan adiksi berupa organisasi non-profit yang didirikan pada November 2010 di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Rumah singgah PEKA bertujuan mengurangi resiko penggunaan Napza, membantu penggunanya terbebas dari Napza, dan mengembalikan fungsi sosial di tengah masyarakat. Wadah ini berawal dari orang-orang yang memliki latar belakang ketergantungan Napza dan telah lepas dari ketergantungannya. Dari pengalaman ini dan dibantu oleh psikolog profesional, Rumah Singgah PEKA ingin membantu rekan-rekan senasib untuk dapat lepas dari ketergantungan Napzanya dan dapat memberikan bantuan kepada mereka yang belum mendapatkan kesempatan yang serupa. Selain itu, bekerja di area pemulihan ketergantungan Napza dan paska rawat bertujuan untuk pengurangan angka kemiskinan, angka kejahatan dan peningkatan produktifitas komunitas marginal. Seluruh staf Rumah Singgah PEKA memiliki latar belakang ketergantungan Napza yang serupa, mereka juga dibantu oleh psikolog profesional dalam memberikan layanan kepada kelompok sasaran. Kelompok sasaran Rumah Singgah PEKA yaitu populasi marginal komunitas ketergantungan Napza, warga binaan Lembaga Permasyarakatan, Orang yang terinfeksi HIV, Hepatitis C dan Tuberculosis. Hingga saat ini Rumah Singgah PEKA menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak, antara lain yaitu kolaborasi dengan Kementrian Sosial dalam hal bantuan dana, kolaborasi dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Propinsi Jabar dan Daerah Kota Bogor dalam perencanaan dan pelaksanaan program penanggulanan AIDS. Rumah Singgah PEKA juga menjalin relasi dengan BAPAS, PKM Bogor Timur, PKM Kedung Badak, PKM Sindang Barang, RS Marzoeki Mahdi, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, dan sekolah-sekolah sebagai tempat dilaksanakannya berbagai program penanggulangan penyalahgunaan Napza. Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan serta Polresta Bogor, juga menjadi pihak yang membantu terlaksananya program.
24
Program Rumah Singgah PEKA Rumah Singgah PEKA memiliki beberapa program yang disusun untuk mencapai tujuannya. Terdapat lima program yang rutin dilaksanakan di Rumah Singgah PEKA. Program-program tersebut yaitu sebagai berikut: 1. Harm Reduction Harm Reduction adalah suatu upaya pengurangan dampak buruk terhadap pengguna Napza dan masyarakat luas yang dikenal sebagai cara mendasar untuk menghentikan penyebaran HIV. Program ini menyadari realita bahwa sebagian besar penyalahguna Napza sulit untuk menghentikan penggunaannya meskipun resiko akan HIV/AIDS dan virus lain yang ditularkan lewat darah besar. Rumah Singgah PEKA melakukan Harm Reduction melalui program pemberian alat suntik steril, kondom dan lubricant (diberikan dalam satu paket), konseling (oleh konselor adiksi dan psikolog) dan juga informasi mengenai layanan kesehatan. Dengan program ini Rumah Singgah PEKA mencoba membantu korban Napza agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya baik dari kesehatan maupun ekonomi dengan membantu merujuk sekaligus mendampingi klien yang membutuhkan layanan kesehatan meningkatkan kualitas hidup korban Napza. Rumah Singgah PEKA memulai program penjangkauan dan pendampingan Harm Reduction di Kota dan Kabupaten Bogor pada bulan April 2011. Dalam hal ekonomi Rumah Singgah PEKA memberikan kesempatan kepada klien yang membutuhkan untuk bekerja di Rumah Singgah PEKA dan memberikan pinjaman lunak dana usaha bagi korban Napza yang ingin berkehidupan lebih layak. Hal ini cukup mendapatkan tanggapan yang baik dari korban Napza di I Kota dan Kabupaten Bogor. Data output dari program Harm Reduction yang telah dilaksanakan Rumah Singgah PEKA pada tahun 2011 dan 2012 dapat dilihat pada lampiran. 2. Posko Cibinong Program Posko Cibinong ini ditujukan untuk mensiasati letak geografis Bogor yang sangat luas. Rumah Singgah PEKA telah mendirikan posko layanan pendamping di Cibinong Kabupaten Bogor. Pada posko pelayanan ini masyarakat yang membutuhkan bantuan dan berdomisili di daerah Kabupaten Bogor dapat dengan mudah menjangkau posko Rumah Singgah PEKA. 3. Program Lapas Pada tahun 2011, Rumah Singgah PEKA memulai Program Lapas di Lembaga Pemasyarakatan Paledang Bogor. Pada awalnya Rumah Singgah PEKA hanya mensosialisasikan mengenai program yang ada di Rumah Singgah PEKA tetapi melihat kebutuhan WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) yang memerlukan informasi tentang adiksi, kesehatan dasar, life skill, problem solving, dll. Sehingga pada tahun 2012 Rumah Singgah PEKA memulai dengan program seminar untuk WBP wanita dan program pre-release. Hingga saat ini, Rumah Singgah PEKA sudah melatih lebih dari 10 WBP pria dan wanita untuk menjadi Peer Educator. Rumah Singgah PEKA mengisi jadwal seminar di Lapas Paledang setiap hari Selasa dan Kamis.
25
Berdasarkan pengalaman yang sama Rumah Singgah PEKA juga akhirnya mengembangkan Program Lapas di wilayah kabupaten yaitu Lapas Pondok Rajeg pada tahun 2012. Saat ini Rumah Singgah PEKA menjalankan program penyuluhan untuk anak dibawah umur (kurang dari 18 tahun), seminar kepada WBP dan juga membentuk peer educator. Sudah ada 13 orang WBP dan 5 orang anak di bawah umur yang dilatih untuk menjadi peer educator. Jadwal seminar Rumah Singgah PEKA di Lapas Pondok Rajeg diadakan setiap hari senin dan Jumat. Rumah Singgah PEKA juga mempunyai rencana untuk menjalankan program serupa di Lapas Gunung Sindur yang kemungkinan baru akan dijalankan pada tahun 2014. 4. Treatment dan conseling Program treatment dan conseling ini merupakan program yang bertujuan membawa perubahan yang lebih baik kepada para klien. Treatment diberikan oleh staf yang telah berpengalaman dan dibimbing oleh psikologi professional. Untuk conseling setiap klien diberikan kesempatan untuk berhubungan langsung dengan psikolog professional. Rumah Singgah PEKA memiliki data perkembangan klien berdasarkan WHO-QOL (skoring penilaian menggunakan SPSS 19). Pada penilaian ini Rumah Singgah PEKA membandingkan antara WHO-QOL I dengan WHO-QOL II (dilakukan diakhir program). Berdasarkan uji statistik dari pre-post test klien menggunakan WHO-QOL maka didapatkan hasil semua domain (domain fisik, domain psikologis, domain sosial, domain lingkungan) pada WHOQOL mengalami perubahan secara signifikan. Data yang dihasilkan berdasarkan uji yang telah dilakukan oleh Rumah Singgah PEKA beserta diagram perkembangan klien berdasarkan WHO-QOL dapat dilihat pada lampiran. 5. Program Vocational Rumah Singgah PEKA memiliki Program Vocational yang bertujuan untuk membantu para klien mengisi kegiatan, sekaligus belajar untuk mengembangkan bisnis. Program vocational ini mulai dijalankan pada Desember 2011, diawali dengan berternak lele, membuka bengkel, membuka warung ayam bakar, menerima permintaan sablon, membuka warnet dan beternak ayam. Beberapa kendala dalam melaksanakan program ini beberapa kali dirasakan oleh Rumah Singgah PEKA, apalagi vocational tersebut dijalankan langsung oleh para klien yang berminat dan dianggap sudah bisa mendapatkan reward/privilledge. Kendala yang sering dialami adalah konsistensi para klien dalam menjalankan dan menjaga keberlangsungan vocational tersebut. Setelah 2 tahun berjalan vocational yang saat ini masih berjalan adalah warung ayam bakar, green house, warnet, bengkel, sablon, produksi kue, dan laundry. Dengan adanya vocational diharapkan memberikan aktivitas yang menimbulkan munculnya kebersamaan, pembelajaran, komitmen dan disiplin kerja serta tanggung jawab dalam proses pelaksanaannya. Dengan tujuan akhir memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam vocational dengan harapan terciptanya mental kerja apabila kembali ke masyarakat. Sampai sejauh ini diharapkan sudah mulai timbul semangat kerja tim masing-masing vocational, kekompakan dan menciptakan kepercayaan klien dalam bekerjasama.
26
Selama berjalannya vocational di Rumah Singgah PEKA sudah ada dua Klien Rumah Singgah PEKA yang mendapatkan bantuan dari Kemensos untuk mengelola dan melaksanakan operasional vocational atas nama mereka pribadi, walaupun tetap dalam monitoring dan evaluasi dari menejemen Rumah Singgah Peka. Terealisasinya hal tersebut adalah salah satu bukti bahwa untuk area vocational bukan hanya menciptakan mental kerja untuk para penyalahguna Napza tetapi juga mampu untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Program vocational juga merupakan simulasi untuk membangun motivasi dan konsistensi bersama-sama. Semua sarana dan prasarana serta menejemen operasional yang ada dibangun berdasarkan kekeluargaan dan kebersamaan untuk menciptakan kepercayaan diri klien dalam bekerjasama. Pada saat ini, semua vocational yang ada di Rumah Singgah PEKA sedang mendapatkan pelatihan dalam hal manajemen keuangan, operasional, dsb dari ILO (International Labour Organization). Pelatihan yang biasa dibawakan oleh Mbak Oline dari ILO ini dimulai pada akhir Juni 2013 dengan frekuensi seminggu sekali. Struktur Organisasi Struktur organisasi Rumah Singgah PEKA terdiri atas Dewan Eksekutif, Senior Management dan staf. Di dalam Dewan Eksekutif terdapat tiga jabatan, yaitu Direktur Eksekutif yang dipegang oleh Sam Nugraha seorang konselor dan anggota dari UNODC Indonesia, Sekretaris Eksekutif yang dipegang oleh Intan Asri Nuraeni seorang perawat yang concern dalam bidang pencegahan penyalahgunaan Napza, dan Bendahara Eksekutif yang dipegang oleh Paul Nebri Anmahdi seorang kepala konsultan training di IFR Consulting. Bagian Senior Management diisi oleh Patrician Gregorius yang berperan sebagai General Manager, Lucky Pramitasari sebagai Program Manager, Boyke Setiawan sebagai Operational Manager, dan Ratu Tatiek sebagai Finance Manager. Selain dewan eksekutif dan senior management, terdapat staf yang turut membantu berjalannya Rumah Singgah PEKA. Staf Rumah Singgah PEKA tersebut antara lain Bonni Sofianto sebagai Staff Reguler, Denny Subhan sebagai Staff Finance, Nawawi Hermawan sebagai Staff Program Lapas (Lembaga Pemasyarakatan), Deasy Nathalia sebagai Staff Female Program, Andrasyah Perdana sebagai Staff Conselor, Adis Triyani sebagai Staff Finance Program SSR Kota Bogor, dan Doddy Parlinggoman sebagai Staff Regulerand Conselor.
KARAKTERISTIK PENYALAHGUNA NAPZA Karakteristik responden merupakan faktor yang diduga berhubungan dengan pola interaksi responden dalam lingkungan keluarga dan lingkungan pertemanan. Karakeristik responden adalah karakter yang dimiliki responden saat pertama kali menggunakan Napza. Karakteristik responden terdiri atas karakteristik individu dengan lima variabel, yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, serta tingkat penerimaan, dan karakteristik keluarga dengan tiga variabel, yaitu status pernikahan orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan tingkat penerimaan orangtua. Pada karakteristik individu, usia dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kategori remaja awal (usia responden kurang dari 15 tahun), kategori remaja (usia responden 15-19 tahun), dan kategori remaja akhir (usia responden 20-24 tahun). Variabel jenis kelamin dibagi dua, yaitu laki-laki dan perempuan. Variabel tingkat pendidikan dibagi menjadi lima bagian, yaitu kategori sangat rendah (tidak tamat SD/Sederajat), kategori rendah (tamat SD/Sederajat), kategori sedang (tamat SMP/sederajat), kategori tinggi (tamat SMA/sederajat), dan kategori sangat tinggi (tamat Perguruan Tinggi). Sementara untuk variabel status pekerjaan dibagi menjadi dua, yaitu bekerja dan tidak bekerja. Variabel tingkat penerimaan dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu kategori rendah (penerimaan kurang dari Rp 250.000,-), kategori sedang (penerimaan antara Rp 250.000,- sampai dengan Rp 500.000,-), dan kategori tinggi (penerimaan diatas Rp 500.000). Pada Karakteristik keluarga status pernikahan orang tua dibagi menjadi dua, yaitu orangtua responden yang masih berstatus menikah dan orangtua responden yang berstatus bercerai, duda ataupun jAnda. Untuk tingkat pendidikan ayah dan ibu dikategorikan sama seperti tingkat pendidikan pada responden. Sementara untuk tingkat penerimaan orangtua dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kategori rendah (penerimaan orangtua kurang dari Rp 1.100.000,-), kategori sedang (penerimaan orangtua antara Rp 1.100.000,- sampai dengan Rp 3.000.000,-), dan kategori tinggi untuk penerimaan orangtua diatas Rp 3.000.000.,-. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 orang responden memberikan hasil mengenai karakteristik individu dan karakteristik keluarga responden. Jumlah dan persentase setiap variabel karakteristik individu dan karakteristik keluarga responden dapat dilihat pada Tabel 3.
