BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif Lainnya (Narkoba) merupakan salah satu permasalahan pokok yang dihadapi oleh negaranegara di dunia termasuk Indonesia. Penyalahgunaan narkoba menunjukkan gejala semakin memprihatinkan baik dari segi jumlah penggunaan dan variasi narkoba serta cara penggunaan, bahkan dapat dikatakan penyalahgunaan narkoba sudah mencapai taraf yang sangat memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian yang serius. 1 Perkembangan penyalahgunaan narkoba dari waktu ke waktu menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan kasus-kasus yang terungkap oleh jajaran Kepolisian hanyalah merupakan fenomena gunung es, yang hanya sebagaian kecil saja yang tampak dipermukaan sedangkan kedalamannya tidak terukur. Disadari pula bahwa masalah penyalahgunaan narkoba merupakan masalah nasional dan internasional karena berdampak negatif yang dapat merusak serta mengancam berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara serta dapat menghambat proses pembangunan nasional. 2 United Nation Officion On Drugs and Crime (UNODC) memperkirakan sekitar 149 sampai 272 juta orang atau 3,3 % sampai 6,1 % dari penduduk usia 16 – 64 tahun di dunia menggunakan narkoba sekali selama hidupnya. Sekitar separuh dari jumlah pengguna tersebut, saat ini masih menggunakan narkoba dalam sebulan terakhir minimal satu kali. Tingkat prevalensi sebagian besar
1
Buku P4GN, Bidang Pemberdayaan Masyarakat, (Jakarta: BNN RI, 2010), hal.1. Elizabet Siahaan, Peranan Penyidik POLRI Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara, Tesis, (Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 24. 2
tetap stabil dari tahun-tahun sebelumnya, dimana jumlah pengguna narkoba bermasalah diperkirakan 15 sampai 39 juta orang. 3 Perkiraan ini mungkin saja benar mengingat indikator maraknya pengungkapan kasus peredaran dan produksi gelap narkoba saat ini semakin sering terjadi. Hal tersebut tentunya memiliki korelasi dengan jumlah penyalahguna narkoba yang semakin bertambah. Sebagaimana hukum pasar menyatakan bahwa peningkatan demand akan mengakibatkan peningkatan supply, maka semakin banyak permintaan akan narkoba juga mengakibatkan peningkatan terhadap faktor ketersediaannya. Jumlah penyalahguna narkoba di Indonesia setahun terakhir sekitar 3.1 juta sampai 3,6 juta orang atau setara dengan 1.99% dari populasi penduduk berusia 10 – 59 tahun di tahun 2008. Diperkirakan tingkat penyalahgunaan narkoba akan semakin marak dalam beberapa tahun ke depan. Hasil proyeksi memperkirakan angka prevalensi penyalahguna narkoba akan meningkat sekitar 2,56% ditahun 2013. 4 Fakta tersebut didukung oleh adanya kecenderungan peningkatan angka sitaan dan pengungkapan kasus narkoba. Data pengungkapan kasus narkoba. Data pengungkapan kasus di tahun 2006 sekitar 17.326 kasus, lalu meningkat menjadi 26.461 kasus di tahun 2010. Demikian pula data sitaan narkoba untuk jenis utama yaitu ganja, shabu, ekstasi dan heroin. 5 Menghadapi permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang makin serius dihampir seluruh negara di dunia, maka Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang International Conference On Drugs Abuse And Illicits Trafficking,tanggal 17-25 Juni 1987 di Wina-Australia, telah menetapkan Comprehensive Multidiciplinary Outline (CMO)yang berisi rekomendasi-rekomendasi mengenai tindakan praktis dibidang penanggulangan dan penyalahgunaan narkoba di negara-negara
3
UNODCWorld Drugs Report (WDR) 2011, hal. 8. BNN RI, Journal Data On The Prevention And Eradication Of Drug Abuse And Illicit Trafficking, 2011 5 Ibid,. 4
dan badan-badan nasional untuk digunakan sebagai pedoman bagi instansi pemerintah dan nonpemerintah sesuai dengan perundang-undangan negara tersebut. 6 Strategi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi penyalahgunaan narkoba dalam Comprehensive Multidiciplinary Outline (CMO)meliputi upaya pencegahan dan pengurangan permintaan gelap akan narkoba, pengawasan terhadap faktor persediaan, tindakan-tindakan terhadap peredaran gelap serta perawatan dan rehabilitasi. 7 Selain itu juga ditetapkan tanggal 26 Juni sebagai Hari Anti Narkoba Internasional (HANI). Hal ini merupakan upaya untuk mendukung perhatian dan komitmen dari berbagai negara di dunia terhdap permasalahan narkoba. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki kerawanan tinggi terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba memiliki komitmen untuk melaksakan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. 8 Komitmen ini sejalan dengan tujuan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka mencapai cita-cita bangsa Indonesia membangun masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus-menerus termasuk derajat kesehatannya. 9 Bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
6
Fitri Yanti, Peran Komunikasi Antar Pribadi Dan Komunikasi Kelompok Dalam Pemulihan Pecandu Narkoba di Sibolangit Centre, Tesis, (Medan: Program Pascasarjana IAIN-Su, 2011), hal.1. 7 Ibid,. 8 Ibid,. 9 Pembukaan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, hal. 1.
