2
Perilaku penyalahgunaan Narkoba, Psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) umumnya semakin meningkat sepanjang tahun. Berdasarkan data terakhir dari United Nations Office on Drugs and Crime (2014), pengguna Napza secara global pada tahun 2010 mencapai 226 juta orang, dan meningkat pada tahun 2011 menjadi 240 juta orang. Pada tahun 2012, diperkirakan 243 juta orang (kisaran: 162-324 juta) berusia 15-64 tahun dari populasi dunia juga telah menggunakan Napza. Peningkatan jumlah pengguna Napza ini terjadi pada rentang tahun 20092012. Di Indonesia, data dari Badan Narkotika Nasional (2014) juga menunjukkan terjadi peningkatan kasus Napza yang signifikan dari rentang tahun 2009-2013. Pada tahun 2014, jumlah penyalahgunaan Napza diperkirakan ada sebanyak 3,8-4,1 juta orang dengan rentang usia 10-59 tahun. Berdasarkan estimasi angka penyalahguna menurut tingkat ketergantungan, sebagian besar penyalahgunaan Napza karena rasa ingin tahu dan coba-coba adalah pelajar. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (2014), tersangka kasus Napza dari kelompok pelajar mengalami peningkatan signifikan dari rentang tahun 2009-2013. Pada tahun 2013, terdapat 1,121 kasus Napza yang dilakukan oleh pelajar, lebih khusus lagi, ada 122 kasus Napza yang dilakukan oleh individu berusia kurang dari 16 tahun. Selain itu berdasarkan hasil preliminary study yang dilakukan oleh mahasiswa Magister Profesi Psikologi Klinis Universitas Gadjah Mada kepada 37 orang pecandu Napza di pusat rehabilitasi, ditemukan sebanyak 35 orang pecandu pertama kali mulai melakukan perilaku penyalahgunaan Napza pada saat masih berstatus pelajar dan berusia remaja (Yuserina, Annistya, Wardhani, & Adiyanti, 2015). Daerah istimewa Yogyakarta sendiri merupakan salah satu provinsi yang memiliki kasus Napza cukup banyak. Hasil rekapitulasi data dari bulan Januari sampai dengan Juli 2014 yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional Propinsi Yogyakarta (2014), mengungkap bahwa jumlah perkara Napza mencapai 204 kasus, dan jumlah tersangka Napza mencapai 271 kasus. Badan Narkotika Nasional Propinsi Yogyakarta memperkirakan jumlah pengguna Napza akan meningkat pada tahun 2015 dan sebagian besar pengguna berstatus sebagai pelajar
3
dan mahasiswa (Pranyoto, 2015). Pengguna Napza dengan status sebagai pelajar dan mahasiswa dapat diasumsikan masuk dalam penguna Napza usia remaja (1022 tahun). Semakin tingginya jumlah kasus penyalahgunaan Napza yang dilakukan oleh pelajar khususnya yang berusia remaja disebabkan oleh banyak faktor seperti faktor kepribadian, pola asuh dan hubungan keluarga, pengaruh teman sebaya, kurangnya keterampilan sosial dan strategi manajemen diri serta harapan/motivasi kognitif yang salah dalam penyalahgunaan Napza (Ulfah, 2009).