28
Tabel 3 Karakteristik individu dan karakteristik keluarga penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
responden
Karakteristik Individu 1. Usia Remaja Awal (< 15 tahun) Remaja (15 – 19 tahun) Remaja Akhir (20 – 24 tahun) Jumlah 2. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah 3. Tingkat Pendidikan Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Perguruan Tinggi Jumlah 4. Status Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja Jumlah 5. Tingkat Penerimaan Rendah (< Rp. 250.000,-) Sedang (Rp. 250.000,- – Rp. 500.000,-) Tinggi (> Rp. 500.000,-) Jumlah
Jumlah (orang)
Persentase (%)
22 18 10 50
44.0 36.0 20.0 100.0
44 6 50
88.0 12.0 100.0
10 15 12 12 1 50
20.0 30.0 24.0 24.0 2.0 100.0
31 19 50
62.0 38.0 100.0
24 9 17 50
48.0 18.0 34.0 100.0
Karakteristik Keluarga 6. Status Pernikahan Orangtua Menikah Bercerai/Duda/Janda Jumlah 7. Tingkat Pendidikan Ayah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Perguruan Tinggi Jumlah Tingkat Pendidikan Ibu Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Perguruan Tinggi Jumlah 8. Tingkat penerimaan Orangtua Rendah (< Rp. 1.100.000,-) Sedang (Rp. 1.100.000,- – Rp. 3.000.000,-) Tinggi (> Rp. 3.000.000,-) Jumlah
Jumlah (orang)
Persentase (%)
15 35 50
30.0 70.0 100.0
2 4 5 26 13 50
4.0 8.0 10.0 52.0 26.0 100.0
8 16 13 11 2 50
16.0 32.0 26.0 22.0 4.0 100.0
23 15 12 50
46.0 30.0 24.0 100.0
29
Usia Pada penelitian ini responden berada pada rentang usia 11 sampai dengan 24 tahun saat pertama kali menggunakan Napza. Persentase data responden menurut kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa responden penelitian didominasi oleh responden kategori usia remaja awal (usia dibawah 15 tahun) yaitu sebesar 44 persen. Sebesar 36 persen responden berusia 15 sampai 19 tahun (remaja) dan sebesar 20 persen responden berusia 20 sampai 24 tahun (remaja akhir). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penyalahguna Napza saat pertama kali menggunakannya masih berusia sangat dini. Laporan tahunan Badan Narkotika Nasional tahun 2004 mengungkapkan bahwa 30 persen dari penyalahguna Napza Indonesia didominasi dimulai oleh pengguna usia 7–18 tahun, dan terus mengalami peningkatan di setiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan Asian Harm Reduction Network (AHRN) di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan bekasi tahun 2005 menemukan 50 persen pengguna Napza memulai penggunaannya pada usia 9–15 tahun Hal tersebut dapat dibuktikan dari hasil penelitian yang menemukan bahwa usia pertama kali pengguna mengonsumsi Napza didominasi oleh kategori usia di bawah 15 tahun. Hasiil wawancara mendalam juga mengungkapkan bahwa di lingkungan responden tinggal pada usia di bawah 15 tahun rata-rata sudah mencoba menggunakan zat adiktif berbahaya. Jenis Kelamin Pada Tabel 3 terlihat perbedaan persentase yang jauh antara responden berjenis kelamin laki-laki dengan responden berjenis kelamin perempuan, yaitu sebesar 88 persen responden berjenis kelamin laki-laki dan 12 persen responden berjenis kelamin perempuan. Hasil dokumentasi yang dilakukan oleh komunitas JANGKAR di 12 Kota di Indonesia pada tahun 2008 mengungkapkan bahwa 90 persen penyalahguna Napza berjenis kelamin laki-laki. Hal tersebut juga terlihat pada hasil penelitian ini yang didominasi oleh pengguna berjenis kelamin lakilaki. Hasil wawancara mendalam mengungkapkan laki-laki cenderung lebih bebas ketimbang perempuan. “Kalau laki-laki sih lebih bebas main kemana-mana kalau perempuan kan susah, makanya temen-temen saya yang pemakai kebanyakan ya laki-laki juga” (XX, Laki-laki,18) Tingkat Pendidikan Tabel 3 menyajikan jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikannya. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan tidak memiliki ketimpangan yang jauh di setiap kategorinya, kecuali untuk kategori responden dengan tingkat pendidikan tamat perguruan tinggi. Hanya sebesar 2 persen responden yang tamat perguruan tinggi. Sementara responden yang tidak tamat SD memiliki persentase 20 persen. Untuk responden yang tamat SMP dan tamat
30
SMA memiliki jumlah persentase yang sama yaitu sebesar 24 persen. Persentase paling tinggi adalah kategori responden tamat SD yaitu sebesar 30 persen. Hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa mayoritas penyalahguna Napza pada penggunaan pertama kali masih berada pada jenjang pendidikan yang rendah. Hal ini bisa dikaitkan dengan usia rata-rata responden penyalahguna Napza berada pada rentang usia dibawah 15 tahun. Selain memang tidak sampai tamat SD, ada pula beberapa responden yang belum tamat SD saat itu. Status Pekerjaan Hasil penelitian menyebutkan bahwa sebagian besar responden saat pertama kali menggunakan Napza tidak bekerja. Persentase data responden menurut status pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel tersebut menunujukkan bahwa status pekerjaan responden saat perama kali menggunakan Napza didominasi oleh responden yang tidak bekerja, yaitu dengan persentase sebesar 62 persen. Hasil penelitian yang menunjukkan status pekerjaan tidak bekerja dominan pada penyalahguna Napza dapat dikaitkan dengan mayoritas responden yang berada pada kategori usia remaja awal atau kurang dari 15 tahun. Selain itu, tingkat pendidikan yang rendah juga menyebabkan responden didominasi kategori status pekerjaan tidak bekerja. “Waktu pertama kali jadi pemakai sih belum kerja, masih sekolah waktu itu. Ya umurnya juga kan masih muda banget, masih jadi murid SD.” (PO, Laki-laki,30) Tingkat Penerimaan Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan responden mayoritas berada pada kategori rendah dengan persentase sebesar 48 persen. Sementara itu, sebesar 34 persen responden memiliki tingkat penerimaan yang tinggi, dan sebesar 18 persen responden memiliki tingkat penerimaan sedang. Hal ini menunjukkan kecenderungan tingkat penerimaan penyalahguna Napza berada pada tingkat penerimaan rendah yaitu dibawah Rp 250.000,-. Hal ini sesuai dengan penelitian Sulistyorini (2008) yang menunjukkan bahwa sebagian besar penyalahguna Napza berasal dari tingkat ekonomi rendah. Hasil penelitian yang menunjukkan tingkat penerimaan rendah pada penyalahguna Napza dapat dikaitkan dengan dominasi karakteristik usia dan tingkat pendidikan responden yang rendah serta status pekerjaan yang didominasi oleh responden tidak bekerja. Beberapa responden dalam wawancara mendalam juga mengungkapkan selain mereka yang belum bekerja sehingga tidak memiliki penghasilan, mereka juga berasal dari keluarga dengan status ekonomi yang rendah.
31
“Pas pertama kali ‘make’ sih ga punya penghasilan, belum kerja waktu itu, sekolah aja ga lulus. Dikasih uang sama orang tua juga syukur soalnya buat makan aja susah.” (XX, Laki-laki,18) Status Pernikahan Orangtua Status Pernikahan responden dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu menikah dan bercerai atau duda/janda karena pasangan meninggal dunia atau ditinggal pergi selama rentang waktu yang sangat lama tanpa kabar. Tabel 3 menunjukkan sebesar 70 persen responden yang mewakili penyalahguna Napza di kalangan remaja Bogor menurut status pernikahan orangtua termasuk dalam kategori bercerai/duda/janda saat pertama kali menjadi pengguna Napza. Sisanya sebanyak 30 persen termasuk dalam kategori menikah. Dapat dikatakan mayoritas penyalahguna Napza berasal dari keluarga yang orangtuanya bercerai/duda/janda. Hal ini sesuai dengan penelitian Harahap (2008) yag menunjukkan bahwa sebagian besar penyalahguna Napza yang ditemukan berasal dari keluarga dengan sistem Separated (terpisah) dan Disanganged (tercerai berai). Tingkat Pendidikan Orangtua Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ayah responden mayoritas berada pada kategori tinggi yaitu tamat SMA dengan persentase sebesar 52 persen. Sementara sebesar 26 persen responden memiliki tingkat pendidikan ayah tamat Perguruan Tinggi. Untuk kategori lainnya dalam variabel tingkat pendidikan ayah memiliki persentase masing-masing sebesar 10 persen untuk tamat SMP, 8 persen untuk tamat SD, dan 4 persen tidak tamat SD. Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu responden berbeda dengan tingkat pendidikan ayah responden. Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas tingkat pendidikan ibu berada pada kategori rendah atau tamat SD, yaitu sebesar 32 persen. Responden yang tingkat pendidikan ibunya tidak tamat SD memiliki persentase sebesar 16 persen. Untuk kategori tamat SMP persentase yang didapat sebesar 26 persen. Sementara untuk kategori tamat SMA didapat hasil dengan persentase sebesar 22 persen. Hanya sedikit responden yang memiliki tingkat pendidikan ibu sangat tinggi atau tamat Perguruan Tinggi, yaitu sebesar 4 persen. Tingkat Penerimaan Orangtua Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan orangtua responden dominan berada pada kategori rendah, yaitu sebesar 46 persen. Sebesar 30 persen responden memiliki tingkat penerimaan orangtua yang sedang, dan sebesar 24 persen responden memiliki tingka penerimaan yang tinggi. Hal ini menunjukkan mayoritas penyalahguna Napza memiliki tingkat penerimaan yang tergolong rendah, yaitu dibawah Rp 1.100.000,-. Hal ini sesuai dengan penelitian Sulistyorini (2008) yang menyebutkan bahwa kebanyakan pengguna Napza berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah. Hasil wawancara mendalam juga mengungkapkan bahwa kebanyakan orangtua responden tidak memiliki
32
pekerjaan tetap. Selain itu, status pernikahan yang didominasi bercerai juga menyebabkan penghasilan hanya berasal dari satu orang saja. “Orang tua saya sih udah cerai, bapak nggak tau kemana. Jadi cuma ibu yang kerja itu juga nggak tetap. Kalau lagi ada ya ada kalau lagi nggak ada ya udah” (MM, Perempuan,18)
33
34
POLA INTERAKSI PENYALAHGUNA NAPZA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK INTERNAL Pola Interaksi Pola interaksi penyalahguna Napza diukur berdasarkan hubungan seharihari mereka di dalam keluarga dan di dalam lingkungan bermainnya yang khas. Pola interaksi yang ingin diketahui mencakup pola interaksi penyalahguna Napza dengan keluarga dan teman bermainnya. Pola interaksi diukur menurut waktu saat responden pertama kali menggunakan Napza. Terdapat 20 pertanyaan yang diajukan kepada responden penyalahguna Napza berkaitan dengan pola interaksi yang terbentuk di dalam keluarganya. Pada pola interaksi keluarga, hubungan diukur berdasarkan sistem keluarga yang khas terjadi di dalam hubungan di dalamnya, yaitu seperti frekuensi dan intensitas responden berkumpul bersama keluarga, cara orangtua memperlakukan responden di setiap interaksi, seberapa nyaman responden berkumpul dan bercerita bersama keluarga, dan juga persepsi responden terhadap kepedulian anggota keluarga lain kepadanya. Pengukuran variabel pola interaksi di dalam lingkungan pertemanan dilakukan dengan pemberian 18 pertanyaan kepada responden penyalahguna Napza terkait hal tersebut. Sama halnya dengan pola iteraksi keluarga, untuk pola interaksi di dalam lingkungan pertemanan hubungan diukur berdasarkan sistem pertemanan yang khas terjadi di dalam hubungan di dalamnya, yaitu seperti frekuensi dan intensitas responden berkumpul bersama teman bermainnya, seberapa banyak waktu yang dihabiskan responden bersama teman bermainnya, bagaimana persepsi responden terhadap penerimaan dirinya di dalam lingkungan bermain tersebut, seberapa terbuka dan solidnya hubungan pertemanan tersebut, dan kegiatan apa saja yang dilakukan responden bersama teman bermainnya. Pola Interaksi Keluarga Pola interaksi keluarga diukur melalui pemberian 20 pertanyaan tertutup di dalam kuisioner. Pola interaksi keluarga kemudian diukur dengan memberikan skor terhadap jawaban responden dan menghitung jumlah skor tersebut. Skor yang diperoleh kemudian dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu kategori rendah, sedang, dan tinggi. Pola interaksi keluarga yang terbentuk pada responden penyalahguna Napza disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah dan persentase responden menurut pola interaksi keluarga penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Keluarga Jumlah (orang) Persentase (%) 28 56.0 Rendah 14 28.0 Sedang 8 16.0 Tinggi 50 100.0 Jumlah
35
Hasil pengolahan data responden penyalahguna Napza menunjukkan bahwa pola interaksi keluarga reponden mayoritas berada pada kategori rendah dengan persentase sebesar 56 persen. Hanya sebagian kecil responden yang memiliki pola interaksi keluarga tinggi yaitu sebesar 16 persen. Berdasarkan hasil pengisian kuisioner sebagian besar responden merasa bahwa orangtua mereka kerap kali membuat peraturan yang tidak berkenan bagi mereka, kemudian orangtua mereka pun sering berkata kasar dan melakukan tindak kekerasan. Selain itu, kebanyakan responden mengungkapkan bahwa mereka tidak merasa bebas mengeluarkan suara atau pendapat di dalam keluarganya, sehingga mereka merasa kurang dihargai keberadaannya dan juga tidak dapat menjadi diri sendiri. Wawancara mendalam yang dilakukan kepada responden juga mengungkapkan pola interaksi yang rendah di dalam lingkungan keluarganya. “Saya sih males di rumah lama-lama, saya salah melulu kalau di rumah mending pergi aja. Kalau pergi kan jadi bebas dari omelan yan nggak jelas itu” (RD, Laki-laki,27) Berdasarkan hasil pengisian kuisioner mengenai pola interaksi keluarga, sebanyak 22 persen penyalahguna Napza cenderung memiliki pola interaksi keluarga tipe demokratis, 4 persen cenderung memiliki pola interaksi keluarga tipe protektif, 34 persen cenderung memiliki pola interaksi keluarga tipe otoriter, dan 40 persen cenderung memiliki pola interaksi keluarga tipe laissez faire. Hal ini menunjukkan bahwa penyalahguna Napza cenderung berasal dari tipe keluarga otoriter dan laissez faire. Kebanyakan penyalahguna Napza merasa orangtua atau anggota keluarga yang dituakan kurang peduli terhadap diri mereka dan mereka juga merasa anggota keluarga kerap kali bersikap kasar. Hal tersebut membuat penyalahguna Napza merasa tidak nyaman berada di lingkungan keluarganya, hal ini pula yang menyebabkan pola interaksi keluarga pada penyalahguna Napza dominan rendah. Hubungan Karakteristik Individu dan Karakteristik Keluarga dengan Pola Interaksi Keluarga Subbab ini menjelaskan hubungan antara karakreristik individu dan karakteristik keluarga responden penyalahguna Napza dengan pola interaksi keluarga. Karakteristik individu dan karakteristik keluarga responden yang dihubungkan dengan pola interaksi keluarga yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkat penerimaan, status pernikahan orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan tingkat penerimaan orangtua. Pada penelitian ini dilakukan uji korelasi dengan menggunakan Uji Rank Spearman dan Uji Chisquare. Hasil pengujian korelasi antara karakteristik individu dan karakteristik keluarga responden penyalahguna Napza dengan pola interaksi keluarga disajikan secara lebih rici dalam Tabel 5.
