PENYALAHGUNAAN NAPZA (NARKOTIK, ALKOHOL, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADDIKTIF LAINNYA)
Penggunaan illegal dan luas zat yang mempengaruhi otak telah menyebabkan suatu malapetaka di masyarakat Barat Modern di mana salah seorang calon presiden Amerika Serikat di awal tahun 1990-an menanamkan situasi tersebut sebagai perang kimia domestic. Memperhitungkan efek penggunaan zat illegal pada masyarakat adalah sulit karena banyak efek membutuhkan waktu beberapa decade untuk timbul . Efek yang timbulnya lambat tersebut adalah efek pada perkembangan pada seseorang yang orangtuanya menggunakan zat gelap dan efek pada struktur masyarakat itu sendiri, seperti yang diukur oleh tenaga kerja, pendidikan dan kemiskinan. Lingkup masalah ini adalah sangat luas. Lebih dari 15 persen populasi di Amerika Serikat yang berusia lebih dari 18 tahun mempunyai masalah penggunaan zat yang sen us, dengan kira-kira Aiapertiga dari mereka terutama menyalahgunakan alcohol dan sepertiga lainnya toutama menyalahgunakan zat lain selain alcohol. Biaya tahunan total bagi masyarakat di pertengahan tahun 1990-an diperkirakan hampir 200 milyar dolar. Fenomena penyalahgunaan zat mempunyai banyak implikasi untuk penelitian otak, psikiatri klinis, dan masyarakat pada umumnya. Dinyatakan dengan sederhana, beberapa zat dapat mempengaruhi keadaan mental yang dirasakan dari dalam (sebagai contohnya, mood) maupun aktivitas yang dapat diobservasi dari luar (yaitu, perilaku). Tetapi, implikasi dari perayataan sederhana tersebut adalah mengejutkan. Satu implikasi bahwa zat dapat menyebabkan gejala neuropsikiatrik yang tidak dapat contohnya, skizofrenia dan gangguan modd). Pengamatan tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk menyatakan bahwa gangguan psikiatrik dan gangguan yang melibatkan penggunaan zat yang mempengaruhi otak adalah berhubungan. Jika gejala derpesif terlihat pada seseorang yang tidak pernah menggunakan zat yang dipengaruhi otaktidak dapat dibedakan dan gejala depresif pada seseorang yang telah menggunakan zat yang mempengaruhi otak, mungkin terdapat kesamaan yang mempunyai dasar pada otak antara perilaku menggunakan zat dan depresi. Kenyataan bahwa adanya zat yang mempengaruhi otak adalah suatu petunjuk tentang bagaimana otak bekerja pada keadaan normal maupun tidak normal.
Fenomena penyalahgunaan napza adalah fenomena ice berg (gunung es) artinya jumlah penderita penyalahgunaan napza yang tampak dipermukaan lebih kecil dibanding dengan yang tersembunyi (kasus yang tak nampak). Telah banyak usaha yang dilakukan oleh banyak orang dan para ahli bahkan dari banyak negara tetapi korban penyalahgunaan napza masih saja terus terjadi. Maraknya korban penyalahgunaan napza dibanyak tempat itu membuktikan bahwa usaha yang dilakukan belum mampu mencegah penyalahgunaan napza itu secara optimal. Banyak hal dan banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penyalahgunaan napza tersebut, oleh karena itu penyalahgunaan napza selalu bersifat multifaktorial. Dengan demikian pendekatan yang dilakukan harus pula bersifat multidisipliner, tidak mungkin hanya dengan pendekatan disiplin tunggal. Tingginya angka insidensi dan prevalensi penyalahgunaan napza, bukan hanya menjadi tanggung jawab para dokter/psikiater saja dan bukan pula hanya menjadi fanggung jawab para penegak hukum (polisi) tetapi harus menjadi tanggung jawab semua pihak. Masyarakat tidak boleh terlalu permisif terhadap para pelaku penyalahgunaan napza tetapi harus lebih peduli terutama dalam usaha pencegahannya. Dari survey organisasi kesehatan dunia (WHO) yang dilakukan pada 14 negara dapat diperlihatkan bahwa 24 % pengunjung fasilitas pelayanan kesehatan umum menderita gangguan jiwa dan 6 % penderita penyalahgunaan Napza. Tidak pernah problem yang berkaitan dengan penyalahgunaan napza itu berdiri sendiri. Hampir semua profesi disiplin ilmu terlibat dalam usaha penanggulangan napza. Sepanjang sejarah umat manusia di seluruh muka bumi ini zat yang bila masuk dalam tubuh dapat mempengaruhi tubuh, terutama susunan saraf pusat sehingga dapat mengubah aktifitas mental emosional, alam perasaan, daya tanggap atau tingkah laku banyak dipergunakan oleh manusia untuk berbagai macam tujuan, seperti hiburan, keagamaan, dan untuk kepentingan kesehatan. Kini pemakaian zat itu sering disalah gunakan, padahal pemakaian obat ini diluar kepentingan pengobatan secara medik sering dapat menimbulkan gangguan atau masalah baik bagi individu pemakainya maupun bagi imgkungan sekitarnya. Gawamya masalah penyalahgunaan napza ini demi kesehatan dan sosial, menyebabkan perlunya perhatian yang sangat khusus. Kini masalah ini telah benar-benar dapat merusak generasi penerus bangsa. Penyalahgunaan napza erat hubungannya dengan tindak kejahatan. Hasil
penelitian yang dilakukan penulis pada 137 napi menunjukkan bahwa sebagian besar mereka yang melakukan kejahatan adalah mereka yang memakai napza. Meskipun ada juga yang mengemukakan bahwa mereka melakukan kejahatan karena pengaruh teman, pribadi, ekonomi dan karena sering nonton televisi. Penderita penyalahgunaan napza mudah sekali melakukan kejahatan karena napza adalah zat yang dapat menekan pusat penendalian din, akibatnya mereka yang ada dibawah pengaruh zat itu menjadi lebih (insight) menjadi jelek. Rasa percaya diri menjadi berlebihan, kepribadian menjadi sangat ekspansif, disertai meningkatnya afek yang patologik, alam perasaan mengayun tidak terkendali dengan letupan emosi yang berlebihan. Dalam keadaan demikian mereka akan mudah sekali melakukan tindakan amoral termasuk melakukan kejahatan. Dan hasil penelitian itu penulis juga dapat menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penyalahgunaan napza dengan tingginya angka kejahatan dan pembunuhan. Hal ini dapat dimengerti karena dengan penyalahgunaan napza itu dapat tercipta keadaan yang tak terkendali oleh individu untuk melakukan tindakan yang membahayakan atau mengancam masyarakat. Di samping itu juga akibat timbulnya sifat berani yang berlebihan dan terlalu besar serta terganggunya pertimbangan moral dapat memudahkan individu terdorong untuk melakukan tindakan kejahatan dan pembunuhan. Dapat pula diperlihatkan dari hasil penelitian itu bahwa sebagian besar para residivis adalah mereka yang melakukan