Selain itu,
adanya pengabaian, kelalaian, atau kekerasan (emosional, fisik atau seksual) dalam masa perkembangan anak juga dapat menyebabkan anak rentan mengalami penyalahgunaan Napza di masa mendatang (Mate, 2012). Salah satu faktor protektif yang dapat mencegah munculnya perilaku penyalahgunaan Napza pada remaja adalah efikasi diri. Banyak peneliti menyebutkan bahwa peningkatan efikasi diri mampu membantu mencegah perilaku penyalahgunaan Napza. Peningkatan efikasi diri juga terbukti cukup membantu dalam pengobatan pecandu Napza (Torrecillas, Cobo, Delgado, & Ucles, 2015). Hasil penelitian yang mengkaji tentang program pencegahan penyalahgunaan Napza berbasis teman sebaya menunjukkan ada penurunan perilaku kecanduan alkohol yang signifikan yang berhubungan positif dengan peningkatan efikasi diri (Stella-Kaiser, Schorner & Giacomuzzi, 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa remaja dengan perilaku penyalahgunaan Napza memiliki efikasi diri yang rendah dibanding remaja yang tidak menggunakan Napza (D’silva & Vijayaxmi, 2013). Efikasi diri merupakan keyakinan individu pada kemampuan dirinya untuk dapat melakukan hal-hal spesifik yang diperlukan untuk mencapai hasil/tujuan yang diinginkan (Bandura, 1977). Efikasi diri secara umum diartikan sebagai keyakinan akan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengatasi berbagai tuntutan yang menantang, sedangkan efikasi diri secara khusus biasanya berhubungan dengan tugas tertentu yang spesifik (Luszczynska, Scholz, & Schwarzer, 2005). Efikasi diri secara khusus dapat berkaitan dengan domain fungsi tertentu, seperti efikasi diri sosial yang berhubungan dengan kepercayaan
4
individu akan efektivitas diri mereka dalam interaksi sosial. Erozkan (2013) mendefinisikan efikasi diri sosial sebagai sejauh mana kepercayaan seseorang pada kemampuannya untuk melakukan interaksi sosial yang dibutuhkan untuk membangun dan mempertahankan hubungan intepersonal. Efikasi diri sosial juga dapat diartikan sebagai rasa percaya diri akan kemampuan untuk menyampaikan kesan yang baik kepada orang lain (Gaudiano & Herbert, 2003). Jadi dari uraian diatas dapat disimpukan bahwa efikasi diri sosial merupakan bentuk efikasi diri yang berkaitan dengan hubungan interpersonal dan interaksi sosial. Efikasi diri sosial merupakan salah satu bentuk efikasi diri yang lebih khusus. Sebuah preliminary study yang dilakukan sebelumnya terhadap 37 orang pecandu Napza di sebuah pusat rehabilitasi menunjukkan bahwa 83,9% (31 orang) pencandu Napza memiliki kontrol diri yang rendah, 67,57% (25 orang) memiliki harga diri rendah dan 43% (16 orang) memiliki efikasi diri sosial yang rendah sebelum onset penyalahgunaan Napza (Yuserina, dkk 2015). Berdasarkan hasil penelitian dan temuan di lapangan, beberapa pecandu juga menyebutkan bahwa mereka kurang bisa mempertahankan pertemanan dalam jangka waktu lama, kurang percaya diri untuk bisa beradaptasi dalam lingkungan sosial yang baru dan cukup sering terlibat konflik interpersonal baik dengan teman, rekan ataupun pacar. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya efikasi diri sosial yang rendah pada diri mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lackner, Unterrainer, dan Neubauer (2013), pecandu Napza memiliki beberapa karakteristik trait kepribadian yang khusus, yaitu tingkat keterbukaan, agreeableness dan conscientiousness yang rendah, serta memiliki tingkat kecemasan yang tinggi. Sedangkan efikasi diri sosial dapat diprediksi dengan tiga trait kepribadian yaitu extraversion dan keterbukaan yang tinggi, serta kecemasan yang rendah (Mak & Tran, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa para pecandu Napza memiliki efikasi diri sosial yang rendah bila diprediksi dari trait kepribadian mereka yang memiliki keterbukaan yang rendah dan kecemasan yang tinggi. Sadock, Sadock, dan Kaplan (2003) menjelaskan bahwa individu dengan ketergantungan Napza cenderung memiliki pola perilaku anti-sosial. Penelitian
5