36
Tabel 5
Nilai koefisien korelasi dan signifikansi korelasi berdasarkan hasil pengujian korelasi antara karakteristik internal dengan pola interaksi keluarga responden penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Karakteristik Individu dan Keluarga Pola Interaksi Keluarga (Spearman’s rho) Value Asymp. Sig. Usia .422 .002* Jenis Kelamin .453 .797 Tingkat Pendidikan - .041 .776 Status Pekerjaan - .026 .860 Tingkat Penerimaan .317 .025* Status Pernikahan Orangtua .409 .003* Tingkat Pendidikan Ayah .025 .865 Tingkat Pendidikan Ibu .257 .071* Tingkat Penerimaan Orangtua .360 .010* Keterangan: *berhubungan signifikan pada α<0.1 Pengujian hubungan antara variabel usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkat penerimaan, status pernikahan orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan tingkat penerimaan orangtua dengan pola interaksi keluarga pada responden penyalahguna Napza dilakukan dengan uji Rank Spearman. Sementara itu, untuk pengujian hubungan antara variabel jenis kelamin dengan pola interaksi keluarga pada responden penyalahgunaan Napza dilakukan dengan uji Chi-square. Uji hipotesis hubungan antara variabel tersebut dengan pola interaksi yang terjadi di dalam lingkungan keluarga penyalahguna Napza dapat dijabarkan sebagai berikut: H0
=
H1
=
Tidak terdapat hubungan antara (variabel yang diukur) dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza Terdapat hubungan antara (variabel yang diukur) dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza
Hipotesis di atas akan diuji dengan melihat nilai signifikansi dari hasil pengujian Rank Spearman dan pengujian Chi-square. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik Rank Spearman dan uji Chi-square adalah jika nilai signifikansi >0.1, maka H0 diterima dan jika nilai signifikansi <0.1 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Sementara itu, jika nilai koefisien korelasi positif, maka hubungan antar variabel yang diukur adalah searah dan jika nilai koefisien korelasi negatif, maka hubungan antar variabel yang diukur adalah tidak searah. Hubungan Usia dengan Pola Interaksi Keluarga Variabel usia dihubungkan dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza bertujuan untuk melihat apakah usia berpengaruh terhadap pola interaksi yang terbentuk di dalam keluarga. Hubungan antara usia responden penyalahguna Napza dengan pola interaksi keluarga dianalisis dengan menggunakan uji Rank Spearman. Tabel 6 menyajikan data tabulasi silang antara usia dan pola interaksi responden penyalahguna Napza.
37
Tabel 6
Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut usia responden penyalahguna Napza di di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Keluarga Total Usia Rendah Sedang Tinggi N % N % N % N % Remaja Awal 18 81.8 3 13.6 1 4.5 22 100.0 Remaja 5 27.8 11 61.1 2 11.1 18 100.0 Remaja Akhir 5 50.0 0 00.0 5 50.0 10 100.0 Total 28 56.0 14 28.0 8 16.0 50 100.0 Tabel 6 menunjukkan kategori responden yang berusia di bawah 15 tahun (remaja awal) mayoritas memiliki pola interaksi keluarga rendah dengan persentase sebesar 81.8 persen. Sementara itu, pada kategori usia 15 sampai 19 tahun (remaja) diperoleh hasil pada variabel pola interaksi keluarga mayoritas berada pada kategori sedang, yaitu sebesar 61.1 persen. Pada kategori responden berusia 20 sampai 24 tahun (remaja akhir) didapatkan hasil yang sama pada nilai persentase pola interaksi keluarga rendah dan tinggi, yaitu sebesar 50 persen Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyalahguna Napza yang berusia remaja awal memiliki pola interaksi keluarga yang lebih rendah dibandingkan dengan penyalahguna Napza yang berusia remaja dan remaja akhir. Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 5 dapat dilihat bahwa variabel usia memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.002. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data <0.1 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Terdapat hubungan antara usia dengan pola interaksi keluarga ini berarti penyalahguna Napza memberikan perbedaan dalam pola interaksi keluarga pada usia yang berbeda. Nilai koefisien korelasi yang positif antara usia dengan pola interaksi keluarga pada penyalahguna Napza menunjukkan hubungan yang searah. Nilai koefisien korelasi tersebut menyatakan bahwa semakin muda usia penyalahguna Napza maka semakin rendah pula pola interaksi keluarga yang dimiliki, dan sebaliknya. Usia penyalahguna Napza berpengaruh terhadap pola interaksi keluarga. Hal ini disebabkan karena hasil yang menunjukkan hubungan yang searah tersebut didominasi oleh responden penelitian kategori usia remaja awal (<15 tahun) yaitu sebanyak 44 persen dengan keadaan pola interaksi keluarga yang mayoritas rendah pula. Hasil wawancara mengungkapkan sebagian besar dari mereka merasa sangat dikekang pada usia muda, sehingga mereka tidak nyaman berada dalam lingkungan keluarganya. “jaman masih muda dulu apa-apa ga boleh sama orang tua, jadi ya makin ga betah aja di rumah. Mending main aja pergi terus. Apalagi kalau liat kakak yang udah gede bebas banget jadi iri.” (MT, Laki-laki,32)
38
Hubungan Jenis Kelamin dengan Pola Interaksi Keluarga Hubungan antara jenis kelamin dengan pola interaksi keluarga responden penyalahguna Napza dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Chi-Square. Jenis kelamin dibedakan menjadi perempuan dan laki-laki. Hasil analisis tabulasi silang hubungan antara jenis kelamin dengan pola interaksi keluarga responden penyalahguna Napza dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan bahwa kategori responden yang berjenis kelamin laki-laki memiliki persentase paling tinggi pada pola interaksi keluarga rendah sebesar 54.5 persen. Sementara itu, kategori responden yang berjenis kelamin perempuan juga memiliki persentase paling tinggi pada pola interaksi keluarga rendah sebesar 66.7 persen. Hal ini mengindikasikan tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Tabel 7
Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut jenis kelamin penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Keluarga Total Jenis Kelamin Rendah Sedang Tinggi N % N % N % N % Laki-laki 24 54.5 13 29.5 7 15.9 44 100.0 Perempuan 4 66.7 1 16.7 1 16.7 6 100.0 Total 28 56.0 14 28.0 8 16.0 50 100.0
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-square dalam Tabel 5 dapat dilihat bahwa variabel jenis kelamin memiliki nilai signifikansi Pearson Chi-Square sebesar 0.797. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data >0.1 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan pola interaksi keluarga ini berarti penyalahguna Napza tidak memberikan perbedaan dalam pola interaksi keluarga pada jenis kelamin yang berbeda. Jenis kelamin penyalahguna Napza tidak berpengaruh terhadap pola interaksi keluarga. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 7 yang menunjukkan baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki persentase terbesar untuk pola interaksi keluarga yang berada pada kategori rendah. Hal ini kemungkinan juga disebabkan jumlah responden laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pola Interaksi Keluarga Hubungan antara tingkat pendidikan dengan pola interaksi keluarga dapat diketahui melalui uji Rank-Spearman. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah responden dengan tingkat pendidikan yang berbeda memiliki pola interaksi keluarga yang berbeda pula. Hasil analisis hubungan tingat pendidikan dengan pola interaksi keluarga ini dapat dilihat pada Tabel 8. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah dan persentase responden didominasi pada kategori pola interaksi keluarga yang rendah di setiap kategori tingkat pendidikan. Terlihat bahwa baik kategori tingkat pendidikan tamat SD, tamat SMP, maupun tamat Universitas memiliki persentase paling tinggi pada
39
pola interaksi keluarga rendah, yaitu masing-masing sebesar 80 persen, 83.3 persen, dan 100 persen. Sementara pada kategori tingkat pendidikan tidak tamat SD kategori pola interaksi keluarga sedang memiliki persentase paling tinggi sebesar 80 persen. Data hasil tabulasi silang ini mengindikasikan tidak adanya hubungan nyata antara tingkat pendidikan dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Tabel 8
Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat pendidikan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Keluarga Total Tingkat Pendidikan Rendah Sedang Tinggi N % N % N % N % Tidak tamat SD 1 10.0 8 80.0 1 10.0 10 100.0 Tamat SD 12 80.0 1 6.7 2 13.3 15 100.0 Tamat SMP 10 83.3 2 16.7 0 0.0 12 100.0 Tamat SMA 4 33.3 3 25.0 5 41.7 12 100.0 Tamat Perguruan 1 100.0 0 0.0 0 0.0 1 100.0 Tinggi Total 28 56.0 14 28.0 8 16.0 50 100.0 Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 5 dapat dilihat bahwa variabel jenis kelamin memiliki nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data >0.1 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pola interaksi keluarga ini berarti penyalahguna Napza belum tentu memberikan perbedaan dalam pola interaksi keluarga pada tingkat pendidikan yang berbeda. Tingkat pendidikan penyalahguna Napza tidak berpengaruh terhadap pola interaksi keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan penyalahguna Napza saat pertama kali mengonsumsi Napza belum tentu memiliki pola interaksi keluarga yang tinggi pula begitu pun sebaliknya. Hal ini disebabkan sebagian besar responden penyalahguna Napza merasa pendidikan formal tidak mengajarkan bagaimana pola interaksi keluarga seharusnya terbentuk dengan baik, terlebih lagi interaksi yang terjadi di dalam keluarganya mayoritas bersifat kaku dan kurang menghargai keberadaan responden. Sehingga pendidikan berdasarkan hasil penelitian tidak berhubungan dengan pola interaksi keluarga yang terbentuk. “sekolah mah belajar pelajaran sekolah aja sibuk gimana caranya bisa naik kelas, di rumah juga ga diterapin. Di rumah kaku sih mau ngomong atau ngapain jadi males deh.” (SH, Perempuan,28)
40
Hubungan Status Pekerjaan dengan Pola Interaksi Keluarga Hubungan antara status pekerjaan dengan pola interaksi keluarga dapat diketahui melalui uji Rank Spearman. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah responden penyalahguna Napza dengan status pekerjaan yang berbeda memiliki pola interaksi keluaarga yang berbeda pula.. Hasil analisis hubungan status pekerjaan dengan pola interaksi keluarga dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 menunjukkan baik responden yang memiliki status pekerjaan tidak bekerja maupun bekerja cenderung memiliki pola interaksi keluarga yang rendah, yaitu masing-masing sebesar 54.8 persen dan 57.9 persen. Hal ini mengindikasikan tidak adanya hubungan nyata antara variabel status pekerjaan dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza.
Tabel 9
Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut status pekerjaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Keluarga Total Status Pekerjaan Rendah Sedang Tinggi N % N % N % N % Tidak Bekerja 17 54.8 9 29.0 5 16.1 31 100.0 Bekerja 11 57.9 5 26.3 3 15.8 19 100.0 Total 28 56.0 14 28.0 8 16.0 50 100.0 Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 5 dapat dilihat bahwa variabel status pekerjaan memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.860. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data >0.1 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara status pekerjaan dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Tidak terdapat hubungan antara status pekerjaan dengan pola interaksi keluarga ini berarti penyalahguna Napza belum tentu memberikan perbedaan dalam pola interaksi keluarga pada status pekerjan yang berbeda. Status pekerjaan penyalahguna Napza tidak berpengaruh terhadap pola interaksi keluarga. Hal ini disebabkan sebagian besar responden penyalahguna Napza tidak memiliki pekerjaan dan juga belum memasuki usia produktif untuk bekerja. Wawancara mendalam mengungkapkan bahwa pada saat pertama kali mengunakan Napza dengan usia yang relatif masih sangat muda, keluarga belum terlalu mementingkan status pekerjaan sehingga tidak menimbulkan masalah dalam pola interaksi keluarga yang terbentuk. “Waktu dulu sih ngggak kerja juga ngggak jadi masalah soalnya kewajibannya masih sekolah. Umurnya juga masih kecil, mau kerja apa juga bingung jadi ya memang nggak apa-apa kalau nggak kerja.” (SH, Perempuan,28) Hubungan tingkat penerimaan dengan pola interaksi keluarga Variabel tingkat penerimaan dihubungkan dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza bertujuan untuk melihat apakah tingkat penerimaan
41
berpengaruh terhadap pola interaksi yang terbentuk di dalam keluarga. Hubungan antara tingkat penerimaan responden penyalahguna Napza dengan pola interaksi keluarga dianalisis dengan menggunakan uji Rank Spearman. Tabel 10 menyajikan tabulasi silang yang menunjukkan hubungan antara tingkat penerimaan responden dengan pola interaksi keluarga. Tabel 10 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat penerimaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Keluarga Total Tingkat Penerimaan Rendah Sedang Tinggi N % N % N % N % Rendah 17 70.8 5 20.8 2 8.3 24 100.0 Sedang 5 55.6 2 22.2 2 22.2 9 100.0 Tinggi 6 35.3 7 41.2 4 23.5 17 100.0 Total 28 56.0 14 28.0 8 16.0 50 100.0 Tabel 10 menunjukkan bahwa responden dengan tingkat penerimaan rendah cenderung memiliki pola interaksi keluarga yang rendah pula dengan persentase sebesar 70.8 persen. Untuk responden penyalahguna Napza dengan kategori tingkat penerimaan sedang memiliki dominasi pola interaksi keluarga yang rendah pula, yaitu dengan persentase sebesar 55.6 persen. Selain itu, diketahui pula bahwa pola interaksi keluarga paling tinggi berasal dari responden dengan tingkat penerimaan yang tinggi pula yaitu dengan persentase sebesar 23.5 persen. Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 5 dapat dilihat bahwa variabel tingkat penerimaan memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.025. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data <0.1 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat penerimaan dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Terdapat hubungan antara tingkat penerimaan dengan pola interaksi keluarga ini berarti penyalahguna Napza memberikan perbedaan dalam pola interaksi keluarga pada tingkat penerimaan yang berbeda. Nilai koefisien korelasi yang positif antara tingkat penerimaan dengan pola interaksi keluarga pada penyalahguna Napza menunjukkan hubungan yang searah. Nilai koefisien korelasi tersebut menyatakan bahwa semakin rendah tingkat penerimaan penyalahguna Napza maka semakin rendah pula pola interaksi keluarga yang dimiliki, dan semakin tinggi tingkat penerimaannya maka semakin tinggi pula pola interaksi keluarga yang dimiliki. Hasil yang menunjukkan hubungan searah tersebut diperkuat oleh pengakuan responden penelitian dengan tingkat penerimaan rendah. Responden dengan tingkat penerimaan rendah menyatakan bahwa merasa tidak dihargi sebagai anggota keluarga dan kemudian menyebabkan pola interaksi keluarga yang rendah. Selain usia yang masih berada pada fase produktif sebagai seorang pelajar dan tanpa tuntutan bekerja, namun kebanyakan responden merasa tidak diberikan porsi yang adil di dalam keluarganya. Berbeda halnya dengan responden yang sudah bekerja dan memiliki tingkat penerimaan yang tinggi maka pola interaksi keluarga mereka menjadi tinggi pula. Menurut beberapa responden
42