penyalahgunaan napza. Beberapa kejahatan yang telah dilakukan oleh para napi itu adalah: pembunuhan (10,95%), pencurian (53,29 %), perampokan (0,73 %), perampasan (5,10 %), perkosaan (3,65 %), penipuan (2,92 %), prakelahian (2,18 %), pelanggaran lalin (5,10 %), penyalahgunaan napza (6,56 %), percabulan (0,73 %), penganiayaan (2, 8 %), penggelapan (0,73 %), penadahan ( 0,73 %), uang palsu (3,65 %), pemalsuan (0,73 %), pemerasan (0,73 %). Hal yang menarik pula untuk dikemukakan dari hasil penelitian penulis ini ialah bahwa sebagian besar pelaku tindak kejahatan itu adalah remaja (41,60 %) dan mereka yang berusia dewasa muda (46,64 %). Sedangkan pelaku kejahatan yang berusia lebih dari 40 tahun hanya ada: 8,76 %. Dari angka-angka ini kiranya perlu perhatian banyak pihak agar segera memikirkan secara bijaksana dan dengan kesungguhan untuk mencari baik. Tidak menutup kemungkinan mereka mengalami kecemasan atau depresi sehingga pertolongan psikiatrik sering
sangat diperlukan. Dalam keadaan cemas dan depresi mereka dapat menjadi kebingungan dan tidak tahu lagi harus berbuat apa. Mereka dapat menjadi lebih berbahaya baik terhadap dirinya sendiri (suicide) atau terhadap orang lain (homicide). Penyalahgunaan napza tidak hanya merusak kesehatan individu yang bersangkutan tetapi juga akan sangat merugikan secara ekonomi. Belum ada penelitian yang adekuat tentang kerugian yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan napza itu, tetapi dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dadang hawari (1998) menunjukkan bahwa jumlah penyalahgunaan napza di Indonesia ada 1,3 juta orang dan beaya pengeluaran untuk memakai napza tiap hari tiap orang berkisar antara Rp100.000,- sampai Rp300.000,- Dengan demikian berarti bahwa di seluruh wilayah Indonesia uang yang hilang karena penyalahgunaan napza itu tiap hari berkisar antara 130 miliar sampai 390 miliar rupiah. Bahkan di AS setiap tahunnya kerugian akibat penyalahgunaan napza mencapai nilai 85 biliun dolar, disamping kerugian lainnya akibat kecelakaan yang ditimbulkan oleh keracunan napza. Satu survei besar yang belum lama dilakukan telah menemukan prevalensi
seumur
hidup
dari
suatu
diagnosis
penyalahgunaan
bahwa atau
keergantungan zat Sfantara populasi orang di Amerika Serikat yang berusia lebih dari 18 tahun adalah 16,7 persen. Prevalensi seumur hidup penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol adalah 13,8 persen, dan untuk zat yang nonalkohol adalah 6,2 persen. Prevalensi seumur hidup tin penggunaan zat sekarang di tahun 1991. Alkohol dan nikotin (rokok) adalah zat paling sering digunakan, tetapi marijuana, hashish, dan kokain juga sering digunakan. Tetapi pada umumnya untuk keempat zat tesebut - alkohol, marijuana, hashish, dan kokain - terdapat penurunan yang bertahap tetapi terus menerus pada penggunaannya yang tinggi disekitar tahun 1980 ke awal 1990-an . Tetapi, beberapa bukti telah menunjukkan bahwa penyalahgunaan zat meningkat lagi di antara anak-anak dan remaja yang dibawah usia 18 tahun. Penyalahgunaan dan ketergantungan pada zat adalah lebih umum pada laki-laki dibandingkan wanita, dengan perbedaan yang lebih jelas pada zat nonalkohol dibandingkan alkohol. Penyalahgunaan zat juga lebih tinggi di antara kelompok pengangguran dan kelompok minoritas tertentu di bandingkan di antara kelompok orang yang bekerja dan kelompok mayoritas. Penggunaan zat
adalah tidak terbatas pada orang dewasa. Seperti yang ditunjukkan oleh survei terakhir pada sekolah menengah atas, kira-kira 30 persen dari mereka mencoba zat nonalkohol dan nonmarijuana (sebagai contohnya , amfetamin, inhalan, halusinogen, sedatif, atau kokain) sekurangnya satu kali. Penggunaan zat adalah lebih sering di antara profesional medis dibandingkan profesional non medis untuk tingkat pendidikan yang sama (sebagai contohnya, ahli hukum). Satu penjelasan yang mungkin untuk perbedaan tersebut adalah relatif mudahnya mendapatkan suatu kelas zat pada profesional medis (sebagai contohnya, sedatif dan stimulan) Data epidemiologis tahun 1991 berikut ini didapatkan dari National Institute on Drug Abuse (NIDA) Di tahun 1991 sekitar 37 persen populasi (75,1 juta) melaporkan bahwa mereka pernah menggunakan satu atau lebih zat gelap selama hidupnya, 13 persen (25,8 juta) pernah menggunakan zat gelap dalam tahun terakhir, dan 6 persen (12,8 juta) pernah menggunakan zat tersebut dalam bulan sebelum survei. Kira-kira 85 persen (171,9 juta) populasi pernah menggunakan alkohol, 68 persen (138 juta) pernah menggunakan alkohol dalam bulan terakhir Marijuana adalah zat gelap yang paling sering digunakan ditahun 1991. dari keseluruhan populasi yang berusia 12 tahun dan lebih tua, kira-kira 33 persen (67,7 juta) pernah menggunakan marijuana, dan 5 persen (9,7 juta) merupafcan pengguna yang baru. Zat gelap selanjutnya yang paling sering digunakan di tahun 1991 adalah zat psikoterapetik yang diresepkan dan kokain. Prevalensi penggunaan selama hidup adalah 12,5 persen (25,4 juta) untuk zat psikoterapetik dan 11,5 persen (23,7 juta) untuk kokain. Prevalensi penggunaan kedua zat tersebut dalam bulan terakhir masing-masing adalah 1,6 persen (3,3 juta) dan 0,9 persen (1,9 juta). Zat gelap lainnya (halusinogen, inhalan, dan heroin) digunakan oleh kurang dari 9 persen populasi di dalam seumur hidupnya dan kurang dari 1 persen dalam bulan terakhir. Kelompok usia. Prevalensi penggunaan zat gelap dalam bulan terakhir adalah paling tinggi pada mereka yang berusia 18 sampai 25 tahun, yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan usia yang lebih muda 12 sampai 17 tahun dan dua kelompok usia yang lebih lanjut. Sekitar 1,3 juta anak muda yang
berusia 12 sampai 17 tahun , 4,4 juta dewasa muda yang berusia 18 sampai 25 tahun, dan 7 juta dewasa yang lebih tua pernah menggunakan satu atau lebih zat gelap dalam bulan terakhir. Laki-laki secara bermakna lebih tinggi dibandingkan wanita untuk menggunakan zat gelap dalam bulan terakhir. Keseluruhan 7,4 juta laki-laki merupakan pengguna sekarang, dibandingkan 5,4 juta pada wanita. Kelompok kulit hitam secara bermakna lebih tinggi dibandingkan kelompok kulit putih dan hispanik untuk menggunakan zat gelap dalam bulan terakhir, tetapi hispanik tidak berbeda secara bermakna dengan kulit putih. Bahkan walaupun prevalensi penggunaan zat gelap dalam bulan terakhir adalah lebih tinggi pada kulit hitam dibandingkan kulit putih, kira-kira tigaperempat (72,4 persen) pengguna zat gelap di tahun 1991 adalah kulit putih. Keseluruhan 9,2 juta kelompok kulit putih menggunakan zat gelap dalam bulan terakhir, dibandingkan dengan 2,2 juta kulit hitam dan 1 juta hispanik. Penduduk