dan prekursor narkotika. 10Masalah narkoba saat ini telah merasuki semua elemen bangsa, mulai anakanak hingga orang dewasa, dari kalangan bawah sampai dengan kalangan pejabat, kalangan artis, bahkan kalangan politisi dan penegak hukum juga tidak steril dari penyalahgunaan narkoba. Narkoba ibarat pedang bermata dua, di satu pihak sangat dibutuhkan dalam dunia medis dan ilmu pengetahuan, dipihak lain penyalahgunaannya sangat membahayakan masa depan generasi muda, ketentraman masyarakat dan mengancam eksistensi ketahanan nasional suatu bangsa.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba menimbulkan efek yang sangat luas. Bukan saja terhadap individu, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba juga menimbulkan biaya ekonomi dan sosial langsung yang sangat tinggi baginegara, karena menyedot sumber-sumber anggaran yang besar untuk biaya pencegahan, penegakan hukum, perawatan, dan rehabilitasi penyalahguna narkoba, serta penelitian dan pengembangan di bidang narkoba. Tetapi bila tidak ditanggulangi secara efektif dan sungguhsungguh, dapat menimbulkan beban jangka panjang yang lebih parah lagi. Secara tidak langsung, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba juga menimbulkan dampak kerugian yang tinggi dan berjangka panjang, berupa rendahnya mutu kesehatan, pendidikan, intelektualitas dan produktivitas sumber daya manusia. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba berkaitan dengan merebaknya permasalahan sosial, kriminalitas, penyeludupan senjata, gerakan separatisme dan pencucian uang haram hasil kejahatan narkoba, korupsi serta gangguan instabiltas politik dan hilangnya kepercayaan para invenstor. 11 Mengingat serius, kompleks dan mewabahnya permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, serta dampak dan ancamannya yang berat terhadap berbagai aspek kehidupan serta
10 11
Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012), hal. 20. Soekady, Menyiram Bara Narkoba, (Jakarta: PT.Dyata Mellenia, 2002), hal. 91.
masa depan bangsa, maka anggapannya tiada lain, kecuali mengerahkan segala daya upaya dan segenap potensi masyarakat dan bangsa untuk mencagah dan memeranginya.