penelitian, disaat mereka memiliki uang yang cukup banyak di dalam anggota keluarganya mereka merasa lebih dihargai, didengar suaranya, atau dengan kata lain secara tidak langsung mendapat kepercayaan untuk memegang kontrol di dalam keluarga tersebut. “kalau udah kerja punya penghasilan sendiri enak, di rumah jadi diperhatiin. Jadi boleh ngapain aja juga. Kalau nggak sih diomelin terus.” (IK, Laki-laki,30) Hubungan Status Pernikahan Orangtua dengan Pola Interaksi Keluarga Hubungan antara status pernikahan orangtua dengan pola interaksi keluarga dapat diketahui melalui uji Rank Spearman. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah responden penyalahguna Napza dengan status pernikahan orangtua yang berbeda memiliki pola interaksi keluarga yang berbeda pula. Pengukuran status pernikahan orangtua ini diukur pada saat respoden pertama kali menggunakan Napza. Hasil analisis hubungan status pernikahan orangtua dengan pola interaksi keluarga dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 menunjukkan bahwa kategori responden yang status pernikahan orangtuanya menikah memiliki persentase tertinggi pada pola interaksi keluarrga sedang sebesar 40 persen dan berbeda tipis pada kategori pola interaksi keluarga tinggi sebesar 33.3 persen. Sementara itu kategori responden yang status pernikahan orangtuanya bercerai didominasi dengan pola interaksi keluarga rendah sebesar 68.6 persen. Data tersebut mengindikasikan adanya hubungan nyata antara status pernikahan orangtua dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Tabel 11 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut status pernikahan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Keluarga Total Status Pernikahan Rendah Sedang Tinggi Orangtua N % N % N % N % Menikah 4 26.7 6 40.0 5 33.3 15 100.0 Bercerai/duda/janda 24 68.6 8 22.9 3 8.5 35 100.0 Total 28 56.0 14 28.0 8 16.0 50 100.0 Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 5 dapat dilihat bahwa variabel status pernikahan orangtua memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.003. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data <0.1 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara status pernikahan orangtua dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Terdapat hubungan antara status pernikahan orangtua dengan pola interaksi keluarga ini berarti penyalahguna Napza memberikan perbedaan dalam pola interaksi keluarga pada status pernikahan orangtua yang berbeda. Nilai koefisien korelasi yang positif antara status pernikahan orangtua dengan pola interaksi keluarga pada penyalahguna Napza menunjukkan hubungan yang searah. Nilai koefisien
43
korelasi tersebut menyatakan dengan status pernikahan orangtua yang bercerai/duda/janda atau dalam kata lain termasuk dalam keluarga yang tingkat keharmonisannya rendah membuat pula pola interaksi keluarga yang terbentuk di dalamnya rendah, dan begitu pula sebaliknya. Hasil yang menunjukkan hubungan searah tersebut diperkuat oleh pengakuan responden penelitian dengan status pernikahan orangtua yang menyatakan bahwa orangtuanya menjadi lebih tempramental setelah bercerai. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pola interaksi yang terbentuk di dalam keluarga. Pola interaksi keluarga yang muncul menjadi rendah akibat hal tersebut. Responden lainnya juga mengungkapkan fakta mengenai status pernikahan orangtuanya yang sebenarnya tidak bercerai namun Ibunya telah ditinggal bertahun-tahun oleh Ayahnya dengan alasan pergi merantau untuk bekerja. Ia menyatakan Ibunya menjadi lebih sensitif sehingga sangat sulit diajak berkomunikasi. “Semenjak bertahun-tahun Bapak ilang Ibu susah banget diajak ngobrol, ada apa dikit bisa ngamuk. Jadi saya juga susah mau ngobrolnya.. Bingung juga saya” (BY, Lakilaki,30) Hubungan Tingkat Pendidikan Orangtua dengan Pola Interaksi Keluarga Pola interaksi keluarga dapat dilihat hubungannya dengan tingkat pendidikan orangtua responden, apakah tingkat pendidikan orangtua yang tinggi memberikan efek pada pola interaksi keluarga yang lebih tinggi. Pendidikan orangtua dalam kategori ini dibagai menjadi dua bagian, yaitu tingkat pendidikan ayah dan tingkat pendidikan ibu. Hasil analisis tabulasi silang yang digunakan untuk melihat hubungan antara tingkat pendidikan Ayah dengan pola interaksi keluarga dapat dilihat pada Tabel 12. Sementara itu, untuk hasil uji tabulasi silang terhadap hubungan tingkat pendidikan Ibu dapat dilihat dalam Tabel 13. Tabel 12 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat pendidikan ayah penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Keluarga Total Tingkat Pendidikan Rendah Sedang Tinggi Ayah N % N % N % N % Tidak tamat SD 2 100.0 0 0.0 0 0.0 2 100.0 Tamat SD 2 50.0 0 0.0 2 50.0 4 100.0 Tamat SMP 3 60.0 2 40.0 0 0.0 5 100.0 Tamat SMA 13 50.0 10 38.5 3 11.5 26 100.0 Tamat Perguruan 8 61.5 2 15.4 3 23.1 13 100.0 Tinggi Total 28 56.0 14 28.0 8 16.0 50 100.0 Tabel 12 menunjukkan bahwa semua kategori tingkat pendidikan memiliki persentase terbesar pada pola interaksi keluarga yang rendah. Hasil uji tabulasi
44
silang tersebut mengindikasikan tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan Ayah dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 5 dapat dilihat bahwa variabel tingkat pendidikan Ayah memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.865. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data >0.1 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan Ayah dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan Ayah dengan pola interaksi keluarga ini berarti penyalahguna Napza tidak memberikan perbedaan dalam pola interaksi keluarga pada tingkat pendidikan Ayah yang berbeda. Hasil yang menunjukkan tidak adanya hubungan antar variabel tersebut diperkuat oleh pengakuan responden penelitian yang mengungkapkan baha interaksi dengan Ayah jauh lebih rendah dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya. Hal ini dikarenakan jumlah jam kerja Ayah yang tidak menentu sehingga jarang memiliki waktu luang untuk berinteraksi dengan anggota keluarga. “Bapak jarang banget di rumah, kalau pulang juga ya paling tidur atau kalau nggak ya marah-marah, habis itu pergi lagi” (JT, Laki-laki,28) Tabel 13 menunjukkan bahwa jumlah dan persentase responden didominasi pada kategori tingkat pendidikan Ibu yang tinggi dengan pola interaksi keluarga yang tinggi sebesar 100 persen, disusul oleh kategori tingkat pendidikan Ibu rendah dengan pola interaksi keluarga yang rendah sebesar 75 persen. Hasil uji tabulasi silang tersebut mengindakasikan adanya hubungan antara tingkat pendidikan Ibu dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Tabel 13 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat pendidikan ibu penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Keluarga Total Tingkat Pendidikan Rendah Sedang Tinggi Ibu N % N % N % N % Tidak tamat SD 6 75.0 1 12.5 1 12.5 8 100.0 Tamat SD 11 68.8 2 12.5 3 18.8 16 100.0 Tamat SMP 6 46.2 5 38.5 2 15.4 13 100.0 Tamat SMA 5 45.5 6 54.5 0 0.0 11 100.0 Tamat Perguruan 0 0.0 0 0.0 2 100.0 2 100.0 Tinggi Total 28 56.0 14 28.0 8 16.0 50 100.0 Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 5 dapat dilihat juga variabel tingkat pendidikan Ibu. Variabel tingkat pendidikan Ibu pada memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.071. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data <0.1
45
maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tinkat pendidikan Ibu dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan Ibu dengan pola interaksi keluarga ini berarti penyalahguna Napza memberikan perbedaan dalam pola interaksi keluarga pada tingkat pendidikan Ibu yang berbeda. Nilai koefisien korelasi yang positif antara tingkat pendidikan Ibu dengan pola interaksi keluarga pada penyalahguna Napza menunjukkan hubungan yang searah. semakin tinggi tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh Ibu maka akan semakin tinggi pola interksi keluarga yang dimiliki penyalahguna Napza. Hasil yang menunjukkan hubungan searah tersebut diperkuat oleh pengakuan responden mengenai tingkat pendidikan orangtua khusunya Ibu. Menurut mereka Ibu lebih memiliki pengaruh besar bagi interaksi yang terbentuk di dalam keluarga dibandingkan dengan Ayah. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan penyebab tingkat pendidikan Ayah tidak berhubungan dengan pola interaksi keluarga, tidak seperti tingkat pendidikan Ibu yang memberikan pengaruh searah bagi pola interaksi keluarga. “Ibu yang paling sering komunikasi sama anak-anaknya kalau di rumah disbanding yang lainnya. Mungkin karena memang nggak sibuk jadi lebih merhatiin anaknya.” (JT, Laki-laki,28) Hubungan Tingkat Penerimaan Orangtua dengan Pola Interaksi Keluarga Tingkat penerimaan orangtua diukur dari pendapatan orangtua yang aktif memiliki penghasilan, baik itu berasal dari ayah maupun ibu saat responden pertaama kali menggunakan Napza. Tingkat penerimaan orangtua dapat dilihat hubungannya dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza dengan melihat hasil analisis tabulasi silang pada Tabel 14. Tabel 14 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat penerimaan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Keluarga Total Tingkat Penerimaan Rendah Sedang Tinggi N % N % N % N % Rendah 16 69.6 5 21.7 2 8.7 23 100.0 Sedang 9 60.0 5 33.3 1 6.7 15 100.0 Tinggi 3 25.0 4 33.3 5 41.7 12 100.0 Total 28 56.0 14 28.0 8 16.0 50 100.0 Tabel 14 menunjukkan bahwa pada kategori tingkat penerimaan rendah, pola interaksi keluarga rendah memiliki persentase tertinggi, yaitu 69.6 persen. Sementara itu, pada tingkat penerimaan tinggi persentase tertinggi sebesar 41.7 persen dimiliki oleh pola interaksi keluarga yang tinggi pula. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan nyata antara variabel tingkat penerimaan orangtua dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza.
46
Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 5 dapat dilihat bahwa variabel tingkat penerimaan orangtua memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.010. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data <0.1 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat penerimaan orangtua dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Terdapat hubungan antara tingkat penerimaan orangtua dengan pola interaksi keluarga ini berarti penyalahguna Napza memberikan perbedaan dalam pola interaksi keluarga pada tingkat penerimaan orangtua yang berbeda. Nilai koefisien korelasi yang positif antara tingkat penerimaan orangtua dengan pola interaksi keluarga pada penyalahguna Napza menunjukkan hubungan yang searah. Nilai koefisien korelasi tersebut menyatakan dengan tingkat penerimaan orangtua yang rendah membuat pola interaksi keluarga yang terbentuk menjadi rendah pula. Hasil yang menunjukkan hubungan searah tersebut diperkuat oleh pengakuan responden penelitian dengan tingkat penerimaan orangtua rendah. Responden dengan tingkat penerimaan orangtua rendah menyatakan bahwa pada umumnya salah satu penyebab interaksi di dalam keluarga menjadi tidak baik adalah permasalahan ekonomi yang rendah. permasalahan ekonomi dirasa kerap kali menjadi pemicu terjadinya keributan atau perselisihan di dalam keluarga. “Ibu sama Bapak dari dulu pasti ribut melulu gara-gara duit. Saya bisa nggak pulang berhari-hari karena pusing denger orangtua ributin masalah duit terus” (RD, Lakilaki, 27) Pola Interaksi Pertemanan Berdasarkan kuisioner yang disebarkan kepada 50 responden penelitian, pola interaksi pertemanan diukur melalui pemberian 18 pertanyaan tertutup di dalam kuisioner. Pola interaksi pertemanan kemudian diukur dengan memberikan skor terhadap jawaban responden dan menghitung jumlah skor tersebut. Skor yang diperoleh kemudian dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu kategori rendah, sedang, dan tinggi. Pola interaksi pertemanan yang terbentuk pada responden penyalahguna Napza dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah dan persentase responden menurut pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Pertemanan Jumlah (orang) Persentase (%) 12 24.0 Rendah 18 36.0 Sedang 20 40.0 Tinggi 50 100.0 Jumlah Tabel 15 menunjukkan bahwa pola interaksi pertemanan reponden mayoritas berada pada kategori tinggi dengan persentase sebesar 40 persen. Sebesar 36 persen responden memiliki pola interaksi pertemanan yang sedang. Dan dengan persentase paling kecil yaitu sebesar 24 persen responden memiliki pola interaksi pertemanan yang rendah. Berdasarkan hasil pengisian kuisioner
47
sebagian besar responden merasa bahwa mereka sering berdiam di suatu tempat bersama teman-temannya sebelum kembali ke rumah. Beberapa responden merasa lebih diterima dan nyaman di dalam lingkungan pertemanan dibandingkan di dalam keluarganya. Namun disisi lain, beberapa responden mengatakan bahwa teman sepermainannya kerap kali membuat peraturan yang tidak menyenangkan, mengancam bila keinginannya tidak diikuti serta mengeluarkan kata kata kasar. “Enakan kumpul sama temen daripada di rumah, temen itu lebih solid. Jadi nyaman kumpul sama mereka ketimbang di rumah diomelin terus” (MY, Laki-laki,34) “Seneng sih kumpul sama temen-temen, tapi kadang tuntutannya aneh-aneh jadi males juga kalau udah begitu. Tapi kalau nggak diikutin serba salah juga.” (LS, Lakilaki, 29) Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan pengisian kuisioner, responden penyalahguna Napza 82% memiliki solidaritas yang tinggi dalam lingkungan pertemanannnya dan sebanyak 90% mengaku sebagai anggota gang. Solidaritas yang tinggi ternyata membawa dampak buruk pada peyalahguna Napza, yaitu individu menjadi mudah terpengaruh oleh teman sepermainannya dimana 96% mengungkapkan teman sepermainan mereka adalah penyalahguna Napza. Hubungan Karakteristik Individu dan Karakteristik Keluarga dengan Pola Interaksi Pertemanan Pada subbab ini dijelaskan hubungan antara karakreristik individu dan karakteristik keluarga responden dengan pola interaksi pertemanan. Karakteristik individu dan karakteristik keluarga responden yang dihubungkan dengan pola interaksi pertemanan antara lain yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkat penerimaan, status pernikahan orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan tingkat penerimaan orangtua. Pada penelitian ini akan dilakukan uji korelasi dengan menggunakan Uji Rank Spearman dan Uji Chisquare. Hasil pengujian korelasi antara karakteristik internal responden penyalahguna Napza dengan pola interaksi pertemanan disajikan secara lebih rici dalam Tabel 16.
48
Tabel 16 Nilai koefisien korelasi dan signifikansi korelasi berdasarkan hasil pengujian korelasi antara karakteristik internal dengan pola interaksi pertemaanan responden penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Karakteristik Individu dan Keluarga Pola Interaksi Pertemanan (Spearman’s rho) Value Asymp. Sig. Usia .127 .379 Jenis Kelamin 2.073 .355 Tingkat Pendidikan .001 .994 Status Pekerjaan -.391 .005* Tingkat Penerimaan -.013 .927 Status Pernikahan Orangtua .032 .824 Tingkat Pendidikan Ayah .070 .630 Tingkat Pendidikan Ibu -.080 .578 Tingkat Penerimaan Orangtua -.068 .640 Keterangan: *berhubungan signifikan pada α<0.1 Pengujian hubungan antara variabel usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkat penerimaan, status pernikahan orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan tingkat penerimaan orangtua dengan pola interaksi pertemanan pada responden penyalahguna Napza dilakukan dengan uji Rank Spearman. Sementara itu, untuk pengujian hubungan antara variabel jenis kelamin dengan pola interaksi pertemanan pada responden penyalahgunaan Napza dilakukan dengan uji Chisquare. Uji hipotesis hubungan antara variabel tersebut dengan pola interaksi yang terjadi di dalam lingkungan keluarga penyalahguna Napza dapat dijabarkan sebagai berikut: H0
=
H1
=
Tidak terdapat hubungan antara (variabel yang diukur) dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza Terdapat hubungan antara (variabel yang diukur) dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza
Hipotesis di atas akan diuji dengan melihat nilai signifikansi dari hasil pengujian Rank Spearman dan pengujian Chi-square. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik Rank Spearman dan uji Chi-square adalah jika nilai signifikansi >0.1, maka H0 diterima dan jika nilai signifikansi <0.1 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Sementara itu, jika nilai koefisien korelasi positif, maka hubungan antar variabel yang diukur adalah searah dan jika nilai koefisien korelasi negatif, maka hubungan antar variabel yang diukur adalah tidak searah. Hubungan Usia dengan Pola Interaksi Pertemanan Tujuan dihubungkannya variabel usia dengan pola interaksi perteman penyalahguna Napza adalah untuk melihat apakah usia berpengaruh terhadap pola interaksi yang terbentuk di dalam lingkungan pertemanannya. Hubungan antara usia responden penyalahguna Napza dengan pola interaksi pertemanan dianalisis dengan menggunakan uji Rank Spearman. Tabel 17 menyajikan data hubungan antara usia responden dengan pola interaksi pertemanan.
