BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ini dibuat pada saat Undang-Undang tentang Hak Cipta nomor 19 tahun 2002 masih berlaku. Kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat terutama komputer sebagai motor penggeraknya telah merubah kehidupan manusia. Dampaknya, ketika minat terhadap teknologi informasi semakin besar dari masyarakat, maka konsekuensinya adalah munculnya praktik-praktik pelanggaran. Salah satunya adalah masalah pembajakan software (program komputer) yang merupakan pelanggaran terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) khususnya dalam bidang Hak Cipta. Dalam hal pembajakan software, Indonesia masih merupakan salah satu negara dengan tingkat pembajakan software tertinggi di dunia. Menurut studi yang dilakukan oleh International Data Corporation (IDC), pada tahun 2007 Indonesia menempati urutan ke-12 sebagai negara pembajak terbesar di dunia (Laporan IDC, http://www.idc.com, diakses tanggal 03 Januari 2011).
Persentase tingkat
pembajakan software di Indonesia mencapai 84% di tahun 2007. Ini berarti 84 dari setiap 100 software yang diinstal di komputer baru di Indonesia adalah bajakan atau tak berlisensi, dengan tingkat kerugian akibat pembajakan tersebut mencapai US$
411 juta (Laporan IDC, 2009:5, http://www.idc.com, diakses tanggal 03 Januari 2011). Memang diakui untuk melindungi software dari kasus pembajakan merupakan hal yang sulit, mengingat peng-copy-an software dapat dilakukan dengan cepat dan tanpa meninggalkan bekas karena didukung oleh kemajuan teknologi komputer yang semakin lama semakin canggih dewasa ini. Bahkan sekarang ini orang dapat menggandakan software dalam jumlah banyak (mencapai ratusan copy) hanya dalam hitungan menit. Hal ini dimungkinkan oleh adanya teknologi CD duplicator. Hal itu bisa diilustrasikan sebagai berikut. Apabila konsumen membeli komputer secara Do-It-Yourself, hal ini akan memiliki potensi ilegal begitu keluar dari toko. Sementara bila konsumen membeli paket komputer pada toko atau perusahaan yang menghormati HaKI khususnya dalam bidang Hak Cipta, bisa terjamin karena keaslian software bisa dilacak dan jelas, baik yang berbasis Microsoft maupun Linux. Dengan demikian, pilihan bagi konsumen bukan terletak pada mampu atau tidaknya, tetapi benar-benar terjadi sebuah kondisi dimana penjual, pembeli, produsen perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) secara aktif masuk ke dalam kerangka saling menghormati HaKI khususnya dalam bidang Hak Cipta (Gunadi, 2007: 98). Meskipun belum sepenuhnya dapat dikatakan berhasil karena dari pengamatan di lapangan, ternyata sebagian paket komputer yang dijual dengan sistem operasi Linux tersebut, pada akhirnya diinstalasi ulang oleh para pemakaiannya dengan sistem operasi Windows bajakan. Dengan demikian, upaya
yang dirintis untuk mulai menghormati HaKI khususnya dalam bidang Hak Cipta jadi sirna di level pemakai. Mengenai
kejahatan
komputer,
sesungguhnya
bukan
terbatas
pada
pembajakan software, berikut ini adalah empat ruang lingkup kejahatan komputer: 1.
Komputer sebagai instrumen untuk melakukan kejahatan tradisional, seperti digunakan untuk melakukan pencurian, penipuan, dan pemalsuan melalui internet, di samping kejahatan lainnya seperti pornografi terhadap anak-anak, prostitusi online, dan lain-lain,
2.
Komputer dan perangkatnya sebagai objek penyalahgunaan, di mana data di dalam komputer yang menjadi objek kejahatan dapat saja diubah atau diduplikasi secara tidak sah,
3.
Penyalahgunaan yang berkaitan dengan komputer, yang dimaksud dengan penyalahgunaan disini yaitu manakala komputer digunakan secara ilegal atau tidak sah, dan
4.