didaerah
metropolitan
yang
besar
paling
mungkin
menggunakan zat gelap dalam bulan terakhir, dan penduduk daerah non metropolitan adalah paling kecil dalam kemungkinannya melakukan hal yang sama .Hampir setengah (47,7 persen) dari mereka yang menggunakan zat gelap dalam bualn terakhir tinggal didaerah metropolitan yang besar. Keseluruhan 6,1 juta penduduk daerah metropolitan besar, 4,2 juta penduduk daerah metropolitan kecil, dan 2,5 juta penduduk non metropolitan pernah menggunakan at gelap dalam bulan terakhir. Prevalensi penggunaan zat gelap dalam bulan terakhir secara bermakna lebih tinggi didaerah barat dibandingkan dengan daerah timur laut, selatan, dan utara tengah, tidak ada perbedaan antafa tiga daerah lainnnya yang bermakna secara statistik. Upaya kesehatan jiwa yang merupakan bagian integral dari upaya kesehatan secara keseluruhan terayata dirasakan makin dibutuhkan dengan kemajuan
masyarakat
modern,
karena
modernisasi
memang
dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat tetapi juga membawa akibat sampingan yang tidak diharapkan, yaitu meningkatnya stres kehidupan yang pada suatu waktu atau pada taraf tertentu menjelma menjadi gangguan kesehatan jiwa (Ranuh, 1983). Sejalan dengan perkembangan seluruh ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan, maka juga ilmu kedokteran jiwa dan pelayanan kesehatan
jiwa menjurus secara lebih mantap ke arah penyelenggaraan pelayanan pada masyarakat luas (Setyonegoro, 1981). Ilmu kedokteran jiwa telah belajar lebih banyak dari ahli-ahli kesehatan masyarakat, dan sebaliknya para ahli kesehatan masyarakat telah sefaham dengan para psikiater bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu problem yang penting di bidang kesehatan masyarakat. Sama dengan kesehatan masyarakat maka kesehatan jiwa modern sekarang tidak merasa puas hanya dengan adanya suatu program terapeutik saja. Tujuan dan sasaran akhir dari kesehatan jiwa ialah terarah pada prevensi yang didasarkan atas identifikasi dari gangguan jiwa, mempertinggi daya tahan mental individu dan mengusahakan perobahan-perobahan tertentu di lingkungan individu tersebut sehingga membawa manfaat baginya. Telah diketahui bahwa banyak faktor psikososial dan psikokultural turut menentukan patogenesis gangguan jiwa. Dipahami pula bahwa epidemiologi gangguan jiwa merupakan unsur penting dalam sistem perencanaan kesehatan jiwa yang rasional. Sekarang telah diketahui bahwa pelayanan kesehatan jiwa hams lebih merata dan berakar dalam masyarakat (Radioputro, 1980; Beck et al., 1972; Bourne 1978). Ilmu
kedokteran
jiwa
masyarakat
(Maramis,
1980)
merupakan
pengetahuan untuk melaksanakan program masyarakat dengan menggunakan pendekatan masuyarakat dan berorientasi pada masyarakat dalam hal peningkatan, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi. Dalam kedokteran jiwa masyarakat individu dianggap sebagai contoh yang datang dari masyarakat dan bila ia akan ditolong maka yang menentukan ialah bukan saja kebutuhankebutuhan individu itu sendiri tetapi sebagian besar juga oleh kebutuhankebutuhan masyarakat yang dibawa olehnya sebagai contoh serta oleh sumbersumber yang ada untuk menghadapi masalah-masalah kebutuhan umum itu. Pertolongan pada satu individu pada satu saat yang tertentu, termasuk bidang kedokteran
jiwa
yang
berorientasi
perorangan
(individual-patient-oriented
psyciatry) atau termasuk psikiatri klinik, sedangkan upaya yang dilakukan kedokteran jiwa masyarakat, dalam kegiatannya bertujuan pula mengusahakan prevensi dan terapi gangguan jiwa, rehabilitasi penderita mental serta pembinaan kesehatan jiwa dalam suatu populasi (Heerdjan, 1977). Ditinjau dari sudut kesehatan jiwa, keluarga merupakan suatu unit (kesatuan) sosial yang paling dasar (primary) dan oleh sebab itu dalam seluruh sistem pelayanan kesehatan
jiwa dianggap posisi sentral yang terpenting. Berbagai unsur sosiobudaya kemudian dianggap penting sebagai unsur pembina dari perkembangan manusia, perkembangan manusia dalam perkawinan dan perkembangan keluarga, dan karena itu dianggap sebagai kekuatan (potent agent) dari timbulnya krisis-krisis baik dalam keluarga maupun dalam pribadi individual seorang manusia secara tersendiri . Sepanjang sejarah umat manusia (Roan, 1979), di seluruh muka bumi ini zat yang dapat mengubah alam perasaan, daya tanggap atau tingkah laku banyak dipergunakan untuk berbagai macam kepentingan dan tujuan yang bersifat hiburan (recreational), keagamaan (ritualistic), dan kesehatan (health) Tetapi akhir-akhir ini pemakaian obat di luar kepentingan kesehatan banyak dilakukan hanya untuk kesenangan saja. Gawatnya masalah penyalahgunaan obat ini demi kesehatan dan sosial, menyebabkan perlunya perhatian yang khusus. Korban penyalahgunaan obat/zat telah terlalu banyak dan nampaknya korban
baru
masih
saja
akan
terus
terjadi.
Oleh
karena
itu
upaya
penanggulangannya secara adekuat harus terus dicari. Telah banyak usaha yang dilakukan oleh berbagai pihak tetapi ternyata masih saja belum memuaskan banyak pihak. Jumlah korban penyalahgunaan obat masih terus berjatuhan. Hingga kini jumlah penderita penyalahgunaan obat secara akurat belum dapat diketahui, bahkan diduga penyalahgunaan obat merupakan fenomena ice berg, Jumlah yang tampak jauh lebih kecil dari pada yang tampak di masyarakat. Menurut WHO jumlah kasus yang tersembunyi di masyarakat yaitu kasus yang termasuk dark number jumlahnya sepuluh kali lebih banyak dari pada kasus yang nampak dipermukaan (Kaplan et al., 1994). Modernisasi telah menimbulkan banyak perubahan dalam kehidupan orang. Pola pikir juga berubah, orang menjadi lebih independen, lepas dari berbagai tradisi dan ikatan moral yang sebelumnya sangat dihormati. Modernisasi telah menurunkan pula fanatisme pada kepercayaan dan lebih merasa bersikap rasional. Hubungan interpersonal juga berubah menjadi lebih singkat dan dangkal. Demikian pula hubungan sosial banyak mengalami pergeseran.