49
Tabel 17 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut usia responden, Penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Pertemanan Total Usia Rendah Sedang Tinggi n % N % N % N % Remaja Awal 8 36.4 6 27.3 8 36.4 22 100.0 Remaja 3 16.7 6 33.3 9 50.0 18 100.0 Remaja Akhir 1 10.0 6 60.0 3 30.0 10 100.0 Total 12 24.0 18 36.0 20 40.0 50 100.0 Kategori responden yang berusia di bawah 15 tahun (remaja awal) berdasarkan tabulasi silang memiliki persentase yang sama untuk pola interaksi pertemanan yang rendah dan tinggi, yaitu masing-masing 36.4 persen, diikuti dengan pola interaksi sebanyak 27.3 persen. Sementara untuk kategori usia 15 sampai 19 tahun diperoleh hasil pada variabel pola interaksi pertemanan mayoritas berada pada kategori tinggi, yaitu sebesar 50 persen dan untuk kategori pola interaksi pertemanan rendah dan sedang pada usia remaja ini masing masing memiliki persentase sebesar 16.7 persen dan 33.3 persen. Pada kategori responden berusia 20 sampai 24 tahun atau remaja akhir didapatkan hasil yang didominasi oleh pola interaksi pertemanan sedang, yaitu sebesar 60 persen. Dan untuk kategori pola interaksi pertemanan yang rendah dan tinggi pada remaja akhir didapatkan hasil masing masing sebesar 10 persen dan 30 persen. Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 17 dapat dilihat bahwa variabel usia memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.379. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data >0.1 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza. Tidak adanya hubungan antara usia dengan pola interaksi pertemanan ini berarti penyalahguna Napza belum tentu memberikan perbedaan dalam pola interaksi pertemanan pada usia yang berbeda. Usia penyalahguna Napza tidak berpengaruh terhadap pola interaksi pertemanan. Hasil penelitian tersebut didukung oleh hasil wawancara mendalam kepada responden penyalahguna Napza usia bukan merupakan suatu permasalahan dalam hubungan pertemanan yang dibina. Lingkungan pertemanan meraka pada umumnya terbuka untuk semua usia. “kalau temen main saya sih umurnya macem-macem dulu, temen saya ada yang udah kerja, kuliah ada juga padahal saya masih SD waktu itu.” (JK, Laki-laki,35) Hubungan Jenis Kelamin dengan Pola Interaksi Pertemanan Hubungan antara jenis kelamin dengan pola interaksi pertemanan responden penyalahguna Napza dianalisis dengan menggunakan uji korelasi ChiSquare. Jenis kelamin dibedakan menjadi perempuan dan laki-laki. Hasil analisis tabulasi silang dan uji korelasi Chi Square yang digunakan untuk melihat hubungan antara jenis kelamin dengan pola interaksi pertemanan responden penyalahguna Napza dapat dilihat pada Tabel 18.
50
Tabel 18 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut jenis kelamin penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Pertemanan Total Jenis Kelamin Rendah Sedang Tinggi N % N % N % N % Laki-laki 11 25.0 17 38.6 16 36.4 44 100.0 Perempuan 1 16.7 1 16.7 4 66.7 6 100.0 Total 12 30.0 18 36.0 20 34.0 50 100.0 Tabel 18 menunjukkan bahwa kategori responden yang berjenis kelamin laki-laki dengan pola interaksi pertemanan sedang mendominasi dengan persentase sebesar 38.6 persen, sebesar 25 persen dengan pola interaksi pertemanan yang rendah, dan sebesar 36.4 persen dengan pola interaksi pertemanan yang tinggi. Sementara kategori responden yang berjenis kelamin perempuan dengan pola interaksi pertemanan rendah dan sedang masing-masing sebesar 16.7 persen dan sebesar 67.7 persen dengan pola interaksi pertemanan tinggi. Berdasarkan hasil uji statistik Chi-square dalam Tabel 16 dapat dilihat bahwa variabel jenis kelamin memiliki nilai signifikansi Pearson Chi-Square sebesar 0.355. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data >0.1 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan pola interaksi pertemanan ini berarti penyalahguna Napza tidak memberikan perbedaan dalam pola interaksi keluarga pada jenis kelamin yang berbeda. Jenis kelamin penyalahguna Napza tidak berpengaruh terhadap pola interaksi pertemanan. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 19 yang menunjukkan baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki persentase yang tidak terpaut jauh untuk pola interaksi pertemanan yang terbentuk. Selain itu, jumlah responden laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang juga dapat menjadikan hasil penelitian ini tidak memiliki hubungan. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pola Interaksi Pertemanan Hubungan antara tingkat pendidikan dengan pola interaksi pertemanan dapat diketahui melalui uji Rank-Spearman. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah responden dengan tingkat pendidikan yang berbeda memiliki pola interaksi pertemanan yang berbeda pula. Hasil tabulasi silang hubungan tingkat pendidikan dengan pola interaksi pertemanan ini dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 menunjukkan bahwa pada setiap kategori tingkat pendidikan cenderung memiliki persentase tertinggi untuk pola interaksi pertemanan yang tinggi. Hal ini mengindikasikan tidak terdapat hubungan nyata antara variabel tingkat pendidikan dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza.
51
Tabel 19 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat pendidikan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Pertemanan Total Tingkat Pendidikan Rendah Sedang Tinggi N % N % N % N % Tidak tamat SD 1 10.0 5 50.0 4 40.0 10 100.0 Tamat SD 5 33.3 3 20.0 7 46.7 15 100.0 Tamat SMP 3 25.0 7 58.3 2 16.7 12 100.0 Tamat SMA 3 25.0 3 25.0 6 50.0 12 100.0 Tamat Perguruan 0 0.0 0 0.0 1 100.0 1 100.0 Tinggi Total 12 24.0 18 36.0 20 40.0 50 100.0 Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 16 dapat dilihat bahwa variabel jenis kelamin memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.355. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data >0.1 maka H0 diterima dan H1. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza. Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pola interaksi pertemanan ini berarti penyalahguna Napza belum tentu memberikan perbedaan dalam pola interaksi pertemanan pada tingkat pendidikan yang berbeda. Tingkat pendidikan penyalahguna Napza tidak berpengaruh terhadap pola interaksi pertemanan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan penyalahguna Napza saat pertama kali mengonsumsi Napza belum tentu memiliki pola interaksi pertemanan yang tinggi pula begitu pun sebaliknya. Hal ini disebabkan sebagian besar responden penyalahguna Napza merasa kebanyakan dari mereka memiliki kelompok bermain dengan intensitas dan frekuensi bertemu tinggi yang bukan berasal dari lingkungan sekolahnya. Mereka pun sangat jarang membicarakan prestasi di sekolah saat sedang bersama teman bermainnya, menurut mereka banyak hal yang masih bisa diperbincangkan ketimbang hal tersebut. “kalau main mah ga liat dia lulusan apa, kalau cocok ya main aja bareng-bareng nggak peduli sekolah apa nggak, kuliah apa nggak, main ya main aja gabung semuanya.” (JK, Laki-laki,35) Hubungan Status Pekerjaan dengan Pola Interaksi Pertemanan Hubungan antara status pekerjaan dengan pola interaksi pertemanan dapat diketahui melalui uji Rank Spearman. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah responden penyalahguna Napza dengan status pekerjaan yang berbeda memiliki pola interaksi pertemanan yang berbeda pula. Pengukuran status pekerjaan ini diperuntukkan pada saat respoden pertama kali menggunakan Napza. Hasil analisis hubungan status pekerjaan dengan pola interaksi pertemanan dapat dilihat pada Tabel 20.
52
Tabel 20 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut status pekerjaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Pertemanan Total Status Pekerjaan Rendah Sedang Tinggi N % N % N % N % Tidak Bekerja 6 19.4 7 23.6 18 58.1 31 100.0 Bekerja 6 31.6 11 57.9 2 10.5 19 100.0 Total 12 24.0 18 36.0 20 40.0 50 100.0 Tabel 20 menunjukkan persentase terbesar dimiliki oleh status pekerjaan tidak bekerja dengan pola interaksi pertemanan yang tinggi sebesar 58.1 persen, sementara persentase terendah dimiliki oleh status pekerjaan bekerja dengan pola interaksi pertemanan yang tinggi. Secara tidak langsung ini menunjukkan terdapat hubungan tidak searah pada variabel ini. Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 16 dapat dilihat bahwa variabel status pekerjaan memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.005. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data <0.1 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara status pekerjaan dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza. Terdapat hubungan antara status pekerjaan dengan pola interaksi pertemanan ini berarti penyalahguna Napza memberikan perbedaan dalam pola interaksi pertemanan pada status pekerjan yang berbeda. Nilai koefisien korelasi yang didapat dari uji statistik Rank Spearman adalah sebesar –0.391. Nilai tersebut menunjukkan hubungan yang tidak searah. Hubungan tidak searah ini menyatakan semakin tinggi status pekerjaan penyalahguna Napza maka semakin rendah pola interaksi pertemanannya. Berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada responden penyalahguna Napza sebagian besar mengungkapkan bahwa jika mereka tidak bekerja maka waktu yang dihabiskan bersama teman sepermainan menjadi lebih banyak, sehingga menyebabkan rasa saling mengerti, memiliki dan bentuk kepedulian terhadap teman bermainnya semakin besar. Sementara untuk mereka yang bekerja, menghabiskan waktu bersama teman bermain menjadi sangat sedikit, sehingga kurang mengerti mengenai lingkungan bermainnya tersebut dan kerap kali menimbulkan kesalahpahaman dan pertengkaran. “Dulu kalau temen-temen yang udah kerja biasanya jadi jarang ngumpul. Sekalinya ikut ngumpul udah ketinggalan banyak berita, jadi suka nggak nyambung. Terus ujungujungnya bisa jadi berantem cuma karena salah paham doing.” (JK, Laki-laki, 35) Hubungan Tingkat Penerimaan dengan Pola Interaksi Pertemanan Variabel tingkat penerimaan dihubungkan dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza bertujuan untuk melihat apakah tingkat penerimaan berpengaruh terhadap pola interaksi yang terbentuk di dalam lingkungan pertemanan. Hubungan antara tingkat penerimaan responden
53
penyalahguna Napza dengan pola interaksi pertemanan dianalisis dengan menggunakan uji Rank Spearman. Tabel 21 menyajikan data hubungan antara tingkat penerimaan responden dengan pola interaksi pertemanan. Tabel 21 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat penerimaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Pertemanan Total Tingkat Penerimaan Rendah Sedang Tinggi N % N % N % N % Rendah 7 29.2 6 25.0 11 45.8 24 100.0 Sedang 2 22.2 4 44.4 3 33.3 9 100.0 Tinggi 3 17.6 8 47.1 6 35.3 17 100.0 Total 12 24.0 18 36.0 20 40.0 50 100.0 Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa untuk tingkat penerimaan rendah persentase terbesar dimiliki responden dengan pola interaksi pertemanan yang tinggi sebesar 45.1 persen. Sementara untuk kategori tingkat penerimaan sedang dapat dikatakan pola interaksi pertemanan menyebar rata dengan persentase yang tidak berbeda jauh. Untuk tingkat penerimaan tinggi sebesar 47.1 persen memiliki pola interaksi pertemanan yang sedang, sementara untuk pola interaksi pertemanan yang rendah dan tinggi masing-masing memiliki persentase sebesar 17.6 persen dan 35.3 persen. Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 16 dapat dilihat bahwa variabel tingkat penerimaan memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.927. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data >0.1 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat penerimaan dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza. Terdapat hubungan antara tingkat penerimaan dengan pola interaksi pertemanan ini berarti penyalahguna Napza tidak memberikan perbedaan dalam pola interaksi pertemanan pada tingkat penerimaan yang berbeda. Hasil yang menunjukkan tiidak adanya hubungan antara tingkat penerimaan dengan pola interaksi pertemanan diperkuat oleh pengakuan responden penelitian yang menyatakan bahwa lingkungan pertemanan mereka merupakan salah satu bentuk pelarian atas ketidaknyamanannya di dalam keluarganya akibat permasalahan pendapatan yang diterima. Di dalam lingkungan pertemanan ini sebagian besar responden juga mengatakan bahwa mereka memiliki solidaritas yang tinggi, sehingga tingkat penerimaan bukan menjadi sebuah patokan, walau tentu saja tidak luput dari pertengkaran. “Di rumah ribut masalah duit jadi mending main aja. Kalau sama temen kan ga diributin malah kalau ada apa-apa jadi saling bantu.” (JK, Laki-laki,35) Hubungan Status Pernikahan Orangtua dengan Pola Interaksi Pertemanan Hubungan antara status pernikahan orangtua dengan pola interaksi pertemanan dapat diketahui melalui uji Rank Spearman. Uji ini dilakukan untuk
54
menganalisis apakah responden penyalahguna Napza dengan status pernikahan orangtua yang berbeda memiliki pola interaksi pertemanan yang berbeda pula. Pengukuran status pernikahan orangtua ini diukur pada saat respoden pertama kali menggunakan Napza. Hasil analisis hubungan status pernikahan orangtua dengan pola interaksi pertemanan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22
Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut status pernikahan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Pertemanan Total Status Pernikahan Rendah Sedang Tinggi Orangtua N % N % N % N % Menikah 3 20.0 7 46.7 5 33.3 15 100.0 Bercerai/duda/janda 9 25.7 11 31.4 15 42.9 35 100.0 Total 12 24.0 18 36.0 20 40.0 50 100.0 Pada Tabel 22 terlihat bahwa kategori responden yang status pernikahan orangtuanya adalah menikah memiliki pola interaksi pertemanan yang tidak berbeda jauh untuk setiap kategorinya, namun persentase terbesar dimiliki oleh pola interaksi pertemanan sedang sebesar 46.7 persen. Sementara itu, kategori responden yang status pernikahan orangtuanya adalah bercerai/janda/duda memiliki pola interaksi pertemanan yang tidak berbeda jauh untuk setiap kategorinya, namun persentase terbesar dimiliki oleh pola interaksi pertemanan tinggi sebesar 42.9 persen. Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 16 dapat dilihat bahwa variabel status pernikahan orangtua memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.640. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data >0.1 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara status pernikahan orangtua dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza. Tidak adanya hubungan antara status pernikahan orangtua dengan pola interaksi keluarga ini berarti penyalahguna Napza tidak memberikan perbedaan dalam pola interaksi pertemanan pada status pernikahan orangtua yang berbeda atau dengan kata lain hasil uji ini menyatakan bahwa dengan status pernikahan orangtua yang bercerai/duda/janda ataupun menikah tidak mempengaruhi pola interaksi pertemanan yang terbentuk. Hasil yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara variabel tersebut diperkuat oleh pengakuan responden penelitian dengan status pernikahan orangtua bercerai. Responden dengan status pernikahan orangtua bercerai menyatakan bahwa di dalam lingkungan pertemanannya tidak mempermasalahkan status pernikahan orang tua, hal ini dianggap karena kesolidaritasan yang tinggi di dalam lingkungan pertemanannya Hubungan Tingkat Pendidikan Orangtua dengan Pola Interaksi Pertemanan Pola interaksi pertemanan dapat dilihat hubungannya dengan tingkat pendidikan orangtua responden, apakah tingkat pendidikan orangtua yang tinggi memberikan efek pada pola interaksi pertemanan yang lebih tinggi. Pendidikan
55
orangtua dalam kategori ini dibagai menjadi dua bagian, yaitu tingkat pendidikan ayah dan tingkat pendidikan ibu. Hasil analisis tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman yang digunakan untuk melihat hubungan antara tingkat pendidikan Ayah dengan pola interaksi pertemanan dapat dilihat pada Tabel 23. Dan untuk hasil uji tabulasi silang terhadap hubungan tingkat pendidikan Ibu dengan pola interaksi pertemanan dapat dilihat dalam Tabel 24. Tabel 23 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat pendidikan ayah penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Pertemanan Total Tingkat Pendidkan Rendah Sedang Tinggi Ayah N % N % N % N % Tidak tamat SD 1 50.0 1 50.0 0 0.0 2 100.0 Tamat SD 1 25.0 2 50.0 1 25.0 4 100.0 Tamat SMP 2 40.0 1 20.0 2 40.0 5 100.0 Tamat SMA 4 15.4 10 38.4 12 46.2 26 100.0 Tamat Perguruan 4 30.8 4 30.8 5 38.4 13 100.0 Tinggi Total 12 24.0 18 36.0 20 40.0 50 100.0 Tabel 23 menunjukkan bahwa jumlah dan persentase tingkat pendidikan Ayah cenderung menyebar rata pada setiap pola interaksi pertemanan. Hal tersebut mengindikasikan tidak adanya hubungan nyata antara variabel tingkat pendidikan Ayah dengan pola interaksi pertemanan pada penyalahguna Napza. Tabel 24
Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat pendidikan ibu penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Keluarga Total Tingkat Pendidkan Rendah Sedang Tinggi Ibu N % N % N % N % Tidak tamat SD 3 37.5 4 50.0 1 12.5 8 100.0 Tamat SD 1 6.2 5 31.2 10 62.5 16 100.0 Tamat SMP 4 30.8 3 23.1 6 46.2 13 100.0 Tamat SMA 3 27.3 6 54.5 2 18.2 11 100.0 Tamat Perguruan 1 50.0 0 0.0 1 50.0 2 100.0 Tinggi Total 12 24.0 18 36.0 20 40.0 50 100.0 Tabel 24 menunjukkan bahwa jumlah dan persentase responden cenderung menyebar rata tanpa ada perbedaan yang signifikan disetiap kategorinya. Hasil uji tabulasi silang tersebut mengindikasikan tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan Ayah dan Ibu dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza.