Unauthorized acquisition, disclosure or use of information, yang berkaitan dengan masalah penyalahgunaan hak akses dengan cara-cara yang ilegal (Syam, 2009: 14). Objek Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC)
hanya fokus pada jenis kejahatan komputer kelompok nomor 2, yaitu penyalahgunaan komputer dan perangkatnya. Sedangkan tiga jenis kejahatan lainnya, saat ini diatur dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2008.
Seperti diutarakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KKPU) pada awal tahun 2007, bahwa pemberantasan pembajakan software merupakan pekerjaan terbesar Indonesia yang harus segera dilakukan. Keseriusan pemerintah kemudian dibuktikan, diantaranya, adalah negosiasi secara langsung dengan Microsoft melalui MoU sebagai upaya Pemerintah untuk melegalkan seluruh software Microsoft (yakni Microsoft Windows dan Microsoft Office) yang saat ini terpasang di instansi Pemerintah, yang diduga sebagian besar tanpa lisensi yang seharusnya. Melalui MoU tersebut Pemerintah memutuskan untuk membeli ribuan lisensi Microsoft Windows dan Microsoft Office, yang jumlah kepastiannya akan ditetapkan melalui sebuah sensus. Maraknya kasus pembajakan software dikarenakan sifat dari software itu sendiri yang sifatnya dapat diubah melalui penguasaan terhadap teknologi informasi. Proses perubahan dari isi yang asli dengan penambahan atau penyusupan kode-kode tertentu itulah yang dinamakan dengan “pembajakan”, dan menjadi salah satu objek dari Undang-Undang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12 UUHC yang mengatur tentang perlindungan terhadap program komputer, dan terakhir diperkuat oleh Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur mengenai pembobolan informasi melalui komputer (hacking) (Kompas, 27 Maret 2008). Dari segi pelaksanaan hak cipta diatur dalam Pasal 2 UUHC. Undang-Undang tersebut menganut prinsip bahwa pencipta mempunyai hak eksklusif untuk melaksanakan ciptaaannya, artinya dalam kurun waktu tertentu pencipta mempunyai
hak untuk melaksanakan sendiri ciptaannya atau memberi izin kepada orang lain untuk melaksanakan ciptaannya itu. Dari prinsip hak eksklusif tersebut, maka pihak lain yang ingin ikut melaksanakan ciptaan dan mengambil manfaat ekonomi dari ciptaan itu, harus mendapatkan izin dari pencipta yang bersangkutan. Hak cipta pada dasarnya adalah hak milik perorangan yang tidak berwujud dan timbul karena kemampuan intelektual manusia. Sebagai hak milik, hak cipta dapat pula dialihkan oleh penciptanya atau yang berhak atas ciptaan itu. Hak Cipta dapat dialihkan kepada perorangan atau kepada badan hukum. Salah satu cara pengalihan hak cipta dikenal dengan nama lisensi hak cipta atau lebih dikenal dengan nama perjanjian lisensi. Untuk membuat perjanjian lisensi maka pengalihan hak cipta harus dituangkan dalam bentuk akte notaris. Hal ini mengingat begitu luasnya aspek yang terjangkau oleh hak cipta sebagai hak, sehingga jika dibuat dalam bentuk akte notaris dapat menentukan keotentikan yang dituangkan dalam perjanjian (Kansil, 2003: 10). Business Software Alliance (BSA) merupakan organisasi terkemuka yang secara konsisten mendukung penciptaan dunia digital yang aman dan legal. BSA mewakili industri peranti lunak komersial dunia serta para mitranya di industri peranti keras dalam interaksinya dengan pihak pemerintah serta dalam pasar internasional. Anggota BSA mewakili industri dengan perkembangan terpesat di dunia. Program yang dilaksanakan oleh BSA mendukung perkembangan teknologi melalui pendidikan serta penciptaan kebijakan yang mencakup isu perlindungan hak cipta, keamanan dunia maya serta e-commerce. Anggota BSA meliputi Adobe, Apple,