Banyak
generasi
muda
yang
membuat
kelompok
sendiri,
memisahkan din dari kehidupan masyarakat luas. Remaja membentuk genggeng (peer group) sendiri. Penyimpangan perilaku makin banyak terlihat
terutama penyimpangan dari norma-norma yang selama ini sangat ditaati. Stimulus yang datang dari media masa sangat mempengaruhi pula pada terjadinya perubahan perilaku masyarakat. Nilai kultural tentang moral tidak lagi setinggi dalam masyarakat dulu. Maka dapat dilihat di lem, bensin (petrol), cairan isi korek (lighter refill), cat yang mengandung acrylic (acrylic paint), pemadam kebakaran (fire extinguishing agents), cat kuku (nail polish), anti beku (anti freeze) larutan pembersih (cleaning fluids), dan amylnitrite. Larutan mudah menguap yang dihirup para remaja itu bereaksi sangat cepat dan singkat yang diikuti keadaan depresi. Berbagai gejala yang dapat ditimbulkan akibat menghirup larutan toluene itu adalah eforia, penglihatan kabur, tinnitus, slurred speech, ataxia, feeling of omnipotence, headache, abdominal pain, anorexia, nausea, vomiting, jaundice, chest pain, bronchospasm, impaired judgement, irritability, dan excitement. Dapat pula timbul kejang dan coma yang kalau tidak segera mendapatkan pertolongan akan menimbulkan kematian. Disamping itu gejala lain yang dapat terjadi adalah melukai diri sendiri dan terjadinya perubahan tingkah laku antisosial. Menghisap tas plastic sering menimbulkan bintik-bintik merah (erythematous spots) yang disebut glue sniffer's rash di sekitar hidung dan mulut. Pada waktu lama dapat menimbulkan aplastic anemia, kerusakan hepar, ginjal, atrofi opticus, encephalopathy, cerebellar degeneration, dan gangguan keseimbangan, Informasi ini bukanlah untuk memberi sinyalemen tentang zat-zat yang dapat juga dipakai pengganti Napza, tetapi justru meminta perhatian pada suatu yang potensial yang dapat menjadi masalah besar. Belum ada angka-angka yang dikumpulkan tentang insidensi penyalahgunaan obat secara akurat dan memang angka-angka yang benar sulit untuk didapat. Korban telah terlalu banyak berjatuhan. Anak dan remaja yang menjadi korban akan mengalami gangguan pendidikan, medis-psikiatrik, sosial dan spiritual. Problem yang dihadapinya menjadi sangat besar, baru baginya dan sering mengejutkan. Dapat diperolehnya obat dengan relatif mudah menambah tingkat berbahayanya kasus. Bagi mereka yang masih belajar akan menanggung resiko pendidikan, oleh karena akibat penyalahgunaan obat dapat menghambat kemampuannya belajar. Mereka juga sering dianggap berpengaruh berpengaruh jelek terhadap lingkungannya dan lingkungan sekolahnya dapat berpengaruh kurang baik terhadap mereka. Cita-citanya untuk meneruskan studi dalam banyak hal
terhalang untuk sementara atau selama-lamanya. Penyalahguna obat akan merupakan resiko medis-psikiatris karena timbulnya berbagai gangguan baik fisik maupun mental. Resiko akan menjadi bertambah berat lagi bila secara diam-diam mereka berusaha menyembuhkan sendiri atau mencari pertolongan secara inadekuat. Berbagai komplikasi medik dapat terjadi akibat penyalahgunaan obat, seperti gangguan sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem kemih-kelamin dan sistem saraf. Gangguan seksual (Schiari et al., 1995) dapat pula terjadi terutama pada penyalahgunaan alkohol dengan perkiraan prevalensi 8 % - 58 %. Bahkan dapat pula meningkatkan resiko timbulnya kanker kepala dan leher, khususnya di mulut, lidah larynx dan pharynx. Juga gangguan hepar, paru-paru dan ginjal (Sherlock, 1989). Efek penyalahgunaan obat itu memang sangat sulit untuk diketahui karena adakalanya efek tersebut baru muncul setelah beberapa tahun kemudian (Kaplan et al., 1994). Bahaya lain yang dapat terjadi pada penyalahgunaan obat adalah timbulnya gangguan mental seperti psikosis dan kematian mendadak karena toksis. Resiko sosial yang dialami penyalahguna obat adalah isolasi oleh lingkungannya. Studinya yang tidak selesai atau terhambat akan mengganggu kemampuannya mencari nafkah. Tingkah lakunya yang cenderung antisosial (Winokur et al., 1995) akan banyak menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungannya. Memang sulit untuk memberi lukisan tentang kepribadian yang cenderung menjadi penyalahguna obat dihapus karena itu penyalahguna obat itu dapat menjadi sangat hiperaktif. Bahkan aktifitas seksualnya juga dapat meningkat hingga sering mendorongnya pada tindak perkosaan. Penyalahguna obat juga akan menjadi individu yang mudah kecewa, tidak puas dengan kehidupannya, emosinya labil dan tindakannya menjadi impulsif sehingga sering melakukan tindakan yang mengganggu ketenteraman orang banyak. Cenderung menjadi seorang yang cepat protes, suka menentang bahkan memberontak terhadap norma-naorma yang seharusnya ditaati. Penyalahguna obat mementingkan dirinya sendiri dan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat Tingkah lakunya yang agresif (Livingston, 1992), sering mendorongnya melakukan tindak kejahatan kriminal. Penelitian di Amerika terhadap narapidana ternyata didapatkan bahwa 80 % diantaranya melakukan kejahatan dibawah pengaruh penyalahguna obat (Joewana, 1985).