56
Hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 16 menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan orangtua dibedakan menjadi tingkat pendidikan Ayah dan Ibu. Variabel tingkat pendidikan Ayah pada Tabel 17 memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.630. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data >0.1 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan Ayah dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza. Tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan Ayah dengan pola interaksi pertemanan ini berarti penyalahguna Napza tidak memberikan perbedaan dalam pola interaksi keluarga pada tingkat pendidikan Ayah yang berbeda. Hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 16 juga menunjukkan hubungan variabel tingkat pendidikan Ibu dengan pola interaksi pertemanan. Variabel tingkat pendidikan Ibu pada memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.578. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data >0.1 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan Ibu dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza. Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan Ibu dengan pola interaksi keluarga ini berarti penyalahguna Napza tidak memberikan perbedaan dalam pola interaksi pertemanan pada tingkat pendidikan Ibu yang berbeda. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan responden penyalahguna Napza, beberapa mengatakahan bahwa di dalam lingkungan pertemanan mereka tidak pernah sama sekali membahas apa pendidikan kedua orangtua masingmasing anggota dari pertemanan tersebut. Hal ini semakin memperkuat hasil uji diatas bahwa memang tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan orangtua, baik Ayah maupun Ibu, dengan pola interaksi pertemann yang terbentuk. Hubungan Tingkat Penerimaan Orangtua dengan Pola Interaksi Pertemanan Tingkat penerimaan orangtua diukur dari pendapatan orangtua yang aktif memiliki penghasilan, baik itu berasal dari ayah, ibu, maupun keduanya. Tingkat penerimaan orangtua dapat dilihat hubungannya dengan pola interaksi pertemanan penyalahgunna Napza. Hasil analisis tabulasi silang yang digunakan untuk melihat hubungan antara tingkat penerimaan orangtua dengan pola interaksi pertemanan pada penyalahguna Napza dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 menunjukkan bahwa jumlah dan persentase responden menurut tingkat penerimaan orangtua didominasi pada kategori tingkat penerimaan yang sedang dengan pola interaksi pertemanan yang sedang pula sebesar 46.7 persen. Namun berdasarkan hasil tabulasi silang diatas terlihat bahwa penyebarannya menyebar secara merata dengan perbedaan yang tidak terlalu signifikan pada setiap kategorinya.
57
Tabel 25
Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat penerimaan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Keluarga Total Tingkat Penerimaan Rendah Sedang Tinggi N % N % N % N % Rendah 5 21.7 8 34.8 10 43.5 23 100.0 Sedang 3 20.0 7 46.7 5 33.3 15 100.0 Tinggi 4 33.3 3 25.0 5 41.7 12 100.0 Total 12 24.0 18 36.0 20 40.0 50 100.0 Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 17 dapat dilihat bahwa variabel tingkat penerimaan orangtua memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.640. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data >0.1 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat penerimaan orangtua dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza. Tidak adanya hubungan antara tingkat penerimaan orangtua dengan pola interaksi keluarga ini berarti penyalahguna Napza tidak memberikan perbedaan dalam pola interaksi pertemanan pada tingkat penerimaan orangtua yang berbeda.. Hasil yang menunjukkan tidak adanya hubungan pada variabel tersebut diperkuat oleh pengakuan responden penelitian dengan tingkat penerimaan orangtua rendah. Responden dengan tingkat penerimaan orangtua rendah menyatakan bahwa di dalam lingkungan pertemanannya rata-rata memiliki tingkat perekonomian yang sama sehingga hal tersebut tidak menjadi masalah. Jika memang ada anggota bermain lain yang tingkat perekonomiannya berbeda pun tidak menjadi suatu persoalan di dalam pola interaksi yang terjalin.
MOTIF PENYALAHGUNAAN NAPZA DAN HUBUNGANNYA DENGAN POLA INTERAKSI
Motif Penyalahgunaan Napza Motif penyalahgunaan Napza merupakan dorongan atau rangsangan penyalahguna Napza dalam pengonsumsian zat-zat adiktif berbahaya tersebut. Di dalam penelitian ini, motif penyalahguna Napza dibagi dalam dua jenis. Jenis motif penyalagunaan Napza terbagi atas motif organismis dan motif sosial. Motif organismis terdiri atas motif ingin tahu (curiosity), motif kompetensi (competence), dan motif prestasi (achievement). Sementara motif sosial terdiri dari motif kasih sayang (affiliation), motif kekuasaan (power), dan motif kebebasan (independence). Motif penyalahgunaan Napza diukur berdasarkan dorongan-dorongan yang membuat penyalahguna Napza memilih menggunakan zat adiktif berbahaya tersebut, baik itu termasuk motif organismis maupun motif sosial. Motif penyalahgunaan Napza ini diukur berdasarkan waktu mereka pertama kali menggunakan zat adiktif ini. Terdapat sepuluh pertanyaan yang diajukan kepada penyalahguna Napza responden berkaitan dengan motif penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif berbahaya yang dikonsumsinya. Motif Organismis Penyalahgunaan Napza Motif organismis diukur melalui pemberian pertanyaan tertutup di dalam kuisioner. Motif organismis kemudian diukur dengan memberikan skor terhadap jawaban responden dan menghitung jumlah skor tersebut. Skor yang diperoleh kemudian dibbagi ke dalam tiga kategori, yaitu kategori rendah, sedang, dan tinggi. Motif organismis yang terbentuk pada responden penyalahguna Napza dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Jumlah dan persentase responden menurut motif organismis Penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Motif Organismis Jumlah (orang) Persentase (%) 4 8.0 Rendah 15 30.0 Sedang 31 62.0 Tinggi 50 100.0 Jumlah Tabel 26 menunjukkan bahwa motif organismis responden penyalahgunaan Napza mayoritas berada pada kategori tinggi dengan persentase sebesar 62 persen. Sebesar 30 persen responden memiliki motif organismis yang sedang dalam penyalahgunaan Napza dan hanya sebagian kecil responden yang memiliki motif organismis yang rendah pada penyalahgunaan zat adiktif berbahaya ini, yaitu sebesar 8 persen.
59
Berdasarkan hasil pengisian kuisioner sebagian besar responden merasa bahwa dorongan pertama mereka dalam mengonsumsi Napza adalah rasa ingin tau yang tinggi. Hampir semua responden mengaku mencoba-coba saja saat pertama kali mengonsumsinya. Selain itu, motif kompetensi pun muncul sebagai dorongan penyalahgunaan Napza yang menyebabkan adiksi tersebut. Sebagian besar responden mengungkapkan alasan mereka pertama kali mengonsumsi zat adiktif adalah sebagai pelarian dari masalah-masalah yang dialami. Berdasarkan hasil wawancara mendalam pada responden didapatkan bahwa pada awal penggunaan zat adiktif mereka merasa dapat melupakan sejenak permasalahan yang dihadapinya. Untuk motif prestasi hanya sebagian kecil responden penyalahguna Napza yang menyetujui motif jenis ini menjadi pendorong mereka mengonsumsi narkotika, psikotropika atau zat zat adiktif berbahaya lainnya. Beberapa responden yang mengakui adanya motif prestasi dalam penyalahgunaan Napza yang mereka lakukan merasa bahwa pengkonsumsian Napza merupakan salah satu bentuk prestasi yang dapat mereka tunjukkan kepada teman-teman sepermainannya. “waktu itu sih mikirnya biar lupa sama masalah yang lagi ganggu banget makanya akhirnya nyoba make ganja yang didapetnya juga nggak sesulit naroba lain.” (SR, Lakilaki, 39) “ya ikut-ikutan pake waktu itu soalnya biar dianggap hebat sama temen-temen yang make juga. Kan malu juga kalau kita sendiri yang nggak berani pake.” (LD, Lakilaki, 28) Motif Sosial Penyalahgunaan Napza Motif sosial diukur melalui pemberian pertanyaan tertutup di dalam kuisioner. Motif sosial kemudian diukur dengan memberikan skor terhadap jawaban responden dan menghitung jumlah skor tersebut. Skor yang diperoleh kemudian dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu kategori rendah, sedang, dan tinggi. Motif sosial yang terbentuk pada responden penyalahguna Napza dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Jumlah dan persentase responden menurut motif sosial, Penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Motif Sosial Jumlah (orang) Persentase (%) 11 22.0 Rendah 15 30.0 Sedang 24 48.0 Tinggi 50 100.0 Jumlah Tabel 27 menunjukkan bahwa motif sosial responden penyalahgunaan Napza mayoritas berada pada kategori tinggi dengan persentase sebesar 48 persen. Sebesar 30 persen responden memiliki motif sosial yang sedang dalam penyalahgunaan Napza. Dan dengan persentase paling rendah sebesar 22 persen
60
dimiliki oleh motif sosial yang rendah dalam penyalahgunaan narkoba psikotropika dan zat-zat adiktif berbahaya. Berdasarkan hasil pengisian kuisioner, sebagian besar responden merasa bahwa dorongan pertama mereka dalam mengonsumsi Napza adalah rasa ingin disayangi dan dicintai. Mereka mengaku menggunakan Napza untuk menarik perhatian orang-orang disekitarnya agar memperhatikannya. Selain itu, motif kekuasaan pun muncul sebagai dorongan penyalahguna Napza terjerumus dalam penggunaannya yang menyebabkan adiksi tersebut. Beberapa responden mengungkapkan alasan mereka pertama kali mengonsumsi zat adiktif adalah akibat keinginan mereka menguasai orang-orang disekitarnya. Mereka beranggapan dengan menggunakan Napza orang-orang disekitarnya akan takut dan segan kepadanya. Untuk motif kebebasan hampir setengah dari responden penyalahguna Napza yang menyetujui motif jenis ini menjadi pendorong mereka mengonsumsi narkotika, psikotropika atau zat zat adiktif berbahaya lainnya. Beberapa responden yang mengakui adanya motif kebebasan dalam penyalahgunaan Napza yang mereka lakukan akibat keinginannya untuk bebas dari peraturan-peraturan yang menentangnya, atau dapat dikatan setagai bentuk protes dan penentangan terhadap peraturan yang tidak mereka setujui. “Temen-temen waktu itu udah ‘make’ duluan, ya udah ikutan aja biar diperhatiin juga, terus supaya diajak main bareng terus sama mereka..” (SD, Perempuan,24) “Kalau udah make tuh kayanya keren gitu terus orangorang yang deket sama kita jadi segan, dulu sih mikirnya gitu waktu baru ‘make’.” (AR, Laki-laki, 38) “Dulu mikirnya kalau ‘make’ ganja kayanya orang-orang bebas dari apa aja yang lagi kejadian, makanya jadi pengen nyoba.” (TR, Laki-laki, 30) Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Napza Pada subbab ini dijelaskan hubungan antara pola interaksi keluarga dan pertemanan responden dengan motif penyalagunaan Napza, baik itu motif organismis maupun sosial. Pola interaksi keluarga dilihat dari komunikasi yang khas terjadi di dalam lingkungannya, begitu pula untuk pola interkasi pertemanan yang dilihat berdasarkan pola-pola khas dan hubungan yang terjalin di dalam lingkungan pertemanannya. Subbab ini pun akan menunjukkan seberapa jauh pola interaksi yang terbentuk pada diri penyalahguna Napza mempengaruhi motif penyalahgunaan narkotika psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya. Hubungan pola interaksi keluarga dan pola interaksi pertemanan dengan motif penyalahgunaan Napza (organismis dan sosial) akan diuji dengan menggunakan Uji Rank Spearman. Hasil pengujian korelasi antara antara motif organismis dan motif sosial penyalahgunaan Napza dengan pola interaksi keluarga dan pertemanan disajikan secara lebih rinci dalam Tabel 28.