12
Prevalensi narkoba berdasarkan hasil Penelitian Badan Narkotika Nasional dan Lembaga Litbang UI tahun 2009 didapatkan angka 1,99 % dari kelompok beresiko tinggi menyalahgunakan narkoba. Tingginya angka prevalensi tersebut antara lain disebabkan karena pelibatan masyarakat dalam Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) belum optimal digalakkan, sehingga diperlukan upaya upaya intensif dalam mengajak komponen masyarakat dalam program tersebut. 13 Permasalahan narkoba merupakan permasalahan yang kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerjasama multi disipliner, multi sektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.Oleh karena itu, penanggulangannya memerlukan pendekatan komprehensip, multidisiplin, koordinasi dan keterpaduan lintas sektor serta partisipasi masyarakat. Selama masyarakat memandang bahwa tugas menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba sebagai tugas pemerintah saja, maka selama itu pulatidak akan berhasil. 14 Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah melalui Badan Narkotika Nasional dalam upaya penanggulangan narkoba, diantaranya upaya yang sangat mendasar dan efektif yaitu adalah promotif dan preventif. Upaya yang paling praktis dan nyata adalah represif. Upaya manusiawi adalah kuratif dan rehabilitatif. 15 Upaya Promotifdisebut juga program preemtif atau program pembinaan. Program ini ditujukan kepada masyarakat yang belum memakai narkoba, atau bahkan belum mengenal narkoba. Prinsipnya adalah dengan meningkatkan peranan atau kegiatan agar kelompok ini secara nyata lebih 12
Buletin P4GN, edisi 12 Desember 2011, (Jakarta: BNN RI, 2011),hal.10. Ibid, hal. 9. 14 Elizabeth Siahaan, Peranan Penyidik Polri dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatera Utara, Tesis (Medan: Sekolah Pascasarjana USU, 2009), hal.1. 15 Soekedy, Ed, Menyiram Bara Narkoba, (Jakarta: Millenium Publisher, 2002). hal. 148. 13
sejahtera sehingga tidak pernah berpikir untuk memperoleh kebahagiaan semua dengan memakai narkoba. 16 Upaya Preventif disebut juga program pencegahan. Program ini ditujukan kepada masyarakat sehat yang belum mengenal narkoba agar mengetahui seluk beluk narkoba sehingga tidak tertarik untuk menyalahgunakannya. Selain dilakukan oleh pemerintah (instansi terkait), program ini juga sangat efektif jika dibantu oleh instansi dan institusi lain, termasuk lembaga profesional terkait, lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, ormas dan lain-lain. 17 Upaya Kuratif disebut juga program pengobatan. Program kuratif ditujukan kepada pemakai narkoba. Tujuannya adalah mengobati ketergantungan dan menyembuhkan penyakit sebagai akibat dari pemakaian narkoba, sekaligus menghentikan pemakaian narkoba. 18 Upaya Rehabilitatif adalah upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga yang ditujukan kepada pemakai narkoba yang sudah menjalani program kuratif. Tujuannya agaria tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakaian narkoba. Seperti kerusakan fisik (syaraf, otak, darah, jantung, paru-paru, ginjal, dati dan lain-lain), kerusakan mental, perubahan karakter ke arah negatif, asosial dan penyakit-penyakit ikutan (HIV dan AIDS, hepatitis, sifilis dan lain-lain). Itulah sebabnya mengapa pengobatan narkoba tanpa upaya pemulihan (rehabilitasi) tidak bermanfaat. 19 Upaya Represif adalah program penindakan terhadap produsen, bandar, pengedar dan pemakai berdasar hukum. Program ini merupakan instansi pemerintah yang berkewajiban mengawasi dan mengendalikan produksi maupun distribusi semua zat yang tergolong narkoba.
16
Ibid,. Ibid,. 18 Ibid, hal. 149. 19 Ibid,hal.150. 17
Selain mengendalikan produksi dan distribusi, program represif berupa penindakan juga dilakukan terhadap pemakai sebagai pelanggar undang-undang tentang narkoba. 20 Instansi yang bertanggung jawab terhadap distribusi, produksi, penyimpanan, dan penyalahgunaan narkoba adalah: Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Obat dan Makanan (POM), Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Direktorat, Jenderal Imigrasi, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung/ Kejaksaan Tinggi/Kejaksaan Negeri, Mahkamah Agung (Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri). 21 Beberapa upaya yang dilakukan BNN dalam upaya penanggulangan narkoba di atas, merupakan upaya yang saling berkaitan dan tidak bisa berdiri sendiri. Salah satu upaya yang sangat perlu dilakukan adalah upaya preventif yang melibatkan bukan hanya oleh pemerintah (instansi terkait), program ini juga sangat efektif jika dibantu oleh instansi dan institusi lain, termasuk lembaga profesional terkait, lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, ormas dan lain-lain. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 104 juga menegaskan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor Narkotika.