Sedangkan hasil penelitian Soewadi (1996) menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang melakukan kejahatan adalah karena pengaruh penyalahgunaan obat. Dari data statistik Polri antara tahun 1990 s/d 1992 pada narapidana yang berkaitan dengan penyalahguna obat berkisar 55,96 % s/d 75,26 % (Mende, 1993). Mudahnya melakukan kejahatan karena dibawah pengaruh obat mereka menjadi lebih berani dan agresif, sedang kemampuan pengendalian dirinya hilang. Disamping itu rasa percaya dirinya menjadi berlebihan, dan meningkatnya afek yang patologik. Dalam berbagai penelitian suatu rentang 35 sampai 60 persen populasi dengan penyalahgunaan zat atau ketergantungan zat memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan kepribadian antisosial. Rentang ini adalah lebih tinggi jika peneliti memasukkan pasien yang memenuhi semua kriteria diagnostik gangguan kepribadian antisosial kecuali persyaratan bahwa gejala dimulai pada usia yang lebih awal. Yaitu, suatu presentasi tinggi pasien yang mempunyai diagnosis penyalahgunaan zat atau ketergantungan zat mempunyai suatu pola perilaku antisosial, apakah perilaku tersebut ada sebelum dimulai penggunaan atau berkembang selama perjalanan penggunaan zat. Pasien dengan diagnosis penyalahgunaan zat atau ketergantungan zat yang memiliki gangguan kepribadian antisosial kemungkinan menggunakan lebih banyak zat ilegal, mempunyai lebih banyak psikopatologi, kurang puas dengan kehidupannya, dan lebih impulsif, terisolasi, dan depresi dibandingkan pasien lain dengan gangguan kepribadian antisosial saja. Gejala depresi sering ditemukan diantara orangorang dengan penyalahgunaan zat atau ketergantungan zat. Kira-kira sepertiga atau sampai setengah dari semua orang yang melakukan penyalahgunaan opioit atau ketergantungan opioit dan kira-kira 40 persen orang yang menyalahgunakan alkohol atau ketergantungan alkohol memenuhi kriteria untuk gangguan depresif berat dalam suatu waktu selama kehidupannya. Penggunaan zat juga merupakan
faktor
pencetus
utama
untuk
bunuh
diri
.Orang
yang
menyalahgunakan zat kira-kira 20 persen lebih mungkin meninggal akibat bunuh diri
dibandingkan
penyalahgunaan
populasi alkohol
umum.
atau
Kira-kira
ketergantungan
15
persen
alkohol
orang telah
dengan
dilaporkan
melakukan bunuh diri. Frekuensi bunuh diri tersebut adalah dalam urutan ke dua setelah frekuensi yang ditemukan pada pasien dengan gangguan depresi berat. Penyalahgunaan obat merupakan pula resiko spiritual karena pengaruh
obat telah menyebabkan mereka meninggalkan kewajiban agamanya Akibatnya hidup menjadi gersang dan kering tanpa pedoman, tak tahu lagi akan arah kehidupan dari mana hendak kemana, berfoya-foya dalam fatamorgana kehidupan
dunia
yang
semu.
Hidupnya
didominasi
oleh
materialisme,
individualisme, egoisme, dan persaingan keras. Dengan demikian hidup akan penuh tekanan, ketegangan dan keresahan yang membuat orang mudah mencari jalan pintas melarikan diri pada penyalahgunaan obat. Telah pula ditulis oleh ahli terdahulu bahwa ada hubungan antara agama dengan timbulnya alkohol kronik, ketergantungan obat kronik dan skizofrenia (Hawaii, 1996). Oleh karena itu sejak 1994 WHO telah merekomendasikan pendekatan agama baik dalam pemahaman, maupun pengamalannya sebagai salah satu alternatif penanggulangan gangguan jiwa mulai dari usaha promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. Upaya promotif lebih banyak dilakukan dengan program penyuluhan untuk memberikan informasi yang benar tentang penyalahgunaan obat. Mempunyai anggota keluarga/anak yang menderita penyalahgunaan obat merupakan beban bagi seluruh keluarga, bahkan sering merupakan stigma sosial. Seluruh keluarga menjadi silence sufferer. Berbagai macam pendapat dan opini dilontarkan banyak orang tentang penderita penyalahguna obat, yang sering berakibat negatif baik bagi penderita maupun orang tuanya. Banyak orang menjadi
khawatir
mempunyai
anggota
keluarga
yang
melakukan
penyalahgunaan obat, meskipun frekuensi kemungkinannya kecil. Orang tua masing-masing
dapat
merasa
bersalah
karena
anaknya
melakukan
penyalahgunaan obat atau bahkan keduanya saling menuduh. Penyalahgunaan obat memang problem yang dapat timbul pada setiap keluarga, sehingga banyak keluarga yang menjadi sangat ketakutan mempunyai anak demikian. Selanjutnya tentu mereka memerlukan informasi tentang kemungkinan penyembuhannya ataupun pencegahannya. Sayang bahwa masih banyak orang mencari pertolongan secara inadekuat. Tetapi dengan meningkatnya kecerdasan rakyat, orang-orang yang memerlukan informasi tentang penyalahgunaan obat akan mencari
institusi
yang
dianggapnya
lebih
banyak
mengetahui
tentang
penyalahgunaan obat itu. Takhayul satu persatu akan pudar dan orang akan lebih banyak menggantungkan nasibnya pada ilmu pengetahuan. Mungkin sekali psikiatri pencegahan (prevention psychiatry) akan lebih banyak diterapkan.
Upaya promotif melalui penyuluhan tentang penyalahgunaan obat yang benar mungkin dapat pula mengurangi adanya stigma, Oleh karena itu tujuan penyuluhan
harus
meliputi:
meningkatkan
kesadaran
masyarakat
akan
pentingnya penanggulangan penyalahgunaan obat secara adekuiat sebagai milik masyarakat,
membantu
masyarakat
agar
mampu
berupaya
dalam
penanggulangan penyalahgunaan obat secara adekuat, baik perorangan maupun berkelompok, meningkatkan penggunaan sarana pelayanan medis yang telah tersedia. Dengan demikian maka mated penyuluhan akan berisi pengetahuan tentang narkotika, alkohol psikotropika dan zat addiktif lainnya (NAPZA), gangguan yang dapat timbul akibat penyalahgunaan obat, metode penanggulangan yang adekuat, dan adanya stigma. Adanya stigma dapat berpengaruh pada hasil pengobatan (Cooper, 1999). Timbulnya stigma terutama karena masih adanya kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan supranatural, roh atau arwah leluhur, serta makhluk halus yang dapat menempati alam sekitar, terutama pusaka-pusaka peninggalan nenek moyang. Masih banyak orang percaya bahwa makhluk halus tersebut dapat membantu mendatangkan kebahagiaan, ketenteraman atau keselamatan. Tetapi sebaliknya juga dapat menimbulkan kesukaran, gangguan pikiran, menimbulkan penyakit bahkan kematian (Dipojono, B., 1979). Stigma hanya dapat ditanggulangi dengan usaha yang bersifat multidisipliner