61
Tabel 28 Nilai koefisien korelasi dan signifikansi korelasi berdasarkan hasil pengujian korelasi antara pola interaksi penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Pola Interaksi Motif Organismis Motif Sosial (Spearman’s rho) Penyalahgunaan Penyalahgunaan Napza Napza Correlation Sig. Correlation Sig. Coefficient Coefficient Pola interaksi Keluarga -.240 .094* -.345 .014* Pola interaksi pertemanan -.352 .012* -.396 .004* Keterangan: *berhubungan signifikan pada α<0.1 Pengujian hubungan antara variabel pola interaksi keluarga dan pola interkasi pertemanan dengan motif organismis dan sosial penyalahgunaan Napza pada responden penyalahguna Napza dilakukan dengan uji Rank Spearman. Uji hipotesis hubungan antara variabel pola interaksi keluarga dan pola interkasi pertemanan dengan motif organismis dan sosial penyalahgunaan Napza dapat dijabarkan sebagai berikut: H0
=
H1
=
Tidak terdapat hubungan antara pola interkasi (Keluarga/ Pertemanan) dengan motif penyalahgunaan Napza (Organismis/Sosial) Terdapat hubungan antara pola interkasi (Keluarga/ Pertemanan) dengan motif penyalahgunaan Napza (Organismis/Sosial)
Hipotesis di atas akan diuji dengan melihat nilai signifikansi dari hasil pengujian Rank Spearman. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik Rank Spearman adalah jika nilai signifikansi >0.1, maka H0 diterima dan jika nilai signifikansi <0.1 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Sementara itu, jika nilai koefisien korelasi positif, maka hubungan antar variabel yang diukur adalah searah dan jika nilai koefisien korelasi negatif, maka hubungan antar variabel yang diukur adalah tidak searah. Hubungan Pola Interaksi Keluarga dengan Motif Organismis Penyalahgunaan Napza Tujuan dihubungkannya variabel pola interaksi keluarga dengan motif organismis penyalahgunaan Napza adalah untuk melihat apakah pola interaksi keluarga berpengaruh terhadap motif organismis yang terbentuk dalam penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif berbahaya. Hubungan antara pola interaksi kelurga dengan motif organismis responden dianalisis dengan menggunakan uji Rank Spearman. Tabel 29 menyajikan data tabulasi silang hubungan antara pola interaksi keluarga responden dengan motif organismis penyalahgunaan Napza. Tabel 29 menunjukkan bahwa kategori responden dengan pola interaksi motif organismis tinggi didominasi oleh responden dengan pola interaksi keluarga rendah dengan persentase sebesar 71.4 persen. Sementara kategori responden dengan pola interaksi motif organismis rendah didominasi oleh responden dengan pola interaksi keluarga rtinggi dengan persentase sebesar 12.5 persen.
62
Tabel 29 Jumlah dan persentase motif organismis menurut pola interaksi keluarga penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Motif Organismis Total Pola Interaksi Rendah Sedang Tinggi Keluarga n % N % N % N % Rendah 3 10.7 5 17.9 20 71.4 28 100.0 Sedang 0 0.0 5 35.7 9 64.3 14 100.0 Tinggi 1 12.5 5 62.5 2 25.0 8 100.0 Total 4 8.0 15 30.0 31 62.0 50 100.0 Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 28 dapat dilihat bahwa variabel motif organismis memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.094. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data <0.1 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pola interaksi keluarga dengan motif organismis penyalahguna Napza. Terdapat hubungan antara pola interaksi keluarga dengan motif organismis penyalahgunaan Napza ini berarti penyalahguna Napza memberikan perbedaan dalam motif organismis pada pola interaksi keluarga yang berbeda. Nilai koefisien korelasi yang negatif antara pola interaksi keluarga dengan motif organismis pada penyalahguna Napza menunjukkan hubungan yang tidak searah. Nilai koefisien korelasi tersebut menyatakan bahwa semakin rendah pola interaksi keluarga penyalahguna Napza maka semakin tinggi motif organismis penyalahgunaan Napza, dan semakin tinggi pola interaksi keluarga maka semakin rendah motif organismis penyalahgunaan Napza. Hasil yang menunjukkan hubungan tidak searah tersebut diperkuat oleh hasil wawancara mendalam dengan berbagai pola interaksi keluarga responden penyalahguna Napza. Hasil wawancara mengungkapkan bahwa motif organismis yang paling sering terjadi yaitu motif ingin tahu sehingga mereka mencoba-coba mengonsumsi zat adiktif berbahaya tersebut. Selain itu akibat pola interaksi keluarga yang rendah dan berasal dari pola interaksi keluarga dengan tipe laissez faire atau dapat dikatakan anggota keluarga satu sama lain tidak peduli menyebabkan rendahnya pengawasan dari keluarga sehingga membuat dorongan rasa ingin tahu terhadap zat adiktif tersebut tidak tertahan. “Waktu itu nemuin ganja dibawah kasur kaka, awalnya sih diem aja tapi beberapa kali nemuin itu jadi penasaran deh pingin coba.” (BJ, Laki-laki, 35) Motif yang sering muncul berikutnya dalam motif organismis penyalahgunaan Napza adalah motif kompetensi. Motif kompetensi ini muncul dalam bentuk dorongan menggunakan Napza agar lupa dengan permasalahanpermasalahan yang mereka alami. Dorongan ini didukung pula oleh pola interaksi keluarga yang rendah, sehingga kebanyakan responden merasa memiliki masalah dan semakin membuat motif ini semakin besar dan kuat. Sementara untuk motif prestasi hanya sebagian kecil responden yang menyetujui motif ini sebagai motif penyalahgunaan Napza yang mereka lakukan.
63
“Liat orang kalau make kaya ga punya masalah bisa ketawa-ketawa, ya udah jadi pingin ikutan biar lupa masalah juga” (SH, Laki-laki, 39) Hubungan Pola Interaksi Keluarga dengan Motif Sosial Penyalahgunaan Napza Hubungan antara pola interaksi keluarga dengan motif penyalahgunaan Napza dapat diketahui melalui uji Rank-Spearman. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah responden dengan pola interaksi keluarga yang berbeda memiliki motif sosial yang berbeda pula. Hasil analisis tabulasi silang hubungan pola interaksi keluarga dengan motif sosial penyalahgunaan Napza ini dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 Jumlah dan persentase motif sosial menurut pola interaksi keluarga penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Motif Sosial Total Pola Interaksi Rendah Sedang Tinggi Keluarga n % N % N % N % Rendah 6 21.4 3 10.7 19 67.9 28 100.0 Sedang 3 21.4 7 50.0 4 28.6 14 100.0 Tinggi 2 25.0 5 62.5 1 12.5 8 100.0 Total 11 22.0 15 30.0 24 48.0 50 100.0 Tabel 30 menunjukkan bahwa kategori responden dengan motif sosial tinggi didominasi oleh pola interaksi keluarga rendah dengan persentase sebesar 67.9 persen. Sementara kategori responden dengan motif sosial rendah memiliki persentase paling tinggi pada kategori pola interaksi tinggi sebesar 25 persen. Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 28 dapat dilihat bahwa variabel motif sosial memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.014. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data <0.1 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pola interaksi keluarga dengan motif sosial penyalahguna Napza. Terdapat hubungan antara pola interaksi keluarga dengan motif sosial penyalahgunaan Napza ini berarti penyalahguna Napza memberikan perbedaan dalam motif sosial pada pola interaksi keluarga yang berbeda. Nilai koefisien korelasi yang negatif antara pola interaksi keluarga dengan motif sosial pada penyalahguna Napza menunjukkan hubungan yang tidak searah. Nilai koefisien korelasi tersebut menyatakan bahwa semakin rendah pola interaksi keluarga penyalahguna Napza maka semakin tinggi motif sosial penyalahgunaan Napza, dan semakin tinggi pola interaksi keluarga maka semakin rendah motif sosial penyalahgunaan Napza. Hasil yang menunjukkan hubungan tidak searah tersebut diperkuat oleh hasil wawancara mendalam dengan berbagai pola interaksi keluarga responden penyalahguna Napza. Hasil pengisian kuisioner mengungkapkan motif sosial yang paling sering terjadi yaitu motif kasih sayang. Namun hanya terdapat beberapa
64
responden dari wawancara yang menyatakan mereka menggunakan Napza karena ingin menarik perhatian keluarganya. “Orang tua sibuk sama masalahnya masing-masing. Waktu itu mikirnya kalau jadi pemakai ya kali aja jadi inget punya anak.” (BJ, Laki-laki, 35) Motif yang sering muncul berikutnya dalam motif sosial yang berhubungan dengan pola interaksi keluarga penyalahguna Napza adalah motif kebebasan. Kebanyakan responden mengaku merasa tidak nyaman di dalam keluarganya, sering merasa tertindas dan terkekang. Rasa tertekan dan tidak nyaman tersebut mayoritas disebabkan penyalahguna Napza berasal dari tipe pola interaksi keluarga otoriter. Hal tersebut menyebabkan munculnya dorongan untuk bebas dan lepas dari segala bentuk pengekangan tersebut dengan mengonsumsi zat-zat adiktif yang mereka yakini dapat membantu mereka dalam merasakan kebebasan yang diidam-idamkannya. Sementara untuk motif kekuasaan hamper semua responden menyatakan bahwa bukan pola interaksi keluarga yang mempengaruhi munculnya dorongan jenis ini. “Di rumah peraturannya ribet banget suka bikin pusing, jadi pingin ‘make’ biar bisa terbebas aja dari aturanaturan itu” (KK, Laki-laki, 24) Hubungan Pola Interaksi Pertemanan dengan Motif Organismis Penyalahgunaan Napza Tujuan dihubungkannya variabel pola interaksi pertemanan dengan motif organismis penyalahgunaan Napza adalah untuk melihat apakah pola interaksi pertemanan berpengaruh terhadap motif organismis yang terbentuk dalam penyalahgunaan narkoba psikotropika dan zat-zat adiktif berbahaya. Hubungan antara pola interaksi pertemanan dengan motif organismis responden dianalisis dengan menggunakan uji Rank Spearman. Tabel 31 menyajikan data hubungan antara pola interaksi pertemanan responden dengan motif organismis penyalahgunaan Napza. Tabel 31 Jumlah dan persentase motif organismis menurut pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Motif Organismis Total Pola Interaksi Rendah Sedang Tinggi Pertemanan n % N % N % N % Rendah 0 0.0 2 16.7 10 83.3 12 100.0 Sedang 0 0.0 6 33.3 12 66.7 18 100.0 Tinggi 4 20.0 7 35.0 9 45.0 10 100.0 Tabel 31 menunjukkan bahwa kategori responden dengan motif organismis tinggi didominasi oleh pola interaksi pertemanan rendah dengan persentase sebesar 83.3 persen. Sementara untuk kategori responden dengan motif
65
organismis rendah memiliki persentase tertinggi pada kategori pola interaksi perteman tinggi sebesar 20 persen. Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 28 dapat dilihat bahwa variabel motif organismis memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.012. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data <0.1 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pola interaksi pertemanan dengan motif organismis penyalahguna Napza. Terdapat hubungan antara pola interaksi pertemanan dengan motif organismis penyalahgunaan Napza pertemanan ini berarti penyalahguna Napza memberikan perbedaan dalam motif organismis pada pola interaksi pertemanan yang berbeda. Nilai koefisien korelasi yang negatif antara pola interaksi pertemanan dengan motif organismis pada penyalahguna Napza menunjukkan hubungan yang tidak searah. Nilai koefisien korelasi tersebut menyatakan bahwa semakin rendah pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza maka semakin tinggi motif organismis penyalahgunaan Napza, dan semakin tinggi pola interaksi pertemanan maka semakin rendah motif organismis penyalahgunaan Napza. Hasil yang menunjukkan hubungan tidak searah tersebut diperkuat oleh hasil wawancara mendalam. Hasil wawancara mengungkapkan bahwa motif organismis yang paling sering muncul akibat pola interaksi di lingkungan pertemanannya adalah motif ingin tahu. Sebagian besar dari mereka mengaku memilik teman yang sebelumnya menggunakan zat-zat adiktif berbahaya terlebih dahulu sehingga memicu rasa ingin tahu mereka untuk mencobanya. Pola interaksi pertemanan rendah yang menyababkan tingginya ego diantara masingmasing teman sepermainan menimbulkan munculnya motif prestasi. Akibat sebagian dari teman sepermainannya menggunakan Napza maka mereka pun ingin turut menggunakan zat adiktif tersebut agar diakui keberaniannya dan mereka menganggap hal itu sebagai sebuah prestasi. “Waktu itu pertama kali tahu narkoba ya dari temen, terus temen ‘make’ jadi penasaran juga pengen tau gimana rasanya.” (RH, Laki-laki, 29) “Liat temen pada ‘make’ terus ada yang nantangin berani nyoba apa nggak, kan jadi tertantang iseng nyoba. Eh nggak tahunya malah ketagihan.” (BR, Laki-laki, 34) Motif organismis lainnya yaitu motif kompetensi dinyatakan sebagian kecil responden sebagai dorongan mereka mengonsumsi zat-zat adiktif berbahaya tersebut. Rendahnya pola interaksi di dalam lingkungan pertemanan menyebabkan mereka merasa dikucilkan dan tidak dianggap dalam lingkungannya sehingga mereka menjadikan narkoba sebagai bentuk pelarian agar melupakan permasalahan yang mereka hadapi. “kalau nggak ‘make’ juga takut dipojok-pojokin sama temen-temen terus, akhirnya ikutan deh. Habis kalau ga ngikutin saya mau main sama siapa lagi.” (KK, Laki-laki, 24)
66
Hubungan Pola Interaksi Pertemanan dengan Motif Sosial Penyalahgunaan Napza Hubungan antara pola interaksi pertemanan dengan motif penyalahgunaan Napza dapat diketahui melalui uji Rank-Spearman. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah responden dengan pola interaksi pertemanan yang berbeda memiliki motif sosial yang berbeda pula. Hasil analisis hubungan pola interaksi pertemanan dengan motif penyalahgunaan Napza ini dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Jumlah dan persentase motif sosial menurut pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 Motif Sosial Total Pola Interaksi Rendah Sedang Tinggi Pertemanan n % N % N % N % Rendah 0 0.0 3 25.0 9 75.0 12 100.0 Sedang 2 11.2 8 44.4 8 44.4 18 100.0 Tinggi 9 45.0 4 20.0 7 35.0 20 100.0 Total 11 22.0 15 30.0 24 48.0 50 100.0 Tabel 32 menunjukkan bahwa kategori responden dengan motif sosial tinggi didominasi oleh pola interaksi pertemanan rendah dengan persentase sebesar 75 persen. Sementara itu, untuk kategori responden dengan motif sosial rendah memiliki persentase tertinggi pada kategori pola interaksi perteman tinggi sebesar 45 persen. Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman dalam Tabel 28 dapat dilihat bahwa variabel motif sosial memiliki nilai signifikansi Rank Spearman sebesar 0.004. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh dari pengolahan data <0.1 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pola interaksi pertemanan dengan motif sosial penyalahguna Napza. Terdapat hubungan antara pola interaksi pertemanan dengan motif sosial penyalahgunaan Napza ini berarti penyalahguna Napza memberikan perbedaan dalam motif sosial pada pola interaksi pertemanan yang berbeda. Nilai koefisien korelasi yang negatif antara pola interaksi pertemanan dengan motif sosial pada penyalahguna Napza menunjukkan hubungan yang tidak searah. Nilai koefisien korelasi tersebut menyatakan bahwa semakin rendah pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza maka semakin tinggi motif sosial penyalahgunaan Napza, dan semakin tinggi pola interaksi pertemanan maka semakin rendah motif sosial penyalahgunaan Napza. Hasil yang menunjukkan hubungan tidak searah tersebut diperkuat oleh hasil wawancara mendalam. Hasil pengisian kuisioner mengungkapkan motif sosial yang paling sering terjadi yaitu motif kasih sayang. Mereka mengungkapkan solidaritas yang tinggi menyebabkan mereka merasa disayangi sehingga ingin terus berada di lingkungan pertemanan tersebut, salah satunya adalah dengan ikut menggunakan Napza.