Autodesk, Avid, Bentley Systems, Borland, Cadence Design Systems, Cisco Systems, CNC Software/Mastercam, Dell, Entrust, HP, IBM, Intel, Internet Security Systems, McAfee, Microsoft, Minitab, PTC, RSA Security, SAP, SolidWorks, Sybase, Symantec, Synopsys, The MathWorks, Trend Micro and UGS. Anggota-anggota di Asia di antaranya: Agilent (Taiwan), Altium (China), Andal Software (Indonesia), ARM (Taiwan), Biztrak (Malaysia), Cimatron Technologies (Taiwan), Electric Angels (Malaysia), Innodium (Malaysia), Justsystem (Japan), Morisawa (Japan), National Instruments (Taiwan), SAP (Taiwan), Software Industry Information Centre (Hong Kong), Syscom Computer (Taiwan) and UBS Corporation (Malaysia) (http://www.bsa.org, diakses tanggal 3 Januari 2010). Hukuman untuk pelanggaran terhadap Hak Cipta diatur dalam Pasal 72 ayat (1) UUHC, yang menyebutkan: “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
Pasal 72 ayat (2) menyebutkan: “Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Pasal 72 ayat (3) menyebutkan:
”Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Namun, Pasal 72 ayat (3) UUHC menyebutkan bahwa pada kasus-kasus tertentu untuk meng-copy program komputer, toko komputer harus mempunyai lisensi dari pemegang hak cipta program komputer. Akan tetapi seringkali pemilik toko tidak memperpanjang lisensi tersebut sehingga terjadi pelanggaran hak cipta. Pada pertengahan bulan Agustus 2007, tim Reserse Ekonomi Khusus Bareskrim Polri menggerebek pabrik cakram optik (compact disk) bajakan berskala besar di Tangerang (Media HKI, edisi Agustus 2007: 88). Sementara itu, di daerah yang berbeda, Kapolda Jatim, Irjen Polisi Herman S Sumawiredja mengatakan telah berencana untuk membuat maklumat yang berisi himbauan bagi pengguna, perusahaan dan penjual secara umum untuk tidak menggunakan dan menjual software bajakan, dan maklumat Kapolda tersebut nantinya akan disebar dalam bentuk poster untuk dipajang di Mal dan pusat perbelanjaan di seluruh Jawa Timur (Media HKI, edisi Agustus 2007: 89). Pihak-pihak yang terlibat dalam pembajakan software ini adalah pemesan, grosir, duplikator, importir bahan baku untuk CD bajakan, distributor, dan pedagang. Kesemua pihak ini umumnya tersembunyi dan membentuk jaringan-jaringan yang tidak bisa dikenali. Namun, untuk tingkat pedagang mengenali kasus pembajakan software sangat mudah. Malah, pedagang software bajakan dapat ditemui di tempat-
tempat perbelanjaan modern, seperti di mall, dan sentra elektronik seperti Mangga Dua, dan sekitarnya. Hak untuk mengcopy di atas telah diatur juga dalam Pasal (4) UUHC, di mana hak pencipta untuk menggandakan ciptaannya, ini merupakan penjabaran dari hak ekonomi pencipta. Hak reproduksi sama dengan perbanyakan, yaitu menambah jumlah sesuatu ciptaan dengan pembuatan yang sama, hampir sama, atau menyerupai ciptaan tersebut dengan menggunakan bahan-bahan yang sama maupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan sesuatu ciptaan. Pasal 1 ayat 2 UUHC menyebutkan bahwa bentuk penggandaan atau perbanyakan ini bisa dilakukan secara tradisional maupun dengan menggunakan peralatan modern. Hak reproduksi ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan satu ke