22
Masyarakat termasuk lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pencegahan dan penangulangan permasalahan narkoba merupakan bagian penting dalam program
pencegahan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.Peran serta aktif masyarakat untuk mencegah dan memberantas Narkoba ditandai dengan tumbuh suburnya lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pencegahan dan penanggulangan narkoba. Lembaga-lembaga tersebut
20
Ibid, hal 149 Ibid,. 22 Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika pada Bab XIII pasal 104-108 21
semakin peduli dan berkompetensi untuk turut serta menanggulangi permasalahan narkoba. Langkah yang terus dijalankan secara berkesinambungan melalui kegiatan berbasis masyarakat. 23 Provinsi Sumatera Utara memiliki Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) yang bertujuan untuk memberikan pelayanan informasi tentang permasalahan narkoba kepada masyarakat. PIMANSU merupakan lembaga yang dibentuk atas kerjasama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dengan Gerakan Anti Narkoba (GAN) Indonesia. PIMANSU juga sebagai lembaga yang aktif melakukan pencegahan dan penanggulangan narkoba dalam rangka melaksanakan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan narkoba berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdirinya PIMANSU dilatari oleh suatu pemikiran bahwa narkoba semakin hari menunjukkan peningkatan peredaran dan penyalahgunaannya. Kondisi tersebut tentu sangat berbahaya, karena ancamannya langsung ke jantung masyarakat dan bangsa, yaitu generasi muda.Bisa dipastikan, jika tidak ada upaya-upaya pre-emtif, preventif, represif, dan rehabilitasi, sangat mungkin ke masa depan bangsa yang bernama Indonesia hanyalah sebuah kenangan di dalam buku-buku sejarah. Ibarat manusia, ia telah kehilangan jati dirinya. 24 Fakta lain, masyarakat belum memiliki informasi dan pengetahuan yang memadai tentang masalah narkoba, masyarakat umumnya belum memiliki informasi dan kesadaran betapa dahsyatnya bahaya narkoba. Sehingga banyak yang terlibat dengan penyalalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Jutaan korban penyalahgunaan narkoba berjatuhan diakibatkan kurangnya informasi yang diterima mereka tentang bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. 25 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga mengamanatkan bahwa peran serta masyarakat sebagai subjek dan objek dalam Pencegahan dan Pemberantasan
23
Buku Pedoman P4GN, Op.Cit, hal. 9. Profile Lembaga Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara 25 Ibid,. 24
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) perlu terus ditingkatkan secara struktural dan fungsional. Dalam kaitan ini, peran komponen masyarakat termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat dalam program pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba sungguh sangat besar bila dikaitkan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang ada di masyarakat. Pemerintah harus bermitra dengan masyarakat untuk memerangi narkoba. 26 PIMANSU sebagai komponen masyarakat dan perpanjangan tangan pemerintah khususnya pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumatera Utara telah menjalankan fungsinya sebagai salah satu lembaga yang berperan aktif dalam penanggulangan narkoba di Sumatera Utara. Hal ini diwujudkan PIMANSU dengan berbagai program pencegahan yang dilakukan antara lain: sosialisasi bahaya narkoba kepada masyarakat; memberikan layanan informasi dan data tentang permasalahan narkoba, melakukan konsultasi permasalahan narkoba; melakukan Drugs Judicial Watch yaitu pemantauan peradailan narkoba
dan memberikan laporan dan informasi kepada
instansi terkait mengenai adanya penyalahgunaan dan peredaran narkoba di masyarakat. 27 Semenjak berdirinya PIMANSU tahun 2000 yang lalu hingga sekarang (2012) telah banyak yang dilakukan PIMANSU untuk ikut serta dalam menjalankan program pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika.