lain menyebutkan bahwa individu dengan efikasi diri sosial yang rendah memiliki kecederungan untuk memiliki perasaan malu, kesepian, harga diri rendah, ketakutan, depresi, kurang percaya diri, kurang mampu memecahkan masalah dan enggan untuk mengambil tanggung jawab yang berkaitan dengan interaksi sosial (Ahmad, Yasien, Ahmad, 2014; Erozkan 2014) Efikasi diri sosial yang tinggi memiliki hubungan yang negatif dengan kecenderungan mengasingkan diri dan mudah terkena pengaruh eksternal (Satici, Kayis, & Akin, 2013). Efikasi diri sosial yang tinggi juga berhubungan negatif dengan rasa kesepian (Erozkan & Deniz, 2012). Dari penelitian-penelitian ini dapat disimpulkan bahwa para pecandu Napza diprediksi memiliki efikasi diri sosial yang rendah karena memiliki pola perilaku mengindar dari lingkungan sosial. Efikasi diri khususnya efikasi diri sosial memegang peran penting sebagai faktor protektif untuk menghindarkan individu dari perilaku penyalahgunaan Napza pada masa remaja. Masa remaja adalah tahap pencarian identitas diri sehingga mereka cenderung mudah terperngaruh dengan teman sebaya. Menurut Syamsu (2014) ada rasa ingin tahu yang besar, keinginan untuk tampil beda, melarikan diri dari kenyataan dan rasa kesetia-kawanan dapat menjadi faktor dominan yang membuat remaja melakukan penyalahgunaan Napza. Tekanan dari teman sebaya merupakan faktor penyebab penting yang dapat membuat remaja menikmati perilaku berisiko (Ukwayi, Eja, & Unwanede, 2012). Tekanan teman sebaya dan seks bebas diprediksi memberikan kontribusi sebanyak 23% dalam perilaku penyalahgunaan Napza yang dilakukan oleh remaja (Abikoye, Sholarin & Adekoya, 2014). Diperlukan efikasi diri sosial yang baik agar remaja mampu berinteraksi sosial tanpa mudah terpengaruh dan terkena tekanan teman sebaya. Individu dengan efikasi diri sosial yang baik tidak akan mudah terkena pengaruh eksternal (Satici, Kayis, & Akin, 2013). Selain itu, efikasi diri sosial juga dapat memberikan kontribusi yang penting dalam kesejahteraan psikologis remaja (Sahupala, 2014). Suatu perilaku dapat diprediksi dengan cukup akurat dari adanya intensi untuk terlibat dengan perilaku tersebut (Ajzen, 2005), begitu pula dengan prediksi perilaku penyalahgunaan Napza. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
6
intensi perilaku penggunaan Ganja adalah sikap, norma subjektif, persepsi kontrol perilaku dan efikasi diri (Armitage, Conner, Loach, & Willets, 1999). Penelitian lain yang dilakukan oleh Najinia dan Moghadam (2013) menyatakan bahwa potensi perilaku Napza dapat diminimalisir dengan adanya motivasi berprestasi, efikasi diri dan efikasi diri sosial yang tinggi. Penelitian lain menunjukkan bahwa efikasi diri sosial, harga diri dan jenis kelamin merupakan faktor yang berhubungan erat dalam mempengaruhi rasa kesepian dan depresi pada individu (Hermann, 2005). Efikasi diri sosial yang rendah pada individu akan memberikan kontribusi dalam kecenderungan depresi yang dapat berdampak pada prestasi akademik, perilaku prososial dan masalah perilaku (Bandura, Pastorelli, Barbaranelli & Caprara, 1999; Ahmad, Yasien, & Ahmad, 2014). Menurut Bruno (1993) salah satu faktor predisposisi dari penyalahgunaan Napza adalah depresi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja dengan efikasi diri sosial yang rendah akan cenderung mudah depresi dan rentan melakukan perilaku penyalahgunaan Napza. Penelitian lain menyebutkan bahwa pelajar laki-laki yang memiliki motivasi berprestasi, efikasi diri dan efikasi diri sosial yang tinggi dapat mengantisipasi potensi perilaku penyalahgunaan Napza. Pelajar perempuan yang belajar meningkatkan motivasi berpretasi, efikasi diri dan efikasi
diri
sosial
juga
diprediksi
mampu
mengurangi
kemungkinan
kecenderungan penggunaan Napza dikemudian hari (Najinia & Moghadam, 2013). Gadiano dan Herbert (2003) mempelajari efikasi diri dalam situasi sosial remaja yang menderita kecemasan sosial. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa efikasi diri sosial berhubungan dengan kecemasan. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Gilles, Turk dan Fresco (2006) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecemasan sosial dan efikasi diri sosial yang rendah mengkonsumsi alkohol lebih banyak dibanding individu cemas sosial lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Veselska, Madarasova, Reijneveld, dan Van Djik (2011) juga menemukan bahwa efikasi diri sosial berhubungan dengan perilaku merokok pada pelajar.