bentuk ciptaan lainnya, misalnya merubah aransemen rekaman musik pop menjadi aransemen musik dangdut untuk lagu yang sama, mengubah pertunjukan drama tragedi menjadi drama musikal, dan meliputi juga pembuatan duplikat dalam rekaman suara dan film. Permasalahan penegakan hukum, mencakup baik permasalahan yuridis maupun non-yuridis. Seperti diketahui bahwa hukum itu tidak berdiri sendiri. Banyak faktor yang menyertainya yang dapat berpengaruh terhadap bekerjanya hukum. Dapat dikatakan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor kesadaran hukum masyarakat, yaitu masyarakat tidak mempunyai kesadaran untuk melaksanakan ketentuan hukum dengan baik. Secara konseptual dikatakan bahwa
terjadinya
gangguan
terhadap
penegakan
hukum
disebabkan
oleh
ketidakserasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku. Sebagai contoh, hukum menentukan setiap orang yang meng-copy program komputer wajib membayar royalti, akan tetapi masyarakat mempunyai perilaku cenderung mengabaikan hal tersebut. Akibatnya terjadilah pelanggaran hak cipta (Kansil, 2003: 19). Berikut ini adalah jenis-jenis pembajakan software yang sering dilakukan, antara lain (Wahyudi, 2005: 12): 1. Hard Disk Loading Sifat perbuatannya: mengedarkan. Jenis pembajakan software yang tergolong pada Hard Disk Loading adalah pembajakan software yang biasanya dilakukan oleh para penjual komputer dimana mereka mengedarkan software yang tidak memiliki lisensi untuk komputer yang dijualnya, software-software tersebut dipasang (install) pada komputer yang dibeli oleh pelanggannya melalui media hard disk, biasanya sebagai “bonus”. Hal ini banyak terjadi pada perangkat komputer yang dijual secara terpisah dengan software (terutama untuk sistem operasinya). Pada umumnya ini dilakukan oleh para penjual komputer rakitan. 2. Corporate End User Piracy Sifat perbuatannya: menggunakan, memperbanyak penggunaan. Jenis pembajakan software yang tergolong pada jenis ini adalah pembajakan software yang biasanya dilakukan oleh perusahaan yang seharusnya menggunakan software untuk dipasang (install) pada jumlah sesuai dengan lisensi pada software tersebut yaitu satu software dipasang (install) pada satu
komputer atau lebih dengan syarat menggunakan perjanjian lisensi antara produsen software dengan perusahaan pengguna software, tetapi pada kenyataanya software tersebut dipasang (install) untuk jumlah yang berbeda dengan lisensi pada software tersebut, biasanya dipasang (install) lebih banyak dari jumlah yang diperbolehkan dalam lisensi software tersebut atau lebih banyak dari jumlah yang telah diperjanjikan dalam perjanjian lisensi tersebut. 3. Retail Piracy Sifat perbuatannya: mengedarkan atau menjual software tanpa lisensi dalam bentuk eceran. Contoh: pedagang software bajakan di Mangga Dua yang menjual secara eceran software tanpa lisensi. 4. Counterfeiting Sifat perbuatannya: mencetak atau menggandakan. Jenis pembajakan software yang tergolong pada counterfeiting adalah yaitu suatu perbuatan mencetak atau menggandakan software asli sehingga hasilnya menjadi software palsu, seperti CD Installer, Manual Book, Dus (Packaging), dan lain-lain. 5.
Internet Piracy Jenis pembajakan software banyak dilakukan dengan menggunakan media internet dengan cara men-download software (tanpa lisensi), lagu (musik), film (video), buku, dan lain-lain dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan (bisnis) tanpa izin dari pemegang hak cipta.