PIMANSU
juga
merupakan
satu-satunya
pusat
informasi narkoba dan yang terbaik di Indonesia dan PIMANSU juga telah mendapat penghargaan sebagai lembaga yang ikut berperan aktif dalam program pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang diberikan oleh BNN tahun 2009 yang lalu. 28
26
Buletin P4GN, Op.Cit, hal. 9. Profile PIMANSU 28 Laporan Aktivitas Tahunan PIMANSU, 2010 27
Kegiatan pencegahan dan penanggulangan tindak pidana narkotika yang dilakukan PIMANSU selama ini sudah berjalan di masyarakat. Peran serta PIMANSU ini dirasakan perlu dikaji dan dievaluasi agar dapat diketahui efektivitas dan manfaatnya di masyarakat dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana peran serta PIMANSU dalam penanggulangan tindak pidana narkotika, apa saja faktor pendorong dan penghambat yang dihadapi PIMANSU dalam pelaksanaan penanggulangan Tindak Pidana Narkotika. Sehingga dalam penulisan tesis ini penulis mengambil judul :“Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika(Studi di Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU))”
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dijabarkan permasalahan yang akan diteliti, yaitu: 1. Bagaimana peran serta PIMANSU dalam penanggulangan tindak pidana Narkotika? 2. Apakah yang menjadi faktor pendorong dan penghambat peran serta PIMANSU dalam penanggulangan tindak pidana Narkotika?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang tersebut di atas, dirumuskan tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis peran serta PIMANSU dalam penanggulangan tindak pidana Narkotika. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor apa saja yang menjadi pendorong dan penghambat peran serta PIMANSU dalam penanggulangan tindak pidana Narkotika.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan tidak hanya memiliki manfaat yang bersifat teoretis, tetapi juga mempunyai manfaat yang bersifat praktis. Manfaat dari hasil penelitian ini adalah: 1. Secara teoretis, penelitian ini dapat memberikan masukan, membuka wawasan dan paradigma berfikir bagi kalangan akademis untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan kebijakan strategi pemberdayaan masyarakat dalam upaya penanggulangan narkoba dalam rangka mewujudkan Indonesia Bebas Narkoba. 2. Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi masukan kepada Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara dalam membuat suatu kebijakan penanggulangan narkoba berikutnya dalam mewujudkan Indonesia Bebas Narkoba 2015.
E. Keaslian Penelitian Sebelum melakukan penelitian ini, terlebih dahulu telah dilakukan penelusuran terhadap judul dan permasalahan dalam penelitian ini yang dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Hasil dari penelusuran tidak ditemukan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Walaupun ada beberapa tesis yang membahas tentang permasalahan narkoba, tetapi judul dan permasalahannya berbeda dengan yang dibuat oleh peneliti. Judul dan permasalahan Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana NarkotikaMenurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, baru pertama kali dilakukan. Dengan demikian, judul dan permasalahan dalam penelitian ini adalah asli dan tidak mengandung unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain. Penelitian ini sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan yang bersifat membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu ataupun permasalahan, problem, yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan pasangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca. 29 Teori dan penelitian harus secara bersama berfungsi menambah pengetahuan ilmiah seorang peneliti ilmu hukum tidak boleh menilai teori terlepas dari kenyataan, fakta-fakta hukum yang ada ditengah-tengah masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan penelitian, seorang peneliti ilmu hukum senantiasa mendasarkan diri pada teori yang ada, kemudian hasil penelitian yang dilakukan dapat mendukung, memperluas atau mengkoreksi teori tersebut. 30 Dalam konteks pembicaraan masalah penanggulangan kejahatandikenal istilah Politik Kriminal. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, merupakan kejahatan yang bersifat kompleks. Kompleksitas masalah dimulai dari pelaku, modus, hingga korban. Pelaku kejahatan ini terdiri dari individu dan kelompok yang terorganisir dengan rapi. Organisasi kejahatan peredaran gelap narkotika tidak hanya terbatas di dalam negeri saja, namun membentuk jaringan kejahatan terorganisir di level internasional. Kompleksitas pelaku (baik individu maupun organisasi) menyebabkan kompleksitas modus yang digunakan. Kecanggihan dan “kreativitas” modus yang digunakan membuat kejahatan ini menjadi sangat sulit diidentifikasi. Pada akhirnya, kompleksitas pelaku dan modus menyebabkan 29 30
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 139.