karena melibatkan banyak pihak seperti psikiater, psikolog, perawat, pekerja sosial, pemuka masyarakat, pemuka agama, guru, organisasi sosial, dokter umum, konselor, polisi dan sarjana hukum. Adanya stigma sering membawa orang mencari pertolongan non medis ke pengobatan alternate/komplementer yang inadekuat atau mencari pertolongan pada dukun (orang tua, orang pintar, paranormal). Baik dukun yang berorientasi pada religius (berpengetahuan agama), supranatural (prewangan), natural( shinse, dukun pijat, tusuk jarum, dukun bayi), maupun campuran (terkun/medis dan dukun). Hingga kini masih banyak orang bergantung pada pengobatan kedukunan terutama yang berkaitan dengan gangguan jiwa. Hasil penelitian yang dilakukan di Yogyakarta baru saja memperlihatkan bahwa jumlah penderita yang terlebih dulu dating ke pengobatan non medis sebelum kepengobatan medis ada 39,8 %. Jumlah ini mungkin menjadi lebih besar kalau yang datang ke pengobatan non medis setelah berobat secara medis dihitung juga. Penduduk pedesaan (rural) paling besar yang datang ke pengobatan non medis (51,8%) Bahkan WHO
memperkirakan 90 % penduduk pedesaan tergantung pada pengobatan tradisional itu (Pratiknya, 1983). Meskipun sebenamya sejarah pelayanan kesehatan kini telah memasuki fase ilmiah, tetapi fase supranatural dan natural empirical masih tetap ada di masyarakat (Agoes, 1980). Dalam tulisan Ernst (2000) dikemukakan bahwa prevalensi
pengguna
pengobatan
non
medis
(complementary/alternative mrdicine) berkisar dari 9 % - 65 %, meskipun sering menjadi perdebatan. Makin rendah tingkat pendidikan makin besar kemungkinan untuk dating ke pengobatan non medis. Tetapi ternyata pengobatan non medis tidak hanya milik kaum illiterate saja karena ternyata 20,7 % mereka yang berpendidikan tinggi juga datang ke pengobatan non medis. Memang tidak semua praktek kedukunan bertentangan dengan kaidah penyembuhan psikiatrik. Dukun dalam pengertian sebagai penyembuh alarm yang memiliki integritas moral tinggi sering tak bertentangan dengan pengobatan psikiatrik. Jika dilihat dari segi kesehatan mental praktek kedukunan dapat dipandang sebagai tindakan mengadakan persuasi, suportif, sugesti dan stimulasi aktivitas pasien dalam terapi. Dengan demikian memang ada kemungkinan penderita kembali pada keadaan homeostasis. Dukun selalu memberi keyakinan penyakitnya dapat disembuhkan, kepasrahan pada Yang Maha Kuasa, menyelaraskan kehidupan dengan lingkungan, mengadakan ritus pemujaan pada lingkungan fisik, selalu memberi tahu kausa penyakit dan memberi mantera untuk kekuatan, sehingga pasien menjadi lebih mantap. Banyaknya korban penyalahgunaan obat terutama di kalangan remaja telah menimbulkan kekhawatiran banyak orang. Oleh karena itu penanggulangan secara adekuat perlu selalu diusahakan. Meskipun data yang tepat tentang besarnya angka penyalahgunaan obat di Indonesia belum diketahui dengan pasti tetapi data resmi baik dari Polri maupun Departemen Kesehatan R.I. tahun 1969 menunjukkan bahwa perkembangan kasus ini terjadi sangat cepat. Dari data Departemen Kesehatan RI antara tahun 1970 sampai 1979 dan tahun 1980 1989, memperlihatkan peningkatan kasus penyalahgunaan obat ini sangat dramatis, yaitu dari 7000 orang yang terlibat menjadi 85.000 orang, sehingga kurang lebih berlipat dua belas kali dalam kurun waktu 20 tahun. Bila dipakai rumus WHO maka jumlah ini akan makin berlipat ganda oleh karena jumlah kasus yang terlihat hams dikalikan sepuluh kali untuk koreksi adanya dark number yang tidak terdeteksi (Tabah, 1990). Oleh karena itu dalam upaya
penanggulangan penyalahgunaan obat dituntut kerjasama yang baik antara berbagai pihak yang terkait karena problem yang dihadapi bersifat multi komplek. Dokter/psikiater diharapkan bertanggung jawab terhadap problemproblem medik-psikiatrik yang dihadapi oleh penyalahguna obat (drug abuser). Dokter juga harus bekerja sama dengan pihak-pihak lain sebab problem medik yang dihadapi penderita. Upaya preventif meliputi : preventif primer (primary prevention), sekunder (secondary prevention), dan tersier (tertiary prevention). Prevensi primer bertujuan mengurangi insidensi penyalahgunaan obat dalam populasi dengan cara meniadakan atau mengurangi faktor-faktor penyebab dan disamping itu juga berusaha memperkuat kemampuan individu untuk menghadapi faktor-faktor penyebab tersebut. Sasaran prevensi primer adalah populasi. Individu yang ditolong harus dipandang secara holistik. la tidak hanya dipandang sebagai seorang pribadi, tetapi harus ditinjau pula sebagai populasi yang diwakilinya. Dalam prevensi primer, selalu ditelaah mengapa ada orang yang melakukan penyalahgunaan obat dan ada orang yang tidak melakukan penyalah gunaan obat, padahal situasi dan kondisi yang dihadapinya adalah sama. Berbagai faktor baik yang menguntungkan maupun yang merugikan harus diperhatikan dalam upaya prevensi primer. Upaya yang dilakukan harus pula berorientasi pada masa kini dan masa yang akan datang. Prevensi primer banyak berkaitan dengan faktor penyebab yang sangat kompleks dan bersifat multi faktorial. Upaya prevensi primer sering pula bertumpang tindih dengan upaya promosi yang bertujuan melakukan pembinaan baik individual maupun lingkungan. Pembinaan terhadap individu dilakukan agar setiap individu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, disamping mempertinggi daya tahan individu terhadap stresor kehidupan yang sering dialaminya. Dalam upaya ini dokter/psikiater diharapkan mampu memperkenalkan defence mechanism yang bersifat mature. Pembinaan lingkungan dilakukan untuk menciptakan kondisi hidup bermasyarakat yang lebih baik. Dalam upaya ini diperkenalkan pentingnya basic need (kebutuhan dasar) pada masyarakat, juga tentang treatment). Memang sulit untuk melakukan deteksi dini kasus penyalahgunaan obat tetapi dapat dilihat dari perubahan
tingkah
laku sebagai berikut
ini:
sering
meninggalkan ibadah, suka membolos sekolah/kuliah/kerja, mudah sekali berbohong, tidak betah di rumah bahkan sering lari dari rumah, bergaul sangat