7
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebanyakan pencandu Napza memiliki efikasi diri sosial yang rendah dan efikasi diri sosial yang rendah berhubungan dengan kecenderungan perilaku penyalahgunaan Napza pada remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Veselska, dkk (2011) menyatakan bahwa diperlukan sebuah program untuk meningkatkan efikasi diri sosial yang bertujuan meningkatkan kemampuan untuk menolak tekanan dari teman sebaya dalam mencegah perilaku merokok pada pelajar. Oleh sebab itu, diperlukan suatu program pelatihan yang betujuan untuk meningkatkan efikasi diri sosial pada remaja sebagai bentuk prevensi penyalahgunaan Napza. Program pelatihan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Program Remaja Super. Program Remaja Super merupakan program pengembangan kecerdasan sosial-emosional. Goleman (1998) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri dan orang lain; kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan untuk mengola emosi dengan baik dalam diri dan saat berhubungan dengan orang lain. Sedangkan Newman (2010) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merupakan seperangkat keterampilan terkait
dengan
emosi,
mencakup
kemampuan
untuk
mengenali
dan
menggambarkan emosi memahami emosi orang lain, menggabungkan emosi dalam pengambilan keputusan serta keterampilan mengelola dan mengendalikan emosi. Bar-on (2011) menjelaskan salah satu aspek dari kecerdasan emosi adalah kemampuan Interpersonal yaitu keterampilan menjalin hubungan sosial, memahami dan menghargai perasaan orang lain, serta menempatkan diri sebagai pendengar yang baik. Erozkan (2013) menjelaskan bahwa kemampuan komunikasi dan kemampuan pemecahan masalah interpersonal merupakan prediktor penting dari efikasi diri sosial. Individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi diasumsikan memiliki kualitas personal yang lebih bagus dalam fungsi adaptasi, seperti keterampilan interpersonal yang lebih tinggi, hubungan interpesonal yang lebih baik atau pecapaian prestasi akademik yang lebih bagus dibanding dengan individu yang lain (Busko & Cikes, 2013). Bukti empiris lain menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memberikan prediksi terhadap
8
efektivitas seseorang dalam lingkungan sosial, individu dengan tingkat kecerdasan emosional lebih tinggi terbukti lebih sukses dalam hubungan sosial baik di rumah maupun di llingkungan kerja dibandingkan individu dengan tingkat kecerdasan emosional lebih rendah (Mayer, Salovey & Caruso 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Hashemi (2011) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi pelajar dengan efikasi diri mereka. Penelitian lain yang dilakukan oleh Masoomeh, Farideh dan Zahra (2014) menunjukkan bahwa kecerdasan emosi memiliki hubungan yang positif dengan efikasi diri, khususnya pada aspek kesadaran diri, kesadaran sosial dan manajemen hubungan. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa, individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi akan memiliki efikasi diri sosial yang tinggi pula. Selain itu, hasil preliminary study menunjukkan bahwa efikasi diri sosial memiliki hubungan yang kuat dengan kecerdasan sosial-emosional (r = 0,609 ; p < 0,01). Remaja merupakan masa dimana individu lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman sebaya di lingkungan sosialnya. Pelliteri (2002) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merupakan salah satu faktor yang dapat membuat remaja dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan sosial. Remaja yang memiliki kecerdasan emosi dan kematangan sosial yang baik akan memiliki efikasi diri yang baik. Individu yang memiliki efikasi diri yang baik akan memiliki kualitas hidup yang baik dan sehat dalam hal emosi, sosial dan kognisi (Lszczynska, Scholz & Schwarzer, 2005). Kecerdasan emosi juga membantu remaja untuk dapat menahan pengaruh negatif seperti penyalahgunaan Napza yang diterima mereka dari lingkungan (De Lazzari, 2000) Melalui uraian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja dengan
kecerdasan emosi yang baik akan
memiliki efikasi diri yang baik pula dalam hal sosial serta dapat menahan diri dari perilaku negatif seperti perilaku penyalahgunaan Napza. Kecerdasan emosi adalah hal penting dalam memprediksi kesuksesan kehidupan seseorang. Kecerdasan emosi itu sendiri memiliki potensi untuk dipelajari dan dikembangkan dengan bentuk program intervensi yang tepat (Ciarrochi, Scott, Deane, & Heaven, 2002).