67
“udah enak temenan sama temen-temen saya, baik semua peduli juga. Cuma karena mereka ‘make’ ya saya juga ikut-ikutan aja biar bisa tetep ikut di dalam situ. Mereka udah kaya keluarga buat saya.” (NS, Perempuan, 27) Motif yang sering muncul berikutnya dalam motif sosial yang berhubungan dengan pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza adalah motif kekuasaan. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa dengan menjadi pengguna zat-zat adiktif berbahaya, mereka dapat memegang alih kekuasaan atas teman-teman mereka yang lain. Motif berikutnya adalah motif kebebasan. Pada awal penggunaan Napza tersebut mereka beranggapan dengan mengonsumsi zat adiktif tersebut maka mereka bisa bebas dari segala bentuk tekanan yang mereka rasakan. Tekanan yang mereka rasakan salah satunya akibat pola interaksi di dalam lingkungan pertemanannya yang rendah. “Ya biar dianggap hebat terus orang-orang jadi segan sama saya. Daripada saya tertekan terus diantara tementemen jadilah mutusin buat ‘make’. Dulu sih mikir pendeknya gitu.” (BS, Laki-laki, 24)
PENUTUP Simpulan Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Penyalahguna Napza mayoritas memulai mengonsumsi Napza pada i usia remaja awal, yaitu kurang dari 15 tahun dan lebih banyak berjenis kelamin laki-laki. Penyalahguna Napza juga memiliki tingkat pendidikan yang rendah, yaitu tamat SD sehingga status pekerjaannya sebagian besar tidak bekerja. Hal tersebut berkaitan pula dengan penerimaan penyalahguna Napza yang cenderung rendah, yaitu kurang dari Rp 250.000,00. Mayoritas penyalahguna Napza memiliki orangtua dengan status pernikahan bercerai/duda/janda. Karakteristik tingkat pendidikan Ayah penyalahguna Napza mayoritas tamat SMA, dan tingkat pendidikan Ibu penyalahguna Napza mayoritas tamat SD. Mayoritas tingkat penerimaan orangtua penyalahguna Napza kurang dari Rp 1.100.000,00. 2. Pada saat memulai mengonsumsi Napza mayoritas penyalahguna Napza memiliki pola interaksi yang rendah dalam lingkungan keluarganya, namun memiliki pola interaksi pertemanan yang tinggi dalam lingkungan pertemanannya. 3. Usia, tingkat penerimaan, status pernikahan orangtua, tingkat pendidikan Ibu, dan tingkat penerimaan orangtua responden penyalahguna Napza berhubungan nyata dengan pola interaksi keluarga ,dan memiliki hubungan nyata searah. Jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan tingkat pendidikan ayah responden penyalahguna Napza tidak tidak berhubungan nyata dengan pola interaksi keluarga. Status pekerjaan berhubungan nyata dengan pola interaksi di lingkungan pertemanan penyalahguna Napza, dan miliki hubungan hubungan nyata tidak searah. Sementara itu, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat penerimaan, status pernikahan orangtua, tingkat pendidikan Ayah, tingkat pendidikan Ibu, dan tingkat penerimaan orangtua tidak berhubungan nyata dengan pola interaksi pertemanan responden penyalahguna Napza. 4. Motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja didominasi oleh motif organismis dan motif sosial yang tinggi. 5. Pola interaksi keluarga berhubungan nyata dengan terbentuknya motif organismis dan motif sosial penyalahgunaan Napza. Semakin rendah pola interaksi keluarga maka motif organismis dan sosial penyalahguna Napza menjadi semakin tinggi. Pola interaksi pertemanan berhubungan nyata dengan terbentuknya motif organismis dan motif sosial penyalahgunaan Napza. Semakin rendah pola interaksi pertemanan maka motif organismis dan sosial penyalahguna Napza menjadi semakin tinggi.
69
Saran Pola interaksi dalam keluarga dan lingkungan pertemanan memiliki hubungan yang kuat dengan motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja. Oleh karena itu untuk mencegah timbulnya motif-motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja dibutuhkan beberapa hal, yakni: 1. Bagi keluarga sebagai komunitas pertama suatu individu, diperlukan komunikasi yang baik antar anggota keluarga. Selain itu menjaga keharmonisan keluarga juga sangat penting, mengingat bahwa keluarga yang tidak harmonis menimbulkan munculnya dorongan menggunakan zat-zat adiktif berbahaya. Setiap anggota keluarga diharapkan dapat berperan sesuai dengan status dan fungsinya di dalam keluarga. Sehingga pola interaksi yang terjalin di dalamnya menjadi lebih kokoh. Keluarga juga harus menjalankan fungsinya sebagai kontrol terhadap anggota keluarga lainnya, salah satunya adalah dengan mengetahui dan mengawasi dengan baik teman-teman yang bergaul dengan anggota keluarga lainnya. 2. Bagi remaja agar mengisi waktu dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, mempererat hubungan di dalam lingkungan keluarga dan senantiasa berhatihati dalam mengambil keputusan. Jangan mudah terjerumus dalam penyalahgunaan Napza yang kian lama kian marak tersebar luas.
70
DAFTAR PUSTAKA Anggara ADY. 2012. Perilaku Menyimpang (Sosiologi). [Internet]. Makalah sosiologi. Jakarta [ID]. Dapat diunduh dari:
Makalah perilaku Menyimpang (sosiologi) BNN. 2008. Data Survei Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. [dikutip tanggal 21 Maret 2013]; Dapat diunduh dari: http://www.bnn.go.id/ Fisher BA. 1986. Teori-teori Komunikasi. Bandung [ID]: CV Remadja Karya. 442 Hal. Harahap CF. 2008. Peran Komunikasi Keluarga terhadap Kecenderungan Penyalahgunaan Narkoba pada Remaja (Studi Kasus Pada Keluarga Pecandu di Kecamatan Kali Deres Jakarta Barat). [Tesis]. Jakarta [ID]: Universitas Indonesia. Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Istiwidayanti dan Soedjarwo, penerjemah; Sijabat RM, editor. Jakarta [ID]: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Developmental Psychology A Life-Span Approach, fifth edition. Indiyah. 2005. Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA (Studi Kasus pada Narapidana di Lp Klas Ii/A Wirogunan Yogyakarta). Jurnal Kriminologi Indonesia. [Internet]. Jurnal. [dikutip tanggal 23 Maret 2013]; 4 (1): 87-104. Dapat diunduh dari: http://www.journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1243/1148 Jaji. 2009. Hubungan Faktor Sosial dan Spiritual dengan Risiko Penyalahgunaan NAPZA pada Remaja SMP dan SMA Di Kota Palembang 2009. Jurnal Unsri. [Internet]. Jurnal. [dikutip tanggal 1 April 2013]. Dapat diunduh dari: http://eprints.unsri.ac.id/752/3/journal_Jaji_%2528U_BALITBANGDA%25 29.pdf JANGKAR. 2008. Pelanggaran HAM pada Komunitas Penasun. Jakarta [ID]: Open Society Institute. 96 Hal. Diunduh di: www.slideshare.net/sketchpowder/dokumentasi-pelanggaran-ham-dikelompok-pengguna-narkoa-suntik. Mahali G. 2004. Remaja Penyalahguna Narkoba. [Skripsi]. Depok [ID]: Universitas Indonesia. Mardiah. 1999. Hubungan Interaksi Orangtua dan Anak dengan Kenakalan Remaja. [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Nasution MDN dan Nashori HF. 2007. Harga Diri Anak Jalanan. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi. [Internet]. Jurnal. [dikutip tanggal 15 April 2013]; 9 (1): 62-82. Dapat diunduh dari: http://www.publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/12345789/1404 Puspitawati H. 2006. Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah terhadap Kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kota Bogor. [Disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Rakhmat J. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung [ID]: PT Remaja Rosdakarya. 332 Hal.
71
Ruhidawati C. 2005. Pengaruh Pola Pengasuhan, Kelompok Teman Sebaya dan Aktivitas Remaja terhadap Kemandirian [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Safaria T. 2007. Fenomena Kecenderungan Penyalahgunaan NAPZA Ditinjau dari Tingkat Religiusitas Regulasi Emosi, Motif Berprestasi, Harga Diri, Keharmonisan Keluarga, dan Pengaruh Negatif Teman Sebaya. Jurnal Humanitas. [Internet]. Jurnal. [dikutip tanggal 27 Desember 2013]; 4 (1): 13-24. Dapat diunduh dari: http://journal.uad.ac.id/index.php/HUMANITAS/article/view/706. Santrock JW. 2012. Life-Span development Perkembangan Masa-Hidup. Jakarta [ID]: PT Gelora Aksara Pratama. 471 Hal. Sarwono SW. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta [ID]: PT Raja Grafindo Persada. 321 Hal. Sarwono SW. 2009. Pengantar Psikologi Umum. Depok [ID]: PT Raja Grafindo Persada. 308 Hal. Singarimbun M, Effendi S. 2008. Metode Penelitian Survai. Effendi S, editor. Jakarta (ID): LP3ES. Siregar M. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyalahgunaan Narkotik Pada Remaja (Studi Deskriptif di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Medan). Jurnal Pemberdayaan Komunitas. [Internet]. Jurnal. [dikutip tanggal 23 Maret 2013]; 3 (2): 100-105. Dapat diunduh dari: http://www.usupress.usu.ac.id/files/Pemberdayaan%20komunitas%20Vol_ %203%No_%202%20Mei%202004.pdf#page=41 Sugiharto ST. 2008. Profil Anak Jalanan dan Strategi Pengentasannya di Bandung, Bogor dan Jakarta. [Disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Septiart SW. 2002. Fenomena Pekerja Anak Usia Sekolah. Jurnal Penelitian Humaniora. [Internet]. Jurnal. [dikutip tanggal 27 April 2013]; 7 (j): 27-46. Dapat diunduh dari: http://eprints.uny.ac.id/4989/1/fenomena-pekerjaanak.pdf Sulistyorini D. 2008. Faktor-faktor yang Menyebabkan Penyalahgunaan Narkoba Pada Remaja. [Tesis]. Jakarta [ID]: Universitas Indonesia. Tarigan ABP. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi pelanggan dalam pembelian teh dan kelapa sawit. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yuli S. 1995. Hubungan Komunikasi antara Anak dan Orang Tua dengan Prestasi Belajar. [Skripsi]. Bandung [ID]: Universitas Padjajaran
72
LAMPIRAN
Lampiran 1 Jadwal pelaksanaan penelitian Juni
Sep
Okt
Nov
Des
Jan
Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Skripsi Pengambilan Data Lapang Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Uji Petik Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Skripsi
73
Lampiran 2 Dokumentasi Kegiatan
Posko Cibinong Rumah Singgah PEKA
Program vocational laundry Rumah Singgah PEKA
74
Wawancara dengan responden
75
Lampiran 3 Data output program Harm Reduction Rumah Singgah PEKA Indikator jumlah pengguna narkotika suntik (penasun) yang dijangkau jumlah klien yang ikut LJSS jumlah jarum suntik steril yang didistribusikan jumlah jarum suntik steril yang dikembalikan jumlah paket materi KIE yang didistribusikan jumlah penasun yang menerima kondom jumlah kondom yang didistribusikan pada penasun jumlah rujukan tes HIV jumlah rujukan PTRM/MMT jumlah rujukan NSP ke Puskesmas jumlah rujukan pemeriksaan kesehatan ke Puskesmas jumlah rujukan pemeriksaan IMS jumlah pasangan penasun yang ikut pertemuan jumlah pos layanan informasi HR
Tahun 2011 2012 627 377 323 445 600 1295 270 569 1650 0 864 555 1060 126 52 8 21 5 0 36 14 0 4 74 30 1 0
76
Lampiran 4 Diagram output program Harm Reduction Rumah Singgah PEKA
77
Lampiran 5 Diagram perkembangan klien berdasarkan WHO-QO
78
RIWAYAT HIDUP Qanita Windyanggiva dilahirkan di Bogor pada tanggal 27 Oktober 1992, dari pasangan Dwi Windu Suryono dan Novarita Dwi Suryani. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis adalah TK Mexindo Bogor pada periode 1997 – 1998, SDN Pengadilan 2 Bogor pada periode 1998 – 2004, SMP Negeri 5 Bogor periode 2004 – 2007, dan SMA Negeri 3 Bogor periode 2007 – 2010. Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah itu, pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif sebagai anggota Divisi Broadcasting HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) sebagai anggota divisi pada masa kepengurusan 2011 – 2012 dan kemudian dipercaya menjadi ketua divisi Broadcasting tersebut di masa kepengurusan 2012 – 2013. Selain itu, penulis juga tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiwa (UKM) MAX!! IPB divisi Music mulai tahun 2012 serta tergabung pula dalam komunitas Stand Up Indo Bogor. Di samping itu, penulis juga mempunyai berbagai pengalaman kepanitiaan, seperti dalam acara Jas Biru KPM, MPD Ceria 48, INDEX 2012, Merdeka Dalam Bercanda, HOT, ACRA 2012, Bercandaan Gang Mini Show, OMI 2013, ACRA 2013, ILLUINATI Ernest Prakasa tour, dan lain sebagainya. Penulis juga pernah meraih beberapa penghargaan karena berprestasi dalam bidang tarik suara, diantaranya mendapatkan penghargaan dari Walikota Bogor dalam ajang tahunan Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) tahun 2009 dengan predikat juara I solo vocal, penghargaan dari Dinas Pemerintahan Kabupaten Bogor dalam ajang tahunan Penyanyi Populer tahun 2010 dengan predikat juara I solo vocal, dan lain sebagainya.