bebas, suka menentang dan melawan otoritas guru/orang tua/atasan, mudah melanggar disiplin, suka mengancam dan tindakan kekerasan/berkelahi, merusak barang, sering menjual barang, terlibat hutang dan tindak kriminal. Prestasi sekolah/kerja merosot dan sering mengalami kecelakaan lalu lintas. Perhatian khusus diberikan pada remaja yang depresif dan anxiety serta pada remaja yang oiang tuanya melakukan penyalahgunaan obat terutama alkohol, karena kemungkinan anak yang berasal dari kedua orang tua alkoholik, untuk menderita alkoholik adalah 4-6 kali lebih besar dari pada anak yeng berasal dari orang tua non alkoholik (Hill et al., 1999). Deteksi dini sejak usia 3 tahun sudah harus dilakukan. Anak usia 3 tahun yang sulit dikendalikan akan mudah menderita ketergantungan obat setelah usia 21 tahun. Demikian pula pada anak yang agresif dan pemalas mempunyai peluang besar untuk menderita penyalahgunaan obat, serta melakukan tindak kriminal. Deteksi melalui pemeriksaan urine dan darah sulit dipercaya karena adanya persyaratanpersyaratan tertentu. Demikian pula pemeriksaan bebas narkotika yang dilakukan
secara
inadekuat jelas tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Pemeriksaan harus dilakukan secara menyeluruh baik fisik maupun mental. Upaya prevensi tertier melalui berbagai tindakan medik bertujuan mengurangi defek/cacat (impairment, disability, liandicap) residual dalam fungsi mental di masyarakat yang merupakan akibat penyalahgunaan obat itu. Sering usaha ini bersamaan dengan usaha rehabilitasi. Usaha kuratif yang lebih bersifat perawatan bagi penyalahguna obat haras dilakukan secara holistik karena gangguan akibat penyalahgunaan obat itu berbeda-beda derajatnya, sehingga menuntut pula perawatan yang berbedabeda. Tindakan kuratif lebih ditujukan pada keadaan keracunan obat, gejala lepas obat dan komplikasi medik. Ketika timbul gangguan yang bersifat akut, seperti coma atau keadaan sakau, penderita memerlukan perawatan intensif (intensifcare, soins intensive) . Dalam situasi gawat ini penderita jelas kehilangan hampir semua kemampuannya melakukan kegiatan sehari-hari (activities of daily living) dan harus segera mendapatkan pertolongan intensif. Perawatan intensif sering membutuhkan peralatan yang canggih, teknologi tinggi dan harus dilakukan dengan ekstra hati-hati, serta pemakaian obat-obat khusus, agar kondisi penderita tidak turun sampai nol. Dalam kondisi gawat seperti itu sering fungsi vital penderita sangat terancam, oleh karena itu perawatan intensif lebih
merupakan life saving. Bila keadaan krisis telah dapat dilalui maka perawatan intensif dapat dihentikan dengan berbagai pertimbangan antara lain beaya yang sangat mahal, menyita tenaga perawatan tingkat tinggi dan ketidak nyamanan bagi penderita. Selanjutnya penderita mendapatkan perawatan tingkat menengah atau intermedia. Beberapa kegiatan telah mulai dapat dilakukan sendiri atau hanya dengan sedikit pertolongan. Pada perawatan intermedia psikoterapi dan pendekatan agama telah dapat diberikan tetapi terapi motorik belum dapat dilakukan. Dari perawatan tingkat intermedia penderita akan dapat kembali (retrogressif) ke perawatan intensif atau menuju (progressif) ke perawatan biasa. Fungsi-fungsi vital mulai stabil, emosi juga mulai terkendali tetapi dapat kembali membalik dengan tiba-tiba. Dalam perawatan tingkat biasa kewaspadaan dapat diturunkan dan pertolongan dalam kegiatan sehari-hari dapat diberikan atas permintaan penderita. Sebagian besar kegiatan sehari-hari mulai dapat dikerjakan tanpa pertolongan. Fungsi vital sering telah stabil, juga emosinya. Pada perawatan biasa semua jenis terapi psikiatrik dapat diberikan mulai dari fisioterapi /ECT, psikoterapi, psikofarmaka,
terapi olah
raga, kesenian,
sosialisasi, kerja sampai terapi agama. ECT diberikan untuk tujuan memperbaiki tingkah laku yang ribut, mencegah bunuh din dan memperbaiki afek terutama bagi yang menderta psikotik dan depresif. Psikoterapi dilakukan untuk meningkatkan dan menumbuhkan maturitas diri. Terapi psikofarmaka bertujuan menghilangkan simtom ganguan mental, memperbaiki proses pikir, alam perasaan, sikap dan emosi, memperbaiki penghayatan diri (insight) serta memperbaiki judgement. Pada perawatan tingkat ini terapi agama mulai dilakukan lebih intensif.Dari perawatan ini penderita telah dapat keluar Rumah Sakit tetapi kadang masih memerlukan perawatan lehabilitatoris. Penyembuhan yang telah didapat belum cukup untuk melepaskannya hidup independen dalam masyarakat apalagi kalau ia tinggal sendirian atau semua anggota keluarganya bekerja di luar rumah. Dalam perawatan tingkat rehabilitatoris ini penderita dipersiapkan untuk mampu berdiri sendiri dan memiliki kepribadian yang lebih matang. Keempat tahapan perawatan ini sangat diperlukan bagi penderita penyalahgunaan obat. Hingga kini nampaknya belum ada Rumah Sakit yang memiliki keempat tahapan perawatan itu secara utuh. Tingkat perawatan rehabilitatoris kini menjadi sangat penting mengingat makin banyaknya korban
penyalahguinaan obat yang timbul akibat kehidupan modern saat ini. Upaya rehabilitasi merupakan hal yang kompleks yang meliputi banyak segi seperti segi medis, psikologis, pendidikan, sosial vokasional dan agama. Semuanya
harus
terkoordinir
menjadi
satu
proses
yang
bertujuan
mengembalikan penderita agar berguna di masyarakat. Umumnya upaya rehabilitasi penyalahgunaan obat merupakan usaha yang sulit sebab banyak faktor yang dapat menyebabkan kekambuhan penderita. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah : gangguan struktur kepribadian, sindroma lepas obat, kurangnya fasilitas, kurangnya tenaga profesional, pengetahuan masyarakat yang belum memadai tentang NAPZA, dan kurangnya tempat-tempat rehabilitasi serta adanya stigma dalam masyarakat. Salah satu upaya untuk menekan angka kekambuhan penyalahgunaan obat adalah dengan pemberian rehabilitasi yang sesuai dengan penderita. Tujuan rehabilitasi antara lain adalah memberikan rasa percaya diri Wing & Morris, 1981), dapat berperan lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna (Campbell, 1981), dan mampu menolong dirinya sendiri (Ditkeswa, 1983). Bila rehabilitasi dilakukan dengan tepat akan dapat meningkatkan dan memulihkan daya kemampuan konsentrasi komunikasi, daya ingat serta kualitas hidup. Olah raga dan pendekatan agama sangat bermanfaat dalam upaya rehabilitasi. Olah raga dimaksudkan untuk membawa penderita pada keadaan total fitness yang meliputi meningkatnya kesadaran sosial dan kemampuan