Sehingga usaha pengembangan
kecerdasan emosi pada individu dapat diberikan dalam bentuk pelatihan. Salah
9
satu faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi adalah lingkungan sekolah, oleh karena itu sekolah merupakan lingkungan yang tepat untuk memberikan pengajaran keterampilan kecerdasan emosi (De Lazzari, 2000). Program Remaja Super merupakan program pelatihan yang ditujukan pada remaja sebagai bentuk prevensi Napza dengan metode interaktif dan dilakukan di lingkungan sekolah.
Ennet (1994) menyatakan bahwa metode penyampaian
program dalam pencegahan Napza pada remaja dapat terbagi menjadi dua yaitu metode interaktif dan non-interaktif.
Metode interaktif merupakan metode
pengembangan kemampuan sosial dan melibatkan teman sebaya. Metode ini terbukti lebih efektif bila dibandingkan dengan metode non-interaktif (Tobler, Roona, Ochshorn, Marshal, Streke, & Stackpole 2000). Program remaja Super ini terdiri 6 pertemuan dengan durasi kurang lebih 120 menit setiap pertemuan. Program ini memiliki total intensitas 12 jam untuk semua pertemuan. Efektifitas metode interaktif akan lebih kuat jika intensitas program berada pada tingkat menengah yaitu dengan total intenistas 11-30 jam pertemuan. (Tobler dkk, 2000). Program Remaja Super menerapkan prinsip experiential learning. Experiential learning melibatkan proses belajar seperti diskusi kelompok, diskusi kasus, role play dan latihan individual (Supratiknya, 2011). Prinsip pembelajaran experiential learning adalah membentuk sebuah proses yang lengkap untuk mencapai tujuan dengan menggunakan pengalaman aktif, refleksi pengalaman, modelling,
pengambaran
pemahaman
atau
rangkuman
pemahaman
dari
pengalaman, serta pelaksanaan aktivitas kembali dengan keuntungan dari pemahaman baru (Kolb, 1984). Prinsip ini berkaitan dengan sumber info individu untuk meningkatkan efikasi diri (Bandura, 1997). Melalui proses belajar yang diterima selama Program Remaja Super, diharapkan remaja dapat meningkatkan efikasi diri sosial mereka. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas Program Remaja Super terhadap peningkatan efikasi diri sosial pada remaja dengan resiko penyalahgunaan Napza. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Program Remaja Super dapat
10
meningkatkan efikasi diri sosial pada remaja khususnya remaja dengan resiko penyalahgunaan Napza. Berikut ini adalah bagan alur penelitian : Subjek dengan kriteria : Siswa SMP kelas VIII (1314 tahun) Memiliki efikasi diri sosial rendah-sedang Memiliki permasalahan perilaku yang mengarah pada potensi penyalahgunaan Napza Tidak sedang menerima pelatihan atau terapi psikologi lain
Proses Belajar experiential learning
Efikasi diri sosial meningkat Output
Gambar 1. Bagan Alur Penelitian
Input
Keterangan
Program Remaja Super Meningkatkan kemampuan intrapersonal Meningkatkan kemampuan interpersonal Meningkatkan kemampuan managemen stress Meningkatkan kemampuan adaptability Meningkatkan kemampuan general mood
:
: Pelatihan yang diberikan : Proses yang terjadi selama pelatihan : Hasil yang diharapkan