kompleksitas korban. Jangkauan pelaku dan modus terhadap korban sering lebih luas dari pada jangkauan upaya pencegahan dan penegakan hukum dari sistem peradilan pidana. Inilah yang menyebabkan korban penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tidak hanya terbatas pada level masyarakat tertentu. Namun telah lintas strata dan lintas generasi. Politik Kriminal (Criminal Policy) sebagai usaha rasional masyarakat dalam menanggulangi kejahatan, secara operasional dapat dilakukan baik melalui sarana penal maupun sarana nonpenal. Penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba tidak bisa hanya mengandalkan sarana penal tetapi juga harus menggunakan sarana nonpenal karena hukum pidana dalam bekerjanya memiliki kelemahan/keterbatasan. Kelemahan/keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, yaitu: 31 a. Sebab-sebab penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang demikian kompleks, tidak dapat diatasi dengan hukum pidana berada di luar jangkauan hukum pidana; b. Hukum pidana adalah bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah masyarakat seperti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang sangat kompleks...; c. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom”, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan “pengobatan kausatif”; d. Sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif; e. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/ personal, tidak bersifat struktural/fungsional; berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut "biaya tinggi". Politik kriminal tidak dapat berdiri sendiri mencakup berbagai hal baik itu penegak hukum yang mencakup hukum pidana, hukum perdata maupun administrasi, semua hal tersebut adalah bagian dari kebijakan sosial (sosial policy), yaitu rasional dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Dikatakan sebahagian daripada kebijakan sosial (sosial policy), oleh karena
31
Barda NawawiArief,“Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Korupsi”, disajikan pada Seminar CLC & FH UNSWAGATI Cirebon, 30 Juli 2005.
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat masih ada kebijakan sosial lainnya seperti kebijakan di bidang perekonomian, politik dan hankam sebagaimana termuat dalam GBHN. 32 Usaha penanggulangan kejahatan melalui undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (sosial defence). Kebijakan sosial (sosial policy) dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian “sosial politic” mencakup di dalamnya “sosial walfare politic”. Jadi tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 33 Apabila dilihat dari perspektif politik kriminal secara makro maka kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana atau nonpenal policy merupakan kebijakan yang paling strategis. Hal ini disebabkan karena nonpenal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya kejahatan, dimana sasaran utamanya adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. 34 Kebijakan penanggulangan kejahatan atau politik kriminal dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. G. Peter Hoefnagels berpendapat bahwa kebijakan kriminal secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 35 1. Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) melalui criminal law application; dan 2. Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non melalui influencing views of society on crimeand punishment
penal
policy)
(mass media) dan prevention
without punishment.
32
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hal.24. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 5. 34 Supriyadi, ”Beberapa Catatan Terhadap Kebijakan Legislatif Dalam Perundang-UndanganPidana di Indonesia.”,Mimbar Hukum No. 40/11/2002, Majalah Berkala FakultasHukum UGM,hal. 20. 35 Hoefnagels, G.P, The Other Side of Criminology, (Holland: Kluwer B.V., Deventer, 1973), hal. 56. 33
Kedua sarana ini (penal dan nonpenal) merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, bahkan dapat dikatakan keduanya saling melengkapi dalam usaha penanggulangan kejahatan di masyarakat. 36 Sesuai dengan apa yang menjadi permasalahan makalah ini, maka dari lingkup kajian yang dikemukakan di atas, fokus perhatian akan lebih terarah pada kajian kebijakan nonpenal.
2. Kerangka Konsep. Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika masalah dan kerangka konsep teoretisnya telah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari apa yang diamati konsep menentukan antara variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris. 37 Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Salah satu fungsi logis dari konsep adalah memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu. 38Konsep dasar dalam penelitian ini, yaitu: a. PIMANSU adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang Pencegahan, Pemberantasan Penyalahggunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. PIMANSU merupakan lembaga yang dibentuk atas kerjasama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dengan Gerakan Anti Narkoba (GAN) Indonesia. 39 36
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995),
hal. vii. 37 38
Koentjorodiningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1997), hal. 21. Jhonny Ibrahim, Theory dan Metodologi Penelitian Normatif (Malang: Bayu Media, Cet. Ke-2, 2006), hal.
306 39
Profile Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU), hal. 1
b. Peran serta masyarakat ialah peran aktif masyarakat untuk mewujudkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. 40 Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam hal pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Hak masyarakat dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan dalam bentuk: 41 a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN; e. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.
c.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. 42
d.
Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. 43
e.
Penyalahgunaan Narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum. 44
f.
Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. 45 40
Siswantoro Sunanto, Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 157. Ibid, pasal 106. 42 Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 43 Pasal 1 angka (2) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 44 Pasal 1 angka (15) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 41
g.