beradaptasi, memiliki sikap, prestasi dan ketrampilan untuk kegiatan sehari-hari, mempunyai kecerdasan cukup sehingga mampu memecahkan persoalan yang dihadapi dengan baik dan mudah, memiliki perilaku menjaga kesehatan dengan baik sehingga kondisi jasmani terpelihara baik, beribadah dengan baik dan selalu menjaga moral, memiliki stabilitas emosi untuk menghadapai tekanan dan perubahan perputaran kehidupan modem. Dengan demikian maka tujuan olah raga pada umumnya adalah untuk a) membina kesehatan fisik dan hubungan interpersonal yang harmonis, b) sebagai hiburan, permainan dan rekreasi, c) bekerja secara optimal lagi. Disamping itu juga untuk meningkatkan iman agar mampu melawan godaan yang terus datang padanya. Dasar pemberian terapi agama adalah pada kenyataannya manusia juga merupakan makhluk religius. Disamping itu ilmu pengtahuan modern yang selalu berkembang ternyata tak pernah memberikan kepuasan. Kekecewaan, frustrasi dan ketiidakpastian, serta
kehampaan jiwa, yang timbul akibat modernisasi sering merupakan stresor yang menyebabkan orang lari mencari jalan pintas. Ketaatan beribadah mampu meredam segala ketegangan jiwa yang terjadi, karena telah terbukti bahwa ketaatan beribadah mampu sebagai pelindung terhadap timbulnya berbagai penyakit seperti kanker rahim, kanker kandungan, kolitis, enteritis, gangguan kardiovaskuler, hipertensi, stroke dan ancaman bunuh diri. Ada banyak definisi rehabilitasi dan salah satunya adalah bahwa rehabilitasi merupakan usaha untuk mengembalikan penderita ke masyarakat dan menjadikannya sebagai warga yang swasembada dan berguna (Dit.kes.wa, 1983). Berdasar definisi ini maka untuk melakukan rehabilitasi diperlukan persiapan penderita agar dapat menyesuaikan diri dengan baik. Rehablitasi dapat dilakukan melalui terapi kerja, rumah sakit siang hari atau malam hari, keluarga angkat, rumah separo jalan, (halfway house), dan bengkel kerja terlindung (sheltered-workshop) serta pesantren. Terapi kerja, tujuannya memberikan aktivitas, mengisi waktu, dan melatih serta mempertahankan kemampuan penderita, seperti konsentrasi, ketrampilan dan kelenturan otot. Latihan kerja, untuk melatih ketrampilan atau suatu jenis pekerjaan tertentu (yang dapat dievaluasi). Bila hasil evaluasi menunjukkan nilai baik, penderita dapat disalurkan ke bengkel kerja terlindung atau ke masyarakat. perakitan sederhana, pengetikan, pengarsipan. Kegiatan itu tidak memerlukan tenaga fisik yang besar (Wilson, 1983); b) kegiatan yang memerlukan tenaga fisik memerlukan kontrol motorik halus dan kasar, mempertahankan suatu aktifitas dalam waktu tertentu, serta kekuatan otot. Misalnya: membatik, menganyam, merajut, mengampelas. Rumah sakit siang hari adalah pelayanan perawatan, pengobatan dan rehabilitasi hanya pada siang hari (day care) untuk meningkatkan kesehatan jiwanya serta penyesuaian psikososial. Rumah sakit malam hari adalah bentuk pelayanan perawatan malam hari pada rehabilitan yang sudah mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya pada siang hari tetapi masih mengalami kesulitan di malam hari terutama gangguan tidur.
kepustakaan Agoes,
A.,
1980.
Sejarah
Ethnobiotani
dan
Bioanthropologi Indonesia, pp. 29-33.
Ethnomedicine,
Berkala
Beck, J.C., and Worthen, K., 1972. Precipitating Stress, Crisis Theory, and Hospitalization in Schizophrenia and Depression, Arch Gen Psychiatry, 26: pp. 123-129. Bourne, P.O., 1978. The Psychiatrist's Responsibility and The Public Trust, Am J. Psychiatry, 135, 2 : pp. 174-177. Campbell, R.J., 1981. Psychiatric Dictionary, 5 th ed., Oxford University Press, New York. Cooper, F.A., 1999. The Influence of Patient's Beliefs About Their Illness on Clinical Outcome, Medical Progress, 26, 5: pp. 9 - 14. Direktorat Kesehatan Jiwa., 1983. Pedoman Rehabilitasi Fasten Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia, edisi n (revisi), Departemen Kesehatan R.I., Jakarta. Dipojono, B., 1979. Faktor-Faktor Sosio Budaya Pada Pengobatan Tradisional Orang Jawa, Simposium Kesehatan Jiwa, Jakarta. Ernst, E., 2000. Prevalence of Use of Complementary/Alternative Medicine: A Systematic Review, Bulletin of The World Health Organization, 78,2: pp. 252-257. Hawari, D., 1996. limit Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, PT Dana Bakti Prima Yasa, Yogyakarta. Heerdjan, 1977. Beberapa Dasra Psikiatri Kemasyarakatan ( Community Psychatry), Jiwa, lndon.Psychiat. Quart., X,4: pp.1 - 21. Hill, S. Y, Owers, L.I., Locke, J., Snidman, N., and Kagan, J., 1999. Behavioral Inhibition in Children From Families at High Risk for Developing Alcoholism, J. Am. Acad. Child Adolesc Psychiatry, pp. 410-416. Joewana, SD., 1985. Usaha Preventif Terhadap Penyalahgunaan Obat dan Ketergantungan Obat/Substansi, PT Gramedia Jakarta. Kaplan, H.I., Sadock, B.J., Grebb, J., 1994. Synopsis of Psychiatry, 7 th ed., Williams & Wilkins Co., Baltimore. Livingston, M.G., 1992. Benzodiazeoine Dependence, Medicine Digest, 10,7: pp. 13-17. Maramis, W.F., 1980. limit Kedokteran Jiwa, Airlangga University Press, Surabaya. Mende, Y, 1993. Upaya Penanggulangan Masalah Narkotika, Psikotropika, dan bahan berbahaya di Indonesia, Seminar Penyalahgunaan Alkohol
dan Narkotika Yogyakarta. Pratiknya, A.W., 1983. Akseptabilitas Institusi Kedokteran Moderen Pada Masyarakat, Berkala Imu Kedokteran, XV, 4: 153-160. Radioputro, 1980. Roan, W.M., 1979. Ilmtt Kedokteran Jiwa, Psikiatri, Direktorat kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Schiari, R.C., Stimmel, B.B., Mandeli, J., and White, D., 1995. Chronic Alcoholism and Male Sexual Fungtion, Am. J. Psychiatry, 152,7: 1045-1057. Setyonegoro, K., 1981. Sherlock, D.S., 1989. Alcoholic lever disease, Medicine Digest, 7,5: pp. 13-21. Tabah, A., 1990. Ancaman Kejahatan Narkotika di Indonesia, PT Gramedia, Jakarta. Wilson, M., 1993. Occupational Therapy in Longterm Psychiatry, 1 st ed, Longman Group Limited, New York. Wing, J.K., & Morris, B., 1981. Handbook of Psychiatric Rehabilitation, Oxford Medical Publication, London. Winokur,G., Coryel, W., Akiskal,H.S., Maser, J.D., Kelle, MB., EndicottJ., and Mueller, T., 1995. Alcoholism in Manic Depressive (Bipolar) Illness: Familial Illness, Course of Illness, and The Primary-Secondary Distinction, Am. J. Psychiatry., 152,3: pp. 365-372.