Adanya fenomena seperti yang diuraikan di atas membuat penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai pembajakan hak cipta khususnya di bidang software komputer, yang dalam hal ini lebih khusus lagi adalah pada kasus pembajakan untuk jenis Corporate End User Piracy, sebagaimana terjadi di wilayah Malang dan telah diputuskan pada Kejaksaan Negeri Malang tanggal 25 Oktober 2007, yaitu kasus pembajakan yang dilakukan oleh seorang pembajak yang terbukti membajak software-software yang hak ciptanya dipegang oleh anggota-anggota BSA dan memutuskan bahwa orang tersebut bersalah telah dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan untuk kepentingan komersial suatu software. Atas kesalahan tersebut orang tersebut dijatuhi hukuman penjara selama 4 (empat) bulan (Dokumen Putusan Pengadilan Negeri Malang, 25 Oktober 2007). Dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut yang dituangkan dalam penelitian dengan judul “PERANAN BUSINESS SOFTWARE ALLIANCE (BSA) DALAM PENANGANAN PEMBAJAKAN SOFTWARE MENURUT UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NOMOR 19 TAHUN 2002 (STUDI KASUS CORPORATE END USER PIRACY DI KOTA MALANG)”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peranan Business Software Alliance (BSA) dalam menindaklanjuti kasus pembajakan software di Indonesia?
2. Bagaimana penyelesaian hukum dalam kasus pembajakan software di Indonesia, khususnya pada kasus Corporate End User Piracy di Kota Malang?
C. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian-penelitian sebelumnya mengenai masalah penanganan hukum pembajakan software telah banyak dilakukan oleh para ahli dengan berbagai dimensi penelitian yang berbeda. Penelitian yang dilakukan penulis memiliki perbedaan, yaitu pada cakupan penelitian, dimana penulis mengangkat peranan BSA dan mengkaji kasus pembajakan software di Kota Malang. Tabel 2.1 Tabel Penelitian Sebelumnya No. Peneliti 1 M. Rifki, Eko Soponyono dan Kholis Roisah (2009)
Judul Metode Kebijakan Hukum YuridisPidana dalam normatif Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pembajakan Program Komputer
Kesimpulan Sumber Kemampuan dari Tesis, UNDIP, penegak hukum belum (2009) memadai terhadap tindak pidana pembajakan software, sehingga masih membutuhkan ahli dari luar instansi aparat penegak hukum. Penggunaan mediasi penal pada kebijakan hukum pidana yang akan datang menjadi penting untuk penanggulangan tindak pembajakan software
2
Supanto (2007)
Pengembangan Normatif Kebijakan Hukum Pidana untuk Menanggulangi Pembajakan Perangkat Lunak Komputer sebagai Kejahatan Ekonomi Bidang Hak Kekayaan Intelektual
3
Wahyuni (2009)
Penggunaan YuridisSarana Non Penal sosiologis terhadap Pembajakan Program Komputer (Software)
Upaya penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembajakan dilakukan dengan cara law enforcement, yaitu dengan menegakkan sanksi penjara atau denda sesuai dengan terutama merujuk pada Pasal 72 ayat (1) dan (2) UUHC No. 19 tahun 2002. Penggunaan sarana non penal dalam menanggulangi dan mencegah pembajakan software dilakukan melalui peluncuran Indonesian Go Open Source (IGOS) atau program pemerintah untuk menjual program aplikasi komputer dengan harga murah dan kualitas terjamin.
Jurnal Hibah Bersaing XIV, DP3M-Dirjen Dikti, Dep. DIKNAS, (2007)
Skripsi (2009)
UI,
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis peranan Business Software Alliance (BSA) dalam menindaklanjuti kasus pembajakan peranti lunak di Indonesia, dan 2. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian hukum dalam kasus pembajakan software di Indonesia, khususnya pada kasus Corporate End User Piracy di Kota Malang.
E. Manfaat Penelitian Adapun hasil penelitian ini diharapkan akana bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya, yaitu: 1. Manfaat teoritis: memberikan tambahan informasi bagi perkembangan ilmu hukum terutama dalam bidang hak cipta. 2. Manfaat praktis: memberikan tambahan informasi bagi para pihak yang terlibat di bidang hak cipta dan masyarakat luas agar dapat lebih memahami mengenai penyelesaian hukum dalam kasus pembajakan software.