Penanggulangan merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana narkotika. Penanggulangan Narkotika dalam penelitian ini dibatasi pada penanggulangan kejahatan lewat jalur nonpenal
yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif
(pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum terjadi kejahatan. h.
46
Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Selanjutnya menurut wujudnya atau sifatnya tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat dari terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulan bahwa suatu perbuatan yang menjadi tindak pidana, apabila perbuatan itu melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana. 47
i.
Tindak Pidana Narkotika adalah suatu perbuatan melawan hukum dan merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan dan pelakunya diancam dengan pidana, yang meliputi tindakan: 48 (1) (2) (3) (4) (5)
Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menukar atau menyerahkan Narkotika Membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkotika Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.
G. Metode Penelitian Metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu. Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek
45
Pasal 1 angka (6) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Barda Nawawi Arif, Upaya Non Penal Dalam Penanngulangn Kejahatan, makalah disampaikan pada Seminar Kriminologi VI, Semarang, 16 – 18 September 1991, hal. 2. 47 Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka , 2004), hal. 84 48 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 111 – 126. 46
yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. 49Penelitianatau kegiatan ilmiah bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. 50 Penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematikan, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari gejala-gejala hukum dengan cara menganalisisnya. 51
1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitianyang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pendekatan hukum yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dalam upaya menganalisis permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan atau disebut juga sebagai penelitian doktrinal. 52 Penelitian yuridis sosiologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk melihat perilaku hukum sebagai perilaku masyarakat yang terlihat sebagai kekuatan sosial. Dalam politik kriminal selain pendekatan penal ada pendekatan nonpenal berupa pemberdayaan masyarakat menjadi kekuatan besar untuk mencegah dan mengurangi angka kejahatan. Oleh sebab itu pendekatan yuridis sosiologis sangat besar peranannya untuk melihat pola-pola penanggulangan kejahatan yang ada dalam masyarakat yaitu dengan melakukan usaha-usaha rasional untuk
49
Sejono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal.
106. 50
Soejono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1. 51 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6. 52 Binsar Nasution, Metode Penelitian Hukum Naormatif dan Perbandingan Hukum. Makalah disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Penulisan Hukum Pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal.1.
mencegah dan menanggulangi kejahatan, khususnya dalam penelitian ini yaitu kejahatan narkotika. 53 Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran dan menganalisis secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, serta hubungan fenomena yang diselidiki. 54 2. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan unuk mendukung penelitian ini adalah data Primer dan Sekunder. Data primer yang diperoleh langsung dengan melalui wawancara dengan beberapa narasumber yang terdiri dari Direktur Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara, staff Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Utara dan Direktur Serse Narkoba Poldasu. Data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki 55 seperti perundang-undangan yang berkaitan dengan peran serta masyarakat dalam upaya penangulangan narkoba yaitu Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Instruksi Presiden No. 12 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan danStrategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (Jakstranas P4GN)
53
Novalina Kristinawati Manurung, Kebijakan Kriminal Terhadap Pemakai Narkoba di Kota Medan, (Medan: Sekolah Pascasarjana USU, 2009), hal. 35. 54 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 91. 55 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 141.
b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian. 56 Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang relevan dengan permasalahan hukum dan narkoba, jurnal penelitian hukum, hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder 57 berupa Kamus umum, Kamus bahasa, surat kabar, artikel dan internet.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu: a. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara dengan para informan yang terdiri dari Direktur PIMANSU, staff Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Utara dan pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara. b. Sedangkan teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan terhadap dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian. Data yang diperoleh selanjutnya akan dipilah-pilah berkaitan dengan masalah peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika dan kemudian disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras untuk menentukan jawaban untuk masalah hukum dalam penelitian ini. 56 57
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif (Surabaya: Bayu Media, 2008), hal. 295. Ibid,.
4. Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif
yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-
norma, doktrin-doktrin dan pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan perundangan yang relevan dengan permasalahan penelitian. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data dan disimpulkan melalui penalaran logika dari umum ke khusus (deduktif) sehingga permasalahan dapat terjawab. 58
58
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 66.